CJR Filsafat Pendidikan
CJR Filsafat Pendidikan
CJR Filsafat Pendidikan
DOSEN PENGAMPU :
DR NURMAYANI,M.AG
DISUSUN OLEH :
2020
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah atas rahmat dan karunia yang telah diberikan kepada kita, sehingga
saya dapat menyelesaikan tugas Critical Journal Review mata kuliah Filsafat
Pendidikan dengan artikel jurnal yang berjudul “Ujian Nasional Dalam Tinjauan Kritis
Filsafat Pendidikan Pragmatisme”.
Saya berterima kasih kepada Ibu dosen yang bersangkutan, yang sudah memberikan
bimbingannya kepada kami.
Saya juga menyadari bahwa tugas Critical Journal Review ini masih banyak kekurangan,
oleh karena itu saya minta maaf jika ada kesalahan dalam penulisan dan saya juga
mengharapkan kritik dan saran yang membangun guna kesempurnaan tugas Critical
Journal Review ini.
Akhir kata saya ucapkan terima kasih dan semoga dapat bermanfaat serta bisa menambah
pengetahuan bagi pembaca.
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
C. Manfaat CJR
A. Pendahuluan
B. Deskripsi Isi
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Rekomendasi
DAFTAR PUSTAKA
BAB 1
PENDAHULUAN
Review jurnal atau hasil dari penelitian termasuk salah satu bentuk penugasan yang penting
dalam kurikulum KKNI yang berlaku di Prodi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan FIS
Unimed. Tujuan dari review jurnal atau hasil dari penelitian sendiri adalah untuk mempermudah
dalam membahas inti hasil penelitian ataupun jurnal yang telah ada.
Review jurnal ataupun review hasil penelitian merupakan salah satu strategi untuk bisa
mempermudah memahami inti dari jurnal ataupun dari hasil penelitian yang telah dilakukan. Oleh
sebab itu, setiap mahasiswa khususnya jurusan Pendidikan Antropologi harus memiliki
kompetensi untuk membaca serta menganalisis agar jurnal ataupun hasil penelitian yang dibahas
dapat dipahami sepenuhnya oleh mahasiswa.
1. Untuk memenuhi salah satu bentuk penugasan KKNI, Critical Journal Review.
C. Manfaat CJR
Pragmatisme
Tahun : 2014
RINGKASAN ARTIKEL
A. Pendahuluan
Pragmatisme, sebagai diskursus pemikiran kritis adalah pemikiran filsafati yang pada mulanya
berkembang di Barat, tepatnya di Amerika. Sesuai dengan namanya, filsafat pendidikan
pragmatisme adalah aliran pemikiran yang dikembangkan berdasarkan pandangan filsafat
pragmatisme. Pragmatisme juga sering disejajarkan dengan progresivisme, instrumentalisme,
eksperimentalisme dan environmentalisme (Noor Syam, 1983:228). Salah satu tokoh utama dari
aliran ini adalah John Dewey. Ia menganggap bahwa pendidikan harus dilakukan berdasarkan
prinsip-prinsip perubahan, proses, relativitas, dan rekonstruksi pada pengalaman manusia (Ornstein
dan Levine, 1985:199). Sesuai dengan corak filsafat yang mendasarinya, aliran pragmatisme
pendidikan memiliki ciri dan karakter yang berbeda dengan beberapa aliran pemikiran tradisional
seperti idealisme, realisme, perennialisme dan esensialisme. Perbedaan ini muncul karena aliran
pragmatisme memang mendasarkan pada landasan ontologis, epistemologis dan aksiologis yang
sangat berbeda. Ketika mengkaji persoalan filsafat pendidikan maka tidak bisa dihindari bahwa
pembahasannya akan berangkat dari filsafat sebagai bidang ilmu sebagai titik tolaknya. Dalam
kajian filsafat pendidikan diandaikan penggunaan suatu cara kerja filsafat dan hasilhasil metode
filsafat berupa pemikiran tentang realitas, pengetahuan dan nilai. Filsafat pendidikan, sesuai dengan
posisi ilmunya merupakan landasan filsafati yang menjiwai seluruh kebijaksanaan dan pelaksanaan
dalam pendidikan (Noor Syam, 1983:39). Karena filsafat pendidikan merupakan turunan dan
terapan dari ilmu filsafat, di mana bidang filsafat memiliki beraneka ragam aliran pemikirannya,
maka dalam kajian filsafat pendidikan pun akan disertakan pula tinjauan berbagai aliran pemikiran,
sekurang-kurangnya sebanyak aliran filsafat itu sendiri.
