Makalah Vectore Borne Disease Kel 7
Makalah Vectore Borne Disease Kel 7
Makalah Vectore Borne Disease Kel 7
Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa. Atas rahmat dan hidayah-Nya, penulis
dapat menyelesaikan tugas makalah Penyakit yang Ditularkan Melalui Vektor (Vector Borne
Disease) dengan tepat waktu.
Makalah disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Epidemiologi Penyakit
Menular. Selain itu, makalah ini bertujuan menambah wawasan tentang Etiologi Penyakit
demam berdarah dengue, malaria, demam chikungunya, Masa Inkubasi dan penularan
demam berdarah dengue, malaria, demam chikungunya, Gejala, Tanda Penyakit serta
Diagnosis demam berdarah dengue, malaria, demam chikungunya, Pengobatan Penyakit
demam berdarah dengue, malaria, demam chikungunya, Faktor yang berhubungan dengan
terjadinya Penyakit demam berdarah dengue, malaria, demam chikungunya, Cara Pencegahan
demam berdarah dengue, malaria, demam chikungunya, Gambaran Epidemiologi Penyakit
demam berdarah dengue, malaria, demam chikungunya bagi para pembaca dan juga bagi
penulis.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibu Dr Dyan Kunthi Nugrahaeni, SKM,
MKM selaku Dosen Mata Kuliah Epidemiologi Penyakit Menular. Ucapan terima kasih juga
disampaikan kepada semua pihak yang telah membantu diselesaikannya makalah ini.
Penulis menyadari makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh sebab itu, saran dan
kritik yang membangun diharapkan demi kesempurnaan makalah ini.
DAFTAR ISI
2.1
2.2
2.3
2.4
BAB I
PENDAHULUAN
1.3 Tujuan
Tujuan Umum
Mengetahui Penyakit yang Ditularkan Melalui Vektor (Vector Borne Disease)
Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui etiologi penyakit DBD, Malaria dan Demam Chikungunya?
2. Untuk mengetahui masa inkubasi dan penularan DBD, Malaria dan Demam
Chikungunya?
3. Untuk mengetahui gejala dan tanda penyakit serta diagnosis DBD, Malaria dan
Demam Chikungunya?
4. Untuk mengetahui pegobatan DBD, Malaria dan Demam Chikungunya?
5. Untuk mengetahui faktor yang berhubungan dengan terjadinya penyakit DBD,
Malaria dan Demam Chikungunya?
6. Untuk mengetahui cara pencegahan DBD, Malaria dan Demam Chikungunya?
7. Untuk mengetahui gambaran epidemiologi penyakit DBD, Malaria dan Demam
Chikungunya?
3
BAB II
PEMBAHASAN
DBD (Demam Berdarah Dengue) adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh
virus dengue tipe 1-4, dengan manifestasi klinis demam mendadak 2-7 hari disertai
gejala perdarahan dengan atau tanpa syok, disertai pemeriksaan laboratorium
menunjukkan trombositopenia (trombosit kurang dari 100.000) dan peningkatan
hematokrit 20% atau lebih dari nilai normal
1. Etiologi
DBD (Demam Berdarah Dengue) adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh
virus dengue tipe 1-4, dengan manifestasi klinis demam mendadak 2-7 hari disertai
gejala perdarahan dengan atau tanpa syok, disertai pemeriksaan laboratorium
menunjukkan trombositopenia (trombosit kurang dari 100.000) dan peningkatan
hematokrit 20% atau lebih dari nilai normal
Perjalanan infeksi virus di dalam tubuh manusia sangat tergantung dari interaksi
antara kondisi imunologik dan umur seseorang. Oleh karena itu infeksi virus dengue
dapat tidak menunjukan gejala (asimptomatik) ataupun bermanifestasi klinis ringan
yaitu demam tanpa penyebab yang jelas, demam dengue (DD) dan bermanifestasi
berat dengan demam berdarah dengue (DBD) tanpa syok atau sindrom syok dengue
(SSD).1 Namun, untuk alasan praktis, infeksi dengue yang tidak berat (non-severe
dengue) dapat dikelompokkan ke dalam 2 kelompok yaitu pasien dengan warning
sign dan tanpa warning sign.
terjadi viremia selama 2 hari sebelum timbul gejala dan berakhir setelah lima hari
gejala panas mulai. Makrofag akan segera bereaksi dengan menangkap virus dan
memprosesnya sehingga makrofag menjadi APC (Antigen Presenting Cell).
