Askep CKD Dan Hipertensi

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 28

Laporan Pendahuluan Asuhan Keperawatan Pada Tn.

Dengan Chronic Kidney Desease


(CKD) atau Gagal Ginjal Kronik disertai dengan adanya Hipertensi di Ruang Hemodialisa

Dosen Pembimbing : Mutarobin, S.Kep., Ners., M.Kep., Sp.Kep.MB

Dosen Pembimbing RS : Ibu Tiyur

Disusun Oleh : Kelompok 6B

Anggota :

1.Nurlatifah (P171200170)
2.Ratu Noor Salma Khansa Effendi (P171200170)
3.Renadestia Arkiswari Panora (P171200170)
4.Shafira Putri Amalika (P171200170)
5.Syifa Nabila Rahmi (P171200170)

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES KESEHATAN JAKARTA 1

JURUSAN KEPERAWATAN

TAHUN 2019

A. Konsep Chronic Kidney Desease (CKD) atau Gagal Ginjal Konik


1. Definisi
Gagal ginjal kronis disebut juga sebagai Chronic Kidney Desease (CKD).
Perbedaan kata kronis disini dibanding dengan akut adalah kronologis waktu dan
tingkat fisiologis filtrasit. Berdasarkan Mc Clellan 2006 dijelaskan bahwa gagal
ginjal kronis merupakan kondisi penyakit pada ginjal yang persisten
(keberlangsungan ≥ 3 bulan dengan : 1) kerusakan ginjal, dan 2) Kerusakan
glomerular filtration rate (GFR) dengan angka GFR ≤ 60 ml/menit/ 1,73 m2
(Prabowo & Eka, 2014).
Gagal ginjal kronis merupakan suatu penurunan progresif fungsi ginjal dalam
beberapa bulan atau tahun. Gagal ginjal kronis didefinisikan sebagai kerusakan
ginjal dan/ atau penurunan Glomerular Filtration Rate (GFR) kurang dari 60
ml/menit/ 1,73 m2 selama minimal 3 bulan, kerusakan ginjal, termasuk kelainan
darah, urin atau studi pencitraan (Kemenkes RI, 2017).
Pada keadaan gagal ginjal kronik ini, terjadi penurunan fungsi ginjal yang
lambat dengan tanda dan gejala yang minimal. Banyak pasien yang tidak
menyadari timbulnya keadaan tersebut sampai fungsi ginjal hanya tinggal 25%
(Agoes, 2010). Gagal ginjal kronik merupakan penyakit yang terjadi dalam kurun
waktu cukup lama sampai bertahun-tahun serta tidak kunjung sembuh (Dharma,
2015).

2. Etiologi
Menurut (Mahdiana, 2010), ada beberapa penyakit yang memengaruhi tubuh
secara keseluruhan, yang dapat memicu timbulnya PKG, antara lain:
1) Diabetes
Bila mengalami diabetes, berarti tubuh tidak bisa optimal dalam hal
mengubah makanan menjadi energi yang dibutuhkan sehingga kadar gula
darah dapat meningkat. Kondisi gula darah yang meningkat
berkepanjangan dapat merusak pembuluh darah ginjal. Bila sudah
meningkat, dapat menimbulkan gejala-gejala seperti: rasa haus meningkat,
penglihatan kabur, sering berkemih, beat badan menurun tanpa alasan yang
jelas, luka lama yang sembuh, merasa lapar dan lemah.

2) Tekanan darah tinggi (hipertensi)


Tekanan darah merupakan tekanan yang ditimbulkan oleh darah yang
mengalir dalam pembuluh darah arteri. Tekanan yang tinggi ini bila
berlangsung terus menerus dapat merusak atau mengganggu pembuluh-
pembuluh darah kecil dalam ginjal yang lama kelamaan akan mengganggu
kemampuan ginjal untuk menyaring darah. Pada umumnya, bagi orang
dewasa atau berusia 18 tahun ke atas tekanan darah 140/90 mmHg atau
lebih, dapat dikatakan sebagai keadaaan hipertensi, sedangkan bagi and
penderita diabetes dan penyakit ginjal kronik , tekanan darah 130/80
mmHg atau lebih sudah dikatakan sebagai hipertensi. Dengan mengontrol
tekanan darah akan membantu memperlambat kerusakan ginjal. Untuk
mengatasi masalah hipertensi, konsultasikan dengan dokter anda.
3) Batu ginjal
Batu yang terbentuk diginjal terjadi akibat adanya proses presipitasi
(kristalisasi bahan-bahan yang terlarut) yang terkandung di dalam urine.
Batu ini dapat berpindah melalui ureter (saluran yang mengalirkan urine
dari ginjal ke kandung kemih) dan dikeluarkan lewat urine bila berukuran
kecil. Namun, bisasnya batu yang berukuran terlalu besar tidak bisa keluar
begitu saja melalui urine. Bila hal ini terjadi maka menimbulkan rasa sakit
dan mungkin dapat menimbulkan obstruksi akibat terhambatnya aliran
urine keluar. Batu ginjal dapat disebabkan oleh berbagai faktor, seperti
infeksi, diet tertentu, obat-obatan, dan kondisi tertentu akibat meningginya
zat lain dalam urine, misalnya asam urat. Gejala batu ginjal antara lain:
a) Rasa sakit pada bagian belakang atau sisi tubuh
b) Darah dalam urine
c) Muntah, demam, sering berkemih atau ingin berkemih
d) Rasa nyeri saat berkemih

