Makalah Vectore Borne Disease Kel 7

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 37

PENYAKIT YANG DITULARKAN MELALUI VEKTOR

(VECTOR BORNE DISEASE) DEMAM BERDARAH


DENGUE, MALARIA DAN DEMAM CHIKUNGUNYA
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Epidemiologi Penyakit Menular

Disusun Oleh Kelompok 7:

Pradila Eka Pamudya NF 113221011


Laifah Fasilah Maulani 113221020

Fakultas Ilmu dan Teknologi Kesehatan


Program Studi Kesehatan Masyarakat
Universitas Jendral Achmad Yani
2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa. Atas rahmat dan hidayah-Nya, penulis
dapat menyelesaikan tugas makalah Penyakit yang Ditularkan Melalui Vektor (Vector Borne
Disease) dengan tepat waktu.
Makalah disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Epidemiologi Penyakit
Menular. Selain itu, makalah ini bertujuan menambah wawasan tentang Etiologi Penyakit
demam berdarah dengue, malaria, demam chikungunya, Masa Inkubasi dan penularan
demam berdarah dengue, malaria, demam chikungunya, Gejala, Tanda Penyakit serta
Diagnosis demam berdarah dengue, malaria, demam chikungunya, Pengobatan Penyakit
demam berdarah dengue, malaria, demam chikungunya, Faktor yang berhubungan dengan
terjadinya Penyakit demam berdarah dengue, malaria, demam chikungunya, Cara Pencegahan
demam berdarah dengue, malaria, demam chikungunya, Gambaran Epidemiologi Penyakit
demam berdarah dengue, malaria, demam chikungunya bagi para pembaca dan juga bagi
penulis.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibu Dr Dyan Kunthi Nugrahaeni, SKM,
MKM selaku Dosen Mata Kuliah Epidemiologi Penyakit Menular. Ucapan terima kasih juga
disampaikan kepada semua pihak yang telah membantu diselesaikannya makalah ini.
Penulis menyadari makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh sebab itu, saran dan
kritik yang membangun diharapkan demi kesempurnaan makalah ini.

Bandung, April 2022


Penulis
ii

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ………………………………………………………………i

DAFTAR ISI ………………………………………………………………………..ii

BAB I PENDAHULUAN …………………………………………………………...1

1.1 Latar Belakang …………………………………………………………...1

1.2 Rumusan Masalah ………………………………………………………...2

1.3 Tujuan …………………………………………………………………….2

BAB II PEMBAHASAN ……………………………………………………………3

2.1

2.2

2.3

2.4

BAB III Penutup …………………………………………………………………….9

3.1 Kesimpulan ……………………………………………………………….9

3.2 Saran ……………………………………………………………………...9

DAFTAR PUSTAKA ...……………………………………………………………..10


1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Vektor merupakan arthropoda yang dapat menularkan, memindahkan atau menjadi


sumber penularan penyakit pada manusia. vektor yang berperan sebagai penular penyakit
dikenal sebagai arthropoda borne diseases atau sering juga disebut sebagai vector borne
diseases yang merupakan penyakit yang penting dan seringkali bersifat endemis dan
menimbulkan bahaya bagi kesehatan sampai kematian (Permenkes No. 374 tahun 2010)
Penyakit tular vector merupakan satu diantara penyakit yang berbasis lingkungan
yang dipengaruhi oleh lingkungan fisik, biologi, sosial budaya. Ketiga factor tersebut
akan mempengaruhi kejadian tular vector di daerah penyebabnya. Penyakit tular vector
meliputi Demam Berdarah Dengue. Malaria, Demam Chikungunya penyakit tersebut
hingga saat ini masih menjadi penyakit endemis yang dapat menimbulkan wabah atau
kejadian luar biasa serta dapat menimbulkan gangguan kesehatan masyarakat dengan
angka kesakitan dan kematian yang cukup tinggi dan berpotensi menimbulkan kejadian
luar biasa (KLB).

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana etiologi penyakit DBD, Malaria dan Demam Chikungunya?


2. Berapa lama masa inkubasi dan penularan DBD, Malaria dan Demam
Chikungunya?
3. Apa saja gejala dan tanda penyakit serta diagnosis DBD, Malaria dan Demam
Chikungunya?
4. Bagaimana pegobatan DBD, Malaria dan Demam Chikungunya?
5. Apa saja faktor yang berhubungan dengan terjadinya penyakit DBD, Malaria dan
Demam Chikungunya?
6. Bagaimana cara pencegahan DBD, Malaria dan Demam Chikungunya?
7. Bagaimana gambaran epidemiologi penyakit DBD, Malaria dan Demam
Chikungunya?
2

1.3 Tujuan

Tujuan Umum
Mengetahui Penyakit yang Ditularkan Melalui Vektor (Vector Borne Disease)

Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui etiologi penyakit DBD, Malaria dan Demam Chikungunya?
2. Untuk mengetahui masa inkubasi dan penularan DBD, Malaria dan Demam
Chikungunya?
3. Untuk mengetahui gejala dan tanda penyakit serta diagnosis DBD, Malaria dan
Demam Chikungunya?
4. Untuk mengetahui pegobatan DBD, Malaria dan Demam Chikungunya?
5. Untuk mengetahui faktor yang berhubungan dengan terjadinya penyakit DBD,
Malaria dan Demam Chikungunya?
6. Untuk mengetahui cara pencegahan DBD, Malaria dan Demam Chikungunya?
7. Untuk mengetahui gambaran epidemiologi penyakit DBD, Malaria dan Demam
Chikungunya?
3

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Demam Berdarah Dengue

DBD (Demam Berdarah Dengue) adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh
virus dengue tipe 1-4, dengan manifestasi klinis demam mendadak 2-7 hari disertai
gejala perdarahan dengan atau tanpa syok, disertai pemeriksaan laboratorium
menunjukkan trombositopenia (trombosit kurang dari 100.000) dan peningkatan
hematokrit 20% atau lebih dari nilai normal

1. Etiologi
DBD (Demam Berdarah Dengue) adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh
virus dengue tipe 1-4, dengan manifestasi klinis demam mendadak 2-7 hari disertai
gejala perdarahan dengan atau tanpa syok, disertai pemeriksaan laboratorium
menunjukkan trombositopenia (trombosit kurang dari 100.000) dan peningkatan
hematokrit 20% atau lebih dari nilai normal

2. Masa Inkubasi dan Penularan


Terdapat 3 Faktor yang memegang peranan pada penularan virus dengue, yaitu
manusia, virus dan vektor perantara. Virus dengue ditularkan kepada manusia melalui
gigitan nyamuk Aedes aegypti. (Hadinegoro S, dkk, 2006).
Aedes tersebut mengandung virus dengue pada saat menggigit manusia yang
sedang mengalami viremia. Kemudian virus yang berada di kelenjar liur berkembang
biak dalam waktu 8 – 10 hari (extrinsic incubation period) sebelum dapat di tularkan
kembali pada manusia pada saat gigitan berikutnya. Jika seseorang terinfeksi virus
dengue digigit oleh nyamuk Aedes aegypti, maka virus dengue akan masuk bersama
darah yang diisap olehnya. Dalam tubuh manusia, virus memerlukan waktu masa tunas
4–6 hari (intrinsic incubation period) sebelum menimbulkan penyakit.

3. Gejala dan Tanda Penyakit serta Diagnosis


4

Perjalanan infeksi virus di dalam tubuh manusia sangat tergantung dari interaksi
antara kondisi imunologik dan umur seseorang. Oleh karena itu infeksi virus dengue
dapat tidak menunjukan gejala (asimptomatik) ataupun bermanifestasi klinis ringan
yaitu demam tanpa penyebab yang jelas, demam dengue (DD) dan bermanifestasi
berat dengan demam berdarah dengue (DBD) tanpa syok atau sindrom syok dengue
(SSD).1 Namun, untuk alasan praktis, infeksi dengue yang tidak berat (non-severe
dengue) dapat dikelompokkan ke dalam 2 kelompok yaitu pasien dengan warning
sign dan tanpa warning sign.

