Makalah Promkes Aspek Sosial Budaya

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH PROMOSI KESEHATAN

Aspek social budaya yang berhubungann dengan Kesehatan pada


persalinana beserta contohnya

Dosen Pengajar :
Ibu Riski Akbarani, S.KM., M.Kes

Disusun Oleh : NIM :


Alvio Nitha Tri Kumala BOB0201808
Dilla Sandi Purbayani BOB0201809

STIKes Kendedes Malang


Prodi DIII Kebidanan
Jl. Raden Panji Suroso No.6, Polowijen, Kec. Blimbing, Kota Malang, Jawa
Timur 65126
Tahun Ajaran 2021
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT, yang hingga saat ini masih
melimpahkan nikmat kepada kita semua, baik nikmat iman, kesehatan dan
kesempatan untuk menuntut ilmu. Allah SWT berjanji akan meninggikan derajat
orang – orang yang berilmu, semoga kita termasuk dalam golongan tersebut. Serta
berkatNya juga makalah yang berjudul “Aspek social budaya bagi Kesehatan
yang berhubungan dengan persalinan" ini dapat terselesaikan. Sholawat serta
salam semoga tetap tercurah kepada junjungan Nabi !uhammad SAW, keluarga,
sahabat serta pengikut pengikutnya hingga akhir zaman.
Makalah ini disusun sebagai tugas dari dosen, yang bertujuan untuk
menambah pengetahuan serta dapat mengimplementasikannya di dalam dunia
kerja. karena dengan semakin majunya normasi dan Teknologi serta tingginya
rasa ingin tau manusia yang mengakibatkan persaingan dunia kesehatan dan
kompetensi dalam rekrutmen tenaga kerja menjadi semakin ketat. Terima kasih
kepada Ibu Riski Akbarani, S.KM., M.Kes Selaku Dosen pengajar pada mata
kuliah Promosi Kesehatan yang senantiasa memberikan bimbingan dan arahan
kepada penyusun dalam menyelesaikan makalah ini. Semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi penulis khususnya, dan para pembaca pada umumnya. Penulis
menyadari makalah ini masih banyak kekurangan dan jauh dari kesempurnaan,
untuk itu, penulis mengharap kritik dan saran yang bersifat membangun dari
semua pihak. dan semoga makalah ini dirahmati,diridhoi dan dirahimi oleh llahi
rabbi

Senin, 26 April 2021


Penyusun

.....................................

i
Daftar isi
Cover
Kata Pengantar ..............................................................................................i
Daftar Isi .........................................................................................................ii
BAB 1 PENDAHULUAN ..............................................................................iii
1. Latar Beakang ......................................................................................iii
2. Rumusan Masalah ................................................................................iii
3. Tujuan Pembahasan .............................................................................iv
BAB II PEMBAHASAN ................................................................................1
1. Definisi aspek social budaya ...............................................................1
2. Aspek social beserta contohnya ...........................................................1
3. Aspek budaya beserta contohnya .........................................................6
BAB III PENUTUP ........................................................................................13
1. Kesimpulan ..........................................................................................13
DAFTAR PUSTAKA .....................................................................................14

ii
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Para penolong dan cara-cara menolong persalinan merupakan
kesatuan yang tak terpisahkan, karena diikat oleh kesaman pemahaman
mengenai sifat dari proses kelahiran itu dengan pengaruhnya terhadap
kondisi bayi dan ibunya. Pada kebudayaan di Indonesia kelahiran masih
tetap merupakan masalah pribadi, yang bersifat terbuka dan tertutup bagi
kerabat terdekat yang dianggap mempunyai fungsi tertentu dalam
menghadapi peristiwa itu.
Biasanya mereka akan lebih terbuka pada kerabat wanita yang
sudah berumur dan sudah biasa menghadapi peristiwa pesalinan. Citra
tentang wanita, pandangan budaya mengenai organ reproduksi dan
penanganan plasenta. Dalam banyak kebudayaan di berbagai penjuru
dunia citra tentang wanita dan pandangan budaya mengenai bentuk, sifat
dan fungsi organ reproduksi maupun pandangan budaya mengenai
plasenta mendorong berbagai perilaku tertentu dalam menghadapi
kehamilan dan kelahiran bayi. Banyak suku bangsa di dunia khususnya
dunia ketiga beranggapan bahwa kemampuan melahirkan bayi merupakan
suatu tolok ukur bagi seorang istri untuk menunjukkan keberhasilannya
dalam tugas budayanya untuk mempersembahkan keturunan bagi
suaminya. Di lingkungan yang mempunyai budaya seperti itu, mempunyai
anak segera setelah pernikahan merupakan tujuan utama dari perkawinan.