Antigen yang menempel di makrofag ini akan mengaktifasi sel T-Helper dan
menarik makrofag lain untuk memfagosit lebih banyak virus. T-helper akan
mengaktifasi sel T-sitotoksik yang akan melisis makrofag yang sudah memfagosit
virus. Juga mengaktifkan sel B yang akan melepas antibodi. Ada 3 jenis antibodi
yang telah dikenali yaitu antibodi netralisasi, antibodi hemagglutinasi, antibodi
fiksasi komplemen.
Proses diatas menyebabkan terlepasnya mediator-mediator yang merangsang
terjadinya gejala sistemik seperti demam, nyeri sendi, otot, malaise dan gejala
lainnya. Dapat terjadi manifetasi perdarahan karena terjadi agregasi trombosit yang
menyebabkan trombositopenia, tetapi trombositopenia ini bersifat ringan.
Imunopatogenesis DBD dan DSS masih merupakan masalah yang kontroversial.
Dua teori yang digunakan untuk menjelaskan perubahan patogenesis pada DBD dan
DSS yaitu teori virulensi dan hipotesis infeksi sekunder (secondary heterologous
infection theory).
Teori virulensi dapat dihipotesiskan sebagai berikut: Virus dengue seperti juga
virus binatang yang lain, dapat mengalami perubahan genetik akibat tekanan
sewaktu virus mengadakan replikasi baik pada tubuh manusia maupun pada tubuh
nyamuk. Ekspresi fenotipik dari perubahan genetik dalam genom virus dapat
menyebabkan peningkatan replikasi virus dan viremia, peningkatan virulensi, dan
mempunyai potensi untuk menimbulkan wabah. Renjatan yang dapat menyebabkan
kematian terjadi sebagai akibat serotipe virus yang paling virulen.
Secara umum hipotesis secondary heterologous infection menjelaskan bahwa
jika terdapat antibodi yang spesifik terhadap jenis virus tertentu maka antibodi
tersebut dapat mencegah penyakit, tetapi sebaliknya apabila antibodi terdapat dalam
tubuh merupakan antibodi yang tidak dapat menetralisasi virus, justru dapat
menimbulkan penyakit yang berat. Antibodi heterolog yang telah ada sebelumnya
akan mengenai virus lain yang akan menginfeksi dan kemudian membentuk
kompleks antigen-antibodi yang akan berikatan dengan Fc reseptor dari membran
sel leukosit terutama makrofag. Dihipotesiskan juga mengenai antibody dependent
enhancement (ADE), suatu proses yang akan meningkatkan infeksi dan replikasi
6
virus dengue di dalam sel mononuklear. Sebagai respon terhadap infeksi tersebut,
terjadi sekresi mediator vasoaktif yang kemudian menyebabkan peningkatan
permeabilitas pembuluh darah, sehingga mengakibatkan keadaan hipovolemia dan
syok.
menyebabkan asidosis dan anoksia, yang dapat berakibat fatal, oleh karena itu
pengobatan syok sangat penting guna mencegah kematian.
1) Demam
Demam mendadak disertai dengan gejala yang tidak spesifik seperti anoreksia,
lemah, nyeri pada punggung, tulang sendi dan kepala.
2) Perdarahan
Perdarahan ini terjadi disemua organ. Bentuk perdarahan dapat hanya berupa
uji torniquet (Rumplee Leede) positif
3) Hepatomegali/Perbesaran Hati
Hati pada umumnya dapat diraba pada pemulaan demam, kadang-kadang juga
ditemukan nyeri, tetapi biasanya tanpa disertai ikterus.
4) Shock
Shock biasanya terjadi pada saat demam menurun yaitu hari ketiga dan
ketujuh sakit. Shock yang terjadi dalam periode demam biasanya mempunyai
prognosa buruk.
5) Trombositopenia
Trombositopenia adalah berkurangnya jumlah trombosit, apabila dibawah
100.000/mm³ darah. Biasanya ditemukan di antara hari ketiga sampai ketujuh
sakit.
6) Kenaikan Nilai Hematokrit (Hemokonsentrasi)
Meningkatnya nilai hematokrit merupakan indikator yang peka terhadap
terjadinya perembesan plasma (syok) sehingga perlu dilakukan pemeriksaan
secara periodik.
