Makalah Hukum Agraria 2
Makalah Hukum Agraria 2
Makalah Hukum Agraria 2
DISUSUN OLEH:
FARID IBRAHIM 11010116120167
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS DIPONEGORO
KOTA SEMARANG
2019
KATA PENGANTAR
Saya mengucapkan terima kasih kepada semua pihak baik secara langsung
maupun tidak langsung yang telah membantu dan mendukung penyusunan karta tulis
ini hingga selesai. Saya menyadari bahwa Makalah ini jauh dari kata sempurna.
Dengan penuh kerendahan hati, saya mengharapkan kritik dan saran yang
membangun untuk karta tulis ini dan diharapkan dapat menjadi acuan dan
sumbangsih kepada khazanah ilmu pengetahuan. Akhir kata, semoga naskah ini
dapat memenuhi fungsinya.
Penyusun
ii
DAFTAR ISI
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
1
Irawan Soerodjo, 2003, Kepastian Hukum Hak Atas Tanah di Indonesia, Surabaya: Arkola, hlm.
101.
2
Boedi Harsono, 2003, Hukum Agraria Indonesia-Sejarah Pembentukan UndangUndang Pokok
Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Jilid I, Jakarta: Djambatan, hlm. 37.
3
Irawan Soerodjo, op.cit, hlm. 55.
1
kejelasan status terhadap tanah. Keadaan ini juga merupakan salah satu tujuan
UUPA untuk meletakkan dasar atas jaminan kepastian hukum mengenai hak-hak
atas tanah bagi rakyat. Penyelenggaraan pendaftaran tanah tidak terlepas dari
stelsel pendaftaran tanah yang dipakai dalam PP No. 24 Tahun 1997 tentang
Pendaftaran Tanah yang menggunakan stelsel negatif namun mengandung unsur
positif, yaitu stelsel yang dimana pelaksanaan pencatatan dalam pembukuan suatu
hak di dalam daftar buku tanah atas nama subjek hak, tidak mengakibatkan bahwa
subjek hak yang seharusnya berhak atas tanah itu akan kehilangan hak atas
tanahnya. Pelaksanaan kegiatan pendaftaran tanah merupakan kewajiban
pemerintah yang bertujuan memberikan jaminan kepastian hukum guna
melindungi hak-hak pemilik tanah yang juga berfungsi untuk mengetahui status
bidang tanah, siapa pemiliknya, jenis hak, luas tanah, serta penggunaan dan
pemanfaatan tanah tersebut sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 19 Undang-
Undang No.5/1960 tantang Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA).
4
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan Singkat),
(Jakarta: Rajawali Pers, 2001), hlm. 13-14.
5
Sedarmayanti dan Syarifudin Hidayat, Metodologi Penelitian, (Bandung: CV Mandar Maju, 2002),
hlm. 23.
2
mampu menghasilkan hasil kajain yang konprehensi melalui cara pandang hukum
Hukum Agraria.
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penulisan
D. Manfaat Penulisan
3
BAB II
PEMBAHASAN
Secara terminologi pendaftaran tanah berasal dari kata cadastre, suatu istilah
teknis untuk suatu record atau rekaman, menunjukkan kepada luas, nilai, dan
kepemilikan terhadap suatu bidang tanah. Kata ini berasal dari bahasa Latin yaitu
capistratum yang berarti suatu register atau capita atau unit yang diperbuat untuk
pajak tanah Romawi. Cadastre berarti record pada lahan-lahan, atau nilai dari tanah
dan pemegang haknya dan untuk kepentingan perpajakan. Cadastre dapat diartikan
sebagai alat yang tepat untuk memberikan suatu uraian dan identifikasi tersebut dan
sebagai rekaman berkesinambungan dari hak atas tanah.6 Sedangkan menurut
Boedi Harsono pendaftaran tanah adalah suatu rangkaian kegiatan yang dilakukan
oleh Negara/Pemerintah secara terus menerus dan teratur, berupa pengumpulan
keterangan atau data tertentu mengenai tanah-tanah tertentu yang ada di wilayah-
wilayah tertentu, pengolahan, penyimpanan, dan penyajiannya bagi kepentingan
rakyat, dalam rangka memberikan jaminan kepastian hukum di bidang pertanahan,
termasuk penerbitan tanda buktinya dan pemeliharaannya. 7
6
A.P.Parlindungan, Pendaftaran Tanah Di Indonesia (Berdasarkan PP.No24/1997dilengkapi dengan
Peraturan Jabatan Pembuat Akta Tanah PP. 37 Tahun 1998), Cetakan Pertama, (Bandung:
CV.Mandar Maju, 1999), hlm. 18-19.
