Asuhan Keperawatan Cor Pulmonal: Disusun Oleh
Asuhan Keperawatan Cor Pulmonal: Disusun Oleh
Asuhan Keperawatan Cor Pulmonal: Disusun Oleh
DISUSUN OLEH
KELOMPOK 1
Jamilah (PO72201201677)
Kelas : 2B Keperawatan
DOSEN PEMBIMBING
PRODI DIII-KEPERAWATAN
TAHUN 2021
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan YME, atas berkat rahmat-Nya penulis dapat
menyelesaikan makalah yang berjudul Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Cor
Pulmonal.
Makalah ini ditulis dengan untuk memenuhi tugas perkuliahan,yaitu sebagai tugas
terstruktur mata kuliah Keperawatan Medikal Bedah I Tahun Akademik 2021 di Poltekkes
Kemenkes Tanjungpinang.
Dalam penulisan makalah ini,penulis banyak mendapatkan bantuan dan dorongan dari
pihak-pihak luar, sehingga makalah ini terselesaikan sesuai dengan yang diharapkan.
Segala sesuatu di dunia ini tiada yang sempurna, begitu pula dengan makalah ini.
Saran dan kritik sangat penulis harapkan demi kesempurnaan makalah berikutnya. Penulis
berharap semoga makalah ini dapat memberikan suatu manfaat bagi kita semua dan memiliki
nilai dan ilmu pengetahuan.
i
DAFTAR ISI
ii
2.2.1 Pengkajian ......................................................................................................18
2.2.3 Intervensi........................................................................................................ 25
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Cor pulmonal didefinisikan sebagai suatu perubahan dalam struktur dan fungsi
ventrikel kanan yang disebabkan oleh gangguan utama dari sistem pernapasan.
Hipertensi paru adalah hubungan umum antara disfungsi paru-paru dan jantung di cor
pulmonal. Penyakit ventrikel kanan sisi disebabkan oleh kelainan primer dari sisi kiri
ventrikel kanan sisi disebabkan oleh kelainan primer dari sisi kiri jantung atau
penyakit jantung bawaan tidak dianggap pulmonale cor, tapi pulmonale cor dapat
mengembangkan sekunder untuk berbagai proses penyakit cardiopulmonary.
Meskipun pulmonale cor umumnya memiliki progresif dan perlahan-lahan saja kronis,
onset akut atau pulmonale cor diperburuk dengan komplikasi yang mengancam
kehidupan dapat terjadi.
Data kematian yang dikumpulkan sejak tahun 1991 dari bagian Ilmu Kedokteran
Respirasi FK UI Unit paru RSU Persahabatan penyebab kematian akibat cor pulmonal
sebanyak 7 kasus dari 175 jumlah total kematian pasien penderita penyakit paru atau
sebesar 4,10%. Cor pulmonal menduduki ranking kelima setalah TB paru, tumor paru,
pneumonia, dan bronkhiektasis. Jika cor pulmonal terlambat didiagnosa atau terapi
awal yang tidak memadai pada cor pulmonal dapat menimbulkan gangguan fungsi
paru, maka diperlukan asuhan keperawatan secara menyeluruh yang meliputi aspek
promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif untuk mencegah komplikasi yang mungkin
terjadi. (Wijaya Harun S,2006)
1
1.3 Tujuan
1. Tujuan Untuk memenuhi tugas mata kuliah keperawatan medikal bedah dan
menambah pengetahuan tentang kita tentang penyakit Cor Pulmonal.
2. Mahasiswa memahami konsep penyakit tentang cor pulmonal dan asuhan
keperawatan pada klien dengan cor pulmonal.
1.4 Manfaat
Manfaat Kita sebagai mahasiswa bisa mengetahui dan memahami lebih spesifik
tentang penyakit Cor Pulmonale ini serta bisa mengetahui penyebab dan factor-faktor
gejala-gejala klinis dari penyakit Cor pulmonale.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
3
A. Anatomi
1. Anatomi Saluran Pernafasan
Paru-paru mempunyai sumber suplai darah dari Arteria
Bronkialis dan Arteria pulmonalis. Arteria Bronkialis berasal dari
Aorta torakalis dan berjalan sepanjang dinding posterior bronkus.
Vena bronchialis yang besar mengalirkan darahnya ke dalam sistem
azigos, yang kemudian bermuara ke vena cava superior dan
mengembalikan darah ke atrium kanan. Vena brochialis yang lebih
kecil akan mengalirkan darah vena pulmonalis, karena sirkulasi
bronchial tidak berperanan pada pertukaran gas, darah yang tidak
teroksigenasi mengalami pirau sekitar 2-3% curah jantung. Sirkulasi
bronchial menyediakan darah teroksigenisasi dari sirkulasi sistemik
dan berfungsi memenuhi kebutuhan metabolisme jaringan paru-paru.