7) Gejala Klinik lain
Gejala klinik lain yang dapat menyertai penderita adalah epigastrium, muntah-
muntah, diare dan kejang-kejang (DepKes RI, 2012).
3.3 Spektrum Klinis dan Derajat Penyakit.
Perjalanan infeksi virus di dalam tubuh manusia sangat tergantung dari
interaksi antara kondisi imunologik dan umur seseorang. Oleh karena itu infeksi
virus dengue dapat tidak menunjukan gejala (asimptomatik) ataupun bermanifestasi
klinis ringan yaitu demam tanpa penyebab yang jelas, demam dengue (DD) dan
bermanifestasi berat dengan demam berdarah dengue (DBD) tanpa syok atau
sindrom syok dengue (SSD). Namun, untuk alasan praktis, infeksi dengue yang tidak
berat (non-severe dengue) dapat dikelompokkan ke dalam 2 kelompok yaitu pasien
dengan warning sign dan tanpa warning sign.
9
Gambar 5. Klasifikasi Infeksi Dengue dan Tingkat Keparahan DBD Menurut WHO 2011
3.4 Diagnosis
Penegakan diagnosis ini perlu dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
11
4. Pengobatan
Berdasarkan panduan WHO 2009, pasien dengan infeksi dengue dikelompokkan
ke dalam 3 kelompok yaitu Grup A, B, dan C.5 Pasien yang termasuk Grup A dapat
menjalani rawat jalan. Sedangkan pasien yang termasuk Grup B atau C harus
menjalani perawatan di rumah sakit. Sampai saat ini belum tersedia terapi antiviral
untuk infeksi dengue. Prinsip terapi bersifat simptomatis dan suportif.
a) Grup A
Yang termasuk Grup A adalah pasien yang tanpa disertai warning signs dan
mampu mempertahankan asupan oral cairan yang adekuat dan memproduksi urine
minimal sekali dalam 6 jam. Sebelum diputuskan rawat jalan, pemeriksaan darah
lengkap harus dilakukan. Pasien dengan hematokrit yang stabil dapat dipulangkan.
Terapi di rumah untuk pasien Grup A meliputi edukasi mengenai istirahat atau tirah
baring dan asupan cairan oral yang cukup, serta pemberian parasetamol. Pasien
14
beserta keluarganya harus diberikan KIE tentang warning signs secara jelas dan
diberikan instruksi agar secepatnya kembali ke rumah sakit jika timbul warning signs
selama perawatan di rumah.
b) Grup B
Yang termasuk Grup B meliputi pasien dengan warning signs dan pasien dengan
kondisi penyerta khusus (co-existing conditions). Pasien dengan kondisi penyerta
khusus seperti kehamilan, bayi, usia tua, diabetes mellitus, gagal ginjal atau dengan
indikasi sosial seperti tempat tinggal yang jauh dari RS atau tinggal sendiri harus
dirawat di rumah sakit. Jika pasien tidak mampu mentoleransi asupan cairan secara
oral dalam jumlah yang cukup, terapi cairan intravena dapat dimulai dengan
memberikan larutan NaCl 0,9% atau Ringer’s Lactate dengan kecepatan tetes
maintenance. Monitoring meliputi pola suhu, balans cairan (cairan masuk dan cairan
keluar), produksi urine, dan warning signs.
Tatalaksana pasien infeksi dengue dengan warning signs adalah sebagai berikut:
Mulai dengan pemberian larutan isotonic (NS atau RL) 5-7 ml/kg/jam selama
1-2 jam, kemudian kurangi kecepatan tetes menjadi 3-5 ml/kg/jam selama 2-4
jam, dan kemudian kurangi lagi menjadi 2-3 ml/kg/jam sesuai respons klinis.
Nilai kembali status klinis dan evaluasi nilai hematokrit. Jika hematokrit stabil
atau hanya meningkat sedikit, lanjutkan terapi cairan dengan kecepatan 2-3
ml/kg/jam selama 2-4 jam.
Jika terjadi perburukan tanda vital dan peningkatan cepat nilai HCT,
tingkatkan kecepatan tetes menjdai 5-10 ml/kg/jam selama 1-2 jam.
