Makalah (B011181129) Pengangkutan Laut (H.dagang)
Makalah (B011181129) Pengangkutan Laut (H.dagang)
Makalah (B011181129) Pengangkutan Laut (H.dagang)
Oleh :
B011181129
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2020
Subtema : 2 dan 3
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat, berkah, dan
hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah dengan judul“Hubungan Hukum
dalam Perjanjian dan Tanggung Jawab Pengangkutan Laut”. Makalah ini disusun guna
memberikan informasi dan untuk memenuhi tugas mata kuliah “Hukum Dagang”. Penulis
mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membagi ilmunya melalui buku,
artikel dan tulisan lainnya sehingga makalah ini dapat terselesaikan.
Kami berharap, semoga informasi yang ada dalam makalah ini dapat berguna bagi para
pembaca. Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna, banyak
kekurangan dan kesalahan. Kritik dan saran pun dinantikan agar kedepannya dapat membantu
penyempurnaan makalah ini. Tiada gading yang tak retak, tiada manusia yang sempurna. Oleh
karenanya kami mohon maaf atas tulisan kami yang sangat jauh dari kesempurnaan.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..............................................................................................................ii
DAFTAR ISI........................................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN......................................................................................................... 1
A. Latar Belakang .............................................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ........................................................................................................ 2
C. Tujuan Penulisan .......................................................................................................... 2
D. Manfaat Penulisan ........................................................................................................ 3
BAB II PEMBAHASAN .......................................................................................................... 4
A. Hubungan Hukum dalam Perjanjian Pengangkutan Laut ...................................... 4
B. Tanggung Jawab Pengangkutan dalam Angkutan Laut .......................................... 9
1. Pengertian Tanggung Jawab Pengangkutan Laut............................................................... 9
2. Prinsip Tanggung Jawab dalam pengangkutan Laut ........................................................ 11
BAB III PENUTUP ................................................................................................................ 14
A. Kesimpulan .................................................................................................................. 14
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................. 15
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Selaras dengan keberadaan pengangkutan laut dengan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi (IPTEK) dewasa ini, membawa dampak yang cukup luas
dalam berbagai aspek kehidupan. Dampak ini pun merebak hingga ke hal pelaksanaan
jasa pengangkutan laut muatan. Salah satu wujud perkembangan itu ditandai dengan
semakin pesatnya permintaan produksi dari produsen maka dibutuhkan pula sarana
pengangkutan melalui jalur laut yang menghubungkan antar pulau guna menghantarkan
hasil produk kepada konsumen, tentu dengan biaya yang terjangkau dan mampu
mengangkut berbagai barang dengan volume dan berat tertentu. Keuntungan
pengangkutan jalur laut dibanding pengangkutan jalur udara yaitu pengangkutan jalur
laut ini relatif murah dan mampu membawa penumpang sekaligus mengangkut barang.
Untuk mempermudah jalannya proses pengangkutan, maka dibutuhkan jasa
pengangkut yang berperan sebagai pihak pengangkutan laut.
Di Indonesia sendiri berbagai jasa pengangkutan mulai banyak bermunculan.
Hal ini terbukti dengan terkenalnya beberapa perusahaan industri yang cukup
terpercaya bergerak di bidang jasa pengangkutan. Jasa pengangkutan laut ini ternyata
cukup memajukan sistem perdagangan dalam negeri maupun luar negeri. Hal ini
dikarenakan proses pengangkutan akan mempermudah jalannya arus barang dari
tempat produksi ke tempat konsumen yang terpisah pulau oleh lautan, sehingga
permintaan kebutuhan konsumen pun dapat segera terpenuhi.
Kata pengangkutan berasal dari kata dasar “angkut” yang berarti angkat dan
bawa, muat dan bawa atau kirimkan. Mengangkut artinya mengangkat dan membawa
atau mengirimkan. Pengangkutan artinya pengangkaatan dan pembawaan barang atau
orang, pemuatan dan pengiriman barang atau orang, barang atau orang yang diangkut.
