Tugas Pengkajian Sastra

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 9

NAMA : Risa Pustinasari

NIM : A310180149
KELAS :5-D
MATA KULIAH : Metode Penelitian Sastra Indonesia
DOSEN PENGAMPU : Ali Imron Al Ma ruf, Prof.Dr., M.Hum.
TUGAS : Rangkuman Buku Pengkajian Sastra Teori dan Aplikasi

BAB I
SASTRA : HAKIKAT, FUNGSI, DAN PERANNYA
A. Konsep Sastra
Kata “sastra” sering dipakai dalam berbagai konteks yang berbeda. Hal itu
mengisyaratkan bahwa sastra bukanlah suatu istilah yang dapat digunakan untuk
menyebut fenomena yang sederhana melainkan sastra merupakan istilah yang
mempunyai arti luas dan meliputi kegiatan yang berbeda-beda (Rahmanto, 1988:10).
Menurut Aristoteles (dalam Budianta dkk., 2003:7), sastra merupakan suatu karya
untuk menyampaikan pengetahuan yang memberikan kenikmatan unik dan
memperkaya wawasan seseorang tentang kehidupan.
B. Fungsi dan Manfaat Sastra
Edgar Allan Poe (dalam Al-Ma’ruf, 2007:32) menyatakan bahwa fungsi sastra adalah
didactic heresy: menghibur sekaligus mengajarkan sesuatu. Jadi, sastra di samping
memberikan kesenangan kepada para pembacanya juga berdaya guna atau bermanfaat
bagi kehidupan batiniah. Pendek kata, sastra berguna untuk memberikan hiburan
sekaligus berguna bagi pengayaan spiritual.
Menurut Karno ( 1996:34) berbagai manfaat yang diperoleh dari karya sastra ini
adalah sebagai berikut:
1. Sastra sebagai ilmu
2. Sastra sebagai seni
3. Sastra sebagai kebudayaan

C. Karya Sastra dan Bahasa Sastra


Karya sastra merupakan dunia imajinatif yang merupakan hasil kreasi pengarang
setelah merefleksi lingkungan sosial kehidupannya. Dunia dalam karya sastra
dikreasikan dan sekaligus ditafsirkan lazimnya melalui bahasa. Apa pun yang
dipaparkan pengarang dalam karyanya kemudian ditafsirkan oleh pembaca, berkaitan
dengan bahasa. Bahasa sastra memiliki beberapa ciri khas, yakni penuh ambiguitas
dan homonim (kata-kata yang sama bunyinya tetapi berbeda artinya), memiliki
kategori-kategori yang tidak beraturan dan tidak rasional seperti jender (jenis kata
yang mengacu pada jenis kelamin dalam tata bahasa), penuh dengan asosiasi,
mengacu pada ungkapan atau karya sastra yang diciptakan sebelumnya atau konotatif
sifatnya (Wellek & Warren (1989:15).
D. Peran Sastra Sebagai Media Pembangunan Karakter Bangsa
karya sastra dapat dimanfaatkan sebagai alat untuk meningkatkan kepekaan pembaca
sebagai pengkaji terhadap nilai-nilai kehidupan dan kearifan dalam menghadapi
lingkungan, realitas kehidupan, dan sikap pendewasaan. Melalui sastra sastra yang
dapat dilakukan pula dalam pembelajaran sastra, diharapkan pembaca dalam hal ini
siswa, tumbuh menjadi manusia dewasa yang berbudaya, mandiri, sanggup
mengekspresikan diri dengan pikiran dan perasaannya dengan baik, berwawasan luas,
kritis, berkarakter, halus budi pekerti, dan santun.
Pentingnya kehadiran sastra dalam pembelajaran dijelaskan oleh Rosenblatt (dalam
Rudy, 2005:81) sebagai berikut. 1) Sastra mendorong kebutuhan atas imajinasi dalam
demokrasi. 2) Sastra mengalihkan imajinasi dan perilaku, sikap, emosi, dan ukuran
nilai sosial serta pribadi. 3) Sastra menyajikan kemungkinan perbedaan pandangan
hidup, pola hubungan, dan filsafat. 4) Sastra membantu pemilihan imajinasi yang
berbeda melalui pengalaman mengkaji karya sastra. 5) Pengalaman sastra
memungkinkan pembaca memandang kepribadiannya sendiri dan masalah-
masalahnya secara objektif dan memecahkannya dengan lebih baik. 6) Sastra
memberikan kenyataan kepada orang dewasa tentang sistem nilai yang berbeda
sehingga mereka terbebas dari rasa takut bersalah dan tidak pasti.

