Miniproject ISPA

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 43

INSIDENSI TB PARU PADA KUNJUNGAN POLI

PUSKESMAS KRUENG BARONA JAYA

Disusun oleh:
dr. Destri Sanghadwi

Pembimbing:
dr. Nilawati

PUSKESMAS KRUENG BARONA JAYA


KABUPATEN ACEH BESAR
2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas berkat,
rahmat dan hidayah-Nya, penulis dapat menyelesaikan laporan mini project yang
berjudul “Insidensi TB PARU pada Kunjungan Poli Puskesmas Krueng Barona
Jaya”. Selanjutnya shalawat dan salam penulis hanturkan kepangkuan alam Nabi
Muhammad SAW yang telah membimbing umat manusia dari alam kegelapan ke
alam yang penuh dengan ilmu pengetahuan.
Laporan mini project ini merupakan salah satu syarat yang diajukan dalam
menempuh Program Internsip Dokter Indinesia. Seperti yang telah kita ketahui
bahwa angka kejadian penderita TB PARU di masyarakat cukup banyak dan
menjadi salah satu keluhan penting yang dapat menurunkan kualitas hidup
masyarakat. Untuk meningkatkan kualitas hidup agar tidak menimbulkan
masalah di masyarakat perlu upaya pencegahan dan penanggulangan TB PARU
dimulai dengan meningkatkan kesadaran masyarakat dan perubahan pola hidup ke
arah lebih sehat. Maka dari itu penulis tertarik melakukan kegiatan mini project
terhadap kasus tersebut.
Ucapan terima kasih tidak lupa penulis ucapkan kepada pembimbing yaitu
dr. Nilawati dan para staf tenaga kesehatan lainnya di puskesmas yang telah
bekerjasama hingga terselesaikannya laporan ini.
Dengan kerendahan hati, kami menyadari bahwa laporan mini project ini
masih jauh dari kesempurnaan. Keterbatasan dalam penulisan maupun kajian
dibahas mengharapkan masukan terhadap kegiatan ini, demi perbaikan di masa
yang akan datang.

Aceh Besar, April 2019

Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR................................................................................. i
DAFTAR ISI............................................................................................... ii

BAB I. PENDAHULUAN...................................................................... 1
1.1. Latar Belakang...................................................................... 1
1.2. Rumusan Masalah ............................................................... 2
1.3. Tujuan Penelitian ................................................................. 3
1.4. Manfaat Penelitian ............................................................... 3
1.4.1.Manfaat Teoritis........................................................... 3
1.4.2.Manfaat Praktis............................................................ 3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA............................................................. 4


2.1. Definisi................................................................................. 4
2.2. Epidemiologi ....................................................................... 5
2.3. Etiologi ................................................................................ 6
2.4. Patofisiologi.......................................................................... 16
2.5. Klasifikasi..................................................................... 18
2.6. Gejala Klinis......................................................................... 24
2.7. Faktor Resiko........................................................................ 26
2.8. Penatalaksanaan ................................................................... 27
2.9. Pencegahan........................................................................... 29

BAB III Metode Penelitian ...................................................................... 30


3.1. Jenis dan Rancangan Penelitian............................................ 30
3.2. Tempat dan Waktu Penelitian............................................... 30
3.3. Populasi dan Sampel Penelitian............................................ 30
3.3.1. Populasi ..................................................................... 30
3.3.2. Sampel ....................................................................... 30
3.3.3. Kriteria Penerimaan (Kriteria Inklusi) ...................... 30
3.3.4. Kriteria Penolakan (Kriteria Eksklusi) ...................... 30
3.3.5. Besar Sampel ............................................................. 30
3.4. Instrumen Penelitian............................................................. 31
3.5. Teknik Pengambilan Data..................................................... 31
3.6. Prosedur Penelitian............................................................... 31
3.7. Analisis Data Penelitian....................................................... 31

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN................................................... 32


4.1. Profil Komunitas Umum ..................................................... 32
4.1.1 Data Geografis............................................................. 32
4.1.2 Data Demografi........................................................... 33
4.1.3 Sumber Daya Kesehatan Puskesmas........................... 34
4.1.4 Sarana & Fasilitas Pelayanan Kesehatan Puskesmas. . 34
4.2. Hasil Penelitian .................................................................... 36
4.2.1 Karakteristik Subjek ................................................... 36
4.2. Pembahasan ......................................................................... 37

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN.................................................... 39


5.1. Kesimpulan .......................................................................... 39
5.2. Saran .................................................................................... 39

DAFTAR PUSTAKA................................................................................. 40
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

1.2 Rumusan Masalah

Bagaimana gambaran insidensi ISPA pada kunjungan Poli Puskesmas


Krueng Barona Jaya

1.3 Tujuan Penelitian

Untuk mengetahui gambaran insidensi ISPA pada kunjungan Poli


Puskesmas Krueng Barona Jaya

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Bidang Pelayanan Masyarakat


Hasil Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai
pedoman edukasi ISPA bagi kalangan masyarakat
1.4.2 Bidang Akademis
Laporan ini bermanfaat sebagai sumber informasi data epidemiologi
menyangkut prevalensi ISPA serta merupakan salah satu syarat untuk
menyelesaikan Program Dokter Internsip Dokter Indonesia.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA)

2.1. Definisi

Menurut Depkes (2004) infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA)

merupakan istilah yang diadaptasi dari istilah bahasa inggris Acute Respiratory

Infections (ARI). Istilah ISPA meliputi tiga unsur penting yaitu infeksi, saluran

pernafasan, dan akut. Dengan pengertian sebagai berikut: Infeksi adalah

masuknya kuman atau mikroorganisme ke dalam tubuh manusia dan berkembang

biak sehingga menimbulkan gejala penyakit. Saluran pernafasan adalah organ

mulai dari hidung hingga alveoli beserta organ adneksanya seperti sinus-sinus,

rongga telinga tengah dan pleura. Infeksi akut adalah infeksi yang berlangsung

sampai 14 hari. Batas 14 hari diambil untuk menunjukkan proses akut meskipun

untuk beberapa penyakit yang dapat digolongkan dalam ISPA proses ini dapat

berlangsung lebih dari 14 hari.

Berdasarkan pengertian diatas, maka ISPA adalah infeksi saluran

pernafasan yang berlangsung selama 14 hari. Saluran nafas yang dimaksud adalah
organ mulai dari hidung sampai alveoli paru beserta organ adneksanya seperti

sinus, ruang telinga tengah, dan pleura (Habeahan, 2009).

Menurut Depkes RI (1996) istilah ISPA mengandung tiga unsur, yaitu

infeksi, saluran pernafasan dan akut. Pengertian atau batasan masing-masing

unsur adalah sebagai berikut:

1. Infeksi adalah masuknya kuman atau mikroorganisme ke dalam tubuh

manusia dan berkembang biak sehingga menimbulkan gejala penyakit.

2. Saluran pernapasan adalah organ yang mulai dari hidung hingga alveoli

beserta organ adneksanya seperti sinus-sinus, rongga telinga tengah dan

pleura. Dengan demikian ISPA secara otomatis mencakup saluran

pernafasan bagian atas, saluran pernafasan bagian bawah (termasuk

jaringan paru-paru) dan organ adneksa saluran pernafasan. Dengan batasan

ini maka jaringan paru-paru termasuk dalam saluran pernafasan

(respiratory tract).

3. Infeksi akut adalah infeksi yang berlangsung sampai dengan 14 hari ini.

Batas 14 hari ini diambil untuk menunjukkan proses akut meskipun untuk

beberapa penyakit yang dapat digolongakan ISPA proses ini dapat

berlangsung lebih dari 14 hari (Suhandayani, 2007).

2.2. Epidemiologi

Pada akhir tahun 2000, ISPA mencapai enam kasus di antara 1000 bayi

dan balita. Tahun 2003 kasus kesakitan balita akibat ISPA sebanyak lima dari

1000 balita (Oktaviani, 2009). Setiap anak balita diperkirakan mengalami 3-6

episode ISPA setiap tahunnya dan proporsi kematian yang disebabkan ISPA

mencakup 20-30% (Suhandayani, 2007). Untuk meningkatkan upaya perbaikan


kesehatan masyarakat, Departemen Kesehatan RI menetapkan 10 program

prioritas masalah kesehatan yang ditemukan di masyarakat guna mencapai tujuan

Indonesia Sehat 2010, dimana salah satu diantaranya adalah Program Pencegahan

Penyakit Menular termasuk penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Akut (Depkes

RI, 2002).

