Makalah Ibu Lian Vanessa
Makalah Ibu Lian Vanessa
Makalah Ibu Lian Vanessa
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Psikososial sendiri berasal dari kata psiko dan sosial. Kata psiko mengacu pada aspek
psikologis dari individu (pikiran, perasaan dan perilaku) sedangkan sosial mengacu pada
hubungan eksternal individu dengan orang-orang di sekitarnya (Pusat Krisis Fakultas
Psikologi UI). Istilah psikososial berarti menyinggung relasi sosial yang mencakup faktor-
faktor psikologis (Chaplin, 2011).
Seks berarti jenis kelamin. Segala sesuatu yang berhubungan dengan jenis kelamin
disebut dengan seksualitas. Perilaku seksual yaitu orienasi seksual dari seorang individu,
yang merupakan interaksi antara kedua unsur yang sulit di pisahkan, yaitu tingkah laku
seksual didasari oleh dorongan seksual untuk mencari dan memperoleh kepuasan seksual,
yaitu orgasmus. Tingkah laku gender adalah tingkah laku dengan konotasi maskulin atau
feminim di luar tingkah laku seksual. Perilaku seksual itu mulai tampak setelah anak menjadi
remaja.
Setiap orang mengalami stress dari waktu ke waktu, dan umumnya seseorang dapat
mengadaptasi stress jangka panjang atau menghadapi stress jangka pendek sampai stress
tersebut berlalu. Stress dapat menimbulkan tuntutan yang besar pada seseorang, dan jika
seseorang tersebut tidak dapat mengadaptasi, maka dapat tejadi penyakit. Stress adalah segala
situasu dimana tuntutan nin spresifik mengharuskan seseorang individu untuk berespons atau
melakukan tindaka ( selye, 1976 ).
C.Tujuam
Untuk mengetahui psiko sosial, seksualitas dan stress adaptasi, Untuk mengetahui
masalah-masalah psiko sosial, seksualitas, dan stress adaptasi, Untuk mengetahui
Karakteristik psiko sosial, seksualitas, dan stress adaptasi, Untuk mengetahui macam-macam
psiko sosial, seksualitas, dan stress adaptasi
BAB II
PEMBAHASAN
A.Konsep psikososial
1. Definisi psikososial
Psikososial adalah suatu kondisi yang terjadi pada individu yang mencakup
aspek psikis dan sosial atau sebaliknya. Psikososial menunjuk pada hubungan yang
dinamis antara faktor psikis dan sosial, yang saling berinteraksi dan memengaruhi
satu sama lain. Psikososial sendiri berasal dari kata psiko dan sosial. Kata psiko
mengacu pada aspek psikologis dari individu (pikiran, perasaan dan perilaku)
sedangkan sosial mengacu pada hubungan eksternal individu dengan orang-orang di
sekitarnya (Pusat Krisis Fakultas Psikologi UI). Istilah psikososial berarti
menyinggung relasi sosial yang mencakup faktor-faktor psikologis (Chaplin, 2011).
Masalah-masalah psikososial menurut (Nanda, 2012) yaitu :
a. Berduka
b. Keputusasaan
c. Ansietas
d. Ketidakberdayaan
e. Risiko penyimpangan perilaku sehat
f. Gangguan citra tubuh
g. Koping tidak efektif
h. Koping keluarga tidak efektif
i. Sindroma post trauma
j. Penampilan peran tidak efektif
k. HDR situasional
2. Kecemasan
a. Pengertian kecemasan
Kecemasan adalah kekhawatiran yang tidak jelas dan menyebar, yang
berkaitan dengan perasaan tidak pasti dan tidak berdaya. Keadaan emosi ini tidak
memiliki objek yang spesifik. Ansietas dialami secara subjektif dan dikomunikasikan
secara interpersonal. Ansietas berbeda dengan rasa takut yang merupakan penilaian
intelektual terhadap sesuatu yang berbahaya. Ansietas adalah respon emosional
terhadap penilaian tersebut yang penyebabnya tidak diketahui. Sedangkan rasa takut
mempunyai penyebab yang jelas dan dapat dipahami (Stuart, 2007). Ansietas adalah
perasaan takut yang tidak jelas dan tidak didukung oleh situasi. Ketika merasa cemas,
individu merasa cemas, individu merasa tidak nyaman atau takut atau mungkin
memiliki firasat akan ditimpa malapetaka padahal ia tidak mengerti mengapa emosi
yang mengancam tersebut terjadi.