2. Rumusan Masalah
1) Definisi aspek social budaya
2) Bagaimana aspek social yang berhubungan dengan persalinanan
beserta contohnya ?
3) Bagaimana aspek budaya yang berhubungan dengan persalinanan
beserta contohnya ?

3. Tujuan Pembahasan
1) Untuk mengetahui definisi aspek social budaya
2) Untuk mengetahui bagaimana aspek social budaya yang berhubungan
dengan persalinan beserta contohnya
3) Untuk mengetahui bagaimana aspek budaya yang berhubungan dengan
persalinan beserta contohnya

iii
BAB II
PEMBAHASAN
Aspek sosial merupakan pergaulan hidup manusia dalam kehidupan
bermasyarakat yang mengandung nilai-nilai kebersamaan, senasib, seperjuangan,
dan solidaritas yang merupakan unsur pemersatu bangsa. Aspek budaya adalah
sistem nilai yang merupakan hasil cipta, rasa dan kemauan atau karsa yang
menumbuhkan gagasan dalam kehidupan. Aspek sosial budaya adalah segala
sesuatu yang di ciptakan oleh manusia dengan pemikiran dan akal budinya serta
hati nuraninya dalan kehidupan bermasyarakat serta asepek tersebut telah melekat
dalam diri manusia.
Indonesia merupakan negara yang kaya akan seni dan budaya. Setiap
daerah di Indonesia mempunyai kebudayanaan atau adat istiadat yang berbeda.
Kebudayaan tersebut muncul dari kebiasaan nenek moyang terdahulu dan seolah-
olah sudah melekat dalam jiwa setiap masyarakat. Dukungan sosial merupakan
inti bagi kehidupan bermasyarakat yang efektif.
1) Adanya suatu fakta yang dapat dipertimbangkan yang menyatakan bahwa
dukungan sosal mempengaruhi kesejahteraan fisik dan psikologis
seseorang.
2) Perubahan sosial dan medis telah meningkatkan harapan hidup manusia
3) Tenaga kesehatan berada pada posisi memberikan intervensi secara sukses
baik langsung maupun tidak langsung pada area dukungan sosial dengan
memfasilitasi pertumbuhan dan pertahanan jarngan sosial.
4) penampilan tenaga kesehatan dapat ditingkatkan dengan mengetahui
pentingnya dukungan sosial bagi penanggulangan stres dalam asuhan
kebidanan.
1. Aspek Sosial Budaya bagi Kesehatan dalam persalinan
1.1 Aspek Sosial berserta contohnya
Pada beberapa tulisan disebutkan bahwa kehidupan masyarakat
terasing atau terpencil yang masih sagat sederhana peradapannya,
dilaporkan adanya adat melahirkan yang dilakukan oleh wanita yang
berkepentingan tanpa bantuan siapapun. Biasanya alasan untuk
“menyembunyikan” kelahiran dari keterbukaan bagi banyak orang adalah
karena kebudayaan yang bersangkutan memandang kelahiran sebagai
masalah pribadi dan dari segi adat sopan santun, perlu dijaga dari
keterbukaan bagi orang lain, termasuk kerabat. Misalnya tradisi orang
Mentawai di pulau Siberut pada masa lalu, kelahiran merupakan peristiwa
pribadi yang hanya dihadapai oleh suami dan ibu sang wanita yang
melahirkan, dengan suami sebagai penolong utama dari kelahiran anaknya.
Pada kebudayaan lainya, kelahiran masih tetap merupakan masalah
pribadi, namun lebih bersifat terbuka bagi kerabat terdekat yang dianggap
mempunyai fungsi tertentu dalam menghadapi peristiwa itu. Biasanya
mereka adalah kerabat wanita yang sudah berumur dan sudah biasa
menghadapi peristiwa pesalinan. Masyarakat Bali Aga di desa Trunyan,
