Nabia Abbot (Kelompok 2)
Nabia Abbot (Kelompok 2)
Nabia Abbot (Kelompok 2)
Disusun Oleh:
Kelompok 2
FAKULTAS USHULUDDIN
JAKARTA
2020
A. Pendahuluan
Studi hadis di kalangan Sarjana Barat berbeda secara fundamental dibandingkan
studi hadis seperti di kalangan Sarjana Timur Tengah dan Indonesia. Studi hadis di
kalangan Sarjana Timur Tengah dan Indonesia menekankan pada bagaimana melakukan
takhrij al-hadis untuk menentukan otentisitasnya, sedangkan studi hadis di kalangan
Sarjana Barat menekankan bagaimana melakukan dating (penanggalan) hadis untuk
menaksir historisitasnya dan bagaimana melakukan rekonstruksi sejarah terhadap
peristiwa yang diduga terjadi pada masa awal Islam. Terlepas dari kesimpulan sarjana
Barat terhadap kualitas hadis yang sering dipandang kurang simpatik bagi sebagian orang
Islam, mempelajari metodologi mereka sangatlah bermanfaat jika dilihat dari perspektif
akademis. Karena, disamping mempelajari tentang studi keislaman, mereka juga
mengkritisi berbagai kekurangan dalam studi tersebut, sehingga dapat membuka wacana
kita untuk berupaya lebih baik lagi.1
Pada abad 19, berbagai permasalahan seputar keotentikan dan legalitas hadis
mulai muncul, termasuk di kalangan orientalis. Hal tersebut menjadi central object dalam
studi Islam, terutama yang berkaitan dengan hukum Islam. Banyak dari mereka
mempertanyakan perihal status hadis, hal tersebut disebabkan karena sebagaimana yang
diketahui bahwa proses kodifikasi hadis dilakukan pada waktu yang cukup lama dari
peristiwa periwayatannya. Konsekuensi dari hal tersebut kemudian adalah munculnya
sikap skeptis (keraguan) mereka terhadap adanya hadis, yang menurut mereka terdapat
adanya perubahan seting sosio-kultural saat ini dengan kondisi ideal saat Nabi masih
hidup. Untuk itu, mereka melakukan beberapa metode untuk membuktikan keotentikan
hadis, diantaranya dengan menelusuri dan meneliti perkembangan literatur hadis, sebagai
media untuk mengetahui adanya proses transmisi hadis secara tertulis sejak masa Nabi,
sebagaimana halnya yang telah dilakukan oleh Nabia Abbott.2
Dalam tataran objektif, jika kita mengkaji ulang tulisan-tulisan kaum orientalis,
ternyata kita juga dapat menyimpulkan bahwa karya-karya mereka tidak bisa diremehkan
begitu saja dalam pengembangan studi Islam dan kebudayaan. Dengan metode ilmiah
yang diterapkan dalam penyusunan kamus dan ensiklopedi, mereka telah memberikan
1
Lutfhi Nur Afidah, Otentisitas Hadis Perspektif Nabia Abbot, 2008, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta hlm 1-2
2
Lutfhi Nur Afidah, Otentisitas Hadis Perspektif Nabia Abbot, 2008, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta hlm 2-3
andil besar dalam memperkaya kepustakaan Islam dengan berbagai karya di bidang
disiplin ilmu yang berbeda, yang salah satunya adalah hadis Nabi saw.3
Sebagai bukti kongkret dari hasil kajian para orientalis dalam bidang hadis atau
yang terkait dengannya, dapat terlihat dari banyaknya orientalis dan karya tulis mereka.
Antara abad ke-19 dan 20 nama-nama orientalis yang muncul lewat tulisan-tulisannya
dalam bidang hadis jumlahnya relatif cukup banyak. Diantara para orientalis atau sarjana
Barat yang berkecimpung dalam kajian hadis salah satunya adalah Nabia Abbot.4
Menurut Herbert Berg, Nabia Abbott merupakan seorang orientalis yang non-
skeptis. Dia seorang ahli ketimuran khusunya di bidang manuskrip-manuskrip Timur
Tengah. Dia beragumen untuk menjawab keraguan para skeptism terhadap keotentikan
hadis. Berbeda dengan Ignaz Goldizer yang menyatakan bahwa fenomena kitab hadis
yang muncul pada abad ketiga hijriyyah disebabkan pertumbuhan pada matannya yang
kemudian sebagai pintu awal munculnya pemalsuan hadis, Nabia Abbott menyatakan
bahwa fenomena tersebut karena pertumbuhan isnad yang berlipat ganda. Nabia Abbott
dalam hal ini menggunakan metode geometri untuk menjelaskan fenomena tersebut.