Jadi, dalam pengertian pengangkutan ini tersimpul suatu proses kegiatan atau gerakan
dri suatu tempat ke tempat lain.1
Menurut Soekardono yang dimaksud dengan pengangkutan pada pokoknya
berisikan perpindahan tempat mengenai benda-benda atau orang-orang, karena
perpindahan itu mutlak diperlukan untuk mencapai dan meningkatkan manfaat serta
efisiensi.2 Sementara Abdul Kadir Muhammad mengartikan pengangkutan adalah
1
Abdul Kadir Muhammad, Hukum Pengangkutan Darat, Laut, dan Udara (Bandung, 1991), hal.19
2
R.Soekardono, Hukum Dagang Indonesia (Jakarta,1981), hal.5
1
proses kegiatan memuat barang/penumpang ke dalam alat pengangkutan, membawa
barang/penumpang dari tempat pemuatan ketempat tujuan, dan menurunkan
barang/penumpang dari alat pengangkutan ke tempat yang ditentukan.3
Pengangkutan laut akan terjadi ketika sudah ada perjanjian antara kedua pihak,
yaitu pihak pemberi jasa pengangkutan dengan si pemakai jasa. Dengan adanya
perjanjian tersebut maka lahirlah suatu tanggung jawab bagi pengangkut yang terletak
pada keamanan dan keselamatan kapal serta muatannya terutama pada saat pelayaran
4
atau selama dalam pengangkutan. Hal ini diatur dalam pasal 468 KUHD yang
menyatakan : “Persetujuan pengangkutan mewajibkan si pengangkut untuk menjaga
akan keselamatan barang yang harus di angkutnya, mulai saat diterimanya hingga saat
diserahkannya barang tersebut”.
Semakin tingginya permintaan pengangkutan melalui jalur laut, kini tidak lagi
didominasi hanya dalam negeri melainkan sudah sampai ke luar negeri. Sudah menjadi
keharusan bagi hukum dalam merespon berbagai masalah yang ditimbul ditengah
masyarakat. Maka dari itu, perlu ada upaya hukum yang melindungi kepentingan
berbagai pihak, yang terlibat dalam urusan pengangkutan laut. Norma dan kaidah
hukum perlu dikembangkan secara tegas agar kemudian hari tidak ditemukan
pelanggaran antara tanggungjawab dan ha kantar pihak terkait. Dan salah satu upaya
hukum tersebut dengan dikeluarkannya ketentuan yang diatur dalam konvensi
internasional, disamping KUHD dan peraturan pemerintah dalam bidang pengangkutan
laut.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan diatas dapat dirumuskan masalah
sebagai berikut :
C. Tujuan Penulisan
a. Untuk mengetahui Hubungan Hukum dalam perjanjian Pengangkutan laut
b. Untuk memahami Tanggungjawab Pengangkutan dalam angkutan laut.
3
Abdul Kadir Muhammad, Loc.Cit.
4
R.Subekti, R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Dagang dan Undang-Undang Kepailitan (Jakarta,
2014), hal.147
2
D. Manfaat Penulisan
1. Secara Teoritis :
a. Makalah ini diharapkan dapat memberikan sumbangsi terhadap pengetahuan
yang bermanfaat bagi ilmu hukum, khususnya Hukum Dagang.
b. Makalah ini diharapkan dapat memberikan informasi referensi atau literatur
lebih lanjut dijadikan acuan untuk penelitian selajutnya.
c. Makalah ini diharapkan mampu memberikan masukan terhadap perkembangan
ilmu hukum Dagang dan masasalah pengangkutan laut di kalangan masyarakat.
2. Secara Praktis :
a. Makalah ini diharapkan dapat memberikan gambaran tentang pengangkutan
laut.
b. Makalah ini diharapkan dapat menguraikan tentang Hubungan Hukum dalam
perjanjian Pengangkutan laut.
c. Makalah ini diharapkan mampu menjelaskan tanggung jawab pengangkutan
laut.
3
BAB II
PEMBAHASAN
Hubungan hukum adalah hubungan yang diatur oleh hukum dilakukan oleh
subjek hukum yang dapat melahirkan akibat hukum yaitu hak dan kewajiban bagi para
subjek hukum.5 Pada pengangkutan, baik barang maupun penumpang bentuk hubungan
hukumnya terjadi antara pihak pengangkut dan pihak yang menggunakan jasa
pengangkutan. Hubungan hukum ini telah memilki kepastian hukum yang diatur dalam
peraturan perundang-undangan dan selanjutnya diimplementasikan melaui suatu
perjanjian.
