Wakaf 133 166

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 34

7

Wakaf

PENGERTIAN WAKAF
Secara bahasa, wakaf berasal dari kata waqf yang
berarti radiah (terkembalikan), al-tahbis (ter­ta­
han), al-tasbil (tertawan), dan al-man’u (men­­
cegah). Secara istilah, para ulama mende­fi­nisi­­kan
wakaf sebagai berikut:
1. Muhammad al-Syarbini al-Khatib ber­pen­
dapat bahwa wakaf ialah penahanan harta
yang memungkinkan untuk diman­faat­­kan
disertai dengan kekalnya zat benda dengan
memutuskan (memotong) tasharruf (per­
tolong­an) dalam penjagaannya atas mushrif
(pengelola) yang dibolehkan adanya.
2. Ahmad Azhar Basyir berpendapat bahwa
yang dimaksud dengan wakaf ialah me­na­han
harta yang dapat diambil man­faat­­­nya yang
tidak musnah seketika, dan untuk peng­­gu­
na­­an yang dibolehkan serta di­mak­sud­­­kan
untuk mendapat rida Allah.
3. Idris Ahmad berpendapat, wakaf ialah me­
nahan harta yang mungkin dapat di­ambil
manfaat­nya, kekal zatnya, dan menye­rah­
kan­nya ke tempat-tempat yang telah ditentu­
kan syara’ serta dilarang leluasa pada benda-
benda yang dimanfaatkannya itu.
Wakaf 121
Berdasarkan definisi yang telah dijelaskan oleh para ulama, kiranya
dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan wakaf adalah menahan se­
suatu benda yang kekal zatnya dan memungkinkan untuk diambil manfaat­
nya guna diberikan di jalan kebaikan.

UNSUR-UNSUR WAKAF
Dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, disebutkan
ada enam unsur wakaf, yaitu wakif, nazir, harta wakaf, tujuan wakaf, akad
wakaf, dan jangka waktu wakaf.

Wakif (Orang yang Berwakaf)


Wakif, atau pihak yang mewakafkan hartanya, bisa perseorangan, badan
hukum, maupun organisasi. Jika perseorangan, ia boleh saja bukan muslim
karena tujuan disyariatkannya wakaf adalah untuk memajukan kesejahtera­
an umum dan orang nonmuslim tidak dilarang berbuat kebajikan.
Syarat bagi wakif adalah balig dan berakal. Selain itu, ada juga syarat-
syarat lain wakif berdasarkan pemberi wakafnya, antara lain:
1. Wakif perseorangan
a. Dewasa.
b. Berakal sehat.
c. Tidak terhalang melakukan perbuatan hukum.
d. Pemilik sah harta benda wakaf.
2. Wakif badan hukum
Memenuhi ketentuan badan hukum untuk mewakafkan harta benda
wakaf milik badan hukum sesuai dengan anggaran dasar badan hukum
yang bersangkutan.
3. Wakif organisasi
Memenuhi ketentuan organisasi untuk mewakafkan harta benda
wakaf milik organisasi sesuai dengan anggaran dasar organisasi yang
ber­sangkutan.

122 Zakat dan Wakaf


Nazir (Pengelola Wakaf)
Nazir adalah orang yang memegang amanat untuk memelihara dan menye­­­­
len­ggarakan harta wakaf sesuai dengan tujuan perwakafan. Meng­urus atau
mengawasi harta wakaf pada dasarnya menjadi hak wakif, tetapi boleh juga
wakif menyerahkan hak pengawasan wakafnya kepada orang lain, baik per­
seorangan maupun organisasi.
Adapun syarat-syarat seorang nazir, antara lain:
1. WNI.
2. Islam.
3. Dewasa.
4. Sehat jasmani dan rohani.
5. Tidak berada di bawah pengampuan.
6. Tinggal di kecamatan tempat tanah yang diwakafkan.
Apabila nazir berbentuk badan hukum, syarat-syarat yang harus di­
penuhi, antara lain:
1. Berbadan hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia.
2. Mempunyai perwakilan di kecamatan tempat letaknya tanah yang
diwakafkan.
Selain itu, nazir juga harus didaftarkan dan mendapat pengesahan di
Kantor Urusan Agama kecamatan setempat.
Bila syarat-syarat tersebut tidak terpenuhi, wakif bisa menunjuk orang
lain yang mempunyai hubungan kerabat dengannya agar terjalin kese­rasi­
an dengan prinsip hak pengawasan. Bila orang yang mempunyai hubung­an
dengan wakif tidak ada, diperbolehkan menunjuk orang lain.
Dalam pasal 11 Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf,
tugas seorang nazir meliputi:
1. Melakukan pengadministrasian harta benda wakaf.
2. Mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf sesuai dengan
tujuan, fungsi, serta peruntukannya.
3. Mengawasi dan melindungi harta benda wakaf.
4. Melaporkan pelaksanaan tugas kepada Badan Wakaf Indonesia (BWI).

Wakaf 123
Nazir bisa diberhentikan dan diganti dengan nazir lain bila yang ber­
sangkutan:
1. Meninggal dunia bagi nazir perseorangan.
2. Bubar atau dibubarkan sesuai dengan ketentuan perundang-undang­an
yang berlaku untuk nazir organisasi badan hukum.
3. Atas permintaan sendiri.
4. Tidak melaksanakan tugasnya dengan baik dan/atau melanggar keten­tu­
an perundang-undangan yang berlaku.
5. Dijatuhi hukuman pidana oleh pengadilan yang telah mempunyai kekuat­
an hukum tetap.

Mauquf (Harta yang Diwakafkan)


Syarat-syarat yang berkaitan dengan harta yang diwakafkan ialah harta yang
ber­nilai, milik wakif, dan tahan lama untuk digunakan. Harta wakaf juga
bisa berupa uang yang dimodalkan, seperti saham, yang harus di­ke­lola se­
maksi­mal mungkin sehingga mendapatkan kemas­lahat­an atau ke­untung­an
bagi orang banyak.
Dalam pasal 16 Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, harta
benda yang bisa diwakafkan, antara lain:
1. Benda bergerak (harta yang tidak bisa habis karena dikonsumsi)
a. Uang.
b. Logam mulia.
c. Surat berharga.
d. Kendaraan.
e. Hak atas kekayaan intelektual.
f. Hak sewa.
g. Benda bergerak lain yang sesuai dengan ketentuan syariat dan per­
atur­an perundang-undangan yang berlaku.
2. Benda tidak bergerak
a. Hak atas tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undang­­­­
an yang berlaku, baik yang sudah maupun yang belum terdaftar.
b. Bangunan atau bagian bangunan yang berdiri di atas tanah, sebagai­
mana dimaksud pada huruf a.
124 Zakat dan Wakaf
c. Tanaman dan benda lain yang berkaitan dengan tanah.
d. Hak milik atas satuan rumah susun sesuai dengan ketentuan per­
aturan perundang-undangan yang berlaku.
e. Benda tidak bergerak lain yang sesuai dengan ketentuan syariat
dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Mauqul’alaih (Tujuan Wakaf)


Tujuan wakaf (mauqul’alaih) harus sejalan (tidak bertentangan) dengan nilai-
nilai ibadah sebab wakaf merupakan salah satu amalan sedekah. Tuju­an
wakaf harus termasuk kategori ibadah atau sekurang-kurangnya meru­pa­­
kan perkara-perkara mudah menurut ajaran Islam, misalnya men­jadi sarana
ibadah. Harta wakaf yang diperuntukkan membangun tempat-tempat
ibadah umum, hendaklah ada badan yang menerimanya.

Shigat Waqf (Akad Wakaf)


Wakaf di-shigat-kan, baik dengan lisan, tulisan, maupun dengan isyarat.
Wakaf dinyatakan telah terjadi apabila ada pernyatan wakif (ijab), sedang­
kan kabul dari mauquf’alaih tidak diperlukan. Isyarat hanya boleh dilaku­
kan jika wakif tidak mampu melakukan lisan dan tulisan.
Akad wakaf harus dinyatakan secara tegas, baik lisan ataupun tulisan,
dengan redaksi “aku mewakafkan” atau “aku menahan” atau kalimat yang
semakna lainnya. Akad penting karena membawa implikasi gugurnya hak
kepe­milik­an wakif dan harta wakaf menjadi milik Allah atau milik umum yang
dimanfaatkan untuk kepentingan umum yang menjadi tujuan wakaf. Karena
itu, harta wakaf tidak bisa dihibahkan, diperjualbelikan, atau diwariskan.
Secara teknis, akad wakaf diatur dalam Pasal 1 ayat 1 PP No. 28 Tahun
1977 jo. Pasal 218 KHI:
1. Pihak yang mewakafkan tanahnya harus mengakad­kan kehendaknya
secara jelas dan tegas kepada nazir di hadapan pejabat pembuat akta
ikrar wakaf (PPIW), sebagaimana dimaksud pasal 9 ayat 2 yang kemudian
menuangkannya dalam bentuk akta ikrar wakaf (AIW) dengan disaksikan
oleh sekurang-kurangnya dua orang saksi.

Wakaf 125
2. Dalam keadaan tertentu, penyimpangan dari­pada ketentuan di­maksud
dalam ayat (1) dapat dilaksanakan setelah terlebih dahulu men­dapat
persetujuan Menteri Agama.