Gambar 1. Klasifikasi Infeksi Dengue


3.1 Patofisiologi dan Patogenesis
Walaupun demam dengue (DD) dan demam berdarah dengue (DBD)
disebabkan oleh virus yang sama, tapi mekanisme patofisiologisnya yang berbeda
yang menyebabkan perbedaan klinis. Perbedaan yang utama adalah
hemokonsentrasi yang khas pada DBD yang bisa mengarah pada kondisi renjatan.
Renjatan itu disebabkan karena kebocoran plasma yang diduga karena proses
imunologi. Pada demam dengue hal ini tidak terjadi. Manifestasi klinis demam
dengue timbul akibat reaksi tubuh terhadap masuknya virus. Virus akan
berkembang di dalam peredaran darah dan akan ditangkap oleh makrofag. Segera
5

terjadi viremia selama 2 hari sebelum timbul gejala dan berakhir setelah lima hari
gejala panas mulai. Makrofag akan segera bereaksi dengan menangkap virus dan
memprosesnya sehingga makrofag menjadi APC (Antigen Presenting Cell).
Antigen yang menempel di makrofag ini akan mengaktifasi sel T-Helper dan
menarik makrofag lain untuk memfagosit lebih banyak virus. T-helper akan
mengaktifasi sel T-sitotoksik yang akan melisis makrofag yang sudah memfagosit
virus. Juga mengaktifkan sel B yang akan melepas antibodi. Ada 3 jenis antibodi
yang telah dikenali yaitu antibodi netralisasi, antibodi hemagglutinasi, antibodi
fiksasi komplemen.
Proses diatas menyebabkan terlepasnya mediator-mediator yang merangsang
terjadinya gejala sistemik seperti demam, nyeri sendi, otot, malaise dan gejala
lainnya. Dapat terjadi manifetasi perdarahan karena terjadi agregasi trombosit yang
menyebabkan trombositopenia, tetapi trombositopenia ini bersifat ringan.
Imunopatogenesis DBD dan DSS masih merupakan masalah yang kontroversial.
Dua teori yang digunakan untuk menjelaskan perubahan patogenesis pada DBD dan
DSS yaitu teori virulensi dan hipotesis infeksi sekunder (secondary heterologous
infection theory).
Teori virulensi dapat dihipotesiskan sebagai berikut: Virus dengue seperti juga
virus binatang yang lain, dapat mengalami perubahan genetik akibat tekanan
sewaktu virus mengadakan replikasi baik pada tubuh manusia maupun pada tubuh
nyamuk. Ekspresi fenotipik dari perubahan genetik dalam genom virus dapat
menyebabkan peningkatan replikasi virus dan viremia, peningkatan virulensi, dan
mempunyai potensi untuk menimbulkan wabah. Renjatan yang dapat menyebabkan
kematian terjadi sebagai akibat serotipe virus yang paling virulen.
Secara umum hipotesis secondary heterologous infection menjelaskan bahwa
jika terdapat antibodi yang spesifik terhadap jenis virus tertentu maka antibodi
tersebut dapat mencegah penyakit, tetapi sebaliknya apabila antibodi terdapat dalam
tubuh merupakan antibodi yang tidak dapat menetralisasi virus, justru dapat
menimbulkan penyakit yang berat. Antibodi heterolog yang telah ada sebelumnya
akan mengenai virus lain yang akan menginfeksi dan kemudian membentuk
kompleks antigen-antibodi yang akan berikatan dengan Fc reseptor dari membran
sel leukosit terutama makrofag. Dihipotesiskan juga mengenai antibody dependent
enhancement (ADE), suatu proses yang akan meningkatkan infeksi dan replikasi
6

virus dengue di dalam sel mononuklear. Sebagai respon terhadap infeksi tersebut,
terjadi sekresi mediator vasoaktif yang kemudian menyebabkan peningkatan
permeabilitas pembuluh darah, sehingga mengakibatkan keadaan hipovolemia dan
syok.

Gambar 2. Patogenesis Terjadinya Syok Pada DBD


Sebagai akibat infeksi sekunder oleh tipe virus dengue yang berlainan pada
seorang pasien, respon antibodi anamnestik yang akan terjadi dalam waktu
beberapa hari mengakibatkan proliferasi dan transformasi limfosit dengan
menghasilkan titer tinggi antibodi IgG antidengue. Disamping itu, replikasi virus
dengue terjadi juga di dalam limfosit yang bertransformasi dengan akibat
terdapatnya virus dalam jumlah banyak. Hal ini akan mengakibatkan terbentuknya
kompleks antigen-antibodi (virus antibody complex) yang selanjutnya akan
mengakibatkan aktivasi sistem komplemen.
Pelepasan C3a dan C5a akibat aktivasi C3 dan C5 menyebabkan peningkatan
permeabilitas dinding pembuluh darah dan merembesnya plasma dari ruang
intravaskuler ke ruang ekstravaskuler. Pada pasien dengan syok berat, volume
plasma dapat berkurang sampai lebih dari 30% dan berlangsung selama 24 – 48
jam. Perembesan plasma yang erat hubungannya dengan kenaikan permeabilitas
dinding pembuluh darah ini terbukti dengan adanya peningkatan kadar hematokrit,
penurunan kadar natrium dan terdapatnya cairan di dalam rongga serosa (efusi
pleura dan asites). Syok yang tidak tertanggulangi secara adekuat akan
7

menyebabkan asidosis dan anoksia, yang dapat berakibat fatal, oleh karena itu
pengobatan syok sangat penting guna mencegah kematian.

Gambar 3. Patogenesis Terjadinya Perdarahan Pada DBD


Sebagai respon terhadap infeksi virus dengue, kompleks antigen antibodi
selain mengaktivasi sistem komplemen, juga menyebabkan agregasi trombosit dan
mengaktivasi sistem koagulasi melalui kerusakan sel endotel pembuluh darah.
Kedua faktor tersebut akan mengakibatkan perdarahan pada DBD. Agrerasi
trombosit terjadi sebagai akibat dari perlekatan kompleks antigen-antibodi pada
membran trombosit mengakibatkan pengeluaran ADP (adenosin diphosphat),
sehingga trombosit dihancurkan oleh RES (reticulo endothelial system) sehingga
terjadi trombositopenia. Agregasi trombosit ini akan menyebabkan pengeluaran
platelet faktor III mengakibatkan terjadinya koagulapati konsumtif (KID; koagulasi
intravaskular deseminata), ditandai dengan peningkatan FDP (fibrinogen
degradation product) sehingga terjadi penurunan faktor pembekuan.
Agregasi trombosit ini juga mengakibatkan gangguan fungsi trombosit,
sehingga walaupun jumlah trombosit masih cukup banyak, tidak berfungsi dengan
baik. Di sisi lain, aktivasi koagulasi akan menyebabkan aktivasi faktor Hagemen
sehingga terjadi aktivasi sistem kinin kalikrein sehingga memacu peningkatan
permeabilitas kapiler yang dapat mempercepat terjadinya syok. Jadi, perdarahan
masif pada DBD diakibatkan oleh trombositopenia, penurunan faktor pembekuan
(akibat KID), kelainan fungsi trombosit, dan kerusakan dinding endotel kapiler.
Akhirnya perdarahan akan memperberat syok yang terjadi.
3.2 Gambaran Klinis Demam Hemorrogic Fever (DHF)
8

1) Demam
Demam mendadak disertai dengan gejala yang tidak spesifik seperti anoreksia,
lemah, nyeri pada punggung, tulang sendi dan kepala.
2) Perdarahan
Perdarahan ini terjadi disemua organ. Bentuk perdarahan dapat hanya berupa
uji torniquet (Rumplee Leede) positif
3) Hepatomegali/Perbesaran Hati
Hati pada umumnya dapat diraba pada pemulaan demam, kadang-kadang juga
ditemukan nyeri, tetapi biasanya tanpa disertai ikterus.
4) Shock
Shock biasanya terjadi pada saat demam menurun yaitu hari ketiga dan
ketujuh sakit. Shock yang terjadi dalam periode demam biasanya mempunyai
prognosa buruk.
5) Trombositopenia
Trombositopenia adalah berkurangnya jumlah trombosit, apabila dibawah
100.000/mm³ darah. Biasanya ditemukan di antara hari ketiga sampai ketujuh
sakit.
6) Kenaikan Nilai Hematokrit (Hemokonsentrasi)
Meningkatnya nilai hematokrit merupakan indikator yang peka terhadap
terjadinya perembesan plasma (syok) sehingga perlu dilakukan pemeriksaan
secara periodik.
7) Gejala Klinik lain
Gejala klinik lain yang dapat menyertai penderita adalah epigastrium, muntah-
muntah, diare dan kejang-kejang (DepKes RI, 2012).
3.3 Spektrum Klinis dan Derajat Penyakit.
Perjalanan infeksi virus di dalam tubuh manusia sangat tergantung dari
interaksi antara kondisi imunologik dan umur seseorang. Oleh karena itu infeksi
virus dengue dapat tidak menunjukan gejala (asimptomatik) ataupun bermanifestasi
klinis ringan yaitu demam tanpa penyebab yang jelas, demam dengue (DD) dan
bermanifestasi berat dengan demam berdarah dengue (DBD) tanpa syok atau
sindrom syok dengue (SSD). Namun, untuk alasan praktis, infeksi dengue yang tidak
berat (non-severe dengue) dapat dikelompokkan ke dalam 2 kelompok yaitu pasien
dengan warning sign dan tanpa warning sign.
9

