Ilmu Biomedik Dasar Bayu Nur Sofyan 210101083 (B)
Ilmu Biomedik Dasar Bayu Nur Sofyan 210101083 (B)
Ilmu Biomedik Dasar Bayu Nur Sofyan 210101083 (B)
RESUME JURNAL
Dosen Pengampau :
Disusun Oleh :
FAKULTAS KESEHATAN
LAMPUNG
2021
JURNAL 1
A. Definisi Skabies
Skabies merupakan penyakit kulit menular yang masih merupakan
masalah kesehatan masyarakat. Skabies disebabkan oleh tungau (mite)
Sarcoptes Scabie yang mudah menular dari hewan kepada manusia. 1
Penyakit ini menyerang anakanak maupun orang dewasa dengan frekuensi
yang sama pada pria maupun wanita. 2 WHO memperkirakan setiap
tahunnya lebih dari 300 juta orang diseluruh dunia terkena scabies. 3
Prevalensi cenderung lebih tinggi di negara-negara tropis dan daerah
perkotaan terutama di daerah yang padat penduduk. Skabies dapat terjadi
di semua kelas sosial ekonomi, perempuan dan anak-anak mengalami
prevalensi lebih tinggi. Pada musim dingin, prevalensi cenderung lebih
meningkat dibandingkan pada musim panas.
B. Angka Kejadian Skabies
Berdasarkan data Dinas Kesehatan Kabupaten Bintan, pada tahun
2017 terjadi kasus KLB penyakit skabies yaitu sebanyak 40 kasus. Kasus
penyakit skabies tertinggi terdapat di wilayah Puskesmas Toapaya.
Kejadian kasus endemi skabies pada umumnya terjadi di area dengan
tingkat kepadatan penduduk yang tinggi, dikarenakan penyakit ini mudah
menular dengan cepat dan dipengaruhi oleh kebersihan lingkungan.
Skabies dapat mewabah pada daerah padat penduduk salah satunya adalah
pondok pesantren dan sekolah asrama. 4 Beberapa penelitian menunjukkan
kejadian scabies cukup tinggi pada pondok pesantren berkisar 36,6% -
72,2%.5-.
memenuhi standar, tidak berwarna, tidak berbau, dan tidak berasa.
Sanitasi lingkungan yang baik dipengaruh oleh kualitas dari personal
hygiene masingmasing, dimana masih banyak orang yang tidak
memperhatikan hal tersebut, dikarenakan hal-hal seperti ini dianggap
sebagai bagian dari kebiasaan seseorang.11,12 Personal hygiene yang
buruk dapat menyebabkan tubuh terserang berbagai penyakit, seperti
penyakit kulit dan penyakit infeksi. 10 Hasil penelitian Ridwan, dkk di
Pondok Pesantren Darul Mukhlisin Kota Kendari juga menyatakan
menyebutkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara peronal hygiene
terhadap kejadian skabies di Pondok Pesantren Darul Mukhlisin Kota
Kendari 2017. 13 Menurut data dari pihak Puskesmas Toapaya tahun
2017, pada tahun 2015-2016, Pondok Pesantren Madani Unggulan Bintan
pernah mengalami peningkatan kasus penyakit scabies sebanyak 35
Penderita. Pada tahun 2017 penderita scabies meningkat menjadi sebanyak
40 penderita. Pada tahun 2018 dilaporkan bahwa santri yang masih
menderita scabies sebanyak 20 orang. Adapun tujuan penelitian ini untuk
mengetahui hubungan personal hygiene dengan kejadian scabies di
Pondok Pesantren Madani Unggulan Kecamatan Toapaya Kabupaten
Bintan.
C. Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian analitik dengan menggunakan
desain penelitian cross sectional, dimana penelitian yang menekankan
pada waktu pengukuran atau observasi data variabel bebas dan variabel
terikat dilakukan secara serentak pada satu saat (point time approach).
E. Jenis Data
Penelitian ini menggunakan data primer yang dikumpulkan melalui
metode wawancara, observasi dan pengukuran dengan menggunakan
kuesioner. Variabel dependen pada penelitian ini adalah kejadian skabies
yang dinilai berdasarkan riwayat kejadian skabies selama 3 bulan terakhir.