Bali memandang kelahiran sebagai hal yang wajar dan bersifat ”publik”.
Kelahiran dianggap sebagai urusan laki-laki, karena dukun bayi pria dan
suami merupakan pemeran utama dari penolong persalinan. Berbeda
dengan masyarakat Krikati di brazilia tengah, handai tolan termasuk anak-
anak bisa berkerumun di depanpintu yang dibiarkan terbuka, untuk
menyaksikan proses kelahiran tersebut di luar ruangan. Meski demikian
hanya dukun pria, suami, ibu kandung sang wanita melahirkan, dan ank-
anaknya yang lahir terdahulu saja yang berada di ruangan, ditambah satu
orang wanita lainnya atau lebih, yang ,mempunyai fungsi sebagai
pembantu persalinan apabila tenaganya diperlukan.
Para penolong dan cara-cara menolong persalinan merupakan
kesatuan yang tak terpisahkan, karena diikat oleh kesaman pemahaman
mengenai sifat dari proses kelahiran itu dengan pengaruhnya terhadap
kondisi bayi dan ibunya. Dalam proses persalinan di lingkungan di
masyarakat Bali Aga, wanita akan melahirkan duduk dengan posisi
bersandar pada dada balian tekuk (dukun beranak) di atas bangku. Sang
suami duduk tepat di hadapan isterinya, karena berfungsi sebagai penerima
bayi pada saat lahirnya.Diantara suami isteri terdapat lubang dangkal yang
diberi alas untuk menampung plasenta, air tembuni, dan darah yang keluar
dari tubuh wanita yang melahirkan. Disisi wanita itu, berdiri seorang gadis
yang berfungsi untuk menarik rambutnya, agar sang wanita yang
melahirkan dapat tetap dalam posisi duduk tegak. Tujuannya adalah untuk
menjaga agar jiwanya dapat tetap diam dalam tubuhnya dan tidak akan
meninggalkannya.
Sang balian tekun akan mengurutnya untuk membetulkan posisi
bayi bila terasa sungsang dalam perut ibunya.Namun bila proses kelahirran
tampak berjalan normal, ia tak kan berbuat apa-apa kecuali berfungsi
sebagai tempat bersandar sang wanita melahirkan dan memberikan
ketenangan psikologis. Seorang pelaku lain, balian usada hanya berperan
apabila terjadi proses persalinan yang sulit.Ia akan membacakan mantera-
mantera dan doa, serta memberikan minuman air suci kepada si ibu, lalu
menyemburnya dengan ludah yang dicampur kunyahan daun sirih.Para
pelaku, khususnya sang gadis, senantiasa mengusahakan agar si ibu tidak
pingsan, karena hal itu dianggap dapat menyebabkan kematiannya.
Sementara itu, ibu dari wanita yang melahirkan turut berada di ruangan
yang sama untuk memberikan ketenangan bathin bagi putrinya yang
sedang dalam proses melahirkan.
Selama proses pertolongan persalinan, diyakini oleh semua pelaku
bahwa selama ari-ari belum keluar, tali pusat tak boleh dipotong karena
kuatir akan tertarik kembali ke dalam rahim sang ibu. Dari segi kedokteran
hal dianggap membahayakan karena pedarahan pada ari-ari dapat
menyebabkan perdarahan pada bayi pula.Setelah ari-ari keluar, ayah sang
bayi memotong tali pusat anaknya dan para pelaku lain mulai sibuk
mengambil air hangat dan rempah-rempah. Sementara itu tugas dukun
bayi dan ayah sang bayi masih berlanjut dengan upacara untuk merawat
dan membungkus plasenta, darah, air tembuni dan tali pusat sang bayi,