Arteri Pulmonalis yang berasal dari ventrikel kanan
mengalirkan darah vena campuran ke paru-paru dimana darah
tersebut mengambil bagian dalam pertukaran gas. Jalinan kapiler
paru-paru yang halus mengitari dan menutup alveolus, merupakan
kontak erat yang diperlukan untuk proses pertukaran gas antara
alveolus dan darah. Darah yang teroksigenasi kemudian
dikembalikan melalui vena pulmonalis ke ventrikel kiri yang
selanjutnya membagikannya kepada sel-sel melalui sirkulasi
sistemik.
4
dibagi dua alur ruang yaitu alur masuk ventrikel kanan (Righ
ventricular out flow tract) berbentuk tabung atau corong, berdinding
licin terletak di bagaian superior ventrikel kanan yaitu
infundibulum/conus arteriosus. Alur masuk dan keluar dipisahkan
oleh kristasupra ventrikuler yang terletak tepat di atas daun anterior
katup triauspid. (Fadli, 2017)
B. Fisiologi
Jantung berfungsi sebagai pompa ganda. Darah yang kembali
dari sirkulasi sistemik (dari seluruh tubuh) masuk ke atrium kanan
melalui vena besar yang dikenal sebagai vena kava. Darah yang masuk
ke atrium kanan berasal dari jaringan tubuh, telah diambil O2-nya dan
ditambahi dengan CO2. Darah yang miskin akan oksigen tersebut
mengalir dari atrium kanan melalui katup ke ventrikel kanan, yang
memompanya keluar melalui arteri pulmonalis kanan melalui katup ke
paru. Dengan demikian, sisi kanan jantung memompa darah yang miskin
oksigen ke sirkulasi paru. Di dalam paru, darah akan kehilangan CO2-
nya dan menyerap O2 segar sebelum dikembalikan ke atrium kiri
melalui vena pulmonalis.
2.1.3 Etiologi
Banyak penyakit yang berhubungan dengan hipoksemia dapat
memengaruhi paru-paru dapat menyebabkan cor pulmonal. Secara umum,
penyakit cor pulmonal disebabkan oleh penyakit parenkim paru menahun yang
bersifat obstructif, yang disebut dengan istilah chronic obstructive lung
(pulmonary) disease (COLD,COPD). Dalam hubungan dengan penyakit paru
menahun dan obstruktif, termasuk di antaranya adalah akibat bronkitis kronik,
asma bronchial yang sudah diderita lama, dan emfisema paru. Kelainan toraks
juga mempermudah timbulnya penyakit paru obstructif kronik yaitu
kifoskoliosis, dan penyakit neuromuscular. Termasuk juga kelainan kontrol
pernafasan akibat obesitas, hipoventilasi idiopatik, penyakit serebrovaskular,
hipertensi pulmonal idiopatik, dan emboli paru. (DR.Dr Soeparman,1987).
5
Etiologi cor pulmonale dapat dibedakan berdasarkan cor pulmonale
akut dan kronik. Cor pulmonale akut biasanya disebabkan oleh emboli paru.
Cor pulmonale kronik mempunyai banyak etiologi, antara lain penyakit paru
obstruktif, penyakit paru restriktif, penyakit pembuluh darah paru, dan
penyakit insufisiensi paru sentral seperti sindrom sleep apnea. Di antara
berbagai etiologi cor pulmonale kronik, penyakit paru obstruktif, seperti
penyakit paru obstruktif kronik merupakan penyebab tersering cor
pulmonale kronik. (Bhattacharya, 2004)
6
maupun klinis, sindrom Picwician, schitoomiasis, dan infiltrasi kapiler paru
obliteratif atau infiltrasi limfatik dari metastase arsinoma.
Gejala Klinis :
Berdasarkan perjalanan penyakit korpulmonal dibagi menjadi 5 fase, yaitu:
a) Fase 1 : pada fase ini belum nampak gejala yang jelas, selain di
temukanya gejala awal penyakit paru obstruksi menahun (PPOM),
bronkritis kronis, TBC lama, bronkiektasis dan sejenisnya,
anamnesa pada pasien 50 tahun bia sanya di dapatkan adanya
kebiasaan banyak merokok.
b) Fase 2 : pada fase ini mulai di temukan tanda-tanda berkurangnya
ventilasi paru. Gejalanya antara lain: batuk lama berdahak (terutama
bronkiektasis), sesak nafas/mengi, sesak nafas ketika berjalan
menanjak atau setelah banyak bicara. Sedangkan sianosis masih
belum nampak. Pemeriksaan fisik di temukan kelainan berupa:
hipersonor, suara nafas berkurang. Ekspirasi memanjang. Ronchi
basah kering, whezing. Letak diafragma rendah dan denyut jantung
lebih redup. Pemeriksaan radiologi menunjukka berkurangnya
broncho vaskular pattern, letak diafragma rendah dan mendatar,
posisi jantung ventrikel.