Adanya Jangka Waktu yang Terbatas


Dalam pasal 215 Komplikasi Hukum Islam, wakaf adalah perbuatan hukum
seseorang atau kelompok orang atau badan hukum yang memisahkan
sebagian dari benda miliknya dan melembagakan untuk selama-lamanya
guna kepentingan ibadah atau keperluan umum lainnya, sesuai dengan
ajaran Islam. Berdasarkan pasal tersebut, wakaf sementara adalah tidak sah.
Sementara itu, dalam pasal 1 Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 tentang
Wakaf dinyatakan bahwa wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk me­
misah­kan dan/atau menyerah­kan sebagian harta benda miliknya untuk
diman­faat­­­kan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu, sesuai dengan
kepentingannya, guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum
menurut syariat. Berdasar­kan pasal tersebut, wakaf sementara diper­boleh­
kan asal­kan sesuai dengan kepentingan.

SYARAT DAN KETENTUAN WAKAF


Ada beberapa syarat dan ketentuan mengenai wakaf agar wakaf tersebut
bisa dikatakan sah atau telah terjadi pewakafan. Berikut adalah syarat-syarat
wakaf, antara lain:
1. Wakaf tidak dibatasi dengan waktu tertentu sebab perbuatan wakaf
ber­laku untuk selamanya. Bila seseorang mewakafkan kebun untuk
jangka waktu 10 tahun, misalnya, wakaf tersebut dinyatakan gagal.
2. Tujuan wakaf harus jelas, misalnya mewakafkan sebidang tanah untuk
masjid, musala, pesantren, perkuburan (makam), dan sebagai­nya. Bila
seseorang mewakafkan sesuatu kepada lembaga hukum atau orga­­
nisasi tanpa menyebut tujuannya, hal itu dipandang sah sebab peng­­­
guna­­­­­­­­an harta wakaf tersebut menjadi wewenang lembaga hukum atau
organisasi yang menerima harta wakaf tersebut.
3. Wakaf harus segera dilaksanakan setelah dinyatakan oleh yang me­wakaf­
kan, tanpa digantungkan pada peristiwa yang akan terjadi pada masa

126 Zakat dan Wakaf


yang akan datang sebab pernyataan wakaf berakibat lepasnya hak milik
bagi yang mewakafkan. Bila wakaf digantungkan dengan kematian, yang
mewakafkan bertalian dengan wasiat, bukan bertalian dengan wakaf.
Dalam pelaksanaan seperti ini, berlakulah ketentuan yang bertalian
dengan wasiat.
4. Wakaf merupakan perkara yang wajib dilaksanakan tanpa adanya hak
khiyar atau membatalkan atau melangsungkan wakaf yang telah dinyata­
kan sebab pernyataan wakaf berlaku seketika dan untuk selamanya.
Menurut Ahmad Azhar Basyir, berdasarkan hadis dari Umar ra. yang
berisi tentang wakaf, diperoleh ketentuan-ketentuan sebagai berikut:
1. Harta wakaf harus tetap, artinya harta wakaf tidak dapat dipindahkan ke­
pada orang lain, baik diperjualbelikan, dihibahkan, maupun diwariskan.
2. Harta wakaf terlepas dari pemilikan orang yang mewakafkannya.
3. Tujuan wakaf harus jelas, terang, dan termasuk perbuatan baik me­nurut
ajaran Islam.
4. Harta wakaf dapat dikuasakan kepada pengawas yang memiliki hak ikut
serta dalam harta wakaf, sekadar perlu dan tidak berlebihan.
5. Harta wakaf dapat berupa tanah dan sebagainya, yang tahan lama serta
tidak musnah sekali digunakan.

MACAM-MACAM WAKAF
Ada beberapa macam wakaf yang dilihat berdasarkan tujuan, batasan waktu,
dan penggunaan barangnya.

Wakaf Berdasarkan Tujuan


Wakaf berdasarkan tujuannya bisa dibagi menjadi tiga, yaitu:
1. Wakaf sosial (khairi)
Wakaf yang bertujuan untuk kepentingan umum, bukan ditujukan ke­
pada orang-orang tertentu. Wakaf khairi benar-benar sejalan dengan
amal­­an wakaf yang amat digembirakan dalam ajaran Islam, yang di­nya­
ta­­­­­­kan pahalanya akan terus mengalir hingga wakif meninggal, selama
harta masih dapat diambil manfaatnya. Dalam wakaf khairi, wakif

Wakaf 127
mempunyai hak penuh untuk menentukan kepada siapa wakaf itu akan
diberikan, apakah untuk anaknya, cucunya, fakir miskin, atau diberikan
untuk tempat ibadah, bahkan bisa saja untuk dirinya sendiri.
Mengenai wakaf untuk dirinya sendiri, ulama berbeda penda­pat
dalam memandangnya. Abu Yusuf, dari golongan Hanafi, memper­boleh­­
kan wakaf untuk dirinya sendiri dan mensyaratkannya bahwa hasilnya
untuk dirinya sendiri selama wakif tersebut masih hidup. Akan tetapi,
menurut Muhammad, yang juga dari golongan Hanafi, tidak mem­boleh­
kan wakaf untuk dirinya sendiri karena berten­tangan dengan tujuan
pokok amalan wakaf. Bila dalam pengikrarannya wakaf kepada diri
sendiri disertakan dalam syaratnya, perwakafannya batal. Malik juga
berpendapat sama dengan Muhammad bahwa tidak memperbolehkan
wakaf untuk dirinya sendiri, tetapi syarat ini tidak membatalkan amalan
wakaf bila disertai dengan orang lain.
Mayoritas ulama Syafi’iah juga tidak mem­per­boleh­kan syarat per­
wakafan untuk dirinya sendiri karena akan membatalkan per­wakaf­an
harta benda wakaf yang akan diwakafkan.
2. Wakaf ahli (dzurri)
Wakaf yang bertujuan untuk memberi manfaat kepada wakif, keluar­
ga­­nya, keturunannya, dan orang-orang tertentu, tanpa melihat kaya
atau miskin, sakit atau sehat, tua atau muda. Seperti telah kita ketahui,
sedekah terbaik adalah sedekah kepada kerabat/keluarga. Misalnya,
seseorang mewakafkan buku-buku yang ada di perpustakaan pribadi­nya
untuk keturunannya yang mampu menggunakannya. Wakaf semacam
ini dipandang sah dan yang berhak menikmati harta wakaf adalah orang-
orang yang ditunjuk dalam pernyataan wakaf. Wakaf ahli terkadang juga
disebut wakaf ‘alal aulad, yaitu wakaf yang diper­untuk­kan kepentingan
kalangan keluarga sendiri dan kerabat.
Wakaf untuk keluarga secara hukum Islam dibenar­kan ber­dasarkan
hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Anas bin
Malik tentang adanya wakaf keluarga Abu Thalhah kepada kaum dan
kerabatnya.

128 Zakat dan Wakaf


Dari Ishaq bin Abdullah bin Abu Thalhah bahwa ia mendengar Anas
bin Malik berkata; “Abu Thalhah adalah orang Anshar yang terkaya di Madinah.
Dan harta yang paling disukainya ialah sebuah kebun yang diberi nama Bairaha
yang letaknya berhadapan dengan masjid. Rasulullah Saw. pernah masuk ke
taman itu dan meminum air yang terdapat di dalamnya yang ternyata manis.
Kata Anas selanjutnya; Ketika turun ayat; ‘Sekali-kali kamu tidak akan mencapai
kebaikan (yang sempurna) sehingga kamu menafkahkan sebagian hartamu yang
kamu cintai’. Maka Abu Thalhah pergi menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam seraya berkata, ‘Sesungguhnya Allah telah berfirman di dalam kitab-
Nya, ‘Sekali-kali kamu tidak akan mencapai kebaikan (yang sempurna) sehingga
kamu menafkahkan sebagian hartamu yang kamu cintai’. Maka hartaku yang
paling aku cintai adalah Bairaha. Mulai saat ini aku sedekahkan karena Allah,
yang mana aku mengharapkan pahala dan tabungan di sisi Allah. Karena itu,
manfaatkanlah taman itu sesuai dengan keinginan Anda wahai Rasulullah’”.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

“...Bagus, harta yang betul-betul menguntungkan. Harta yang betul-betul


meng­untungkan. Aku telah mendengar apa yang kamu ucapkan mengenai
harta itu. Namun, aku berpendapat sebaiknya kebun tersebut kamu bagikan
kepada familimu yang terdekat”. Lalu Abu Thalhah membagi-bagikan
taman­nya kepada famili-familinya yang dekat, termasuk anak-anak
paman­­nya (HR. Bukhari, Muslim, Ahmad, Malik, dan Darimi).
Pada perkembangan selanjutnya, wakaf ahli untuk saat ini dianggap
kurang memberikan manfaat bagi kesejahteraan umum karena sering
menimbulkan kekaburan dalam pengelolaan dan pemanfaatan wakaf
oleh keluarga yang diserahi harta wakaf. Di beberapa negara tertentu,
seperti Mesir, Turki, Maroko, dan Aljazair, wakaf untuk keluarga (ahli)
telah dihapuskan karena pertimbangan dari berbagai segi, salah satunya
karena tanah-tanah wakaf dinilai tidak produktif.1
1 Majalah Pembimbing, No. 13/1977; Asaf AA Fyzee, 1966.

Wakaf 129
Dalam pandangan Ahmad Azhar Basyir, keberadaan jenis wakaf
ahli sudah selayaknya ditinjau kembali untuk dihapus.
3. Wakaf gabungan (musytarak)
Wakaf yang bertujuan untuk kepentingan umum dan keluarga secara
ber­samaan. Termasuk wakaf gabungan, di antaranya wakaf untuk pem­
binaan anak-anak, seperti penyediaan susu untuk anak-anak bagi keluar­
ga yang membutuh­kan; wakaf penyediaan obat-obatan untuk penyakit
anak-anak; wakaf pembinaan perempuan, terutama bagi perempuan-
perempuan yang berasal dari kalangan yatim piatu atau perempuan yang
disakiti suaminya dan kabur dari rumahnya agar ditampung di asrama.