Keluar/tidaknya batu ginjal dengan sendirinya, tergantung pada lokasi,


besar, bentuk, dan komposisi. Ukuran batu yang kecil dengan bentuk licin
atau bulat, dapat keluar dengan sendirinya. Namun, bila bentuknya
bermacam-macam, misalnya, dengan tepi yang tajam atau dengan ukuran
yang terlalu besar, yang memenuhi seluruh bagian ginjal, tentu
memerlukan terapi tertentu guna mengeluarkannya. Bila batu ginjal
berpindah ke bagian pelvis ginjal, dapat menyumbat aliran urine dan
ginjal pun dapat bengkak sehingga mengganggu kerja gnjal.
4) Infeksi dan radang
Infeksi atau radang pada saluran kemih (ISK) dapat terjadi akibat adanya
bakteri yang masuk kesaluran kemih dan berkembang biak. Saluran kemih
terdiri dari kandung kemih, uretra dan dua ureter, serta ginjal. Bakteri ini
biasanya masuk melalui uretra dan masuk ke kandung kemih. Kondisi ini
dapat menyebabkan saluran kemih menjadi merah, bengkak, dan rasa
nyeri. Jika infeksi ini tidak diatasi dengan baik, bakteri dapat memasuki
ginjal sehingga menimbulkan jenis infeksi yang lebih serius, yaitu
pyelonefritis (peradangan pada ginjal yang dapat meluas mengenai unit
penyaring dan pembuluh darah). Gejala ISK antara lain:
a) Keinginan berkemih, kadang urine hanya berbentuk sedikit atau
menetes
b) Rasa seperti terbakar saat berkemih
c) Urine berwarna keruh atau bercampur darah
d) Bau urine sangat menyolok.

Bila infeksi ini sudah menyebar ke ginjal, dapat menyebabkan rasa sakit/
Nyeri pada punggung bagian bawah disertai dengan demam, mual, dan
muntah.

5) Glomerulonefritis
Selain ISK, Glomerulonefritis yang tidak segera diatasi juga dapat
mengganggu kerja ginjal nantinya. Glomerulonefritis timbul akibat adanya
peradangan yang merusak bagian ginjal yang menyaring darah
(glomerulus) sehingga glomerulurs ini tidak bisa lagi menyaring zat-zat
yang sudah tidak terpakai oleh tubuh dan cairan yang berlabih ke dalam
aliran darah untuk membentuk cairan urine. Glomerulonefritis akut
biasanya sering disebabkan oleh infeksi bakteri streptokokus atau infeksi
pada tenggorokan atau kulit. Glomerulonefritis yang ringan biasanya tanpa
gejala dan diagnosisnya ditegakkan melalui pemeriksaan darah dan urine
di laboratorium. Sementara yang sudah berat, dapat menimbulkan gejala
fatigue (lelah), mual, muntah, sesak napas, gangguan penglihatan, tekanan
darah tinggi, bengkak (terutama pada wajah, tangan, kaki dan pergelangan
kaki), dan adanya darah/ protein pada urine yang membuat warna urine
menjadi kemerahan atau keruh.
6) Penyalahgunaan obat-obatan
a) Ada beberapa jenis obat-obatan yang dapat membahayakan kerja
ginjal, yaitu: Obat penghilang/ pereda rasa sakit. Ginjal dapat rusak
bila anda mengkonsumsi obat bebas ini dalam jumlah yang
berlebih dalam jangka waktu lama, seperti aspirin, asetaminofen,
dan ibuprofen. Gunakan obat ini sesuai dengan anjuran dokter.
b) Antibiotika
c) Obat terlarang. Contoh obat jenis ini antara lain: heroin, kokain,
ekstasi, bila dikonsumsi secara berlebih dapat menyebabkan
tekanan darah tinggi, stroke, gagal jantung dan bahkan kematian.
d) Alkohol, mengkonsumsi alkohol secara berlebihan dapat
meningkatkan risiko timbulnya gagal ginjal dan gagal fungsi hati.

Gagal ginjal sering kali menjadi penyakit komplikasi dari penyakit lainnya,
sehingga dapat disebut penyakit sekunder (secondary illness) (Prabowo and
Pranata, 2014). Beberapa penyebab lainnya dari gagal ginjal kronis, sebagai
berikut (Wijaya and Putri, 2013) dan (Haryono, 2013).
1) Gangguan pembuluh darah : Hipertensi
2) Gangguan imunologis : Glomerulonephritis dan SLE
3) Infeksi : Pielonefritis
4) Gangguan metabolik : Diabetes melitus
5) Gangguan tubulur primer : Batu ginjal, hipertrofi prostat dan kontriksi uretra
6) Gangguan kongenital dan herediter : Penyakit ginjal paikstik asidosis tubuh
ginjal

3. Klasifikasi
Klasifikasi gagal ginjal kronik jika berdasarkan stage LFG (Laju Filtrasi
Glomerulus) dengan nilai normal 125 ml/menit/1,73 m2 dimana menggunakan
rumus Kockroft Goult, sebagai berikut :
LFG ( ml/mnt/1,73 m2) = (140 – umur) x Berat badan
72 x Kreatinin Plasma (mg/dl)
Dalam K/DOQI merekomendasikan pembagian ginjal kronik berdasarkan stadium
dari tingkat penurunan LFG (Wijaya dan Putri, 2013), sebagai betikut :

Tabel 2.1 Klasifikasi Berdasarkan Tingkat Penurunan LFG

Stadium Penjelasan LFG (ml/mnt/1,73 m2)


1 Kelainan ginjal yang ditandai dengan >90 ml/mm/1,73 m2
albuminuria persisten LFG
2 Kelainan ginjal dengan albuminuria 60-89 ml/mnt/1,73 m2
persistten dan LFG
3 Kelainan ginjal dengan LFG 30-59 ml/mnt/1,73 m2
4 Kelainan ginjal dengan LFG 15-29 ml/mnt/1,73 m2
5 Kelainan ginjal dengan LFG <15 ml/mnt/1,73 m2 atau
dialysis