c) Fase 3 : pada fase ini nampak gejala hipoksemia yang lebih jelas. Di
dapatkan pula berkurangnya nafsu makan, berat badan berkurang,
cepat lelah. Pemeriksaan fisik nampak sianotik, disertai sesak dan
tanda-tanda emfisema yang lebih nyata.
d) Fase 4 : ditandai dengan hiperkapnia, gelisah, mudah tersinggung
kadang somnolens pada keadaan yang berat dapat terjadi koma dan
kehilangan kesadaran.
e) Fase 5 : pada fase ini nampak kelainan jantung, dan tekanan artery
pulmonal meningkat. tanda-tanda peningkatan kerja ventrikel,
namun fungsi fentrikel kanan masih dapat kompensasi. Selanjutnya
terjadi hopertrofi ventrikel kanan kemudian menjadi gagal jantung
kanan. Pemeriksaan fisik nampak sianosik, bendungan vena
jugularis, hepatomegali, edema tungkai dan kadang ascites. (Wahid
& Suprapto, 2013, hal. 119)
7
Tanda
Dari pemeriksaan fisik dapat mencerminkan penyakit paru yang
mendasari terjadinya cor pulmonal seperti hipertensi pulmonal,
hipertropi ventrikel kanan, dan kegagalan ventrikel kanan. Peningkatan
diameter dada, sesak yang tampak dengan retraksi dinding dada, distensi
vena leher dan sianosis dapat terlihat.
Pada auskultasi, lapangan paru dapat terdengar wheezing
maupun ronkhi. Suara jantung dua yang terpisah dapat terdengar
pada tahap awal. Bising ejeksi sistolik diatas area arteri pulmonalis
dapat terdengar pada tahap penyakit yang lebih lanjut bersamaan dengan
bising regugirtasi pulmonal diastolic.
Pada perkusi, suara hiper sonor dapat menjadi tanda PPOK yang
mendasari timbulnya cor pulmonal, asites dapat timbul pada kasus yang
berat.
2.1.5 Klasifikasi
8
sehingga pengantaran oksigen ke organ vital, dipertahankan pada
kadar normal atau mendekati normal. Abnormalitas berkurang
setelah k ompensasi klinis yang dicapai melalui terapi.
b) Dekompensasi
Sindroma klinis yang bermanifestasi sebagai tanda gagal
jantung kongestif pada penyakit paru. Biasanya dengan
adanya dispneu, ortopneu, dispnea paroksismal (nocturnal),
peningkatan tekanan vena jugularis, hepatomegali, asites maupun
edema tungkai.( Allegra, 2005)
2.1.6 Patofisiologi
Penyakit-penyakit yang dapat menyebabkan kor pulmonal adalah
penyakit yang secara primer menyerang pembuluh darah paru-paru, seperti
emboli paru- paru berulang, dan penyakit yang mengganggu aliran darah paru-
paru akibat penyakit pernapasan obstruktif atau restriktif.
Apapun penyakit awalnya, sebelum timbul kor pulmonal biasanya
terjadi peningkatan resistensi vaskuler paru dan hipertensi pulmonal.
Hipertensi pulmonal pada akhirnya meningkatkan beban kerja dari ventrikel
kanan, sehingga mengakibatkan hipertrofi dan kemudian gagal jantung. Titik
kritis dari rangkaian kejadian ini nampaknya terletak pada peningkatan
resistensi vaskuler paru pada arteri dan arteriola kecil.
Dua mekanisme dasar yang mengakibatkan peningkatan resistensi
vaskuler paru adalah: (1) vasokontriksi dari pembuluh darah pulmonal akibat
adanya hipoksia dan (2) obstruksi dan/atau obliterasi jaringan vaskular paru-
paru. Hipoksia alveolar (jaringan) memberikan rangsangan yang kuat untuk
menimbulkan vasokontriksi pulmonal daripada hipoksemia. Selain itu,
hipoksia alveolar kronik memudahkan terjadinya hipertrofi otot polos arteriola
paru-paru, sehingga timbul respon yang lebih kuat terhadap hipoksia akut.
Asidosis, hiperkapnia, dan hipoksemia bekerja secara sinergistik dalam
menimbulkan vasokontriksi. Viskositas (kekentalan) darah yang meningkat
akibat polisitemia dan peningkatan curah jantung yang dirangsang oleh
hipoksia kronik dan hiperkapnia, juga ikut meningkatkan tekanan arteri paru.
Mekanisme kedua yang turut meningkatkan resistensi vaskuler dan
tekanan arteri paru adalah bentuk anatomisnya. Emfisema ditandai oleh
9
kerusakan bertahap dari struktur alveolar dengan pembentukan bula dan
obliterasi total dari kapiler-kapiler disekitarnya. Hilangnya pembuluh darah
secara permanen menyebabkan berkurangnya anyaman vaskuler. Selain itu,
pada penyakit obstruktif, pembuluh darah paru juga tertekan dari luar karena
efek mekanik dari volume paru yang besar. Tetapi, peranan obstruksi dan
obliterasi anatomik terhadap anyaman vaskuler diperkirakan tidak sepenting
vasokontriksi hipoksik dalam patogenesis kor pulmonal. Kira-kira duapertiga
sampai tigaperempat dari anyaman vaskuler harus mengalami obstruksi atau
rusak sebelum terjadi peningkatan tekanan arteri paru yang bermakna.