BAB II
APRESIASI SASTRA
A. Definisi Apresiasi Sastra
Menurut Hornby (dalam Sayuti, 2000:2), secara leksikal istilah apresiasi
(appreciation) mengacu pada pengertian pemahaman dan pengenalan yang tepat,
pertimbangan, penilaian, dan pernyataan, yang memberikan penilaian. Istilah apresiasi
dapat dimaknai dengan pernyataan seseorang yang secara sadar merasa tertarik dan
senang kepada sesuatu, serta mampu menghargai dan memandang hal yang dipilihnya
itu mengandung nilai-nilai yang bermanfaat dalam kehidupannya. Menurut Panuti
Sudjiman (1988:9) apresiasi sastra yaitu penghargaan (terhadap karya sastra) yang
didasarkan atas pemahaman. Apresiasi sastra adalah penghargaan dan pemahaman
atas suatu hasil seni atau budaya (Suparman Natawidaja, 1981:1). Adapun menurut
Tarigan (1984:233), apresiasi sastra adalah penaksiran kualitas karya sastra serta
pemberian nilai yang wajar kepadanya berdasarkan pengamatan dan pengalaman yang
sadar dan kritis.
B. Pokok Persoalan Apresiasi Sastra
Sastra menjadi pokok persoalan (subject matter) berbagai kegiatan yang bersangkutan
dengan sastra. Sastra bahkan bersangkutan juga dengan kegiatan di luar sastra seperti
ilmu sejarah, sosiologi, antropologi, dan keagamaan sering menjadikan sastra sebagai
pokok persoalan. Sebagai contoh, ketika hendak melihat perubahan-perubahan yang
terdapat dalam pribadi-pribadi masyarakat Jawa, Niels Mulder menganalisis beberapa
novel Indonesia yang kuat warna kejawaannya. Hal ini dapat disimak dalam bukunya
Pribadi dan Masyarakat di Jawa terbitan penerbit Sinar Harapan. Sementara itu, kritik
sastra, pengkajian sastra, sosiologi sastra, psikologi sastra, dan lain-lain yang
bersangkutan dengan sastra juga menjadikan sastra sebagai pokok persoalan.
Demikian juga apresiasi sastra menjadikan sastra sebagai pokok persoalan. Sosiologi
memperlakukan sastra sebagai gugusan-gugusan fakta sosial atau mengandung
gugusan fakta sosial. Bekisar Merah (Ahmad Tohari), Hujan Panas dan Kabut Musim
(AA Navis) dianalisis fakta-fakta sosial yang terdapat di dalamnya. Antropologi
memperlakukan sastra sebagai gugusan fakta budaya atau mengandung gugusan fakta
budaya. Bako (Darman Munir), Celurit Emas (Zawawi Imron), dan Canting
(Arswendo Atmowiloto) dianalisis dari segi nilai-nilai budaya yang terdapat di
dalamnya dan nilai-nilai itu diperlakukan mirip atau identik dengan nilai-nilai dalam
kehidupan empiris. Ilmu keagamaan memperlakukan sastra sebagai mengandung
gugusan fakta keagamaan. Cerpen “Robohnya Surau Kami” karya A.A. Navis
diperlakukan sebagai karya yang mengandung fakta-fakta keagamaan.
C. Langkah - Langkah Apresiasi Sastra
1. Pengenalan
Tahap pertama apresiasi sastra adalah pengenalan. Pada tahap ini siswa diajak untuk
mulai menemukan ciri-ciri umum yang lazim terdapat dalam karya sastra. Misalnya
mengenai judul, pengarang, atau genre karya secara umum.
2. Pemahaman
Pemahaman dapat dicapai secara mudah oleh siswa tertentu namun dapat juga agak
sulit bagi siswa yang lain. Bagi siswa yang mengalami kesulitan dalam proses
pemahaman karya sastra, perlu ditempuh upaya-upaya untuk mencapainya dengan
bimbingan guru.
3. Penghayatan
Penghayatan dapat dilihat dari indikator yang dialami siswa. Umpamanya, pada saat
membaca --dapatnya berulang-ulang--, siswa dapat merasakan sedih, gembira,
simpati, empati, atau apa saja karena rangsangan bacaan tersebut, seolah-olah melihat,
mendengar, atau merasakan sesuatu seperti dialami oleh para tokoh cerita, misalnya.
4. Penikmatan
Pada tahap ini diharapkan siswa telah mampu merasakan secara lebih mendalam
berbagai keindahan yang ditemui dalam karya sastra. Perasaan tersebut akan
membantu menemukan berbagai nilai, baik yang bersifat literer imajinatif maupun
nilai yang langsung berhubungan dengan kehidupan. Kenikmatan yang lahir dalam
mengapresiasi sastra terlihat pada siswa dalam kemampuannya merasakan
pengalaman pengarang yang tertuang dalam karyanya. Hal itu kemudian dapat
menimbulkan rasa nikmat pada pembaca, yang hanya dapat ditemukan dalam karya
sastra.
5. Penerapan
Penerapan merupakan wujud perubahan sikap pada pembaca yang timbul sebagai
hasil adanya penemuan nilai-nilai atau pesan moral. Pada tahap ini diharapkan siswa
yang merasakan keindahan dan kenikmatan dalam membaca karya sastra,
memanfaatkan nilai-nilai dan pesan moral tersebut dalam wujud nyata berupa
perubahan sikap dalam romantika dan dinamika kehidupan.

