LP Cedera Kepala
LP Cedera Kepala
LP Cedera Kepala
OLEH :
2020
LAPORAN PENDAHULUAN
Durameter
Durameter secara konvensional terdiri dari dua lapisan yaitu lapisan
endosteal dan lapisan meningeal. Durameter merupakan suatu selaput
yang keras, terdiri atas jaringan ikat fibrosa yang melekat erat pada
permukaan dalam dari kranium. Karena durameter tidak melekat pada
selaput arachnoid di bawahnya, maka terdapat suatu ruang potensial
(ruang subdura) yang terletak antara dura mater dan arachnoid, dimana
sering dijumpai perdarahan subdural. Pada kejadian cedera otak,
pembuluh-pembuluh vena yang berjalan pada permukaan otak menuju
sinus sagitalis superior di garis tengah atau disebut Bridging Veins, dapat
mengalami robekan dan menyebabkan perdarahan subdural. Sinus
sagitalis superior mengalirkan darah vena menuju ke sinus transversus
dan sinus sigmoideus. Laserasi dari sinus-sinus ini dapat mengakibatkan
perdarahan hebat. Arteri-arteri meningen terletak antara durameter dan
permukaan dalam dari kranium (ruang epidural).Adanya fraktur dari
tulang kepala dapat menyebabkan laserasi pada arteri-arteri ini dan
menyebabkan perdarahan epidural. Yang paling sering terjadi cedera
adalah arteri meningen media yang terletak pada fosa temporalis (fosa
media).
Selaput Arakhnoid
Selaput arakhnoid adalah lapisan tipis dan tembus pandang. Selaput
arakhnoid berada di antara piamater sebelah dalam dan dura mater
sebelah luar yang meliputi otak. Selaput arachnoid dipisahkan dari dura
mater oleh ruang potensial, disebut spatium subdural dan dari pia mater
oleh spatium subarakhnoid yang terisi oleh liquor serebrospinalis.
Perdarahan sub arakhnoid umumnya disebabkan akibat cedera kepala.
Pia mater
Pia mater melekat erat pada permukaan korteks serebri. Piamater
merupakan membran vaskular yang dengan erat membungkus otak,
meliputi gyri dan masuk kedalam sulci yang paling dalam.Membrana ini
membungkus saraf otak dan menyatu dengan epineuriumnya. Arteri-arteri
yang masuk kedalam substansi otak juga diliputi oleh pia mater.
d. Jaringan otak
Otak merupakan struktur gelatin yang mana berat pada orang dewasa
sekitar 14 kg. Otak terdiri atas beberapa bagian diantaranya; Proensefalon
(otak depan) terdiri dari serebrum dan diensefalon, mesensefalon (otak
tengah) dan rhombensefalon (otak belakang) terdiri dari pons, medula
oblongata dan serebellum. Fisura membagi otak menjadi beberapa lobus.
Lobus frontal adalah yang berkaitan dengan fungsi emosi, fungsi motorik
dan pusat ekspresi bicara.Lobus parietal berhubungan dengan fungsi
sensorik dan orientasi ruang.Lobus temporal mengatur fungsi memori
tertentu. Lobus oksipital bertanggungjawab dalam proses penglihatan.
Mesensefalon dan pons bagian atas berisi sistem aktivasi retikular yang
berfungsi dalam kesadaran dan kewapadaan. Pada medula oblongata
terdapat pusat kardiorespiratorik. Serebellum bertanggung jawab dalam
fungsi koordinasi dan keseimbangan.
e. Cairan cerebrospinal
Cairan serebrospinal (CSS) merupakan cairan yang dihasilkan oleh plexus
khoroideus dengan kecepatan produksi sebanyak 20 ml/jam. Cairan
serebrospinal mengalir dari ventrikel lateral melalui foramen monro
menuju ventrikel III, akuaduktus dari sylvius menuju ventrikel IV. Cairan
serebropinal akan direabsorbsi ke dalam sirkulasi vena melalui granulasio
arakhnoid yang terdapat pada sinus sagitalis superior. Adanya darah
dalam Cairan serebrospinal dapat menyumbat granulasio arakhnoid
sehingga mengganggu penyerapan CSS dan menyebabkan kenaikan
takanan intrakranial.Angka rata-rata pada kelompok populasi dewasa
volume CSS sekitar 150 ml dan dihasilkan sekitar 500 ml CSS per hari.
f. Kompartmen vaskuler
Tentorium
Tentorium serebeli membagi rongga tengkorak sehingga menjadi ruang
supratentorial (terdiri dari fosa kranii anterior dan fosa kranii media) dan
ruang infratentorial (berisi fosa kranii posterior).