7
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Op.Cit., hlm.72.
4
(1) Untuk menjamin kepastian hukum, oleh Pemerintah diadakan
pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia, menurut
ketentuan yang diatur dengan peraturan pemerintah.
(2) Pendaftaran tanah tersebut pada ayat (1) meliputi :
a. pengukuran, perpetaan, dan pembukuan tanah;
b. pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut;
c. pemberian surat-surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat
pembuktian yang kuat.
Pada tahun 1960 bangsa kita memasuki suatu babak baru dalam bidang
pertanahan atau agraria, karena pada tahun ini baru pertama kali membuat produk
hukum yang menyangkut perkembangan pertanahan di Indonesia. Tepatnya pada
tanggal 24 September 1960 pemerintah mengesahkan Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA), Lembaran
5
Negara Republik Indonesia (LNRI) Tahun 1960 Nomor 104 dan Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia (TLNRI) No. 2043.8
Pada era ini hukum tanah di Indonesia mengalami perombakan pada saat
diberlakukan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA), sehingga dapat dikatakan
bahwa pada tanggal tersebut muncul pembaharuan hukum tanah yang berlaku di
Indonesia. UUPA mengakhiri berlakunya peraturan-peraturan hukum tanah
kolonial, dan sekaligus mengakhiri dualisme atau pluralisme hukum tanah di
Indonesia, serta menciptakan dasar-dasar bagi pembangunan hukum tanah nasional
yang tunggal berdasarkan hukum adat sebagai hukum nasional Indonesia yang asli.
Akan tetapi ada beberapa penyesuaian dan syarat-syarat khusus tentang pengakuan
dan pemasukan hukum adat dalam UUPA, seperti termaktub dalam Pasal 5 UUPA
dinyatakan bahwa:
“Hukum agraria yang berlaku di atas bumi, air, dan ruang angkasa ialah
hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan
negara, yang didasarkan persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta
dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam undang-undang ini dan
dengan peraturan-peraturan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan
unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama.”
8
Hairan, “Pendaftaran Tanah Dalam Sertipikasi Hak Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 24
Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah”, Makalah disampaikan di Fakultas Hukum Universitas
Mulawarman. Kalimantan Timur, 5 Februari 2012, hlm.2.
6
sebagai Kantor Pendaftaran untuk hak-hak atas tanah.9 Perubahan dari PP Nomor
10 Tahun 1961 dengan PP Nomor 24 Tahun 1997 menjadikan aturan pelaksana dari
UUPA lebih sempurna. Penyempurnaan itu meliputi berbagai hal yang belum jelas
dalam peraturan yang lama (PP Nomor 10 Tahun 1961), antara lain pengertian
pendaftaran tanah itu sendiri, asas-asas dan tujuan penyelenggaraannya, yang
disamping memberi kepastian hukum juga untuk menghimpun dan menyajikan
informasi yang lengkap mengenai data fisik dan data yuridis mengenai bidang tanah
yang bersangkutan.10
Selain itu selama lebih dari 37 tahun, dalam pelaksanaan UUPA pendaftaran
tanah dengan landasan kerja dan landasan hukum Peraturan Pemerintah Nomor 10
tahun 1961 hanya dapat mendaftar sebanyak 16,5 juta bidang tanah (30%) dari
bidang-bidang tanah yang diperkirakan sebanyak 55 juta bidang tanah, sehingga
perlu terobosan baru dalam penyelenggaraan pendaftaran tanah tersebut termasuk
meninjau perangkat hukum-nya. Terlebih lagi akselerasi pembangunan sangat
memerlukan dukungan jaminan kepastian hukum di bidang pertanahan. Oleh
karena Peraturan Pemerintah dinilai tidak memadai lagi dalam mendukung
tercapainya hasil yang lebih nyata dalam memenuhi kebutuhan masyarakat dan
tuntutan pembangunan, maka peraturan tersebut mengalami perlakuan
penyempurnaan, dengan membuat aturan yang lebih lengkap. Untuk itulah
terbitnya revisi Peraturan Pemerintah Nomor 10 tahun 1961 yang dituangkan dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 sangat penting.11
9
Adrian Sutedi, Peralihan Hak Atas Tanah dan Pendaftarannya, Cetakan Pertama, (Jakarta : Sinar
Grafika, 2007), hlm.112.