Asidosis respiratorik kronik terjadi pada beberapa penyakit pernapasan dan
penyakit obstruktif sebagai akibat hipoventilasi alveolar umum atau akibat
kelainan perfusi-ventilasi. Setiap penyakit paru memengaruhi pertukaran gas,
mekanisme ventilasi, atau jaringan vaskular paru dapat mengakibatkan kor
pulmonal.
Patogenesis kor pulmonal sangat erat kaitannya dengan hipertensi
pulmonal dan tidak bisa dipisahkan satu dengan lainnya. Adanya gangguan
pada parenkim paru, kinerja paru, maupun sistem peredaran darah paru secara
akut maupun kronik dapat menyebabkan terjadinya hipertensi pulmonal.
Hipertensi pulmonal dapat diartikan sebagai penyakit arteri kecil pada
paru yang ditandai dengan proliferasi vaskuler dan remodeling. Hal ini pada
akhirnya dapat menyebabkan meningkatnya resistensi pembuluh darah paru
yang mengakibatkan terjadinya gagal ventrikel kanan dan kematian.
Hipertensi pulmonal dibagi menjadi primer dan sekunder. Hipertensi pulmonal
primer adalah hipertensi pulmonal yang tidak disebabkan oleh adanya
penyakit jantung, parenkim paru, maupun penyakit sistemik yang
melatarbelakanginya. Hipertensi pulmonal lain selain kriteria tersebut disebut
hipertensi pulmonal sekunder. Hipertensi pulmonal akibat komplikasi kronis
paru (sekunder) didefinisikan sebagai peningkatan rata-rata tekanan arteri
pulmonal (TAP) istirahat, yakni >20 mmHg. Pada hipertensi pulmonal primer
angka ini lebih tinggi yakni >25 mmHg. Pada pasien muda (<50 tahun) TAP
normalnya berada pada kisaran 10-15 mmHg. Dengan bertambahnya usia TAP
akan meningkat kurang lebih 1 mmHg setiap 10 tahun. Selain dipengaruhi usia
TAP juga dipengaruhi oleh aktivitas. Semakin berat aktivitas maka TAP akan
semakin meningkat. Pada aktivitas ringan TAP dapat meningkat >30 mmHg.
10
Melihat hal tersebut maka pemeriksaan TAP harus dilakukan saat pasien
dalam keadaan istirahat dan rileks.
Terdapat tiga faktor yang telah diketahui dalam mekanisme terjadinya
hipertensi pulmonal yang menyebabkan meningkatnya resistensi vaskular.
Ketiganya adalah mekanisme vasokonstriksi, remodeling dinding pembuluh
darah pulmonal, dan trombosis in situ. Ketiga mekanisme ini terjadi akibat
adanya dua faktor yakni gangguan produksi zat-zat vasoaktif seperti, nitric
oxide dan prostacyclin, serta akibat ekspresi berlebihan secara kronis dari
mediator vasokonstriktor seperti, endothelin- 1. Dengan diketahuinya
mekanisme tersebut maka pengobatan terhadap hipertensi pulmonal menjadi
lebih terang yakni dengan pemberian preparat nitric oxide, derivat
prostacyclin, antagonis reseptor endothelin-1, dan inhibitor
phosphodiesterase-5.
Hipertensi pulmonal menyebabkan meningkatnya kinerja
ventrikel kanan dan dapat mengakibatkan dilatasi atau hipertropi bilik kanan
jantung. Timbulnya keadaan ini diperberat dengan adanya polisitemia akibat
hipoksia jaringan, hipervolemia akibat adanya retensi air dan natrium, serta
meningkatnya cardiac output. Ketika jantung kanan tidak lagi dapat
melakukan adaptasi dan kompensasi maka akhirnya timbul kegagalan jantung
kanan yang ditandai dengan adanya edema perifer. Jangka waktu terjadinya
hipertropi atau dilatasi ventrikel kanan maupun gagal jantung kanan pada
masing-masing orang berbeda-beda. (Sudoyo dkk, 2007)
11
- Tingkat antibodi untuk penyakit kolagen Antinuclear vaskular ,
seperti scleroderma
- Proteins S dan C, antitrombin III, factor V Leyden , antikardiolipin
antibodi, dan homocysteine untuk mengetahui hiperkoagulasi
- Analisis gas darah untuk mengetahui saturasi oksigen
- Pemeriksaan kadar BNP (Brain Natruretic Peptide) untuk
mengatahui hipertensi pulmonal dan gagal jantung kanan, serta
- Pemeriksaan spirometri untuk mengetahui status fungsional paru
Rontgen Toraks
Terdapat kelainan disertai pembesaran ventrikel kanan, dilatasi
arteri pulmonal dan atrium kanan yang menonjol. Kardiomegali sering
tertutup oleh hiper inflasi paru yang menekan diafragma sehingga
jantung tampaknya normal karena vertikal. Pembesaran ventrikel kanan
lebih jelas pada posisi oblik atau lateral. Selain itu didapatkan juga
diafragma yang rendah dan datar serta ruang udara retrosternal yang
lebih besar, sehingga hipertrofi dan dilatasi ventrikel kanan tidak
membuat jantung menjadi lebih besar dari normal.