Perdarahan Otak
Otak dapat suplai dua arteri carotis interna dan dua arteri vertebralis.
Keempat arteri tersebut beranastomosis pada permukaan inferior otak dan
membentuk circulus Willisi. Vena-vena di dalam otak tidak mempunyai
jaringan otot, dindingnya yang sangat tipis dan tidak mempunyai katup.
Vena tersebut akan keluar dari otak dan bermuara ke dalam sinus venosus
cranialis.
Fisiologi Kepala
Tekanan intrakranial (TIK) dapat dipengaruhi oleh volume darah intrakranial,
cairan secebrospinal dan parenkim otak. Dalam keadaan normal Tekanan
Intrakrnaial orang dewasa pada posisi terlentang sama dengan tekanan CSS
yang diperoleh dari lumbal pungsi yaitu 4 – 10 mmHg. Kenaikan TIK dapat
menurunkan perfusi otak yang bisa menyebabkan atau memperberat iskemia.
Prognosis yang buruk bisa terjadi pada penderita dengan TIK lebih dari 20
mmHg, terutama bila menetap. Pada saat terjadi cedera, segera terbentuk
massa seperti gumpalan darah dapat terus bertambah sementara TIK masih
dalam keadaan normal. Saat pengaliran Cairan serebrospinal dan darah
intravaskuler mencapai titik dekompensasi maka TIK secara cepat akan
meningkat. Sebuah konsep sederhana bisa menerangkan tentang dinamika
TIK. Konsep utamanya adalah bahwa volume intrakranial harus selalu
konstan, konsep ini dikenal dengan Doktrin Monro-Kellie. Otak mendapatkan
suplai darah yang besar yaitu sekitar 800ml/min atau 16% dari cardiac output,
untuk menyuplai oksigen dan glukosa yang cukup. Aliran darah otak (ADO)
normalnya ke dalam otak orang dewasa antara 50-55 ml per 100 gram
jaringan otak per menit. Pada anak, ADO bisa lebih besar karena tergantung
pada usianya. Aliran darah otak (ADO) bisa menurun 50% dalam 6-12 jam
pertama sejak cedera pada keadaan cedera otak berat dan koma. Aliran Darah
Otak (ADO) akan meningkat dalam 2-3 hari berikutnya, tetapi pada penderita
yang tetap koma ADO tetap di bawah normal sampai beberapa hari atau
minggu setelah cedera. Mempertahankan tekanan perfusi otak atau TPO
(MAP-TIK) pada level 60-70 mmHg sangat direkomendasikan untuk
meningkatkan ADO.
2. DEFINISI
Menurut Aprilia (2016), cidera kepala merupakan suatu kejadian yang
sering ditemukan di masyarakat dengan tingkat disabilitas tinggi, dimana
cedera kepala dapat menyebabkan gangguan fisik dan mental yang kompleks.
Gangguan yang ditimbulkan bersifat sementara maupun menetap, seperti
defisit kognitif, psikis, intelektual, serta gangguan fisiologis lainnya..
Menurut Brain Injury Assosiation of America, cedera kepala adalah
suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat kongenital ataupun degeneratif,
tetapi disebabkan oleh serangan/benturan fisik dari luar, yang dapat
mengurangi atau mengubah kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan
kemampuan kognitif dan fungsi fisik.