Kecemasan adalah perasaan tidak nyaman atau kekhawatiran yang sama
disertai respon autonom (sumber sering kali tidak spesifik atau tidak diketahui oleh
individu), perasaan takut yang disebabkan oleh antisipasi terhadap bahaya. Hal ini
merupakan isyarat kewaspadaan yang memperingatkan individu akan adanya bahaya
dan memampukan individu untuk bertindak menghadapi ancaman (Nurarif &
Kusuma, 2013).
b. Penyebab
5) Infeksi/kontaminan interpersonal
9) Penyalahgunaan zat
10) Ancaman pada (status ekonomi, lingkungan, status kesehatan, pola interaksi,
fungsi peran, status peran, konsep diri)
3) Penilaian stresor
Pemahaman tentang ansietas perlu integrasi banyak faktor, termasuk
pengetahuan dari perspektif psikoanalitis, interpersonal, perilaku, genetik dan
biologis. Penilaian mendorong pengkajian perilaku dan persepsi pasien dalam
mengembangkan intervensi keperawatan yang tepat. Penilaian juga menunjukkan
berbagai faktor penyebab dan menekankan hubungan timbal balik antara faktor-faktor
tersebut dalam menjelaskan perilaku yang terjadi. Dengan demikian, pemahaman
yang benar tentang ansietas bersifat holistik (Stuart, 2007).
4) Sumber koping
Individu dapat mengatasi stress dan ansietas dengan menggerakkan sumber
koping di lingkungan. Sumber koping tersebut yang berupa model ekonomi,
kemampuan penyelesaian masalah, dukungan sosial dan keyakinan budaya dapat
membantu individu mengintegrasikan pengalaman yang menimbulkan stress dan
mengadopsi strategi koping yang berhasil (Stuart, 2007).
5) Mekanisme koping
Menurut (Stuart, 2007) ketika mengalami ansietas, individu menggunakan
berbagai mekanisme koping untuk mencoba mengatasinya; ketidakmampuan
mengatasi ansietas secara konstruktif merupakan penyebab utama terjadinya perilaku
patologis. Pola yang biasa digunakan individu untuk mengatasi ansietas ringan
cenderung tetap domain ketika ansietas menjadi lebih intens. Ansietas ringan sering
ditanggulangi tanpa pemikiran yang sadar. Ansietas sedang dan berat menimbulkan
dua jenis mekanisme koping:
a) Reaksi yang berorientasi pada tugas yaitu upaya yang disadari dan
berorientasi pada tindakan untuk memenuhi tuntutan situasi stress secara
realistis: Perilaku menyerang digunakan untuk menghilangkan atau mengatasi
hambatan pemenuhan kebutuhan, Perilaku menarik diri digunakan untuk
menjauhkan diri dari sumber ancaman, baik secara fisik maupun psikologis,
Perilaku kompromi digunakan untuk mengubah cara yang biasa dilakukan
individu, mengganti tujuan atau mengorbankan aspek kebutuhan personal.
b) Mekanisme pertahanan ego membantu mengatasi ansietas ringan dan sedang.