Wakaf Berdasarkan Batasan Waktu


Wakaf berdasarkan batasan waktu bisa dibagi menjadi dua, yaitu wakaf abadi
dan wakaf sementara.
1. Wakaf abadi, yaitu barang yang diwakafkan bersifat abadi, seperti tanah
dan tanah beserta bangunan, atau barang bergerak yang ditentu­kan
oleh wakif sebagai wakaf abadi dan produktif yang sebagi­an hasilnya
disalurkan sesuai tujuan wakaf, sedangkan sisanya untuk biaya perawatan
wakaf dan mengganti kerusakannya.
2. Wakaf sementara, yaitu barang yang diwakaf­kan berupa barang yang
mudah rusak ketika dipergunakan tanpa memberi syarat untuk meng­
ganti bagian yang rusak. Wakaf sementara juga bisa dikarenakan ke­ingin­
an wakif yang memberi batasan waktu ketika mewakafkan barang­nya.2

Wakaf Berdasarkan Penggunaannya


Berdasarkan penggunaannya, wakaf dibagi menjadi dua macam, yaitu:
1. Wakaf langsung, yaitu wakaf yang pokok barangnya digunakan untuk
men­­­capai tujuannya, seperti masjid untuk salat, sekolah untuk kegiatan bel­
ajar mengajar, rumah sakit untuk mengobati orang sakit, dan sebagai­nya.
2. Wakaf produktif, yaitu wakaf yang pokok barangnya digunakan untuk
kegiatan produksi dan hasilnya diberikan sesuai dengan tujuan wakaf.
2 Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, (Lebanon: Dar al-’Arabi, 1971).

130 Zakat dan Wakaf


OBJEK WAKAF
Objek wakaf adalah segala benda, baik bergerak atau tidak bergerak, yang
memiliki daya tahan yang tidak hanya sekali pakai dan bernilai menurut
ajaran Islam.3 Objek wakaf harus merupakan benda milik yang bebas segala
pem­bebanan, ikatan, sitaan, dan sengketa.4 Objek wakaf hanya bisa diwakaf­
kan bila dimiliki dan dikuasai oleh wakif secara sah.5
Dalam pasal 16 Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf,
objek yang bisa diwakafkan, antara lain:
1. Benda bergerak (harta yang tidak bisa habis karena dikonsumsi), seperti
uang, logam mulia, saham, kendaraan, hak atas kekayaan intelek­tual,
dan hak sewa.
2. Benda tidak bergerak, seperti tanah, bangunan, atau bagian bangunan
yang berdiri di atas tanah, tanaman, dan rumah.

Wakaf Uang
Wakaf benda bergerak berupa uang diatur secara khusus dalam Undang-
Undang No. 41 Tahun 2004. Ketentuan mengenai wakaf uang adalah:
1. Wakif boleh mewakafkan uang melalui lembaga keuangan syariah yang
ditunjuk oleh menteri.
2. Wakaf uang yang dilaksanakan oleh wakif dengan pernyataan kehendak
wakif dilakukan secara tertulis.
3. Wakaf diterbitkan dalam bentuk sertifikat wakaf uang.
4. Sertifikat wakaf uang diterbitkan dan disampaikan oleh lembaga keuang­an
syariah kepada wakif dan nazir sebagai bukti penyerahan harta dengan wakaf.
5. Lembaga keungan syariah atas nama nazir men­daftar­kan harta benda
wakaf berupa uang kepada menteri selambat-lambatnya 7 hari kerja sejak
di­terbit­­kan­nya sertifikat wakaf uang.

3 Pasal 215 ayat (4) KHI.


4 Pasal 217 ayat (3) KHI.
5 Pasal 15 jo. Pasal 1 angka 2 UU Wakaf.

Wakaf 131
Ketentuan mengenai wakaf uang:
1. Jenis harta yang diserahkan wakif dalam wakaf uang adalah uang
dalam valuta rupiah. Oleh karena itu, uang yang akan diwakafkan harus
dikonver­si­kan terlebih dahulu ke dalam rupiah jika masih dalam bentuk
valuta asing.
2. Wakaf uang dilakukan melalui Lembaga Keuangan Syariah yang ditinjau
oleh Menteri Agama sebagai LKS Penerima Wakaf Uang (LKS-PWU).
Adapun aturan teknis yang menyangkut wakaf uang adalah:
1. Wakif wajib hadir di Lembaga Keuangan Syariah sebagai penerima wakaf
uang (LKS-PWU) untuk menyatakan kehendak wakaf uangnya. Bila
berhalangan, wakif bisa menunjuk wakil atau kuasanya.
2. Wakif wajib menjelaskan kepemilikan dan asal-usul uang yang akan
diwakafkan.
3. Wakif wajib menyerahkan secara tunai sejumlah uang ke LKS-PWU.
4. Wakif wajib mengisi formulir pernyataan kehendaknya yang ber­fungsi
sebagai AIW.
Wakaf uang dapat dilakukan dalam jangka tertentu (mu’aqqad). Uang
yang diwakafkan harus dijadikan modal usaha (ra’s al-mal) sehingga secara
hukum tidak habis sekali pakai, dan yang disedekahkan adalah hasil dari
usaha yang dilakukan oleh nazir atau pengelola.
Wakaf uang dapat dilakukan secara mutlak dan secara terbatas (muqo­
yyad). Wakaf uang secara mutlak dan terbatas dapat dilihat dari segi usaha
yang dilakukan oleh nazir (bebas melakukan berbagai jenis usaha yang halal
atau terbatas pada jenis usaha tertentu), dan dari segi penerima man­faatnya
(ditentukan atau tidak ditentukan pihak-pihak yang berhak menerima
manfaat wakaf).
Wakaf uang pada dasarnya mendorong bank syariah untuk menjadi
nazir yang profesional. Pihak bank sebagai penerima titipan harta wakaf
dapat menginvestasikan uang tersebut pada sektor-sektor usaha halal
yang menghasilkan manfaat. Pihak bank, sebagai nazir, berhak mendapat
imbalan maksimal 10% dari keuntungan yang diperoleh.

132 Zakat dan Wakaf


Dana wakaf berupa uang dapat diinvestasikan pada aset-aset finan­
sial (financial asset) dan pada aset-aset riil (real asset). Investasi pada aset-
aset finansial dilakukan di pasar modal, misalnya berupa saham, obligasi,
warram, dan opsi. Sedangkan investasi pada aset-aset riil dapat berbentuk,
antara lain pembelian aset produktif, pendirian pabrik, pembukaan per­
tambangan, dan perkebunan.

Wakaf Saham
Objek wakaf yang diatur dalam peraturan perundang-undangan setelah uang
adalah saham. Saham adalah tanda penyertaan modal pada suatu per­seroan
terbatas. Manfaat saham adalah (1) dividen, yaitu bagian dari keuntungan
per­usahaan yang dibagikan kepada pemilik saham; (2) capital gain, yaitu
ke­untungan yang diperoleh dari selisih jual dengan harga belinya; dan (3)
manfaat nonmateriel, yaitu timbulnya kekuasaan atau mem­peroleh hak suara
dalam menentukan jalannya per­usahaan.
Dari segi pencantuman nama pemiliknya, saham dibedakan menjadi
dua, (1) saham atas nama, yaitu saham yang mencantumkan nama pe­me­
gang atas pemiliknya; (2) saham atas unjuk, yaitu saham yang tidak men­
can­tum­kan nama pemegang atau pemilik. Saham atas nama lebih mudah
untuk dijadikan objek wakaf sebab wakif (pihak yang mewakafkan saham)
harus diketahui identitasnya dan dicantum­kan dalam Akta Ikrar Wakaf.
Wakaf saham tidak perlu dipersoal­k an karena dapat dijadikan objek
wakaf. Pemilik saham dapat men­daftar­kan wakaf saham kepada Lembaga
Keuangan Syariah Penerima Wakaf Uang (LKS-PWU). Di samping itu,
wakaf saham perlu melibatkan tranfer agent, registrat, dan clearing agent.
Wakaf saham memerlukan institusi yang bekerja secara profesional
yang bertugas mengelola saham-saham wakaf. Institusi tersebut bisa
berupa perusahaan pengelola dana wakaf atau reksa dana syariah (Islamic
invesment fund) agar saham yang diwakafkan dapat mendatangkan man­
faat yang maksimal. Perusahaan pengelola dana wakaf berkedudukan
sebagai nazir yang berhak mendapat imbalan yang layak.
Dari segi pihak yang berhak menerima manfaat wakaf (mauqul lahu),
wakaf dapat dilakukan secara mutlak (penerima manfaat wakaf saham

Wakaf 133
tidak ditentukan secara spesifik) dan secara terbatas (muqoyyad) (penerima
manfaat wakaf saham ditentukan secara pasti).
Aspek ekonomi bisnis dari wakaf saham adalah diterimanya dividen.
Saham adalah objek wakaf, sedangkan dividen adalah manfaat wakaf.
Hanya saja, saham yang menjadi objek wakaf harus diinvestasikan pada
bidang-bidang usaha yang halal dan terhindar dari riba. Oleh karena itu,
institusi yang lebih tepat untuk mengelola wakaf saham adalah reksa dana
syariah (Islamic invesment fund).