Gambar 4. Spektrum Klinis Infeksi Virus Dengue


Derajat Beratnya Penyakit DHF
Derajat penyakit DBD berdasar kriteria WHO 1997, dibagi dalam 4
derajat :
1) Derajat I : Demam disertai gejala tidak khas dan satu-satunya
manifestasi perdarahan adalah uji tourniquet positif.
2) Derajat II : Seperti derajat I, disertai perdarahan spontan di kulit
dan atau perdarahan lain.
3) Derajat III : Didapatkan kegagalan sirkulasi yaitu nadi cepat dan lembut,
tekanan nadi menurun (20mmHg atau kurang) atau hipotensi, sianosis di
sekitar mulut, kulit dingin dan lembab dan anak tampak gelisah.
4) Derajat IV : Syok berat (profound shock), nadi tidak teraba dan tekanan
darah tidak terukur.
10

Gambar 5. Klasifikasi Infeksi Dengue dan Tingkat Keparahan DBD Menurut WHO 2011

Gambar 6. Siklus Pelana Kuda Penderita DBD

3.4 Diagnosis
Penegakan diagnosis ini perlu dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
11

pemeriksaan darah lengkap.


a. Anamnesis
Anamnesis pasien sebaiknya meliputi hal-hal berikut:
1) Hari pertama demam.
2) Penilaian adanya tanda bahaya yang meliputi nyeri perut, muntah,
persisten, perdarahan mukosa, letargi, dan adanya kegelisahan.
3) Adanya diare
4) Adanya perubahan status mental/kejang/nyeri kepala.
5) Output urin (Frekuensi volume)
6) Riwayat penting lainnya seperti adanya keluarga atau tetangga
yang menderita DBD, riwayat perjalanan ke tempat yang
endemik DBD dan kondisi penyerta lain (kehamilan, obesitas,
diabetes mellitus, hipertensi).
b. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik pasien sebaiknya meliputi hal-hal berikut: penilaian
status mental, penilaian status hidrasi, penilaian status hemodinamik,
penilaian adanya takipneu/asidosis respirasi/efusi pleura, penilaian
abdomen, hepatomegali, ascites. Pemeriksaan ruam dan manifestasi
perdarahan lainnya, uji Torniquet/Rumple Leed.
c. Pemeriksaan Penunjang
1) Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan darah yang rutin dilakukan untuk menapis pasien
tersangka demam dengue adalah melalui kadar hemoglobin,
kadar hematokrit, jumlah trombosit dan hapusan darah tepi untuk
melihat adanya limfositosis relative disertai gambaran limfosit
plasma biru. Parameter laboratorium yang dapat diperiksa, antara
lain :
 Pemeriksaan Hemoglobin, Kasus DHF terjadi peningkatan
kadar hemoglobin dikarenakan kebocoran atau perembesan
pembuluh darah sehingga cairan plasmanya akan keluar dan
menyebabkan hemokonsentrasi. Kenaikan kadar hemoglobin
>14 gr/100ml. Pemeriksaan kadar hemoglobin dapat
12

dilakukan dengan cara metode sahli maupun fotoelektrik


(sianmeth hemoglobin) (Gandasoebrata, 2004).
 Pemeriksaan Hematokrit, peningkatan nilai hematokrit
menggambarkan terjadinya hemokonsentrasi, yang merupakan
indikator terjadinya perbesaran plasma. Nilai peningkatan ini
lebih dari 20%. Pemeriksaan kadar hematokrit dapat
dilakukan dengan metode makro dan mikro (Gandasoebrata,
2004).
 Pemeriksaan Trombosit, pemeriksaan jumlah trombosit ini
dilakukan pertama kali saat pesien didiagnosa sebagai pasien
DHF. Pemeriksaan trombosit perlu dilakukan pengulangan
sampai terbukti bahwa jumlah trombosit tersebut tetap normal
atau menurun. Penurunan jumlah trombosit <100.000/µl.
Umumnya terdapat trombositopenia pada hari ke 3-8 akibat
depresi sumsum tulang (Gandasoebrata, 2004).
 Pemeriksaan Leukosit, Kasus DHF ditemukan jumlah
bervariasi mulai dari lekositosis ringan sampai lekopenia
ringan. Mulai hari ke-3 ditemui limfositosis relatif (>45% dari
total lekosit) disertai adanya limfosit plasma biru (LPB) >15%
dari jumlah total lekosit yang pada fase syok akan meningkat.
 Pemeriksaan Limfosit Plasma Biru, Limfosit Plasma Biru
dijumpai >10 % setelah hari ketiga panas, buffy coat di
pemeriksaan darah hapus ditemukan limfosit atipik atau
limfosit plasma biru > 4% dengan berbagai bentuk:
monositoid, plasmositoid dan blastoid limfosit. Terdapat
limfosit Monositoid (Sel Downey I) mempunyai hubungan
dengan DHF derajat-II dan IgG positif dan limfosit non
monositoid (plasmositoid dan blastoid atau sel Downey II dan
sel Downey III) dengan derajat I dan IgM positif (Imam
Budiwiyono, 2012).
2) Uji Serologi
a. Tes IgG IgM Dengue
13

Dalam kasus yang meragukan sangat ideal bila tersedia tes


yang dapat memberikan hasil yang akurat dan cepat. Dewasa
ini telah dipasarkan pemeriksaan yang dikatakan sederhana,
cepat dan sensitif yaitu tes Dengue baik untuk IgM ataupun
untuk IgG. Hasil positif IgG menandakan adanya infeksi
sekunder dengue dan IgM positif menandakan infeksi primer.
Namun demikian dalam penilaiannya harus hati-hati karena
adanya negatif palsu dan positif palsu untuk IgM maupun IgG
terlebih di daerah endemis DBD, karena kadar IgM terutama
IgG masih tetap tinggi berbulan-bulan setelah infeksi
Dengue. Kelemahan lain pada test ini adalah sensitifitas pada
infeksi sekunder lebih tinggi, tetapi pada infeksi primer lebih
rendah, serta harganya yang relatif mahal (Suroso & Torry C,
2004).
b. NS1 (Non Struktural Antigen 1)
Antigen NS1 dapat dideteksi pada awal demam hari pertama
sampai hari kedelapan. Sensitifitas antigen NS1 berkisar 63-
93,4% dengan spesifisitas 100% sama tingginya dengan
spesifisitas gold standar kultur virus.

4. Pengobatan
Berdasarkan panduan WHO 2009, pasien dengan infeksi dengue dikelompokkan
ke dalam 3 kelompok yaitu Grup A, B, dan C.5 Pasien yang termasuk Grup A dapat
menjalani rawat jalan. Sedangkan pasien yang termasuk Grup B atau C harus
menjalani perawatan di rumah sakit. Sampai saat ini belum tersedia terapi antiviral
untuk infeksi dengue. Prinsip terapi bersifat simptomatis dan suportif.
a) Grup A
Yang termasuk Grup A adalah pasien yang tanpa disertai warning signs dan
mampu mempertahankan asupan oral cairan yang adekuat dan memproduksi urine
minimal sekali dalam 6 jam. Sebelum diputuskan rawat jalan, pemeriksaan darah
lengkap harus dilakukan. Pasien dengan hematokrit yang stabil dapat dipulangkan.
Terapi di rumah untuk pasien Grup A meliputi edukasi mengenai istirahat atau tirah
baring dan asupan cairan oral yang cukup, serta pemberian parasetamol. Pasien
14

beserta keluarganya harus diberikan KIE tentang warning signs secara jelas dan
diberikan instruksi agar secepatnya kembali ke rumah sakit jika timbul warning signs
selama perawatan di rumah.
b) Grup B
Yang termasuk Grup B meliputi pasien dengan warning signs dan pasien dengan
kondisi penyerta khusus (co-existing conditions). Pasien dengan kondisi penyerta
khusus seperti kehamilan, bayi, usia tua, diabetes mellitus, gagal ginjal atau dengan
indikasi sosial seperti tempat tinggal yang jauh dari RS atau tinggal sendiri harus
dirawat di rumah sakit. Jika pasien tidak mampu mentoleransi asupan cairan secara
oral dalam jumlah yang cukup, terapi cairan intravena dapat dimulai dengan
memberikan larutan NaCl 0,9% atau Ringer’s Lactate dengan kecepatan tetes
maintenance. Monitoring meliputi pola suhu, balans cairan (cairan masuk dan cairan
keluar), produksi urine, dan warning signs.
Tatalaksana pasien infeksi dengue dengan warning signs adalah sebagai berikut:
 Mulai dengan pemberian larutan isotonic (NS atau RL) 5-7 ml/kg/jam selama
1-2 jam, kemudian kurangi kecepatan tetes menjadi 3-5 ml/kg/jam selama 2-4
jam, dan kemudian kurangi lagi menjadi 2-3 ml/kg/jam sesuai respons klinis.

 Nilai kembali status klinis dan evaluasi nilai hematokrit. Jika hematokrit stabil
atau hanya meningkat sedikit, lanjutkan terapi cairan dengan kecepatan 2-3
ml/kg/jam selama 2-4 jam.