3. KLASIFIKASI
Menurut NANDA (2015): klasifikasi cedera kepala dibedakan
menjadi 2, yaitu:
a) Berdasarkan Patologi
1) Cedera Kepala Primer
Cedera kepala primer merupakan cedera awal yang dapat
menyebabkan gangguan integritas fisik, kimia, dan listrik dari sel di
area tersebut, yang menyebabkan kematian sel. Cedera kepala primer
terjadi saat mengalami cedera atau tumbukan, karena tenaga kinetik
mengenai kranium atau otak. Tenaga kinetik ini diantaranya akselerasi,
deselerasi, akselerasi-deselerasi, dan coup-countercoup. Akselerasi
terjadi ketika objek bergerak membentur kepala yang sedang dalam
kondisi diam (statis). Deselerasi terjadi saat kepala yang sedang
bergerak membentur objek statis (mis, tembok). Akselerasi-deselerasi
terjadi dalam peristiwa tabrakan kendaraan bermotor dengan kecepatan
tinggi atau kendaraan yang menabrak pejalan kaki. Sedangkan coup-
countercoup merupakan akibat dari pergerakan isi intrakranial terhadap
kranium. Cedera coup mengakibatkan kerusakan pada daerah yang
terkena benturan. Sedangkan cedera countercoup menyebabkan
kerusakan pada area yang berlawanan dengan benturan. Cedera primer
dapat dibagi kedalam cidera fokal dan difus. Cedera fokal
menyebabkan luka mikroskopis seperti fraktur tengkorak, laserasi dan
kontusio otak, perdarahan subdural, dan perdarahan intraserebral.
Sedangkan cedera difus menyebabkan cedera mikroskopis seperti
concussion dan diffuse axonal injury. Diffuse axonal injury biasanya
diakibatkan karena tabrakan kendaraan dengan kecepatan tinggi
sehingga terjadi gesekan antara permukaan substansi grisea dan
substansi alba.
2) Cedera Kepala sekunder
Cedera kepala sekunder merupakan cedera yang terjadi setelah trauma
sehingga dapat menyebabkan kerusakan otak dan TIK yang tidak
terkendali, seperti respon fisiologis cedera otak, edema serebral,
perubahan biokimia, perubahan hemodinamik serebral, iskemia
serebral, hipotensi sistemik, dan infeksi lokal atau sistemik.
b) Berdasarkan jenis cedera
1) Cedera kepala terbuka
Cedera kepala terbuka adalah cedera yang menembus tengkorak dan
jaringan otak sehingga dapat menyebabkan fraktur tulang tengkorak
dan laserasi diameter.
2) Cedera kepala tertutup
Cedera kepala tertutup merupakan cedera gegar otak ringan dengan
cedera serebral yang luas.
c) Berdasarkan Glasgow Coma Scale
1) Cedera Kepala Ringan (Minor), dengan ciri-ciri:
GCS 14-15
Dapat terjadi kehilangan kesadaran dan amnesia <30 menit
Tidak terdapat fraktur tengkorak, kontusia serebral dan hematoma
2) Cedera Kepala Sedang, dengan ciri-ciri:
GCS 9-13
Kehilangan kesadaran dan dan amnesia >30 menit namun tidak lebih
dari 24 jam
Dapat mengalami fraktur tengkorak, contusia serebral, laserasia dan
hematoma intrakranial
3) Cedera Kepala Berat, dengan ciri-ciri:
GCS 3-8
Kehilangan kesadaran, amnesia lebih dari 24 jam
Mengalami kontusia serebral, laserasi atau hematoma intrakranial.
4. ETIOLOGI
Menurut Nanda (2015) mekanisme cedera kepala meliputi:
a. Cedera Akselerasi, yaitu ketika objek bergerak menghantam kepala yang
tidak bergerak
b. Cedera Deselerasi, yaitu ketika kepala yang bergerak membentur objek
yang diam
c. Cedera akselerasi-deselerasi, sering dijumpai dalam kasus kecelakaan
bermotor dan kekerasan fisik
d. Cedera Coup-countre coup, yaitu ketika kepala terbentur dan menyebabkan
otak bergerak dalam ruang kranial dan dengan kuat mengenai area tulang
tengkorak
e. Cedera Rotasional, yaitu benturan/pukulan yang menyebabkan otak
berputar dalam tengkorak, sehingga terjadi peregangan atau robeknya
neuron dalam substansia alba serta robeknya pembuluh darah yang
memfiksasi otak dengan bagian dalam rongga tengkorak.
Menurut Yasmara dkk (2006) Cidera kepala secara umum disebabkan
oleh beberapa faktor seperti kecelakaan lalu lintas, terjatuh dari tempat tinggi,
pukulan pada kepala, tertimpa benda berat, kecelakaan kerja, luka tembak,
atau cidera saat lahir. Menurut Arifin dkk, (2013) menambahkan bahwa
hipoksia dan hipoperfusi merupakan faktor penyebab utama. Penyebab lainnya
adalah eksititixisitas, kerusakan akibat radikal bebas, gangguan regulasi ion,
mediator inflamasi, tekanan tinggi intrakranial dan hipertermia.