Kota medan merupakan kota terbesar ketiga yang saat ini berkembang

menjadi kota Metropolitan, data profil kesehatan kota Medan berdasarkan

kunjungan di Puskesmas tahun 2003 sebesar 765.763 orang, sedangkan sampai

Juni 2004 sebesar 473.539 orang, dimana penyakit ISPA masih berada pada

urutan pertama yaitu sebanyak 225.494 pasien (47,62%). Angka tertinggi terdapat

di Kecamatan Medan Perjuangan yaitu sebanyak 1.293 kasus (3,3%). Di

Kabupaten Deli Serdang pada 2004, diketahui angka morbiditas kasus ISPA

sebanyak 12.871 kasus (31,7%) dengan rincian 6.638 terjadi pada kelompok umur

bayi (51,5%) dan 6.233 kasus pada usia 1-4 tahun (48,5%) (Agustama, 2005).

2.3. Etiologi

Etiologi ISPA terdiri lebih dari 300 jenis bakteri, virus dan riketsia. Bakteri

penyebabnya antara lain dari genus Streptococcus, Stafilococcus, Pnemococcus,

Hemofilus, Bordetella dan Corinebakterium. Virus penyebabnya antara lain

golongan Micsovirus, Adenovirus, Coronavirus, Picornavirus, Micoplasma,

Herpesvirus.
Sumber :

http://www.kcom.edu/faculty/chamberlain/website/lectures/intraurt.htm.

Penyebab lainnya yaitu :

a. Agent

Infeksi dapat berupa flu biasa hingga radang paru-paru. Kejadiannya bisa

secara akut atau kronis, yang paling sering adalah rinitis simpleks,

faringitis, tonsilitis, dan sinusitis. Rinitis simpleks atau yang lebih dikenal

sebagai selesma/common cold/koriza/flu/pilek, merupakan penyakit virus

yang paling sering terjadi pada manusia. Penyebabnya adalah virus

Myxovirus, Coxsackie, dan Echo. Berdasarkan hasil penelitian Isbagio

(2003), mendapatkan bahwa bakteri Streptococcus pneumonie adalah

bakteri yang menyebabkan sebagian besar kematian 4 juta balita setiap

tahun di negara berkembang. Isbagio ini mengutip penelitian WHO dan

UNICEF tahun 1996, di Pakistan didapatkan bahwa 95% S.pneumococcus

kehilangan sensitivitas paling sedikit pada satu antibiotika, hampir 50%


dari bakteri yang diperiksa resisten terhadap kotrimoksasol yang

merupakan pilihan untuk mengobati infeksi pernafasan akut. Demikian

pula di Arab Saudi dan Spanyol 60% S. pneumonie ditemukan resisten

terhadap antibiotika.

Berdasarkan hasil penelitian Parhusip (2004), yang meneliti

spektrum dari 101 penderita infeksi saluran pernafasan bagian bawah di

BP4 Medan didapatkan bahwa semua penderita terlihat hasil biakan

positif, pada dua penderita dijumpai tumbuh dua galur bakteri sedangkan

yang lainnya hanya tumbuh satu galur. Bakteri gram positif dijumpai

sebanyak 54 galur (52,4%) dan bakteri gram negatif 49 galur (47,6%).

Dari hasil biakan terlihat bahwa yang terbanyak adalah bakteri

Streptococcus viridans 38 galur sebesar 36,89%, diikuti oleh Enterobacter

aerogens 19 galur sebesar 18,45%, Pseudomonas aureginosa 16 galur

sebesar 15,53%, Klebsiella sp 14 galur sebesar 13,59%, Stapilococcus

aureus 13 galur sebesar 12,62%, Pneumococcus 2 galur sebesar 1,94%,

dan Sreptococcus pneumonie 1 galur sebesar 0,97%.

b. Manusia

1. Umur

Berdasarkan hasil penelitian Daulay (1999) di Medan, anak berusia

dibawah 2 tahun mempunyai risiko mendapat ISPA 1,4 kali lebih besar

dibandingkan dengan anak yang lebih tua. Keadaan ini terjadi karena anak

di bawah usia 2 tahun imunitasnya belum sempurna dan lumen saluran

nafasnya masih sempit. Berdasarkan hasil penelitian Maya di RS Haji

Medan (2004), didapatkan bahwa proporsi balita penderita pneumonia


yang rawat inap dari tahun 1998 sampai tahun 2002 terbesar pada

kelompok umur 2 bulan - <5 tahun adalah 91,1%,22 demikian juga

penelitian Maafdi di RS Advent Medan tahun 2006, didapatkan bahwa

proporsi balita penderita pneumonia terbesar pada kelompok umur 2 bulan

- <5 tahun sebesar 82,1%, sementara kelompok umur <2 bulan sebesar

17,9%.23

2. Jenis Kelamin

Berdasarkan hasil penelitian Kartasasmita (1993), menunjukkan

bahwa tidak terdapat perbedaan prevalensi, insiden maupun lama ISPA

pada laki-laki dibandingkan dengan perempuan. Namun menurut beberapa

penelitian kejadian ISPA lebih sering didapatkan pada anak laki-laki

dibandingkan anak perempuan, terutama anak usia muda, dibawah 6

tahun. Menurut Glenzen dan Deeny, anak laki-laki lebih rentan terhadap

ISPA yang lebih berat, dibandingkan dengan anak perempuan.

Berdasarkan hasil penelitian Dewi, dkk di Kabupaten Klaten (1996),

didapatkan bahwa sebagian besar kasus terjadi pada anak laki-laki sebesar

58,97%, sementara untuk anak perempuan sebesar 41,03%.

3. Status Gizi

Di banyak negara di dunia, penyakit infeksi masih merupakan

penyebab utama kematian terutama pada anak dibawah usia 5 tahun. Akan

tetapi anak-anak yang meninggal karena penyakit infeksi itu biasanya

didahului oleh keadaan gizi yang kurang memuaskan. Rendahnya daya

tahan tubuh akibat gizi buruk sangat memudahkan dan mempercepat

berkembangnya bibit penyakit dalam tubuh. Hasil penelitian Dewi, dkk


(1996) di Kabupaten Klaten, dengan desain cross sectional didapatkan

bahwa anak yang berstatus gizi kurang/buruk mempunyai risiko

pneumonia 2,5 kali lebih besar dibandingkan dengan anak yang berstatus

gizi baik/normal.

Hasil penelitian Mustafa di Kota Banda Aceh (2006), dengan desai

cross sectional, berdasarkan hasil analisis bivariat antara penyakit ISPA

dengan status gizi anak balita menunjukkan bahwa anak balita yang

menderita penyakit ISPA didapatkan 2,19 kali mempunyai status gizi tidak

baik dibandingkan dengan anak balita yang tidak menderita penyakit ISPA

(p = 0.038). Salah satu penentuan status gizi adalah klasifikasi menurut

Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 920/Menkes/SK/VIII/2002 untuk

keperluan Pemantauan Status Gizi (PSG) anak balita dengan mengukur

berat badan terhadap umur. Status gizi diklasifikasikan menjadi 4, yaitu:

1) Gizi lebih : bila Z_Skor terletak > +2 SD

2) Gizi Baik : bila Z_Skor terletak diantara ≥ -2 SD s/d +2 SD

3) Gizi kurang : bila Z_Skor terletak pada < -2 SD s/d ≥ - 3 SD

4) Gizi Buruk : bila Z_Skor terletak < -3 SD.26

4. Berat Badan Lahir

Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) ditetapkan sebagai suatu berat

lahir <2.500 gram. Menurut Tuminah (1999), bayi dengan BBLR

mempunyai angka kematian lebih tinggi dari pada bayi dengan berat

≥2500 gram saat lahir selama tahun pertama kehidupannya. Pneumonia

adalah penyebab kematian terbesar akibat infeksi pada bayi baru lahir.

Berdasarkan hasil penelitian Syahril di Kota Banda Aceh (2006),


didapatkan bahwa proporsi anak balita yang menderita pneumonia dengan

berat badan lahir <2.500 gram sebesar 62,2%. Hasil uji statistik diperoleh

bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara kejadian pneumonia

dengan balita BBLR (p <0,05). Nilai OR 2,2 (CI 95%; 1,481-4,751),

artinya anak balita yang menderita pneumonia risikonya 2,2 kali lebih

besar pada anak balita yang BBLR.