2) Ekokardiografi
Dimensi ruang ventrikel kanan membesar, tapi struktur dan
dimensi ventrikel kiri normal. Pada gambaran ekokardiografi katup
pulmonal, gelombang “a” hilang, menunjukkan hipertensi pulmonal.
Kadang-kadang dengan pemeriksaan ekokardiografi susah terlihat
katup pulmonal karena “accoustic window” sempit akibat penyakit paru.
3) Kateterisasi jantung
Ditemukan peningkatan tekanan jantung kanan dan tahanan
pembuluh paru. Tekanan atrium kiri dan tekanan kapiler paru
normal, menandakan bahwa hipertensi pulmonal berasal dari
prekapiler dan bukan berasal dari jantung kiri. Pada kasus yang ringan,
kelainan ini belum nyata. Penyakit jantung paru tidak jarang disertai
penyakit jantung koroner terlebih pada penyakit paru obstruksi menahun
karena perokok berat (stenosis koroner pada angiografi).
12
4) EKG (Elektro Kardio Grafi)
Gambaran abnormal cor pulmonale pada pemeriksaan EKG dapat
berupa :
a. Deviasi sumbu ke kanan. Sumbu gelombang p + 90° atau lebih.
b. Terdapat pola S1S2S3
c. Rasio amplitude R/S di V1 lebih besar dari sadapan 1
d. Rasio amplitude R/S di V6 lebih kecil dari sadapan 1
e. Terdapat pola p pulmonal di sadapan 2,3, dan aVF
f. Terdapat pola S1Q3T3 dan right bundle branch block komplet atau
inkomplet.
g. Terdapat gelombang T terbalik, mendatar, atau bifasik pada sadapan
prekordial.
h. Gelombang QRS dengan voltase lebih rendah terutama pada PPOK
karena adanya hiperinflasi.
i. Hipertropi ventrikel kanan yang sudah lanjut dapat memberikan
gambaran gelombang Q di sadapan prekordial yang dapat
membingungkan dengan infark miokard.
j. Kadang dijumpai kelainan irama jantung mulai dari depolarisasi
prematur atrium terisolasi hingga supraventrikuler takikardi,
termasuk takikardi atrial paroksismal, takikardi atrial multifokal,
fibrilasi atrium, dan atrial flutter. Disritmia ini dapat dicetuskan
karena keadaan penyakit yang mendasari (kecemasan, hipoksemia,
gangguan keseimbangan asam-basa, gangguan elektrolit, serta
penggunaan bronkodilator berlebihan). (Fadli, 2017)
2.1.8 Penatalaksanaan
1. Penatalaksanaan Medis. (Brunner&Suddart,2011)
Sasaran dari penanganan yang dilakukan adalah untuk memperbaiki
ventilasi dan mengatasi penyakit paru utama dan manifestasi penyakit
jantung.
a. Oksigen diberikan untuk menurunkan tekanan arteri pulmoner dan
resistansi vaskular paru. Terapi oksigen diberikan secara kontinu (24
jam /hari) untuk pasien dengan hipoksia berat.
13
b. Kadar oksigen darah dikaji dengan memakai obsimetri nadi dan
analisis gas darah arteri
c. Fisioterapi dada dan pembersihan bronkus sesuai dengan indikasi
untuk mengeluarkan penumpukan sekresi dan pemberian
bronkodilator akan semakin memperbaiki ventilasi
d. Jika pasien mengalami gagal napas, diperlukan tindakan intubasi dan
ventilasi mekanis
e. Jika pasien mengalami gagal jantung, hipoksemia dan hiperkapnea
harus diatasi untuk memperbaiki curah jantung
f. Edema parifer dan peningkatan beban jantung kanan akan berkurang
dengan tirah baring, pembatasan natrium, dan dieretik
g. Jika di indikasikan (pada gagal jantung kiri), digitalis dapat diberikan
h. EKG dimonitor
i. Infeksi paru harus diatasi dengan cepat (kondisi ini akan
memperberat hipoksemia dan kor pulmonale).
14
8. Desak pasien untuk berhenti merokok, jika perlu arahkan pasien
untuk bergabung dengan kelompok pendukung komunitas atau
kelompok berhentu merokok.
9. Jika kondisi fisik pasoen perlu dikaji secara ketat atau jika pasien
tidak mampu merawat dirinya sendiri, anjurkan pasien untuk
menjalani perawatan dirumah (home care).