Wakaf Tanah
Menurut Boedi Harsono (2003: 45), perwakafan tanah hak milik merupa­
kan suatu perbuatan hukum yang suci, mulia, dan terpuji yang dilakukan
oleh seseorang atau badan hukum dengan memisahkan sebagian dari
harta kekayaannya yang berupa tanah hak milik dan melembagakannya
untuk selama-lamanya menjadi wakaf sosial.
Dasar hukum perwakafan tanah milik pada Pasal 49 ayat 3 UU No. 5
Tahun 1960 tentang Peratuan Dasar Pokok-Pokok Agararia menentukan
bahwa perwakaf­an tanah milik dilindungi dan diatur dengan PP No. 28
Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik.
Unsur-Unsur Perwakafan Tanah
Tanah yang diwakafkan adalah tanah hak milik atau tanah milik yang bebas
dari segala pembebanan, ikatan, sitaan, atau perkara. Perwakafan tanah milik
harus dilakukan atas kehendak sendiri dan tanpa paksaan dari pihak lain.
Selain manusia, badan hukum juga dapat melakukan perwakafan tanah
milik, tetapi hanya badan hukum tertentu yang menguasai tanah hak milik
yang dapat mewakafkan tanah miliknya. Badan hukum yang dimaksud adalah
bank pemerintah, lembaga keagamaan, dan badan sosial, sesuai dengan
ketentuan Pasal 8 ayat 1 huruf b Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan
Pertahanan Nasional No. 9 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemberian dan
Pembatalan Hak atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan.

134 Zakat dan Wakaf


Tata Cara Perwakafan Tanah
Wakif harus mengikrarkan kehendaknya secara jelas dan tegas kepada nazir
di hadapan Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW). PPAIW kemudian
menuangkan ikrar wakaf ke dalam Akta Ikrar Wakaf dengan disaksikan oleh
sekurang-kurangnya dua orang saksi. Dalam melaksana­kan ikrar wakaf,
wakif harus membawa dan menyerahkan surat-surat kepada PPAIAW
sebagai berikut:
1. Sertifikat hak milik atau tanda bukti pemilikan tanah lainnya.
2. Surat keterangan dari kepala desa yang diperkuat oleh kepala kecamat­
an setempat yang menerangkan kebenaran pemilikan tanah dan tidak
tersangkut suatu sengketa.
3. Surat keterangan pendaftaran tanah.
4. Izin dari bupati atau walikota melalui Kepala Subdirek­torat Agraria.
Selanjutnya, PPAIW atas nama nazir akan mengaju­kan permohonan
kepada bupati atau walikota melalui Kepala Subdirektorat Agraria untuk
men­daftar perwakafan tanah milik tersebut. Kemudian bupati atau wali­
kota melalui Kepada Subdirektorat Agraria akan mencatat perwakafan
tanah milik pada buku tanah dan sertifikatnya. Apabila tanah milik yang
diwakafkan belum mempunyai sertifikat, akan dibuatkan sertifikatnya
terlebih dahulu. Nazir kemudian mela­por­­kan selesainya perwakafan ke
Kantor Departemen Agama.
Perubahan Perwakafan Tanah
Pada prinsipnya, tanah milik yang telah diwakafkan tidak dapat dilakukan
perubahan terhadap peruntukan atau penggunaannya selain dari apa yang
telah ditentukan dalam ikrar wakaf. Namun, perubahan peruntukan atau
penggunaan tanah milik yang telah diwakafkan dapat dilakukan karena
beberapa sebab, antara lain:
1. Tidak sesuai dengan tujuan wakaf saat diikrarkan oleh wakif.
2. Kepentingan umum.
Perubahan peruntukan tanah wakaf harus mendapat persetujuan dari
Menteri Agama terlebih dahulu. Tanah wakaf tidak dapat dijadikan jaminan
utang karena sifat dan tujuan yang tidak dapat dipindahtangankan.

Wakaf 135
PENGALIHAN BENDA WAKAF
Memanfaatkan benda wakaf berarti menggunakan benda wakaf tersebut.
Benda asalnya/pokoknya tidak boleh dijual, dihibahkan, dan diwariskan.
Namun, jika suatu ketika benda wakaf itu sudah tidak ada manfaatnya atau
kurang memberi manfaat banyak atau demi kepentingan umum, kecuali
harus melakukan perubahan pada benda wakaf tersebut, seperti menjual,
mengubah bentuk/sifat, memindahkan ke tempat lain, atau menukar dengan
benda lain, boleh dilakukan perubahan terhadap benda wakaf tersebut.
Dalam pandangan fikih, para ulama berbeda pendapat. Sebagian mem­­­
boleh­kan dan sebagian yang lain melarangnya. Sebagian ulama Syafi’iah dan
Malikiah ber­pendapat, benda wakaf yang sudah tidak ber­fungsi tetap tidak
boleh dijual, ditukar, diganti, atau dipindahkan. Dasar wakaf bersifat abadi
sehingga dalam kondisi apa pun harus dibiar­kan sede­mi­kian rupa. Dasar
yang digunakan oleh mereka adalah hadis Nabi yang diri­wayat­kan oleh Ibnu
Umar yang mengatakan bahwa benda wakaf tidak boleh dijual, dihibahkan,
dan diwariskan.
Imam Ahmad Ibnu Hanbal, Abu Tsaur, dan Ibnu Taimiyah ber­pen­
dapat tentang bolehnya menjual, mengubah, mengganti, atau me­min­dah­­
kan benda wakaf yang sudah atau kurang berfungsi lagi; sudah tidak sesuai
dengan peruntukan yang dimaksud si wakif. Alasannya, supaya benda wakaf
tersebut bisa berfungsi atau mendatangkan maslahat sesuai dengan tujuan
wakaf, atau untuk mendapatkan maslahat yang lebih besar bagi kepenting­
an umum, khususnya kaum muslim.
Dalil atau argumentasi yang digunakan Imam Ahmad adalah ketika
‘Umar bin Khatab ra. memindahkan Masjid Kufah yang lama, kemudian di­
jadi­­kan pasar bagi penjual kurma. Hal tersebut merupakan penggantian
tanah masjid. ‘Umar dan ‘Utsman pernah membangun Masjid Nabawi tanpa
mengikuti konstruksi pertama dan melakukan tambahan serta per­luas­an.
Begitu pun yang terjadi pada Masjidil Haram, sebagaimana yang diriwayat­kan
oleh Bukhari Muslim, Rasulullah Saw. bersabda kepada ‘Aisyah ra.: “Seandainya
kaummu itu bukan masih dekat dengan Jahiliah, tentulah Kakbah itu akan aku
runtuhkan dan aku jadikan dalam bentuk rendah serta aku jadikan baginya dua pintu:
satu untuk masuk dan satu untuk keluar”.

136 Zakat dan Wakaf


Seandainya ada alasan yang kuat, tentu Rasulullah Saw. akan meng­
ubah bangunan Kakbah. Oleh karena itu, diperbolehkan mengubah bangun­an
wakaf dari satu bentuk ke bentuk lainnya demi kemaslahatan yang mendesak.
Ibnu Taimiyah membolehkan untuk mengubah atau mengalihkan wakaf
dengan dua syarat. Pertama, penggantian karena kebutuhan men­desak, seperti
kuda yang diwakafkan untuk perang. Bila tidak mungkin dimanfaatkan lagi
dalam peperangan, bisa dijual dan uangnya diperguna­kan untuk membeli
sesuatu yang bisa menggantikannya. Bila masjid rusak dan tidak mungkin
lagi digunakan atau diramaikan, tanahnya bisa dijual dan uangnya bisa diper­
guna­­kan untuk membeli sesuatu yang bisa meng­gantikannya. Semuanya
di­per­bolehkan karena bila yang pokok (asli) tidak mencapai maksud, bisa
di­gan­ti­kan oleh yang lainnya. Kedua, penggantian karena kepentingan dan
maslahat yang lebih kuat. Misalnya, ada masjid yang sudah tidak layak bagi
kaum muslim setempat. Masjid tersebut boleh dijual dan digunakan untuk
membangun masjid yang baru sehingga kaum muslim bisa menggunakan
dan memakmurkannya dengan maksimal.
Ibnu Qudamah, salah seorang pengikut mazhab Hambali, dalam kitab­
nya Al-Mughni mengatakan, apabila harta wakaf mengalami kerusak­an
hingga tidak bisa bermanfaat sesuai dengan tujuannya, hendaknya dijual saja,
kemudian harta penjualannya dibelikan barang lain yang akan mendatangkan
ke­manfaatan sesuai dengan tujuan wakaf, dan barang yang dibeli itu ber­
kedudukan sebagaimana harta wakaf seperti semula.
Abu Tsaur dan ulama-ulama lainnya, seperti Abu ‘Ubaid bin Haebawaih,
seorang hakim Mesir, membolehkan mengganti harta yang di­wakaf­­kan
untuk diproduksikan, seperti wakaf rumah, kedai, kebun, atau kampung
yang produksinya kecil, dengan yang lebih baik dan bermanfaat. Hal tersebut
merupakan qiyas dari ucapan Ahmad tentang pemindahan masjid dari
satu tanah ke tanah yang lain karena adanya maslahat (kebaik­an). Bahkan
diperbolehkan menggantikan satu masjid dengan yang bukan masjid karena
suatu maslahat, misalnya dijadikan pasar. Akan tetapi, di antara sahabat-
sahabat Nabi ada yang melarang menggantikan masjid, hadiah, dan tanah
yang diwakafkan.