Nilai kembali status klinis, evaluasi nilai hematokrit dan evaluasi kecepatan
tetes infuse. Kurangi kecepatan tetes secara gradual ketika mendekati akhir
fase kritis yang diindikasikan oleh adanya produksi urine dan asupan cairan
yang adekuat dan nilai hematokrit di bawah nilai baseline.
Monitor tanda vital dan perfusi perifer (setiap 1-4 jam sampai pasien melewati
fase kritis), produksi urine, hematokrit (sebelum dan sesudah terapi pengganti
cairan, kemudian setiap 6-12 jam), gula darah, dan fungsi organ lainnya (profil
ginjal, hati, dan fungsi koagulasi sesuai indikasi).
15
c) Grup C
Yang termasuk Grup C adalah pasien dengan kebocoran plasma (plasma leakage)
berat yang menimbulkan syok dan/atau akumulasi cairan abnormal dengan distres
nafas, perdarahan berat, atau gangguan fungsi organ berat. Terapi terbagi menjadi
terapi syok terkompensasi (compensated shock) dan terapi syok hipotensif
(hypotensive shock).
Terapi cairan pada pasien dengan syok terkompensasi meliputi:
Mulai resusitasi dengan larutan kristaloid isotonik 5-10 ml/kg/jam selama 1
jam. Nilai kembali kondisi pasien, jika terdapat perbaikan, turunkan kecepatan
tetes secara gradual menjadi 5-7 ml/kg/jam selama 1-2 jam, kemudian 3-5
ml/kg/jam selama 2-4 jam, kemudian 2-3 ml/kg/jam selama 2-4 jam dan
selanjutnya sesuai status hemodinamik pasien. Terapi cairan intravena
dipertahankan selama 24-48 jam.
Jika pasien masih tidak stabil, cek nilai hematokrit setelah bolus cairan
pertama. Jika nilai hematorit meningkat atau masih tinggi (>50%), ulangi bolus
cairan kedua atau larutan kristaloid 10-20 ml/kg/jam selama 1 jam. Jika
membaik dengan bolus kedua, kurangi kecepatan tetes menjadi 7-10 ml/kg/jam
selama 1-2 jam dan lanjutkan pengurangan kecepatan tetes secara gradual
seperti dijelaskan pada poin sebelumnya.
Jika nilai hematokrit menurun, hal ini mengindikasikan adanya perdarahan dan
memerlukan transfusi darah (PRC atau whole blood).
Terapi cairan pada pasien dengan syok hipotensif meliputi:
Mulai dengan larutan kristaloid isotonik intravena 20 ml/kg/jam sebagai bolus
diberikan dalam 15 menit. Jika terdapat perbaikan, berikan cairan kristaloid
atau koloid 10 ml/kg/jam selama 1 jam, kemudian turunkan kecepatan tetes
secara gradual.
Jika tidak terdapat perbaikan atau pasien masih tidak stabil, evaluasi nilai
hematokrit sebelum bolus cairan. Jika hematokrit rendah (<40%), hal ini
menandakan adanya perdarahan, siapkan cross-match dan transfusi. Jika
hematokrit tinggi dibandingkan nilai basal, ganti cairan dengan cairan koloid
10-20 ml/kg/jam sebagai bolus kedua selama 30 menit sampai 1 jam, nilai
ulang setelah bolus kedua.
16
Jika pasien masih tidak stabil, evaluasi ulang nilai hematokrit setelah bolus
cairan kedua. Jika nilai hematokrit menurun, hal ini menandakan adanya
perdarahan. Jika hematokrit tetap tinggi atau bahkan meningkat (>50%),
lanjutkan infus koloid 10-20 ml/kg/jam sebagai bolus ketiga selama 1 jam,
kemudian kurangi menjadi 7-10 ml/kg/jam selama 1-2 jam, kemudian ganti
dengan cairan kristaloid dan kurangi kecepatan tetes.
Jika terdapat perdarahan, berikan 5-10 ml/kg/jam transfusi PRC segar atau 10-
20 ml/kg/jam whole blood segar.
2.2 Malaria
19
Malaria adalah suatu penyakit akut maupun kronik disebabkan oleh protozoa
genus Plasmodium dengan manifestasi berupa demam, anemia dan pembesaran limpa.
Sedangkan meurut ahli lain malaria merupakan suatu penyakit infeksi akut maupun
kronik yang disebakan oleh infeksi Plasmodium yang menyerang eritrosit dan ditandai
dengan ditemukannya bentuk aseksual dalam darah, dengan gejala demam, menggigil,
anemia, dan pembesaran limpa.