4. Patofisiologi
Secara ringkas patofisiologi gagal ginjal kronik dimulai pada fase awal
ganggaun keseimbangan cairan,
5. Pathway

6. Manifestasi Klinis
Pada gagal ginjal kronik akan menunjukkan terjadinya rangkaian peerubahan.
Apabila LFG 5-10% dari keadaan normal dan terus mendekati nol, maka bisa
terjadi menderita sindrom uremik, yaitu kompleks gejala yang diakibatkan atau
berkaitan dengan retensi metabolik nitrogen akibat gagal ginjal (Suharyanto dan
madjij, 2013). Sedangkan menurut (Wilkinson, 2012) manifestasi pada gagal
ginjal kronis disebabkan karena gangguan yang bersifat sistemik. Berikut
manifestasi yang terjadi pada gagal ginjal kronik, yaitu (Prabowo dan Pranata,
2014) :
a. Ginjal dan gastrointestinal
Akibat dari hiponatremi maka akan timbul hipotensi, mulut kering, penurunan
turgor kulit, kelemahan, fetique, dan mual. Kemudian terjadi penurunan
kesadaran, nyeri kepala hebat. Dampak yang terjadi dari peningkatan kalium
yaitu peningkatan intrabrutas cairan yang tidak terkompensasi akan
mengakibatkan asidosis.

b. Kardiovaskuler
Adanya hipertensi, anemia, kardio megali, uremia, pericarditis, efusi,
pericardial (kemungkinan bisa terjadi temponade jantung), gagal jantung,
edema periorbital dan edema perifer.
c. Respiratory System
Adanya edema pulmonal, nyeri pleura, friction rub, dan efusi pleura, crackes,
sputum yang kental, iskemik pleuritis dan iskemik lung dan sesak nafas.
d. Gastrointestinal
Menunjukkan adanya inflamasi dan ulserasi pada mukosa gastrointestinal
karena sistematis, ulserasi, dan pendarahan gusi dan kemungkinan disertai
parotitis, esophagitis, gastritis, ulseratif duodenal, lesi pada usus halus/usus
besar, colitis, dan pankreatitis. Kejadian sekunder mengikuti seperti anoreksia,
nausea, dan vomiting.
e. Integumen
Kulit pucat, kekuning-kuningan, kecoklat, kering dan adanya scalp. Biasanya
juga menunjukkan adanya purpura, ekimosis, petechie, dan timbunan urea
pada kulit.
f. Neurologis
Ditunjukkan dengan adanya neurpathy perifer, nyeri, gatal pada lengan dan
kaki, adanya kram pada otot dan reflek kedutan, daya memori menurun,
apatis, rasa katuk meningkat. Dilihat dari hasil EKG menunjukkan adanya
perubahan metabolic encepalopathy.
g. Endokrin
Biasanya terjadu infiltrasi dan penurunan libido, amenorhea, dan gangguan
siklus menstruasi pada wanita, impoten, penurunan sekresi sperma,
peningkatan sekresi aldosterone, dan kerusakan metabolisme karbohidrat.
h. Hematopolitic
Menunjukkan adanya anemia, penurunan waktu hidup sel darah merah,
trombositopenia (dampak dari dialysis). Masalah serius pada sistem
hematologi ditunjukkan dengan adanya perdarahan.
i. Muskuloskeletal
Adanya nyeri pada sendi dan tulang, demineralisasi, tulang, fraktur phatologis,
dan klasifikasi (otak, mata, gusi, sendi, dan miokard).

7. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang menurut (Muttaqin dan sari, 2014) pada gagal ginjal
kronik sebagai berikut
a. Pielografi intravena
Menunjukkan abnormalitas pelvis ginjal dan ureter pielografi retrograde,
dilakukan bila dicurigai ada obstruksi yang reversible
b. Sintovretrogram berkemih
Menunjukkan adanya ukuran kandung kemih, refluk kedalam ureter retensi.
c. Ultrasonografi ginjal
Dapat menujukkan ukuran kandung kemih dan adanya massa kista, obstruksi
pada saluran perkemihan bagian atas
d. Endoskopi ginjal nefroskopi
Dapat dilakukan untuk menentukan pelvis ginjal; keluar batu, hematuria, dan
peningkatan tumor selektif
e. Biopsy ginjal
Mungkin dilakukan secara endoskopi untuk menentukan sel jaringan untuk
mendiagnosis histologis
f. EKG
Mungkin abnormal menunjukkan ketidakseimbangan elektrolit dan asam basa,
aritmia, dan tanda pericarditis
g. Darah (Wijaya dan Putri, 2013)
1) BUN : peningkatan BUN dapat merupakan indikasi dehidrasi kegagalan
prerenal/ gagal ginjal
2) Kreatinin : yang memproduksi katabolisme otot dari pemecahan kreatinin
otot dan posfat. Bila 50% nefron rusak maka kadar kreatinin dapat
meningkat
3) Elektrolit : natrium, kalium, kalsium, dan fospat
4) Hematologi : Hemoglobin, trombosit, hematokrit, dan leukosit
5) GDA, PH menurun : asidosis, metabolis
6) Na serum : menurun
7) Kalium : menurun
8) Magnesium/fosfat : meningkat

h. Urin (Wijaya dan Putri, 2013)


1) Volume : biasanya kurang dari 400 ml/24 jam (oliguria)
2) Warma : secara abnorlam urin keruh, mungkin disebabkan oleh pus,
lemak, bakteri, fosfat lunak, kecoklatan menunjukkan adanya darah, Hb,
mioglobin, forforin
3) Berat jenis : < 1.051 (menetap pada 1.010 menunjukkan kerusakan ginjal
berat)
4) Osmolaritas : < 350 Mosm/Kg menunjukkan kerusakan mubular dan rasio
urin/sering 1:1
5) Kliren/kreatinin : mungkin agak menurun
6) Natrium : > 40 Meo/% karena gagal tidak mampu mereabsorbsi natrium
7) Protein : derajat tinggi proteinuria (3-4+) secara bulat, menunjukkan
kerusakan glomelurus jika SDM dan fagmen juga ada PH, kekeruhaan,
glukosa, SDP dan SDM