KUHPerdata memang telah mengatur definisi perjanjian dalam Pasal 1313,
namun tidak mengatur definisi perjanjian pengangkutan. Begitupun dengan KUHD
maupun Undang-undang Nomor 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran juga tidak
memberikan definisi tentang perjanjian pengangkutan, namun hanya mengatur
kewajiban pengangkut dalam perjanjian pengangkutan.6
Perjanjian pengangkutan adalah persetujuan dimana pengangkut mengikatkan
diri untuk menyelenggarakan pengangkutan penumpang (orang) dan/atau barang dari
satu tempat ketempat tujuan tertentu dengan selamat dan penumpang atau pemilik
barang mengikatkan diri untuk membayar biaya penangkutan.7
Pengertian pengangkutan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah:
“Usaha membawa, mengantar atau memindahkan orang atau barang dari suatu tempat
ke tempat lain”. Definisi itu jelas sangat berbeda dengan pengertian pengangkutan di
bidang hukum. Sebab apabila dilihat dari sudut hukum, dititikberatkan pada hubungan
antara pengangkut dan pengirim/penerima barang dengan tujuan menimbulkan
hubungan hukum, dengan tujuan mencari untung, baik bagi pemilik barang maupun
pengangkut. Bagi si pengirim/penerima barang, tujuannya ialah meningkatkan nilai
barang yang diangkut, dengan ongkos angkut yang relatif murah, serta menghendaki
perlindungan hukum dari pengangkut agar barang yang diangkut dapat sampai di
5
Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum ( Jakarta, 2009), hal. 253
6
Djafar Al Bram, Pengantar Hukum Pengangkutan Laut (Buku I) : Pengertian, Asas-Asas, Hak dan Kewajiban
Para Pihak (Jakarta, 2011), hal. 32-33
7
Suwardjoko Warpani, Merencanakan Sistem Pengangkutan (Bandung, 1990), hal.46
4
tempat tujuan dengan selamat. Lain halnya apabila dilihat dari sudut kepentingan
pengangkut, yang dalam pengangkutan laut diwakili oleh nakhoda, maka tujuannya
ialah untuk mendapatkan ongkos angkut yang relatif tinggi dengan tanggung jawab
yang relatif rendah. 8
Perjanjian pengangkutan menurut Pasal 1319 KUHPerdata termasuk ke dalam
perjanjian bernama, karena oleh undang-undang, perjanjian tersebut diberikan nama
dan pengaturan secara khusus (benoemde atau nominaatcontracten), baik di dalam
KUHPerdata maupun KUHD, bahkan ada diatur pula di dalam undang-undang yang
tersendiri.
Perjanjian pengangkutan pada umumnya bersifat lisan (tidak tertulis), tetapi
selalu didukung oleh dokumen pengangkut. Dokumen pengangkutan berfungsi sebagai
bukti sudah terjadi perjanjian pengangkutan dan wajib dilaksanakan oleh para pihak
yang mengadakan perjanjian. Dokumen pengangkutan barang lazim disebut surat
muatan, sedangkann dokumen pengangkutan penumpang disebut karcis pengangkutan.
Perjanjian pengangkutan juga dapat dibut tertulis yang disebut perjanjian carter
(Charter party), seperti carter pesawat udara untuk mengangkut jamaah haji dan carter
kapal untu mengangkut barang dagangan. 9
Berdasarkan pengertian diatas maka perjanjian pengangkutan tidak disyaratkan
harus tertulis, cukup dengan lisan, dan terpenuhinya kesepakatan atau persesuaian
kehendak (konsensus) antara kedua belah pihak. Sebagaimana diatur dalam ketentuan
Pasal 90 KUHD10 yang menyatakan : Surat angkutan merupakan persetujuan antara si
pengirim atau ekspeditur pada pihak satu dan pengangkut atau juragan perahu pada
pihak lain dan surat itu memuat selain apa yang kiranya telah disetujui oleh kedua belah
pihak, seperti misalnya mengenai waktu dalam mana pengangkutan telah harus selesai
dikerjakannya dan mengenai penggantian rugi dalam hal kelambatan, memuat juga :
a. Nama dan berat atau ukuran barang-barang yang diangkut, begitupun merek-
merek dan bilangannya;
b. Nama orang kepada siapa barang-barang dikirimkannya;
c. Nama dan tempat si pengangkut atau juragan perahu;
d. Jumlah upah pengangkut;
8
Djafar Al Bram, Op.Cit.,hal. 35. Lihat Juga: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa
Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1989).