B. Deskripsi Isi
Ontologi sebagai bidang pemikiran kritis mengenai hakikat realitas merupakan salah satu landasan
yang sangat penting dalam pemikiran filsafat, khususnya mengenai hakikat manusia dalam
pendidikan. Hal ini menjadi penting jika dikaitkan dengan kajian mengenai pendidikan, dimana
yang menjadi subjek dan objeknya adalah manusia. Artinya untuk mengetahui pendidikan ideal
seperti apa yang tepat untuk diterapkan pada seseorang, maka perlu dikaji terlebih dahulu hal-hal
mendasar atau filsafati mengenai manusia yang menjadi objek dan subjek pendidikan tersebut.
Ontologi adalah bidang filsafat yang berurusan dengan pertanyaan mengenai struktur dasar realitas.
Kaitannya dengan asumsi ontologis ini, sebagaimana disebutkan oleh Ornstein dan Levine (dalam
Mudyahardjo, 1995:199), pemikiran pragmatisme pendidikan memiliki kata-kata kunci dalam hal
pemikiran atau landasan ontologis yaitu: proses, perubahan, interaksi dan pengalaman. Dalam
pandangan pragmatisme, kenyataan atau realitas dipahami memiliki dua entitas yaitu individual
dan lingkungan. Entitas individual, maksudnya adalah manusia secara personal, sedangkan entitas
lingkungan berarti lingkungan sosial sekaligus lingkungan alam. Inti dari landasan ontologis aliran
pragmatisme adalah bahwa realitas pada dasarnya merupakan suatu interaksi antara individu
dengan lingkungan atau pengalamannya. Oleh karena interaksi ini berlangsung secara terus
menerus dan pengalaman juga berkembang seiring dengan semakin lamanya hidup yang dijalani
manusia, maka realitas dalam pemahaman pragmatisme dipahami sebagai sesuatu yang selalu
berubah. Itulah pandangan pragmatisme mengenai realitas yang kemudian dijadikan sebagai
landasan ontologis dari sistem pendidikan yang dikembangkan.
Asumsi ontologis mengenai realitas ini mempengaruhi aspek pokok dalam filsafat pendidikan
pragmatisme, terutama dalam hal kurikulum pendidikannya. Oleh karena realitas dipahami terus
berada dalam proses atau perubahan, maka kurikulum yang baik menurut pragmatisme pendidikan
adalah kurikulum yang sesuai dengan aspek perubahan tersebut. Kesesuaian itu lebih didasarkan
pada sisi keilmiahannya. Prinsip kesesuaian ini menjadi sangat penting dalam pandangan ontologis
pragmatisme, karena hidup manusia selalu dimaknai sebagai interaksi antara individual dengan
lingkungannya.
Satu hal yang pertama-tama harus digarisbawahi sebelum membahas lebih jauh tentang
pragmatisme adalah bahwa pragmatisme lebih dekat dengan pengertian filsafat bertindak atau lebih
berarti praktis. Setiap pemecahan atas masalah apapun selalu dilihat dalam kerangka konsekuensi
praktisnya yang dikaitkan dengan kegunaannya dalam kehidupan manusia. Artinya konsekuensi
praktis yang berguna dan memuaskan manusia dalam hali ini yang membenarkan sebuah tindakan.
Di dalam kerangka pikiran tersebut, kaum pragmatisme tidak mau berargumentasi secara bertele-
tele bahkan sama sekali tidak menghendaki adanya diskusi, melainkan langsung mencari tindakan
yang paling tepat untuk dijalankan dalam situasi yang tepat. Kaum pragmatisme adalah manusia-
manusia empiris yang sanggup bertindak yang tidak terjerumus dalam pertengkaran ideologis,
melainkan secara nyata berusaha memecahkan masalah yang dihadapi dengan tindakan yang
konkret. Manusia pragmatis cukup manusiawi karena tidak melupakan kebutuhan nyata orang-
orang untuk berilmu dan berpengetahuan. Oleh karena itu pragmatisme menginterpretasikan ilmu
pengetahuan terutama sebagai metode atau cara memperlakukan sesuatu.