8. Penatalaksanaan Medis
Penatalaksanaan medis yang dapat dilakukan pada gagal ginjal kronik
(Suharyanto and Madjid, 2013) terdapat 2 tahap yaitu :
a. Tindakan Konservatif
Tahap ini bertujuan untuk meredakan atau memperlambat gangguan fungsi
ginjal progresif pengobatan :
1) Pengaturan diet protein, kalium, natrium, dan cairan
a) Pengaturan diet protein
Yang dilakukan tidak hanya mengurangi kadar BUN, tetapi juga
mengurangi asupan kalium dan fosfat serta mengurangi poduksi ion
hydrogen yang dari protein
b) Diet rendah kalium
Hyperkalemia merupakan masalah pada gagal ginjal lanjut. Asupan
kalium dikurangi. Deiet yang dianjurkan adalah 40-50 mEq/hari
c) Diet rendah natrium
Diet rendah natrium yang dianjurkan 40-90 mEq/hari (1-2g Na).
Asupan natrium yang terlalu longgar dapat menyebabkan retensi urin,
edema perifer, edema paru, dll

d) Pengaturan cairan
Cairan yang di minum pada penderita gagal ginjal kronik pada tahap
lanjut harus diawasi. Parameter yang tepat untuk diikuti selain data
asupan dan pengeluaran cairan yang di catat dengan tepat adalah
pengukuran berat badan

9. Komplikasi
Menurut Smeltzer (2002), komplikasi yang dapat terjadi pada gagal ginjal kronik
memerlukan pendekatan kolaboratif dalam perawatan (Haryono, 2013)
a. Hyperkalemia : yang terjadi akibat penurunan ekresi, asidosis metabolic,
katabolisme, memasukan diet berlebihan
b. Pericarditis : akibat efusi pericardial dan temponade jantung akibat retensi
produksi sampah uremik dan dialysis
c. Hipertensi : dapat terjadi karena retensi cairan, dan natrium serta mal fungsi
sistem renin, angiotensin, aldosterone
d. Anemia : terjadi akibat penurunan eritroprotein, penurunan rentang usia, sel
darah merah, perdarahan gastrointestinal akibat iritasi
e. Penyakit tulang : terjadi akibat retensi fosfat, kadar kalium serum yang rendah,
metabolisme vitamin D abnormal dan peningkatan kadar aluminium

Hipertensi yang dibiarkan tak tertangani, dapat mengakibatkan : (Haryanto &


Rini, 2015, p. 41) :

1. Transien Iskemik Attact


2. Stroke /CVA
3. Gagal jantung
4. Gagal ginjal
5. Infark miokard
6. Disritmia jantung

Komplikasi lainnya yaitu :

1. Pecahnya pembuluh darah serebral : aliran darah keotak tidak mengalami


perubahan masing-masing pada penderita hipertensi kronis dengan mean
adrenal pressure (MAP) 120-160 mmHg dan penderita hipertensi new
onset dengan MAP antara 60-120 mmHg. Pada keadaan hiperkapnia,
autoregulasi menjadi sempit dengan batas tertinggi 125 mmHg sehingga
perubahan sedikit saja dari tekanan darah akan menyebabkan asisdosis
otak yang mempercepat timbulnya edema otak.
2. Penyakit ginjal kronik : mekanisme hipertensi pada PGK melibatkan beban
volume dan vasokontriksi. Beban volume disebabkan oleh gangguan
ekskresi sodium sedangkan vasokonstriksi berkaitan dengan perubahan
parenkim ginjal.
3. Penyakit jantungkoroner : ada dua mekanisme yang diajukan mengenai
hubungan hipertensi dengan peningkatan risiko terjadinya gagal jantung.
Pertama, hipertensi merupakan faktor risiko terjadinya infark miokard akut
yang dapat menyebabkan gangguan fungsi sistolik ventrikel kiri dan gagal
jantung. Kedua, hipertensi menyebabkan terjadi disfungsi diastolic dan
meningkatkan risiko gagal jantung.
4. Stroke pendarahan subarachnoid : terjadi ketika terdapat kebocoran
pembuluh darah didekat otak, yang mengakibatkan ekstravasasi drah
kedalam celah subarachnoid. Penyebab tersering SAH adalah rupture
mikroaneurisma ini tidak diketahui dan diduga terkait kelainan bawaan.
Pada penderita hipertensi terjadi penebalan lapisan intima dinding arteri
dan selanjutnya dapat meningkatkan tahanan dan elastisitas dinding
pembuluh darah. Ketika terjadi peningkatan tekanan pada dinding
pembuluh darah maka aneurisma akan mengalami rupture. Aneurisma
dengan diameter lebih dari 10 mm akan lebih mudah mengalami rupture.
(Pikir dkk, 2015, p. 127)
B. Konsep Hemodialisa

1. Pengertian

Hemodialisis adalah proses pembuangan zat-zat sisa metabolisme, zat toksiklainnya


melalui membran semi permeabel sebagai pemisah antara darah dan dialisatyang sengaja
dibuat dalam dializer (LeMone, Burke, &Bauldoff, 2016).

Hemodialisis merupakan suatu tindakan yang digunakan pada klien gagalginjal untuk
menghilangkan sisa toksik, kelebihan cairan dan untuk memperbaikiketidakseimbangan
elektrolit dengan prinsip osmosis dan difusi denganmenggunakan sistem dialisis eksternal
dan internal (LeMone, Burke, &Bauldoff,2016).