5
Lutfhi Nur Afidah, Otentisitas Hadis Perspektif Nabia Abbot, 2008, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta hlm 59
para sahabat seperti Abu Bakar dan Umar ibn Khattab, yang sekaligus memiliki
kedudukan tertinggi dalam pemerintahan khilafiyah.
Sementara itu, dilihat dari segi fungsi dan kedudukannya, Nabia
berpandangan bahwa sunnah secara spesifik yaitu lebih diartikan hanya sebagai
sebuah praktik hukum atau legalitas terhadap suatu bidang, dibanding sebagai
jawaban atau solusi beberapa aktifitas kehidupan. Sebagaimana pemaparan
beliau;
”...The term sunnah, which frequently alternates with the plural sunan, is not
limited to the example or conduct of Muhammad but applies also to at least the
caliphs Abu Bakar and Umar I and to a number of outstanding men who held
high office under these three heads of state. The sunnan is question refer not to
general activities in any phase of life whatsoever but to spesific fields of
administrative and legal practices.
“Definisi sunnah yang dalam bentuk jama’nya sunan, tidaklah hanya sebatas
tentang contoh atau perilaku Nabi Muhammad saja, namun juga digunakan
untuk khalifah Abu Bakar dan Umar I dan untuk sejumlah tokoh terkemuka yang
duduk di pemerintahan. Sunnah bukan hanya merupakan solusi dari beragam
aktifitas dalam kehidupan, namun secara spesifik merupakan bagian dari bidang
administrasi dan sebuah praktek hukum.”
Dari pemaparan Nabia diatas, tergambar bahwa pada dasarnya Nabia
mengakui keberadaan hadis sebagai sumber hukum. Yang menjadi permasalahan
kemudian adalah ketika beliau meragukan keotentikan dokumen-dokumen hadis
yang bermunculan. Namun pada akhirnya, hal tersebut terjawab dengan hasil
penelitian beliau sendiri tentang keberadaan dan keotentikan dokumen-dokumen
hadis yang sebagian besar menurut beliau muncul pada abad kedua dan ketiga
Hijriah.6
6
Lutfhi Nur Afidah, Otentisitas Hadis Perspektif Nabia Abbot, 2008, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta hlm 60-61
Nabia mengakui keberadaan hadis, bahkan ketika Nabi Muhammad saw.
masih hidup. Nabia menuturkan bahwa sebenarnya keberadaan hadis sudah ditulis
ketika Nabi Muhammad saw. masih hidup, meskipun diakui oleh Nabia bahwa
penulisan tersebut masih bersifat non massif. Kala itu hadis lebih cepat
berkembang melalui sistem oral (penyampaian hadis dari lisan ke lisan),
meskipun hal demikian tidak menafikan bahwa ada beberapa sahabat yang sudah
mendokumentasikannya melalui tulisan. Kegiatan periwayatan ini terus berlanjut
bahkan sampai Nabi Muhammad saw. wafat. Hadis tumbuh dan menyebar di
berbagai kalangan, sehingga alur perkembangan Islam beserta kebudayaannya
dapat dilacak melalui jalur hadis. Antusiasme para sahabat dalam menulis dan
meriwayatkan hadis sangatlah tinggi. Sikap antusiasme tersebut terus berlangsung
di kalangan sahabat meskipun Nabi Muhammad saw. sudah wafat, sampai
kemudian ‘Umar I (‘Umar bin al Khattab) memberikan ultimatum dengan
memberikan sangsi dan hukuman yang berat kepada siapa saja yang berusaha
menulis atau mengumpulkan hadis. Alasan ‘Umar I memberikan ultimatum
tersebut karena adanya kekhawatiran yang timbul ketika semangat gerakan
penulisan hadis dikalangan para sahabat disejajarkan dengan gerakan penulisan al
Qur’an. Oleh sebab itu, agar perhatian para sahabat terhadap al Qur’an tidak
terganggu, apalagi keberadaan al Qur’an kala itu masih belum familiar khususnya
di daerah-daerah yang baru ditaklukan oleh pasukan Islam. Dan lagi, belum
distandarkan penulisan dan penyusunan al-Qur’an menjadi mushaf yang utuh
menjadi bagian dari pertimbangan ‘Umar memberikan larangan untuk menuliskan
hadis.