Tetapi karena mekanisme tersebut berlangsung secara relatif pada tingkat
sadar dan mencakup penipuan diri dan distorsi realitas, mekanisme ini dapat
menjadi respons maladaptif terhadap stress.
g. Penatalaksanaan kecemasan
1) Penatalaksanaan farmakologi
Pengobatan untuk anti kecemasan terutama benzodiazepine, obat ini
digunakan untuk jangka pendek dan tidak dianjurkan untuk jangka panjang
karena pengobatan ini menyebabkan toleransi dan ketergantungan. obat anti
kecemasan nonbenzodiazepine, seperti buspiron (Buspar) dan berbagai
antidepresan juga digunakan (Isaacs, 2005)
2) Penatalaksanaan non farmakologi
a) Distraksi
Distraksi merupakan metode untuk menghilangkan kecemasan
dengan cara mengalihkan perhatian pada hal-hal lain sehingga pasien
akan lupa terhadap cemas yang dialami. Stimulus sensori yang
menyenangkan menyebabkan pelepasan endorfin yang bisa
menghambat stimulus cemas yang mengakibatkan lebih sedikit stimuli
cemas yang ditransmisikan ke otak (Potter & Perry, 2005).
Salah satu distraksi yang efektif adalah dengan memberikan
dukungan spiritual (membacakan doa sesuai agama dan
keyakinannya), sehingga dapat menurunkan hormon-hormon stressor,
mengaktifkan hormon endorfin alami, meningkatkan perasaan rileks
dan mengalihkan perhatian dari rasa takut, cemas dan tegang,
memperbaiki sistem kimia tubuh sehingga menurunkan tekanan darah
serta memperlambat pernafasan, detak jantung, denyut nadi dan
aktivitas gelombang otak. Laju pernafasan yang lebih dalam atau lebih
lambat tersebut sangat baik menimbulkan ketenangan, kendali emosi,
pemikiran yang lebih dalam dan metabolisme yang lebih baik.
b) Relaksasi
Terapi relaksasi yang dilakukan dapat berupa relaksasi,
meditasi, relaksasi imajinasi dan visualisasi serta relaksasi progresif
(Isaacs, 2005).
c) Pengetahuan
Memberikan penilaian tentang tingkat pengetahuan pasien
tentang proses penyakit yang spesifik, menjelaskan patofisiologi dari
penyakit dan bagaimana hal ini berhubungan dengan anatomi dan
fisiologi dengan cara yang tepat, menggambarkan proses penyakit
dengan cara yang tepat, mengidentifikasi kemungkinan penyebab
dengan cara yang tepat, menyediakan informasi pada pasien tentang
kondisi dengan cara yang tepat, mendiskusikan perubahan gaya hidup
yang mungkin diperlukan untuk mencegah komplikasi di masa yang
akan datang dan atau proses pengontrolan penyakit, mendiskusikan
pilihan terapi atau penanganan, mendukung pasien untuk
mengeksplorasi atau mendapatkan second opinion dengan cara yang
tepat atau diindikasikan, merujuk pasien pada grup atau agensi di
komunitas lokal dengan cara yang tepat, menginstruksikan pasien
mengenai tanda dan gejala untuk melaporkan pada pemberi perawatan
kesehatan dengan cara yang tepat (Nurarif & Kusuma,2013).
Pada penelitian (Riyani, 2013) didapatkan hasil 92% dari
seluruh pasien mengalami kecemasan, 5,4 % lainnya mengalami
ketidakberdayaan, 2,7% mengalami berduka dan 2,7% sisanya
mengalami gangguan citra tubuh. Dalam penelitian ini disebutkan
untuk menyelesaikan masalah ansietas, perawat perlu mengetahui
penyebab ansietas klien. Jika penyebabnya merupakan kurangnya
pengetahuan mengenai kondisi kesehatan klien, pemberian informasi
mengenai kondisi klien serta intervensi yang akan diberikan kepada
klien dapat menurunkan ansietas secara signifikan.
3. Ketidakberdayaan
Ketidakberdayaan adalah persepsi seseorang bahwa
tindakannya tidak akan memengaruhi hasil secara bermakna, kurang
pengendalian yang dirasakan terhadap situasi terakhir atau yang baru
saja terjadi. Pada ketidakberdayaan, pasien mungkin mengetahui solusi
terhadap masalahnya, tetapi percaya bahwa hal tersebut diluar
kendalinya untuk mencapai solusi tersebut (Wilkinson, 2007).