 Jika terjadi perburukan tanda vital dan peningkatan cepat nilai HCT,
tingkatkan kecepatan tetes menjdai 5-10 ml/kg/jam selama 1-2 jam.

 Nilai kembali status klinis, evaluasi nilai hematokrit dan evaluasi kecepatan
tetes infuse. Kurangi kecepatan tetes secara gradual ketika mendekati akhir
fase kritis yang diindikasikan oleh adanya produksi urine dan asupan cairan
yang adekuat dan nilai hematokrit di bawah nilai baseline.

 Monitor tanda vital dan perfusi perifer (setiap 1-4 jam sampai pasien melewati
fase kritis), produksi urine, hematokrit (sebelum dan sesudah terapi pengganti
cairan, kemudian setiap 6-12 jam), gula darah, dan fungsi organ lainnya (profil
ginjal, hati, dan fungsi koagulasi sesuai indikasi).
15

c) Grup C
Yang termasuk Grup C adalah pasien dengan kebocoran plasma (plasma leakage)
berat yang menimbulkan syok dan/atau akumulasi cairan abnormal dengan distres
nafas, perdarahan berat, atau gangguan fungsi organ berat. Terapi terbagi menjadi
terapi syok terkompensasi (compensated shock) dan terapi syok hipotensif
(hypotensive shock).
Terapi cairan pada pasien dengan syok terkompensasi meliputi:
 Mulai resusitasi dengan larutan kristaloid isotonik 5-10 ml/kg/jam selama 1
jam. Nilai kembali kondisi pasien, jika terdapat perbaikan, turunkan kecepatan
tetes secara gradual menjadi 5-7 ml/kg/jam selama 1-2 jam, kemudian 3-5
ml/kg/jam selama 2-4 jam, kemudian 2-3 ml/kg/jam selama 2-4 jam dan
selanjutnya sesuai status hemodinamik pasien. Terapi cairan intravena
dipertahankan selama 24-48 jam.
 Jika pasien masih tidak stabil, cek nilai hematokrit setelah bolus cairan
pertama. Jika nilai hematorit meningkat atau masih tinggi (>50%), ulangi bolus
cairan kedua atau larutan kristaloid 10-20 ml/kg/jam selama 1 jam. Jika
membaik dengan bolus kedua, kurangi kecepatan tetes menjadi 7-10 ml/kg/jam
selama 1-2 jam dan lanjutkan pengurangan kecepatan tetes secara gradual
seperti dijelaskan pada poin sebelumnya.
 Jika nilai hematokrit menurun, hal ini mengindikasikan adanya perdarahan dan
memerlukan transfusi darah (PRC atau whole blood).
Terapi cairan pada pasien dengan syok hipotensif meliputi:
 Mulai dengan larutan kristaloid isotonik intravena 20 ml/kg/jam sebagai bolus
diberikan dalam 15 menit. Jika terdapat perbaikan, berikan cairan kristaloid
atau koloid 10 ml/kg/jam selama 1 jam, kemudian turunkan kecepatan tetes
secara gradual.

 Jika tidak terdapat perbaikan atau pasien masih tidak stabil, evaluasi nilai
hematokrit sebelum bolus cairan. Jika hematokrit rendah (<40%), hal ini
menandakan adanya perdarahan, siapkan cross-match dan transfusi. Jika
hematokrit tinggi dibandingkan nilai basal, ganti cairan dengan cairan koloid
10-20 ml/kg/jam sebagai bolus kedua selama 30 menit sampai 1 jam, nilai
ulang setelah bolus kedua.
16

 Jika terdapat perbaikan, kurangi kecepatan tetes menjadi 7-10 ml/kg/jam


selama 1-2 jam, kemudian kembali ke cairan kristaloid dan kurangi kecepatan
tetes seperti poin penjelasan sebelumnya.

 Jika pasien masih tidak stabil, evaluasi ulang nilai hematokrit setelah bolus
cairan kedua. Jika nilai hematokrit menurun, hal ini menandakan adanya
perdarahan. Jika hematokrit tetap tinggi atau bahkan meningkat (>50%),
lanjutkan infus koloid 10-20 ml/kg/jam sebagai bolus ketiga selama 1 jam,
kemudian kurangi menjadi 7-10 ml/kg/jam selama 1-2 jam, kemudian ganti
dengan cairan kristaloid dan kurangi kecepatan tetes.

 Jika terdapat perdarahan, berikan 5-10 ml/kg/jam transfusi PRC segar atau 10-
20 ml/kg/jam whole blood segar.

5. Faktor-Faktor Risiko Demam Berdarah Dengue


Berdasarkan penelitian yang dilakukan (Banu, dkk., 2011 dan Sumampouw, 2019)
ditemukan ada banyak faktor-faktor risiko DBD, dimana beberapa faktor risiko yang
diperoleh yaitu faktor lingkungan (perubahan iklim), faktor pejamu berupa tingkat
kesadaran dan pengetahuan masyarakat yang masih kurang dan faktor agen penyebab
dan vektor DBD.
Faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap penyebaran kasus DBD menurut
(Dinata dan Dhewantara, 2012), antara lain:
1) Faktor lingkungan fisik seperti kepadatan rumah, ketinggian tempat, suhu
udara, kelembaban udara, & curah hujan.
2) Faktor lingkungan biologi seperti keberadaan tanaman hias, pekarangan, dan
keberadaan jentik nyamuk.
3) Faktor lingkungan sosial yaitu pendidikan, pekerjaan, perilaku penghasilan,
mobilitas penduduk, kepadatan penduduk, dan pemberantasan sarang nyamuk/
PSN.
Faktor manusia seperti perilaku, pengetahuan, pengurasan tempat penampung air,
dan menggantung pakaian. Faktor risiko infeksi demam berdarah antara lain :
1) Sanitasi lingkungan yang kurang baik, misalnya: timbunan sampah dan barang
bekas yang sering kali disertai genangan air.
17

2) Adanya jentik nyamuk Aedes Aegypti pada genangan air di tempat tinggal


pasien sehari-hari.
3) Adanya penderita DBD di sekitar pasien

6. Cara Mencegah Demam Berdarah


Demam berdarah dapat dicegah dengan memberantas jentik-jentik nyamuk Demam
Berdarah (Aedes aegypti) dengan cara melakukan PSN (Pembersihan Sarang Nyamuk)
Upaya ini merupakan cara yang terbaik, ampuh, murah, mudah dan dapat dilakukan oleh
masyarakat, dengan cara sebagai berikut:
1) Bersihkan (kuras) tempat penyimpanan air (seperti: bak mandi / WC, drum, dan
lain-lain) sekurang-kurangnya seminggu sekali. Gantilah air di vas kembang,
tempat minum burung, perangkap semut dan lain-lain sekurang-kurangnya
seminggu sekali.
2) Tutuplah rapat-rapat tempat penampungan air, seperti tampayan, drum, dan lain-
lain agar nyamuk tidak dapat masuk dan berkembang biak di tempat itu.
3) Kubur atau buanglah pada tempatnya barang-barang bekas, seperti kaleng bekas,
ban bekas, botol-botol pecah, dan lain-lain yang dapat menampung air hujan, agar
tidak menjadi tempat berkembang biak nyamuk. Potongan bamboo, tempurung
kelapa, dan lain-lain agar dibakar bersama sampah lainnya.
4) Tutuplah lubang-lubang pagar pada pagar bambu dengan tanah atau adukan
semen.
5) Lipatlah pakaian/kain yang bergantungan dalam kamar agar nyamuk tidak
hinggap disitu.
6) Untuk tempat-tempat air yang tidak mungkin atau sulit dikuras, taburkan bubuk
ABATE ke dalam genangan air tersebut untuk membunuh jentik-jentik nyamuk.
Ulangi hal ini setiap 2-3 bulan sekali.
18

7. Gambaran Epidemiologi Penyakit


Penyakit ini pertama kali ditemukan di Manila Filipina pada tahun 1953 dan
selanjutnya menyebar ke berbagai negara. Di Indonesia penyakit ini pertama kali
dilaporkan pada tahun 1968 di Surabaya dengan jumlah penderita 58 orang dengan
kematian 24 orang (41,3%), akan tetapi konfirmasi virologis baru didapat pada tahun
1972. Infeksi virus dengue merupakan masalah kesehatan utama di 100 negara-negara
tropis dan subtropis di Asia Tenggara, Pasifik Barat, Amerika Tengah, dan Amerika
Selatan.