Wakaf 137
Dalam Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf juga meng­
atur tentang perubahan dan pengalihan harta wakaf yang sudah dianggap
tidak atau kurang berfungsi, sebagaimana maksud wakaf itu sendiri. Secara
prinsip, harta benda wakaf yang sudah diwakafkan dilarang untuk dijadikan
jaminan, disita, dihibahkan, dijual, diwariskan, ditukar, dan dialihkan dalam
bentuk pengalihan hak lainnya.
Ketentuan tersebut dikecualikan bila harta benda wakaf yang telah di­
wakaf­kan digunakan untuk kepentingan umum, sesuai dengan rencana umum
tata ruang (RUTR), berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undang­an
yang berlaku dan tidak bertentangan dengan syariat. Pelaksanaan keten­tu­an
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan setelah mem­
peroleh izin tertulis dari menteri atas persetujuan Badan Wakaf Indonesia.
Harta benda wakaf yang sudah diubah statusnya karena ketentuan
penge­­cualian tersebut wajib ditukar dengan harta benda yang manfaat dan
nilai tukar sekurang-kurangnya sama dengan harta benda wakaf semula.
Dengan demikian, perubahan dan/atau pengalihan benda wakaf pada prinsip­
nya bisa dilakukan selama memenuhi syarat-syarat ter­tentu dan dengan
meng­ajukan alasan-alasan sebagaimana yang telah ditentukan oleh undang-
undang yang berlaku. Ketatnya prosedur per­ubah­an dan/atau pengalihan
benda wakaf bertujuan untuk memini­mali­sasi penyimpangan peruntukan
dan menjaga keutuhan harta wakaf agar tidak terjadi tindakan-tindakan yang
dapat merugikan eksistensi wakaf itu sendiri.6

Hal-Hal yang Memengaruhi Pengalihan Wakaf


Terdapat beberapa hal yang memengaruhi pengalihan benda wakaf, antara lain:
1. Kondisi-kondisi penggantian
Menurut Imam Hanafiah, penggantian yang dimaksud ada tiga macam.
Pertama, wakif mensyaratkan untuk dirinya atau orang lain, atau dirinya
dan orang lain, yakni mengganti barang wakaf dengan tanah lain atau
mensyaratkan untuk menjualnya. Penggantian tersebut boleh menurut
pendapat yang shahih. Hasil penjualan dibelikan tanah lain jika wakif
menginginkan.
6 Departemen Agama RI. Fiqih Wakaf. (Jakarta. 2006), hlm. 79-84.

138 Zakat dan Wakaf


Kedua, wakif tidak mensyaratkannya. Dia mensyaratkan tidak ada
penggantian atau diam. Namun, barang wakaf menjadi tidak bisa diman­­­­
faat­kan sama sekali, artinya tidak bisa didapatkan apa-apa dari barang
wakaf itu, atau tidak terpenuhi pembiayaannya. Ini juga boleh menurut
pendapat yang paling shahih, jika berdasarkan izin hakim. Pendapat
hakim dalam hal ini adalah pertimbangan kemaslahatan di dalamnya.
Ketiga, wakif juga tidak mensyarat­kannya. Namun, secara umum
ada manfaat di dalamnya. Menggantinya adalah lebih baik dari segi
hasil dan biaya. Menurut pendapat yang paling shahih dan terpilih tidak
boleh diganti.
2. Syarat-syarat penggantian
Jika wakaf berupa pekarangan selain masjid, pendapat yang dipegang
adalah hakim boleh menggantinya karena darurat tanpa melihat syarat-
syarat yang diberikan wakif, tetapi dengan enam syarat:
a. Barang yang diwakafkan tidak bisa dimanfaatkan sama sekali.
Artinya, menjadi tidak bermanfaat.
b. Tidak ada hasil wakaf yang bisa digunakan untuk mem­per­baikinya.
c. Penjualannya tidak dengan penipuan yang keji.
d. Hendaklah orang yang mengganti adalah hakim yang saleh, yaitu
orang yang mempunyai ilmu dan amal, supaya penggantian itu
tidak menyebabkan batalnya wakaf-wakaf orang muslim.
e. Yang diganti adalah pekarangan, bukan dirham dan dinar, supaya
tidak dimakan oleh para pengawas. Sebab sedikit sekali peng­awas
yang membelinya sebagai ganti. Sebagian ulama yang lain mem­
boleh­kan penggantian dalam bentuk uang, selama yang meng­
ganti adalah hakim yang saleh.
f. Hendaklah hakim tidak menjualnya kepada orang yang yang tidak
terima kesaksiannya, tidak pula orang yang sedang mem­punyai
utang karena dikhawatirkan ada kecurigaan dan pilih kasih.
Jika syarat-syarat tersebut tidak terpenuhi, penjualan wakaf menjadi
batal, bukan rusak. Jika penjualan penguasa sah, pewakafan barang yang
dijual batal. Sementara, sisanya tetap seperti sedia kala.

Wakaf 139
Pengalihan Benda Wakaf Perspektif Mazhab
1. Mazhab Maliki
Malikiah menyebutkan ada tiga macam benda wakaf yang boleh dan
tidak boleh dijual. Pertama, masjid. Masjid sama sekali tidak boleh dijual
ber­dasar­kan ijma ulama. Kedua, pekarangan. Pekarangan tidak boleh
dijual meskipun rusak dan tidak boleh diganti dengan barang lainnya
dari barang sejenis, seperti mengganti dengan sejenisnya yang tidak
rusak. Dalam satu kasus dikecualikan, yakni penjualan pekarangan
yang diwakafkan karena pekarangan itu dibutuhkan untuk memperluas
masjid atau jalan. Ketiga, barang dagangan dan hewan, seperti kuda
sudah tua, pakaian usang yang tidak bisa dimanfaatkan lagi. Barang
wakaf tersebut boleh dijual dan hasil penjualannya diberikan untuk
barang yang sejenis. Jika hasil penjualan tidak cukup untuk mem­beli
barang utuh (seperti barang wakaf), hasil penjualan itu diguna­­­kan untuk
membeli satu bagian dari barang itu.
2. Mazhab Syafi’i
a. Jika masjid roboh atau rusak, salat di masjid tersebut menjadi
terputus (tidak dapat digunakan salat lagi) dan pengembaliannya ke
kondisi semula sulit, atau tidak bisa digunakan sama sekali karena
negeri itu porak poranda. Masjid tidak menjadi milik siapa pun,
dan tidak boleh dikelola sama sekali dengan bentuk jual-beli, atau
sebagainya. Sebab kepemilikan yang telah hilang karena menjadi
hak Allah. Kepemilikan tersebut tidak bisa kembali menjadi milik
sese­orang karena adanya kerusakan. Misalnya, jika seseorang me­
merdeka­kan budak kemudian sakit menahun, budak itu tidak lagi
menjadi milik mantan tuannya. Pengelolaan hasil wakaf tersebut
adalah dengan mewakafkannya pada masjid terdekat jika masjid itu
tidak bisa diharapkan pengembalian dalam fungsinya semula.
b. Pendapat yang paling shahih adalah kebolehan menjual pagar masjid
yang diwakafkan jika pagar itu rusak. Demikian juga batangnya, jika
telah pecah dan tidak layak, kecuali dibakar, supaya tidak sia-sia dan
tempat dalam masjid menjadi sempit tanpa faedah. Harga pagar

140 Zakat dan Wakaf


yang kembali kepada wakaf adalah lebih baik daripadanya penyia-
nyiaannya. Penghilangannya tidak masuk dalam maksud penjualan
barang wakaf sebab ia masuk dalam hukum barang yang tidak ada.
Hasil penjualan diberikan untuk kemaslahatan masjid. Jika barang-
barang itu pantas untuk diperlakukan selain dibakar, seperti papan
dan pintunya bisa dipakai, tidak boleh dijual sama sekali.
3. Mazhab Hanabillah
a. Jika wakaf roboh dan manfaatnya hilang, seperti rumah yang roboh
atau tanah rusak dan kembali mati (tidak bisa digarap) dan tidak
mungkin diperbaiki, atau masjid sudah ditinggalkan oleh penduduk
desa dan menjadi tempat yang tidak digunakan untuk salat atau
sudah sempit menampung warga dan tidak mungkin diperluas, atau
semuanya sudah tercerai-berai dan tidak mungkin diperbaiki tidak
pula sebagian dari barang wakaf tersebut, kecuali dengan menjual
sebagian, yang sebagian itu boleh dijual untuk perbaikan bagian yang
lain. Jika tidak mungkin mengambil manfaat sedikit pun dari barang
wakaf, semua barang wakaf itu boleh dijual.
b. Jika wakaf dijual, apa pun yang dibelikan dengan harga penjualannya
dan bisa dikembalikan kepada penerima wakaf, hukumnya boleh,
baik dari jenis barang wakaf atau jenis lain. Maksudnya adalah man­
faat bukan jenis. Manfaat barang wakaf diberikan untuk ke­maslahat­
an yang menjadi prioritas. Sebab tidak boleh mengubah penerima
wakaf, sementara ada kemungkinan untuk menjaganya. Tidak boleh
mengubah wakaf dengan dijual, sementara ada kemung­kin­an untuk
memanfaatkannya.
c. Jika harga kuda wakaf tidak cukup untuk membeli kuda lain, se­
bagi­an dari harga jual itu dibentukkan barang. Sebab maksud dari
wakaf adalah melanggengkan manfaat wakaf dan menjaganya dari
penyia-nyiaan.
d. Jika kemaslahatan wakaf secara umum tidak rusak, tetapi sedikit
yang tidak berfungsi, sementara yang lain lebih ber­manfaat dan
lebih banyak faedahnya pada penerima wakaf, tidak boleh dijual.