2.1.9 Kompilkasi
Komplikasi dari pulmonary heart disease diantaranya:
a. Emfisema
b. Gagal jantung kanan
c. Gagal jantung kiri
d. Hipertensi pulmonal kiri
(Wahid & Suprapto, 2013, hal. 120)
15
2.1.10 WOC
Gangguan Paru-paru Restriktif
Asidosis
Polisitemia
Hipertensi Pulmonal
Akut Kronik
Kor Pulmonal
Ketidakseimbangan
Hipoksia Intoleransi aktivitas
nutrisi kurang dari
kebutuhan tubuh
Ketidakefektifan pola
napas
17
2.2. Asuhan Keperawatan
2.2.1 Pengkajian
1) Identitas
Kor pulmonal dapat terjadi pada pasien usia 50 tahun karena sering
didapati dengan kebiasaan sehari-hari yaitu merokok dan terpapar polusi.
Hal ini di dasarkan pada epidemiologi penyakit-penyakit yang menjadi
penyebab kor pulmonal, karena hipertensi pulmonal merupakan dampak
dari beberepa penyakit yang menyerang paru-paru. (Wahid & Suprapto,
2013, hal. 119)
18
pernah memiliki riwayat penyakit PPOK dan hipertensi pulmonal
(Wahid & Suprapto, 2013, hal. 125)
4) Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum
a) Kesadaran
Gambaran dari kondisi pasien yaitu mengalami sesak nafas,
batuk yang produktif, lelah karena hipoksia dan gagal
jantung,wheezing respirasi, sianosis pada jari,berat badan naik
karena retensi cairan, frekuensi pernapasan menggunakan otot bantu
pernafasan. (Digiulio, 2014, hal. 107)
b) Tanda-tanda vital
Penafasan : Lebih dari 20 X/menit
Nadi : diatas 100 X/menit
(Digiulio, 2014, hal. 107-108)
Body system
a. Sistem pernafasan
Pada pasien KP pemeriksaan dapat berupa sesak nafas akibat
hipertensi vena pulmonal, wheezing respiration, terlihat penggunaan
otot-otot bantu nafas, dahak , Pemeriksaan auskultasi dapat
ditemukan suara nafas yang melemah, respirasi lebih dari 20 kali per
menit (Digiulio, 2014, hal. 107)
19
b. Sistem kardiovaskuler
Gangguan paru-paru utama dapat menyebabkan kegagalan
jantung. Dan akan menyebabkan hipertensi paru-paru dan pelebaran
bilik jantun kanan. (Digiulio, 2014, hal. 107)
c. Sistem persarafan
Pada penderita CP dengan hipertensi pulmonal primer
keluhannya berupa mudah pingsan jika beraktivitas, tingkat
kesadaran menurun jika melakukan aktivitas, ditandai dengan
hiperkapnia, gelisah, mudah tersinggung kadang somnolens pada
keadaan yang berat dapat terjadi koma dan kehilangan kesadaran.
selain itu penderita CP juga mudah bingung/kurang tanggap. (Wahid
& Suprapto, 2013, hal. 118)
d. Sistem perkemihan
Penderita CP diberikan diuretik untuk membuang kelebihan
cairan pada pasien dengan cara mengeluarkan natrium melalui
pembuangan urin. (Pranata & Prabowo, 2017, hal. 255)
e. Sistem pencernaan
Pada penderita CP kebutuhan nutrisi kurang terpenuhi karena
penderita CP akan merasa mual dan muntah. (Wahid & Suprapto,
2013, hal. 118)
f. Sistem integument
Pasien CP akan mengalami edema karena penumpukan cairan
di dalam tubuh sehingga resistensi kulit meningkat. penyebabnya
karena peningkatan tekanan hidrostatik yang diakibatkan karena
gagal jantung kanan. (Digiulio, 2014, hal. 107)
20
g. Sistem Muskuloskeletal
Pada penderita CP akan mengalami kondisi seperti cepat
lelah. (Wahid & Suprapto, 2013, hal. 119)
h. Sistem endokrin
Pasien mengurangi konsumsi sodium dalam diet untuk
mengurangi retensi cairan.jika dikonsumsi berlebihan akan merusak
ginjal. (Digiulio, 2014, hal. 109)
i. Sistem reproduksi
Pasien penderita CP mengalami hipertrofi dan dilatasi dari
Vertikel kanan sebagai akibat dari hipertensi ( artery ) pulmunal.