Ketidakberdayaan adalah kondisi ketika individu atau
kelompok merasa tidak memiliki kendali personal atas peristiwa atau
situasi tertentu yang memengaruhi cara pandang, tujuan dan gaya
hidup. Kebanyakan individu mengalami perasaan tidak berdaya dalam
berbagai tingkatan disejumlah situasi berbeda. Diagnosis ini dapat
digunakan untuk menggambarkan individu yang berespons terhadap
hilangnya kendali dengan menunjukkan sikap apati, marah atau
depresi. Suatu ketidakberdayan yang berkepanjangan dapat mengarah
pada keputusasaan (Carpenito-Moyet, 2013).
Faktor yang berhubungan dengan ketidakberdayaan menurut
Walkinson (2007) yaitu :
1) Lingkungan perawatan kesehatan
2) Program yang terkait dengan penyakit (misalnya, jangka
panjang, sulit dan kompleks)
3) Interaksi interpersonal
4) Gaya hidup keputusasaan
5) Penyakit kronis atau terminal
6) Komplikasi yang mengancam kehamilan
b. Batasan karakteristik menurut NANDA (2012) yaitu:
1) Bergantung pada orang lain
2) Depresi karena gangguan fisik
3) Tidak berpatisipasi dalam perawatan
4) Menyatakan asing
5) Menyatakan keraguan tentang kinerja peran
6) Menyatakan frustasi terhadap ketidakmampuan untuk
melaksanakan aktivitas sebelumnya
7) Menyatakan kurang kontrol
8) Menyatakan rasa malu
c. Tindakan keperawatan menurut (Nurarif & Kusuma, 2013) :
Self-eficacy enhancement :
1)Bantu pasien untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang dapat menimbulkan
ketidakberdayaan
2).Diskusikan dengan pasien tentang pilihan yang realistis dalam perawatan
3) libatkan pasien dalam pengambilan keputusan tentang perawatan
4) Jelaskan alasan setiap perubahan perencanaan terhadap pasien
5) Dukung pengambilan keputusan
6) Kaji kemampuan untuk pengambilan keputusan
7) Beri penjelasan kepada pasien tentang proses penyakit
Self Esteem Enhancement
1) Tunjukkan rasa percaya diri terhadap kemampuan pasien untuk mengatasi
situasi
2) Dorong pasien mengidentifikasi kekuatan dirinya
3) Ajarkan keterampilan perilaku yang positif melalui bermain peran, model
peran, diskusi
4) Dukung peningkatan tanggung jawab diri, jika diperlukan
5) Buat statement positif terhadap pasien
6) Monitor frekuensi komunikasi verbal pasien yang negatif
7) Dukung pasien untuk menerima tantangan
8) Kaji alasan untuk mengkritik atau menyalahkan diri sendiri
9) Lakukan kolaborasi dengan sumber-sumber lain (petugas dinas sosial,
perawat spesialis klinis dan layanan keagamaan).
4. Keputuasaan
Keputusasaan adalah keadaan emosional subjektif yang
berkepanjangan ketika individu tidak menemukan alternatif atau pilihan
pribadi guna memecahkan masalah yang dihadapi atau mencapai hal yang
diinginkan dan tidak dapat mengerahkan energi demi kepentingannya sendiri
guna menetapkan sejumlah tujuan. Keputuasaan berbeda dari
ketidakberdayaan, yakni ketika seseorang yang putus asa tidak menemukan
solusi atas permasalahannya atau cara untuk mencapai hal yang diinginkan,
sekalipun ia memegang kendali atas kehidupannya. Seseorang yang tidak
berdaya mampu melihat alternatif atau jawaban atas permasalahannya, namun
tidak mampu melakukan upaya apapun karena kurangnya kendali atau sumber
daya yang dimiliki (Carpenito-Moyet, 2013).