2
untuk digantungkan pad tempat khusus yang disediakan untuk keperluan
itu, di bagian selatan induk trunyan.
Uraian tersebut menunjukkan interaksi antara aspek budaya dan
aspek sosial yang terwujud dalam kegiatan menolong persalinan yang
dilakukan oleh para pelaku, masing-masing dengan peran dan tugasnya
selama proses persalinan berlangsung, tidak saja bagi sang bayi, melainkan
juga bagi perawatan plasentanya. Kerjasama yang terpola itu dilandasi
oleh pengetahuan budaya yang sama mengenai sifat-sifat dan fisiologi
kelahiran. Citra tentang wanita, pandangan budaya mengenai organ
reproduksi dan penanganan plasenta. Dalam banyak kebudayaan di
berbagai penjuru dunia citra tentang wanita dan pandangan budaya
mengenai bentuk, sifat dan fungsi organ reproduksi maupun pandangan
budaya mengenai plasenta mendorong berbagai perilaku tertentu dalam
menghadapi kehamilan dan kelahiran bayi. Citra tentang wanita : Ibu dan
istri. Banyak suku bangsa di dunia khususnya dunia ketiga beranggapan
bahwa kemampuan melahirkan bayi merupakan suatu tolok ukur bagi
seorang istri untuk menunjukkan keberhasilannya dalam tugas budayanya
untuk mempersembahkan keturunan bagi suaminya.
Di lingkungan yang mempunyai budaya seperti itu, mempunyai
anak segera setelah pernikahan merupakan tujuan utama dari perkawinan.
Di Bangladesh pandangan serupa juga ditemukan, pengantin baru
diharapkan untuk segera mempunyai anak untuk membuktikan kesuburan
mereka dan untuk mengesahkan mereka dalam keluarga, karena status
sebagai ibu lebih tinggi dari status sebagai istri. Di samping itu status
sebagai ibu memberikan lebih banyak kebebasan untuk keluar rumah dan
mempraktekkan hak-hak mereka. Keinginan untuk segera memiliki anak
mendorong terwujudnya cara-cara budaya dalam mengupayakan kelahiran
anak. Lucille Newman menghimpun sejumlah tulisan mengenai berbagai
kebudayaan di Asia, Amerika Tengah dan Selatan, yang berkenaan dengan
pengetahuan dan cara-cara budaya untuk mengatur kesuburan dengan
tujuan mendapatkan bayi, membatasi kelahiran bayi dan berbagai
pertimbangan tertentu. Di pihak lain citra tentang wanita dalam kaitannya
dengan tugas budaya mereka tidak selalu mendorong disukainya kelahiran
anak tambanhan, setelah lahirnya beberapa anak. Tidak disukainya
tambahan anak tidak selalu disebabkan oleh faktor sosial ekonomi yang
dari segi tenaga dan biaya tidak menguntungkan untuk merawat seorang
bayi lagi. Dalam masyarakat Dani di Kecamatan Kurulu Lembah Baliem
Papua misalnya tugas budaya yang utama bagi wanita dan yang dianggap
amat penting adalah melakukan kegiatan mata pencaharian yakni
menghasilkan ubi jalar dan babi. Sehingga tambhan anak cenderung tidak
disukai karena dianggap mengganggu tugas mereka di ladang.
Keadaan ini sering mendorong untuk melakukan aborsi tradisional
yang menyebabkan resiko yang buruk. Pandangan budaya terhadap organ
reproduksi, masa pembuahan dan ngidam. Perubahan fisiologi terjadi pada
wanita hamil dan hal ini umumnya diterima secara wajar. Meskipun
demikian respons masyarakat terhadap reaksi fisiologi saat pembentukan

3
janin berbeda-beda. Munculnya rasa mual dan muntah dipahami dengan
berbagai respons budaya. Dalam kehidupan masyarakat Indonesia dikenal
sejumlah respons budaya yang umum dikenal dengan istilah ngidam,
antara lain berupa keinginan ibu untuk makan makanan yang rasanya
asam, makan jenis-jenis makanan tertentu, makan makanan yang tidak
lazim di makan seperti tanah lempung atau keinginan menyaksikan atau
melakukan perbuatan tertentu walaupun kurang pantas menurut norma
yang berlaku.
Suku Jawa dan Sunda berkeyakinan bahwa kegagalan para kerabat
memenuhi keinginan ngidam dari wanita hamil sebagai hal yang akan
mengakibatkan bayinya kelak akan terus menerus melelehkan air liurnya.
Pandangan budaya mengenai plasenta. Pada masyarakat Indonesia dan
Malaysia plasenta dianggap sebagai saudara sang bayi, sehingga harus
diperlakukan dengan cara yang baik. Plasenta tidak selalu dikuburkan
melainkan ditenggelamkan ke laut. Pada kebudayaan- kebudayaan tertentu
di dalam wadah yang berisi plasenta bayi diletakkan pula bahan-bahan
ramuan atau benda-benda lain yang secara simbolik dianggap sebagai
barang kebutuhan saudara si bayi dalam kehidupan di dunianya yang
ghoib.