1. Etiologi
Ada 2 jenis makhluk yang berperan besar dalam penularan malaria yaitu parasit
malaria (yang disebut Plasmodium) dan nyamuk anopheles betina. Parasit malaria
memiliki siklus hidup yang kompleks, untuk kelangsungan hidupnya parasit tersebut
membutuhkan host (tempatnya menumpang hidup) baik pada manusia maupun
nyamuk, yaitu nyamuk anopheles. Ada empat jenis spesies parasit malaria di dunia
yang dapat menginfeksi sel darah merah manusia, yaitu:
1. Plasmodium falciparum
Menyebabkan malaria falsiparum (disebut juga malaria tropika), merupakan jenis
penyakit malaria yang terberat dan satu-satunya parasit malaria yang menimbulkan
penyakit mikrovaskular., karena dapat menyebabkan berbagai komplikasi berat seperti
cerebral malaria (malaria otak), anemia berat, syok, gagal ginjal akut, perdarahan, sesak
nafas, dll.
2. Plasmodium vivax
Menyebabkan malaria tertiana. Tanpa pengobatan: berakhir dalam 2 – 3 bulan. Relaps
50%dalam beberapa minggu – 5 tahun setelah penyakit awal.
3. Plasmodium malariae
Menyebabkan malaria quartana. Asimtomatis dalam waktu lama
4. Plasmodium ovale
Jenis ini jarang sekali dijumpai, umumnya banyak di Afrika dan Pasifik Barat. Lebih
ringan. Seringkali sembuh tanpa pengobatan. Seorang penderita dapat dihinggapi oleh
lebih dari satu jenis plasmodium. Infeksi demikian disebut infeksi campuran (mixed
infection). Biasanya campuran P.Falciparum dengan P.Vivax atau P.Malariae. Infeksi
campuran tiga jenis sekaligus jarang sekali terjadi. Infeksi jenis ini biasanya terjadi di
daerah yang tinggi angka penularannya. Malaria yang disebabkan oleh P.Vivax dan
P.Malariae dapat kambuh jika tidak diobati dengan baik. Malaria yang disebabkan oleh
20
spesies selain P.Falciparum jarang berakibat fatal, namun menurunkan kondisi tubuh;
lemah, menggigil dan demam yang biasanya berlangsung 10-14 hari
Nyamuk Anopheles terutama hidup di daerah tropik dan subtropik, namun bisa
juga hidup di daerah beriklim sedang dan bahkan di daerah Antarika. Anopheles jarang
ditemukan pada ketinggian 2000 – 2500 m, sebagian Anopheles ditemukan di dataran
rendah. Semua vektor tersebut hidup sesuai dengan kondisi ekologi setempat, antara
lain ada nyamuk yang hidup di air payau pada tingkat salinitas tertentu (An. sundaicus,
An. subpictus), ada yang hidup di sawah (An. aconitus), air bersih di pegunungan (An.
maculatus), genangan air yang terkena sinar matahari (An. punctulatus, An. farauti)
2. Masa Inkubasi dan Penularan
Masa inkubasi biasanya berlangsung 8-37 hari tergantung dari spesies parasit
(terpendek untuk P. falciparum dan terpanjanga untuk P. malariae), beratnya infeksi
dan pada pengobatan sebelumnya atau pada derajat resistensi hospes. Selain itu juga
cara infeksi yang mungkin disebabkan gigitan nyamuk atau secara induksi (misalnya
transfuse darah yang mengandung stadium aseksual). Parasit malaria yang ditularkan
melalui nyamuk kepada manusia adalah 12 hari untuk Plasmodium falciparum, 13-
17 hari untuk Plasmodium ovale dan vivax, dan 28-30 hari untuk Plasmodium
malariae (malaria kuartana).
Keluhan-keluhan prodromal dapat terjadi sebelum terjadinya demam, berupa:
malaise, lesu, sakit kepala, sakit tulang belakang, nyeri pada tulang dan otot,
anoreksia, perut tidak enak, diare ringan dan kadang-kadang merasa dingin di
punggung. Keluhan prodromal sering terjadi pada P. vivax dan P. ovale, sedangkan
P. falciparum dan P. malariae keluhan prodromal tidak jelas.
Nyamuk yang dapat menularkan malaria hanya nyamuk Anopheles betina.