5. Status ASI Eksklusif

Air Susu Ibu (ASI) dibutuhkan dalam proses tumbuh kembang

bayi kaya akan faktor antibodi untuk melawan infeksi-infeksi bakteri dan

virus, terutama selama minggu pertama (4-6 hari) payudara akan

menghasilkan kolostrum, yaitu ASI awal mengandung zat kekebalan

(Imunoglobulin, Lisozim, Laktoperin, bifidus factor dan sel-sel leukosit)

yang sangat penting untuk melindungi bayi dari infeksi.

Bayi (0-12 bulan) memerlukan jenis makanan ASI, susu formula,

dan makanan padat. Pada enam bulan pertama, bayi lebih baik hanya

mendapatkan ASI saja (ASI Eksklusif) tanpa diberikan susu formula. Usia

lebih dari enam bulan baru diberikan makanan pendamping ASI atau susu

formula, kecuali pada beberapa kasus tertentu ketika anak tidak bisa

mendapatkan ASI, seperti ibu dengan komplikas postnatal.

Berdasarkan hasil penelitian Syahril di Kota Banda Aceh (2006),

didapatkan bahwa proporsi balita yang tidak mendapat ASI eksklusif

menderita pneumonia sebesar 56,2%, sedang yang tidak menderita

pneumonia 38,8%. Hasil uji statistic diperoleh bahwa anak balita yang

menderita pneumonia risikonya 2 kali lebih besar pada anak balita yang
tidak mendapat ASI eksklusif.

6. Status Imunisasi

Imunisasi adalah suatu upaya untuk melindungi seseorang terhadap

penyakit menular tertentu agar kebal dan terhindar dari penyakit infeksi

tertentu. Pentingnya imunisasi didasarkan pada pemikiran bahwa

pencegahan penyakit merupakan upaya terpenting dalam pemeliharaan

kesehatan anak.

Imunisasi bermanfaat untuk mencegah beberapa jenis penyakit

seperti, POLIO (lumpuh layu), TBC (batuk berdarah), difteri, liver (hati),

tetanus, pertusis.

Bahkan imunisasi juga dapat mencegah kematian dari akibat

penyakit-penyakit tersebut. Jadwal pemberian imunisasi sesuai dengan

yang ada dalam Kartu Menuju Sehat (KMS) yaitu BCG : 0-11 bulan, DPT

3x : 2-11 bulan, Polio 4x : 0-11 bulan, Campak 1x : 9-11 bulan, Hepatitis

B 3x : 0-11 bulan. Selang waktu pemberian imunisasi yang lebih dari 1x

adalah 4 minggu.30

Berdasarkan hasil penelitian Syahril di Kota Banda Aceh (2006),

didapatkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara kejadian

pneumonia pada balita dengan status imunisasi. Hasil uji statistik

diperoleh nilai OR = 2,5 (CI 95%; 2.929 – 4.413), artinya anak balita yang

menderita pneumonia risikonya 2,5 kali lebih besar pada anak yang status

imunisasinya tidak lengkap.28 Berbeda dengan hasil penelitian Afrida di

Medan (2007), hasil uji chi square menunjukkan bahwa tidak ada

hubungan yang bermakna antara status imunisasi bayi dengan kejadian


penyakit ISPA (p>0,05).

c. Lingkungan

1. Kelembaban Ruangan

Berdasarkan KepMenKes RI No. 829 tahun 1999 tentang

kesehatan perumahan menetapkan bahwa kelembaban yang sesuai untuk

rumah sehat adalah 40- 70%, optimum 60%.

Hasil penelitian Chahaya, dkk di Perumnas Mandala Medan

(2004), dengan desain cross sectional didapatkan bahwa kelembaban

ruangan berpengaruh terhadap terjadinya ISPA pada balita. Berdasarkan

hasil uji regresi, diperoleh bahwa factor kelembaban ruangan mempunyai

exp (B) 28,097, yang artinya kelembaban ruangan yang tidak memenuhi

syarat kesehatan menjadi faktor risiko terjadinya ISPA pada balita sebesar

28 kali.

2. Suhu Ruangan

Salah satu syarat fisiologis rumah sehat adalah memiliki suhu

optimum 18- 300C. Hal ini berarti, jika suhu ruangan rumah dibawah

180C atau diatas 300C keadaan rumah tersebut tidak memenuhi syarat.

Suhu ruangan yang tidak memenuhi syarat kesehatan menjadi faktor risiko

terjadinya ISPA pada balita sebesar 4 kali.

3. Ventilasi

Ventilasi rumah mempunyai banyak fungsi. Fungsi pertama adalah

menjaga agar aliran udara di dalam rumah tersebut tetap segar. Hal ini

berarti keseimbangan O2 yang diperlukan oleh penghuni rumah tersebut

tetap terjaga. Kurangnya ventilasi akan menyebabkan kurangnya O2 di


dalam rumah yang berarti kadar CO2 yang bersifat racun bagi

penghuninya menjadi meningkat.30 Sirkulasi udara dalam rumah akan

baik dan mendapatkan suhu yang optimum harus mempunyai ventilasi

minimal 10% dari luas lantai.

Berdasarkan hasil penelitian Afrida (2007), didapatkan bahwa

prevalens rate ISPA pada bayi yang memiliki ventilasi kamar tidur yang

tidak memenuhi syarat kesehatan sebesar 69,9%, sedangkan untuk yang

memenuhi syarat kesehatan sebesar 30,1%. Hasil uji statistik diperoleh

bahwa ada hubungan yang bermakna antara kondisi ventilasi dengan

kejadian penyakit ISPA (p <0,05).

4. Penggunaan Anti Nyamuk

Penggunaan Anti nyamuk sebagai alat untuk menghindari gigitan

nyamuk dapat menyebabkan gangguan saluran pernafasan karena

menghasilkan asap dan bau tidak sedap. Adanya pencemaran udara di

lingkungan rumah akan merusak mekanisme pertahanan paru-paru

sehingga mempermudah timbulnya gangguan pernafasan.

Berdasarkan hasil penelitian Afrida (2007), didapatkan bahwa

adanya hubungan yang bermakna antara penggunaan anti nyamuk dengan

kejadian penyakit ISPA (p <0,05).

5. Bahan Bakar Untuk Memasak

Bahan bakar yang digunakan untuk memasak sehari-hari dapat

menyebabkan kualitas udara menjadi rusak. Kualitas udara di 74%

wilayah pedesaan di China tidak memenuhi standar nasional pada tahun

2002, hal ini menimbulkan terjadinya peningkatan penyakit paru dan


penyakit paru ini telah menyebabkan 1,3 juta kematian.

Berdasarkan hasil penelitian Afrida (2007), prevalens rate ISPA

pada bayi yang dirumahnya menggunakan bahan bakar untuk memasak

adalah minyak tanah sebesar 76,6%, sedangkan gas elpiji sebesar 33,3%.

Hasil uji chi square menunjukkan bahwa ada hubungan yang bermakna

antara penggunaan bahan bakar memasak dengan kejadian penyakit ISPA

(p < 0,05).

6. Keberadaan Perokok

Rokok bukan hanya masalah perokok aktif tetapi juga perokok

pasif. Asap rokok terdiri dari 4.000 bahan kimia, 200 diantaranya

merupakan racun antara lain Carbon Monoksida (CO), Polycyclic

Aromatic Hydrocarbons (PAHs) dan lain-lain.

Berdasarkan hasil penelitian Pradono dan Kristanti (2003), secara

keseluruhan prevalensi perokok pasif pada semua umur di Indonesia

adalah sebesar 48,9% atau 97.560.002 penduduk. Prevalensi perokok pasif

pada laki-laki 32,67% atau 31.879.188 penduduk dan pada perempuan

67,33% atau 65.680.814 penduduk. Sedangkan prevalensi perokok aktif

pada laki-laki umur 10 tahun ke atas adalah sebesar 54,5%, pada

perempuan 1,2%.

Prevalensi perokok pasif pada balita sebesar 69,5%, pada

kelompok umur 5-9 tahun sebesar 70,6% dan kelompok umur muda 10-14

tahun sebesar 70,5%.

Tingginya prevalensi perokok pasif pada balita dan umur muda

disebabkan karena mereka masih tinggal serumah dengan orang tua


ataupun saudaranya yang merokok dalam rumah.

Berdasarkan hasil penelitian Syahril (2006), dari hasil uji statistik

diperoleh nilai OR = 2,7 (CI 95%; 1.481 – 4.751) artinya anak balita yang

menderita pneumonia risikonya 2,7 kali lebih besar pada anak balita yang

terpapar asap rokok dibandingkan dengan yang tidak terpapar.