10
Soedharyo Soimin, Status Hak dan Pembebasan Tanah, Edisi Kedua, (Jakarta : Sinar Grafika,
2004), hlm.161.
11
Mhd.Yamin Lubis & Rahim Lubis, Hukum Pendaftaran Tanah, Edisi Revisi, Cetakan Kedua,
(Bandung : CV.Mandar Maju, 2010)., hlm. 91.
7
ketentuan-ketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah." Sebagai peraturan
pelaksana dari UUPA sejalan pernyataan tersebut tujuan pendaftaran tanah di dalam
PP Nomor 24 Tahun 1997 Pasal 3 dijabarkan lebih luas yaitu :
a. Untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada
pemegang hak atas suatu bidang tanah, satuan rumah susun dan hak-hak
lain yang terdaftar agar dengan mudah dapat membuktikan dirinya sebagai
pemegang hak yang bersangkutan;
b. Untuk menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan
termasuk Pemerintah agar dengan mudah dapat memperoleh data yang
diperlukan dalam mengadakan perbuatan hukum mengenai bidang-bidang
tanah dan satuan-satuan rumah susun yang sudah terdaftar, untuk
terselenggaranya tertib administrasi pertanahan.
12
A.P.Parlindungan, Komentar Atas Undang-Undang Pokok Agraria, Cetakan Kesembilan,
(Bandung : Mandar Maju, 2002), hlm.112.
13
Boedi Harsono, op.cit, hlm. 72.
8
D. Azas-Azas Pendaftaran Tanah
14
Urip Santoso, Pendaftaran dan Peralihan Hak Atas Tanah, Cetakan Kedua, (Jakarta : Kencana
Prenada Media Group, 2011), hlm.17-18.
9
E. Sistem Pendaftaran Tanah
Sistem pendaftaran tanah dikenal ada 2 macam yaitu sistem pendaftaran tanah
negatif dan sistem pendaftaran tanah positif. Hal ini dapat dijabarkan sebagai
berikut:15
1. Sistem pendaftaran tanah negatif adalah : sistem pendaftaran tanah dimana
surat tanda bukti hak yang diberikan kepada seseorang adalah berlaku sebagai
tanda bukti hak atas tanah yang mutlak. Artinya terdaftarnya seseorang dalam
daftar buku tanah itu tidak dapat dibantah lagi, meskipun ternyata bukan
pemegang hak yang berhak atas tanah tersebut.
2. Sistem pendaftaran tanah positif adalah : sistem pendaftaran tanah dimana
segala apa yang tercantum di dalam sertifikat tanah atas nama seseorang
dianggap benar sampai dapat dibuktikan dalam suatu keadaan yang
sebaliknya, artinya seseorang yang telah terdaftar dalam daftar buku tanah
masih dapat dibantah jika yang terdaftar bukan pemegang hak atas tanah yang
sebenarnya.
Di dalam UUPA obyek pendaftaran tanah atau dikenal dengan hak-hak atas
tanah menurut ketentuan yang ditetapkan UUPA Pasal 16 terdiri dari :
a. Hak milik,
b. Hak guna-usaha,
15
Effendi Perangin, Hukum Agraria Di Indonesia Suatu Telaah Dari Sudut. Pandang Praktisi
Hukum, Rajawali Pers, Jakarta: 1994, hlm. 83.
10
c. Hak guna-bangunan,
d. Hak sewa,
e. Hak membuka tanah,
f. Hak memungut-hasil hutan,
g. Hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut di atas yang
akan ditetapkan dengan Undang-Undang serta hak-hak yang sifatnya
sementara sebagai yang disebutkan dalam Pasal 53.
UUPA dan PP No. 10/1961 telah menetapkan dua kewajiban yang harus
dilaksanakan. Pertama, Kewajiban bagi pemerintah untuk melaksanakan
pendaftaran tanah untuk seluruh wilayah Indonesia. Kewajiban yang dibebaskan
kepundak pemerintah adalah meliputi kegiatan: a) Pengukuran, perpetaan, dan
pembukuan tanah; b) Pendaftaran hak atas tanah dan peralihan hak tersebut; dan c)
Pemberian surat-surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang
kuat. Kedua, kewajiban bagi pemegang hak untuk mendaftarkan hak-hak atas tanah
tertentu yang dimilikinya. Menurut Pasal 23, 32, dan 38 hak yang wajib didaftarkan
itu adalah hak milik, hak guna usaha, dan hak guna bangunan akan tetapi dengan
Peraturan Menteri Agraria No. 1/1977 diperluas pula dengan hak pakai dan hak
pengelolaan.17
16
Linda M. Sahono, “Penerbitan Sertipikat Hak Atas Tanah Dan Implikasi Hukumnya”, Jurnal
Perspektif, Edisi No.2, Vol.17, (2012), hlm.92.