Variabel independen pada penelitian ini adalah personal higiene yang
meliputi kebersihan pakaian dan handuk, kebersihan kulit, kebersihan
tangan dan kuku, kebersihan genitalia dan kebersihan tempat tidur dan
sprei, yang diperoleh berdasarkan hasil wawancara dengan kuesioner.
Selanjutnya diukur juga variabel pengganggu yang meliputi karakteristik
individu yang terdiri dari umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, lama
tinggal dan pengetahuan serta variabel sanitasi lingkungan yang terdiri
dari penyediaan air bersih, kepadatan hunian, pencahayaan alami, ventilasi
dan kelembaban.
F. Analisis Data
Analisis data dilakukan secara univariat, bivariat, stratifikasi dan
multivariat. Analisis univariat dilakukan untuk mendapatkan gambaran
dari variabel yang diteliti yang meliputi personal hygiene dan sanitasi
lingkungan terhadap kejadian penyakit Skabies. Analisis bivariat
dilakukan untuk melihat hubungan antar dua variabel (bebas dan terikat).
Apakah variabel tersebut mempunyai hubungan yang signifikan. Dalam
analisis ini digunakan uji chi square, uji signifikan menggunakan batas
kemaknaaan α = 0,05 dengan taraf signifikan 95%. Analisis stratifikasi
dilakukan terhadap semua variabel perancu/kovariat dengan tujuan untuk
mengetahui dan menilai ada tidaknya interaksi (modifikasi). Penilaian
interaksi dilakukan dengan melakukan uji interaksi test likelihood ratio
dengan membandingkan log likelihood statistic untuk model interaksi (full
model) terhadap model tanpa interaksi (reduced model). Apabila p-value
variabel-variabel interaksi bernilai 0,05 maka variabel interaksi
tersebut dikeluarkan dari model. Selanjutnya analisis multivariat dilakukan
untuk pengujian konfounding, yaitu dilakukan dengan metode
Hierarchically Well Formulated (HWF). Analisis multivariat dilakukan
dengan mengeluarkan variabel perancu satu-persatu yang dimulai dari
variabel perancu yang nilai risikonya paling kecil. Lalu nilai PR pada
setiap reduced model dibandingkan dengan baku mutu (nilai PR pada
model awal). Jika perubahan PR >10% maka variabel tersebut dianggap
sebagai konfounding dan dimasukkan kembali ke dalam model.
G. Hasil Penelitian
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan antara personal
higiene dengan kejadian skabies, setelah dikontrol variabel jenis kelamin
dan luas ventilasi. Hasil analisis multivariat menunjukkan bahwa
responden yang personal higienenya kurang berisiko 3,4 kali lebih tinggi
mengalami kejadian skabies dibanding yang personal higienenya baik aPR
= 3,447 (95%CI : 0,973-12,215). Jenis kelamin merupakan variabel
konfounder dalam hubungan personal higiene dengan kejadian skabies.
Jenis kelamin sebagai faktor risiko terhadap kejadian skabies, dengan nilai
PR = 6,098 (95% CI : 1,721- 21,611). Artinya, responden yang berjenis
kelamin laki-laki berisiko enam kali lebih tinggi dibandingkan responden
yang berjenis kelamin perempuan. Hal ini diasumsikan bahwa laki-laki
lebih cenderung kurang memperhatikan kebersihan diri dan lingkungan
sehingga risiko terkena penyakit skabies dan penularan skabies lebih besar
dibanding perempuan. Prevalensi scabies pada wanita cenderung lebih
rendah dari pada laki-laki, diduga disebabkan wanita cenderung lebih
peduli terhadap personal higiene dibandingkan laki-laki . Variabel
konfounder lainnya adalah variabel luas ventilasi kamar. Luas ventilasi
yang tidak memenuhi syarat sebagai faktor protektif dengan PR 0,151
(95%CI : 0,015-1,512) pada hubungan personal higiene dengan kejadian
skabies. Hal ini diasumsikan karena distribusi data yang cenderung pada
kelompok yang tidak memenuhi syarat (99,1%). Ventilasi kamar berfungsi
sebagai wadah sirkulasi udara dari suatu kamar. Ventilasi juga bermanfaat
untuk mengurangi kelembaban kamar sehingga mengurangi kemungkinan
agen penyakit skabies dapat hidup di kamar dan mengurangi kemungkinan
seseorang terkena skabies.