2.2 Malaria
19

Malaria adalah suatu penyakit akut maupun kronik disebabkan oleh protozoa
genus Plasmodium dengan manifestasi berupa demam, anemia dan pembesaran limpa.
Sedangkan meurut ahli lain malaria merupakan suatu penyakit infeksi akut maupun
kronik yang disebakan oleh infeksi Plasmodium yang menyerang eritrosit dan ditandai
dengan ditemukannya bentuk aseksual dalam darah, dengan gejala demam, menggigil,
anemia, dan pembesaran limpa.
1. Etiologi
Ada 2 jenis makhluk yang berperan besar dalam penularan malaria yaitu parasit
malaria (yang disebut Plasmodium) dan nyamuk anopheles betina. Parasit malaria
memiliki siklus hidup yang kompleks, untuk kelangsungan hidupnya parasit tersebut
membutuhkan host (tempatnya menumpang hidup) baik pada manusia maupun
nyamuk, yaitu nyamuk anopheles. Ada empat jenis spesies parasit malaria di dunia
yang dapat menginfeksi sel darah merah manusia, yaitu:
1. Plasmodium falciparum
Menyebabkan malaria falsiparum (disebut juga malaria tropika), merupakan jenis
penyakit malaria yang terberat dan satu-satunya parasit malaria yang menimbulkan
penyakit mikrovaskular., karena dapat menyebabkan berbagai komplikasi berat seperti
cerebral malaria (malaria otak), anemia berat, syok, gagal ginjal akut, perdarahan, sesak
nafas, dll.
2. Plasmodium vivax
Menyebabkan malaria tertiana. Tanpa pengobatan: berakhir dalam 2 – 3 bulan. Relaps
50%dalam beberapa minggu – 5 tahun setelah penyakit awal.
3. Plasmodium malariae
Menyebabkan malaria quartana. Asimtomatis dalam waktu lama
4. Plasmodium ovale
Jenis ini jarang sekali dijumpai, umumnya banyak di Afrika dan Pasifik Barat. Lebih
ringan. Seringkali sembuh tanpa pengobatan. Seorang penderita dapat dihinggapi oleh
lebih dari satu jenis plasmodium. Infeksi demikian disebut infeksi campuran (mixed
infection). Biasanya campuran P.Falciparum dengan P.Vivax atau P.Malariae. Infeksi
campuran tiga jenis sekaligus jarang sekali terjadi. Infeksi jenis ini biasanya terjadi di
daerah yang tinggi angka penularannya. Malaria yang disebabkan oleh P.Vivax dan
P.Malariae dapat kambuh jika tidak diobati dengan baik. Malaria yang disebabkan oleh
20

spesies selain P.Falciparum jarang berakibat fatal, namun menurunkan kondisi tubuh;
lemah, menggigil dan demam yang biasanya berlangsung 10-14 hari
Nyamuk Anopheles terutama hidup di daerah tropik dan subtropik, namun bisa
juga hidup di daerah beriklim sedang dan bahkan di daerah Antarika. Anopheles jarang
ditemukan pada ketinggian 2000 – 2500 m, sebagian Anopheles ditemukan di dataran
rendah. Semua vektor tersebut hidup sesuai dengan kondisi ekologi setempat, antara
lain ada nyamuk yang hidup di air payau pada tingkat salinitas tertentu (An. sundaicus,
An. subpictus), ada yang hidup di sawah (An. aconitus), air bersih di pegunungan (An.
maculatus), genangan air yang terkena sinar matahari (An. punctulatus, An. farauti)
2. Masa Inkubasi dan Penularan
Masa inkubasi biasanya berlangsung 8-37 hari tergantung dari spesies parasit
(terpendek untuk P. falciparum dan terpanjanga untuk P. malariae), beratnya infeksi
dan pada pengobatan sebelumnya atau pada derajat resistensi hospes. Selain itu juga
cara infeksi yang mungkin disebabkan gigitan nyamuk atau secara induksi (misalnya
transfuse darah yang mengandung stadium aseksual). Parasit malaria yang ditularkan
melalui nyamuk kepada manusia adalah 12 hari untuk Plasmodium falciparum, 13-
17 hari untuk Plasmodium ovale dan vivax, dan 28-30 hari untuk Plasmodium
malariae (malaria kuartana).
Keluhan-keluhan prodromal dapat terjadi sebelum terjadinya demam, berupa:
malaise, lesu, sakit kepala, sakit tulang belakang, nyeri pada tulang dan otot,
anoreksia, perut tidak enak, diare ringan dan kadang-kadang merasa dingin di
punggung. Keluhan prodromal sering terjadi pada P. vivax dan P. ovale, sedangkan
P. falciparum dan P. malariae keluhan prodromal tidak jelas.
Nyamuk yang dapat menularkan malaria hanya nyamuk Anopheles betina.
Pada saat menggigit host terinfeksi (manusia yang terinfeksi malaria), nyamuk
Anopheles akan menghisap parasit malaria (plasmodium) bersamaan dengan darah,
sebab di dalam darah manusia yang telah terinfeksi malaria banyak terdapat parasit
malaria. Parasit malaria tersebut kemudian bereproduksi dalam tubuh nyamuk
Anopheles, dan pada saat menggigit manusia lain (yang tidak terinfeksi malaria),
maka parasit malaria masuk ketubuh korban bersamaan dengan air liur nyamuk.
Malaria pada manusia hanya dapat ditularkan oleh nyamuk betina anopheles. Dari
lebih 400 spesies anopheles di dunia, hanya sekitar 67 yang terbukti mengandung
sporozoit dan dapat menularkan malaria.
21

3. Gejala dan Tanda Penyakit serta Diagnosis


Keluhan utama dapat meliputi demam, menggigil, dapat disertai sakit kepala,
mual, muntah, diare dan nyeri otot atau pegal-pegal. Pada pasien penderita malaria
berat, dapat ditemukan keadaan seperti Gangguan kesadaran dalam berbagai derajat,
keadaan umum yang lemah, kejang-kejang, panas sangat tinggi, mata dan tubuh
kuning, perdarahan hidung, gusi, tau saluran cerna, nafas cepat (sesak napas),
muntah terus menerus dan tidak dapat makan minum, warna air seni seperti teh
pekat dan dapat sampai kehitaman, jumlah air seni kurang bahkan sampai tidak ada
dan telapak tangan sangat pucat.
Malaria sebagai penyebab infeksi yang disebabkan oleh Plasmodium
mempunyai gejala utama yaitu demam. Demam yang terjadi diduga berhubungan
dengan proses skizogoni (pecahnya merozoit atau skizon), pengaruh GPI (glycosyl
phosphatidylinositol) atau terbentuknya sitokin atau toksin lainnya. Pada beberapa
penderita, demam tidak terjadi (misalnya pada daerah hiperendemik) banyak orang
dengan parasitemia tanpa gejala. Gambaran karakteristik dari malaria ialah demam
periodic, anemia dan splenomegali.
A. Gejala malaria ringan (malaria tanpa komplikasi)
Meskipun disebut malaria ringan, sebenarnya gejala yang dirasakan
penderitanya cukup menyiksa (alias cukup berat). Gejala malaria yang utama yaitu:
demam, dan menggigil, juga dapat disertai sakit kepala, mual, muntah, diare, nyeri
otot atau pegal-pegal. Gejala-gejala yang timbul dapat bervariasi tergantung daya
tahan tubuh penderita dan gejala spesifik dari mana parasit berasal.
B. Gejala malaria berat (malaria dengan komplikasi)
Penderita dikatakan menderita malaria berat bila di dalam darahnya ditemukan
parasit malaria melalui pemeriksaan laboratorium Sediaan Darah Tepi atau Rapid
Diagnostic Test (RDT) dan disertai memiliki satu atau beberapa gejala/komplikasi
berikut ini:
1. Gangguan kesadaran dalam berbagai derajat (mulai dari koma sampai
penurunan kesadaran lebih ringan dengan manifestasi seperti: mengigau,
bicara salah, tidur terus, diam saja, tingkah laku berubah)
2. Keadaan umum yang sangat lemah (tidak bisa duduk/berdiri)
3. Kejang-kejang
4. Panas sangat tinggi
22

