Makalah Ibu Lian Vanessa

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 27

BAB I

PENDAHULUAN

A.Latar Belakang

Psikososial sendiri berasal dari kata psiko dan sosial. Kata psiko mengacu pada aspek
psikologis dari individu (pikiran, perasaan dan perilaku) sedangkan sosial mengacu pada
hubungan eksternal individu dengan orang-orang di sekitarnya (Pusat Krisis Fakultas
Psikologi UI). Istilah psikososial berarti menyinggung relasi sosial yang mencakup faktor-
faktor psikologis (Chaplin, 2011).

Seks berarti jenis kelamin. Segala sesuatu yang berhubungan dengan jenis kelamin
disebut dengan seksualitas. Perilaku seksual yaitu orienasi seksual dari seorang individu,
yang merupakan interaksi antara kedua unsur yang sulit di pisahkan, yaitu tingkah laku
seksual didasari oleh dorongan seksual untuk mencari dan memperoleh kepuasan seksual,
yaitu orgasmus. Tingkah laku gender adalah tingkah laku dengan konotasi maskulin atau
feminim di luar tingkah laku seksual. Perilaku seksual itu mulai tampak setelah anak menjadi
remaja.

Setiap orang mengalami stress dari waktu ke waktu, dan umumnya seseorang dapat
mengadaptasi stress jangka panjang atau menghadapi stress jangka pendek sampai stress
tersebut berlalu. Stress dapat menimbulkan tuntutan yang besar pada seseorang, dan jika
seseorang tersebut tidak dapat mengadaptasi, maka dapat tejadi penyakit. Stress adalah segala
situasu dimana tuntutan nin spresifik mengharuskan seseorang individu untuk berespons atau
melakukan tindaka ( selye, 1976 ).

Persepsi atau pengalaman individu terhadap perubahan besar menimbulkan stress.


Stimuli yang mengawali atau mencetuskan perubahan disebut stresor. Stresor menunjukan
suatu kebutuhan yang tidak terpenuhi dan kebutuhan tersebut bisa saja kebutuhan fisiologis,
psikologis, sosial, lingkungan, perkembangan, spiritual, atau kebutuhan kultural.stresor
secara umum dapat diklasifikasikan sebagai internal atau eksternal. Stresor internal berasal
dari dalam diri seorang ( mis.demam, kondisi seperti kehamilan atau menaupause, atau suatu
keadaan emosi seperti rasa bersalah)
B.Rumusan Masalah

1) Jelaskan pengertian psiko sosial,seksualitas dan stress adaptasi?


2) Masalah-masalah psiko sosial,seksualitas, dan stress adaptasi?
3) Karakteristik dari psiko sosial, seksualitas dan stress adaptasi?
4) Macam-macam psiko sosial, seksualitas dan stress adaptasi?

C.Tujuam

Untuk mengetahui psiko sosial, seksualitas dan stress adaptasi, Untuk mengetahui
masalah-masalah psiko sosial, seksualitas, dan stress adaptasi, Untuk mengetahui
Karakteristik psiko sosial, seksualitas, dan stress adaptasi, Untuk mengetahui macam-macam
psiko sosial, seksualitas, dan stress adaptasi
BAB II

PEMBAHASAN

A.Konsep psikososial
1. Definisi psikososial
Psikososial adalah suatu kondisi yang terjadi pada individu yang mencakup
aspek psikis dan sosial atau sebaliknya. Psikososial menunjuk pada hubungan yang
dinamis antara faktor psikis dan sosial, yang saling berinteraksi dan memengaruhi
satu sama lain. Psikososial sendiri berasal dari kata psiko dan sosial. Kata psiko
mengacu pada aspek psikologis dari individu (pikiran, perasaan dan perilaku)
sedangkan sosial mengacu pada hubungan eksternal individu dengan orang-orang di
sekitarnya (Pusat Krisis Fakultas Psikologi UI). Istilah psikososial berarti
menyinggung relasi sosial yang mencakup faktor-faktor psikologis (Chaplin, 2011).
Masalah-masalah psikososial menurut (Nanda, 2012) yaitu :

a. Berduka
b. Keputusasaan
c. Ansietas
d. Ketidakberdayaan
e. Risiko penyimpangan perilaku sehat
f. Gangguan citra tubuh
g. Koping tidak efektif
h. Koping keluarga tidak efektif
i. Sindroma post trauma
j. Penampilan peran tidak efektif
k. HDR situasional

2. Kecemasan
a. Pengertian kecemasan
Kecemasan adalah kekhawatiran yang tidak jelas dan menyebar, yang
berkaitan dengan perasaan tidak pasti dan tidak berdaya. Keadaan emosi ini tidak
memiliki objek yang spesifik. Ansietas dialami secara subjektif dan dikomunikasikan
secara interpersonal. Ansietas berbeda dengan rasa takut yang merupakan penilaian
intelektual terhadap sesuatu yang berbahaya. Ansietas adalah respon emosional
terhadap penilaian tersebut yang penyebabnya tidak diketahui. Sedangkan rasa takut
mempunyai penyebab yang jelas dan dapat dipahami (Stuart, 2007). Ansietas adalah
perasaan takut yang tidak jelas dan tidak didukung oleh situasi. Ketika merasa cemas,
individu merasa cemas, individu merasa tidak nyaman atau takut atau mungkin
memiliki firasat akan ditimpa malapetaka padahal ia tidak mengerti mengapa emosi
yang mengancam tersebut terjadi.
Kecemasan adalah perasaan tidak nyaman atau kekhawatiran yang sama
disertai respon autonom (sumber sering kali tidak spesifik atau tidak diketahui oleh
individu), perasaan takut yang disebabkan oleh antisipasi terhadap bahaya. Hal ini
merupakan isyarat kewaspadaan yang memperingatkan individu akan adanya bahaya
dan memampukan individu untuk bertindak menghadapi ancaman (Nurarif &
Kusuma, 2013).

b. Penyebab

Penyebab kecemasan menurut (Nurarif & Kusuma, 2013) yaitu :

1) Perubahan dalam (status ekonomi, lingkungan, status kesehatan, pola interaksi,


fungsi peran, status peran)
2) Pemajanan toksin
3) Terkait keluarga
4) Herediter

5) Infeksi/kontaminan interpersonal

6) Penularan penyakit interpersonal

7) Krisis maturasi, krisis situasional

8) Stres, ancaman kematian

9) Penyalahgunaan zat

10) Ancaman pada (status ekonomi, lingkungan, status kesehatan, pola interaksi,
fungsi peran, status peran, konsep diri)

11) Konflik tidak disadari mengenai tujuan penting hidup

12) Konflik tidak disadari menenai nilai yang esensial/penting

13) Kebutuhan tidak dipenuhi

c. Gejala-gejala kecemasan menurut (Nurarif & Kusuma,2013) yaitu :