1.2 Aspek budaya beserta contohnya


Sebagai makhluk biologi manusia dipelajari dalam ilmu biologi
atau anatomi dan sebagai makhluk sosio budaya manusia dipelajari dalam
anthropologi budaya, yaitu tentang seluruh cara hidup manusia, bagaimana
manusia dengan akal budinya dan struktur fisiknya dapat mengubah
lingkungan berdasarkan pengalamannya. Kebudayanan manusia
menganalisis masalah-masalah hidup sosial-kebudayaan manusia dan
memberi wawasan bahwa hanya manusialah yang mampu
berkebudayaan.Seperti halnya pada ritus penyambutan bayi lahir pada
suku Rimbo di Jambi.Pada masyarakat Rimbo lahirnya seorang anak
berarti kelangsungan hidup generasinya terjamin, begitu juga
perkembangan mreka tetap terpelihara tetapi kenyataannya sering terjadi
peristiwa di luar jangkauan kemampuan manusia, seperti kematian, bahkan
mati bayinya atau ibunya.Keadaan ini membuat orang rimbo diliputi oleh
hal-hal yang menggelisahkan dan tidak menentramkan hidupnya.
Kemudian mereka mencari sandaran yang dapat enghilangkan
kegelisahan, yang berasal dari bantuan yang luar biasa di atas segala
kemampuan manusia dengan diadakan upacara keagamaan
khusus.Upacara dimulai sejak ibu mengandung delapan bulan yaitu
dengan menyerahkan kepada dukun bayi yang biasanya juga merangkap
orang alim, hal ini dilakukna karena orang rimbo berpengalaman bahwa
umur kandungan delapan bulan merupakan umur yang kritis, sering terjadi
hal-hal yang diluar dugaan manusia, dengan diserahkan ibu ke dalam
pengawasan dukun bayi/orang alim yang dianggap ahli kandungan ibu
tersebut akan terjaga dan selamat.Selanjutnya alim memerintahkan untuk
membuat tempat khusus dalam upacara penyambutan bayi yang akan lahir

4
di suatu tempat yang disebut tanah peranakan, yaitu suatu tempat yang
datar, air cukup, ramu-ramuan yang diperlukan banyak di tempat itu,
mudah dujangkau, dan terlindung dari gangguan binatang buas. Bangunan
balai tersebut terdiri dari minimal tiga gubug, satu untuk suami istri yang
akan melahirkan, satu khusus untuk dukun bayi/alim, sati lagi agak besar
unuk kerabat dekat.Peralatan yang digunkan untuk upacara : bedaro putih
untuk minuman bagi ibu yang melahirkan agar mudah dalam persalinan,
ramuramuan yang khusus dicari oleh dukun, kemenyan untuk mengusir
roh jahat, suluh damar untuk penerangan di malam hari, bubuk kulit kayu
tenggiris untuk menempel pada pusat bayi agat cepat kering, makanan dan
lauk-pauk untuk menjamu peserta upacara terutama ibu yang baru
melahirkan, tempat pembungkus bayi, senjata berupa tombak dan parang
untuk menangkal serangan yang mungkin terjadi.
Setelah bayi lahir engan selamat maka masing-masing sibuk
dengan tugasnya masing-masing, ada yang bertugas menanam bali (ari-ari)
yang harus ditanam di tempat yang tidak mungkin digunakan untuk ladang
atau bangunan, sebagian yang lain membuat makanan dari ubi yang
diparut dan dibubur dengan dicampur hati atau daging, untuk makanan ibu
yang baru melahirkan sisanya untuk kerabat yang menyaksikan dan
menunggu kelahiran bayi.Stelah sehari semalam maka seluruh orang yang
berada di tanah peranakan pulang ke rumah masing-masing, bayinya
cukup digendong dengan kain panjang tanpa bungkus dengan sesuatu
benda apapun dan mereka langsung bekerja termasuk ibu yang baru saja
melahirkan tadi.Kebiasaan ini kemungkinan menjadi penyebab banyak
anak yang meninggal di bawah lima tahun terutama tahun
pertama.Menurut kepercayaan orang rimbo bila bayi lahir dengan selamat
dan kelahirannya di tanah peranakan dengan pertolongan orang alim dan
sudah diupacarakan, maka anak tersebut sudah lepas dari marabahaya
untuk di bawa kemanapun ibunya pergi. Rasa terlindungi oleh sang
pencipta inilah yang membuat mereka leluasa pergi membawa serta bayi
yang baru lahir meskipun beru berumur sehari semalam.
Masyarakat Kerinci Jambi, wanita hamil dilarang makan hamil
agar bayinya tidak berbulu sepeti rebung.Mereka juga dilarang makan
jantung pisang agar anaknya lahir tidak terlalu kecil, atau mengonsumsi
senawa/jamur karena akan menyebabkan placenta menjadi kembar
sehingga mengalami kesulitan waktu melahirkan, alasan ini merupakan
keyakinan budaya. Keyakinan lain pada masyarakat Keruak Lombok
timur, wanita hamil dilarang makan gurita, cumi, kepiting, udang dan ikan
pari.Ikan gurita dan cumi dianggap mempunyai kaki yang lekat dan
mencengkeram, hal ini diasosiasikan ari-ari bayi akan lekat dan
mencengkeram rahim ibu sehingga bayi susah lahir.Makan udang yang
bentuknya melengkung dianggap akan menyebabkan bayi berbrntuk
serupa sehingga mempersulit kelahiran.Ikan pari yang hidungnya tajam
akan menyebabkan bayi sulit keluar, sementara kepiting menyebabkan
bayi akan lebih dahulu keluar tangannya atau letaknya melintang.

