Perspektif Dakwah Dan Perspektif Sosial
Perspektif Dakwah Dan Perspektif Sosial
Perspektif Dakwah Dan Perspektif Sosial
SOSIOLOGI DAKWAH
Dosen Pengampu:
Disusun Oleh:
Adanani (
KPI 4/C
2019/2020
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB 1 PENDAHULUAN
BAB II PEMBAHASAN
3.2 Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA
BAB II
PEMBAHASAN
Dakwah secara etimologis berasal bahasa Arab yaitu da’a- yad’i- da’watan,yang artinya
mengajak, menyeru, dan memanggil. Dakwah secara terminology diungkapkan secara langsung
oleh Allah SWT dalam ayat Al-Qur’an. Kata dakwah di dalam Al-Qur’an diungkapkan sekitar
198 kali yang tersebar dalam ayat 55 surat ( 176 ayat). Kata dakwah oleh Al-Qur’an di gunakan
secara umum. Artinya, Allah masih menggunakan istilah da’wah il Allah ( dakwah islam) dan
da’wah ila nar ( dakwah setan). Oleh karena itu, dalam tulisan ini dakwah dimaksud adalah
da’wah il Allah ( dakwah islam) tabligh, amar ma’ruf dan nahi munkar, mau’idzhoh hasanah,
tabsyir, washihah, tarbiyah, ta’lim, dan khotbah.
Sosiologi dakwah mengacu pada unsur-unsur dan wilayah telaah sosiologi terhadap
fenomena dakwah, maka sosiologi dakwah berusaha mencari batasan lebih empiris terhadap
kajian dakwah sebagai sebagai bentuk interaksi sosial dakwah, yaitu sisi sosiologis dalam agama.
Dakwah islam yang cenderung ideologis menitik beratkan pada upaya legalisasi nilai-nilai
agama dan menyebarkannya kepada manusia sehingga tampak sekali akan selalu berurusan
dengan persoalan organisasi sosial dakwah dan lembaga dakwah. Sosiologi dakwah juga
menelaah bagaimana interaksi antara da’i dan sasaran dakwah (mad’u), da’I dengan da’I, dan
mad’u dengan sesamanya1.
Perspektif sosiologi dakwah secara realitas inilah salah satu fenomena kehidupan di
masyarakat yang dilansir dalam surah Al-Qur’an surah al-Baqarah [2]: 251 yang artinya
“Seandainya Allah tidak menolak ( kegagasan) sebagian manusia dengan sebagian yang
lain,pasti rusaklah bumi ini. Tetapi Allah mempunyai karunia ( yang dicurahkan) atas semesta
alam.” Ayat ini mengisyaratkan bahwa keragaman ( plularisme) individu dalam masyarakat
mesti dipahami sebagai kemurahan tuhan dan suatu keharusan bagi keselamatan umat manusia
melalui mekanisme pengawasan dan pengimbangan yang dihasilkannya. Oleh karena itu, selama
1
Acep Aripudin, Sosiologi Dakwah, 2016, ( PT Remaja Rosdakarya: Bandung), h. 14-15.
individu-individu dalam masyarakat mampu menghayati makna substantif dari kehidupan
bersama ini dan mampu memosisikannya pada hubungan yang bersifat fungsional, maka
diintergrasi dalam kehidupan masyarakat tidak akan terjadi. Sebab, sungguhpun kehadiran
individu-individu dalam masyarakat memiliki ( membawa) potensi konflik, akan tetapi secara
dominan mereka berwatak peka, toleran, mengayomi, mendamaikan, dan menyatukan.2
Dakwah sebagai sebuah konsep yang komprehensif telah di jelaskan dalam Al-Qur’an
tetapi penjelasan yang ada dalam Al-Qur’an tersebut tentu saja masih harus dielabolasi dan di
kontekstualisasikan dalam setiap kepentingan ruang dan waktu yang berbeda.
Ditinjau dari konsep epistemologi, ontologi, dan asksiologi maka Al-Qur’an sebagai pijakan
konsep dasar dakwah. Dibawah ini penjelasan terperincinya:
2
Syamsuddin AB, Pengantar Sosiologi Dakwah, 2018, ( Predanamedia Group: Jakarta), h. 46-47.
a. Epistemologi Dakwah Sosial
1. Visi misi utama dalam dakwah sosial tidak terlepas dengan manusia sebagai objek utama
Al-qur’an. Dengan begitu fungsi dan tugas manusia yaitu ; hablun min Allah, hablun min
an-nas, dan hablun ma’a al-alam.
2. Tanggung jawab manusia sebagai ‘ibadullah dan fungsinya sebagai khalifah fi al-ardh.3
b. Ontologi Dakwah Sosial
Berdasarkan kajian tentang terma-terma dakwah yang dikenalkan Al-Qur’an sebagai kitab
dakwah dapat ditarik beberapa kesimplan:
1. Eksistensi Al-qur’an dalam konteks dakwah, selain sebagai materi dakwah juga sebagai
pesan moral yang mengandung nilai filosofi dakwah sehingga dapat dijadikan sebagai
“kitab dakwah” yang menjadi rujukan uatama dan autentik.