7. Status Ekonomi dan Pendidikan

Persepsi masyarakat mengenai keadaan sehat dan sakit berbeda

dari satu individu dengan individu lainnya. Bagi seseorang yang sakit,

persepsi terhadap penyakitnya merupakan hal yang penting dalam

menangani penyakit tersebut. Untuk bayi dan anak balita persepsi ibu

sangat menentukan tindakan pengobatan yang akan diterima oleh anaknya.

Berdasarkan hasil penelitian Djaja, dkk (2001), didapatkan bahwa

bila rasio pengeluaran makanan dibagi pengeluaran total perbulan

bertambah besar, maka jumlah ibu yang membawa anaknya berobat ke

dukun ketika sakit lebih banyak. Bedasarkan hasil uji statistik didapatkan

bahwa ibu dengan status ekonomi tinggi 1,8 kali lebih banyak pergi

berobat ke pelayanan kesehatan dibandingkan dengan ibu yang status

ekonominya rendah.

Ibu dengan pendidikan lebih tinggi, akan lebih banyak membawa

anak berobat ke fasilitas kesehatan, sedangkan ibu dengan pendidikan

rendah lebih banyak mengobati sendiri ketika anak sakit ataupun berobat

ke dukun. Ibu yang berpendidikan minimal tamat SLTP 2,2 kali lebih

banyak membawa anaknya ke pelayanan kesehatan ketika sakit

dibandingkan dengan ibu yang tidak bersekolah, hal ini disebabkan karena
ibu yang tamat SLTP ke atas lebih mengenal gejala penyakit yang diderita

oleh balitanya.

2.4. Patogenesis

Menurut Baum (1980), saluran pernapasan selama hidup selalu terpapar

dengan dunia luar sehingga guna mengatasinya dibutuhkan suatu sistem

pertahanan yang efektif dan efisien. Ketahanan saluran pernapasan terhadap

infeksi mauapun partikel dan gas yang ada di udara amat tergantung pada tiga

unsur alami yang selalu terdapat pada orang sehat, yaitu:

1. Keutuhan epitel mukosa dan gerak mukosilia.

2. Makrofag alveoli.

3. Antibodi.

Sudah menjadi suatu kecenderungan bahwa infeksi bakteri mudah terjadi

pada saluran napas yang sel-sel epitel mukosanya rusak, akibat infeksi terdahulu.

Selain itu, hal-hal yang dapat menggangu keutuhan lapisan mukosa dan gerak sila

adalah:

1) Asap rokok dan gas SO₂ yang merupakan polutan utama dalam

pencemaran udara.

2) Sindrom immotil.

3) Pengobatan dengan O₂ konsentrasi tinggi (25 % atau lebih).

Makrofag banyak terdapat di alveolus dan akan dimobilisasikan ke tempat

lain bila terjadi infeksi. Asap rokok dapat menurunkan kemampuan makrofag

membunuh bakteri, sedangkan alkohol akan menurunkan mobilitas sel-sel ini

(Baum,1980).
Antibodi setempat yang ada pada saluran pernapasan ialah imunoglobulin

A (IgA). Antibodi ini banyak terdapat di mukosa. Kekurangan antibodi ini akan

memudahkan terjadinya infeksi saluran pernapasan, seperti yang sering terjadi

pada anak. Mereka dengan defisiensi IgA akan mengalami hal yang serupa

dengan penderita yang mengalami imunodefisiensi lain, seperti penderita yang

mendapat terapi sitostatik atau radiasi, penderita dengan neoplasma yang ganas

dan lain-lain (immunocompromised host) (Baum,1980).Menurut Baum (1980)

gambaran klinik radang yang disebabkan oleh infeksi sangat tergantung pada:

1) Karakteristik inokulum meliputi ukuran aerosol, jumlah dan tingkat

virulensi jasad renik yang masuk.

2) Daya tahan tubuh seseorang tergantung pada utuhnya sel epitel mukosa,

gerak mukosilia, makrofag alveoli dan IgA.

3) Umur mempunyai pengaruh besar. ISPA yang terjadi pada anak dan bayi

akan memberikan gambaran klinis yang lebih buruk bila dibandingkan

dengan orang dewasa. Gambaran klinis yang buruk dan tampak lebih berat

tersebut terutama disebabkan oleh infeksi virus pada bayi dan anak yang

belum memperoleh kekebalan alamiah.

2.5. Klasifikasi

a. Kelompok umur < 2 bulan, diklasifikasikan atas :

1) Pneumonia berat: bila disertai dengan tanda-tanda klinis seperti berhenti

menyusu (jika sebelumnya menyusu dengan baik), kejang, rasa kantuk

yang tidak wajar atau sulit bangun, stridor pada anak yang tenang, mengi,

demam (38ºC atau lebih) atau suhu tubuh yang rendah (di bawah 35,5 ºC),

pernafasan cepat 60 kali atau lebih per menit, penarikan dinding dada
berat, sianosis sentral (pada lidah), serangan apnea, distensi abdomen dan

abdomen tegang.

2) Bukan pneumonia: jika anak bernafas dengan frekuensi kurang dari 60 kali

per menit dan tidak terdapat tanda pneumonia seperti diatas.

b. Kelompok umur 2 bulan - < 5 tahun, diklasifikasikan atas :

1) Pneumonia sangat berat: batuk atau kesulitan bernafas yang disertai

dengan sianosis sentral, tidak dapat minum, adanya penarikan dinding

dada, anak kejang dan sulit dibangunkan.

2) Pneumonia berat: batuk atau kesulitan bernafas dan penarikan dinding

dada, tetapi tidak disertai sianosis sentral dan dapat minum.

3) Pneumonia: batuk (atau kesulitan bernafas) dan pernafasan cepat tanpa

penarikan dinding dada.

4) Bukan pneumonia (batuk pilek biasa): batuk (atau kesulitan bernafas)

tanpa pernafasan cepat atau penarikan dinding dada.

5) Pneumonia persisten: anak dengan diagnosis pneumonia tetap sakit

walaupun telah diobati selama 10-14 hari dengan dosis antibiotik yang

adekuat dan antibiotik yang sesuai, biasanya terdapat penarikan dinding

dada, frekuensi pernafasan yang tinggi, dan demam ringan.

c. Klasifikasi Berdasarkan Lokasi Anatomi

1) Infeksi Saluran Pernafasan atas Akut (ISPaA)

Infeksi yang menyerang hidung sampai bagian faring, seperti pilek,

otitismedia, faringitis.

2) Infeksi Saluran Pernafasan bawah Akut (ISPbA)

Infeksi yang menyerang mulai dari bagian epiglotis atau laring sampai
dengan alveoli, dinamakan sesuai dengan organ saluran nafas, seperti

epiglotitis, laringitis, laringotrakeitis, bronkitis, bronkiolitis, pneumonia.

a. Pneumonia

Definisi : Penyakit peradangan parenkim paru yang meliputi

alveolus dan jaringan interstitial.

Patofisiologi : Pneumonia terjadi akibat inhalasi atau aspirasi

mikroorganisme melalui jalan nafas, aliran darah, aspirasi benda asing,

transplasental atau selama persalinan pada neonatus.

Etiologi :

 Anak usia <3bln : Streptokokus grup B, Streptokokus Aureus,

C. Trakomatis, bakteri gram negatif.

 Anak usia 3bln-5th : S. Pneumonia, H. Influenzae

 Anak usia > 5th : M. Pneumonia, C. Pneumonia, S.pneumonia,

H.influenzae.

Gejala : Batuk, sesak nafas yang timbul mendadak, demam, nyeri dada

(pleuritik), espektorasi purulen.

Pemeriksaan fisik : demam (>39°c), dispneu, takipneu, nafas cuping

hidung, sianosis.

Pemeriksaan paru : retraksi dinding dada, perkusi sonor sampai redup.

Pemeriksaan penunjang :

 Darah tepi : lekositosis dengan hitung jenis bergeser ke kiri.

 Analisa gas darah : hipoksemia, Asidosis respiratorik.

 Foto thorax : infiltrat alveolar, konsolidasi (pneumonia lobaris),

penebalan pleura (pleuritis)


Penatalaksanaan :

 Kriteria MRS :

a. Ada kesukaran nafas

b. Sianosis

c. Usia <6bln

d. Ada penyulit ( muntah-muntah, dehidrasi, empiema)

e. Diduga infeksi Staphylococcus

f. Imunokompromis

g. Perawatan di rumah kurang baik

h. Tidak respon dengan pemberian antibiotik oral.