9
Ibid., hal.3
10
R.Subekti, R. Tjitrosudibio, Op.Cit., hal.20
5
e. Tanggal;
f. Tanda tangan si pengirim atau ekspeditur.
Pasal 90 KUHD yang mengatur tentang dokumen atau surat angkutan adalah
bukti perjanjian antara pihak pengirim atau ekspeditur dan pihak pengangkut atau
nahkoda. Namun, jika tak ada dokumen/surat angkutan sekalipun tetapi telah tercapai
persetujuan kehendak diantara para pihak yang terlibat perjanjian. Maka dokumen/surat
angkutan hanya sebagai surat bukti belaka mengenai perjanjian pengangkutan. Ini
berarti dokumen/surat angkutan dinyatakan akan mengikat tidak hanya ketika
dokumen/surat angkutan itu telah ditandatangani pihak pengirim alias ekspeditur, tetapi
juga ketika pihak pengangkut alias nakhoda sudah menerima barang angkutan beserta
dokumen/surat angkutan itu.
Menurut Abdulkadir Muhammad, menyatakan bahwa hukum pengangkutan
melalui laut (hukum pengangkutan laut) mengandung 2 (dua) sifat sebagaimana yang
diatur dalam Pasal 2 dan Pasal 85 Undang-undang Nomor 21 Tahun 1992 tentang
Pelayaran, yaitu bersifat publik dan privat: 11
a. Yang bersifat publik, yaitu yang berlandaskan hukum pengangkutan yang berlaku dan
berguna bagi semua pihak dalam pengangkutan, pihak ke tiga yang berkepentingan
dengan pengangkutan, dan pemerintah (penguasa). Asas-asas yang termasuk di
dalamnya ialah:
1) Asas manfaat, yaitu setiap pengangkut harus dapat memberikan nilai guna yang
sebesar-besarnya bagi kemanusiaan, peningkatan kesejahteraan rakyat dan
pengembangan perikehidupan yang berkesinambungan bagi warga negara.
2) Asas usaha bersama dan kekeluargaan, yaitu penyelenggaraan usaha
pengangkutan dilaksanakan untuk mencapai cita-cita dan aspirasi bangsa yang
kegiatannya dapat dilakukan oleh seluruh lapisan masyarakat serta dijiwai
semangat kekeluargaan.
3) Asas adil dan merata, yaitu penyelenggaraan pengangkutan harus dapat
memberikan pelayanan yang adil dan merata kepada seluruh lapisan masyarakat
dengan biaya yang terjangkau oleh masyarakat.
4) Asas keseimbangan, yaitu penyelenggaraan pengangkutan harus dilakukan
dengan memperhatikan keseimbangan yang serasi antara sarana dan prasarana,
11
Abdul kadir Muhammad, Hukum Pengangkutan Niaga (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1998), hal. 5.
6
antara kepentingan pengguna dan penyedia jasa, antara kepentingan individu
dan masyarakat, serta antara kepentingan nasional dan internasional.
5) Asas kepentingan umum, yaitu penyelenggaraan pengangkutan harus lebih
mengutamakan kepentingan pelayanan umum bagi masyarakat luas.
6) Asas keterpaduan, yaitu pengangkutan harus merupakan kesatuan yang bulat
dan utuh, terpadu, saling menunjang dan saling mengisi antara pihakpihak yang
memiliki kepentingan dengan proses pengangkutan.
7) Asas kesadaran hukum, yaitu pemerintah wajib menegakkan dan menjamin
kepastian hukum, serta mewajibkan kepada setiap warga negara Indonesia agar
selalu sadar dan taat kepada hukum dalam penyelenggaraan pengangkutan.
8) Asas percaya diri sendiri, yaitu pengangkutan harus berlandaskan pada
kepercayaan akan kemampuan dan kekuatan sendiri serta bersendikan
kepribadian bangsa.