Keputusasaan adalah kondisi subjektif yang ditandai dengan individu
memandang hanya ada sedikit bahkan tidak ada alternatif atau pilihan pribadi
dan tidak mampu memobilisasi energi demi kepentingan sendiri (NANDA,
2012). Keputusasaan menggambarkan bahwa seseorang percaya tidak ada
penyelesaian untuk masalahnya (“tidak ada jalan keluar”). Bagi beberapa
pasien, keputusasaan dapat menjadi faktor resiko bunuh diri (Wilkinson,
2007).
Batasan karakteristik menurut NANDA (2012)
1) Menutup mata
2) Penurunan afek
3) Penurunan selera makan
4) Penurunan respons terhadap stimulus
5) Penurunan verbalisasi
6) Kurang inisiatif
7) Kurang keterlibatan dalam asuhan
8) Pasif
9) Mengangkat bahu sebagai respons terhadap orang yang mengajak
bicara
10) Gangguan pola tidur
11) Meninggalkan orang yang mengajak bicara
12) Isyarat verbal (misalnya isi putus asa “saya tidak dapat”, menghela
napas
Faktor yang berhubungan dengan keputusasaan menurut Nanda (2012)
yaitu :
1) Diasingkan
2) Penurunan kondisi fisiologis
3) Stres jangka panjang
4) Kehilangan kepercayaan pada kekuatan spiritual
5) Kehilangan kepercayaan pada nilai penting
6) Pembatasan aktivitas jangka panjang
7) Isolasi sosial
Tindakan keperawatan menurut Carpenito-Moyet (2013) yaitu :
1) Tunjukkan empati untuk mendorong klien menyampaikan keraguan,
ketakutan dan kekhawatirannya
2) Tentukan adanya risiko bunuh diri
3) Dorong klien untuk mengungkapkan mengapa dan bagaimana
harapan menjadi hal yang penting dalam kehidupannya
4) Dorong klien mengungkapkan bagaimana harapan menjadi sesuatu
yang tidak pasti dan harapannya yang tidak terwujud
5) Ajarkan cara mengatasi aspek-aspek keputusasaan dengan
memisahkannya dari aspek-aspek harapan
6) Kaji dan mengerahkan sumber daya dalam diri individu (otonomi,
kemandirian, rasionalitas, pemikiran kognitif, fleksibilitas,
spiritualitas)
7) Bantu klien mengidentifikasi sumber-sumber harapan (misalnya
hubungan antar-sesama, keyakinan, hal-hal yang ingin dicapai)
8) Ciptakan lingkungan yang mendukung ekspresi spiritual
9) Bantu klien mengembangkan tujuan jangka panjang dan jangka
pendek yang realistis (berkembang dari tujuan yang sederhana ke
tujuan yang lebih kompleks, dapat menggunakan “poster tujuan” untuk
mengindikasikan jenis dan waktu untuk mencapai tujuan yang
spesifik).
10) Ajari klien cara mengantisipasi pengalaman yang menyenangkan
(misalnya berjalan-jalan, membaca buku favorit, menulis surat)
11) Kaji dan mengerahkan sumber daya di luar diri individu (orang
terdekat, tim layanan kesehatan, kelompok pendukung, Tuhan atau
kekuatan yang lebih tinggi)
12) Bantu klien menyadari bahwa ia dicintai, disayangi dan merupakan
sosok penting dalam kehidupan orang lain, terlepas dari kondisi
kesehatannya yang menurun
13) Dorong klien untuk menceritakan kekhawatirannya pada orang lain
yang pernah mempunyai masalah atau penyakit yang sama dan telah
memiliki pengalaman positif dalam mengatasi masalah tersebut dengan
koping yang efektif
14) Kaji sistem pendukung keyakinan (nilai, aktivitas keagamaan,
hubungan dengan Tuhan, makna dan tujuan berdoa)
15) Beri klien waktu dan kesempatan untuk becermin pada makna
penderitaan, kematian dan menjelang ajal
B. Pengertian Seksualitas
Seks berarti jenis kelamin. Segala sesuatu yang berhubungan dengan jenis kelamin
disebut dengan seksualitas. Menurut master, johnson, dan kolodny (1992). Seksualitas
menyakut berbagai dimensi yang sangat luas, diantarnya adalah dimensi biologis, psikologis,
sosial dan kultural.B.