2. Isyarat dalam ontologi dakwah dapat diambil dalam Al-qur’an, diantaranya: mengenalkan
sejumlah terma dalam konep dakwah. Terma yang paling populer yaitu “ad-da’wah ila
al-khayr, al-amr bi al-ma’ruf dan an-nahy ‘an al-munkar”.
3. Dalam terma al-khayr dikonotasikan sebagai nilai kebenaran (etika dan moral) prinsipel
dan universal, dan tidak terikat ruang dan waktu. Adapun al-ma’ruf yaitu nilai kebenaran
yang sudah dikenal secara kultural.
4. Terma dakwah dalam Al-qur’an diekspresikan dalam bentuk kata kerja dan adapula yang
menggunakan kata kerja perintah.
5. Secara profesional, tampil para pemimpin umat yang berperan membawa masyarakat ke
arah pembinaan dan perbaikan masa depan umat (yahduna fi al-khayrat).
6. Terma yang secara umum alam dakwah, yaitu: tabligh, tarbiyyah, ta’lim, tabsyir, tandzir,
taushiyah, tadzkir, dan tanbih.4
3
Syamsudin, Pengantar Sosologi Dakwah, hal. 51
4
Syamsudin, Pengantar Sosiologi Dakwah, hal. 53.
c. Aksiologi Dakwah Sosial
Al-Qur’an menegaskan bahwa tujuan dakwah pada dasarnya dikategorikan dalam empat
bentuk, yaitu: tujuan ideal adalah terciptanya situasi kondisi dar as-salam atau an-nur, tujuan
institusional adalah tegaknya tanggung jawab kekhalifahan, sedangkan tujuan konstitusionalnya
adalah tegaknya tata aturan ibadah dan muamalah sesuai dengan ajaran, operasionalnya adalah
tegaknya al-birr, al-haqq, al-khayr, dan al-ma’ruf dalam wujud makarim al-akhlak.5
Jika kita perhatikan, dakwah yang berkembang saat ini belum berpijak pada pemahaman
kondisi sosial yang memadai, di antaranya tema-tema dakwah yang di sajikan banyak yang
kehilangan relavansi dengan isu-isu, masalah-masalah,dan kebutahan yang berkembang di
masyarakat. Dakwah yang berkembang di masyarakat keberhasilan di ukur kuantitas jumlah
pengunjung, sementara bagaimana perkembangan masyarakat selanjutnya sebagai sasaran utama
dakwah jarang dipikirkan, malah proses dakwah yang berkembang cenderung lebih banyak
“menguntungkan” para da’I ketimbang masyarakat yang diserunya misalnya betapa banyak da’I
yang di lambungkan status sosial, ekonomi, atau politiknya setelah laris “dipakai” berbagai
majelis taklim.
Namun tidak demikian halnya dengan dengan kondisi masyarakat yang diserunya,
keadaan mereka tetap diperhatikan. Sehingga proses dakwah hanya melahirkan struktur
masyarakat baru dimana para da’I menjadi elite sementara masyarakat tetap berada di struktur
bawah, miskin, dan terpinggirkan. Bila etos dakwah yang berkembang di masyarakat masih terus
seperti ini, maka tidak mustahil umat islam akan kehilangan kreativitas, budaya berpikir kritis,
dan kegaraihan bertindak dalam kehidupannya di masyarkat.
Dengan demikian, gerakan dakwah yang sekarang berkembang belum mampu secara
optimal membangkitkan dan menumbuhkan minat masyarakat untuk mengkaji, berpikir kritis,
dan mengembangkan kreativitas. Masyarakat di beri ruang kebebasan untuk mengubah
keadaanya sendiri. Masayarakat dibangun kesadarannya bahwa sesungguhnya semua anggota
masyarakat adalah da’I bagi dirinya sendiri, yang tak mungkin terjadi perubahan berarti bila ia
tidak mau mengubah apa yang ada pada dirinya sendiri. Dengan begitu, esensi dakwah justru
5
Syamsudin, Pengentar Sosiologi Dakwah, hal. 54.
tidak mencoba mengubah masyarakat, tetapi menciptakan suatu ruang, peluang, atau kesempatan
sehingga masyarakat akan mengubah dirinya sendiri.6
6
Syamsuddin AB, Pengantar Sosiologi Dakwah, h. 55-58.
tujuan atau ( memiliki sutau tujuan); (2) terjadi dalam suatu situasi, yang beberapa elemennya sudah
pasti, sedangkan elemen-elemen lainnya digunakan oleh yang bertindak sebagi alat penuju tujuan itu;
(3) secara normatif tindakan itu diatur sehubungan dengan penentuan alat dan tujuan. Jadi, komponen
dari tindakan sosial adalah tujuan, sifat, kondisi, dan norma7.
7
Syamsuddin, Pengantar Sosiologi Dakwah, h. 60-62.
8
Syamsuddi, Pengantar Sosiologi Dakwah, h. 58-60.