Bagi Nabia, hadis telah ditulis bahkan Nabi Muhammad saw. masih
hidup. Kala itu laju pertumbuhan hadis berkembang melalui oral dan penulisan,
kegiatan ini terus berlangsung sampai Nabi wafat. Pada masa berikutnya, kegiatan
penulisan hadis pada masa sahabat terjadi secara parsial. Beberapa sahabat
mendukung upaya penulisan hadis sebagai bentuk pelestarian hadis dan beberapa
sahabat mencegah diri dari penulisan hadis khawatir akan disalahgunakan oleh
orang-orang setelahnya. Sehingga pada masa kepemimpinan sahabat besar telah
terjadi taqlil al riwayah juga dikenal pula istilah al tathabbut fi al riwayah.
Meskipun penulisan hadis pada masa itu terjadi secara parsial, namun
bentuk usaha para sahabat dalam mengumpulkan, merekam dan meriwayatkan
hadis dilakukan dengan sangat berhati-hati. Hal tersebut berlangsung tidak hanya
ketika mereka meriwayatkan hadis dari Muhammad secara langsung, namun juga
ketika mereka meriwayatkan hadis dari keluarga Muhammad atau dari para
sahabat yang dekat dengan Nabi Muhammad saw., seperti Anas bin Malik,
‘Abdullah bin ‘Amr bin ‘As, Ibnu ‘Abbas dan Abu Hurairah.
Pernyataan Nabia tersebut sebagai bukti bahwa hadis sebenarnya telah
muncul dan berkembang pada awal Hijriyah, bahkan ketika Rasulullah masih
Hidup. Banyak para sahabat yang terlibat di dalamnya. Semangat penulisan dan
dokumentasi hadis tidak terhenti begitu saja ketika masa sahabat telah berakhir.
Semangat itu diwariskan oleh para sahabat kepada generasi berikutnya, yaitu
tabi’in. Rentetan periwayatan hadis yang bersambung semenjak generasi pertama
sampai generasi mukharrij hadis menjadi bukti dan penguat bahwa keaslian hadis
bisa dibuktikan dan dibenarkan keberadaannya. Inilah yang dipercayai oleh Nabia
dan dianggapnya sebagai sebuah kebenaran yang sesuai dengan bukti yang ada.
c. Pemikiran tentang Isnad: Explosive Isnad, Isnad Family dan Isnad Non
Family
Dalam pembahasan isnad, Nabia memiliki teori yang mendukung
kebenaran jalur periwayatan (sanad). Teori tersebut dikemukakannya dengan
istilah explosive isnad, isnad family dan non family. Maksud dari teori explosive
isnad yang terdapat dalam salah satu penelitian Nabia Abbott yang berjudul
Studies in Arabic Literary Papyri II: Qur’anic Commentary And Tradition yang
diterbitkan oleh The University of Chicago Press, Nabia menyatakan bahwa
terdapat satu sampai dua ribu nama sahabat dan tabi’in yang telah terlibat
periwayatan hadis, dimana masing-masing dari mereka meriwayatkan rata-rata
dua sampai lima hadis. Hal tersebut mampu menunjukkan kepada kita perkiraan
jumlah hadis yang dibukukan pada abad ketiga Hijriyah. Nabia menyadari bahwa
keberadaan jalur isnad telah melibatkan sekian banyak orang dalam periwayatan
hadis sehingga menghasilkan suatu explosive isnad (meledaknya isnad) karena
banyaknya orang yang terlibat dalam periwayatan hadis dan jumlahnya akan
selalu bertambah banyak di setiap masing-masing thabaqat (generasi).
Nabia Abbot berasumsi bahwa rata-rata para sahabat meriwayatkan satu
Hadis kepada dua tabi'in, dan kemudian masing-masing tabi'in tersebut
meriwayatkan kepada dua generasi berikutnya (tabi' al tabi'in), dan rangkaian
periwayatan tersebut akan terus berlanjut sampai 4 atau bahkan 8 generasi di
bawahnya. Nabia mencontohkan ini dengan periwayatan hadis pada masa Al
Zuhri yang terus berlanjut dan berkesinambungan sampai pada masa Ahmad Ibnu
Hanbal dengan menggunakan perhitungan deret geometri.7
Selain teori explosive isnad, dikenal juga teori isnad family dan non
family. Term family dalam pembahasan ini adalah hubungan yang mencakup
antara anggota keluarga dan teman karib (mawali), yang biasanya disusun dengan
formula so-and-so (periwayatan hadis yang bersumber dari ayahnya dan dari
kakeknya). Formula so-and-so ini yang biasanya sering terjadi dalam periwayatan
Isnad family. Hal ini bisa diartikan bahwa ahli hadis menyampaikan hadisnya
kepada orang tertentu yang memiliki hubungan darah dengannya, atau kepada
kerabat dekatnya, seperti Nafi’ yang merupakan teman karib (mawali) dari
Ibn‘Umar dan Muhammad Ibn Sirrin yang merupakan teman karib (mawali) dari
Anas bin Malik.