9) Asas keselamatan penumpang, yaitu pengangkutan penumpang harus disertai
dengan asuransi kecelakaan, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 3
Undangundang Nomor 33 Tahun 1964 tentang Dana Pertanggungan Wajib
Kecelakaan Penumpang, Pasal 86 Undang-undang Nomor 21 Tahun 1992
tentang Pelayaran, dan Pasal 92 Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 1999
tentang Angkutan di Perairan.
b. Yang bersifat privat atau perdata (Pasal 85 Undang-undang Nomor 21 Tahun 1992
tentang Pelayaran), yaitu yang berlandaskan hukum pengangkutan yang hanya
berlaku dan berguna bagi kedua belah pihak dalam pengangkutan niaga, yaitu
pengangkut dan penumpang atau pengirim. Asas-asasnya ialah:
1) Konsensual, maksudnya ialah bahwa perjanjian mengikat/sah pada saat
tercapainya kata sepakat antara pengangkut dan pemilik barang, di sini
menentukan adanya (het bestaanwaarde) perjanjian. Perjanjian pengangkutan
tidak diharuskan berbentuk tertulis, tanpa tulisanpun sudah cukup walaupun
hanya dengan kesepakatan pihak-pihak. Namun demikian, karena pengangkutan
merupakan hukum perusahaan, dalam pengertian jual beli perusahaan (untuk
mencari nilai tambah, bukan untuk dikonsumsi sendiri), maka perjanjiannya
harusnya juga dalam bentuk tertulis, sehingga dapat digunakan untuk alat
pembuktian. Oleh karenanya, perjanjian itu tetap perlu didukung dengan
dokumen angkutan. Tetapi yang tetap harus diingat ialah, bahwa dokumen
angkutan itu bukanlah merupakan syarat mutlak adanya perjanjian
7
pengangkutan, sebab meskipun tidak ada dokumen atau bukti tertulis, perjanjian
pengangkutan tetap ada.
2) Koordinatif, maksudnya ialah pihak-pihak dalam perjanjian pengangkutan
mempunyai kedudukan yang setara atau sejajar, tidak ada pihak yang di atas atau
di bawah. Walaupun pengangkut menyediakan jasa dan melaksanakan perintah
penumpang/pengirim, pengangkut tetap bukan bawahan dari
penumpang/pengirim.
3) Campuran, maksudnya ialah pengangkutan merupakan perjanjian campuran dari
3 (tiga) jenis perjanjian, yaitu perjanjian pemberian kuasa, perjanjian
penyimpanan/penitipan barang, dan perjanjian melakukan pekerjaan dari
pengirim kepada pengangkut. Ketiga jenis perjanjian itu berlaku pada
pengangkutan, kecuali jika ditentukan lain dalam perjanjian pengangkutan.
Bukti bahwa perjanjian pengangkutan mengandung unsur pemberian kuasa,
dapat dilihat, antara lain, pada Pasal 365 serta Pasal 371 KUHD, dan Pasal 3
serta 4 Undang-undang Nomor 33 Tahun 1964 tentang Dana Pertanggungan
Wajib Kecelakaan Laut. Pasal 365 KUHD menyatakan bahwa “Apabila di luar
wilayah Indonesia nakhoda tidak mempunyai dana guna pembiayaan
pengeluaranpengeluaran untuk meneruskan perjalanan dapatlah menjual
sebagian barang muatan. Sebelum melakukan kalau mungkin memberitahukan
dahulu kepada pengusaha dan kepada semua pihak”. Kemudian, Pasal 371
KUHD ayat (1) menentukan bahwa “Nakhoda selama perjalanan diwajibkan
menjaga kepentingan mereka yang berhak atas muatan dan mengambil tindakan-
tindakan yang diperlukan untuk itu dan kalau perlu untuk itu menghadap ke
muka hakim”.
4) Pembuktian dengan dokumen, maksudnya ialah bahwa setiap pengangkutan
selalu dibuktikan dengan dokumen angkutan.
Selain itu syarat sahnya perjanjian pengangkutan pada pengangkutan barang
maupun orang antara pengangkut dengan pemakai jasa pengangkutan sama halnya
dengan syarat sahnya perjanjian sebagaimana yang telah diatur dalam ketentuan
Pasal 1320 KUH Perdata, yaitu :
a. Adanya kesepakatan antara para pihak;
b. Adanya kecakapan unutk membuat sebuah perjanjian;
c. Suatu hal tertentu;
d. Suatu sebab yang halal.