Sedangkan hipertensi termasuk salah satu penyakit yang
mempengaruhi sistem reproduksi pada laki-laki ( Impoten). Sehingga
jika seorang laki-laki menderita CP maka kemungkian akan terjadi
penurunan sistem reproduksi.(Mutaqqin, 2012, hal. 227)
j. Sistem penginderaan
Pada pasien penderita CP akan mengalami sianosis ( kebiruan
yang terjadi pada bibir dan selaput mata karena hemoglobin di
daerah kapiler susut,selain itu mata juga menonjol. (Wahid &
Suprapto, 2013, hal. 118)
k. Sistem imun
Penderita CP mengalami lelah karena hipoksia selain itu
penderita CP akan mengalami penurunan imun tubuh karena
kandungan nutrisi yang dikonsumsi berkurang akibat nafsu makan
yang menurun. Serta gangguan ADL yang berhubungan dengan
kelemahan fisik umum dan keletihan (Wahid & Suprapto, 2013, hal.
118) (Mutaqqin, 2012, hal. 230)
21
5) Pemeriksaan penunjang
a) Pemeriksaan EKG
Kelainan pada elektrokardiogram yang sering ditemukan pada
pasien dengan kor pulmonal menahun antara lain P pulmonal di lead
II,III,dan aVF: deviasi axis ke kanan >110: rasio R/S di V6<1 :
gambaran rSR’ pada VI : RBBB lengkap atau tidak lengkap ; R atau R’
yang tinggi pada VI atau V3R ; dan T inverted pada sandaran
prekordial. Elektrokardiogram normal tidak menyingkirkan
kemungkinan adanya kor pulmonal . Aritmia atrial atau ventrikular
dapat terjadi pada hipoksemia dengan/tanpa hiperkapnea. (Mutaqqin,
2012, hal. 229)
6) Penatalaksanaan
A. Penatalaksanaan keperawatan
i. Melalui hiderasi yang adekuat membantu mengencerkan secret dan
mengidentifikasikan pembersih jalan nafas
ii. Tinggikan kepala tempat tidur dan bantu pasien memilih posisi
yang mudah untuk bernafas.
iii. Tirah baring : bantu pasien dalam pemenuhan kebutuhan dasar.
iv. Memberikan penyuluhan agar pasien menghindari segala jenis
polusi udara dan berhenti merokok.
v. Latihan pernafasan dan bimbingan ahli fisioterapi.
vi. Kolaborasi memperbaiki ventilasi dan oksigenisasi jaringan
melalui pemberian O2
B. Penatalaksanaan medis
Pemberian medikametosa :
a) Bronkodilator
Aminofilin : menghilangkan spasme saluran pernafasan Beta 2
adrenergik selektif (Turbutalin atau Salbutamol).
Dosis : 20-80 mg/hari/PO/IV/IM (Maksimum 600 mg) (Wahid &
Suprapto, 2013, hal. 123)
b) Mukolitik dan Ekspektoran
23
Mukolitik berguna untukmencairkan dahak dengan memecahk
ikatan rantai kimianya, sedangkan ekspetoran untuk mengeluarkan
dahak dari paru. (Wahid & Suprapto, 2013, hal. 123)
c) Antibiotika
Pemberian antibiotika diperlukan karena biasanya kelainan
parenkim paru disebabkan oleh mikroorganisme, diantaranya :
Hemophylus influenza dan Pneumococcus peka terhadap metisilin,
kloksasilin, flukoksasilin dan eritromisin. Klebsiella peka terhadap
gentamisin, steptomisin dan polimiksin. (Wahid & Suprapto, 2013,
hal. 123)
d) Oksigenasi
Peningkatan PaCO2 (tekanan CO2arterial) dan asidosis pada
penderita PPOM disebabkan tidak sempurnanya pengeluaran CO2
sehingga menimbulkan hipoksemia.
Dosis : 20-30% melalui masker venture dan secara intermiten 1-3
liter permenit. (Wahid & Suprapto, 2013, hal. 123)
e) Diuretik
Diberikan jika terjadi gagal jantung . pemberian digitalis harus
berhati-hati,karena dalam keadaan hipoksia, dan kalium yang
rendah mudah terjadi, sehingga mudah terjadi asidosis respiratorik
dan alkalosis metabolik, dan bahaya intoksikasi lebih besar.
Dosis : 5-20/hari tergantung pada jenis obat
(Wahid & Suprapto, 2013, hal. 124).
24
4) Intoleransi aktifitas b.d. kelemahan fisik dan keletihan.