Pada saat menggigit host terinfeksi (manusia yang terinfeksi malaria), nyamuk
Anopheles akan menghisap parasit malaria (plasmodium) bersamaan dengan darah,
sebab di dalam darah manusia yang telah terinfeksi malaria banyak terdapat parasit
malaria. Parasit malaria tersebut kemudian bereproduksi dalam tubuh nyamuk
Anopheles, dan pada saat menggigit manusia lain (yang tidak terinfeksi malaria),
maka parasit malaria masuk ketubuh korban bersamaan dengan air liur nyamuk.
Malaria pada manusia hanya dapat ditularkan oleh nyamuk betina anopheles. Dari
lebih 400 spesies anopheles di dunia, hanya sekitar 67 yang terbukti mengandung
sporozoit dan dapat menularkan malaria.
21
pertama kali menderita malaria. Di daerah endemik malaria dimana penderita telah
mempunyai kekebalan (imunitas) terhadap malaria, gejala klasik timbul tidak
berurutan, bahkan tidak selalu ada, dan seringkali bervariasi tergantung spesies
parasit dan imunitas penderita. Di daerah yang mempunyai tingkat penularan sangat
tinggi (hiperendemik) seringkali penderita tidak mengalami demam, tetapi dapat
muncul gejala lain, misalnya: diare dan pegal-pegal. Hal ini disebut sebagai gejala
malaria yang bersifat lokal spesifik
Gejala klasik (trias malaria) lebih sering dialami penderita malaria vivax,
sedangkan pada malaria falciparum, gejala menggigil dapat berlangsung berat atau
malah tidak ada. Diantara 2 periode demam terdapat periode tidak demam yang
berlangsung selama 12 jam pada malaria falciparum, 36 jam pada malaria vivax dan
ovale, dan 60 jam pada malaria malariae
Diagnosis
1. Pemeriksaan Fisik
a. Malaria Ringan
Demam (pengukuran dengan termometer ≥ 37,5°C), Konjungtiva atau telapak tangan
pucat, Pembesaran limpa (splenomegali), dan Pembesaran hati (hepatomegali).
b. Malaria Berat
Mortalitas: Hampir 100% tanpa pengobatan, Tatalaksana adekuat: 20%, Infeksi oleh
P. falciparum disertai dengan salah satu atau lebih kelainan yaitu Malaria serebral,
Gangguan status mental, Kejang multipel, Koma, Hipoglikemia: gula darah < 50
mg/dL, Distress pernafasan, Temperatur > 40oC, tidak responsif dengan
asetaminofen, Hipotensi, Oliguria atau anuria, Anemia dengan nilai hematokrit 1,5
mg/dL, Parasitemia > 5%, Bentuk Lanjut (tropozoit lanjut atau schizont) P.
falciparum pada apusan darah tepi, Hemoglobinuria, Perdarahan spontan, dan Kuning
2. Pemeriksaan Laboratorium
a. Pemeriksaan dengan mikroskop Pemeriksaan sediaan darah (SD) tebal dan tipis
untuk menentukan Ada tidaknya parasit malaria (positif atau negatif),Spesies dan
stadium plasmodium, Kepadatan parasite
b. Pemeriksaan dengan tes diagnostik cepat (Rapid Diagnostic Test), Mekanisme
kerja tes ini berdasarkan deteksi antigen parasit malaria, dengan menggunakan
metoda imunokromatografi, dalam bentuk dipstick
24
4. Pengobatan
Pengobatan malaria secara efektif dilakukan dengan pemberian ACT
(Artemicinin-based Combination Therapy) pada 24 jam pertama pasien panas dan
obat harus diminum habis. Pengobatan yang diberikan adalah pengobatan radikal
malaria dengan membunuh semua stadium parasit yang ada di dalam tubuh manusia.
Adapun tujuan pengobatan radikal untuk mendapat kesembuhan klinis dan
parasitologik serta memutuskan rantai penularan. Penanganan malaria dapat dilakukan
dengan pemberian obat antimalaria. Semua obat anti malaria tidak boleh diberikan
dalam keadaan perut kosong karena bersifat iritasi lambung, oleh sebab itu penderita
harus makan terlebih dahulu setiap akan minum obat anti malaria. Obat-obatan ini
perlu disesuaikan dengan jenis parasit penyebab malaria, tingkat keparahan, atau
riwayat area geografis yang pernah ditinggali penderita. Malaria harus segera
ditangani untuk mencegah risiko komplikasi yang berbahaya
7. Epidemilogi Penyakit
Malaria adalah penyakit menular yang disebabkan Plasmodium, yaitu mahluk
hidup bersel satu yang termasuk ke dalam protozoa. Malaria ditularkan melalui
gigitan nyamuk Anopheles Betina yang mengandung Plasmodium di dalamnya.