Wakaf 141
Sebab hukum asalnya adalah keharaman penjualan wakaf. Wakaf
hanya boleh dijual dalam keadaan darurat demi menjaga tujuan
wakaf yang sesungguhnya. Jika suatu wakaf hanya memiliki sedikit
manfaat sampai pada batas tidak bisa disebut manfaat, keberadaan
manfaat seperti tidak ada.
e. Tidak boleh memindahkan masjid, mengganti atau menjual hala­
man­­nya, menjadikannya tempat perairan, kedai-kedai, kecuali jika
sulit untuk memanfaatkannya dalam tujuan semula.
f. Pagar masjid yang berlebih, juga hiasannya, padahal tidak dibutuh­
kan, boleh dijadikan (dipindahkan) ke masjid lain, atau disedekahkan
kepada orang-orang fakir tetangga masjid dan sebagainya. Demikian
juga jika ada kelebihan dari tiang atau sedikit dari reruntuhannya.7

PENDAYAGUNAAN BENDA WAKAF


Pendayaguaan wakaf merupakan suatu usaha dalam mengoptimalisasikan
suatu benda bergerak atau tidak bergerak dalam pengelolaan secara produktif
dengan efektif dan efisien dalam tujuan untuk kemaslahatan masyarakat
banyak/umat Islam.
Melihat fakta rill bahwasannya wakaf dilandasi adanya peran peme­rin­tah
pada UU No. 41 Tahun 2004, sebagai pembinaan dan pengem­bang di­bentuk­
lah Badan Wakaf Indonesia (BWI) sebagai suatu badan independen yang
memiliki tugas mengembangkan perwakafan nasional di Indonesia.8 Dengan
adanya badan otonom tersebut, merupakan perwujudan menjalankan fungsi
dan tujuan UU No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf.
Pengelolaan dan pendayagunaan wakaf memiliki fungsi serta tujuan
untuk mengembangkan pengelolaan wakaf secara produktif, tetapi tetap
dijalankan sesuai prinsip syariat. Selain itu, dibangun juga kemitraan pada
bidang-bidang yang bisa mengembangkan wakaf secara produktif. Dalam
pengembanganya, wakaf juga dilakukan melalui investasi, penanaman modal,
produksi, kemitraan, perdagangan, agrobisnis, pertambangan, perindustrian,

7 Wahbah Al-Zuhayli. Fiqih Islam Wa Adillatuhu. (Jakarta: Darul Fikir, 2011). hlm. 325-330.
8 Rachmadi Usman. Hukum Perwakafan di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), hlm. 132.

142 Zakat dan Wakaf


pasar swalayan, pertokoan, sarana pendidikan, atau sarana kesehatan dan
usaha-usaha yang tidak bertentangan dengan syariat.9

PENUNJANGAN DAN PENGAWASAN NAZIR


Beban dan tanggung jawab seorang nazir sangatlah berat. Harus ada peran
pemerintah dalam mengambil atau menyeleksi seorang nazir secara selektif,
misalnya sekolah formal yang memiliki jurusan pertanian yang diharapkan
bisa berkompeten karena memiliki dasar dalam mengelola agraria. Dibutuh­
kan tenaga khusus yang bergerak pada bidang masing-masing yang sesuai
dengan kebutuhan dari berbagai sektor, seperti seorang teknisi, seorang
yang menggeluti bidang perkantoran, ataupun seseorang yang mengeluti
bidang bisnis, asalkan tidak bertolak belakang dengan syariat.
Dalam mengimplentasikan UU No. 41 Tahun 2004, keberadaan nazir
menjadi sangat strategis karena berhubungan langsung dengan benda wakaf
dan masyarakat sebagai pengguna benda wakaf. Jika perlu, lakukan sertifikasi
nazir, sebagaimana sertifikasi amil zakat. Benahi kemampuan sumber daya
manusia yang duduk dalam lembaga kenaziran karena lembaga kenaziran
memiliki peran sentral dalam pengelolaan harta wakaf secara umum.10
Badan Wakaf Indonesia (BWI) harus membina agar seorang nazir bisa
lebih bertanggung jawab, bahkan bekerja profesional. Nazir berhak mem­
peroleh pembinaan dari menteri yang bertanggung jawab, meliputi:
1. Penyiapan sarana dan prasarana penunjang operasional nazir wakaf, baik
perseorangan, organisasi, maupun badan hukum.
2. Penyusunan regulasi, pemberian motivasi, pemberian fasilitas, pengor­
dinasian, pemberdayaan, dan pengem­bang­an terhadap benda wakaf.
3. Penyedian fasilitas proses sertifikasi wakaf.
4. Penyiapan dan pengadaan blangko-blangko akta ikrar wakaf, baik
wakaf benda tidak bergerak maupun benda bergerak.
5. Penyuluhan di daerah kepada nazir sesuai ruang lingkupnya.

9 Ibid. hlm. 134.


10 Direktorat Pemberdayaan Wakaf, Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam,
Fikih Wakaf, (Jakarta: Departemen RI, 2006), hlm. 104.

Wakaf 143
6. Pemberian fasilitas masuknya dana-dana wakaf dari dalam dan luar
negeri dalam pengembangan serta pemberdayaan wakaf.
Pembinaan nazir dimaksudkan wajib sekurang-kurang­nya satu tahun
sekali dengan tujuan peningkatan etika dan moralitas dalam pengelola­
an wakaf serta untuk peningkatan profesionalitas pengelolaan dana wakaf.
Dalam pembinaan ini, BWI bekerja sama dengan pihak ketiga, yang dilakukan
dalam bentuk penelitian, pelatihan, seminar, maupun kegiat­an yang lainnya
dalam mendukung peningkatan kinerja.11 Kemudian peng­awasan terhadap
perwakafan dilakukan pemerintahan dan masyrakat, baik aktif maupun pasif.
Pengawasan aktif juga dilakukan sekurang-kurang satu tahun sekali dalam
pemeriksaan secara langsung terhadap nazir atas pengelolaan wakaf.

DIMENSI EKONOMI WAKAF


Dewasa ini, muncul pemikiran untuk menggerakkan roda perekonomian me­
lalui penambahan dana dari luar sistem negara, antara lain melalui pengem­­
bang­an wakaf secara produktif, yakni dengan cara memberdaya­kan aset
ekonomi masyarakat yang ada dalam harta wakaf. Harta wakaf perlu di­kelola
secara produktif agar menghasilkan peluang bagi terbuka­nya sektor strategis
yang menguntungkan, seperti membuka lapangan kerja baru dan pengelolaan
pelayanan publik yang meringankan beban ekonomi masyarakat.
Dengan melakukan wakaf, seseorang telah memindah­kan harta dari
upaya konsumsi menuju reproduksi dan investasi dalam bentuk modal
pro­duk­tif yang dapat mem­produksi serta menghasilkan sesuatu yang bisa
dikon­sumsi pada masa-masa yang akan datang, baik oleh pribadi maupun
kelom­pok. Dengan demikian, wakaf merupakan kegiatan saving (simpanan)
dan investasi secara bersamaan. Kegiatan ini mencakup kegiatan menahan
harta wakaf, baik secara langsung maupun setelah berubah menjadi barang
konsumsi, sehingga tidak dikonsumsi saat itu. Pada saat yang bersamaan,
ia mengubah pengelolaan harta menjadi investasi yang bertujuan untuk
mening­kat­kan jumlah harta produktif.

11 Rachmadi Usman. Hukum Perwakafan di Indonesia (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), hlm. 138.

144 Zakat dan Wakaf


Jadi, wakaf merupakan kegiatan yang mengandung unsur investasi
masa depan dan mengembangkan harta produktif untuk generasi yang akan
datang sesuai dengan tujuan wakaf, baik berupa manfaat, pelayanan, serta
pe­man­faat­an hasilnya. Wakaf dapat menjadi saham dan bagian atau unit
dana investasi. Sistem wadi’ah untuk tujuan investasi di bank-bank Islam
merupa­kan bentuk wakaf modern yang penting.
Wakaf seperti ini dapat memberi gambaran tentang visi dimensi ekonomi
wakaf Islam, sebagaimana yang telah dipraktikkan para sahabat, seperti wakaf
sumur Raumah oleh Utsman bin Affan dan wakaf tanah perkebunan Khaibar
oleh Umar bin Khattab pada masa Nabi Muhammad, disusul dengan wakaf
tanah, pepohonan, serta bangunan oleh para sahabat lainnya. Paradigma wakaf
seperti itu juga telah dinyatakan oleh para imam mazhab pada abad ke-2 dan
ke-3 dalam beberapa kajian studi dan uraian fikih mereka.
Secara ekonomi, wakaf Islam adalah membangun harta produktif melalui
kegiatan investasi dan produksi saat ini, untuk dimanfaatkan hasil bagi
pada masa yang akan datang. Wakaf mengorbankan kepentingan kon­sum­­si
sekarang demi tercapainya pengembangan harta produktif yang berorientasi
sosial, dan hasilnya akan dirasa­kan secara bersama oleh masyarakat.
Wakaf menjadi solusi bagi pengembangan harta produkt­if di tengah-
tengah masyarakat dan solusi dari kese­rakah­an pribadi dan kesewenang-
wenang­an negara. Wakaf secara khusus dapat membantu kegiatan masya­
rakat umum sebagai bentuk kepedulian terhadap umat, dan generasi yang
akan datang.
Pandangan Islam terhadap praktik wakaf sosial telah berlangsung
lama, sepanjang sejarah Islam, bahkan bentuk dan tujuannya berkembang
pesat. Wajar jika jumlah wakaf Islam banyak dan menyebar di seluruh
negara berpenduduk mayoritas muslim yang dapat memacu angka per­
tum­buhan ekonomi.