8
B. Tanggung Jawab Pengangkutan dalam Angkutan Laut
12
H.K.Martono dan Eka Budi Tjahjono, Transportasi di Perairan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 17
Tahun 2008, (Jakarta, 2011) hal.168.
13
Djafar Al Bram, Pengantar Hukum Pengangkutan Laut (Buku II) : Tanggungjawab Pengangkut, Asuransi,
dan Incoterm (Jakarta, 2011), hal. 1
14
Sendy Anantyo, dkk., Pengangkutan Melalui Laut, Jurnal Diponegoro Law Review, Vol.1, No.4, (2012). hal.
4 (http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/dlr) diakses pada 29 April 2020.
9
4) kerugian pihak ketiga.
a. Jika dapat membuktikan bahwa kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
b, huruf c, dan huruf d bukan disebabkan oleh kesalahannya, perusahaan angkutan di
perairan dapat dibebaskan sebagian atau seluruh tanggung jawabnya.
b. Perusahaan angkutan di perairan wajib mengasuransikan tanggung jawabnya
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan melaksanakan asuransi perlindungan dasar
penumpang umum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Berdasarkan ketentuan pasal 41 ayat (3) dapat diperoleh bahwa atas tanggung
jawabnya sebagaimana dimaksud pada pasal 41 (1) UU No. 17 Tahun 2008, yaitu akibat
dari pengoperasian kapal, pengangkut juga diwajibkan untuk mengasuransikan tanggung
jawabnya tersebut. Apabila perusahaan pengangkutan tidak melaksanakan ketentuan pasal
41 ayat (3) di atas, dapat dijatuhkan sanksi yang ditentukan sesuai dengan Pasal 292 UU
No. 17 tahun 2008.
Dasar tanggung jawab pengangkut ialah kewajiban yang timbul dari perjanjian
pengangkutan. Sehubungan dengan itu perlu diperhatikan ketentuan Pasal 1 KUHD yang
menyatakan bahwa “Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, seberapa jauh dari padanya
dalam kitab ini tidak khusus diadakan penyimpangan-penyimpangan, berlaku juga
terhadap hal-hal yang dibicarakan dalam kitab ini”. Maka ketentuan umum mengenai
perjanjian yang terdapat dalam Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
(KUHPerdata) berlaku pula bagi perjanjian pengangkutan laut kecuali ada ketentuan yang
bersifat khusus. Untuk itu perlu diperhatikan (dikutip) Pasal 1235 sampai dengan Pasal
1238 KUHPerdata.15
Ketentuan umum lainnya mengenai tanggung jawab pengangkut (Liability of the
Carrier) dapat dilihat didalam pasal 468 KUHD, sebagai suatu pasal mengenai
pertanggungjawaban pengangkut yang membawa konsekuensi berat bagi pengangkut.
Selain itu, Pasal 477 KUHD menetapkan pula bahwa pengangkut juga bertanggung jawab
untuk kerugian yang disebabkan karena terlambatnya diserahkan barang yang diangkut
Pertanggungjawaban pengangkut ini juga telah diatur dalam The Hague Rules 1924 article
1 (2) yaitu sejak barang itu dimuat sampai barang dibongkar. Dengan demikian maka
pertanggungjawaban pengangkut itu berakhir sejak barang itu dibongkar dan diserahkan
dekat kapal. The Hamburg Rules 1978 yang ditemukan didalam article 4, menyatakan
bahwa pertanggungjawaban pengangkut adalah pada saat barang-barang berada dibawah
15
Djafar Al Bram, Op.Cit., hal.2-3.
10
penguasaannya yaitu di pelabuhan pemberangkatan, selama berlangsungnya
pengangkutan sampai di pelabuhan pembongkaran. Dengan ketentuan demikian sangat
jelas bahwa masa pertanggungjawaban pengangkut (period of responsiblity of the carrier)
dalam The Hamburg Rules 1978 adalah lebih tegas, nyata dan memberi tanggung jawab
yang besar bagi pengangkut.16
c. Prinsip tanggung jawab mutlak (absolute / strict liability), Menurut prinsip ini setiap
pengangkut dianggap selalu bertanggung jawab membayar setiap kerugian yang timbul
dari pengangkutan yang diselenggarakannya tanpa keharusan pembuktian ada tidaknya
16
Sendy Anantyo, dkk. Loc.Cit.