2. Tujuan Hemodialisis

Tujuan dari terapi hemodialisis yaitu (Wijaya &Putri, 2013) :

a. Menggantikan fungsi ginjal dalam fungsi ekskresi yaitu membuang sisa-sisa


produk metabolisme dalam tubuh seperti, ureum, kreatinin dan sisa metabolisme
yang lain.

b. Menggantikan fungsi ginjal dalam membuang kelebihan air dengan


mempengaruhi tekanan banding antara darahdan bagian cairan.

c. Mempertahankan atau mengembalikan sistem buffer tubuh

d. Mempertahankan atau mengembalikan kadar elektrolit tubuh

3. Indikasi Hemodialisis

Indikasi dilakukannya terapi hemodialisis adalah (Wijaya & Putri, 2013)


a. Pasien yang memerlukan hemodialisis adalah pasien GGK dan GGA
untuksementara sampai fungsi ginjalnya pulih ( laju filtrasi glomerulus < 5 ml).
b. Pasien-pasien tersebut dinyatakan memerlukan terapi hemodialisis
apabilaterdapat indikasi:
1) Hiperkalemia ( K+darah 6 meq/l)
2) Asidosis Metabolik
3) Kegagalan terapi konservatif
4) Kadar ureum/ kreatinin tinggi dalam darah (Ureum > 200 mg%,
kreatininserum > 6 mEq/l
5) Kelebihan cairan
6) Mual dan muntah hebat
c. Indikasi obat dan zat kimia
d. Ketidakseimbangan cairan dan elektrolit berat. Sindrom hepatorenal
dengankriteria :
1) K+ pH darah < 7,10 asidosis
2) Oliguri/anuria > 5 hr
3) GFR < 5ml/menit/1,73 m2 pada GGK
4) Ureum darah > 200 mg/dl

4. Kontra Indikasi Hemodialisis

Selain indikasi hemodialisa juga kontraindikasi pada :

a. Hipertensi Berat ( TD > 200/ 100 mmHg )

b. Hipotensi ( TD<100 mmHg )

c. Adanya perdarahan hebat

d. Demam tinggi

5. Prosedur Pelaksanaan Hemodialisis

Prosedur pelaksanaan untuk proses terapi hemodialisis sebagai berikut (Wijaya &
Putri, 2013) :

a. Tahap Persiapan

1) Mesin sudah siap pakai

2) Alat lengkap 1 set Hemodialisis

3) Obat-obatan

4) Administrasi (surat persetujuan HD)

b. Tahap pelaksanaan

1) Penjelasan pada klien dan keluarga

2) Timbang berat badan

3) Atur posisi, observasi TTV

4) Siapkan sirkulasi mesin

5) Persiapan tindakan steril pada daerah punksi

6) Lakukan penusukan vena (outlet dan in let) dengan AV fistula lalu tutupdengan
kasa steril

7) Berikan bolusheparin (dosis awal 50-100 IU/kg BB)

8) Memulai hemodialisis
9) Pencatatan dokumentasi selama proses dialisis

c. Tahap penghentian

1) Siapkan alat

2) Ukur TTV

3) Lepaskan outlet dan inletpunksi

4) Ukur TTV

5) Timbang berat badan

6) Analisa keluhan saat dan sesudah HD

6. Prinsip Hemodialisis

Prinsip pelaksanaan dari terapi hemodialisis itu meliputi (LeMone, Burke, &Bauldoff,
2016) :

a. Difusi

Dihubungkan dengan pergeseran partikel-partikel dari konsentrasi tinggi


kekonsentrasi rendah oleh tenaga yang di timbulkan oleh perbedaan
konsentrasizat-zat terlarut di kedua sisi membran dialisis, difusi menyebabkan
pergeseranurea, kreatinin dan asam urat dari kompartemen darah klien ke
kompartemendialisat.

b. Osmosis

Mengangkut pergeseran cairan lewat membran semipermeabel dari


daerahyang kadar partikel-partikel rendah ke daerah yang kadar partikel lebih
tinggi,osmosis bertanggung jawab atas pergeseran cairan dari klien terutama
padadialiser.

c. Ultrafiltrasi

Berpindahnya zat pelarut (air) melalui membrane semi permeable


akibatperbedaan tekanan hidrostatik pada kompartemen darah dan
kompartemendialisat.

d. Konveksi
Saat cairan dipindahkan selama hemodialisis, cairan yang dipindahkan
akanmengambil bersama dengan zat terlarut yang tercampur dalam cairan
tersebut.

7. Komplikasi Hemodialisis

Komplikasi terapi dialisis dapat mencakup hal-hal sebagai berikut (Suharyanto


&Madjid, 2009) :

a. Hipotensi, dapat terjadi selama terapi dialisis ketika cairan dikeluarkan

b. Emboli udara, merupakan komplikasi yang jarang tetapi dapat terjadi jikaudara
memasuki sistem vaskuler pasien.

c. Pruritus, dapat terjadi selama terapi dialisis ketika produk akhir


metabolismemeninggalkan kulit.

d. Gangguan keseimbangan dialisat, terjadi karena perpindahan cairan serebraldan


muncul sebagai serangan kejang. Komplikasi ini kemungkinan terjadinyalebih
besar jika terdapat gejala uremia yang berat.

e. Kram otot, terjadi ketika cairan dan elektrolit dengan cepat meninggalkanruang
ekstrasel.

f. Mual dan muntah.

g. Anemia dan sakit kepala

8. Pemeriksaan Penunjang

a. Laboratorium

1) Kadar BUN (normal: 5-25 mg/dL) 2 , kreatinin serum (normal:0,5-1,5


mg/dL;45-132,5 µmol/L[unit SI]) 2 , natrium (normal: serum: 135-145
mmol/L;urine: 40-22- mEq/L24 jam), dan kalium (normal: 3,5-5,0 mEq/L; 3-
5,0mmol/L[unit SI]) 2 , meningkat.