Plasmodium yang terbawa melalui gigitan nyamuk akan hidup dan berkembang biak
dalam sel darah merah manusia. Penyakit ini menyerang semua kelompok umur baik
26
1. Etiologi Penyakit
Penyakit chikungunya disebabkan oleh virus chikungunya. Virus ini termasuk
keluarga Togaviridae, genus Alphavirus atau “Group A” antropho borne viruses, vector
penular utamanya adalah Aedes Aegypty. Virus ini juga dapat diisolasi dari nyamuk
Aedes Africanus, Culex Fatigans, Culex Tritaeniorrhyncus, Aedes Albopictus dan
27
beberapa jenis spesies nyamuk tertentu di daerah Afrika juga yang ternyata dapat
menyebabkan virus Chikungunya.
4. Pengobatan
Pengobatan yang diberikan hanya terapi simtomatis, seperti obat penghilang rasa
sakit atau demam seperti paracetamol. Pemberian chloroquin yang sekaligus sebagai
antiviral, aspirin, naproxen, ibuprofen, dan golongan NSAID (Non Steroid Inflammatory
Drugs) juga cukup ampuh meringankan beberapa masalah sendi seperti mengatasi nyeri
dan menurunkan demam.
Vaksin untuk pencegahan dan obat pembasmi virus chikungunys belum ada
sehingga cara yang paling efektif adalah dengan pencegahan, tidak ada pengobatan yang
spesifik bagi penderita demam chiungunya, berikan waktu istirahat yang cukup, minum
dan makan yang bergizi, laporkan kepada puskesmas atau dinas kesehatn setempat jika
terdapat penderita demam chikungunya, isolasi atau hindari penderita dari kemungkinan
digigit nyamuk, agar tidak menyebar kepada orang lain.
cara mencegah penyakit ini adalah menghindari gigitan nyamuk pembawa virusnya.
Nyamuk ini, senang hidup dan berkembang biak di · genangan air bersih seperti bak
mandi, vas bunga, dan juga kaleng atau botol bekas yang menampung air bersih.
Mengingat penyebar penyakit ini adalah nyamuk Aedes aegypti maka cara terbaik untuk
memutus rantai penularan adalah dengan memberantas nyamuk tersebut. Menaburkan
larvas ida (bubuk Abate) secara teratur setiap minggu atau memelihara ikan pemakan
jentik pada kolam-kolam. Pembersihan lingkungan dari tempattempat perkembangbiakkan
nyamuk penular dan penggunaan kawat pelindung nyamuk di pintu danjendela juga
diperlukan. S~lain itu menggunakan pakaian lengan panjang dan celana panjang, serta
menggunakan gel anti nyamuk, cukup efektif mencegah gigitan nyamuk penular ini.
dari bahasa Swahili yang berarti "yang melengkung ke atas", yang merujuk kepada tubuh
yang membungkuk akibat gejala-gejala arthritis. Chikungunya disebabkan arbovirus dari
genus Alphavirus (famili Togaviridae). Manusia yang terinfeksi virus Chikungunya
umumnya mengalami demam mendadak, nyeri pada persendian, terutama pada sendi lutut,
pergelangan, jari kaki, tangan, tulang belakang, serta ruam pada kulit. Demam
chikungunhya ini terutama dijumpai di daerah tropis/subtropis dan sering menimbulkan
epidemi. Beberapa negara di Afrika dan Asia merupakan daerah endemis chikungunya dan
secara global, sebanyak 1,3 miliar orang yang tinggal di 94 negara diperkirakan berisiko
terinfeksi virus Chikungunya.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan penyakit yang ditularkan oleh nyamuk
Aedes aegypti. Infeksi DBD diakibatkan oleh virus dengue. Gejala DBD yaitu pendarahan
pada bagian hidung, gusi, mulut, sakit pada ulu hati terus menerus dan memar di kulit.