17
Imam Musjab, Prinsip Tanggung Jawab dalam Pengangkutan. (https://ahliasuransi.com/prinsip-tanggung-
jawab-dalam-pengangkutan/) diakses pada 30 April 2020
11
kesalahan pengangkut.Pengangkut tidak dimungkinkan untuk membebaskan diri dari
tanggung jawab dengan alasan apapun (strict liability)
a. Pasal 468 (2) KUHD menyatakan: “Si pengangkut diwajibkan mengganti segala
kerugian yang disebabkan karena barang tersebut seluruhnya atau sebagian tidak dapat
diserahkannya, atau karena terjadi kerusakan pada barang itu, kecuali apabila
dibuktikannya bahwa tidak diserahkannya barang atau kerusakan tadi disebabkan oleh
suatu malapetaka yang selayaknya tidak dapat dicegah maupun dihindarkannya, atau cacat
dari pada barang tersebut, atau oleh kesalahan dari si yang mengirimkannya.”
b. Pasal 477 KUHD menyatakan : “Si pengangkut adalah bertanggung jawab untuk
kerugian yang disebabkan karena terlambat diserahkannya barang yang diangkutnya,
kecuali apabila dibuktikannya bahwa keterlambatan itu disebabkan oleh suatu malapetaka
yang selayaknya tidak dapat dicegah atau dihindarkannya”
18
Djafar Al Bram, Op.Cit., hal.58-19.
19
Imam Musjab, Loc.Cit.
12
c. Pasal 522 (2) KUHD menyatakan : “Si pengangkut diwajibkan mengganti kerugian
yang disebabkan karena terlambat diserahkannya karena luka, yang didapat oleh si
penumpang karena pengangkutan itu, kecuali apabila dibuktikannya bahwa luka itu
disebabkan oleh suatu kejadian yang selayaknya tidak dapat dicegah maupun
dihindarkannya, ataupun karena salahnya si penumpang sendiri.”
d. PP No.20 Tahun 2010 tentang Angkutan di Perairan (Pasal 181 (7)) menyatakan : “Jika
dapat membuktikan bahwa kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, huruf
c, dan huruf d bukan disebabkan oleh kesalahannya, perusahaan angkutan di perairan dapat
dibebaskan sebagian atau seluruh tanggung jawabnya.”
13
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan apa yang sudah dijelaskan pada isi makalah diatas, maka dapat ditarik
beberapa kesimpulan, antara lain :
14
DAFTAR PUSTAKA
Buku :
Abdul Kadir Muhammad. 1991. Hukum Pengangkutan Darat, Laut, dan Udara. Bandung : Citra Aditya Bakti.
----------------------------. 1998. Hukum Pengangkutan Niaga. Bandung: Citra Aditya Bakti.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1989. Kamus Besar Bahasa Indonesia Jakarta: Balai Pustaka
Djafar Al Bram. 2011. Pengantar Hukum Pengangkutan Laut (Buku I) : Pengertian, Asas-Asas, Hak dan
Kewajiban Para Pihak. Jakarta : Pusat Kajian Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Pancasila.
-
-----------------. 2011. Pengantar Hukum Pengangkutan Laut (Buku II) : Tanggungjawab Pengangkut, Asuransi,
dan Incoterm. Jakarta : Pusat Kajian Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Pancasila.
H.K.Martono dan Eka Budi Tjahjono. 2011, Transportasi di Perairan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 17
Tahun 2008, Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada
Peter Mahmud Marzuki. 2009. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta : Kencana Prenadamedia Group
R.Soekardono. 1981. Hukum Dagang Indonesia Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada
R.Subekti, R. Tjitrosudibio. 2014. Kitab Undang-Undang Hukum Dagang dan Undang-Undang Kepailitan.
Jakarta : Balai Pustaka
Suwardjoko Warpani. 1990. Merencanakan Sistem Pengangkutan. Bandung : ITB
Jurnal :
Sendy Anantyo, dkk., Pengangkutan Melalui Laut, Jurnal Diponegoro Law Review, Vol.1, No.4, (2012). hal. 4
(http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/dlr) diakses pada 29 April 2020.
Website :
15