 Oksigenasi

 Pemberian cairan dan kalori yang cukup sesuai berat badan,

peningkatan suhu dan status dehidrasi.

 Sesak tidak terlalu hebat, diet enteral bertahap melalui selang

nasogastrik

 Sekresi lendir berlebihan inhalasi dengan salin normal

 Asidosis, koreksi Na-bicarbonat 1 meg/kgBB atau berdasarkan

hasil AGD dengan rumus BB (kg) x 0,3 x base excess

 Medikamentosa :

Berdasarkan kelompok usia :

< 3 bln : penisilin + Aminoglikosid

> 3 bln : Ampisilin + kloramfenikol

Dosis :

Ampisilin 100mg/kgBB/hari
Kloramfenikol : 100mg/kgBB/hari

Gentamisin 5mg/kgBB/hari

Sefalosporin ( Empiema) IV 48-72 jam setelah panas turun lalu

dilanjutkan per oral 7-10hari

Berdasarkan kuman penyebab :

Stafilokokus : perlu 6 minggu parenteral

Haemophylus influenzae/Streptococcus pneumonia : 10-14 hari

Diagnosis banding :

 Bronkiolitis

 Payah jantung

 Aspirasi benda asing

 Abses paru

Diagnosis banding pada bayi :

 Meningitis

 Ileus

b. Bronkiolitis

Definisi : infeksi akut pada bronkiolus ditandai dengan obstruksi

inflamasi pada saluran nafas. Sering pada anak < 2 th.

Etiologi : Respiratory syncytial virus, virus parainfluenzae, adenovirus,

mikoplasma, virus influenzae.

Patogenesis : invasi virus pada bronkiolus edema, akumulasi mukus

& debris seluler obstruksi saluran nafas kecil.

Anamnesis : pada anak usia < 2 th dengan sesak nafas, mengi ygang

timbul mengikuti ISPA


Pemeriksaan fisik : demam ringan, takipneu, sianosis, nafas cuping

hidung.

Pemeriksaan paru : suara vesikuler menurun, ekspirium di perpanjang,

wheezing.

Pemeriksaan penunjang

 Analisa gas darah : pCO2 tinggi

 Foto thorax AP-lateral : normal atau emfisematosa (hiperinflasi

paru), Atelektasis sekunder (obstruksi/inflamasi)

Diagnosis banding : Asma bronkiale, Aspirasi benda asing,

bronkopneumonia, Gagal jantung, Miokarditis.

Penatalaksanaan :

 Oksigenasi dengan konsentrasi 35-40%

 Posisi nyaman : supine dengan kepala tegak

 Cairan yang cukup

 Kortikosteroid : Dexamethsone 0,5 mg/kgBB dilanjutkan 0,5

mg/kgBB/hari di bagi 3-4 dosis.

 Antibiotik diberikan jika curiga infeksi sekunder (Pneumonia).

 Mukosilier klirens β-agonis (salbutamol 0,1 mg/kgBB/dosis,

sehari 4-6x diencerkan dengan saline normal) atau teofilin

inhalasi/per oral.

c. Bronkitis

Definisi : Proses keradangan pada bronkus

Etiologi :
 Infeksi : virus (Parainfluenza), bakteri (streptococcus), dan

fungi (monilia)

 Alergi : Asma

 Kimiawi : Aspirasi susu, aspirasi isi lambung, Asap rokok,

uap/gas yang merangsang.

Gejala klinis :

 Didahului ISPaA (virus)

 Batuk pilek 3-4 hari

 Sifat batuk : kering yang disertai nyeri/panas subternal, riak

jernih purulen setelah 10 hari menjadi encer lalu hilang, dapat

disertai muntah-muntah.

Pemeriksaan fisik :

 Keadaan umum baik, anak tidak tampak sakit.

 Panas sub febris

 Sesak tidak ada, rhonki basah kasar / rhonki kering ada.

 Dapat di temukan nasofaringitis dan conjungtivitis

Pemeriksaan penunjang :

 Foto thorax : peningkatan corak bronkovaskuler / bisa juga

normal.

 Laboratorium : Leukosit meningkat / normal

Penatalaksanaan :

 kontrol batuk agar sekret encer dengan perbanyak minum,

pemberian uap/mukolitik bila perlu diikuiti dengan fisioterafi

dada.
 Antibiotik diberikan jika ada kecurigaan infeksi sekunder

(Ampicilline, Cloxacilline, Chloramphenichole, Erythomycine)

 Pemberian antitusif dan antihistamin harus diawasi, karena

dapat mengakibatkan sekret menjadi kental sehingga dapat

menimbulkan atelektasis/pneumonia.

2.6. Gejala klinis

Penyakit saluran pernapasan atas dapat memberikan gejala klinik yang

beragam, antara lain:

1) Gejala koriza (coryzal syndrome), yaitu pengeluaran cairan (discharge)

nasal yang berlebihan, bersin, obstruksi nasal, mata berair, konjungtivitis

ringan. Sakit tenggorokan (sore throat), rasa kering pada bagian posterior

palatum mole dan uvula, sakit kepala, malaise, nyeri otot, lesu serta rasa

kedinginan (chilliness), demam jarang terjadi.

2) Gejala faringeal, yaitu sakit tenggorokan yang ringan sampai berat.

Peradangan pada faring, tonsil dan pembesaran kelenjar adenoid yang

dapat menyebabkan obstruksi nasal, batuk sering terjadi, tetapi gejala

koriza jarang. Gejala umum seperti rasa kedinginan, malaise, rasa sakit di

seluruh badan, sakit kepala, demam ringan, dan parau (hoarseness).

3) Gejala faringokonjungtival yang merupakan varian dari gejala faringeal.

Gejala faringeal sering disusul oleh konjungtivitis yang disertai fotofobia

dan sering pula disertai rasa sakit pada bola mata. Kadang-kadang

konjungtivitis timbul terlebih dahulu dan hilang setelah seminggu sampai

dua minggu, dan setelah gejala lain hilang, sering terjadi epidemi.
4) Gejala influenza yang dapat merupakan kondisi sakit yang berat. Demam,

menggigil, lesu, sakit kepala, nyeri otot menyeluruh, malaise, anoreksia

yang timbul tiba-tiba, batuk, sakit tenggorokan, dan nyeri retrosternal.

Keadaan ini dapat menjadi berat. Dapat terjadi pandemi yang hebat dan

ditumpangi oleh infeksi bakterial.

5) Gejala herpangina yang sering menyerang anak-anak, yaitu sakit

beberapa hari yang disebabkan oleh virus Coxsackie A. Sering

menimbulkan vesikel faringeal, oral dan gingival yang berubah menjadi

ulkus.

6) Gejala obstruksi laringotrakeobronkitis akut (cruop), yaitu suatu

kondisi serius yang mengenai anak-anak ditandai dengan batuk, dispnea,

dan stridor inspirasi yang disertai sianosis (Djojodibroto, 2009).

2.7. Faktor resiko

Berdasarkan hasil penelitian, ISPA yang terjadi pada ibu dan anak

berhubungan dengan penggunaan bahan bakar untuk memasak dan kepadatan

penghuni rumah, demikian pula terdapat pengaruh pencemaran di dalam rumah

terhadap ISPA pada anak dan orang dewasa. Pembakaran pada kegiatan rumah

tangga dapat menghasilkan bahan pencemar antara lain asap, debu, grid (pasir

halus) dan gas (CO dan NO). Demikian pula pembakaran obat nyamuk,

membakar kayu di dapur mempunyai efek terhadap kesehatan manusia terutama

Balita baik yang bersifat akut maupun kronis. Gangguan akut misalnya iritasi

saluran pernafasan dan iritasimata.

Faktor lingkungan rumah seperti ventilasi juga berperan dalam penularan

ISPA, dimana ventilasi dapat memelihara kondisi atmosphere yang


menyenangkan dan menyehatkan bagi manusia. Suatu studi melaporkan bahwa

upaya penurunan angka kesakitan ISPA berat dan sedang dapat dilakukan di

antaranya dengan membuat ventilasi yang cukup untuk mengurangi polusi asap

dapur dan mengurangi polusi udara lainnya termasuk asap rokok. Anak yang

tinggal di rumah yang padat (<10m2/orang) akan mendapatkan risiko ISPA

sebesar 1,75 kali dibandingkan dengan anak yang tinggal dirumah yang tidak

padat (Achmadi, 1993 dalam Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan,

2004).