1). Gejala perilaku dari kecemasan yaitu : penurunan produktivitas, gerakan yang
ireleven, gelisah, melihat sepintas, insomnia, kontak mata yang buruk,
mengekspresikan kekawatiran karena perubahan dalam peristiwa hidup,
agitasi, mengintai dan tampak waspada.
2) Gejala afektif dari kecemasan yaitu : gelisah, distres, kesedihan yang
mendalam, ketakutan, perasaan tidak adekuat, berfokus pada diri sendiri,
peningkatan kewaspadaan, iritabilitas, gugup senang berlebihan, rasa nyeri
yang meningkatkan ketidakberdayaan, peningkatan rasa ketidakberdayaan
yang persisten, bingung, menyesal, ragu/tidak percaya diri dan khawatir.
3) Gejala fisiologis dari kecemasan yaitu : wajah tenang, tremor tangan,
peningkatan keringat, peningkatan ketegangan, gemetar, tremor, suara
bergetar.
4) Gejala simpatik dari kecemasan yaitu : anoreksia, eksitasi kardiovaskular,
diare, mulut kering, wajah merah, jantung berdebar-debar, peningkatan
tekanan darah, peningkatan denyut nadi, peningkatan reflek, peningkatan
frekuensi pernapasan, pupil melebar, kesulitan bernafas, vasokontriksi
superfisial, lemah dan kedutan pada otot.
5) Gejala parasimpatik dari kecemasan yaitu : nyeri abdomen, penurunan tekanan
darah, penurunan denyut nadi, diare, mual, vertigo, letih, gangguan tidur,
kesemutan pada extremitas, sering berkemih, anyang-anyangan, dorongan
segera berkemih
6) Gejala kognitif dari kecemasan yaitu : menyadari gejala fisiologis, bloking
fikiran, konfusi, penurunan lapang persepsi, kesulitan berkonsentrasi,
penurunan kemampuan untuk belajar, penurunan kemampuan untuk
memecahkan masalah, ketakutan terhadap konsekuensi yang tidak spesifik,
lupa, gangguan perhatian, khawatir, melamun, cenderung menyalahkan orang
lain.
d. Tingkat cemas menurut (Stuart, 2007) adalah sebagai berikut :
1) Ansietas ringan berhubungan dengan ketegangan dalam kehidupan sehari-hari;
ansietas ini menyebabkan individu menjadi waspada dan meningkatkan lapang
persepsinya. Ansietas ini dapat memotivasi belajar dan menghasilkan
pertumbuhan serta kreativitas.
2) Ansietas sedang memungkinkan individu untuk berfokus pada hal yang
penting dan mengesampingkan yang lain. Ansietas ini mempersempit lapang
persepsi individu. Dengan demikian, individu mengalami tidak perhatian yang
selektif namun dapat berfokus pada lebih banyak area jika diarahkan untuk
melakukannya.
3) Ansietas berat sangat mengurangi lapang persepsi individu. Individu
cenderung berfokus pada sesuatu yang rinci dan spesifik serta tidak berpikir
tentang hal lain. Semua perilaku ditujukan untuk mengurangi ketegangan.
Individu tersebut memerlukan banyak arahan untuk berfokus pada area lain.
4) Tingkat panik dari ansietas berhubungan dengan terperangah, ketakutan dan
teror. Hal yang rinci terpecah dari proporsinya. Karena mengalami kehilangan
kendali, individu yang mengalami panik tidak mampu melakukan sesuatu
walaupun dengan arahan. Panik mencakup disorganisasi kepribadian dan
menimbulkan peningkatan aktivitas motorik, menurunnya kemampuan untuk
berhubungan dengan orang lain, persepsi yang menyimpang dan kehilangan
pemikiran yang rasional. Tingkat ansietas ini tidak sejalan dengan kehidupan;
jika berlangsung terus dalam waktu yang lama, dapat terjadi kelelahan dan
kematian.
f. Faktor pendukung
1) Faktor predisposisi
Menurut (Suart, 2007) berbagai teori telah dikembangkan untuk menjelaskan
asal ansietas :
a) Dalam pandangan psikoanalitis, ansietas adalah konflik emosional yang terjadi
antara dua elemen kepribadian: id dan superego. Id mewakili dorongan insting
dan impuls primitif, sedangkan superego mencerminkan hati nurani dan
dikendalikan oleh norma budaya. Ego dan Aku, berfungsi menengahi tuntutan
dari dua elemen yang bertentangan tersebut dan fungsi ansietas adalah
mengingatkan ego bahwa ada bahaya.
b) Menurut pandangan interpersonal, ansietas timbul dari perasaan takut terhadap
ketidaksetujuan dan penolakan interpersonal. Ansietas juga berhubungan
dengan perkembangan trauma, seperti perpisahan dan kehilangan, yang
menimbulkan kerentanan tertentu. Individu dengan harga diri rendah terutama
rentan mengalami ansietas yang berat.
c) Menurut pandangan perilaku, ansietas merupakan produk frustasi yaitu segala
sesuatu yang mengganggu kemampuan individu untuk mencapai tujuan yang
diinginkan. Ahli teori perilaku lain menganggap ansietas sebagai suatu
dorongan yang dipelajari berdasarkan keinginan dari dalam diri untuk
menghindari kepedihan. Ahli teori konflik memandang ansietas sebagai
pertentangan antara dua kepentingan yang berlawanan. Mereka meyakini
adanya hubungan timbal balik antara konflik dan ansietas: konflik
menimbulkan ansietas dan ansietas menimbulkan perasaan tidak berdaya,
yang pada gilirannya meningkatkan konflik yang dirasakan.
d) Kajian keluarga menunjukkan bahwa gangguan ansietas biasanya terjadi
dalam keluarga. Gangguan ansietas juga tumpang tindih antara gangguan
ansietas dan depresi.
e) Kajian biologis menunjukkan bahwa otak mengandung reseptor khusus untuk
benzodiazepin, obat-obatan yang meningkatkan neuroregulator inhibisi asam
gama-aminobutirat (GABA), yang berperan penting dalam mekanisme
biologis yang berhubungan dengan ansietas. Selain itu, kesehatan umum
individu dan riwayat ansietas pada keluarga memiliki efek nyata sebagai
predisposisi ansietas. Ansietas mungkin disertai dengan ganggun fisik dan
selanjutya menurunkan kemampuan individu untuk mengatasi stressor.
2) Stresor pencetus
Stresor pencetus dapat berasal dari sumber internal dan eksternal, stressor
pencetus dapat diklasifikasikan dalam dua jenis menurut (Riyadi & Purwanto, 2009):

a) Ancaman terhadap integritas seseorang meliputi ketidakmampuan fisiologis yang


akan terjadi atau menurunkan kapasitas untuk melakukan aktivitas hidup sehari-
hari. Pada ancaman ini, stressor yang berasal dari sumber eksternal adalah faktor-
faktor yang dapat menyebabkan gangguan fisik (misal; infeksi virus, polusi
udara). Sedangkan yang menjadi sumber internalnya adalah kegagalan
mekanisme fisiologi tubuh (misal; sistem jantung, sistem imun, pengaturan suhu
dan perubahan, fisiologi selama kehamilan).
b) Ancaman terhadap sistem diri seseorang dapat membahayakan identitas, harga diri
dan fungsi sosial yang terintegrasi seseorang. Ancaman yang berasal dari sumber
eksternal yaitu kehilangan orang yang berarti (meninggal, perceraian, pindah
kerja) dan ancaman yang berasal dari sumber internal berupa gangguan hubungan
interpersonal dirumah, tempat kerja atau menerima peran baru.

3) Penilaian stresor
Pemahaman tentang ansietas perlu integrasi banyak faktor, termasuk
pengetahuan dari perspektif psikoanalitis, interpersonal, perilaku, genetik dan
biologis. Penilaian mendorong pengkajian perilaku dan persepsi pasien dalam
mengembangkan intervensi keperawatan yang tepat. Penilaian juga menunjukkan
berbagai faktor penyebab dan menekankan hubungan timbal balik antara faktor-faktor
tersebut dalam menjelaskan perilaku yang terjadi. Dengan demikian, pemahaman
yang benar tentang ansietas bersifat holistik (Stuart, 2007).
4) Sumber koping
Individu dapat mengatasi stress dan ansietas dengan menggerakkan sumber
koping di lingkungan. Sumber koping tersebut yang berupa model ekonomi,
kemampuan penyelesaian masalah, dukungan sosial dan keyakinan budaya dapat
membantu individu mengintegrasikan pengalaman yang menimbulkan stress dan
mengadopsi strategi koping yang berhasil (Stuart, 2007).
5) Mekanisme koping
Menurut (Stuart, 2007) ketika mengalami ansietas, individu menggunakan
berbagai mekanisme koping untuk mencoba mengatasinya; ketidakmampuan
mengatasi ansietas secara konstruktif merupakan penyebab utama terjadinya perilaku
patologis. Pola yang biasa digunakan individu untuk mengatasi ansietas ringan
cenderung tetap domain ketika ansietas menjadi lebih intens. Ansietas ringan sering
ditanggulangi tanpa pemikiran yang sadar. Ansietas sedang dan berat menimbulkan
dua jenis mekanisme koping:
a) Reaksi yang berorientasi pada tugas yaitu upaya yang disadari dan
berorientasi pada tindakan untuk memenuhi tuntutan situasi stress secara
realistis: Perilaku menyerang digunakan untuk menghilangkan atau mengatasi
hambatan pemenuhan kebutuhan, Perilaku menarik diri digunakan untuk
menjauhkan diri dari sumber ancaman, baik secara fisik maupun psikologis,
Perilaku kompromi digunakan untuk mengubah cara yang biasa dilakukan
individu, mengganti tujuan atau mengorbankan aspek kebutuhan personal.
b) Mekanisme pertahanan ego membantu mengatasi ansietas ringan dan sedang.
Tetapi karena mekanisme tersebut berlangsung secara relatif pada tingkat
sadar dan mencakup penipuan diri dan distorsi realitas, mekanisme ini dapat
menjadi respons maladaptif terhadap stress.
g. Penatalaksanaan kecemasan
1) Penatalaksanaan farmakologi
Pengobatan untuk anti kecemasan terutama benzodiazepine, obat ini
digunakan untuk jangka pendek dan tidak dianjurkan untuk jangka panjang
karena pengobatan ini menyebabkan toleransi dan ketergantungan. obat anti
kecemasan nonbenzodiazepine, seperti buspiron (Buspar) dan berbagai
antidepresan juga digunakan (Isaacs, 2005)
2) Penatalaksanaan non farmakologi