2) Analisis gas darah arteri menunjukkan penurunan pH arteri (normal: 7,35-7,45)


2 dan kadar bikarbonat (normal: 24-28 mEq/L) 2.
3) Kadar hematokrit (normal: wanita= 36-46%, 0,36-0,46 [unit SI]; pria= 40-50%,
0,40-0,54 [unit SI]) 2 dan hemoglobin (normal: wanita+ 12-16 g/dL;pria = 13,5-
18 g/dL) 2 rendah; masa hidup sel darah merah berkurang.

4) Muncul defektrombositopenia dan trombosit ringan.

5) Sekresi aldosteron meningkat

6) Terjadi hiperglikemia dan hipertrigliseridemia

7) Penurunan kadar highdensity lipoprotein (HDL) (normal: 29-77 mg/dL).

8) Analisis gas darah (AGD) menunjukkan asidosis metabolic

9) Berat jenis urine (normal:1.0005-1,030) 2 tetap pada angka 1,010

10) Pasien mengalami proteinuria, glikosuria, dan pada urine ditemukansedimentasi,


leukosit, sel darah merah, dan Kristal.

b. Pencitraan

Radiografi KUB, urografiekskretorik, nefrotomografi, scan ginjal, dan


arteriografi ginjal menunjukkan penurunan ukuran ginjal.

c. Prosedur diagnostik

1) Biopsy ginjal memungkinkan identifikasi histologist dari proses penyakityang


mendasari.

2) EEG menunjukkan dugaan perubahan ensefalopatimetabolic

C. Konsep Hipertensi
1. Definisi
Hipertensi Adalah kondisi abnormal hemodinamik, dimana menurut WHO
tekanan sistolik ≥ 140 mmHg dan atau tekanan diastolic > 90 mmHg ( untuk usia
< 60 tahun ) dan tekanan sistolik ≥ 160 mmHg dan atau tekanan diastolic > 95
mmHg (untuk usia > 60 tahun) (Nugroho, 2011, p. 263).
Hipertensi adalah peningkatan tekanan darah secara terus menerus hinggal
melebihi batas normal. Tekanan darah normal adalah 140/90 mmHg .Adalah
tekanan sistolik lebih tinggi dari 140 mmHg menetap atau tekanan distoolik lebih
tinggi dari 90mmHg (Manurung, 2016, p. 102)

2. Etiologi
Menurut (Widjadja, 2013) penyebab hipertensi dapat dikelompokkan menjadi
dua yaitu :
a) Hipertensi primer atau esensial
Hipertensi primer artinya hipertensi yang belum diketahui penyebab
dengan jelas. Berbagai faktor diduga turut berperan sebagai penyebab
hiperetensi primer, seperti bertambahnya usia, stres psikologis, pada
konsumsi yang tidak sehat, dan hereditas (keturunan). Sekitar 90% pasien
hipertensi diperkirakan termasuk dalam kategori ini.
b) Hipertensi sekunder
Hipertensi sekunderb yang penyebabnya sudah diketahui, umumnya
berupa penyakit atau kerusakan organ yang berhubungan dengan cairan
tubuh, misalnya ginjal yang tidak berfungsi, pemakian kontrasepsi oral, dan
terganggunya keseimbangan hormon yang merupakan faktor pengatur
tekanan darah. Dapat disebabkan oleh penyakit ginjal, penyakit endokrin,
dan penyakit jantung.

3. Klasifikasi
Menurut (Nurarif & Kusuma, 2015, p.102)

No Kategori Sistolik (mmHg) Diastolik (mmHg)


1 Optimal <120 <80
2 Normal 120-129 80-84
3 High Normal 130-139 85-89
4 Hipertensi Grade 1 (Ringan) 140-149 90-99
5 Hipertensi Grade 2 (Sedang) 160-179 100-109
6 Hipertensi Grade 3 (Berat) 180-209 100-119
7 Hipertensi Grade 4 (Sangat Berat) >210 >120

4. Patofisiologi
Mekanisme yang mengontrol konstriksi dan relaksasi pembuluh darah terletak
di pusat vasomotor medula di otak.Dari pusat vasomotor ini bermula jaras saraf
simpatis, yang berlanjut kebawah ke korda spinalis dan keluar dari kolumna
medula spinalis ke ganglia simpatis toraks dan abdomen.Rangsangan pusat
vasomotor dihantarkan dalam bentuk impuls yang bergerak kebawah melalui
sistem saraf simpatis ke ganglia simpatis. Pada titik ini, neuron pre-ganglion
melepaskan asetilkolin, yang akan merangsang serabut saraf pasca ganglion ke
pembuluh darah, dimana dengan dilepaskannya norepinefrin mengakibatkan
konstriksi pembuluh darah. Berbagai faktor, seperti kecemasan dan ketakutan
dapat mempengaruhi respons pembuluh darah terhadap rangsang
vasokonstriktor.Klien dengan hipertensi sangat sensitif terhadap norepinefrin,
meskipun tidak diketahui dengan jelas mengapa hal tersebut dapat terjadi.
Pada saat bersamaan ketika sistem saraf simpatis merangsang pembuluh darah
sebagai respons rangsang emosi, kelenjar adrenal juga terangsang, mengakibatkan
tambahan aktivitas vasokonstriksi.Medula adrenal menyekresi epinefrin, yang
menyebabkan vasokonstriksi.Korteks adrenal menyekresi kortisol dan steroid
lainnya, yang dapat memperkuat respons vasokonstriktor pembuluh
darah.Vasokonstriksi yang mengakibatkan penurunan aliran darah ke ginjal,
menyebabkan pelepasan renin.
Renin yang dilepaskan merangsang pembentukan angiotensin I yang
kemudian diubah menjadi angiotensin II, vasokonstriktor kuat, yang pada
akhirnya merangsang sekresi aldosterone oleh korteks adrenal.Hormone ini
menyebabkan retensi natrium dan air oleh tubulus ginjal, menyebabkan
peningkatan volume intravaskuler.Semua faktor tersebut cenderung mencetuskan
hipertensi (Brunner & Suddarth, 2013).