Faktor lain yang berperan dalam penanggulangan ISPA adalah masih

buruknya manajemen program penanggulangan ISPA seperti masih lemahnya

deteksi dini kasus ISPA terutama pneumoni, lemahnya manajemen kasus oleh

petugas kesehatan, serta pengetahuan yang kurang dari masyarakat akan gejala

dan upaya penanggulangannya, sehingga banyaknya kasus ISPA yang datang ke

sarana pelayanan kesehatan sudah dalam kategori berat (Badan Penelitian dan

Pengembangan Kesehatan, 2004).

2.8. Penatalaksanaan

Menurut Rasmaliah (2005) penatalaksan ISPA ada tiga:

1. Pneumonia berat : dirawat di rumah sakit, diberikan antibiotik parenteral,

oksigen dan sebagainya.

2. Pneumonia: diberi obat antibiotik kotrimoksasol per oral. Bila penderita

tidak mungkin diberi kotrimoksasol atau ternyata dengan pemberian

kotrimoksasol keadaan penderita menetap, dapat dipakai obat antibiotik

pengganti yaitu ampisilin, amoksisilin atau penisilin prokain.


3. Bukan pneumonia: tanpa pemberian obat antibiotik. Diberikan perawatan

di rumah, untuk batuk dapat digunakan obat batuk tradisional atau obat

batuk lain yang tidak mengandung zat yang merugikan seperti

kodein,dekstrometorfan dan, antihistamin. Bila demam diberikan obat

penurun panas yaitu parasetamol. Penderita dengan gejala batuk pilek bila

pada pemeriksaan tenggorokan didapat adanya bercak nanah (eksudat)

disertai pembesaran kelenjar getah bening dileher, dianggap sebagai

radang tenggorokan oleh kuman streptococcuss dan harus diberi antibiotik

(penisilin) selama 10 hari.

2.8.1. Perawatan dirumah

Beberapa hal yang perlu dikerjakan seorang ibu untuk mengatasi anaknya

yang menderita ISPA:

1. Mengatasi panas (demam)

Untuk anak usia 2 bulan samapi 5 tahun demam diatasi dengan

memberikan parasetamol atau dengan kompres, bayi dibawah 2 bulan

dengan demam harus segera dirujuk. Parasetamol diberikan 4 kali tiap

6 jam untuk waktu 2 hari. Cara pemberiannya, tablet dibagi sesuai

dengan dosisnya, kemudian digerus dan diminumkan. Memberikan

kompres, dengan menggunakan kain bersih, celupkan pada air (tidak

perlu air es).

2. Mengatasi batuk

Dianjurkan memberi obat batuk yang aman yaitu ramuan tradisional

yaitu jeruk nipis ½ sendok teh dicampur dengan kecap atau madu ½

sendok teh , diberikan tiga kali sehari.


3. Pemberian makanan

Berikan makanan yang cukup gizi, sedikit-sedikit tetapi berulang-

ulang yaitu lebih sering dari biasanya, lebih-lebih jika muntah.

Pemberian ASI pada bayi yang menyusu tetap diteruskan.

4. Pemberian minuman

Usahakan pemberian cairan (air putih, air buah dan sebagainya) lebih

banyak dari biasanya. Ini akan membantu mengencerkan dahak,

kekurangan cairan akan menambah parah sakit yang diderita.

5. Lain-lain

Tidak dianjurkan mengenakan pakaian atau selimut yang terlalu tebal

dan rapat, lebih-lebih pada anak dengan demam. Jika pilek, bersihkan

hidung yang berguna untuk mempercepat kesembuhan dan

menghindari komplikasi yang lebih parah. Usahakan lingkungan

tempat tinggal yang sehat yaitu yang berventilasi cukup dan tidak

berasap. Apabila selama perawatan dirumah keadaan anak memburuk

maka dianjurkan untuk membawa kedokter atau petugas kesehatan.

Untuk penderita yang mendapat obat antibiotik, selain tindakan diatas

usahakan agar obat yang diperoleh tersebut diberikan dengan benar

selama 5 hari penuh. Dan untuk penderita yang mendapatkan

antibiotik, usahakan agar setelah 2 hari anak dibawa kembali

kepetugas kesehatan untuk pemeriksaan ulang.

2.9. Pencegahan dan Pemberantasan

Pencegahan dapat dilakukan dengan :

1. Menjaga keadaan gizi agar tetap baik.


2. Immunisasi.

3. Menjaga kebersihan perorangan dan lingkungan.

4. Mencegah anak berhubungan dengan penderita ISPA.

BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Jenis dan Rancangan Penelitian


Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan pendekatan potong
lintang. Penelitian ini menggunakan desain deskriptif kuantitatif artinya penelitian
diarahkan untuk mendeskripsikan atau menguraikan suatu keadaan didalam suatu
komunitas atau masyarakat berdasarkan pengukuran.

3.2 Tempat dan Waktu Penelitian


Penelitian ini dilaksanakan di Poli Umum Puskesmas Krueng Barona Jaya
Kota Banda Aceh. Penelitian ini direncanakan akan dilaksanakan pada Januari-
Februari 2019.

3.3 Populasi dan Sampel Penelitian

3.3.1 Populasi
Populasi target adalah semua pasien yang berkunjung melakukan
pengobatan di Poli Umum Puskesmas Krueng Barona Jaya Kota Banda Aceh.

3.3.2 Sampel
Sampel adalah sebagian dari populasi target yang memenuhi kriteria sampel
penelitian. Pada penelitian ini, sampel diambil dengan metode konsekutif.

3.3.3 Kriteria Penerimaan (Kriteria Inklusi)


Pasien yang menderita ISPA yang berobat ke Poli Umum pada Bulan
Januari-Februari 2019.

3.3.4 Kriteria Penolakan (Kriteria Eksklusi)


Pasien menolak ikut serta dalam penelitian.

3.3.5 Besar Sampel


Besar sampel yang diperlukan pada studi deskriptif ini adalah menggunakan
total sampel, yakni semua pasien yang datang berobat ke Poli Umum dengan
diagnosis ISPA.

3.4 Instrumen Penelitian


Lembar penelitian digunakan untuk mencatat semua data pasien seperti
nama, umur dan jenis kelamin.

3.5 Teknik Pengambilan Data


Metode pengambilan data pada penelitian ini adalah data sekunder yang
didapatkan secara langsung dari petugas puskesmas yang mendata mengenai ISPA
di Puskesmas Krueng Barona Jaya.

3.6 Prosedur Penelitian


Pasien yang datang berobat ke Poli Umum dengan diagnosis ISPA akan
didata oleh petugas puskesmas, data tersebut selanjutnya akan digunakan oleh
peneliti.

3.7 Analisis Data Penelitian


Setelah dilakukan verifikasi terhadap kelengkapan data penelitian, data hasil
penelitian akan dianalisis. Analisis data pada penelitian ini berupa analisis
univariat dengan mengdeskripsikan variabel-variabel yang dinilai pada penelitian
ini dan disajikan dalam bentuk tabel maupun diagram.

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Profil Komunitas Umum


Krueng Barona Jaya adalah salah satu dari 23 kecamatan di Kabupaten Aceh
besar, Provinsi Aceh, Indonesia. Kecamatan ini terletak di dekat wilayah Ulee
Kareng, Banda Aceh. kecamatan Krueng Barona Jaya terdiri dari 12 desa dan 3
Mukim, yaitu Kemukiman Ulee Kareng/Lamreung yang terdiri dari 3 desa (Lueng
Ie, Meunasah Papeun dan Meunasah Baktrieng). Kemukiman Lam Ujong yang
terdiri dari 6 desa (Meunasah Baet, Meunasah Intan, Meunasah Manyang, Gla
Meunasah Baro, Rumpet dan Lamgapang) dan Kemukiman Pango yang terdiri
dari 3 desa (Miruk, Gla Deyah dan Lampermai). Lamreung dikenal sebagai
kampung halaman seorang pahlawan nasional Aceh, yaitu Teuku Nyak Arief yang
dimakamkan di wilayah tersebut.
Sejak 1 Januari 2014, Puskesmas Krueng Barona Jaya Aceh Besar melayani
pasien umum, pasien ASKES, JAMKESMAS maupun JKA di mana semuanya
mendapatkan pengobatan secara gratis dalam program Badan Penyelenggaraan
Jaminan Sosial (BPJS).