a) Distraksi
Distraksi merupakan metode untuk menghilangkan kecemasan
dengan cara mengalihkan perhatian pada hal-hal lain sehingga pasien
akan lupa terhadap cemas yang dialami. Stimulus sensori yang
menyenangkan menyebabkan pelepasan endorfin yang bisa
menghambat stimulus cemas yang mengakibatkan lebih sedikit stimuli
cemas yang ditransmisikan ke otak (Potter & Perry, 2005).
Salah satu distraksi yang efektif adalah dengan memberikan
dukungan spiritual (membacakan doa sesuai agama dan
keyakinannya), sehingga dapat menurunkan hormon-hormon stressor,
mengaktifkan hormon endorfin alami, meningkatkan perasaan rileks
dan mengalihkan perhatian dari rasa takut, cemas dan tegang,
memperbaiki sistem kimia tubuh sehingga menurunkan tekanan darah
serta memperlambat pernafasan, detak jantung, denyut nadi dan
aktivitas gelombang otak. Laju pernafasan yang lebih dalam atau lebih
lambat tersebut sangat baik menimbulkan ketenangan, kendali emosi,
pemikiran yang lebih dalam dan metabolisme yang lebih baik.
b) Relaksasi
Terapi relaksasi yang dilakukan dapat berupa relaksasi,
meditasi, relaksasi imajinasi dan visualisasi serta relaksasi progresif
(Isaacs, 2005).
c) Pengetahuan
Memberikan penilaian tentang tingkat pengetahuan pasien
tentang proses penyakit yang spesifik, menjelaskan patofisiologi dari
penyakit dan bagaimana hal ini berhubungan dengan anatomi dan
fisiologi dengan cara yang tepat, menggambarkan proses penyakit
dengan cara yang tepat, mengidentifikasi kemungkinan penyebab
dengan cara yang tepat, menyediakan informasi pada pasien tentang
kondisi dengan cara yang tepat, mendiskusikan perubahan gaya hidup
yang mungkin diperlukan untuk mencegah komplikasi di masa yang
akan datang dan atau proses pengontrolan penyakit, mendiskusikan
pilihan terapi atau penanganan, mendukung pasien untuk
mengeksplorasi atau mendapatkan second opinion dengan cara yang
tepat atau diindikasikan, merujuk pasien pada grup atau agensi di
komunitas lokal dengan cara yang tepat, menginstruksikan pasien
mengenai tanda dan gejala untuk melaporkan pada pemberi perawatan
kesehatan dengan cara yang tepat (Nurarif & Kusuma,2013).
Pada penelitian (Riyani, 2013) didapatkan hasil 92% dari
seluruh pasien mengalami kecemasan, 5,4 % lainnya mengalami
ketidakberdayaan, 2,7% mengalami berduka dan 2,7% sisanya
mengalami gangguan citra tubuh. Dalam penelitian ini disebutkan
untuk menyelesaikan masalah ansietas, perawat perlu mengetahui
penyebab ansietas klien. Jika penyebabnya merupakan kurangnya
pengetahuan mengenai kondisi kesehatan klien, pemberian informasi
mengenai kondisi klien serta intervensi yang akan diberikan kepada
klien dapat menurunkan ansietas secara signifikan.
3. Ketidakberdayaan
Ketidakberdayaan adalah persepsi seseorang bahwa
tindakannya tidak akan memengaruhi hasil secara bermakna, kurang
pengendalian yang dirasakan terhadap situasi terakhir atau yang baru
saja terjadi. Pada ketidakberdayaan, pasien mungkin mengetahui solusi
terhadap masalahnya, tetapi percaya bahwa hal tersebut diluar
kendalinya untuk mencapai solusi tersebut (Wilkinson, 2007).
Ketidakberdayaan adalah kondisi ketika individu atau
kelompok merasa tidak memiliki kendali personal atas peristiwa atau
situasi tertentu yang memengaruhi cara pandang, tujuan dan gaya
hidup. Kebanyakan individu mengalami perasaan tidak berdaya dalam
berbagai tingkatan disejumlah situasi berbeda. Diagnosis ini dapat
digunakan untuk menggambarkan individu yang berespons terhadap
hilangnya kendali dengan menunjukkan sikap apati, marah atau
depresi. Suatu ketidakberdayan yang berkepanjangan dapat mengarah
pada keputusasaan (Carpenito-Moyet, 2013).
Faktor yang berhubungan dengan ketidakberdayaan menurut
Walkinson (2007) yaitu :
1) Lingkungan perawatan kesehatan
2) Program yang terkait dengan penyakit (misalnya, jangka
panjang, sulit dan kompleks)
3) Interaksi interpersonal
4) Gaya hidup keputusasaan
5) Penyakit kronis atau terminal
6) Komplikasi yang mengancam kehamilan
b. Batasan karakteristik menurut NANDA (2012) yaitu:
1) Bergantung pada orang lain
2) Depresi karena gangguan fisik
3) Tidak berpatisipasi dalam perawatan
4) Menyatakan asing
5) Menyatakan keraguan tentang kinerja peran
6) Menyatakan frustasi terhadap ketidakmampuan untuk
melaksanakan aktivitas sebelumnya
7) Menyatakan kurang kontrol
8) Menyatakan rasa malu
c. Tindakan keperawatan menurut (Nurarif & Kusuma, 2013) :
Self-eficacy enhancement :
1)Bantu pasien untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang dapat menimbulkan
ketidakberdayaan
2).Diskusikan dengan pasien tentang pilihan yang realistis dalam perawatan
3) libatkan pasien dalam pengambilan keputusan tentang perawatan
4) Jelaskan alasan setiap perubahan perencanaan terhadap pasien
5) Dukung pengambilan keputusan
6) Kaji kemampuan untuk pengambilan keputusan
7) Beri penjelasan kepada pasien tentang proses penyakit
Self Esteem Enhancement
1) Tunjukkan rasa percaya diri terhadap kemampuan pasien untuk mengatasi
situasi
2) Dorong pasien mengidentifikasi kekuatan dirinya
3) Ajarkan keterampilan perilaku yang positif melalui bermain peran, model
peran, diskusi
4) Dukung peningkatan tanggung jawab diri, jika diperlukan
5) Buat statement positif terhadap pasien
6) Monitor frekuensi komunikasi verbal pasien yang negatif
7) Dukung pasien untuk menerima tantangan
8) Kaji alasan untuk mengkritik atau menyalahkan diri sendiri
9) Lakukan kolaborasi dengan sumber-sumber lain (petugas dinas sosial,
perawat spesialis klinis dan layanan keagamaan).
4. Keputuasaan
Keputusasaan adalah keadaan emosional subjektif yang
berkepanjangan ketika individu tidak menemukan alternatif atau pilihan
pribadi guna memecahkan masalah yang dihadapi atau mencapai hal yang
diinginkan dan tidak dapat mengerahkan energi demi kepentingannya sendiri
guna menetapkan sejumlah tujuan. Keputuasaan berbeda dari
ketidakberdayaan, yakni ketika seseorang yang putus asa tidak menemukan
solusi atas permasalahannya atau cara untuk mencapai hal yang diinginkan,
sekalipun ia memegang kendali atas kehidupannya. Seseorang yang tidak
berdaya mampu melihat alternatif atau jawaban atas permasalahannya, namun
tidak mampu melakukan upaya apapun karena kurangnya kendali atau sumber
daya yang dimiliki (Carpenito-Moyet, 2013).
Keputusasaan adalah kondisi subjektif yang ditandai dengan individu
memandang hanya ada sedikit bahkan tidak ada alternatif atau pilihan pribadi
dan tidak mampu memobilisasi energi demi kepentingan sendiri (NANDA,
2012). Keputusasaan menggambarkan bahwa seseorang percaya tidak ada
penyelesaian untuk masalahnya (“tidak ada jalan keluar”). Bagi beberapa
pasien, keputusasaan dapat menjadi faktor resiko bunuh diri (Wilkinson,
2007).
Batasan karakteristik menurut NANDA (2012)
1) Menutup mata
2) Penurunan afek
3) Penurunan selera makan
4) Penurunan respons terhadap stimulus
5) Penurunan verbalisasi
6) Kurang inisiatif
7) Kurang keterlibatan dalam asuhan
8) Pasif
9) Mengangkat bahu sebagai respons terhadap orang yang mengajak
bicara
10) Gangguan pola tidur
11) Meninggalkan orang yang mengajak bicara
12) Isyarat verbal (misalnya isi putus asa “saya tidak dapat”, menghela
napas
Faktor yang berhubungan dengan keputusasaan menurut Nanda (2012)
yaitu :
1) Diasingkan
2) Penurunan kondisi fisiologis
3) Stres jangka panjang
4) Kehilangan kepercayaan pada kekuatan spiritual
5) Kehilangan kepercayaan pada nilai penting
6) Pembatasan aktivitas jangka panjang
7) Isolasi sosial
Tindakan keperawatan menurut Carpenito-Moyet (2013) yaitu :
1) Tunjukkan empati untuk mendorong klien menyampaikan keraguan,
ketakutan dan kekhawatirannya
2) Tentukan adanya risiko bunuh diri
3) Dorong klien untuk mengungkapkan mengapa dan bagaimana
harapan menjadi hal yang penting dalam kehidupannya
4) Dorong klien mengungkapkan bagaimana harapan menjadi sesuatu
yang tidak pasti dan harapannya yang tidak terwujud
5) Ajarkan cara mengatasi aspek-aspek keputusasaan dengan
memisahkannya dari aspek-aspek harapan
6) Kaji dan mengerahkan sumber daya dalam diri individu (otonomi,
kemandirian, rasionalitas, pemikiran kognitif, fleksibilitas,
spiritualitas)
7) Bantu klien mengidentifikasi sumber-sumber harapan (misalnya
hubungan antar-sesama, keyakinan, hal-hal yang ingin dicapai)
8) Ciptakan lingkungan yang mendukung ekspresi spiritual
9) Bantu klien mengembangkan tujuan jangka panjang dan jangka
pendek yang realistis (berkembang dari tujuan yang sederhana ke
tujuan yang lebih kompleks, dapat menggunakan “poster tujuan” untuk
mengindikasikan jenis dan waktu untuk mencapai tujuan yang
spesifik).
10) Ajari klien cara mengantisipasi pengalaman yang menyenangkan
(misalnya berjalan-jalan, membaca buku favorit, menulis surat)
11) Kaji dan mengerahkan sumber daya di luar diri individu (orang
terdekat, tim layanan kesehatan, kelompok pendukung, Tuhan atau
kekuatan yang lebih tinggi)
12) Bantu klien menyadari bahwa ia dicintai, disayangi dan merupakan
sosok penting dalam kehidupan orang lain, terlepas dari kondisi
kesehatannya yang menurun
13) Dorong klien untuk menceritakan kekhawatirannya pada orang lain
yang pernah mempunyai masalah atau penyakit yang sama dan telah
memiliki pengalaman positif dalam mengatasi masalah tersebut dengan
koping yang efektif
14) Kaji sistem pendukung keyakinan (nilai, aktivitas keagamaan,
hubungan dengan Tuhan, makna dan tujuan berdoa)
15) Beri klien waktu dan kesempatan untuk becermin pada makna
penderitaan, kematian dan menjelang ajal