2.2.3 Intervensi
- Ortopneu
25
- Fase ekspirasi memanjang status pernapasan: ventilasi
- Posisi tubuh
- Deformitas tulang
- Keletihan
- Hiperventilasi
- Sindrom hipoventilasi
- Gangguan musculoskeletal
- Kerusakan neurologi
- Imaturitas neurologis
- Disfungsi neuromuscular
- Obesitas
- Nyeri
26
oksigenasi dan/atau eliminasi ventilation atau jaw thrust bila
karbondioksida pada membrane Vital sign status perlu
alveolar- kapiler - Posisikan pasien untuk
Kriteria hasil : memaksimalkan
Batasan karakteristik - Mendemonstrasikan ventilasi
- Pernapasan abnormal (mis peningkatan ventilasi - Identifikasi pasien
kecepatan,irama, kedalaman dan oksigenasi yang perlunya pemasangan
) adekuat alat jalan napas buatan
- Warna kulit abnormal (mis, - Memelihara kebersihan - Pasang mavo bila perlu
pucat, kehitaman paru-paru dan bebas dari - Lakukan fisioterapi
- Konfusi tanda-tanda distress dada jika perlu
- Sianosis (pada neonatus saja) pernapasan - Keluarkan secret dengan
- Penurunan karbondioksida - Mendemonstrasikan batuk atau suksion
- Diaphoresis batuk efektif dan suara - Auskultasi suara
- Dispnea napas yang bersih, tidak napas,catat adanya suara
- Sakit kepala saat bangun ada sianosis dan napas tambahan
- Hiperkapnia dyspnea (mampu - Berikan bronkodilatator
- Hipoksemia mengeluarkan sputum, bila perlu
- Hipoksia mampu bernapas dengan - Atur intake untuk cairan
- Iritabilitas mudah, tidak ada pursed mengoptimalkan
- Napas cuping hidung lips). keseimbangan
- Gelisah - Tanda-tanda vital dalam - Monitor respirasi dan
- Samnolen normal status O2 Respiratory
- Takikardia monitoring
- Gangguan penglihatan - Monitor rata-rata
kedalaman,irama dan
Faktor-faktor yang berhubungan : usaha respirasi
- Perubahan membrane - Catat pergerakan dada,
alveolar-Kapiler amati kesimetrisan,
- Ventilasi-perfusi penggunaan otot
tambahan, retraksi otot
supraclavicular dan
intercostal
27
- Monitor suara napas
seperti dengkur
- Monitor suara napas
bradypnea, takipnea,
kussmaul,
hiperventilasi, Cheyne
stokes, Biot
Asupan nutrisi tidak cukup untuk Weight control gizi untuk menentukan
28
dengan asupan makanan - Berikan informasi
adekuat tentang kebutuhan
- Kesalahan konsepsi nutrisi
rasa normal
- Monitor adanya
- Mengeluh asupan makanan
penurunan berat badan
kurang dan RDA
- Monitor tipe dan jumlah
(recommended daily
aktivitas yang biasa
allowance)
dilakukan
- Cepat kenyang setelah
- Monitor interaksi anak
makan
atau orangtua selama
- Sariawan rongga mulut makan
- Steatorea - Monitor lingkungan
selama makan
- Kelemahan otot pengunyah
- Jadwalkan pengobatan
- Kelemahan otot untuk
dan perubahan
menelan
pigmentasi
- Monitor turgor kulit
Factor yang berhubungan : - Monitor kekeringan,
29
makanan - Monitor pertumbuhan
- Factor psikologis dan perkembangan
- Monitor pucat,
kemerahan dan
kekeringan jaringan
konjungtiva
- Monitor kalori dan
intake nutrisi
- Catat adanya edema,
hiperemik, hipertonik
papilla lidah dan cavitas
oral
- Catat jika lidah
berwarna magenta,
scarlet
30
lemah - Sirkulasi status baik mengidentifikasi
kekuramg dalam
Factor yang berhubungan : beraktivitas
- Bantu klien untuk
- Tirah baring atau imonilisasi
mengembangkan
- Kelemahan umum
motivasi diri dan
- Ketidakseimbangan antara
pengetahuan
suplai dan kebutuhan
- Monitor respon fisik,
oksigen
emosi, sosial dan
- Imobilitas
spiritual
- Gaya hidup monoton
31
sesuai
- Memantau asupan dan
keluaran
- Membantu dengan toilet
secara berkala, sesuai
- Memenrtau tingkat
distensi kandung kemih
dengan palpasi dan
perkusi
2.2.4 Implementasi
2.2.5 Evaluasi
Evaluasi adalah tahap akhir dari proses keperawatan dan merupakan
tindakan intelektual untuk melengkapi proses keperawatan yang menandakan
seberapa jauh diagnosa keperawatan, rencana tindakan dan pelaksanaannya
sudah berhasil dicapai. Perawat mengevaluasi kemajuan pasien terhadap
tindakan keperawtan dalam mencapai tujuan dan merevisi data dasar dan
perencanaan (Hutahaean Serri, 2010). Evaluasi disusun dengan menggunakan
metode SOAP. Secara umum, evaluasi ditujukan untuk:
1) Melihat dan menilai kemampuan klien dalam mencapai tujuan.
2) Menentukan apakah tujuan keperawatan telah tercapai atau belum.
3) Mengkaji penyebab jika tujuan asuhan keperawatan belum tercapai
(Asmadi, 2008)
32
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
3.2 Saran
Dari kesimpulan yang ada maka kita sebagai perawat atau calon perawat
harus terus meningkatkan kompetensi diri kita, lebih-lebih yang berkaitan dengan
fenomena kesehatan yang bersifat spesifik pada sistem kardiovaskuler, seperti
penyakit Kor pulmonal ini.
33
DAFTAR PUSTAKA
34