5
Sebaliknya adapula makanan yang dianjurka karena dianggap baik
bagi wanita hamil, ia harus makan tanah kaken/lempung merah.Penduduk
setempat juga percaya bahwa pada saat hamil harus makan sebanyak-
banyaknya dalam arti kuantitas,bukan kualitas.Pada masyarakat Biak
Numfor ( Irian ), suami isteri yang tengah menantikan kelahiran bayinya
dilarang makan daging hewan tertentu diantaranya kura-kura. Pantangan
yang hubungannya dengan asosiatif atau adat memantang yang
berhubungan dengan pantangan perbuatan atas dasar keyakinan sifat
ghoib, karena terdapat sejmlah pantangan perbuatan yang melarang wanita
hamil dan suaminya melakkan hal-al tertentu yang secara ghoib diaggap
dapat berakibat buruk bagi beyi mereka, sebagai contoh di Kemantan
Kabupaten Kebalai.Seorang wanita hamil pantang masuk hutan karena
akan diintai harimau, pantang keluar waktu maghrib akan menyebabkan
beranak hantu, panting menjalin rambut bila keluar rumah akan
menyebabkan leher bayi terlilit tali pusatnya sendiri, pantang duduk di
tanah atau di batu, akan terjadi ketuban bumi/sulit melahirkan, pantang
bernadzar yang hebat-hebat karena kelak air liur bayinya akan meleleh
terus. Ada kepercayaan di Bali: kesulitan seorang wanita yang melahirkan
berkaitan dengan perbuatan suaminya sewaktu isterinya hamil, misalnya
karena melanggar pantangan untuk membuat atau menancapkan pagar,
karenan sering memukul binatang atau mencukur rambut.
Larangan menyiksa hewan juga ditemukan pada banyak suku
bangsa seperti masyarakat Sakai, Jawa dan beberapa suku di Papua.Pada
masyarakat Sarmi ada larangan bagi suami dan isteri yang hamil untuk
mengucapkan kata-kata tertentu yang dianggap berkaitan dengan maut
atau makan bersama anggota keluarga yang baru pulang melayat.Pada
masyarakat Marind Anim terdapat larangan bagi seorang pria untuk
menceritakan dongengdongeng yang dianggap sakral ketika isterinya
sedang hamil sampai melahirkan. Demikian pula masyarakat Riau dan
Papua terdapat larangan bagi suami isteri yang menantikan elahiran bayi
untu melakukan beberapa perbuatan tertentu seperti menebang dan
membakar pohon, menanam tebu, berburu, dan membicarakan cerita-cerita
suci serta membelah puntung kayu yang masih menyala.
Dari segi budaya, melahirkan tidak hanya merupakan suatu proses
yang semata-mata berkenaan dengan lahirnya sang bayi saja, karena pada
saat itu, dari rahim sang ibu keluar pula unsur-unsur yang biasanya
dikategorikan sebagai unsur kotor, seperti darah, air ketuban, tali pusat dan
plasenta. Dari segi budaya, pengetian”kotor”tidak selalu mengacu pada
arti harfiahnya, namun kotor dalam arti “duniawi”, sebagai lawan dari sifat
sakral, suci dan ghoib..Karena itu kebudayaan menetapkan bahwa proses
mengeluarkan unsur-unsur yang kotor atau keduniawian harus
dilangsungkan di tempat yang sesuai untuk keperluan itu.disini dijlaskan
bahwa pandangan masyarakat tentang wilayah bersih yang tidak boleh
dikotori, sedangkan melahirkan adalah proses membuang nsur-unsur yang
kotor, sehingga pilihan melahirkan ditetapkan di dapur sebagai wilayah
kotor, sebagian masyarakat Dayak Kenyah di Desa Long merah,