16) Lakukan perujukan sesuai indikasi (misalnya konseling, pemuka


agama)

B. Pengertian Seksualitas

            Seks berarti jenis kelamin. Segala sesuatu yang berhubungan dengan jenis kelamin
disebut dengan seksualitas. Menurut master, johnson, dan kolodny (1992). Seksualitas
menyakut berbagai dimensi yang sangat luas, diantarnya adalah dimensi biologis, psikologis,
sosial dan kultural.B.

FUNGSI SEKSUALITAS
            Salah satu kajian mengenai sikap dan pandangan kaum wanita tentang pentingnya
fungsi seksual yang cukup menarik untuk diulas adalah survei yang diprakarsai oleh Bayer
Healthcare yang dilakukan di 12 negara pada April hingga Mei 2006. Negara-negara tersebut
adalah: Brasil, Prancis, Jerman, Italia, Meksiko, Polandia, Saudi Arabia, Afrika Selatan,
Spanyol, Turki, Inggris dan Venezuela. Jumlah responden di setiap negara tersebut paling
sedikit 1000 wanita berusia di atas 18, sehingga jumlah keseluruhan responden adalah 12.065
orang. Hasilnya, 8996 responden (75% wanita) mengakui bahwa kegiatan seksual adalah
sesuatu yang penting atau sangat penting bagi mereka.Ketika kepada mereka (8996
responden) yang mengaku seksual sebagai sesuatu yang penting itu ditanyakan apa alasan
mereka berpendapat bahwa seksual penting, maka respons yang muncul adalah sebagai
berikut. Enam dari sepuluh (58%) wanita mengaku seksual penting untuk memperkuat dan
meningkatkan kualitas hubungan dengan pasangan. Selanjutnya, hampir separuh (47%)
responden merasa bahwa seksual bertalian dengan kebanggaan diri, masing-masing 29%
merasa memiliki daya tarik dan 18% merasa lebih percaya diri. Juga, tidak kurang dari 47%
responden berpandangan bahwa seksual berkontribusi positif buat fisik mereka (Bayer,
2006). Masing-masing 25% merasa mendapat kepuasan fisik dan 22% merasa seksual
membuat dirinya lebih sehat (Bayer, 2006).

Selanjutnya, terhadap pertanyaan apa pentingya kepuasan seksual bagi diri mereka,
85% responden mengaku bahwa kepuasan seksual merupakan sesuatu yang sangat penting
(33%) dan penting (52%). Hanya 15 persen dari responden beranggapan bahwa kepuasan
seksual tidak terlalu berarti bagi mereka (Bayer,2006).

Bahwa kaum wanita menempatkan kepuasan seksual sebagai sesuatu yang penting
bagi hidup mereka. Dengan demikian kaum wanita yadari bahwa kualitas fungsi seksualnya
sebagai bagian tak terpisahkan dari kualitas hidupnya, khususnya dalam bidang kesehatan
jiwa dan raga (rohani dan jasmani).Artinya, kualitas fisik dan psikologis seorang wanita tidak
bisa disebut baik bila fungsi seksualnya terganggu (Sutyarso, 2011).

 DIMENSI BIOLOGI
            Berdasarkan perspektif biologis (fisik), seksualitas berkaitan dengan anatomi dan
fungsional alat reproduksi atau alat kelamin manusia, serta dampaknya bagi kehidupan fisik
atau biologis manusia. Termasuk didalamnya menjaga kesehatannya dari gangguan seperti
penyakit menular seksual, infeksi saluran reproduksi (ISR), bagaimana memfungsikan
seksualitas sebagai alat reproduksi sekaligus alat rekreasi secara optimal, serta dinamika
munculnya dorongan seksual secara biologis.

DIMENSI PSIKOLOGIS
            Berdasarkan dimensi ini, seksualitas berhubungna erat dengan bagaimana manusia
menjalani fungsi seksual sesuai dengan identitas jenis kelaminnya, dan bagaimana dinamika
aspek psikologis (kognisi, emosi, motivasi, perilaku) terhadap seksualitas itu sendiri, serta
bagaimana dampak psikologis dari keberfungsian seksualitas dalam kehidupan manusia.
Misalnya bagaimana seseorang berperilaku sebagai seorang laki-laki atau perempuan
bagaimana seseorang mendapatkan kepuasan psikologis dari perilaku yang dihubungkan
dangan identitas peran jenis kelamin, serta bagaimana sosialisasi peran dan fungsi seksualitas
dalam kehidupan manusia.

 DIMENSI SOSIAL
            Dimensi sosial melihat bagaimana seksualitas muncul dalam relasi antarmanusia,
bagaimana seseorang beradaptasi atau menyesuaikan diri dengan tuntutan peran dari
lingkungan sosial serta bagaimana sosialisasi peran dan fungsi seksualitas dalam kehidupan
manusia.