6. PATOFISIOLOGI
Otak dapat berfungsi dengan baik apabila kebutuhan oksigen dan
glukosa terpenuhi. Energi yang dihasilkan didalam sel-sel saraf hampir
semuanya melalui proses oksidasi. Otak tidak mempunyai cadangan oksigen,
jadi kekurangan aliran darah ke otak meskipun sebentar akan menyebabkan
gangguan fungsi. Demikian pula dengan kebutuhan oksigen sebagai bahan
bakar metabolism otak tidak boleh kurang dari 20 mg %, karena akan
menimbulkan koma. Kebutuhan glukosa sebanyak 25% dari seluruh
kebutuhan glukosa di dalam tubuh, sehingga bila kadar glukosa plasma turun
sampai 70% akan terjadi gejala-gejala permulaan disfungsi cerebral. Pada
saat otak mengalami hipoksia, tubuh berusaha memenuhi kebutuhan oksigen
melalui proses metabolic anaerob yang dapat menyebabkan dilatasi pembuluh
darah. Pada kontusio berat, hipoksia atau kerusakan otak akan mengalami
penimbunan asam laktat akibat metabolisme anaerob. Hal ini menyebabkan
asidosis metabolik. Dalam kondisi normal cerebral blood flow (CBF) adalah
50-60 ml/menit/100 gr. Jaringan otak, yang merupakan 15% dari cardiac
output. Trauma kepala dapat menyebabkan perubahan fungsi jantung
sekuncup aktivitas atypical-myocardial, perubahan tekanan vaskuler dan
udem paru. Perubahan otonom pada fungsi ventrikel adalah perubahan
gelombang T dan P dan disritmia, fibrilasi atrium dan ventrikel takikardia.
Akibat adanya perdarahan otak akan mempengaruhi tekanan vaskuler, dimana
penurunan tekanan vaskuler menyebabkan pembuluh darah arteriol
berkontraks. Pengaruh persarafan simpatik dan parasimpatik pada pembuluh
darah arterida arteriol otak tidak begitu besar (Musliha, 2010).
7. KOMPLIKASI
Menurut Ulya, dkk (2017), komplikasi yang terjadi pada pasien
dengan trauma kepala ada 2, yaitu komplikasi jangka pendek dan komplikasi
jangka panjang.
a. Komplikasi jangka pendek; terjadinya pendarahan serebral, hemattom,
peningkatan tekanan intrakarnial (TIK), infeksi dan kejang.
b. Komplikasi jangka panjang; perubahan perilaku, gangguan fungsi saraf
kranial, dan kecacatan sesuai area otak yang mengalami kerusakan.
Menurut Sari, I. L (2014) komplikasi dari trauma kepala diantaranya
adalah sebagi berikut :
a. Koma. Kondisi penderita tidak sadar dan tidak memberikan respon. Pada
kondisi ini berlangsung hanya beberapa hari atau minggu, setelah masa ini
penderita akan terbangun, sedangkan beberapa kasus lainya memasuki
vegetative state atau mati penderita pada masa vegetative statesering
membuka mata dan mengerakkannya, menjerit atau menunjukan respon
reflek. Walaupun demikian penderita tetap tidak sadar dan tidak
menyadari lingkungan sekitarnya. Penderita pada masa vegetative state
bisa lebih dari satu tahun jarang sembuhnya.
b. Seizure. Pederita yang mengalami cedera kepala dapat mengalami
sekurang-kurangnya sekali seizure pada masa minggu pertama setelah
cedera. Meskipun demikian, keadaan ini berkembang menjadi epilepsy.
c. Infeksi. Faktur tengkorak atau luka terbuka bisa menyebabkan robekan
membran (meningen) sehingga kuman dapat masuk. Infeksi meningen
biasanya bisa berbahaya karena keadaan ini memiliki potensial untuk
menyebar ke sistem saraf yang lain
d. Kerusakan saraf. Cedera pada basis tengkorak bisa menyebabkan
kerusakan pada nervus facialis sehingga menyebabkan terjadinya paralysis
dari otot-otot facialis atau kerusakan dari saraf untuk pergerakan bola mata
yang menyebabkan terjadinya penglihatan ganda .
e. Hilangnya kemampuan kognitif. Berfikir, akal sehat, penyelesaian
masalah, proses informasi dan memori merupakan suatu kemampuan
kognitif. Kebanyakan penderita dengan cedera kepala berat mengalami
masalah kesadaran.
a. Penyakit Alzheimer dan Parkinson. Pada kasus cedera kapala resiko
perkembangan terjadinya penyakit alzheimer termasuk tinggi dan sedikit
terjadi parkinson. Resiko akan semakin tinggi tergantung pada frekuensi
dan keparahan cedera.