5. Pathway

Alur Klinis Hipertensi menurut (Reny, 2010)

Faktor predisposisi

Merangsang pusat vasomotor

Merangsang neuron pre-ganglion untuk melepaskkan asetilkolin

Merangsang serabut pasca ganglion ke pembuluh darah untuk melepaskan norepinefrin


Kortisol dan steroid lainnya disekresi Kelenjar medula adrenal juga
oleh kelenjar korteks adrenal terangsang untuk menyekresi
epinefrin

Memperkuat

Vasokonstriksi pembuluh darah

Penurunan aliran darah ke ginjal

Pelepasan renin

Merangsang pembentukan angiotensin Imenjadi angiotensin II

Merangsang sekresi aldosteron

Retensi natrium dan air di tubulus

Peningkatan volume intravaskular

Hipertensi

Peningkatan retensi terhadap pemompaan darah ventrikel


Peningkatan beban kerja jantung

Hipertrofi ventrikel kiri

Kerusakan vaskular

Sistemik Koroner

Otak Ginj Penurunan suplai O2 ke koroner

Obstruksi/ruptur Disfungs Iskemik miokard


pembuluh darah i ginjal
otak

Nekrose lebih dari 30 menit

Gagal
Stroke
ginjal
Hemoragi
Supply dan kebutuhan oksigen
ke jantung tidak seimbang

Nyeri
Vasokonstriksi Supply oksigen ke miocard turun
Kepala

Seluler hipoksia
Peningkatan
Diagnosa
afterload
Keperawatan:
Nyeri akut
Integritas membran sel berubah

Kontarktilitas turun

Metabolisme Anaerob

Fatigue( kelelahan) Diganosa


keperawatan
nyeri
Kerusakan pertukaran
gas
Diagnosa
Cemas
Diagnosa keperawatan
keperawatan
Resiko penurunan curah
Intoleransi
jantung
Timbunan asam laktat aktiviatas
meningkat
6. Manifestasi Klinis
Tanda dan gejala hipertensi dibedakan menjadi :
a. Tidak ada gejala
Tidak ada gejala yang spesifik yang dapat dihubungkan dengan
peningkatan tekanan darah, selain penentuan tekanan arteri oleh dokter
yang memeriksa. Hal ini berarti hipertensi arterial tidak akan pernah
terdiagnosa jika tekanan arteri tidah terukur
b. Gejala yang lazim
Sering dikatan bahwa gejala terlazim yang menyertai hipertensi meliputi
nyeri kepalakarena adanya peningkatan tekanan darah sehingga
mengakibatkan hipertensi dan tekanan intrakarnial naik,dan
kelelahan.Dalam kenyataan ini merupakan gejala terlazim yang mengenai
kebanyakan pasien yang mencari pertolongan medis.

Beberapa pasien yang menderita hipertensi yaitu :


a. Mengeluh sakit kepala, pusing dikarenakan peningkatan tekanan darah
dan hipertensi sehingga intrakarnial naik
b. Lemas, kelelahan : karena stress sehingga mengakibatkan ketegangan
yang mempengaruhi emosi, pada saat ketegangan emosi terjadi dan
aktivitas saraf simatis sehingga frekuensi dan krontaktilitas jantung naik,
aliran darah menurun sehingga suplei O2 dan nutrisi otot rangka
menurun, dan terjadi lemas.
c. Susah nafas, kesadaran menurun : karena terjadinya peningkatan
krontaktilitas jantung
d. palpitasi (berdebar-debar): karena jantung memompa terlalu cepat
sehingga dapat menyebabkan berdebar-debar, Gampang marah
(Nurarif & Kusuma, 2015, p. 103)

7. Komplikasi

Hipertensi yang dibiarkan tak tertangani, dapat mengakibatkan : (Haryanto &


Rini, 2015, p. 41) :
1) Transien Iskemik Attact
2) Stroke /CVAGagal jantung
3) Gagal ginjal
4) Infark miokard
5) Disritmia jantung

Komplikasi lainnya yaitu :


1) Pecahnya pembuluh darah serebral : aliran darah keotak tidak mengalami
perubahan masing-masing pada penderita hipertensi kronis dengan mean
adrenal pressure (MAP) 120-160 mmHg dan penderita hipertensi new
onset dengan MAP antara 60-120 mmHg. Pada keadaan hiperkapnia,
autoregulasi menjadi sempit dengan batas tertinggi 125 mmHg sehingga
perubahan sedikit saja dari tekanan darah akan menyebabkan asisdosis
otak yang mempercepat timbulnya edema otak.
2) Penyakit ginjal kronik : mekanisme hipertensi pada PGK melibatkan beban
volume dan vasokontriksi. Beban volume disebabkan oleh gangguan
ekskresi sodium sedangkan vasokonstriksi berkaitan dengan perubahan
parenkim ginjal.
3) Penyakit jantungkoroner : ada dua mekanisme yang diajukan mengenai
hubungan hipertensi dengan peningkatan risiko terjadinya gagal jantung.
Pertama, hipertensi merupakan faktor risiko terjadinya infark miokard akut
yang dapat menyebabkan gangguan fungsi sistolik ventrikel kiri dan gagal
jantung. Kedua, hipertensi menyebabkan terjadi disfungsi diastolic dan
meningkatkan risiko gagal jantung.
4) Stroke pendarahan subarachnoid : terjadi ketika terdapat kebocoran
pembuluh darah didekat otak, yang mengakibatkan ekstravasasi drah
kedalam celah subarachnoid. Penyebab tersering SAH adalah rupture
mikroaneurisma ini tidak diketahui dan diduga terkait kelainan bawaan.
Pada penderita hipertensi terjadi penebalan lapisan intima dinding arteri
dan selanjutnya dapat meningkatkan tahanan dan elastisitas dinding
pembuluh darah. Ketika terjadi peningkatan tekanan pada dinding
pembuluh darah maka aneurisma akan mengalami rupture. Aneurisma
dengan diameter lebih dari 10 mm akan lebih mudah mengalami rupture.