DIMENSI KULTURAL DAN MORAL


            Dimensi ini menunjukan bagaimana nilai-nilai budaya dan moral mempunyai
penilaian terhadap seksualitas yang berbeda dengan negara barat. Seksualitas di negara-
negara barat pada umumnya menjadi salah satu aspek kehidupan yang terbuka dan menjadi
hak asasi manusia. Berbeda halnya dengan moralitas agama, misalnya menganggap bahwa
seksualitas sepenuhnya adalah hak Tuhan sehingga penggunaan dan pemanfaatannya harus di
landasi dengan norma-norma agama yang sudah mengatut kehidupan seksualitas manusia
secara lengkap
Menurut blanch dan collier (1993), seksualita meliputi lima area:
a.       Sensualitas.
Adalah kenikmatan yang merupakan bentuk interaksi antara pikiran dan tubuh.
Umumnya sensualitas melibatkan pancaindra (aroma, rasa, penglihatan, pendengaran,
sentuhan) dan otak (organ yang paling kuat terkait dalam seks dalam fungsi fantasi,
antisipasi, memori, atau pengalaman).
b.  Intimacy
Ikatan emosional atau kedekatan dalam relasi interpersonal. Biasanya mengandung
unsur-unsur kepercayaan, keterbukaan diri, kelekatan dengan orang lain, kehangatan,
kedekatan fisik, dan saling menghargai
c.       Identitas
Peran jenis kelamin yang mengandung pesan-pesan gender perempuan dan laki-laki
dan mitos-mitos (ferminimitas dan maskulinitas), serta orientasi seksual. Hal ini juga
menyangkut bagaimana seseorang menghayati peran jenis kelamin sesuai dengan peran jenis
kelaminnya.
d.      Lingkaran kehidupan (lifecycle)
Aspek biologis dari seksualitas yang terkait dengan anatomi dan fisiologis organ
seksual.
e.       Eksploitasi (exploitation)
Unsur kontrol dan manipulasi terhadap seksualitas, seperti: kekerasan seksual,
poronografi, pemerkosaan, dan pelecehan seksual.
Sementara itu, menurut Hidyat (1997), ruang lingkup seksualitas terbagi atas hal-hal berikut.
1)      Seksual biologis.
Komponen yang mengandung beberapa ciri dasar seks yang terlihat pada individu
yang bersangkutan (kromosom, hormon, serta ciri seks primer dan sekunder). Ciri seks
primer timbul sejak lahir, yaitu alat kelamin luar (genetalia eksterna) dan alat kelamin dalam
(genetalia interna). Ciri eks sekunder timbul saat seseorang meningkat saat dewasa, misalnya
timbul bulu-bulu badan di tempat tertentu (ketiak, dada); berkembangnya payudara
perempuan, dan perubahan suara laki-laki.
2)      Identitas seksual.
Identitas seksual adalah konsep diri pada individu yang menyatakan dirinya laki-laki
atau perempuan. Identitas seksual dalam bentuknya banyak di pengaruhi oleh lingkungan dan
tokoh yang sangat penting  (orang tua)
3)      Identitas gender.
Identitas gendre adalah penghayatan perasaan kelaki-lakian atau keperempuanan yang
dinyatakan dalam bentuk perilaku sebagai laki-laki atau perempuan dalam lingkungan
budayanya. Identitas budaya merupakan interaksi antara faktor fisik dan psikoseksual.
Interaksi yang harmonis di antara kedua faktor ini akan menunjang perkembangan norma
seorang perempuan atau laki-laki.
4)      Perilaku seksual.
Perilaku seksual yaitu orienasi seksual dari seorang individu, yang merupakan
interaksi antara kedua unsur yang sulit di pisahkan, yaitu tingkah laku seksual didasari oleh
dorongan seksual untuk mencari dan memperoleh kepuasan seksual, yaitu orgasmus. Tingkah
laku gender adalah tingkah laku dengan konotasi maskulin atau feminim di luar tingkah laku
seksual. Perilaku seksual itu mulai tampak setelah anak menjadi remaja.

TUJUAN SEKSUALITAS
1.       Tujuan umum: meningkatkan kesejahteraan kehidupan manusia.
2.       Tujuan khusus:
a.       Prokreasi (menciptakan atau meneruskan ketururnan)
b.      Rekreasi (memperoleh kenikmatan biologis/seksual)

DIMENSI PRIBADI YANG TERKAIT DENGAN SEKSUALITA


            Berikut ini hal adalah tiga elemen dimensi pribadi yang terkait dengan seksualitas.
1.       Harga diri.
Adalah konsep individu tentang dirinya yang menggambarkan pemaknaan tentang diri
serta seberpa jauh kepuasan yang di dapatkannya dari gambaran tentag diri tersebu serta
memengaruhi tingkah laku seseorang.
2.       Kemampuan berkomunikasi.
Yaitu cara remaja mengekspresikan perasaan, keinginan, dan pendapatnya tentang
masalah-masalah yang berhubungan dbgan seksualitasnya. Bila remaja mampu
mengomunikasikannya dengan baik, maka akan mempermudah dirinya dalam
menanggulangi permasalahan seksualitas yang dialami.
3. Kemampuan mengambil keputusan
     Sepanjang kehidupan, banyak keputusan mengenai seksualitas yang harus diambi,
misalnya: perilaku seksual yang dipilih, memilih pasangan hidup, dan perencanaan
kehamilan.

SIKAP POSITIF TERHADAP SEKSUALITAS


Tingkah laku yang menunjukan sikap positif terhadap seksualitas adalah sebagai
berikut.
1. Menempatkan seks sesuai dengan fungsi dan tujuan
2. Tidak menganggap seks itu jijik, tabu, dan jorok.
3. Tidak dijadikan candaan dan bahan obrolan murahan.

 PERKEMBANGAN SEKSUALITAS REMAJA


            Sejak masa remaja, pada diri seorang anak terlihat adanya perubahan-perubahan pada
bentuk tubuh yang disertai dengan perubahan struktur dan fungsi. Pemantangan kelenjar
pituitari berpengaruh pada proses pertumbuhan tubuh sehingga remaja mendapatkan ciri-
cirnya sebagai perempuan dewsa atau laki-laki dewasa.
            Masa remaja diawali oleh masa pubertas, yaitu masa terjadinya perubahan-perubahan
fisik (Meliputi penampilan fisik eperti bentuk tubuh dan proposi tubuh) dan fungsi pisiologis
(kematangan organ-organ seksual). Perubahan tubuh ini di sertai dengan perkembangan
bertahap dari karekteristik seksual primer dan karekteristik seksual sekunder.
            Karekteristik seksual primer mencakup perkembangan organ-organ reproduksi,
sedangkan karekteristik seksual sekunder mencakup perubahan dalam bentuk tubuh sesuai
dengan jenis kelamin, misalnya : pada remaja putri di tandai dengan pembesaran buah dada
dan pinggul; sedangkan pada remaja putra mengalami pembesaran suara, tumbuh bulu
dada,kaki,serta kumis.
            Karekteristik seksual sekunder ini tidak berhubungan lasung dengan fungsi
reproduksi, tetapi perannya dalam kehidupan seksual tidak kalah pentingnya karena
berhububungan dengan sex appeal (daya tarik seksual).
Kematangan seksual pada remaja ini menyebabkan munculnya minat seksual dan
keingitahuan remaja tentang seksual. Menurut tanner tahun 1990, minat seksual remaja antara
lain sebagai berikut.

MINAT DALAM PERMASALAHAN YANG MENYANGKUT KEHIDUPAN


SEKSUAL
            Remaja mulai ingin tahu tentang kehidupan seksual manusia. Untuk itu, mereka
mencari informasi mengenai seks. Baik melalui buku, film, atau gambar-gambar lain yang di
lakukan secara sembunyi-sembunyi. Hal ini di lakukan remaja karena kurang terjalinnya
komunikasi yang bersifat dialogis antara remaja dengan orang dewasa, baik orang tua
maupun guru, mengenai masalah seksual, di mana kebanyakan masyrakat masih menganggap
tabu untuk membicarakan masalah seksual dlam kehidupan sehari-sehari.
KETERLIBATAN ASPEK EMOSI DAN SOSIAL PADA SAAT BERKENCAN
            Perubahan fisik dan fungsi fisiologis pada remaja, menyebabkan dayak tarik terhadap
lawan jenis yang meruapakan akibat timbulnya dorongan-dorongan seksual. Misalnya, pada
anak laki-laki dorongan yang ada di dalam di dalam dirinya terealisasi dengan aktifitas
mendekati teman perempuannya, hingga terjalinnya hubungan. Dalam  berkencan, biasanya
para remaja melibatkan aspek emosi yang di eksperiskan dengan berbagai cara, seperti
bergandengan tangan, berciuman, memberikan tanda mata, bunga,kepercayaan, dan
sebagainya.