Ilmu pengetahuan bagi kaum pragmatis terutama diinterpretasikan sebagai metode karena mereka
berpandangan bahwa pemikiran merupakan proses atau sarana untuk membakukan keyakinan demi
tindakan manusia. Pragmatisme pendidikan mengajarkan bahwa yang penting adalah pengaruh apa
yang dimiliki suatu ide dalam suatu rencana tindakan, dan bukan apa hakikat ide itu. Pengetahuan
mengenai sesuatu tidak lain adalah gambaran yang diperoleh mengenai akibat yang akan
disaksikan. Arti pengertian-pengertian tertentu hanya dapat ditentukan bukan dengan menanyakan
benar tidaknya pengertian tersebut dari sudut teori ilmu pengetahuan, melainkan dengan
menggunakan ukuran tindakan dan sifat-sifat umum apa sehingga diterima suatu pengertian. Nilai
suatu pengertian tergantung pada penerapannya yang nyata dalam masyarakat.
Konsepsi nilai-nilai aksiologi dalam pandangan pragmatisme ini lebih menekankan terhadap
kondisi situasional, tergantung pada kebutuhan dalam pendidikan. Nilai-nilai pendidikan dalam
pandangan kaum pragmatisme itu sangat relatif sekali sesuai tempat, waktu dan keadaan (Ornstein
dan Levine, 1985:200). Karena itu pendidikan pragmatis, tak lain adalah pendidikan yang lebih
mengedepankan pada sisi eksternal, dalam artian nilai pengetahuan juga bisa diambil dari interaksi
dengan yang lain dan bahkan melalui keterampilan. Pendidikan keterampilan inilah yang
sesungguhnya mempunyai kegunaan bagi manusia. Dengan begitu, pendidikan yang menggunakan
paradigma pragmatisme juga memiliki kontribusi pada manusia dan perkembangan mengenai nilai,
terutama ketika manusia dalam perkembangannya dibatasi oleh berbagai hal.
Dalam konsep pragmatisme pendidikan, tidak ada pemisahan antara sekolah dan masyarakat.
Sekolah sebagai bagian dari masyarakat bertugas untuk menyederhanakan unsur-unsur budaya
yang menjadi kebutuhan individu untuk selanjutnya berpartisipasi dalam masyarakat. Sebagai suatu
lingkungan khusus, sekolah sengaja membawa siswa untuk berpartisipasi dalam budaya. Di sini,
sekolah memiliki tiga fungsi yaitu menyederhanakan, memurnikan dan menyeimbangkan warisan
budaya dalam masyarakatnya. Menyederhanakan berarti sekolah memilih unsur-unsur dari warisan
budaya. Maksudnya, sekolah menyeleksi mana saja dari unsur-unsur warisan budaya yang dapat
dijadikan unit-unit yang tepat untuk dipelajari. Memurnikan berarti sekolah memilih elemen
warisan budaya yang pantas dan menyingkirkan yang tidak pantas, yaitu yang membatasi interaksi
dan pertumbuhan manusia. Menyeimbangkan berarti sekolah mengintegrasikan pengalaman yang
telah dipilih dan dimurnikan tadi ke dalam sebuah harmoni sehinngga mencapai keseimbangan
dalam tatanan masyarakat.
Pragmatisme mengarah pada pengembangan aspek pengajaran pada tindakan dan perilaku manusia
agar dalam masalah mengambil keputusan moral dalam tindakan menjadi tepat dan sesuai dengan
pengetahuan yang di dapat di sekolah. Nilai kebaikan dalam dunia pendidikan harus ditonjolkan,
sehingga siswa tidak hanya menekankan pandangan yang berguna untuk kepentingannya terutama
dalam dunia kerja.
Dalam konteks Ujian Nasional (selanjutnya ditulis UN) sebagai sistem evaluasi pendidikan
nasional pada atinggal dasar hingga menengah, pelaksanaannya kerap terbentur pada persoalan-
persoalan minimnya kesiapan lembaga pendidikan beserta rendahnya kualitas proses
pembelajarannya, dan persoalan ketidakmerataan perhatian pemerintah pusat kepada daerah.