8. PATHWAY
Terlampir
9. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Menurut Ulya, dkk (2017), pemeriksaan diagnostik yang dilakukan
pada pasien dengan trauma kepala adalah sebagai berikut.
a. Laboraturium; darah lengkap, koagulasi, uniralisis, BGA,
skeriningtoksiologi pada urine. Laboratorium
GDA untuk menentukan adanya masalah ventilasi atau oksigenasi dan
peningkatan tekanan intrakranial (TIK).
Kimia/elektrolit serum dapat menunjukkan ketidakseimbangan yang
memperberat peningkatan TIK, sedangkan peningkatan laju dari
metabolisme dan diaforesis dapat menyebabkan hipernatremia.
b. EEG diperlukan untuk mengidentifikasi adanya gelombang patologis.
c. CT scan kepala; hasil pemeriksaan ditemukan adanya edema serebral,
pendarahan, fraktur, dan lesi. Pemeriksaan CT scan diindikasikan untuk
pasien dengan GCS <13 pada saat intinial assessment, GCS <15 setelah
dua jam dari onset kejadian, suspect open atau depressed skull
fracture,terdapat gejala fraktrur basis kranii, post traumatic seizure,
defisitneurologi fokal, dan muntah lebih dari satu kali (national institute
for health and care excellence/NICE,2014).
d. X-ray kepala dan spinal; dilakukan dengan tujuan untuk melihat adanya
fraktur.
e. MRI; hasil MRI kemungkinan ditemukan adanya edema dan perdarahan
pada pasien, tetapi MRI jarang di indikasikan untuk pasien yang tidak
stabil,menggunakan ventilator, tidak kooperatif, pasien dalam kondisi
trauma akut.
f. Angiografi; pemeriksan angiografi digunakan untuk melihat adanya
trauma serebvaskuler atau thrombosis.
g. Foto toraks.
h. Pemeriksaan EKG 12 lead.
10. TINDAKAN PENANGANAN
Menurut Ulya, dkk (2017) penatalaksanaan dari trauma kepala yaitu
sebagai berikut :
1. Jalan napas (airway)
a) Lakukan imobilisasi servikal dengan cara jaw thrust atau menggunakan
servical collar.
b) Kaji apakah ada suara gurgling, snoring, dan stridor.
c) Jika terdapat gigi yang lepas atau fragmen tulang di jalan napas akibat
trauma di wajah, segera ambil.
d) Buka jalan napas, jika GCS ≤ 8, maka lakukan intubasi indottrakeal.
e) Lakukan suction jika terdapat darah, saliva, atau muntahan pada jalan
napas.
f) Pasang selang orogastrik untuk dikompresi isi lambung (jangan
gunakan slang nasogastric).
2. Pernapasan (breathing)
a) Pertahankan saturasi oksigen >95% dengan pemberian suplemen
oksigen.
b) Pertahankan frekuensi pernafasan normal (eukapnea) dengan PaCO2
antara 35-38 mmHg.
c) Cegah hiperventilasi kecuali jika terjadi hernisasi.
d) Monitoring end-tidal carbon.
e) Pertimbangkan penggunaan agen blockade neuromuscular jika pasien
mengalami kesulitan ventilasi.
f) Lakukan dekompresi dengan jarum ukuran 12G jika ditemukan tekanan
pneumotoraks (pneumothotorax tension).
g) Jika terdapat kondisi pneumatoraks dan hemotoraks yang mengancam
nyawa, lakukan tindakan drainase pada ICS 5 pada midaksila anterior.