MINAT DALAM KEINTIMAN SECARA FISIK


            Dengan adanya dorongan-dorongan seksual dengan rasa ketetarikan terhadap lawan
jenis kelaminnya, perilaku remaja mulai di arahkan untuk menarik perhatian lawan jenis
kelaminnya. Dalam rngka mencari pengetahuan mengenai seks ada remaja yang melakukan
secara terbuka bahkan mulai mencoba mengadakan eksperimen dalam kehidupan seksual.
Misalnya dalam berpacaran, mereka mengekspersikan perasaanya dalam bentuk-bentuk
perilaku yang menutup keintimaan secara fisik dengan pasangaannya, seperti berciuman,
bercumbu, dan lain-lain.
            Perkembangan minat seksual menyebabkan masa remaja di sebut juga dengan masa
keaktifan seksual tinggi. Yang merupakan masa ketika masalah seksual dan lawan jenis
menjadi bahan pembicaraan yang menarik dan di penuhi dengan rasa ingin tahu tentang
masalah seksual (kartona,1995).
            Sejala dengan meningkatnya minat bterhadap kehidupa seksual, remaja selalu
berusaha mencari informasi objektif mengenai seks (hurlock,1973). Oleh karena itu, hal yang
paling membahayakan adalah bila informasi yang di terima remaja berasal dari sumber yang
kurang tepat sehingga akhirnya para remaja menginterperstasikannya dengan salah. Hal ini
meruapakan akibat kekurang pahaman remaja terhadap masalah seputar seksual.
            Kekurang pahamana ini akan memunculkan perilaku seksual remaja yang tidak
bertanggung jawab, seperti melakukan eksperimen ke lokasilisasi pekerja seks
komorsial,melakukan hubungan seks sebelum menikah dengan pasangannya (pacar).
Melakukan oral seks, dan sebagainya, tanpa pertimbangan kemungkinan masa depannya
kurang cerah bagi dirinya. Kadang ini tampak sudah meluas pula di kalangan remaja
indonesia.
            Semua perubahan di pengaruhi oleh berfungsinya hormon-hormin seksual, yaitu
hormon testosteron untuk laki-laki, serta progesteron dan estrogen untuk perempuan.
Hormon-hormon ini jugalah yang berpengaruh terhadap dorongan seksual manusia.
            Kisney, dkk. (1948) Serta udry dan client (1982) menyimpulkan data penelitian
bahwa anak-anak yang lebih dahulu mengalami perumbuhan fisik atau lebuh cenderung
berperilaku seks (misalnya menstuburasi atau hubungan seksual) di bandingan dengan
terlambat mengalaminya. Masters, dkk. (1992) memperkirakan bahwa ini terjadi karena
hormon akan membuwat seseorang lebih sadar terhadap sensasi seksual. Misalnya, hormon
terstoseron akan menyebabkan seorang anak laki-laki mengalami ereksi. Akibatnya, ia
menyadari sensasi seksual dan lebih sensitif terhadap stimulasi yang dapat menimbulkan
sensasi seksual. Selain itu, kadar testoseron dalam darah akan membuwat otak mengaktifkan
pikiran atau dorongan seks.
            Pengaruh hormon ini juga dapat dilihat melalui meningkatnya dorongan seks pada
perempuan yang sedang mengalami masa subur. Pada masa subur ini, hormon-hormon
menebalkan dinding luarnya (endometrium). Kondisi hormonal ini yang menyebabkan
remaja menjadi semakin peka terhadap stimulan seksual (visual, setyhan, audio visual, dan
lainnya) sehingga mendorong munculnya perilaku seksual.
            Dengan meningkatnya dorongan seksual, remaja akan mudah sekali terasa secara
seksual. Membaca bacaan yang romantis, melihat gambar romantis, melihat alat kelamin
lawan jenis, atau menyentuh alat kelaminnya akan dapat menimbulakan rangsangan seksual.
            Ketika pubertas, laki-laki maupun perempuan mulai memiliki pikiran dan hayalan
tentang seksual. Pada perempuan, jika mengalami keterbangkitan seksual di tunjukan oleh
reaksi vagina menjadi basah, karena keterbangkitan dorongan seksual secara alamiah
merangsang vagina mengeluarkan cairan licin, sedangkan laki-laki mengalami ereksi
penegangaan penis apa bila ia berfantasi atau merangsang dirinya.
            Munculnya dorongan seksual ini menimbulkan permasalahan, antara lain: perasaan
aneh karena munculnya reaksi yang tidak begitu tampak pada masa sebelumnya, belum dapat
menyalurkannya karena belum menikah sementara remaja cepat merangsang secara seksual
dan menimbulkan keinginan tahuan lebih lanjut tentang apakah alat kelamin yang di
milikinya dapat berfungsi dengan baik. Hal yang terakhir ini dapat menurun seseorang untuk
bereskporlasi banyak dalam hal-hal seksual.

TUGAS PERKEMBANGAN SEKSUALITAS REMAJA


Secara psikologis, pada fase remaja ini ada dua aspek yang penting harus dipersiapkan yaitu
sebagai berikut.
1.       Orientasi seksual
Heteroseksualitas rasa tertarik pada lawan jenis timbul dan sejalan dengan
berkembangnya minat terhadap aktivitas yang berhubungan dengan seks. Keadaan ini
ditandai oleh rasa ingin tahu yang kuat dan kehausan akan informasi yang selanjutnya dapat
berkembang ke arah tingkah laku seksual yang sesungguhnya.
            Relasi heteroseksual manusia umumnya mengikuti pola tertentu, yaitu pengidolaan
(terhadap figur tertentu), cinta monyet (perasaan ketertarikan seksual terhadap lawan jenis
yang masih berpindah-pindah), pacaran (menjalin komitmen), bertunangan (going steady),
dan menikah.

2.       Peran seks
            Peran seks adalah menerima dan mengembangkan peran serta kemampuan tertentu
selaras dengan jenis kelaminnya. Bagi remaja laki-laki, hal itu mungkin tidak terlalu menjadi
masalah. Namun, bagi remaja perempuan, bermacam revolusi dan perubahan pandangan atau
nilai terhadap peran perempuan, bermacam revolusi dan perubahan pandangan atau nilai
terhadap peran perempuan yang berlangsung secara terus-menerus sampai saat ini dapat
menimbulkan masalah tertentu. Perubahan-perubahan nilai dan norma tentang seks yang
dapat terjadi saat ini dapat menimbulkan berbagai persoalan bagi remaja (pelacuran, penyakit
kelamin menular,penyimpangan seksual,kehamilan diluar nikah, dan sebagainya).

PERILAKU SEKSUAL REMAJA


Perubahan dan perkembangan perilaku seksual yang terjadi pada masa remaja
dipengaruhi oleh berfungsinya hormon-hormon seksual (testosteron untuk laki-laki dan
progesteron untuk perempuan). Hormon-hormon inilah yang berpengaruh terhadap dorongan
seksual manusia. Perilaku sosial memiliki pengetian yang berbeda dengan aktivitas seksual
dan hubungan seksual.
Perilaku seksual sering ditanggapi sebagai hal yang berkonotasi negatif, padahal
perilaku seksual ini sangant luas sifatnya. Perilaku seksual merupakan perilaku yang
bertujuan untuk menarik perhatian lawan jenis. Contohnya antara lain mulai dari berdandan,
mejeng, mengerlingkan mata, merayu, menggoda, bersiul.
Aktivitas seksual adalah kegiatan yang dilakukan dalam upaya memenuhi dorongan
seksual atau kegiatan mendapatkan kesenangan organ kelamin atau seksual melalui berbagai
perilaku. Contoh perilakunya adalah berfantasi, masturbasi, cium pipi, cium bibir, petting,
berhubungan intim (intercourse).
Hubungan seksual adalah kontak seksual yang dilakukan berpasangan dengan lawan
jenis. Contohnya: masturbasi, fantasi seksual, atau menonton/membaca buku yang berisi
informasi porno.
Cara yang biasa dilakuakn orang untuk menyalurkan dorongan seksual antara lain:
1.       Menahan diri dengan berbagai cara
2.       Menyibukkan diri dengan berbagai aktivitas
3.       Menghabiskan tenaga dengan berolahraga
4.       Memperbanyak ibadah dan mendekatkan diri kepada tuhan
5.       Menyalurkannya dengan mimpi basah
6.       Masturbasi atau onani
7.       Berkhayal atau berfantasi
8.       Melakukan aktifitas seksual nonpenetrasi
9.       Melakukan aktifitas seksual penetrasi

Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku seksual remaja antar lain:


1.       Perubahan biologis yang terjadi pada masa pubertas dan pengaktifan hormonal dapat
menimbulkan perilaku seksual
2.       Kurangnya pengaruh orang tua melalui komunikasi antara orang tua dan remaja
seputar masalah seksual dapat memperkuat munculnya penyimpangan perilaku seksual.
3.       Pengaruh teman sebaya sangat kuat sehingga munculnya penyimpangan perilaku
seksual dikaitakan dengan norma kelompok sebaya.
4.       Remaja dengan prestasi rendah dan tahap aspirasi yang rendah cenderung lebih sering
memunculkan aktivitas seksual dibandingkan remaja dengan prestasi yang baik di sekolah.
5.       Perspektif sosial kognitif diasosiasikan dengan pengambilan keputusan yang
menyediakan pemahaman perilaku seksual kalangan remaja.