Hasil penelitin ini sejalan dengan penelitian Puspita S, dkk yang
menyatakan bahwa ada hubungan antara personal higiene dengan kejadian
skabies pada santri di Pondok Pesantren Al-Azhar Desa Tembelang
Kecamatan Peterongan Jombang (p= 0,000 < α (0,05). 14 Hal ini juga
sejalan dengan peneltian Irfan yang menyatakan bahwa ada hubungan
personal higiene dengan kejadian skabies di Alak Lanfill Kota Kupang (p
= 0,032 < 0,05). 15 Begitu juga dengan penelitian yang dilakukan oleh
Juliansyah dan Minartami yang menyebutkan bahwa di Pondok Pesantren
Darul Ma’arif Kabupaten Sintang menunjukan yang menunjukkan bahwa
ada hubungan antara personal hygiene dengan kejadian scabies (p = 0,018
< 0,05) dan didapatkan nilai OR = 3,106 (95%CI : 1,296-7,441).
H. Keseimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa terdapat
hubungan antara personal higiene dengan kejadian skabies, setelah
dikontrol variabel jenis kelamin dan luas ventilasi, dimana hasil analisis
multivariat menunjukkan bahwa responden yang personal higienenya
kurang, memiliki resiko lebih tinggi mengalami kejadian skabies
dibanding personal higienenya baik. Diharapkan bagi pemerintah
melakukan program promosi kesehatan yang dilakukan secara rutin di
lingkungan sekolah/pondok pesantren guna peningkatan derajat kesehatan
siswa.
JURNAL 2
A. Definisi Albino
Albino merupakan penyakit yang disebabkan oleh faktor genetik.
Orang dengan albino memiliki kelainan pigmen kulit yang disebabkan
oleh kurangnya pigmen melanin dalam kulit. Albino tidak disebabkan oleh
infeksi dan tidak menular melalui kontak fisik maupun melalui transfuse
darah (Christy, 2010).
B. Angka Kejadian
Penderita albino di Indonesia tidak banyak, jumlahnya kira-kira
1:17.000. Populasi penderita albino ini terbilang sangat sedikit jika
dibandingkan jumlah penduduk di Indonesia yang mencapai 237.641.326
jiwa (Badan Pusat Statistik, 2010).
C. Metode Penelitian
eksperimen yang digunakan dalam penelitian ini adalah Quasi
Experiment dengan one group pretest-posttest design. Desain penelitian ini
hanya menggunakan satu kelompok saja (kelompok eksperimen), dan
tidak memerlukan kelompok kontrol. Subjek dalam penelitian ini adalah
remaja dengan albino yang merupakan anggota dari Komunitas Albino X
di Jakarta dengan rentang usia 11-21 tahun, yang tingkat stress tinggi dan
bersedia menjadi subjek penelitian adalah 6 orang remaja. Adapun
variabel yang dikaji dalam penelitian ini adalah expressive writing sebagai
dependent variable (X1), tipe kepribadian sebagai dependent variable
(X2), dan stress sebagai independent variable (Y).
E. Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan skala
stress dan skala tipe kepribadian. Skala stres terdiri dari 29 item yang
disusun oleh peneliti menggunakan aspek-aspek stress dari teori Lazarus
(1984) yaitu reaksi stress berdasarkan kognitif, psikis, fisik, dan
perilakunya. Skala stress ini digunakan untuk mengukur tingkat stress
yang dialami oleh subjek sebelum dan sesudah pemberian perlakuan.
Skala tipe kepribadian menggunakan Eysenck Personality Questionaire
(EPQ) yang telah dialih bahasakan oleh Karsono (Retnowati & Haryanthi,
2001). Dalam skala ini, Eysenck mengukur 7 karakteristik komponen atau
sub-faktor yaitu: a) activity, b) sociability, c) risk taking, d) impulsiveness,
e) expressiveness, f) reflectiveness dan g) responsibility. Skala EPQ ini
digunakan untuk mengetahui kecenderungan tipe kepribadian dari masing-
masig subjek.