4.1.1 Data Geografis


Secara administrasi Puskesmas Krueng Barona Jaya Kecamatan Krueng
Krueng Barona Jaya merupakan salah satu kecamatan dalam kabupaten Aceh
Besar yang berada dalam wilayah Provinsi Aceh dan merupakan Pemekaran di
wilayah Kecamatan Ingin Jaya Kabupaten Aceh Besar Bulan Maret 2005.
Kecamatan Krueng Barona Jaya kedudukannya berada pada meridian bumi
antara 5,2°-5,8° Lintang Utara dan 95,0°-95,8° Bujur Timur. Topografi
wilayahnya dataran rendah. Oleh karena kedudukannya di jalur khatulistiwa,
curah hujan di Kabupaten ini tergolong tinggi yaitu antara 11-304 mm pertahun
dengan suhu udara berkisar 21-33°C. Luas wilayah mencakup 9,2 km 2 yang dibagi
atas 12 Desa, 44 Dusun dengan jarak tempuh ke Ibu Kota Kabupaten ± 54 km 2
dan Ibu Kota Provinsi Aceh ± 6,5 km2 (Puskesmas Krueng Barona Jaya,2015).
Adapun batas wilayah Krueng Barona Jaya Kabupaten Aceh Besar adalah
sebagai berikut: Sebelah Utara berbatasan dengan wilayah kerja Puskesmas
Darussalam, sebelah Selatan berbatasan dengan wilayah kerja Puskesmas Ingin
Jaya, sebelah Timur berbatasan dengan wilayah Puskesmas Kuta Baro, sebelah
Barat berbatasan dengan Kota Banda Aceh.

4.1.2 Data Demografi


Pertumbuhan penduduk kecamatan Krueng Barona Jaya Kabupaten Aceh
Besar dalam 3 tahun terus bertambah walaupun tidak terlalu signifikan dimana
pada tahun 2011 jumlah penduduk ± 13.236 jiwa, tahun 2012 bertambah menjadi
± 13.770 jiwa dan pada tahun 2013 bertambah menjadi ± 14.419 jiwa. Pada tahun
2014 jumlah laki-laki sebanyak 7.604 jiwa dan perempuan 7.509 jiwa dengan
perbandingan jenis kelamin (sex rasio) 101.27 sedangkan rata-rata jumlah anggota
rumah tangga sebanyak 4,04 atau sudah mencapai kondisi ideal kepadatan rumah
tangga.
Angka kelahiran kasar / Crude Birth Rate (CBR) selama tahun 2013 adalah
2.18%. tingginya angka kelahiran kasar / Crude Birth Rate tentunya akan
meningkatkan angka pertumbuhan penduduk (Population Growth Rate) dan
memperbesar tanggungan penduduk (Dependecy Ratio). Dinamika penduduk
Kecamatan Krueng Barona Jaya Kabupaten Aceh Besar bila disusun menurut
hirarki golongan umur termuda hingga golongan tertua akan namak bahwa
komposisi penduduk terbanyak berada pada usia muda < 30 tahun (59%). Dengan
demikian struktur penduduk Kecamatan ini merupakan struktur penduduk muda
atau tidak produktif (anak-anak dan remaja) lebih banyak.
Tabel 4.1 Jumlah Penduduk, Jumlah Rumah Tangga dan Kepadatan Penduduk
Menrut Dea Kecamatan Krueng Barona Jaya Tahun 2014
No Desa Jumlah Jumlah Rumah Kepadatan
. Penduduk Tangga Penduduk (per km2)
1. Lampermai 971 170 1674,14
2. Miruk 928 258 1427,69
3. Gla Deyah 624 194 975,00
4. Gla Meunasah Baro 783 214 978,75
5. Meunaah Intan 809 217 1078,67
6. Meunasah Baet 1.072 232 1786,67
7. Meunasah Manyang 1.025 186 1576,92
8. Lamgapang 2.100 570 2000,00
9. Rumpet 711 180 817,24
10. Meunasah Baktrieng 1.898 509 2530,67
11. Lung Ie 997 187 1424,29
12. Meunasah Papeun 3.195 824 2662,50
Jumlah 15.113 3.741 1,636
Sumber : BPS Kabupaten Aceh Besar

4.1.3 Sumber Daya Kesehatan Puskesmas Krueng Barona Jaya


Jumlah tenaga kesehatan yang ada di wilayah Puskesmas Krueng Barona
Jaya adalah 73 orang. Distribusi tenaga kesehatan terdiri dari berbagai disiplin
ilmu untuk melaksanakan pelayanan kesehatan kepada masyarakat yang terdiri
dari pegawai negeri sipil (PNS) dan pegawai tidak tetap (PTT).
Tabel 4.2 Tenaga Kesehantan Puskesmas Krueng Barona Jaya tahun 2014
No Jenis Pegawai Jumlah (orang)
.
1. Dokter Umum 3
2. Dokter Gigi -
3. Bidan 38
4. Perawat 10
5. Perawat Gigi 2
6. Tenaga Kefarmasian 2
7. Tenaga Kesehatan Masyarakat 8
8. Tenaga Kesehatan Lingkungan 3
9. Nutrisionis 3
Total 69 orang

3.1.4 Sarana dan Fasilitas Pelayanan Kesehatan Puskesmas Krueng Barona


Jaya
 Sarana Kesehatan
- 1 unit puskesmas induk dan 2 unit puskesmas pembantu milik
pemerintah serta 10 unit Poskedes
- Posyandu jumlahnya di wilayah kerja puskesmas Krueng Barona Jaya
sebanyak 13 dan Desa siaga 12
 Fasilitas Kesehatan
Fasilitas Kesehatan yang ada di puskesmas Krueng Barona Jaya, yaitu:
a. Ruang Kepala Puskesma : 1 unit
b. Kamar Pemeriksa : 2 unit
c. Poliklinik Gigi : 1 unit
d. Poliklinik Imunisasi : 1 unit
e. Poliklinik KIA : 1 unit
f. Poliklinik MTBS : 1 unit
g. Poliklinik Gizi : 1 unit
h. Poliklinik Usila : 1 unit
i. Ruang Tata Usaha : 1 unit
j. Laboratorium : 1 unit
k. Apotek : 1 unit
l. Ruang Bantu : 1 unit

Puskesmas Krueng Barona Jaya mempunyai fasilitas kesehatan berupa 2


Pustu (Lamreung dan Lam Ujong) dan 10 Poskedes (Lamgapang, Lueng Ie,
Meunasah Papeun, Gla Munasah Baroe, Meunasah Baktrieng, Lampermai,
Meunasah Manyang, Rumpet, Miruk dan Mneunasah Intan). Sedangkan upaya
pelayanan kesehatan yang diberikan di Puskesmas Krueng Barona Jaya ini adalah:
Upaya Kesehatan Wajib
1. Promosi Kesehatan
2. Kesehatan Lingkungan
3. Kesehatan Ibu Anak dan Keluarga Berenana
4. Perbaikan Gizi Mayarakat
5. Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit Menular Serta Pengobatan
Upaya Kesehatan Pengembangan
1. Upaya Kesehatan Sekolah
2. Upaya Kesehatan Gigi dan Mulut
3. Upaya Keseatan Jiwa
4. Kesehatan Usia
5. Pembinaan Pengobatan Tradisional

Puskesmas Krueng Barona Jaya melaksanakan kesehatan menyeluruh dan


terpadu yaitu pengobatan, pencegahan, peningkatan dan pemeliharaan kesehatan
dalam bentuk kegiatan, diantaranya:
1. Kesehatan Ibu dan Anak
2. Kesehatan Gigi dan Mulut
3. Kesehatan Usia Lanjut
4. Usaha Peningkatan Gizi
5. Laboratorium Sederhana
6. Promosi Kesehatan
7. Kesehatan Lingkungan

4.2 Hasil Penelitian


Penelitian ini dilakukan sejak bulan Januari – Februari 2019. Data diambil
dari hasil rekap rekam medis di Puskesmas Krueng Barona Jaya dan diperoleh
hasil sebanyak 194 orang menderita ISPA dalam 2 bulan terakhir.