Sentralitas yang dapat dijadikan sifat model evaluasi UN memang sangat rasional untuk mengukur
kualitas pendidikan nasional yang memiliki standar tertentu. Namun demikian, satu persoalan yang
kerpa dikritik oleh para ahli pendidikan adalah pada soal dijadikannya hasi UN sebagai satu-
satunya penentu kelulusan. Berikut beberapa persoalan lainnya terkait pelaksanaan UN. Konsep
dan pelaksanaan UN yang memang sedang menjadi bahan perdebatan kritis itu, lalu ketika UN ini
dikaitkan dengan pandangan pragmatisme, terutama pada aspek aksiologi tentunya memiliki
kejanggalan dan ketidakbebasan terutama bagi siswa. Saat ini UN dijadikan suatu patokan atau
pedoman dalam menentukan prestasi dan kelulusan bagi siswa-siswi. Jika hal itu dihadapkan pada
pandangan pragmatisme yang lebih menekankan pada nilai-nilai yang tergantung pada diri siswa,
tentunya disadari bahwa setiap siswa memiliki kemampuan akademik yang berbeda-beda. Karena
itu, bila semua siswa disamaratakan dalam konteks UN ini, maka pembelajaran menjadi dangat
kontradiktif. Hal itu dikarenakan dalam pragmatisme nilai-nilai tertinggi itu terdapat dalam
pengalaman manusia sebagai individu dalam menentukan interaksinya sehingga siswa bisa
menentukan keputusan setiap masalah sesuai dengan pengalaman masing-masing dalam
memecahkan problem yang dihadapi.
Pendidikan di sekolah hanya sebagai seleksi saja dalam mengambil nilai-nilai pengetahuan yang
mungkin bisa diambil untuk kepentingan siswi-siswi sehingga bisa dijadikan metode ilmiah atau
sebagai cara dalam memecahkan masalah. Karena itu, menurut aliran pragmatis ini, keberadaan
UN perlu dikaji ulang. Sebab, UN tidak menjamin kepada siswa untuk mampu menempatkan nilai-
nilai pengetahuan dalam memecahkan problem yang dihadapi siswa. Sehingga yang diperlukan
tentunya jangan hanya dinilai dari UN karena di dalam nilai-nilai hanya mengandung aspek
kognitif saja, akan tetapi tidak pada aspek motorik. Dengan begitu, paradigma pragmatisme dalam
melihat segi nilai terhadap UN kurang tepat. Pada kenyataannya, UN memang hanya
berkonsentrasi pada formalitas dalam pendidikan, akan tetapi tidak menyentuh persoalan hasil
konkret yang diperoleh lewat pengalaman, keterampilan dalam memecahkan masalah, misalnya
pada pengembangan Sekolah Menengah Kejujuran (SMK) yang memiliki potensi memberikan
hasil lebih baik dan berguna pada dunia kerja.
BAB III
PEMBAHASAN/ANALISIS
Filsafat pendidikan pragmatisme adalah aliran pemikiran pendidikan yang sangat fokus dan
mementingkan kegunaan atau kemanfaatan pendidikan. Namun demikian, porsi kepraktisan yang
sangat mendominasi konsep pendidikan pragmatime itu tetap memperhatikan proses-proses
pendidikan yang ilmiah-metodis dengan memprasyaratkan aspek sosial dan kultural. Artinya,
tujuan pendidikan harus berdiri di atas konteks kemasyarakatan, dan pendidikan harus memiliki
peran untuk membangun peradaban. Selain itu, John Dewey sebagai tokoh penting pendidikan
pragmatisme juga menganjurkan pendidikan yang mengarah pada tujuan demokrasi, di mana
prinsip kesetaraan dan keadilan menjadi penting. Lalu, dari beberapa konsep pendidikan
pragmatisme tersebut dapat dipakai untuk meninjau kembali UN sebagai evaluasi pendidikan
nasional di Indonesia. Hasilnya, UN dipandang terlalu mendahulukan formalisme tanpa
mengindahkan prinsip-prinsip demokrasi dalam pendidikan. Acuan standarisasi evaluasi nasional
yang dituju pemerintah dalam penyelenggaraan UN tidak sesuai dengan prinsip kualitas dan
ekuitas sebagaimana disarankan oleh kalangan pragmatisme. Lalu, aspek: prinsip perubahan,
proses dan pengalaman yang menjadi perhatian pendidikan pragmatisme dalam mencapai tujuan
pembelajaran tidak sejalan dengan konsep UN yang cenderung bersifat konseptual dan jauh dari
pengalaman maupun proses pembelajaran.