FUNGSI SEKSUALITAS
Salah satu kajian mengenai sikap dan pandangan kaum wanita tentang pentingnya
fungsi seksual yang cukup menarik untuk diulas adalah survei yang diprakarsai oleh Bayer
Healthcare yang dilakukan di 12 negara pada April hingga Mei 2006. Negara-negara tersebut
adalah: Brasil, Prancis, Jerman, Italia, Meksiko, Polandia, Saudi Arabia, Afrika Selatan,
Spanyol, Turki, Inggris dan Venezuela. Jumlah responden di setiap negara tersebut paling
sedikit 1000 wanita berusia di atas 18, sehingga jumlah keseluruhan responden adalah 12.065
orang. Hasilnya, 8996 responden (75% wanita) mengakui bahwa kegiatan seksual adalah
sesuatu yang penting atau sangat penting bagi mereka.Ketika kepada mereka (8996
responden) yang mengaku seksual sebagai sesuatu yang penting itu ditanyakan apa alasan
mereka berpendapat bahwa seksual penting, maka respons yang muncul adalah sebagai
berikut. Enam dari sepuluh (58%) wanita mengaku seksual penting untuk memperkuat dan
meningkatkan kualitas hubungan dengan pasangan. Selanjutnya, hampir separuh (47%)
responden merasa bahwa seksual bertalian dengan kebanggaan diri, masing-masing 29%
merasa memiliki daya tarik dan 18% merasa lebih percaya diri. Juga, tidak kurang dari 47%
responden berpandangan bahwa seksual berkontribusi positif buat fisik mereka (Bayer,
2006). Masing-masing 25% merasa mendapat kepuasan fisik dan 22% merasa seksual
membuat dirinya lebih sehat (Bayer, 2006).
Selanjutnya, terhadap pertanyaan apa pentingya kepuasan seksual bagi diri mereka,
85% responden mengaku bahwa kepuasan seksual merupakan sesuatu yang sangat penting
(33%) dan penting (52%). Hanya 15 persen dari responden beranggapan bahwa kepuasan
seksual tidak terlalu berarti bagi mereka (Bayer,2006).
Bahwa kaum wanita menempatkan kepuasan seksual sebagai sesuatu yang penting
bagi hidup mereka. Dengan demikian kaum wanita yadari bahwa kualitas fungsi seksualnya
sebagai bagian tak terpisahkan dari kualitas hidupnya, khususnya dalam bidang kesehatan
jiwa dan raga (rohani dan jasmani).Artinya, kualitas fisik dan psikologis seorang wanita tidak
bisa disebut baik bila fungsi seksualnya terganggu (Sutyarso, 2011).
DIMENSI BIOLOGI
Berdasarkan perspektif biologis (fisik), seksualitas berkaitan dengan anatomi dan
fungsional alat reproduksi atau alat kelamin manusia, serta dampaknya bagi kehidupan fisik
atau biologis manusia. Termasuk didalamnya menjaga kesehatannya dari gangguan seperti
penyakit menular seksual, infeksi saluran reproduksi (ISR), bagaimana memfungsikan
seksualitas sebagai alat reproduksi sekaligus alat rekreasi secara optimal, serta dinamika
munculnya dorongan seksual secara biologis.
DIMENSI PSIKOLOGIS
Berdasarkan dimensi ini, seksualitas berhubungna erat dengan bagaimana manusia
menjalani fungsi seksual sesuai dengan identitas jenis kelaminnya, dan bagaimana dinamika
aspek psikologis (kognisi, emosi, motivasi, perilaku) terhadap seksualitas itu sendiri, serta
bagaimana dampak psikologis dari keberfungsian seksualitas dalam kehidupan manusia.
Misalnya bagaimana seseorang berperilaku sebagai seorang laki-laki atau perempuan
bagaimana seseorang mendapatkan kepuasan psikologis dari perilaku yang dihubungkan
dangan identitas peran jenis kelamin, serta bagaimana sosialisasi peran dan fungsi seksualitas
dalam kehidupan manusia.