17
Limbong, Bernhard. 2014. Politik Pertanahan. Jakarta: Margaretha Pustaka, hlm 398-340.
11
Dengan pendaftaran tanah maka pemerintah terlebih dahulu harus
mengadakan pengukuran secara menyeluruh kemudian mengadakan pemetaan
yang lengkap dan membukakan tanah yang ada dikawasan Nusantara ini. Bilamana
sudah diadakan pengukuran dan sebagainya tersebut diatas maka barulah dapat
diadakan pendaftaran hak-hak atas tanah dalam artian hak-hak apa saja yang ada
diatas tanah yang telah diukur dan siapa pemegang haknya terhadap suatu kavling
tanah harus dapat ditentukan dengan pasti, untuk keperluan tersebut sudah tentu
harus didahului dengan penelitian seksama terhadap tanah yang bersangkutan kalau
semuanya ini sudah dapat ditegaskan barulah dapat diberikan tanda bukti hak untuk
penegasan bagi pemegang hak tersebut sehingga ia mempunyai suatu kepastian
hukum dan kepastian hak atas tanah.18
Apa yang digambarkan dengan pendaftaran yang dimaksud adalah suatu “das
sollen” dan memang demikianlah idealnya suatu pendaftaran tanah yang
diharapkan dapat memberikan kepastian hukum sebagimana yang dimaksudkan
oleh UUPA. Kemudian dengan pendaftaran hak atas tanah yang sekarang
diwajibkan kepada setiap pemegang hak, ketentuan perundangan yang berlaku
sudah mengatur lebih jauh dan malah sulit untuk dijangkau oleh masyarakat karena
penentuan tersebut kurang memperhatikan realita sosial dalam masyarakat
Indonesia. Pendaftaran hak atas tanah menjadi suatu kewajiban pada masa sekarang
memang masih sulit untuk dilaksanakan mengingat tingkat kesadaran masyarakat
yang masih rendah dan juga kelemahan dari pemerintah yang kadang justru
mempersulit masyarakat yang ingin mendaftarkan tanahnya sendiri baik dari segi
biaya mapun administratif.19
18
Ibid.
19
Ibid.
12
kepastian hukum dan kepastian hak atas tanah bagi seluruh rakyat Indonesia.
Sehubungan dengan ini maka diperlukan adanya suatu landasan hukum yang
mantap dan terarah untuk mendukung program pendaftaran tanah yang menyeluruh
yang merupakan salah satu kewajiban yang harus oleh pemerintah. Guna
keberhasilan program dimaksud pertama diperlukan adanya suatu rencana yang
matang dan komitmen yang pasti dari pemerintah yang lebih diarahkan pada
pengembangan program dimaksud disamping perlunya perlengkapan sarana baik
berupa sarana fisik, personil, organisatoris, financial dan berbagai peralatan yang
dihasilkan oleh perkembangan ilmu dan teknologi modern yang dapat
memungkinkan terlaksanakannya program-program tanah sebagaimana yang
dimaksud.20
20
Ibid.
21
Ibid.
13
terutama desa tingkat ekonomi lemah, apalagi masyarakat di pedesaan kurang
begitu mengerti bagaimana pendaftaran tanah dan pentingnya pendaftaran tanah
serta perlu juga diharapkan kesadaran hukum bagi pemerintah atau lembaga yang
mengurus pertanahan di Indonesia untuk membantu masyarakat dalam persoalan
pendaftaran tanah ini dengan sebaik-baiknya dengan tidak mempersulit baik dari
segi biaya dan administratif.22
Keterangan:
- Berdasarkan tata cara pada layanan pendaftaran tanah pertama kali di Badan Pertanahan
Negera (BPN) pemohon harus mendatangi loket pelayanan di Kantor BPN sesuai demosili
tanah.
- Setelah berkas dokumen diterima dan diperiksa petugas, kemudian pemohon masuk ke loket
pembayaran biaya pengukuran pemeriksaan tanah dan pendaftaran hak.