3. Sirkulasi (circulation)
a) Pertahankan status normovolemia pada pasien (jaga tekanan arteri
antara 70-90 mmHg)
b) Pertahankan perfusi serebral > 70 mmHg.
c) Pada pasien dengan trauma penetrasi atau trauma tumpul, tekanan darah
sistolik hendaknya dipertahankan minimal 60 mmHg.
d) Pada pasien dengan trauma selain penetrasi atau trauma tumpul,
tekanan darah sistolik hendaknya dipertahankan minimal 90 mmHg.
e) Berikan tambahan cairan isotonik atau produk darah sesuai dengan
kebutuhan pasien.
f) Jika nadi pasien tidak teraba, maka berikan bolus cairan 250 cc sampai
nadi teraba.
g) Pasang kateter urine untuk monitoring pengeluaran urine (terutama jika
pasien diberikan diuretik).
4. Disability, lakukan monitoring status GCS secara berkala, respon pupil,
nadi, pernapasan, dan tekanan darah.
5. Segera menyiapkan pasien untuk pemeriksaan diagnostic penunjang.
6. Cegah jangan sampai terjadi peningkatan TIK dengan pemberian sedasi
atau analgesik, pemberian diuretik osmotik manitol), posisikan pasien head
elevation 300, manimalisasi stimulasi ekternal.
7. Fasilitasi pasien untuk dilakukan tindakan pembedahan (evakuasi
hematom, lobektomi dan kraniotomi).
8. Cegah jangan sampai terjadi kejang.
9. Pertahankan suhu tubuh normal.
10. Pemberian obat-obatan, antara lain sebagai berikut.
a) Diuretik.
b) Loop diuretik.
c) Analgesik.
d) Antibiotik.
e) Antihipertensi.
2. Langkah 2 :
Penolong kedua meletakkan tangan kiri di belakang leher dan kepala
korban dan ibu jari tangan kanan direntangkan di mandibula kanan korban
dan jari-jari tangan kanan pada mandibula kiri
3. Langkah 3:
Penolong pertama melepaskan helm dari sisi lateral secara hati-hati.
Setelah helm mencapai oksiput , rotasikan helm ke ara anterior ke wajah.
Penolong kedua harus memperhatikan dan mempertahankan stabilitas
kepala, kepala dapat turun saat helm dilepas jika penopang dibagian
belakang oksipital tidak adekuat.
4. Langkah 4 :
Setelah helm dilepas, penolong pertama meletakkan kedua tangan dikedua
sisi kepala dan rahang korban.
Penolong kedua melepaskan pegangan pada korban dan memasang collar
neck.
b. Data Objektif
Data yang diperlukan dalam pengkajian data objektif meliputi hal berikut:
1. Kaji kondisi umum
2. Tingkat kesadaran berdasarkan Glasgow Coma Scale (GCS)
3. Orientasi ingatan atau memori
4. Verbilisasi saat komunikasi
5. Perubahan perilaku
6. Adanya kejang
7. Tanda-tanda vital terkait MAP
8. Nadi
9. Respirasi
10. Tanda trias Chusing’s (peningkatan tekanan darah sistolik, bradkardi,
pernapasan abnormal)
11. Suhu inti tubuh
12. Lokasi trauma
13. Kontinuitas tulang
14. Ukuran dan reaksi pupil terhadap cahaya
15. Kemampuuan koordinasi motorik
16. Fungsi saraf kranial
17. Adanya cairan serebrospinal (otorea dan rinorea)
18. Tanda meningen
19. Kekuatan otot
20. Respon pupil terhadap cahaya serta diameternya
21. Refleks meliputi refleks kornea (abnormal jika tidak ada respon), reflek
muntah (abnormal jika tidak ada reflek muntah), reflek tendon (abnormal
jika reflek menurun atau tidak ada), reflek babinski (abnormal jika reaksi
positif).
22. Respon sensorik (respon terhadap nyeri atau sentuhan, dan tekanan).
23. Postur tubuh : identifikasi apakah terdapat fleksi abnormal atau ekstensi
abnormal.