C.   Konsep Stress Adaptasi


1.       Stress
Setiap orang mengalami stress dari waktu ke waktu, dan umumnya seseorang dapat
mengadaptasi stress jangka panjang atau menghadapi stress jangka pendek sampai stress
tersebut berlalu. Stress dapat menimbulkan tuntutan yang besar pada seseorang, dan jika
seseorang tersebut tidak dapat mengadaptasi, maka dapat tejadi penyakit. Stress adalah segala
situasu dimana tuntutan nin spresifik mengharuskan seseorang individu untuk berespons atau
melakukan tindaka ( selye, 1976 ). respon atau tindakan ini termasuk respon fisiologis dan
fsikologis. Stress dapat menyebabkan perasaan negatif atau yang berlawanan dengan apa
yang diinginkan atau mengancam kesejahteraan emosional. Stress dapat mengganggu cara
seorang dalam mencerap realitas, menyelesaikan masalah, berpikir secara umum ; dan
hubungan seseorang rasa memiliki. Selain itu, stress dapat mengganggu pandangan umum
seseorang terhadap hidup, sikap yang ditujukan pada orang yang disayangi, dan status
kesehatan ( Kline-Leidy,1990; Oberst etal, 1991; Kosciulck, McCubbin, dan McCubbin,
1993).
Persepsi atau pengalaman individu terhadap perubahan besar menimbulkan stress.
Stimuli yang mengawali atau mencetuskan perubahan disebut stresor. Stresor menunjukan
suatu kebutuhan yang tidak terpenuhi dan kebutuhan tersebut bisa saja kebutuhan fisiologis,
psikologis, sosial, lingkungan, perkembangan, spiritual, atau kebutuhan kultural.stresor
secara umum dapat diklasifikasikan sebagai internal atau eksternal. Stresor internal berasal
dari dalam diri seorang ( mis.demam, kondisi seperti kehamilan atau menaupause, atau suatu
keadaan emosi seperti rasa bersalah). Stresor eksternal berasal dari luar diri seseorang
( mis.perubahan bermakna dalam suhu lingkungan, perubahan dalam peran keluarga, atau
sosial,atau tekanan dari pasangan ).

2.   Model stres
Asal dan efek stress dapat diperiksa dalam istilah kedokteran dan model teoretis prilaku.
Model stress digunakan untuk mengdentifiksi stresor bagi individu tertentu dan memprediksi
respons individu tersebut terhadap stresor. Seiap model menekankan aspek stres yang
berbeda.
Perawat menggunakan model stres untuk membantu klien mengatasi respons yang tidak
sehat, non produktif. Dengan modifikasi, model ini dapat membantu perawat berespons
dalam merawat dengan cara yang menunjukan individualisasi bagi klien.
3.       Model stress berdasar respons
Model berdasar respons berkaitan dengan mengkhususkan respons atau pola respons
tertentu yang mungkin menunjukan stresor. Model stress dari Selye (1976 ) adalah model
berdasarkan respons yang mendefinisikan stres sebagai respons non-spesifik dari tubuh
terhadap setiap tuntutan yang ditimpakan pada nya. Stress ditunjukan oleh reaksi fisiologis
spesifik, GAS. Sehingga respons seseorang terhadap stres benar-benar fisiologis dan tidak
penah dimodifikasi untuk memungkinkan pengaruh dari kognitif ( McNett, 1989 ).
            Model berdasar respons tidak memungkinkan perbedaan individu dalam pola
berespons. Kurang nya keleluasaan ini dapat menimbulkan beberapa kesulitan bagi perawat
karena perbedaan individu harus diidentifikasi dalam fase pengkajian. Namun demikian,
mungkin akan bermanfaat bila menentukan respons fisiologis.

4.       Model berdasar stimulus


Model berdasar stimulus berfokus pada karakteristik yang menggangu atau disruptif
didalam lingkungan. Riset klasik yang mengidentifikasi stres sebagai stimulus terlah
menghasilakan pekembangan dalam skala penyesuaian sosial, yang mengukur efek peristiwa
besar dalam kehidupan terhadap penyakit ( Holmes dan Rahe, 1776 ). Model berdasarkan
stimulus memfokuskan pada asumsi berikut ( McNett , 1998 ) :
a.     Peristiwa perubahan dalam kehidupan adalah normal, dan perubahan ini membutuhkan
tipe dan durasi penyesuaian yang sama.
b.    Individu adalah resipien pasif dari stres, dan persepsi mereka terhadap peristiwa adalah
tidak relavan.
c.     Semua orang mempunyai ambang stimulus yang sama, dan penyakit dapat terjadi pada
setiap titik setelah ambang tersebut.

Seperti halnya pada model berdasarkan respons, model berdaskan stimulus tidak
memungkinkan untuk perbedaan individu dalam persepsi dan respons terhadap stresor.
Perawat mungkin mengalami kesulitan ketika berupaya untuk menggunakan model ini dalam
penatalaksanaan stres karena kurangnya keleluasaan untuk adaptasi individu.
5.       Model Berdasar Transaksi
Model berdasar transaksi memandang individu dan lingkungan dalam hubungan yang
dinamis, resiprokal dan interaktif (Lazarus & Folkman, 1984). model ini, yang dikembangkan
oleh Lazarus dan Folkman, memandang stresor sebagai respons perseptual individu yang
berakar dari proses psikologis dan kognitif. Sres berasal dari hubungan antara individu dan
lingkungan. Model ini berfokus pada proses yang berkaitan dengan stres seperti penilaian
kognitif dan koping (Monsen, Floyd, dan Brookman, 1992).
6.       Faktor yang Mempengaruhi Respons terhadap Stresor
Respons terhadap segala bentuk stresor bergantung padaa fungsi fisiologis, kepribadian,
dan karakteristik perilaku, seperti juga halnya sifat dari stresor tersebut. Sifat stresor
mencakup faktor-faktor berikut ini.
a.         Intensitas
b.         Cakupan
c.          Durasi
d.         Jumlah dan sifat dari stresor
Setiap faktor mempengaruhi respons terhadap stresor. Seseorang dapat saja mencerap
intensitas atau besarnya stresor sebagai minimal, sedang, atau berat. Makin besar stresor,
makin besar respons stres yang ditimbulkan. Sama halnya, cakupan dari stresor dapat
digambarkan sebagai terbatas, sedang, atau luas. Makin besar cakupan stresor, makin besar
respons klien yang ditujukan terhadap stresor tersebut (Lazarus & Folkman 1984).
7.       Respons Terhadap Stres
Individu secara keseluruhan terlibat dalam merespons dan mengadaptasi stres. Namun
demikian, sebagian besar dari riset tentang stres berfokus pada respons psikologis atau
emosional dan fisiologis, meski dimensi ini saling tumpang tindih dan berinteraksi dengan
dimensi lain.
Ketika terjadi stres, sesorang menggunakan energi fisiologis dan psikologis untuk
berspons dan mngadaptasi. Besar nya energi yang dibutuhkan dan keefektifan dari upaya
untuk mengadaptasi bergantung pada intensitas, cakupan, dan durasi stresor dan besar nya
stresor lainnya. Respons stres adalah adaptif dan protektif, dan karakteristik dari respon ini
adalah hasil dari respons neuroendokrin yang terintegrasi.

Karakteristik Respons Stres


a.       Respons stres adalah alamiah, protektif, dan adaptif.
b.      Terdapat perbedaan individual dalam berespons terhadap stresor yang sama.
c.       Terdapat keterbatasan dalam kemampuan untuk mengompensasi.
d.      Stesor fisik dan emosional mencetuskan respons serupa ( spesifitas versus non spesifitas
). Kebesaran pola nya mungkin berbeda.
Respon Fisiologis
Riset klasik yang dilakukan oleh Selye ( 1946, 1776 ) telah mengidentifikasi dua respons
fisiologis terhadap stres :

1. Sindrom adaptasi lokal ( LAS )


LAS adalah respons dari jaringan, organ atau bagian tubuh terhadap stres karena
trauma, penyakit, atau perubahan fisiologis lain nya.
Tubuh menghasilkan banyak respons setempat terhadap stres.respons setempat ini
termasuk pembekuan darah, penyembuhan luka, akomodasi mata terhadap cahaya, dan
respons terhadap tekanan. Semua bentuk LAS mempunyai karakteristik berikut :

a. Respons yang terjadi adalah setempat ; respons ini tidak melibatkan seluruh sistem
tubuh.
b. Respons adalah adaptif, berarti bahwa stresor diperlukan untuk menstimulasinya.
c. Respons adalah berjangka pendek. Respons tidak terdapat terus menerus.
d.      Respons adalah restoratif, berari bahwa LAS membantu dalam memulihkan
homeostasis region atau bagian tubuh.
Dua respons setempat, yaitu respons refleks nyeri dan respons implamasi, diuraikan
sebagai contoh LAS.