4.2.1 Karakteristik Subjek


Jenis kelamin subyek pada penelitian ini didapatkan laki-laki 77 (39,7%)
subyek dan wanita 117 (60,3%) subyek sedangkan pada kelompok usia
didapatkan usia < 5 tahun sebanyak 5 (2,58%) subyek, kelompok usia 5-10 tahun
sebanyak 49 (25-26%) subyek dan usia >10 tahun sebanyak 140 (72,16%).
Proporsi jenis kelamin dan kelompok usia dapat dilihat pada Tabel 4.1 dan Tabel
4.2.
Tabel.4.1 Proporsi Jenis Kelamin Subyek
Karakteristik Frekuensi (n=194) Presentase
Jenis Januari Februari Jumlah
Kelamin

Laki-laki 42 35 77 39,7%
Perempuan 64 53 117 60,3%
total 107 88 194 100%

Tabel.4.2 Proporsi Usia Subyek


Karakteristik Frekuensi (n=194) Presentase
Umur Januari Februari Jumlah

< 5 tahun 2 3 5 2,58%


5-10 tahun 23 26 49 25,26%
>10 tahun 81 59 140 72,16%

Total 106 88 194 100%

4.3 Pembahasan
Dari tabel hasil penelitian menunjukkan jika prevalensi ISPA di Puskesmas
Krueng Barona Jaya terlihat banyak. Terhitung sejak Januari-Februari 2019,
terdapat sebanyak 194 penderita ISPA yang datang berobat ke Poli umum
Puskesmas Krueng Barona Jaya. Hal ini menunjukkan jika prevalensi ISPA di
Puskesmas Krueng Barona Jaya masih tinggi. Untuk jenis kelamin penderita ISPA
dalam penelitian ini diperoleh lebih banyak perempuan yaitu 117 orang (60,3%)
sedangkan laki-laki 77 orang (39,7%). Selain itu, dari penelitian juga didapatkan
jika penderita ISPA rata-rata berusia muda sampai lansia, untuk usia anak-anak
penderita ISPA menunjukkan persentase yang sedikit. Usia rata-rata penderita
ISPA dalam penelitian ini yaitu > 10 tahun (72,16%). Usia penderita ISPA
termuda yaitu berusia 13 bulan. Sedangkan untuk usia tertua yaitu 68 tahun.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui insidensi terjadinya ISPA pada
pasien yang melakukan kunjungan ke Poli Umum Puskesmas Krueng Barona
Jaya. Pada penelitian ini diperoleh hasil bahwa ISPA terjadi lebih banyak
menyerang pada usia muda sampai lansia. Hal tersebut tidak sejalan dengan hasil
penelitian Daulay (1999) di Medan, yang mengatakan anak berusia dibawah 2
tahun mempunyai risiko mendapat ISPA 1,4 kali lebih besar dibandingkan dengan
anak yang lebih tua. Keadaan ini terjadi karena anak di bawah usia 2 tahun
imunitasnya belum sempurna dan lumen saluran nafasnya masih sempit.
Sedangkan menurut penelitian oleh Kartasasmita (1993), menunjukkan
bahwa tidak terdapat perbedaan prevalensi, insiden maupun lama ISPA pada laki-
laki dibandingkan dengan perempuan. Namun menurut beberapa penelitian
kejadian ISPA lebih sering didapatkan pada anak laki-laki dibandingkan anak
perempuan, terutama anak usia muda, dibawah 6 tahun.
Pada penelitian ini didapatkan bahwa jenis kelamin perempuan yang lebih
banyak menderita ISPA. Penelitian ini juga tidak sejalan dengan penelitian oleh
Glenzen dan Deeny, anak laki-laki lebih rentan terhadap ISPA yang lebih berat,
dibandingkan dengan anak perempuan. Berdasarkan hasil penelitian Dewi, dkk di
Kabupaten Klaten (1996), didapatkan bahwa sebagian besar kasus terjadi pada
anak laki-laki sebesar 58,97%, sementara untuk anak perempuan sebesar 41,03%.
Selain itu, penelitian ini juga menilai faktor-faktor yang berkontribusi
dengan terjadinya ISPA, salah satunya yaitu kebiasaan merokok. Didapatkan
bahwa pervalensi untuk usia muda sampai lansia masih tergolong tinggi untuk
terjadinya pernyakit ISPA dibandingkan dengan usia anak-anak. Salah satu faktor
resiko yang mempengaruhi terjadinya ISPA terlebih pada usia muda sampai lansia
adalah adanya kebiasaan merokok.
Menurut penelitian Pradono dan Kristanti (2003), secara keseluruhan
prevalensi perokok pasif pada semua umur di Indonesia adalah sebesar 48,9%
atau 97.560.002 penduduk. Prevalensi perokok pasif pada laki-laki 32,67% atau
31.879.188 penduduk dan pada perempuan 67,33% atau 65.680.814 penduduk.
Sedangkan prevalensi perokok aktif pada laki-laki umur 10 tahun ke atas adalah
sebesar 54,5%, pada perempuan 1,2%. Tingginya prevalensi ini bisa disebabkan
karena masih banyaknya kebiasaan-kebiasaan merokok pada usia muda dan usia
lansia.
Selain itu, pengaruh pencemaran di dalam rumah terhadap ISPA pada anak
dan orang dewasa juga terjadi karena penggunaan bahan bakar untuk memasak
dan kepadatan penghuni rumah. Pembakaran pada kegiatan rumah tangga dapat
menghasilkan bahan pencemar antara lain asap, debu, grid (pasir halus) dan gas
(CO dan NO).
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan
ISPA adalah suatu penyakit pernafasan akut yang ditandai dengan gejala

batuk, pilek, serak, demam dan mengeluarkan ingus atau lendir yang berlangsung

sampai dengan 14 hari. Menurut derajat keparahannya ISPA dapat di bagi menjadi

3 golongan yaitu ISPA ringan, ISPA sedang dan ISPA berat. Faktor resiko yang

mempengaruhi atau mempermudah terjadinya ISPA secara umum ada 3 faktor

yaitu keadaan sosial ekonomi dan cara mengasuh atau mengurus anak, keadaan

gizi dan cara pemberian makan, kebiasaan merokok dan pencemaran udara. Selain

ketiga faktor tersebut sanitasi rumah juga sangat mempengaruhi dalam kejadian

ISPA pada balita. Sanitasi rumah meliputi ventilasi, penerangan, kepadatan hunian

dan suhu ruangan.

5.2 Saran

Karena ISPA merupakan penyebab utama kematian pada balita, maka

diharapkan penanganannya dapat diprioritaskan. Disamping itu pemberian

penyuluhan kepada ibu-ibu tentang penyakit ISPA perlu ditingkatkan dan

dilaksanakan secara berkesinambungan. Tidak cukup hanya dengan pendekatan

medis dan pelayanan kesehatan saja. Melalui peran aktif kader posyandu,

diharapkan dapat membantu petugas kesehatan dalam mempromosikan

penanggulangan ISPA balita kepada ibu balita sehingga diharapkan dapat

menurunkan angka kesakitan ISPA. Salah satu cara untuk meningkatkan peran
aktif kader posyandu dengan mengadakan pelatihan kader posyandu.

DAFTAR PUSTAKA

1. Acute upper respiratory tract infections (URTIs). Dalam: Chapman S,


Stephen G, Stradling J, West S. Oxford Handbook of Respiratory
Medicine 1st Edition. Oxford: Oxford University Press.: 2005.hlm:448-51
2. DepKes RI. Direktorat Jenderal PPM & PLP. Pedoman Pemberantasan
Penyakit InfeksiSaluran Pernafasan Akut (ISPA). Jakarta.2003
3. Kajian Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) pada Balita. Universitas
sumatera Utara. Available from :
http://library.usu.ac.id/index.php?option=com_journal_review.[Accessed
22 April 2010]
4. Kumar, V., et al., 2007. Paru dan Saluran Napas Atas. In: Hartanto, H., ed.
Buku Ajar Patologi. Jakarta: EGC
5. Ranuh, IG. G, Pendekatan Risiko Tinggi Dalam Pengelolaan Pelayanan
Kesehatan Anak. Continuing Education Ilmu Kesehatan Anak. FK-
UNAIR Santosa, G.
6. Depkes RI. 2005.Pharmaceutical Care Untuk Penyakit Infeksi Saluran
Pernapasan Depkes RI. Jakarta.
7. Rasmaliah. 2005. Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) dan
Penanggulangannya. www.fkusu.org/fkm infeksi saluran nafas. Diakses
tanggal 23 november 2008
8. Hasan R, Alatas H, ed. Pneumonia. Dalam : Buku Kuliah Ilmu Kesehatan
Anak Jilid 2. Bagian FKUI, Jakarta ; 2000 : 1228-1233
9. Solomon W. Penyakit Pernapasan restriktif. Dalam : Anugerah P (Alih
Bahasa). Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit Edisi 4 Buku
1. EGC, Jakarta ; 1994 : 710
10. Nelson, W. Pneumonia. Dalam : Wahab S (alih Bahasa). Nelson Ilmu
Kesehatan Anak Edisi 15 Volume 2. EGC, Jakarta ; 2000 : 883-889

Anda mungkin juga menyukai