Pengkajian Glosgow Coma Scale (GCS)
Buka mata Respon Verbal Respon Motorik
Spontan 4 Terorientasi 5 Mengikuti 6
perintah
Terhadap suara 3 Bingung 4 Melokalisasi nyeri 5
Terhadap nyeri 2 Kata-kata tidak 3 Menarik diri 4
sesuai terhadap nyeri
Tidak ada 1 Kata-kata tidak 2 Fleksi abnormal 3
respon berhubungan
Diam 1 Ekstensi abnormal 2
Tidak ada gerakan 1
Kekuatan otot
Skala Deskripsi
0 Tidak ada pergerakan
1 Terdapat kontraksi otot
2 Dapat bergerak tetapi kembali jatuh akibat gravitasi
3 Dapat bergerak melawan gravitasi
4 Dapat bergerak melawan tahanan dengan lemah
5 Mampu melawan tahanan kuat
c. Pemeriksaan fisik
Menurut Kristanti (2009), pemeriksaan fisik pada trauma kepala
dilakukan secara head to toe :
a) Kepala atau tengkorak :
Inspeksi dan palpasi keseluruhan kulit kepala; hal ini penting karena kulit
kepala biasanya tidak terlihat karena tertutup rambut
Catat adanya perdarahan, laserasi, memar atau hematom
Catat adanya darah atau drainase dari ntelinga. Inspeksi adanya memar
dibelakang telinga
Kaji respon dan orientasi pasien akan waktu, tempat dan diri.
Observasi bagaimana pasien merespons pertanyaan dan berinteraksi
dengan lingkungan
Catat adanya tremor atau kejang.
b) Wajah :
Inspeksi dan palpasi tulang wajah
Kaji ukuran pupil dan reaksinya terhadap cahaya.
Catat apakah lensa kontak terpasang jika ya, lepaskan
Catat adanya darah atau drainage dari telinga, mata, hidung atau mulut
Observasi bibir, daun telinga dan ujung kuku terhadap sianosis
Cek adanya gigi yang tanggal
Cek adanya gigi palsu. Jika ada dan pasien mengalami penurunan tingkat
kesadaran atau gigi palsu mempengaruhi jalan nafas, lepaskan dan
kemudian beri nama dan simpan ditempat yang aman (lebih baik berikan
pada keluarganya)
Inspeksi lidah dan mukosa oral terhadap trauma
c) Leher :
Observasi adanya bengkak atau deformitas di leher
Cek spinal servikal untuk deformitas dan nyeri palpasi. Perhatian : jangan
menggerakkan leher atau kepala pasien dengan kemungkinan terjadi
trauma leher sampai fraktur servikal sudah dipastikan ! immobilitas leher
Observasi adanya devisi trakea
Observasi adanya distensi vena jugularis
d) Dada :
Inspeksi dinding dada untuk kualitas dan kedalaman pernafasan dan untuk
kesimetrisan pergerakan. Catat adanya segmen flail chest
Cek adanya fraktur iga dengan melakukan penekanan pada tulang iga pada
posisi lateral, lalu anterior dan posterior, maneuver ini menyebabkan nyeri
pada pasien fraktur iga
Catat keluhan pasien akan nyeri, dyspnea atau sensasi dada terasa berat
Catat memar, perdarahan, luka atau emfisema subkutaneus
Auskultasi paru untuk kualitas dan kesimetrisan bunyi nafas
e) Abdomen :
Catat adanya distensi, perdarahan, memar, atau abrasi khususnya disekitar
organ vital seperti limpa atau hati
Kaji kekakuan dan tenderness.
Selalu auskultasi abdomen untuk bising usus sebelum mempalpasi untuk
mengkaji secara benar peristaltic
f) Genetalia dan pelvis :
Observasi untuk abrasi, perdarahan, hematoma, edema atau discharge
Berikan tekanan lembut disetiap iliac crest dengan gerakan gerakan kecil;
pasien fraktur pelvis akan kehilangan rasa (maneuver ini juga akan
menyebabkan nyeri pada pasien)
Observasi adanya distensi kandung kemih
g) Tulang Belakang :
Mulai tempatkan satu tangan dibawah leher pasien.
Dengan lembut palpasi vertebra, rasakan adanya deformitas, dan catat
lokasinya jika terdapat respon nyeri dari pasien
Perhatian: jangan pernah membalik pasien untuk memeriksa tulang
belakang sampai trauma spinal sudah dipastikan! Jika anda ada keharusan
membalik pasien (misalnya luka terbuka) gunakan teknik log-roll.
Catat adanya keluhan nyeri dari pasien ketika mempalpasi sudut
costovertebral melewati ginjal
h) Ekstermitas :
Cek adanya perdarahan, edema, pallor, nyeri atau asimetris tulang atau
sendi dimulai pada segmen proksimal pada setiap ekstermitas dan palpasi
pada bagian distal
Cek pergerakan, ROM dan sensasi pada semua ekstermitas
Palpasi nadi distal dan cel capillary refill pada ujung kuku.