D. Bidang Garap Apresiasi Sastra


Bidang garap apresiasi sastra, kritik sastra, dan pengkajian sastra sering berbenturan.
Sering ditemui tulisan-tulisan yang disebut apresiasi sastra ternyata menggarap bidang
kritik sastra. Perbedaan bidang garap apresiasi sastra, kritik sastra, dan pengkajian
sastra agaknya tidak akan mudah diidentifikasi jika kita berhenti pada karya sastra.
Dikatakan demikian karena baik apresiasi sastra, kritik sastra maupun pengkajian
sastra absah menjelajahi seluruh fenomena karya sastra. apresiasi sastra merupakan
kegiatan internalisasi sastra, sementara kritik sastra dan apresiasi sastra merupakan
kegiatan rasionalisasi sastra. Sebagai suatu seni (kiat), apresiasi sastra menekankan
perilaku pengindahan, penikmatan, pemahaman, dan penghargaan sastra. Kritik sastra
menekankan perilaku pencarian, penilaian, dan penghakiman kebenaran nilai-nilai
atau segala sesuatu yang ada dalam sastra. Pengkajian sastra menekankan perilaku
pengamatan (observasi), pemerian (deskripsi), dan penjelasan (eksplanasi) segala
sesuatu yang ada dalam sastra. Apresiasi sastra lebih meminta keakraban antara
pembaca dan karya sastra, sedang kritik sastra dan pengkajian sastra justru meminta
keformalan antara pengritik dan peneliti dengan karya sastra.