DIMENSI SOSIAL
Dimensi sosial melihat bagaimana seksualitas muncul dalam relasi antarmanusia,
bagaimana seseorang beradaptasi atau menyesuaikan diri dengan tuntutan peran dari
lingkungan sosial serta bagaimana sosialisasi peran dan fungsi seksualitas dalam kehidupan
manusia.
TUJUAN SEKSUALITAS
1. Tujuan umum: meningkatkan kesejahteraan kehidupan manusia.
2. Tujuan khusus:
a. Prokreasi (menciptakan atau meneruskan ketururnan)
b. Rekreasi (memperoleh kenikmatan biologis/seksual)
2. Peran seks
Peran seks adalah menerima dan mengembangkan peran serta kemampuan tertentu
selaras dengan jenis kelaminnya. Bagi remaja laki-laki, hal itu mungkin tidak terlalu menjadi
masalah. Namun, bagi remaja perempuan, bermacam revolusi dan perubahan pandangan atau
nilai terhadap peran perempuan, bermacam revolusi dan perubahan pandangan atau nilai
terhadap peran perempuan yang berlangsung secara terus-menerus sampai saat ini dapat
menimbulkan masalah tertentu. Perubahan-perubahan nilai dan norma tentang seks yang
dapat terjadi saat ini dapat menimbulkan berbagai persoalan bagi remaja (pelacuran, penyakit
kelamin menular,penyimpangan seksual,kehamilan diluar nikah, dan sebagainya).
2. Model stres
Asal dan efek stress dapat diperiksa dalam istilah kedokteran dan model teoretis prilaku.
Model stress digunakan untuk mengdentifiksi stresor bagi individu tertentu dan memprediksi
respons individu tersebut terhadap stresor. Seiap model menekankan aspek stres yang
berbeda.
Perawat menggunakan model stres untuk membantu klien mengatasi respons yang tidak
sehat, non produktif. Dengan modifikasi, model ini dapat membantu perawat berespons
dalam merawat dengan cara yang menunjukan individualisasi bagi klien.
3. Model stress berdasar respons
Model berdasar respons berkaitan dengan mengkhususkan respons atau pola respons
tertentu yang mungkin menunjukan stresor. Model stress dari Selye (1976 ) adalah model
berdasarkan respons yang mendefinisikan stres sebagai respons non-spesifik dari tubuh
terhadap setiap tuntutan yang ditimpakan pada nya. Stress ditunjukan oleh reaksi fisiologis
spesifik, GAS. Sehingga respons seseorang terhadap stres benar-benar fisiologis dan tidak
penah dimodifikasi untuk memungkinkan pengaruh dari kognitif ( McNett, 1989 ).
Model berdasar respons tidak memungkinkan perbedaan individu dalam pola
berespons. Kurang nya keleluasaan ini dapat menimbulkan beberapa kesulitan bagi perawat
karena perbedaan individu harus diidentifikasi dalam fase pengkajian. Namun demikian,
mungkin akan bermanfaat bila menentukan respons fisiologis.
Seperti halnya pada model berdasarkan respons, model berdaskan stimulus tidak
memungkinkan untuk perbedaan individu dalam persepsi dan respons terhadap stresor.
Perawat mungkin mengalami kesulitan ketika berupaya untuk menggunakan model ini dalam
penatalaksanaan stres karena kurangnya keleluasaan untuk adaptasi individu.
5. Model Berdasar Transaksi
Model berdasar transaksi memandang individu dan lingkungan dalam hubungan yang
dinamis, resiprokal dan interaktif (Lazarus & Folkman, 1984). model ini, yang dikembangkan
oleh Lazarus dan Folkman, memandang stresor sebagai respons perseptual individu yang
berakar dari proses psikologis dan kognitif. Sres berasal dari hubungan antara individu dan
lingkungan. Model ini berfokus pada proses yang berkaitan dengan stres seperti penilaian
kognitif dan koping (Monsen, Floyd, dan Brookman, 1992).