6
kalimantan timur, yang tinggal di ummaq dadog(Rumah komunal
tradisional dengan bilik-bilik yang berjajar) juga memilih dapur sebagai
tempat melahirkan.
Namun alasannya lebih cenderung kepada faktor adat sopan
santun.Bagian tengan rumah yang disebut sinong terlalu terbuka bagi
umum dan kurang memberikan suasana yang dibutuhkan oleh wanita
hamil untuk melahirkan bayinya, baik dari segi ketenangan maupun adat
sopan santun.Maka dapur sebagai satu-satunya bagian rumah yang tertutup
dan memberikan ruang pribadi yang dibutuhkan untuk melahirkan,
menjadi pilihan sebagai tempat melahirkan. Menurut adat tradisional
orang Mentawai di pulau Siberut, yang terutama dianut scara etat di masa
lalu, melahirkan dianggap sebagai kategori non sakral sehingga kelahiran
dilangsungkan di tempat yang sesuai untuk itu.ialah ladang yang bersifat
duniawi, yang merupakan salah satu dari pusat kehidupan selain desa
dimana rumah-rumah penduduk berada.Oleha karena itu sekitar seminggu
sebelum sang wanita melahirkan, ia akan dibawa oleh suami dan ibunya
untuk tinggal di ladanga hingga saatnya melahirkan. Meskipun pad masa
kini kebudayaan orang Mentawai telah mengalami perubahan, masih ada
di pedalaman penduduk pulau siberut yang menjalankan adat melahirkan
berdasarkan konsep itu. Pandangan budayan tentang lokasi melahirkan an
sifatnya juga tidak sama dalam berbagai kebudayan.
Di Desa Trunyan, melihat kelahiran sebagai sifat terbuka untuk
dihadiri handai tolan.Namun tetap terdapat batasan dari norma-norma adat
mengenai siapa yang dapat dan tidak boleh berada di dalam ruangan.
Suasana kelahiran bayi juga dihadapi sebagai peristiws yang wajar secara
alamiah, dan merupakan bagian dari proses sosialisasi anak-anak
setempat.Di dalam ruangan, para pelaku berperan sesuai dengan tugasnya
masing-masing, tap orang berada di tempatnya masingmasing sesuai tugas
yang ditentukan baginya dalam pertolongan persalinan. Dengan demikian
dapatlah dikatakan bahwa pengadaadn tempat melahirkan dan para pelaku
pada kegiatan tersebut, termasuk tugas dan aturan masing-masing
ditetapkan secara budaya.Pertimbangan-pertimbangan tertentu yang
bersifat kultural ini kadang-kadang tidak mudah untuk diubah. Tentang
ramu-ramuan dalam proses kelahiran dan pasca persalinan, Setiap
kebudayaan memiliki kepercayaan mengenai berbagai ramuan atau bahan
obat-obatan yang dapat digunkan pada saat wanita hamil telah merasakan
akan lahirnya sang bayi.
Umumnya bahan obat-obatan itu terdiri dari ramu-ramuan yang
diracik dari berbagai tumbuh-tumbuhan, seperti daun-daunan, akar-akara,
atau bahan-bahan lainnya yang diyakini berkhasiat sebagai penguat tubuh
atau pelancar proses persalinan.Ramuan yang dianjurkan ole dukun bayi
untuk diminum atau dimakan oleh calon ibu bervariasi, sesuai dengan
pengetahuan budaya setempat dan menurut ketersediaan bahan-bahan di
lingkungan sekitar. Di Bali, misalnya, balian manak menganjurkan
pasienya yang hamil tua untuk minm jamu daun waru atau minum air
kelapa muda agar kelak persalinannya lancar, juga dianjurkan minum air