BAB III
PENGKAJIAN SASTRA
A. Definisi Pengkajian Sastra
Istilah pengkajian sering disejajarkan dengan istilah analysis (analisis) dalam bahasa
Inggris, atau lebih dekat dengan telaah, yang berarti melakukan pendalaman,
mempelajari dan/atau mengkaji secara serius. Pengkajian juga terkadang disetarakan
dengan istilah study (studi) yang berarti melakukan kajian atau kupasan tetapi istilah
pengkajian lebih tepat disejajarkan dengan analisis atau telaah.
B. Pendekatan dalam Pengkajian Sastra
Abrams (1979:3-29), mengemukakan empat macam model pendekatan dalam
pengkajian sastra. Pendekatan tersebut adalah: (1) pendekatan objektif (objective),
yaitu pendekatan yang melihat karya sastra sebagai sebuah struktur yang otonom; (2)
pendekatan ekspresif (expressive), yaitu pendekatan yang melihat pengarang sebagai
pencipta sastra; (3) pendekatan mimetik (mimetics), yaitu pendekatan yang melihat
pada aspek referensial dunia nyata atau aspek realitas sosial budaya; (4) pendekatan
pragmatik (pragmatics), yaitu pendekatan yang melihat berbagai peran pembaca
sebagai pemberi makna.
C. Nilai - Nilai dalam Karya Sastra
Berbagai nilai kehidupan dan pesan-pesan moral yang bermanfaat bagi manusia untuk
memperkaya khasanah batinnya terkandung di dalam karya sastra bagaikan mosaik
yang indah, yang tidak ditemukan dalam karya lainnya. Nilai-nilai kehidupan itu
beraneka ragam baik yang berkaitan dengan kemanusiaan, sosial, kultural, moral,
politik, ekonomi, dan gender. Tak ketinggalan nilai-nilai kehidupan yang
berhubungan dengan ambisi, simpati, empati dan toleransi, cinta dan kasih sayang,
dendam, iri hati, rasa berdosa, kegundahan dan kegamangan hidup, serta kematian.
Kesemuanya dapat kita temukan dalam karya sastra.
D. Kode Bahasa, Kode Sastra, dan Kode Budaya
Dalam rangka pemahaman makna karya sastra, pembaca harus mengenal kode
bahasa, kode sastra (Lotman dalam Fokkema, 1977:42) dan kode budaya yang
terserap dan terpadu ke dalam sistem model tersebut (Teeuw, 1983:13). Kode pertama
yang berlaku bagi tiap teks sastra adalah kode bahasa yang dipakai sebagai media
karya sastra. Menurut Teeuw (1984:96) bahasa sebelum digunakan oleh pengarang
sudah merupakan sistem tanda, sistem semiotik. Kode sastra adalah kode yang
berkenaan dengan hakikat, fungsi sastra, karakteristik sastra, kebenaran imajinatif
dalam sastra, sastra sebagai sistem semiotik, sastra sebagai dokumen sosal budaya,
dan sebagainya. Menurut Teeuw (1991:14), sesungguhnya kode sastra itu tidak
mudah dibedakan dengan kode budaya, meskipun begitu, pada prinsipnya keduanya
tetap harus dibedakan dalam kegiatan membaca dan memahami teks sastra. Kode
sastra tak dapat dilepaskan dari kode budaya. Kode budaya adalah pemahaman
terhadap latar kehidupan, konteks, dan sistem sosial budaya. Menurut Chapman
(1980:26), kelahiran karya sastra diprakondisikan oleh kehidupan sosial budaya
pengarangnya. Karena itu, sikap dan pandangan pengarang dalam karyanya
mencerminkan kehidupan sosial budaya masyarakatnya.

BAB IV
PUISI DAN UNSUR - UNSURNYA

A. Sekilas Tentang Definisi Puisi


- Samuel Taylor Coleridge mengemukakan, puisi itu adalah katakata yang terindah
dalam susunan yang terindah. Penyair sangat hati-hati dalam memilih dan menyusun
kata-kata agar dapat memperoleh keindahan.
- Carlyle mengatakan, puisi pmerupakan emikiran yang bersifat musikal. Penyair
dalam menciptakan puisi menekankan adanya kemerduan bunyi seperti musik. Kata-
kata disusun sedemikian rupa sehingga yang dominan adalah rangkaian bunyi yang
merdu yang bersifat musikal sehingga menimbulkan orkestrasi bunyi dengan paduan-
paduan bunyi yang indah.
- Wordsworth mengatakan, puisi lebih merupakan pernyataan perasaan yang
imajinatif, yaitu perasaan yang diangankan dan direkakan.
Auden mengemukakan bahwa puisi itu merupakan pernyataan perasaan yang
bercampur-campur.
- Dunton mengatakan, puisi itu merupakan pemikiran manusia secara konkret dan
artistik dalam bahasa emosional serta berirama.
- Shelley mengemukakan, puisi itu rekaman detik-detik yang paling indah dalam
kehidupan manusia. Misalnya peristiwa yang sangat mengesankan dan menimbulkan
keharuan yang kuat seperti kegembiraan, kebahagiaan, cinta dan kasih sayang, namun
juga kesedihan, duka nestapa, dan kematian. Ringkasnya, detik-detik yang paling
indah dalam kehidupan penyair merupakan bahan pokok dalam penciptaan puisi
setelah melalui proses kreasi, kontemplasi, dan refleksi.
B. Unsur - Unsur Puisi
Pradopo (2000:13-14) menyatakan bahwa puisi sebagai karya seni itu puitis. Puitis
mengandung keindahan yang khusus, yang dapat membangkitkan perasaan, menarik
perhatian, keharuan, religiusitas, perenungan (kontemplasi) dan lain-lain. Adapun
unsur-unsur yang membangun sebuah puisi menurut Richards (1976:129-225) terdiri
atas metode dan hakikat, untuk menggantikan istilah bentuk dan isi puisi, atau struktur
fisik dan struktur batin puisi. Berikut unsur - unsur puisi : diksi, imaji/citraan, bahasa
figuratif, rima dan irama, tema, amanat, perasaan, nada.