WAKAF MENURUT PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN


Menurut Kompilasi Hukum Islam pasal 215 ayat (1), wakaf adalah perbuatan
hukum seseorang atau sebuah kelompok orang atau badan hukum yang

Wakaf 145
memisahkan sebagian dari benda miliknya dan melembagakannya untuk
selama-selamanya guna kepentingan ibadah/keperluan umum lainnya yang
sesuai dengan ajaran Islam.12
Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977, wakaf adalah
per­­buatan hukum seseorang atau badan hukum yang memisah­kan sebagi­­an
dari harta kekayaan yang berupa tanah milik dan melembagakan­nya untuk
selama-lamanya untuk kepantingan peribadatan atau keperluan umum
lainnya sesuai dengan ajaran agama Islam.
Menurut UU No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf pasal 1 ayat (1), wakaf
adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau menyerah­kan
sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selama jangka waktu
tertentu, sesuai dengan kepentingan, guna keperluan ibadah atau kesejahtera­
an umum menurut syariat.

Regulasi Perwakafan
Sepanjang sejarah Islam, wakaf merupakan sarana dan modal yang amat
penting dalam memajukan perkembangan agama. Aturan wakaf di Indonesia
sudah ada sejak zaman Hindia Belanda. Pada 1905, secara administratif
peraturan tanah wakaf mulai dibuat berdasarkan surat edaran, antara lain:
1. Suarat Edaran Sekretaris Gubernement (SESG) 31 Januari 1905 (Bijblaad
1905 Nomor 6.169) tentang perintah kepada bupati untuk membuat
daftar suatu wakaf.
2. SESG 4 April 1931 (Bijblaad Nomor 12.573) sebagai pengganti Bijblaad
sebelumnya yang berisi perintah kepada bupati untuk meminta ketua
pengadilan agama mendaftar tanah wakaf.
3. SESG 24 Oktober 1934 tentang wewenang bupati untuk menyelesaikan
sengketa wakaf.
4. SESG 27 Mei 1935 tentang cara perwakafan.13
Sebelum lahir UU No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, perwakafan di
Indonesia diatur dalam PP No. 28 Tahun 1997 tentang Perwakafan Tanah Milik
12 Kompilasi Hukum Islam Pasal 215 ayat (1).
13 Imam Suhadi, Hukum Wakaf di Indonesia, (Yogyakarta: Dua Dimensi, 1985), hlm. 32.

146 Zakat dan Wakaf


dan sedikit terlindungi dalam UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok Agraria. Namun, peraturan perundangan tersebut hanya mengatur
benda-benda wakaf tidak bergerak dan peruntukannya lebih banyak untuk
ke­pen­ting­an ibadah mahdhah, seperti masjid, musala, pesantren, kuburan,
dan lain-lain.
Dikarenakan keterbatasan cakupannya, peraturan per­undang­an per­
wakafan diregulasi agar perwakafan dapat diberdayakan dan dikem­bang­kan
secara lebih produktif. Regulasi peraturan perundangan per­wakaf­an tersebut
berupa UU No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf dan Peraturan Pemerintah
No. 42 Tahun 2006 tentang pelaksanaannya. Kedua peraturan perundangan
tersebut memiliki urgensi, yaitu selain untuk kepentingan ibadah mahdhah,
juga menekankan perlu­nya pemberdayaan wakaf secara produktif untuk
kepentingan sosial (kesejahteraan umat).
Regulasi peraturan perundangan perwakafan tersebut14 telah lama di­
dambakan dan dinantikan oleh masyarakat kita, khususnya umat Islam.
Masalah tersebut telah menjadi problem yang cukup lama karena belum ada
UU yang secara khusus tentang wakaf sehingga perwakafan di negeri kita
kurang berkembang secara optimal. Pengelolaan wakaf secara produktif
untuk kesejahteraan masyarakat menjadi tuntutan yang tidak bisa dihindari
lagi. Apalagi pada saat negeri kita sedang mengalami krisis ekonomi yang
memerlukan partisipasi banyak pihak. Oleh karena itu, sudah selayaknya umat
Islam khususnya, dan masyarakat Indonesia pada umumnya, mengapresiasi
peraturan per­undang­an perwakafan secara positif. Hadirnya regulasi ter­sebut
merupakan penyempurnaan dari beberapa peraturan perundangan wakaf
yang sudah ada dengan menambahkan hal-hal baru sebagai upaya pember­
dayaan wakaf secara produktif dan profesional.
Dasar hukum perwakafan di Indonesia diatur dalam berbagai per­
aturan perundang-undangan, antara lain:
1. Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960.
2. Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perincian Ter­
hadap Cara Perwakafan.
14 Achmad Djunaidi dan Thobieb Al-Asyhar, Menuju Era Wakaf Produktif, (Depok: Mumtaz
Publishing, 2007) hlm. 89.

Wakaf 147
3. Peraturan Menteri Agama Nomor 1 Tahun 1978 tentang Perincian Terhadap
PP No. 28 Tahun 1977 tentang Tata Cara Perwakafan Tanah Milik.
4. Instruksi Bersama Menteri Agama Republik Indonesia dan Kepala Badan
Pertanahan Nasional Nomor 4 Tahun 1990, Nomor 24 Tahun 1990 tentang
Sertifikasi Tanah.
5. Badan Pertanahan Nasional Nomor 630.1-2782 tentang Pelaksanaan
Penyertifikatan Tanah Wakaf.
6. Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 Kompilasi Hukum Islam KHI.
7. Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf.
8. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 42 Tahun 2006 tentang
Pelaksanaan Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf.15
Peraturan perundangan perwakafan (UU dan PP Wakaf) tersebut
memiliki substansi, antara lain: Pertama, benda yang diwakafkan (mauquh
bih). Dalam per­aturan perundangan wakaf sebelumnya hanya menyangkut
perwakafan benda tidak bergerak yang lebih banyak diperguna­kan untuk
kepentingan yang tidak produktif, seperti masjid, madrasah, yayasan yatim
piatu, pesantren, sekolah, dan lain-lain. Selain itu, UU dan PP wakaf juga
mengatur benda wakaf yang bergerak, seperti uang (cash waqf), saham,
surat-surat berharga lainnya, dan hak intelektual. Tentu saja ini merupakan
terobosan yang cukup signifikan dalam dunia perwakafan karena wakaf
seperti uang, saham, atau surat berharga lainnya merupakan variabel penting
dalam pengembangan ekonomi.
Wakaf uang, saham, atau surat berharga lainnya, sebagaimana diatur
dalam UU Wakaf, bukan untuk dibelanjakan secara konsumtif, seperti ke­
khawatir­an sebagian orang. Pemanfaatan secara konsumtif berarti menya­
lahi konsep dasar wakaf karena esensinya adalah agar wakaf uang, saham,
atau surat berharga lainnya yang diamanatkan kepada nazir dapat dikelola
secara produktif sehingga manfaatnya dapat digunakan untuk kepentingan
kesejahteraan masyarakat banyak.16

15 Ibid. hlm. 33.


16 Ibid. hlm. 90.

148 Zakat dan Wakaf


Kedua, persyaratan nazir (pengelola harta wakaf). Ada beberapa hal yang
diatur dalam UU dan PP Wakaf mengenai nazir, yaitu:
1. Selain perseorangan, terdapat penekanan berupa badan hukum dan
organisasi sehingga dengan menekankan bentuk badan hukum atau
organisasi diharapakan dapat meningkatkan peran-peran kenaziran
untuk mengelola wakaf secara lebih baik.
2. Persyaratan nazir disempurnakan dengan pem­benah­an menajemen
kenaziran secara profesional, seperti amanah, memiliki pengetahuan
mengenai wakaf, berpengalaman di bidang manajemen keuangan,
dan kecakapan yang diperlukan untuk menjalan­kan tugas nazir.
3. Pembatasan masa jabatan nazir. Per­undangan sebelumnya tidak meng­
atur masa kerja nazir. Dalam PP Wakaf, masa jabatan nazir men­jadi poin
penting agar nazir bisa dipantau kinerjanya melalui tahapan-tahapan
periodik untuk menghindari penye­lewengan dan/atau pengabaian tugas-
tugas kenaziran.
4. Nazir dapat menerima hak pengelolaan sebesar maksimal 10% dari
hasil bersih pengelolaan dan pengembangan benda wakaf agar nazir
wakaf tidak sekadar dijadikan pekerjaan sambilan yang hanya dijalani
seadanya, tetapi benar-benar mau dan mampu menjalankan tugasnya
sehingga mereka patut diberi­kan hak-hak yang pantas, sebagaimana
mereka kerja di dalam dunia profesional.
Ketiga, menekankan pentingnya pembentukan sebuah lembaga wakaf
nasional yang disebut Badan Wakaf Indonesia (BWI). Badan wakaf ini
bersifat independen yang bertujuan untuk membina nazir dalam mengelola
dan mengembangkan harta benda wakaf, baik secara nasional maupun
internasional. BWI kelak akan menduduki peran kunci, selain berfungsi
sebagai nazir, juga berfungsi sebagai pembina nazir sehingga harta benda
wakaf dapat dikelola dan dikembangkan secara produktif.
Keempat, menekankan pentingnya pemberdayaan harta benda wakaf
yang menjadi ciri utama UU dan PP Wakaf. Aspek pemberdayaan dan
pengembangan benda wakaf selama ini memang terlihat belum optimal yang
disebabkan oleh banyak hal, antara lain paham konservatisme umat Islam