          Respons refleks nyeri.


Yaitu respons setempat dari sistem saraf pusat terhadap nyeri. Respons ini
adalah respons adaptif dan melindungi jaringan dari kerusakan lebih lanjut. Respons
melibatkan reseptor sensoris, saraf sensoris yang menjalar ke medulla spinalis, neuron
penghubung dalam medulla spinalis, saraf motorik yang menjalar dari medulla
spinalis, dan otot efektif. Misalnya, sebut saja dibawah sadar, yaitu suatu refleks
menghindarkan tangan dari permukaan yang panas. Contoh lainnya adalah keram
otot.
          Respons inflamasi. 
Yaitu respons distimuli oleh trauma atau infeksi .respons ini memuaskan
inflamasi, sehingga dengan demikian menghabat penyebaran inflamasi dan
meningkatkan penyembuhan. Respons inflamasi dapat menghasilkan nyeri setempat,
pembengkakan, panas, kemerahan, dan perubahan fungsi. Respons inflamasi terjadi
dalam tiga fase. Fase pertama mencakup perubahan dalam sel-sel dan sistem sirkulasi.
Pada awalnya, penyempitan pembuluh darah terjadi pada tempat cedera untuk
menendalikan perdarahan. Kemudian dilepaskan histamin pada tempat cedera,
meningkatkan aliran darah ke area cedera dan meningkatan jumlah sel darah putih
untuk melawan infeksi. Hampir secara bersamaan dilepaskan kinin untuk
meningkatkan permeabilitas kapiler sehingga memungkinkan masuknya protein,
cairan, dan leukosit ke tempat yang mengalami cedera. Pada titik ini aliran darah
setempat menurun, menjaga leukosit di tempat cedera untuk melawan infeksi.
Fase kedua ditandai oleh pelepasan eksudat dari luka. Eksudat adalah
kombinasi cairan, sel-sel, dan bahan lainnya yang dihasilkan di tempat cedera. Tipe
dan jumlah eksudat beragam dari satu cedea ke jenis cedera lain dan dari satu orang
ke orang lainnya. Eksudat biasanya dilepaskan di tempat cedera, yang mungkin luka
terpotong, lecet, atau insisi bedah. Fase terakhir adalah perbaikan jaringan oleh
regenerasi atau pembentukan jaringan pusat. Regenerasi menggantikan sel-sel yang
rusak dengan sel-sel iden atau sel-sel serupa. Pembentukan jaringan parut
mewaspadakan perawat bahwa tubuh mengadaptasi cedera setempat. Selama adaptasi,
respons inflamasi melindungi tubuh dari infeksi dan meningkatkan penyembuhan.
GAS
GAS adalah respons fisiologis dari seluruh tubuh terhadap stres. Respons ini
melibatkankan beberapa sistem tubuh terutama sistem saraf otonom dan sistem
endokrin. Beberapa buku ajar menyebutkan GAS sebagai respons neuroendokrin.
GAS terdiri atas reaksi peringatan, tahap resistensi, dan tahap kehabisan tenaga.
Reaksi Alarm
Reaksi alam melibatkan pengarahan mekanisme pertahanan dari tubuh dan
pikiran untuk menghadapi stresor. Kadar hormon meningkat untuk meningkatkan
volume darah dan dengan demikian menyiapkan individu untuk bereaksi. Hormon
lainnya dilepaskan untuk meningkatkan kadar glukosa darah untuk menyiapkan
energi untuk keperluan adaptasi. Meningkatkan kadar hormo lain seperti epinefrin dan
norepinefrin mengakibatkan peningkatan frekuensi jantung, meningkatkan ambilan
oksigen, dan memperbesar kewaspadaan mental.
Aktivitas hormonal yang luas ini menyiapkan individu untuk
melakukan respons melawan atau menghindar. Curah jantung, ambilan oksigen,
dan frekuensi pernapasan meningkatkan ; pupil mata berdilatasi untuk menghasilkan
bidang visual yang lebih besar ; dan frekuensi jantung meningkat untuk menghasil
energi lebih banyak.
Tahap Resistensi.
Dalam tahap resisten, tubuh kembali menjadi stabil. Kadar hormon, frekuensi
jantung, tekanan darah dan curah jantung kembali ketingkat normal. Individu
berupaya untuk mengadaptasi terhadap stresor. Jika stres dapat diatasi, tubuh akan
memperbaiki kerusakan yang telah terjadi. Namun demikian, jika stresor tetap terus
menetap, seperti pada kehilangan darah terus menerus, penyakit yang melumpuhkan,
penyakit mental parah jangka panjang, dan ketidakberhasilan mengadaptasi, maka
individual memasuki tahap ketiga dari GAS, yaitu tahap kehabisan tenaga.
Tahap Kehabisan Tenaga. 
Tahap kehabisan tenaga terjadi ketika tubuh tidak dapat lagi melawan stres
dan ketika energi yang diperlukan untuk mempertahankan adaptasi sudah menipis.
Respons sisiologis menghebat, tetapi tingkat energi individu terganggu dan adaptasi
terhadap stresor hilang. Tubuh tidak mampu untuk mempertahankan dirinya terhadap
dampak stresor, regulasi fisiologis menghilang, dan jika stres berlanjut, dapat terjadi
kematian.
Respons psikologis
Pemajanan terhadap sistem mengakibatkan respons adaptif psikologis dan
fisiologis. Ketika seseorang terpajan pada stresor, maka kemampuan mereka untu
memenuhi kebutuhan darah terganggu.Perilaku adaptif psikologis dapat konstruktif
atau destruktif. Perilaku konstruktif membantu individu menerima tantangan untuk
menyelesaikan konflik. Perilaku destruktif mempengaruhi orientasi realitas,
kemampuan pemecahan masalah, kepribadian dan situasi yang sangat berat
kemempuan untuk berfungsi. Perilaku adaptif psikologis juga disebut
sebagai mekanisme koping. Mekanisme ini dapat berorientasi pada penggunaan
teknik pemecahan masalah secara langsung untuk menghadapi ancaman, atau dapat
juga mekanisme pertahanan ego, yang tujuannya adalah untuk mengatur distres
emosional dan dengan demikian memberikan perlindungan individu.
PERILAKU BERORIENTASI TUGAS
Perilaku berorientasi tugas mencakup penggunaan kemampuan kognitif
untuk mengurangi stres, memcahkan masalah, menyelesaikan konflik, dan memenuhi
kebutuhan ( Stuard & Sundeen, 1991 ).
MEKANISME PERTAHANAN EGO
Mekanisme pertahanan ego yang pertama kali diuraikan oleh Sigmund
Freud, adalah perilaku tidak sadar yang memberikan perlindungan psikologis terhadap
peristiwa yang memegangkan.
BAB III

PENUTUP

A.Kesimpulan

Psikososial sendiri berasal dari kata psiko dan sosial. Kata psiko mengacu pada aspek
psikologis dari individu (pikiran, perasaan dan perilaku) sedangkan sosial mengacu pada
hubungan eksternal individu dengan orang-orang di sekitarnya (Pusat Krisis Fakultas
Psikologi UI). Istilah psikososial berarti menyinggung relasi sosial yang mencakup faktor-
faktor psikologis (Chaplin, 2011).

Seks berarti jenis kelamin. Segala sesuatu yang berhubungan dengan jenis kelamin
disebut dengan seksualitas. Perilaku seksual yaitu orienasi seksual dari seorang individu,
yang merupakan interaksi antara kedua unsur yang sulit di pisahkan, yaitu tingkah laku
seksual didasari oleh dorongan seksual untuk mencari dan memperoleh kepuasan seksual,
yaitu orgasmus.

Stresor menunjukan suatu kebutuhan yang tidak terpenuhi dan kebutuhan tersebut
bisa saja kebutuhan fisiologis, psikologis, sosial, lingkungan, perkembangan, spiritual, atau
kebutuhan kultural.stresor secara umum dapat diklasifikasikan sebagai internal atau eksternal.
Stresor internal berasal dari dalam diri seorang ( mis.demam, kondisi seperti kehamilan atau
menaupause, atau suatu keadaan emosi seperti rasa bersalah).

B.Saran

Semoga setelah membaca makalah ini, pembaca menjadi paham tentang konsep psiko
sosial yang berhubungan dengan seksualitas dan stress adaptasi
DAFTAR PUSTAKA

digilip.unimus.ac.id

id.scribd.com

www.academia.edu

scholar.unand.ac.id

Anda mungkin juga menyukai