1. Kelebihan jurnal
a. Dalam jurnal ini menggunakan bahasa yang mudah di pahami sehingga kita menjadi lebih
mengerti mengenai isi dari jurnal tersebut.
b. Masalah yang diutarakan di dalam jurnal cukup jelas yaitu mengenai masalah pendidikan
di Indonesia khususnya konrtribusi filsafat pragmatisme terhadap ujian nasional di
Indonesia.
c. Aliran filsafat pragmatisme dibahas dengan rinci dan jelas mulai dari landasan ontologis,
landasan epistemologis, landasan aksiologis, dan konsep pendidikan filsafat pragmatisme.
d. Adapun pendekatan penelitian dalam tulisan ini adalah kualitatif-deskriptif, dimana
pendekatan kualitatif memiliki prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif
berupa kata- kata tertulis atau lisan dari orang- orang dan perilaku yang dapat diamati,
sedangkan metode analisis data yang digunakan adalah analisis yang menekankan pada
perumusan makna, yakni: hermeneutika dan interpreteasi. Hasil analisis yang dipakai
sebagai tinjauan kritis persoalan Ujian Nasional disimpulkan dan ditampilkan.
e. Pada penelitian ini melampirkan hasil penelitian sebelum-sebelumnya yaitu suatu hasil
penelitian dalam Jurnal Edukasi Pascasarjana Universitas Islam 45 Bekasi (Aisah dan
Rofieq, 2011:77), yang mengungkap bahwa UN hanya mengevaluasi aspek kognitif
belaka, butir-butir soal dalam UN hanya menuntut daya ingat siswa terhadap fakta-fakta
keilmuan yang angsurkan di kelas oleh guru, sedangkan aspek afektif dan psikomotorik
tidak diukur. Hal ini menjelaskan bahwa UN tidak sesuai dengan model kurikulum yang
tetapkan pemerintah sendiri yang mengusung tiga aspek dalam dalam ranah pendidikan
yaitu kognitif, afektif dan psikomotorik dan hasil penilaian berbasis kompetensi tidak
dilakukan.
f. Penjelasan di abstrak dipaparkan dengan jelas bahwa jurnal ini membahas mengenai kajian
analitis terhadap aliran pemikiran filsafat pendidikan
2. Kekurangan jurnal
a. Masih adanya kesalahan penulisan (typo) dan penggunaan tanda baca yang kurang
tepat.
b. Tidak dijelaskan dengan rinci mengenai tokoh-tokoh pragmatisme dan pemikirannya.
c. Sistematika penulisan jurnal tidak tersusun dengan baik mulai dari judul penelitian,
nama penulis, abstrak, pendahuluan, metode, hasil, pembahasan, dan kesimpulan.
Pendidikan
Tahun : 2013
1. KELEBIHAN JURNAL
a. Di dalam jurnal ini, penjelasan mengenai pragmatisme diulas dengan sangat rinci. siapa-
siapa saja tokoh-tokoh paragtisme dan apa saja hasil pemikirannya.
b. Analisis kritis dan kontribusi pragmatisme terhadap pendidikan dijelaskan dengan rinci.
c. Tujuan penelitian dipaparkan dengan jelas dan sesuai dengan judul penelitian.
d. Ide / isu pada jurnal cukup relevan dan penting, yaitu implikasi filsafat pragmatisme
terhadap pendidikan.
e. Bahasa yang digunakan di dalam jurnal mudah dipahami.
f. Kesimpulan disampaikan secara ringkas, jelas dan padat. Kesimpulan membahas kembali
mengenai implikasi analisis dan kontribusi pragmatisme terhadap pendidikan.
2. KEKURANGAN JURNAL
a. Perlakuan dalam pengumpulan data dalam penelitian tidak digambarkan secara jelas.
b. Sistematika penulisan tidak tersusun dengan baik atau tidak runtut.
c. Ada beberapa sumber di daftar pustaka yang tahunnya sudah 10 tahun ke belakang bahkan
lebih, hal ini juga masih perlu dipertanyakan apakah boleh atau tidak.
d. Di bagaian abstrak hanya menggunakan bahasa indonesia saja, padahal idealnya sebuah
jurnal di bagian abstrak juga harus menggunakan bahasa inggris
BAB V
PENUTUP
1. KESIMPULAN
Dari hasil analisis di dapatkan bahwa kedua jurnal bisa saling melengkapi satu sama lain dan bisa
dijadikan referensi untuk pembelajaran, namun jurnal utama lebih baik dibandingkan dengan jurnal
pembanding. Namun, bukan berarti jurnal pembanding tidak baik untuk digunakan untuk sumber
referensi, hanya saja banyak terdapat kesalahan di dalam jurnal tersebut.
2. SARAN
Seharusnya dalam melakukan critical jurnal, menggunakan dua jurnal atau lebih sebagai sumber
referensi agar ilmu dan wawasan yang di dapat lebih banyak.
DAFTAR PUSTAKA
Hadi, Sumasno. 2014. Ujian Nasional Dalam Tinjauan Kritis Filsafat Pendidikan Pragmatisme.
AL-ADZKA. Volume IV (Nomor 01): 283-294.