Wakaf 149
mengenai wakaf, khususnya yang berkaitan dengan harta benda wakaf tidak
bergerak. UU dan PP Wakaf menekankan pentingnya pemberdayaan dan
pengembangan benda-benda wakaf yang mempunyai potensi ekonomi tinggi
untuk kesejahteraan masyarakat banyak.
Kelima, catatan penting dalam UU dan PP Wakaf adalah adanya keten­tuan
pidana dan sanksi administrasi. Ketentuan pidana yang dimaksud ditujukan
kepada para pihak yang dengan sengaja menyalah­gunakan benda wakaf
dengan ancaman pidana penjara paling lama lima tahun dan/atau pidana
denda paling banyak Rp500.000.000,00, sedangkan bagi pihak yang dengan
sengaja mengubah peruntukan benda wakaf akan dipidana penjara paling
lama empat tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp400.000.000,00.
Sanksi administrasi akan dikenakan kepada lembaga keuangan syariah dan
pejabat pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW) yang melanggar dalam masalah
pendaftaran benda wakaf. Ketentuan pidana dan sanksi administrasi merupa­
kan terobosan yang cukup penting dalam rangka mengamankan benda-benda
wakaf dari tangan-tangan yang tidak bertanggung jawab dan bertujuan untuk
memberikan efek jera bagi yang telah melakukan pelanggaran hukum.17
Dengan adanya UU dan PP Wakaf tersebut, yang memiliki semangat
pem­­­­­berdayaan benda-benda wakaf secara produktif, diharapakan dapat ter­
cipta kehidupan masyarakat yang lebih adil dan sejahtera. Namun, regulasi
peraturan perundang-undangan di bidang keuangan dan per­eko­nomi­an
(khususnya perekonomian berbasis syariat) harus juga segera dilaku­kan untuk
mendukung semangat UU dan PP Wakaf dalam rangka mem­ber­dayakan
wakaf secara produktif.

Pembentukan Badan Wakaf


Badan Wakaf Indonesia (BWI) merupakan badan yang dibentuk peme­rin­­
tah Republik Indonesia berdasarkan amanat Undang-Undang No. 41 Tahun
2004 tentang Wakaf. Badan ini secara spesifik bertugas mengem­bang­­kan
pengelola­an sehingga menghasilkan manfaat wakaf yang dapat menye­jah­
terakan umat.18
17 Ibid. hlm. 91-93.
18 Suwardi K. Lubis, Wakaf dan Pemberdayaan Umat, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010). hlm. 32.

150 Zakat dan Wakaf


Wakaf yang selama ini peruntukannya hanya bersifat konsumtif dan
di­ke­lola secara tradisional, sudah saatnya dikelola secara produktif. Ber­
syukur­­lah kita karena saat ini pengelolaan wakaf secara produktif sudah
diatur dalam Undang Undang No. 41 Tahun 2004 tentang Pengelola­an Wakaf
dan Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2006 tentang Pelaksana­an Undang-
Undang No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf. Untuk memajukan dan mengem­
bangkan perwakafan nasional, diamanatkan perlunya di­bentuk Badan Wakaf
Indonesia (BWI). Dalam pasal 48 dinyatakan bahwa Badan Wakaf Indonesia
ber­kedudukan di ibu kota Negara Kesatuan Republik Indonesia dan dapat
membentuk perwakilan di provinsi dan/atau kabupaten atau kota sesuai
dengan kebutuhan.
Dalam pasal 49 disebutkan BWI mempunyai tugas dan wewenang, di
antaranya:
1. Melakukan pembinaan terhadap nazir dalam mengelola dan mengem­
bang­kan harta benda wakaf.
2. Melakukan pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf ber­
skala nasional serta internasional.
3. Memberikan persetujuan dan/atau izin atas perubahan peruntukan
dan status harta benda wakaf.
4. Memberhentikan dan mengganti nazir.
5. Memberikan persetujuan atas penukaran harta benda wakaf.
6. Memberikan saran dan pertimbangan kepada pemerintah dalam penyu­
sunan kebijakan di bidang perwakafan. Dalam ayat 2 pasal yang sama
menyebut­kan bahwa dalam melaksanakan tugasnya, Badan Wakaf
Indonesia dapat bekerja sama dengan instansi pemerintah, baik pusat
maupun daerah, organisasi masyarakat, para ahli, badan internasional,
dan pihak lain yang dianggap perlu.

Pelaksanaan Perwakafan Menurut Undang-Undang No. 41


Tahun 2004 dan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977
Wakaf harus dilaksanakan seusai dengan syariat Islam serta ketentuan-
ketentuan hukum dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang

Wakaf 151
Wakaf dan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan
Tanah Milik. Dalam Pasal 17 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang
Wakaf dan Pasal 5 Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang
Perwakafan Tanah Milik, menentukan setiap pihak yang akan mewakafkan
tanah­­­­nya harus menyatakan kehendaknya untuk mewakafkan tanah (me­
nyam­­pai­kan ikrar wakaf) kepada nazir di hadapan Pejabat Pembuat Akta Ikrar
Wakaf (PPAIW), dan selanjutnya setelah dibuat Akta Ikrar Wakafnya berdasar­
kan ketentuan Pasal 32 Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf
dan Pasal 10 Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan
Tanah Milik, Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW) ber­­­kewajiban untuk
mendaftarkan tanah wakaf tersebut kepada Badan Pertanahan Nasional
setempat untuk diterbikan sertifikat tanah wakafnya. Pen­ting­­­­nya pendaftaran
tanah wakaf guna mendapatkan sertifikat tanah wakaf adalah untuk kepastian
hukum dari tanah wakaf tersebut. Jika telah memiliki sertifikat tanah wakaf,
tanah wakaf tersebut menjadi jelas status kepe­­milik­an­­­­nya, yakni untuk kepen­
ting­an masyarakat dan dilindungi oleh hukum.
Untuk dapat memberikan jaminan kepastian hukum status tanah
wakaf yang telah diwakafkan oleh wakif, tata cara pelaksanaan wakaf harus
memenuhi ketentuan Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang
Wakaf dan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan
Tanah Milik.
Dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, Pasal
17 menentukan bahwa:
1. Ikrar wakaf dilaksanakan oleh wakif kepada nazir di hadapan Pejabat
Pem­buat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW) dengan disaksikan oleh dua orang
saksi.19
2. Ikrar wakaf, sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dinyatakan secara lisan
dan/atau tulisan serta dituang­kan dalam akta ikrar wakaf oleh Pejabat
Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW).

19 Imam Suhadi, Hukum Wakaf di Indonesia, (Yogyakarta: Dua Diemnsi, 1985). hlm. 37.

152 Zakat dan Wakaf


Dengan demikian, Undang-Undang Nomor 41 tentang Wakaf me­waji­
b­kan nazir membawa wakif di hadapan Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf
(PPAIW) untuk melaksana­kan ikrar wakaf yang selanjutnya oleh Pejabat
Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW) dibuatkan Akta Ikrar Wakaf (AIW) atas
tanah dimaksud.
Lebih lanjut, dalam Pasal 5 Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun
1977 tentang Perwakafan Tanah milik, ditentukan bahwa:
1. Pihak yang mewakafkan tanah harus mengikrarkan kehendaknya se­
cara jelas dan tegas kepada nazir di hadapan Pejabat Pembuat Akta Ikrar
Wakaf, sebagai­mana dimaksud pasal 9 ayat (2) yang kemudian me­
nuang­kan­nya dalam bentuk Akta Ikrar Wakaf, dengan disaksikan oleh
sekurang-kurangnya dua orang saksi.
2. Dalam keadaan tertentu, penyimpangan dari ke­tentuan dimaksud dalam
ayat (1) dapat dilaksanakan setelah terlebih dahulu mendapat per­setujuan
Menteri Agama.
Ditegaskan lebih lanjut dalam Pasal 10 Peraturan Pemerintah Nomor
28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah milik, menentukan:
1. Setelah Akta Ikrar Wakaf dilaksanakan sesuai dengan ketentuan ayat (4)
dan (5) Pasal 9, Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf atas nama nazir yang
ber­sangkutan diharuskan mengajukan permohonan kepada bupati/wali­
kota kepala daerah Cq.Kepala Sub.Direktorat Agraria setempat untuk
mendaftarkan perwakafan tanah milik yang bersangkutan menurut
ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997.
2. Bupati/walikota kepala daerah Cq.Kepala Sub. Direktorat Agraria se­
tempat, setelah menerima per­mohon­an tersebut dalam ayat (1) men­
catat perwakafan tanah milik yang bersangkutan pada buku tanah dan
sertifikatnya.
3. Jika tanah milik yang diwakafkan belum mempunyai sertifikat, pen­
catat­an yang dimaksudkan dalam ayat (2) dilakukan setelah tanah ter­
sebut dibuat­kan sertifikatnya.
4. Oleh Menteri Dalam Negeri diatur tata cara pencatatan perwakafan yang
dimaksud dalam ayat (2) dan (3).

Wakaf 153
5. Setelah dilakukan pencatatan perwakafan tanah milik dalam buku tanah
dan sertifikatnya. seperti dimaksud­kan dalam ayat (2) dan (3), nazir
yang bersangkutan wajib melaporkannya kepada pejabat yang ditunjuk
Menteri Agraria.
Berdasarkan ketentuan Pasal 10 Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun
1977 tentang Perwakafan Tanah milik, dapat dinyatakan bahwa Pejabat Pem­
buat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW) diwajibkan untuk mendaftar­kan tanah wakaf
kepada Badan Pertanahan setempat guna mem­peroleh sertifikat tanah wakaf.
Kesimpulannya, dengan adanya UU dan PP Wakaf tersebut yang me­
miliki semangat pemberdayaan benda-benda wakaf secara produktif, diharap­
kan dapat tercipta kehidupan masyarakat yang lebih adil dan sejahtera.

154 Zakat dan Wakaf

Anda mungkin juga menyukai