Nyamuk Ae. aegypti merupakan nyamuk yang memiliki perkembangan begitu cepat dan
menjadikan 390 juta orang yang terinfeksi setiap tahunnya. Di Indonesia DBD salah satu
masalah kesehatan masyarakat karena penderitanya tiap tahun semakin meningkat serta
penyebarannya yang begitu cepat. Penyakit DBD dapat ditularkan pada anak-anak yang
berusia kurang dari 15 tahun hingga pada orang dewasa.
Di Indonesia sampai saat ini penyakit malaria masih merupakan masalah Kesehatan
Masyarakat. Terutama di daerah Indonesia bagian timur. Angka kesakitan penyakit ini masih
cukup tinggi terutama dijumpai di daerah endemis. Dewasa ini upaya pemberantasan
31
3.2 Saran
Gerakan pemberantasan sarang nyamuk (PSN) perlu dilaksanakan secara optimal oleh
masyarakat supaya angka bebas jentik (ABJ) meningkat dan kasus DBD berkurang. Edukasi
32
ke masyarakat akan pentingnya PSN perlu dilakukan oleh petugas kesehatan/kader supaya
meningkatkan pengetahuan dan memicu kesadaran masyarakat akan pentingnya penerapan
PSN di lingkungannya. Tindakan pencegahan pun perlu dilakukan ketika masyarakat
berpergian keluar rumah supaya mereka tidak tertular ketika mereka berada di daerah lain.
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 50 Tahun 2017 yang disebut
dengan
pengendalian vektor dan binatang pembawa penyakit adalah semua kegiatan atau tindakan
yang ditujukan untuk menurunkan populasi vektor dan binatang pembawa penyakit serendah
mungkin sehingga keberadaannya tidak lagi berisiko untuk terjadinya penularan penyakit
tular
vektor di suatu wilayah atau menghindari kontak masyarakat dengan vektor sehingga
penularan
vektor dapat dicegah.
DAFTAR PUSTAKA
Arisanti, M., & Suryaningtyas, N. (2021). Kejadian demam berdarah dengue (dbd) di
indonesia tahun 2010-2019. Spirakel, 13(1), 34-41. Diakses dari
https://ejournal2.litbang.kemkes.go.id/index.php/spirakel/article/view/5439
Julia Fitriany, Ahmad Sabiq. (2018). Malaria. Jurnal Averrous, Vol.4 No.2. diakses dari
https://ojs.unimal.ac.id/index.php/averrous/article/download/1039/558
Lukman Hakim. (2011). Malaria : Epidemiologi dan Diagnosis. Aspirator, Vol.3 No. 2,107-
116. Diakses dari http://ejournal.litbang.kemkes.go.id/index.php/aspirator/article/view/
2965
Nova Pramestuti, Ihda Zuyina Ratna Sari, Endang Setiyani, Ulfah Farida Trisnawati, Eva
Lestari, Adil Ustiawan. (2021). Gambaran Epidemiologi Peningkatan Kasus
Chikungunya di Desa Kajongan Kecamatan Bojongsari Kabupaten Purbalingga. Balaba,
Vol. 17 No. 2 : 127-136. Diakses pada
https://ejournal2.litbang.kemkes.go.id/index.php/blb/article/download/5034/2486
Oroh, M., Pinontoan, O., & Tuda, J. (2020). Faktor Lingkungan, Manusia dan Pelayanan
Kesehatan yang Berhubungan dengan Kejadian Demam Berdarah Dengue. Indonesian
Journal Of Public Health And Community Medicine, 1(3), 35-46. Retrieved from
https://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/ijphcm/article/view/29210/28459
Sutarto, Eka Cania B. (2017). Faktor Lingkungan, Perilaku dan Penyakit Malaria. J
AgromedUnila, Vol.4 No.1. diakses dari http://repository.lppm.unila.ac.id/5713/3/artikel
%20agro.pdf
Syauban Amaldi Kusumo, AT. Diana Nerawati, Sudjarwo. (2014). Lingkungan sebagai
faktor risiko terjadinya chikungunya studi kasus di wilayah kerja puskesmas kandangsapi
kota pasuruan tahun 2014. Gema Kesehatan Lingkungan, VOL. XII No.3 ISSN 1693-
s761. diakses dari http://journal.poltekkesdepkes-sby.ac.id/index.php/KESLING/article/
view/107