5. Mata atau tubuh kuning


6. Tanda-tanda dehidrasi (mata cekung, turgor dan elastisitas kulit berkurang,
bibir kering, produksi air seni berkurang)
7. Perdarahan hidung, gusi atau saluran pencernaan
8. Nafas cepat atau sesak nafas
9. Muntah terus menerus dan tidak dapat makan minum
10. Warna air seni seperti teh tua dan dapat sampai kehitaman
11. Jumlah air seni kurang sampai tidak ada air seni
12. Telapak tangan sangat pucat (anemia dengan kadar Hb kurang dari 5 g%)
Penderita malaria berat harus segera dibawa/dirujuk ke fasilitas kesehatan untuk
mendapatkan penanganan semestinya
C. Gejala-gejala klasik umum yaitu terjadinya trias malaria (malaria proxym)
secara berurutan yang disebut trias malaria, yaitu :
1. Stadium dingin (cold stage)
Stadium ini berlangsung ± 15 menit sampai dengan 1 jam. Dimulai dengan
menggigil dan perasaan sangat dingin, gigi gemeretak, nadi cepat tetapi lemah,
bibir dan jari-jari pucat kebiru-biruan (sianotik), kulit kering dan terkadang
disertai muntah.
2. Stadium demam (hot stage)
Stadium ini berlangsung ±2 – 4 jam. Penderita merasa kepanasan. Muka
merah, kulit kering, sakit kepala dan sering kali muntah. Nadi menjadi kuat
kembali, merasa sangat haus dan suhu tubuh dapat meningkat hingga 41°C
atau lebih. Pada anak-anak, suhu tubuh yang sangat tinggi dapat menimbulkan
kejang-kejang.
3. Stadium berkeringat (sweating stage)
Stadium ini berlangsung ± 2 – 4 jam. Penderita berkeringat sangat banyak.
Suhu tubuh kembali turun, kadang-kadang sampai di bawah normal. Setelah
itu biasanya penderita beristirahat hingga tertidur. Setelah bangun tidur
penderita merasa lemah tetapi tidak ada gejala lain sehingga dapat kembali
melakukan kegiatan sehari-hari.
Gejala klasik (trias malaria) berlangsung selama 6 – 10 jam, biasanya dialami
oleh penderita yang berasal dari daerah non endemis malaria, penderita yang belum
mempunyai kekebalan (immunitas) terhadap malaria atau penderita yang baru
23

pertama kali menderita malaria. Di daerah endemik malaria dimana penderita telah
mempunyai kekebalan (imunitas) terhadap malaria, gejala klasik timbul tidak
berurutan, bahkan tidak selalu ada, dan seringkali bervariasi tergantung spesies
parasit dan imunitas penderita. Di daerah yang mempunyai tingkat penularan sangat
tinggi (hiperendemik) seringkali penderita tidak mengalami demam, tetapi dapat
muncul gejala lain, misalnya: diare dan pegal-pegal. Hal ini disebut sebagai gejala
malaria yang bersifat lokal spesifik
Gejala klasik (trias malaria) lebih sering dialami penderita malaria vivax,
sedangkan pada malaria falciparum, gejala menggigil dapat berlangsung berat atau
malah tidak ada. Diantara 2 periode demam terdapat periode tidak demam yang
berlangsung selama 12 jam pada malaria falciparum, 36 jam pada malaria vivax dan
ovale, dan 60 jam pada malaria malariae
Diagnosis
1. Pemeriksaan Fisik
a. Malaria Ringan
Demam (pengukuran dengan termometer ≥ 37,5°C), Konjungtiva atau telapak tangan
pucat, Pembesaran limpa (splenomegali), dan Pembesaran hati (hepatomegali).
b. Malaria Berat
Mortalitas: Hampir 100% tanpa pengobatan, Tatalaksana adekuat: 20%, Infeksi oleh
P. falciparum disertai dengan salah satu atau lebih kelainan yaitu Malaria serebral,
Gangguan status mental, Kejang multipel, Koma, Hipoglikemia: gula darah < 50
mg/dL, Distress pernafasan, Temperatur > 40oC, tidak responsif dengan
asetaminofen, Hipotensi, Oliguria atau anuria, Anemia dengan nilai hematokrit 1,5
mg/dL, Parasitemia > 5%, Bentuk Lanjut (tropozoit lanjut atau schizont) P.
falciparum pada apusan darah tepi, Hemoglobinuria, Perdarahan spontan, dan Kuning
2. Pemeriksaan Laboratorium
a. Pemeriksaan dengan mikroskop Pemeriksaan sediaan darah (SD) tebal dan tipis
untuk menentukan Ada tidaknya parasit malaria (positif atau negatif),Spesies dan
stadium plasmodium, Kepadatan parasite
b. Pemeriksaan dengan tes diagnostik cepat (Rapid Diagnostic Test), Mekanisme
kerja tes ini berdasarkan deteksi antigen parasit malaria, dengan menggunakan
metoda imunokromatografi, dalam bentuk dipstick
24

c. Pemeriksaan penunjang untuk malaria berat: pemeriksaan penunjang meliputi;


darah rutin, kimia darah lain (gula darah, serum bilirubin, SGOT & SGPT, alkali
fosfatase, albumin/globulin, ureum, kreatinin, natrium dan kalium, anaIisis gas
darah, EKG, Foto toraks, Analisis cairan serebrospinalis, Biakan darah dan uji
serologi, dan Urinalisis

4. Pengobatan
Pengobatan malaria secara efektif dilakukan dengan pemberian ACT
(Artemicinin-based Combination Therapy) pada 24 jam pertama pasien panas dan
obat harus diminum habis. Pengobatan yang diberikan adalah pengobatan radikal
malaria dengan membunuh semua stadium parasit yang ada di dalam tubuh manusia.
Adapun tujuan pengobatan radikal untuk mendapat kesembuhan klinis dan
parasitologik serta memutuskan rantai penularan. Penanganan malaria dapat dilakukan
dengan pemberian obat antimalaria. Semua obat anti malaria tidak boleh diberikan
dalam keadaan perut kosong karena bersifat iritasi lambung, oleh sebab itu penderita
harus makan terlebih dahulu setiap akan minum obat anti malaria. Obat-obatan ini
perlu disesuaikan dengan jenis parasit penyebab malaria, tingkat keparahan, atau
riwayat area geografis yang pernah ditinggali penderita. Malaria harus segera
ditangani untuk mencegah risiko komplikasi yang berbahaya

5. Faktor yang Mempengaruhi Demam Malaria


a. Ras atau suku bangsa
Pada penduduk benua Afrika prevalensi Hemoglobin S (HbS) cukup tinggi
sehingga lebih tahan terhadap infeksi P. falciparum karena HbS dapat
menghambat perkembangbiakan P. falciparum.
b. Kekurangan enzim tertentu
Kekurangan terhadap enzim Glukosa 6 Phosphat Dehidrogenase (G6PD)
memberikan perlindungan terhadap infeksi P. falciparum yang berat. Defisiensi
terhadap enzim ini merupakan penyakit genetik dengan manifestasi utama pada
wanita.
c. Kekebalan pada malaria
terjadi apabila tubuh mampu mengancurkan Plasmodium yang masuk atau
mampu menghalangi perkembangannya. Hanya pada daerah dimana orang-orang
25

mempunyai gametosit dalam darahnya dapat menjadikan nyamuk anopheles


terinfeksi. Penularan malaria terjadi pada kebanyakan daerah tropis dan
subtropics, walaupun Amerika Serikat, Kanada, Eropa, Australia dan Israel
sekarang bebas malaria local, wabah setempat dapat terjadi melalui infeksi
nyamuk local oleh wisatawan yang datang dari daerah endemis. Malaria
congenital, disebabkan oleh penularan agen penyebab melalui barier plasenta,
jarang ada. Sebaliknya malaria neonates, agak sering dan dapat sebagai akibat
dari pencampuran darah ibu yang terinfeksi dengan darah bayi selama proses
kelahiran
6. Cara Mencegah Malaria

7. Epidemilogi Penyakit
Malaria adalah penyakit menular yang disebabkan Plasmodium, yaitu mahluk
hidup bersel satu yang termasuk ke dalam protozoa. Malaria ditularkan melalui
gigitan nyamuk Anopheles Betina yang mengandung Plasmodium di dalamnya.
Plasmodium yang terbawa melalui gigitan nyamuk akan hidup dan berkembang biak
dalam sel darah merah manusia. Penyakit ini menyerang semua kelompok umur baik
26

laki-laki maupun perempuan dengan gejala demam, menggigil, berkeringat, sakit


kepala, mual atau muntah
Secara epidemiologi, malaria merupakan penyakit endemis di daerah tropis
dan sebagian daerah subtropis di Afrika, Asia, serta Amerika Tengah dan Selatan. Di
Indonesia, malaria terutama ditemukan di daerah Indonesia timur. Pada tahun 2018
diperkirakan terdapat 228 juta kasus malaria secara global dan 94% kasus ditemukan
di daerah Afrika. Plasmodium falciparum dan Plasmodium vivax merupakan spesies
parasit yang paling banyak menimbulkan malaria. Berdasarkan data WHO, pada tahun
2018 50% kasus malaria di Asia Tenggara disebabkan oleh Plasmodium
falciparum dan 53% disebabkan oleh Plasmodium vivax

2.3 Demam Chikungunya


Chikungunya berasal dari bahasa Shawill yang menunjukkan gejala pada penderita
dengan arti posisi tubuh meliuk atau melengkung, mengacu pada postur penderita yang
membungkuk akibat nyeri sendi hebat (arthralgia). Sumber lain menyebut berasal dari
bahasa Makonde yang artinya melengkung ke atas yang adalah merujuk pada tubuh
bungkuk karena gejala arthritis penyakit ini.
Virus Chikungunya pertama kali diisolasi oleh Ross pada tahun 1953 sejak
terjadinya epidemi dengue di wilayah Newala, Tanzania. Transmisi penyakit ini
umumnya oleh nyamuk genus Aedes. Distribusi geografi meliputi wilayah tropis dari
sub-Sahara Afrika, Asia dan Ameika Utara.
Demam Chikungunya relatif kurang berbahaya dan tidak fatal dibandingkan
dengan penyakit demam berdarah dengue (DBD). Demam chikungunya merupakan
penyakit self limiting disease (sembuh sendiri). Masa inkubasi terjadinya penyakit
sekitar dua sampai empat hari, sementara manifestasinya timbul antara tiga sampai
sepuluh hari.