Menurut Nabia, periwayatan isnad family dimulai dari masa para sahabat
yang terkenal dan kemudian dilanjutkan sampai tiga generasi setelahnya secara
berturut-turut, seperti seorang ayah yang melanjutkan periwayatan hadisnya
kepada anaknya dan begitu seterusnya sampai kepada generasi dibawahnya lagi,
atau terkadang jalur isnad family melompati satu generasi dibawahnya, seperti
seorang kakek yang memiliki seorang cucu yang sangat antusias mengikuti jejak
langkahnya dalam meriwayatkan hadis, atau terkadang jalur tersebut
bersebarangan dalam mata rantai keluarga ketika keponakan laki-laki
berkeinginan untuk ikut andil dalam meriwayatkan hadis (mawali).
Keberadaan isnad family diakui oleh Nabia seringkali terjadi dalam
periwayatan hadis, meskipun tidak berarti bahwa isnad family kemudian menjadi
7
Idri, Hadis dan Orientalis Perspektif Ulama Hadis dan Para Orientalis tentang Hadis Nabi, 2017, Depok:
Kencana, hlm 229
periwayatan hadis yang dominan. Kata family dalam istilah yang diungkapkan
oleh Nabia melibatkan anggota keluarga dan orang-orang terdekat saja. Maka
secara garis besar, yang dimaksud dengan Isnad Family adalah periwayatan yang
melibatkan hanya anggota keluarga dan orang-orang terdekat saja (mawali). jika
kemudian periwayatan tersebut tidak melibatkan anggota keluarga dan orang-
orang terdekat (mawali) maka periwayatan tersebut diistilahkan oleh Nabia
dengan periwayatan non family. Dalam dunia periwayatan hadis, seseorang yang
hendak mencari dan mengumpulkan hadis biasanya melakukan rihlah
(perjalanan) ke berbagai negara untuk menemui periwayat Hadis dengan harapan
agar mendapatkan hadis darinya. Contoh periwayatan seperti inilah yang disebut
dengan Isnad non family karena periwayatan tersebut didapatkan seorang murid
dari seorang periwayat Hadis yang di antara keduanya kemungkinan belum
pernah bertemu dan belum saling mengenal. Tentu, keduanya belum memiliki
kedekatan khusus apalagi sampai memiliki hubungan darah (family).
Ada beberapa catatan berkaitan dengan teori yang dikemukakan oleh
Nabia Abbot, sebagai berikut:
1. Berhubung teori yang dikemukakan oleh Nabia Abbot baik tentang
eksplosive isnad maupun isnad family dan non family tidak bertentangan
dengan teori yang dikemukakan oleh ulama hadis, maka berdasarkan
kaidah-kaidah dalam ilmu Hadis, teori tersebut dapat diterima.
2. Teori eksplosive isnad benar untuk hadis tertentu terutama hadis yang
secara konsisten diriwayatkan dalam jumlah yang semakin banyak,
sehingga bisa diukur dengan hitung deret geometri. Untuk hadis-hadis
yang parsial, teori eksplosive isnad tidak berlaku.
3. Tampaknya melalui teori isnad family, Nabia tidak mengklaim
keautentikan hadis dalam arti bahwa isnad family dapat dijadikan sebagai
kriteria kesahihan suatu hadis. Hal ini sejalan dengan ulama hadis yang
tidak pernah menyebutkan bahwa hadis yang diriwayatkan dalam satu
keluarga pasti sahih, sehingga mereka tidak memasukkannya sebagai salah
satu kriteria hadis shahih. Dengan kata lain, hadits dengan isnad family
bisa saja sahih, hasan, dhaif bahkan maudhu (palsu).