7
kelapa dari kelapa yang masih sangat muda yang dicampur dengan madu
dan kunyit dengan tujuan menambah tenaga. Pada masyarakat
Kerinci,walaupun jantung pisan dipantangkan selama sebagaian besar dari
masa hamil, saat memasuki usia kandungan 9 bulan, jantung pisang
merupakan bagian dari pelusuh(sarana untuk memperlancar lahirnya
bayi)yang diberikan, setelah sebelumnya diberi penawar berupa doa-doa
oleh dukun dan dmakan sebagai lauk nasi.
Kemudian pada saat bayi hampir lahi, pelusuh terdii dari telur aam
mentah yang dikocok dengan campuran kopi atau sirih dengan
perangkatnya(pinang, gambir,dan kapur), yang diberi doa.Setelah ketuban
pecah, ibun diberi minyak kelapa untuk diminumkan. Tujuannya untuk
memberi semangat kepada ibu, meskipun dari segi kesehatan hal itu tidak
jelas khasiatnya. Pada saat bayi telah lahir terdapat pula ramu-ramuan
yang ditujukan pada perawatan ibu melahirkan. Bahan-bahan ramuan itu
digunakan untuk berbagai tujuan, antara lain untuk mengembalikan
tenaga, untuk memperkuat tubuh ibu, mengembalikan fungsi-fungsi tubuh
menjadi sebelum hamil, membersihkan tubuh dari nifas dan zat-zat yang
diangap kotr lainnya, serta mengembalikan bentuk tubuh dalam konteks
keindahan tubuh. Jenis-jenis ramuan dan obat-obatan yang digunakan oleh
setiap kelompok masyarakat pada masa hamil, menjelang saat melahirkan
dan sesudah bersalin merupakan bahan –bahan yang berasal dari
pengetahuan budaya masyarakat ang bersangkutan.Sebagian diantaranya
sudah digunkan secara turun temurun sejak beberapa generasi.Namun
dalam hal-hal tertentu tidak selalu bahan-bahan yang digunakan berkhasiat
menurut ilmu kesehatan atau mendukung tercapainya tujuan kesehatan
dengan baik.

8
BAB III
PENUTUP
1. Kesimpulan
Pandangan budayawan tentang lokasi melahirkan dan sifatnya
tidak sama dalam berbagai kebudayan. Dari segi budaya, melahirkan tidak
hanya merupakan suatu proses yang semata-mata berkenaan dengan
lahirnya sang bayi saja, karena pada saat itu, dari rahim sang ibu keluar
pula unsur-unsur yang biasanya dikategorikan sebagai unsur kotor, seperti
darah, air ketuban, tali pusat dan plasenta. Tentang ramu-ramuan dalam
proses kelahiran dan pasca persalinan, Setiap kebudayaan memiliki
kepercayaan mengenai berbagai ramuan atau bahan obat-obatan yang
dapat digunkan pada saat wanita hamil telah merasakan akan lahirnya sang
bayi.
Umumnya bahan obat-obatan itu terdiri dari ramu-ramuan yang
diracik dari berbagai tumbuh-tumbuhan, seperti daun-daunan, akar-akara,
atau bahan-bahan lainnya yang diyakini berkhasiat sebagai penguat tubuh
atau pelancar proses persalinan. Gambaran-gambaran di atas telah
menunjukkan interaksi antara aspek budaya dan aspek sosial yang
terwujud dalam kegiatan menolong persalinan yang dilakukan oleh para
pelaku, masing-masing dengan peran dan tugasnya selama proses
persalinan berlangsung, tidak saja bagi sang bayi, melainkan juga bagi
perawatan plasentanya.

9
DAFTAR PUSTAKA
https://www.apikescm.ac.id/ejurnalinfokes/images/volume1/handayani.pdf

10

Anda mungkin juga menyukai