1. Etiologi Penyakit
Penyakit chikungunya disebabkan oleh virus chikungunya. Virus ini termasuk
keluarga Togaviridae, genus Alphavirus atau “Group A” antropho borne viruses, vector
penular utamanya adalah Aedes Aegypty. Virus ini juga dapat diisolasi dari nyamuk
Aedes Africanus, Culex Fatigans, Culex Tritaeniorrhyncus, Aedes Albopictus dan
27

beberapa jenis spesies nyamuk tertentu di daerah Afrika juga yang ternyata dapat
menyebabkan virus Chikungunya.

2. Masa Inkubasi dan Penularan


Masa inkubasi dari demam Chikungunya adalah 2-4 hari. Manifestasi penyakit
berlangsung 3-10 hari. Virus ini termasuk self limitting disease a tau hi lang dengan
sendirinya. Namun, rasa nyeri masih tertinggal dalam hitungan minggu sampai bulan.
Nyeri sendi pada penderita dewasa umumnya lebih berat daripada anak-anak. Pada anak
kecil dimulai dengan demam mendadak, kulit kemerahan. Ruam-ruam merah itu muncul
setelah 3-5 hari. Mata biasanya merah disertai tanda-tanda seperti flu. Sering dijumpai
anak kejang demam. Pada anak yang lebih besar, demam biasanya diikuti rasa sakit pada
otot dan sendi, serta terjadi pembesaran kelenjar getah bening. Pada orang dewasa, gejala
nyeri sendi dan otot sangat dominan dan sampai menimbulkan kelumpuhan sementara
karena rasa sakit bila berjalan. Kadang-kadang timbul rasa mual sampai muntah. Pada
umumnya demam pada anak hanya berlangsung selama 3 hari dengan tanpa atau sedikit
sekali dijumpai perdarahan maupun syok.
Cara penularan penyakit ini terutama ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti dan
nyamuk Aedes albopictus. Nyamuk ini juga dapat menularkan penyakit demam berdarah
dengue. Penularan demam Chikungunya terjadi apabila penderita sakit (dalam keadaan
viremia) digigit oleh nyamuk penular, kemudian nyamuk penular tersebut menggigit
orang lain. Tidak dijumpai penularan dari orang ke orang tanpa perantaraan nyamuk
penular.

3. Gejala dan Tanda Penyakit serta Diagnosis


Gejala utama demam chikungunya yaitu tiba-tiba tubuh terasa demam, diikuti
dengan nyeri persendian. Salah satu gejala yang khas yaitu timbulnya rasa pegal-pegal,
ngilu, rasa sakit pada tulang sehingga ada yang menamainya flu tulang. Pada anak kecil
dimulai dengan demam mendadak dan kulit ruam-ruam muncul setelah 3-5 hari., mata
merah disertai tanda-tanda seperti flu, pada anak sering terjadi kejang. Pada orang
dewasa gejala nyeri sendi dan otot sangat dominan sampai menimbulkan kelumpuhan
sementara. Pada umumnya demam pada anak hanya berlangsung 3 hari tanpa dijumpai
pendarahan maupun syok. Penyakit ini sangat mirip dengan DBD, bedanya virus DBD
akan memproduksi racun yang menyerang pembuluh darah dan menyebabkan kematian.
28

Sedangkan pada chikungunya virus menyerang tulang sehingga membuat persendian


terasa ngilu.
Untuk memperoleh diagnosis yang akurat perlu melakukan tes ELISA (enzyme-
linked immunosorbent assays). Tes ELISA adalah tes serologi yang digunakan untuk
mengecek keberadaan antibodi IgM dan IgG chikungunya. Umumnya, kadar antibodi
IgM sangat tinggi pada 3–5 minggu setelah gejala muncul dan bisa bertahan hingga 2
bulan.

4. Pengobatan
Pengobatan yang diberikan hanya terapi simtomatis, seperti obat penghilang rasa
sakit atau demam seperti paracetamol. Pemberian chloroquin yang sekaligus sebagai
antiviral, aspirin, naproxen, ibuprofen, dan golongan NSAID (Non Steroid Inflammatory
Drugs) juga cukup ampuh meringankan beberapa masalah sendi seperti mengatasi nyeri
dan menurunkan demam.
Vaksin untuk pencegahan dan obat pembasmi virus chikungunys belum ada
sehingga cara yang paling efektif adalah dengan pencegahan, tidak ada pengobatan yang
spesifik bagi penderita demam chiungunya, berikan waktu istirahat yang cukup, minum
dan makan yang bergizi, laporkan kepada puskesmas atau dinas kesehatn setempat jika
terdapat penderita demam chikungunya, isolasi atau hindari penderita dari kemungkinan
digigit nyamuk, agar tidak menyebar kepada orang lain.

5. Faktor yang Mempengaruhi Demam Chikungunya


a) Faktor Pejamu Faktor pejamu, terdiri dari imunitas, umur, dan status gizi.
b) Faktor Penyebab Penyakit
Faktor penyebab penyakit ini adalah virus Chikungunya yang termasuk kelompok
virus RNA yang mempunyai selubung. Merupakan salah satu anggota "group A"
arihropode borne viruses (flavivirus), dalam genus alphavirus dan famili
Togaviridae.
c) Faktor Lingkungan
Faktor lingkungan memegang peranan yang cukup penting dalam menentukan
terjadinya proses interaksi antara pejamu dengan unsur penyebab dalam proses
terjadinya penyakit. Faktor ini terdiri dari Lingkungan Biologis yaitu keberadaan
virus Chikungunya itu sendiri, berbagal binatang dan tumbuhan yang dapat
29

mempengaruhi agent tersebut sefta perkembangan vektor penyakit Chikungunya


yaitu Aedes aegypti dan Aedes albopictus yang berfungsi reservoar/sumber
penyakit atau pejamu antara. Lingkungan Fisik adalah lingkungan fisik rumah
yang meliputi pencahayaan, suhu, kelembaban, ventilasi dan kepadatan hunian.
6. Cara Pencegahan

cara mencegah penyakit ini adalah menghindari gigitan nyamuk pembawa virusnya.
Nyamuk ini, senang hidup dan berkembang biak di · genangan air bersih seperti bak
mandi, vas bunga, dan juga kaleng atau botol bekas yang menampung air bersih.
Mengingat penyebar penyakit ini adalah nyamuk Aedes aegypti maka cara terbaik untuk
memutus rantai penularan adalah dengan memberantas nyamuk tersebut. Menaburkan
larvas ida (bubuk Abate) secara teratur setiap minggu atau memelihara ikan pemakan
jentik pada kolam-kolam. Pembersihan lingkungan dari tempattempat perkembangbiakkan
nyamuk penular dan penggunaan kawat pelindung nyamuk di pintu danjendela juga
diperlukan. S~lain itu menggunakan pakaian lengan panjang dan celana panjang, serta
menggunakan gel anti nyamuk, cukup efektif mencegah gigitan nyamuk penular ini.

7. Gambaran Epidemiologi Penyakit


Penyakit Chikungunya adalah jenis penyakit menular yang disebabkan oleh virus
Chikungunya (CHIKV) yang ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti dan Aedes
albopictus. Chikungunya merupakan penyakit re-emerging yaitu penyakit yang
keberadaan nya sudah ada sejak lama tetapi sekarang muncul kembali. Namanya berasal
30

dari bahasa Swahili yang berarti "yang melengkung ke atas", yang merujuk kepada tubuh
yang membungkuk akibat gejala-gejala arthritis. Chikungunya disebabkan arbovirus dari
genus Alphavirus (famili Togaviridae). Manusia yang terinfeksi virus Chikungunya
umumnya mengalami demam mendadak, nyeri pada persendian, terutama pada sendi lutut,
pergelangan, jari kaki, tangan, tulang belakang, serta ruam pada kulit. Demam
chikungunhya ini terutama dijumpai di daerah tropis/subtropis dan sering menimbulkan
epidemi. Beberapa negara di Afrika dan Asia merupakan daerah endemis chikungunya dan
secara global, sebanyak 1,3 miliar orang yang tinggal di 94 negara diperkirakan berisiko
terinfeksi virus Chikungunya.