Kaji warna kulit pada ekstermitas
Cek reflex seperti plantar, biseps dan patella
2. Diagnosa Keperawatan
a. Bersihan jalan nafas tidak efektif b.d obstruksi jalan nafas, ditandai dengan
dispneu
b. Resiko perfusi serebral tidak efektif b.d penurunan ruangan untuk perfusi
serebral, sumbatan aliran darah serebral
c. Nyeri akut b.d agen cedera biologis kontraktur (terputusnya jaringan
tulang)
d. Gangguan mobilitasi b.d kerusakan kognitif/persepsi, tetapi
pembatasan/kewaspadaan keamanan. Mis: tirah baring, imobilisasi
e. Hipovolemia b.d perubahan keadaan elektrolit serum (muntah)
(Nurarif, A. H., & Kusuma, H. 2015).
3. Intervensi Keperawatan
No Diagnosa Kep SLKI SIKI
1 Nyeri akut b.d agen Tingkat nyeri Manajemen nyeri
pencedera fisiologis Setelah dilakukan asuhan 1. Observasi :
(mis : kram abdomen keperawatan selama 3x24 Identifikasi lokasi,
sekunder terhadap jam diharapkan tingkat karakteristik, durasi,
distensi dinding usus) nyeri menurun dengan frekuensi, kalitas,
No Diagnosa Kep SLKI SIKI
d.d kriteria hasil : intensitas nyeri
DS : mengeluh nyeri - Kemampuan Identifikasi skala nyeri
DO : menuntaskan aktivitas Identifikasi nyeri non
Tampak meringis meningkat verbal
Bersikap protektif - Keluhan nyeri menurun Identifikasi faktor yang
(misal : posisi - Meringis menurun memperberat dan
meghindari nyeri) - Sikap protektif menurun memperingan nyeri
Gelisah - Gelisah menurun Monitor keberhasilan
Frekuensi nadi - Kesulitasn tidur terapi komplementer
meningkat menurun yang sudah diberikan
Sulit tidur - Menarik diri menurun Monitor efek samping
- Anoreksia menurun penggunaan analgetik
Tekanan darah
- Uterus terasa membulat 2. Terapeutik
meningkat
menurun Berikan teknik
Pola napas berubah
- Ketegangan otot nonfarmakologi untuk
Nafsu makan
menurun mengurangi rasa nyeri
berubah
- Muntah menurun
Proses berpikir Kontrol lingkungan
- Mual menurun
terganggu yang memperberat rasa
- Frekuensi nadi membaik
Menarik diri nyeri
- Pola napas membaik
Fasilitasi istirahat dan
- Tekanan darah membaik
tidur
- Proses berpikir membaik
3. Edukasi
- Fungsi berkemih
Jelaskan penyebab,
membaik
periode, dan pemicu
- Nafsu makan membaik
nyeri
- Pola tidur membaik
Jelaskan strategi
meredakan nyeri
Anjurkan memonitor
nyeri secara mandiri
Anjurkan menggunakan
analgetik secara tepat
No Diagnosa Kep SLKI SIKI
Ajarkan teknik
nonfarmakologi untuk
mengurangir rasa nyeri
4. Kolaborasi
Kolaborasi pemberian
analgetik, jika perlu
DAFTAR PUSTAKA
Aprilia, Hanura. 2017. Vol. 8 No. 1, Gambaran Status Fisiologis Pasien Cedera
Kepala Di Igd Rsud Ulin Banjarmasin Tahun 2016 di akses tanggal 20
September 2018 pukul 13:00 WIB
https://www.ojs.dinamikakesehatan.stikessarimulia.ac.id/index.php/dksm/articl
e/view/248/191
Musliha. 2010. Keperawatan Gawat Darurat. Yogyakarta: Nuha Medika
Nurarif, Amin Huda dan Kusuma Hardhi. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan
Berdasarkan Diagnosa Medis & Nanda Nic Noc. Yogyakarta: MediAction
Ulya, Ikhda, dkk. 2017. Buku Ajar Keperawatan Gawat Darurat pada Kasus
Trauma. Jakarta: Salemba Medika
PPNI. (2019). Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia Edisi 1. Jakarta: DPS
PPNI. (2019). Standar Luaran Keperawatan Indonesia Edisi 1. Jakarta: DPS
PPNI. (2019). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia Edisi 1. Jakarta: DPS