4. Pendapat Nabia berseberangan dengan Joseph Schacht yang mengklaim
bahwa kebanyakan hadis yang diriwayatkan dengan sanad keluarga
berkualitas palsu. Karena itu, pernyataan Nabia Abbot sebagai tanggapan
terhadap kecurigaan sebagian orientalis seperti Joseph Schacht yang
meragukan hadis-hadis yang diriwayatkan melalui satu jalur keluarga,
sebagaimana pernyataannya bahwa isnad-isnad keluarga adalah palsu,
demikian pula materi yang disampaikan didalam isnad-isnad itu.8
8
Idri, Hadis dan Orientalis Perspektif Ulama Hadis dan Para Orientalis tentang Hadis Nabi, 2017, Depok:
Kencana, hlm 32-33
9
Digilib.uinsby.ac.id (jurnal), hlm 65-66
disadari pula bahwa dengan adanya modal periwayatan seperti itu akan membawa
konsekuensi terjadinya pemalsuan hadits. Karena kualitas periwayatan suatu periwayatan
tidak dapat disamakan dengan periwayat lainnya. Beberapa contoh isnad family yang
meragukan adalah Ma'mar bin Muhammad dan periwayatannya dari ayahnya, Isa bin
'Abd Allah dari ayahnya.10
Diantara hal yang membedakan penelitian Nabia dengan beberapa pendahulunya
adalah, dari beberapa pemikiran beliau yang lebih bersikap objektif dan tidak mengekor
semata, meskipun beliau secara signifikan berkaitan dengan beberapa pemikiran
pendahulunya yaitu Goldziher dan Schacht. Sebagaimana diketahui, bahwa mayoritas
Sarjana Barat (orientalis) dalam mengkaji ilmu keislaman cenderung bersikap negatif
bahkan tidak jarang melecehkan Islam. Berbeda dengan Nabia, yang justru melakukan
suatu kajian yang sejalan dengan pemikiran sarjana muslim sebagai contoh seperti M.
Mustafa Azami, tentang adanya penulisan hadis pada awal periode Islam, yaitu pada
masa Nabi yang mana sebelumnya diyakini oleh para orientalis sebelum Nabia, sebagai
hal yang mustahil.
Studi keotentikan hadis yang dilakukan oleh Nabia ini, membawa implikasi bagi
perkembangan studi hadis yaitu dengan bermunculannya para ahli hadis yang termotivasi
untuk melakukan kajian yang sama dan lebih komprehensif, khususnya di kalangan
sarjana hadis Muslim, diantaranya seperti; Muhammad Zubayr Siddiqi, Muhammad
Hamidullah, Mustafa as Siba’i, Muhammad Ajjaj Al-Khatib dan Muhammad Mustafa
Azami. Mereka berupaya membuktikan keotentikan hadis dengan menemukan sekaligus
meneliti beberapa dokumen yang ditemukan pada awal periode Islam.11
F. Kesimpulan
Dari beberapa penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa Nabia Abbot adalah
seorang orientalis wanita yang menaruh perhatiannya dalam kajian hadis dan
pembahasannya sangat komprehensif. Konsep dasar yang dilakukan Nabia Abbot dalam
pengkajian Hadis yaitu awalnya dengan menguji sumber-sumber hadis yang ada pada
sahabat-sahabat yang mengoleksi hadits dengan merujuk dan meneliti langsung kepada
10
Lutfhi Nur Afidah, Otentisitas Hadis Perspektif Nabia Abbot, 2008, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta hlm 72
11
Lutfhi Nur Afidah, Otentisitas Hadis Perspektif Nabia Abbot, 2008, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta hlm 117
referensi-referensi klasik yang ada. Dengan demikian, Nabia Abbot memberikan
pemahaman bahwa hadis merupakan sumber hukum Islam yang kegiatan tulis-menulis
hadis dan periwayatan secara tertulis maupun lisan telah berjalan beriringan sejak awal
Nabi Muhammad SAW. masih hidup yang dalam kenyataannya menepis anggapan
orientalis lain yang bersikap skeptis terhadap hadis.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Isnaeni, Pergumulan Pemikiran Hadis di Barat, 2013, Jurnal IAIN Raden Intan
Lampung
Badri Khaeruman, OTENTISITAS HADIS studi kritis atas kajian Hadis Kontemporer,
2004, Remaja Rosdakarya, Bandung
Digilib.uinsby.ac.id, Jurnal UIN Sunan Ampel Surabaya
Hamzah Harun Al Rasyid & Abd. Rauf Amin, Melacak Akar Isu Kontektualisasi Hadis
Dalam Tradisi Nabi & Sahabat, 2018, Bantul: Lembaga Ladang Kata
Https://tahdits.wordpress.com/2013/03/04/nabia-abbott/
Idri, Hadis dan Orientalis Perspektif Ulama Hadis dan Para Orientalis tentang Hadis
Nabi, 2017, Depok: Kencana
Lutfhi Nur Afidah, Otentisitas Hadis Perspektif Nabia Abbot, 2008, Skripsi UIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta
Shinta Sodikin, Pemikiran Hadis Nabia Abbot, Jurnal Academia.edu