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan penyakit yang ditularkan oleh nyamuk
Aedes aegypti. Infeksi DBD diakibatkan oleh virus dengue. Gejala DBD yaitu pendarahan
pada bagian hidung, gusi, mulut, sakit pada ulu hati terus menerus dan memar di kulit.
Nyamuk Ae. aegypti merupakan nyamuk yang memiliki perkembangan begitu cepat dan
menjadikan 390 juta orang yang terinfeksi setiap tahunnya. Di Indonesia DBD salah satu
masalah kesehatan masyarakat karena penderitanya tiap tahun semakin meningkat serta
penyebarannya yang begitu cepat. Penyakit DBD dapat ditularkan pada anak-anak yang
berusia kurang dari 15 tahun hingga pada orang dewasa.
Di Indonesia sampai saat ini penyakit malaria masih merupakan masalah Kesehatan
Masyarakat. Terutama di daerah Indonesia bagian timur. Angka kesakitan penyakit ini masih
cukup tinggi terutama dijumpai di daerah endemis. Dewasa ini upaya pemberantasan
31

penyakit malaria dilakukan melalui pemberantasan vektor penyebab malaria (nyamuk


anopheles) Ada beberapa cara yang biasanya dilakukan dalam memberantas vektor yaitu
secara kimiawi dan hayati yang sering dilakukan. Penyebab penyakit malaria di Indonesia
adalah genus plasmodia family plasmodiidae dan ordo coccidiidae, Sampai saat ini dikenal 4
(empat) macam parasit malaria yaitu:
a. Plasmodium Falcifarum penyebab malaria tropika yang sering menyebabkan malaria berat.
b. Plasmodilun vivax penyebab malaria Tertiana.
c. Plasmodium Malariae penyebab malaria Quartana
d. Plasmodium Ovate jenis ini jarang sekali di jumpai di Indonesia, karena umumnya banyak
kasusnya terjadi di Afrika dan Pasifik barat.
Gejala klasik malaria merupakan suatu paroksisme, biasanya terdiri atas 3 Stadium
yang berurutan yaitu: Stadium dingin, Stadium demam dan Stadium berkeringat. Ketiga
gejala klinis tersebut ditemukan pada penderita berasal dari daerah non endemis yang
mendapat penularan di daerah endemis atau yang pertama kali menderita penyakit malaria.
Masa inkubasi pada penularan secara alamiah bagi masing-masing species parasit adalah
sebagai berikut: Plasmodium falcifarum 12 hari. Plasmodium Vivax dan plasmodium Ovale
13 -17 hari dan Plasmodium Malariae 28 -30 hari
Demam Chikungunya relatif kurang berbahaya dan tidak fatal dibandingkan dengan
penyakit demam berdarah dengue (DBD). Demam chikungunya merupakan penyakit self
limiting disease (sembuh sendiri). Masa inkubasi terjadinya penyakit sekitar dua sampai
empat hari, sementara manifestasinya timbul antara tiga sampai sepuluh hari. Gejala utama
terkena chikungunya, tiba-tiba tubuh terasa demam diikuti dengan linu di persendian.
Bahkan, terdapat gejala khas yaitu timbulnya rasa pegal-pegal, ngilu, juga timbul rasa sakit
pada tulang-tulang (demam tulang / flu tulang). Dalam beberapa kasus didapatkan juga
penderita yang terinfeksi tanpa menimbulkan gejala sama sekali (silent virus chikungunya).
Kelumpuhan dapat terjadi pada kasus demam chikungunya walau hanya bersifat sementara
sebagai efek dari proses perkembangbiakan virus dalam darah yang menimbulkan perasaan
nyeri pada tulang dan seputar persendian sehingga sulit menggerakkan anggota tubuh. Akan
tetapi, itu bukan berarti kelumpuhan total.

3.2 Saran

Gerakan pemberantasan sarang nyamuk (PSN) perlu dilaksanakan secara optimal oleh
masyarakat supaya angka bebas jentik (ABJ) meningkat dan kasus DBD berkurang. Edukasi
32

ke masyarakat akan pentingnya PSN perlu dilakukan oleh petugas kesehatan/kader supaya
meningkatkan pengetahuan dan memicu kesadaran masyarakat akan pentingnya penerapan
PSN di lingkungannya. Tindakan pencegahan pun perlu dilakukan ketika masyarakat
berpergian keluar rumah supaya mereka tidak tertular ketika mereka berada di daerah lain.
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 50 Tahun 2017 yang disebut
dengan
pengendalian vektor dan binatang pembawa penyakit adalah semua kegiatan atau tindakan
yang ditujukan untuk menurunkan populasi vektor dan binatang pembawa penyakit serendah
mungkin sehingga keberadaannya tidak lagi berisiko untuk terjadinya penularan penyakit
tular
vektor di suatu wilayah atau menghindari kontak masyarakat dengan vektor sehingga
penularan
vektor dapat dicegah.

DAFTAR PUSTAKA

Amirullah, Endang Puji Astuti. (2011). Chikungunya : transmisi dan permasalahannya.


Aspirator, Vol. 3 No. 2 : 100-106. Diakses pada
http://ejournal.litbang.kemkes.go.id/index.php/aspirator/article/viewFile/2964/2149

Arisanti, M., & Suryaningtyas, N. (2021). Kejadian demam berdarah dengue (dbd) di
indonesia tahun 2010-2019. Spirakel, 13(1), 34-41. Diakses dari
https://ejournal2.litbang.kemkes.go.id/index.php/spirakel/article/view/5439

Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tular Vektor dan Zoonotik


(DIT.P2PTVZ) - Kementerian Kesehatan RI . (2022). Diakses dari
https://ptvz.kemkes.go.id/berita/situasi-dbd-di-indonesia-minggu-ke-51-tahun-2021
33

Julia Fitriany, Ahmad Sabiq. (2018). Malaria. Jurnal Averrous, Vol.4 No.2. diakses dari
https://ojs.unimal.ac.id/index.php/averrous/article/download/1039/558

Lukman Hakim. (2011). Malaria : Epidemiologi dan Diagnosis. Aspirator, Vol.3 No. 2,107-
116. Diakses dari http://ejournal.litbang.kemkes.go.id/index.php/aspirator/article/view/
2965

Masrizal Dt Mangguang. (2010). Penyakit menular chikungunya. Jurnal Kesehatan


Masyarakat, Vol 5 No 1. Diakses pada
http://jurnal.fkm.unand.ac.id/index.php/jkma/article/view/145

Nova Pramestuti, Ihda Zuyina Ratna Sari, Endang Setiyani, Ulfah Farida Trisnawati, Eva
Lestari, Adil Ustiawan. (2021). Gambaran Epidemiologi Peningkatan Kasus
Chikungunya di Desa Kajongan Kecamatan Bojongsari Kabupaten Purbalingga. Balaba,
Vol. 17 No. 2 : 127-136. Diakses pada
https://ejournal2.litbang.kemkes.go.id/index.php/blb/article/download/5034/2486

Oroh, M., Pinontoan, O., & Tuda, J. (2020). Faktor Lingkungan, Manusia dan Pelayanan
Kesehatan yang Berhubungan dengan Kejadian Demam Berdarah Dengue. Indonesian
Journal Of Public Health And Community Medicine, 1(3), 35-46. Retrieved from
https://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/ijphcm/article/view/29210/28459

Saphira Evani. “Epidemiologi Malaria”, https://www.alomedika.com/penyakit/penyakit-


infeksi/malaria/epidemologi diakses pada 22 April 2022

Sukohar, A. (2014). Demam Berdarah Dengue (DBD). Medula: Jurnal Profesi Kedokteran


Universitas Lampung, 2(02), 152633. Diakses pada
https://juke.kedokteran.unila.ac.id/index.php/medula/article/view/311

Sutarto, Eka Cania B. (2017). Faktor Lingkungan, Perilaku dan Penyakit Malaria. J
AgromedUnila, Vol.4 No.1. diakses dari http://repository.lppm.unila.ac.id/5713/3/artikel
%20agro.pdf

Syauban Amaldi Kusumo, AT. Diana Nerawati, Sudjarwo. (2014). Lingkungan sebagai
faktor risiko terjadinya chikungunya studi kasus di wilayah kerja puskesmas kandangsapi
kota pasuruan tahun 2014. Gema Kesehatan Lingkungan, VOL. XII No.3 ISSN 1693-
s761. diakses dari http://journal.poltekkesdepkes-sby.ac.id/index.php/KESLING/article/
view/107

Upaya Pencegahan DBD dengan 3M Plus . (2019)., from


https://promkes.kemkes.go.id/upaya-pencegahan-dbd-dengan-3m-plus
34

Yusoff, N. S. B. M., & SpPD-KAI, K. S. (2018). Demam berdarah dengue. Fakultas


Kedokteran Universitas Udayana,(1102005225), 1-36. (2022). Diakses dari
http://repository.unimus.ac.id/2358/3/10.%20BAB%20II.pdf

2020. “Pentingnya Pencegahan Penyakit Chikungunya”,


https://nganjuk.nganjukkab.go.id/berita/detail-berita/43 diakses pada 22 April 2022

Anda mungkin juga menyukai