BAB V
FIKSI DAN UNSUR - UNSURNYA
A. Hakikat Fiksi ( Cerita Rekaan )
Fiksi, sering disebut juga dengan cerita rekaan (cerkan) bukan sebagai lawan dari
kenyataan melainkan lebih sebagai hasil refleksi sastrawan terhadap realitas
kehidupan dalam lingkungan sosial budayanya setelah melalui kreasi dengan daya
imajinasinya. Sebagai karya rekaan, cerita imajinatif, karya sastra fiksi terdiri atas
cerita pendek (cerpen) dan novel. Perbedaan antara keduanya pun tidak mudah untuk
dirumuskan. Kedua fiksi tersebut dalam dunia sastra tampaknya menjadi genre
terpenting mengingat jumlah pembacanya paling banyak dibanding dengan dua genre
lainnya yakni puisi dan teks drama.
B. Novel
1. Definisi Novel
Novel merupakan salah satu genre sastra di samping cerita pendek, puisi dan drama.
Novel adalah cerita atau rekaan (fiction), disebut juga teks naratif (narrative text) atau
wacana naratif (narrative discourse). Novel menceritakan berbagai masalah kehidupan
manusia dalam interaksinya dengan sesama dan lingkungannya, juga interaksinya
dengan diri sendiri dan Tuhan. Novel merupakan hasil dialog, kontempelasi, dan
reaksi pengarang terhadap kehidupan dan lingkungannya, setelah melalui
penghayatan dan perenungan secara intens.
2. Novel Indonesia Mutakhir
Dalam perkembangan sastra fiksi Indonesia, dikenal adanya novel mutakhir. Novel
Indonesia berkembang pesat sejak dekade 1970-an karena didukung oleh beberapa
faktor yakni: (1) adanya maecenas sastra berhubungan dengan makin stabilnya
keadaan ekonomi Indonesia, (2) kebebasan mencipta sastra (bersastra) yang relatif
terselenggara sejak tahun 1967, (3) dukungan pers yang menyediakan rubrik sastra
dan budaya dalam majalah dan surat kabar, dan (4) berkembangnya konsumen sastra
terutama di kalangan muda (Jakob Sumardjo, 1982:15-16; lihat Dami N. Toda,
1987:18). Penggunaan istilah 'novel Indonesia mutakhir' bukan periode atau angkatan
1970-an atau Angkatan 2000 dimaksudkan untuk menghindari polemik mengenai
lahirnya angkatan sastra dalam dunia sastra Indonesia yang sering menjadi perdebatan
yang tak kunjung usai.
3. Novel Merajai Fiksi Indonesia Mutakhir
Dekade 1970-an merupakan masa perkembangan baru dalam kesusasteraan Indonesia
yang membawa perubahan penting di tengah kehidupan masyarakat. Dekade 1970-an
juga membuka cakrawala baru bagi pengarang dan pembaca sastra dengan semakin
banyaknya masyarakat pembaca sastra terutama kaum muda dan ibu-ibu muda yang
status sosial ekonominya relatif mapan. Perkembangan itu ditandai antara lain dengan
banyaknya karya sastra baik puisi, cerpen, novel, maupun drama yang diterbitkan.
C. Cerita Pendek (Cerpen)

Anda mungkin juga menyukai