- Tahap selanjutnya dalam proses layanan pengukuran dan pemeriksaan tanah pemohon harus
hadir. Setelah seselai pengukuran, selanjutnya pemohon menunggu pengumuman.
- Setelah selesai pembukuan hak dan penerbitan sertifikat, petugas akan menyerahkan kepada
pemohon.
22
Ibid.
14
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
15
memperoleh data yang diperlukan dalam mengadakan perbuatan
hukum mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun
yang sudah terdaftar.
c. Untuk terselenggaranya tertib administrasi pertanahan.
4. Objek pendaftaran tanah adalah tanah. Sedangkan untuk jenis-jenis bidang
tanah yang didaftar adalah bidang-bidang tanah:
a. Tanah hak, yang terdiri dari: Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna
Bangunan, Hak Pakai yang diberikan oleh Negara, dan Hak
Tanggungan
b. Tanah Negara; pendaftarannya dilakukan dengan cara membukukan
bidang tanah yang merupakan tanah Negara dalam bentuk tanah
c. Tanah hak pengelolaan
d. Tanah wakaf
e. Hak milik atas satuan rumah susun.
5. Sistem pendaftaran tanah yang digunakan adalah sistem pendaftaran hak
(registration of title) sebagaimana yang digunakan dalam penyelenggaraan
pendaftaran tanah menurut PP 10/1961.
6. UUPA dan PP No. 10/1961 telah menetapkan dua kewajiban yang harus
dilaksanakan. Pertama, Kewajiban bagi pemerintah untuk melaksanakan
pendaftaran tanah untuk seluruh wilayah Indonesia. Kedua, kewajiban bagi
pemegang hak untuk mendaftarkan hak-hak atas tanah tertentu yang
dimilikinya.
B. Saran
16
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
A.P.Parlindungan. Komentar Atas Undang-Undang Pokok Agraria. Cetakan
Kesembilan. (Bandung: Mandar Maju. 2002).
A.P.Parlindungan. Pendaftaran Tanah Di Indonesia (Berdasarkan
PP.No24/1997dilengkapi dengan Peraturan Jabatan Pembuat Akta Tanah
PP. 37 Tahun 1998). Cetakan Pertama. (Bandung: CV.Mandar Maju. 1999).
Adrian Sutedi. Peralihan Hak Atas Tanah dan Pendaftarannya. Cetakan Pertama.
(Jakarta: Sinar Grafika. 2007).
Boedi Harsono. 2003. Hukum Agraria Indonesia-Sejarah Pembentukan
UndangUndang Pokok Agraria. Isi dan Pelaksanaannya. Jilid I. Jakarta:
Djambatan.
Effendi Perangin. Hukum Agraria Di Indonesia Suatu Telaah Dari Sudut. Pandang
Praktisi Hukum. Rajawali Pers. Jakarta: 1994.
Hairan. “Pendaftaran Tanah Dalam Sertipikasi Hak Menurut Peraturan Pemerintah
Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah”. Makalah disampaikan
di Fakultas Hukum Universitas Mulawarman. Kalimantan Timur. 5 Februari
2012.
Irawan Soerodjo. 2003. Kepastian Hukum Hak Atas Tanah di Indonesia. Surabaya:
Arkola.
Limbong. Bernhard. 2014. Politik Pertanahan. Jakarta: Margaretha Pustaka.
Mhd.Yamin Lubis & Rahim Lubis. Hukum Pendaftaran Tanah. Edisi Revisi.
Cetakan Kedua. (Bandung: CV.Mandar Maju. 2010).
Sedarmayanti dan Syarifudin Hidayat. Metodologi Penelitian. (Bandung: CV
Mandar Maju. 2002).
Soedharyo Soimin. Status Hak dan Pembebasan Tanah. Edisi Kedua. (Jakarta :
Sinar Grafika. 2004).
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan
Singkat). (Jakarta: Rajawali Pers. 2001).
Urip Santoso. Pendaftaran dan Peralihan Hak Atas Tanah. Cetakan Kedua. (Jakarta:
Kencana Prenada Media Group. 2011).
Jurnal/Makalah/Artikel:
Linda M. Sahono, “Penerbitan Sertipikat Hak Atas Tanah Dan Implikasi
Hukumnya”, Jurnal Perspektif, Edisi No.2, Vol.17, (2012), hlm.92.