F. Analisis data
Hasil perhitungan analisis data menggunakan uji data
nonparametrik Wilcoxon dengan bantuan program IBM SPSS V.16
didapatkan nilai mean pre-test = 104,50 dan mean post-test = 53,17
dengan taraf signifikansi p = 0,027 (p<0,05). Dapat di artikan bahwa ada
pengaruh expresive writing therapy terhadap penurunan tingkat stress pada
individu remaja dengan albino.
Hasil analisis data menggunakan statistiknon-parametrik Mann
Whitney U tes untuk mengetahui perbedaan tingkat kecemasan antara
subjek yang memiliki kepribadian introvert dan ekstrovert diperoleh hasil
sebagai berikut. Hasil analisis data menunjukkan kelompok introvert
memperoleh nilai mean rank sebesar 2,00 dan pada kelompok ekstrovert
nilai mean rank 5,00 dengan taraf signifikansi sebesar p=0.050 (p > 0,05).
Artinya tidak ada perbedaan yang signifikan pengaruh pemberian
expressive writing therapy dalam menurunkan tingkat stress ditinjau dari
tipe kepribadian introvert dan ekstrovert. Dapat disimpulkan expressive
writing therapy efektif diberikan kepada subjek dengan tipe kepribadian
introvert dan ekstrovert.
G. Hasil Penelitian
Setelah pelaksanaan penelitian dan pengambilan data terhadap 6
subjek penelitian, diperoleh data hasil pengukuran awal (pretest) dan
pengukuran kedua (posttest). Skor yang dimiliki subjek sebelum dan
sesudah diberikan treatment expressive writing therapy terlihat adanya
perubahan. Hasil penelitian menunjukkan terjadinya penurunan skor stress
terhadap subjek setelah diberikan treatment expressive writing therapy.
Hasil perhitungan analisis data menggunakan uji data nonparametrik
Wilcoxon dengan bantuan program IBM SPSS V.16 didapatkan nilai mean
pre-test = 104,50 dan mean post-test = 53,17 dengan taraf signifikansi p =
0,027 (p 0,05). Artinya tidak ada perbedaan yang signifikan pengaruh
pemberian expressive writing therapy dalam menurunkan tingkat stress
ditinjau dari tipe kepribadian introvert dan ekstrovert. Dapat disimpulkan
expressive writing therapy efektif diberikan kepada subjek dengan tipe
kepribadian introvert dan ekstrovert.
H. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, dapat ditarik
kesimpulan bahwa expressive writing therapy dapat menurunkan tingkat
stress pada remaja yang terlahir dengan albinisme. Selain metode
expressive writing therapy yang secara teoritis memang diyakini dapat
menjadi sarana untuk mengeluarkan emosi-emosi negatif yang dialami
oleh individu. Keberhasilan penggunaan metode ini juga tidak terlepas dari
sikap subjek penelitian yang sangat kooperatif selama proses penelitian
berlangsung dan memiliki keinginan untuk memperbaiki diri dan
menyelesaikan permasalahan yang sedang mereka hadapi saat ini yang
dapat menjadi sumber stress bagi mereka. Penelitian ini tidak dapat
membuktikan adanya perbedaan pemberian expressive writing therapy
dalam menurunkan tingkat stress para remaja penderita albino jika ditinjau
dari tipe kepribadian introvert dan ekstrovert. Artinya expressive writing
therapy efektif digunakan untuk menurunkan kecemasan, Baik pada
subjek dengan kepribadian introvert maupun subjek dengan kepribadian
ekstrovert. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai dasar bagi
lembaga pendidikan, instansi pemerintah, LSM, perusahaan dan lembaga-
lembaga yang terkait dalam menggunakan expressive writing therapy
sebagai salah satu metode untuk menurunkan stress. Agar expressive
writing therapy yang dilakukan dapat berhasil untuk menurunkan tingkat
stress, maka ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan yaitu: tempat
dan waktu pelaksanaan terapi, karakteristik dan kesediaan partisipan dalam
melaksanakan proses terapi.