6. Faktor yang Mempengaruhi Respons terhadap Stresor
Respons terhadap segala bentuk stresor bergantung padaa fungsi fisiologis, kepribadian,
dan karakteristik perilaku, seperti juga halnya sifat dari stresor tersebut. Sifat stresor
mencakup faktor-faktor berikut ini.
a. Intensitas
b. Cakupan
c. Durasi
d. Jumlah dan sifat dari stresor
Setiap faktor mempengaruhi respons terhadap stresor. Seseorang dapat saja mencerap
intensitas atau besarnya stresor sebagai minimal, sedang, atau berat. Makin besar stresor,
makin besar respons stres yang ditimbulkan. Sama halnya, cakupan dari stresor dapat
digambarkan sebagai terbatas, sedang, atau luas. Makin besar cakupan stresor, makin besar
respons klien yang ditujukan terhadap stresor tersebut (Lazarus & Folkman 1984).
7. Respons Terhadap Stres
Individu secara keseluruhan terlibat dalam merespons dan mengadaptasi stres. Namun
demikian, sebagian besar dari riset tentang stres berfokus pada respons psikologis atau
emosional dan fisiologis, meski dimensi ini saling tumpang tindih dan berinteraksi dengan
dimensi lain.
Ketika terjadi stres, sesorang menggunakan energi fisiologis dan psikologis untuk
berspons dan mngadaptasi. Besar nya energi yang dibutuhkan dan keefektifan dari upaya
untuk mengadaptasi bergantung pada intensitas, cakupan, dan durasi stresor dan besar nya
stresor lainnya. Respons stres adalah adaptif dan protektif, dan karakteristik dari respon ini
adalah hasil dari respons neuroendokrin yang terintegrasi.
a. Respons yang terjadi adalah setempat ; respons ini tidak melibatkan seluruh sistem
tubuh.
b. Respons adalah adaptif, berarti bahwa stresor diperlukan untuk menstimulasinya.
c. Respons adalah berjangka pendek. Respons tidak terdapat terus menerus.
d. Respons adalah restoratif, berari bahwa LAS membantu dalam memulihkan
homeostasis region atau bagian tubuh.
Dua respons setempat, yaitu respons refleks nyeri dan respons implamasi, diuraikan
sebagai contoh LAS.
PENUTUP
A.Kesimpulan
Psikososial sendiri berasal dari kata psiko dan sosial. Kata psiko mengacu pada aspek
psikologis dari individu (pikiran, perasaan dan perilaku) sedangkan sosial mengacu pada
hubungan eksternal individu dengan orang-orang di sekitarnya (Pusat Krisis Fakultas
Psikologi UI). Istilah psikososial berarti menyinggung relasi sosial yang mencakup faktor-
faktor psikologis (Chaplin, 2011).
Seks berarti jenis kelamin. Segala sesuatu yang berhubungan dengan jenis kelamin
disebut dengan seksualitas. Perilaku seksual yaitu orienasi seksual dari seorang individu,
yang merupakan interaksi antara kedua unsur yang sulit di pisahkan, yaitu tingkah laku
seksual didasari oleh dorongan seksual untuk mencari dan memperoleh kepuasan seksual,
yaitu orgasmus.
Stresor menunjukan suatu kebutuhan yang tidak terpenuhi dan kebutuhan tersebut
bisa saja kebutuhan fisiologis, psikologis, sosial, lingkungan, perkembangan, spiritual, atau
kebutuhan kultural.stresor secara umum dapat diklasifikasikan sebagai internal atau eksternal.
Stresor internal berasal dari dalam diri seorang ( mis.demam, kondisi seperti kehamilan atau
menaupause, atau suatu keadaan emosi seperti rasa bersalah).
B.Saran
Semoga setelah membaca makalah ini, pembaca menjadi paham tentang konsep psiko
sosial yang berhubungan dengan seksualitas dan stress adaptasi
DAFTAR PUSTAKA
digilip.unimus.ac.id
id.scribd.com
www.academia.edu
scholar.unand.ac.id