8. Pemeriksaan Penunjang
a. Hitung darah lengkap : pemeriksaan hemoglobin, hematokrit untuk menilai
viskositas dan indicator faktpr risiko seperti hiperkoagulabilitas,
anemia(Udjianti, 2013, p. 109)
2) Kimia darah (Udjianti, 2013, p. 109)
3) BUN, kreatinin: peningkatan kadar menandakan perununan perfusi atau
faal renal
4) Serum glukosa : hiperglisemia (diabetes mellitus adalah presipitator
hipertensi) akibat dari peningkatan kadar katekolamin
5) Kadar kolsterol atau trigliserida : peningkatan kadar mengindikasikan
predisposisi pembentukan plaque atheromatus
6) Kadar serum aldesteron : menilai adanya aldosteronisme primer
7) Studi tiroid (T3 dan T4) : menilai adanya hipertiroidisme yang
berkontribusi terhadap vasokontriksi dan hipertensi
8) Asam urat : hiperuricemia merupakan implikasi faktor risiko hipertensi
9) Elektrolit (Udjianti, 2013, p. 109)
10) Serum potassium atau kalium (hipokalemia mengindikasikan adanya
aldosteronisme atau efek samping terapi deuretik)
11) Serum kalsium bila meningkat berkontribusi terhadap hipertensi
12) Urine(Udjianti, 2013, p. 109)
13) Analisis urine adanya darah, protein, glukosa dalam urine
mengidentifikasikan difusi renal atau diabetes
14) Urine VMA : peningkatan kadar mengindikasikan adanya
pheochromacytoma
15) Steroid urine : peningkatan kada mengindikasikan hyperadrenalisme,
pheochromacytoma, atau disfungsi pituitary, Sindrom Cushing’s kadar
rennin juga meningkat
b. Radiologi (Udjianti, 2013, p. 110)
1) Intra Venous Pyelografi (IVP) mengidentifikasi penyebab hipertensi
seperti renal pharenchymal disease urolithiasis, benign prostate
hyperplasia (BPH)
c. Rontgen toraks : menilai adanya klasifikasi obstruktif katup jantung, deposit
kalsium pada aorta, dan pembesaran jantung
d. EKG : menilai adanya hipertrofi miokard, pola stain, gangguan konduksi
atau disritmia(Udjianti, 2013, p. 110)
e. Pemeriksaan Laboratorium (Haryanto & Rini, 2015, p. 104)
1) Hb/Ht : untuk mengkaji hubungan dari sel-sel terhadap volume cairan
(viskositas) dan dapat mengidentifikasikan faktor risiko seperti :
Hipokoagubilitas, anemia.
2) BUN/ keratinin : memberikan informasi tentang perfusi/ fungsi ginjal
3) Urinalisa : darah, protein, glukosa, mengisaratkan disfungsi ginjal danada
DM
f. CT Scan : mengkaji adanya tumor cerebral, encelopati
g. IUP : mengidentifikasikan penyebab hipertensi seperti : Batu ginjal,
perbaikan ginjal
h. Photo dada: menunjukkan destruksi klasifikasi pada area katup, pembesaran
jantung.

9. Penatalaksanaan Medis
Tujuan deteksi dan penatalaksanaan hipertensi adalah menurunkan resiko
penyakit kardiovaskular dan mortalitas serta morbiditas yang berkaitan. Tujuan
terapi adalah mencapai dan mempertahankan tekanan sistolik di bawah 140
mmHgdan tekanan diastolik 90mmHg dan mengontrol faktor resiko. Hal ini dapat
dicapai dengan melalui modifikasi gaya hidup saja, atau dengan obat anti
hipertensi (Mansjoer, 2010).
Penatalaksanaan faktor resiko dilakukan dengan cara pengobatan setara non
farmakologis , antara lain :
a. Pengaturan diet
Berbagai studi menunjukkan bahwa diet dan pola hidup sehat atau
dengan obat –obatan yang menurunkan gejala gagal jantung dan dapat
memperbaiki keadaan hipertropi ventrikel kiri.
Beberapa diet yang dianjurkan :

1) Rendah garam, diet rendah garam dapat menurunkan tekanan darah


pada klien hipertensi. Dengan pengurangan konsumsi garam dapat
mengurangi stimulasi sistem renin-angiotensin sehingga sangat
berpotensi sebagai anti hipertensi. Jumlah asupan natrium yang
dianjurkan 500-100 mmol atau setara dengan 3-6 gram garam per
hari.

2) Diet tinggi kalium, dapat menurunkan tekanan darah tetapi


mekanismenya belum jelas. Pemberian kalium secara intravena dapat
menyebabkan vasodilatasi, yang dipercaya dimediasi oleh
oksidanitrat pada dinding vaskular.

3) Diet kaya buah dan sayur

4) Diet rendah kolesterol sebagi pencegah terjadinya jantung koroner

b. Penurunan berat badan


Mengatasi obesitas, pada sebagian orang , dengan cara menurunkan
berat badan mengurangi tekanan darah, kemungkinan dengan mengurangi
beban kerja jantung dan volume sekuncup. Pada beberapa studi dan
hipertropi ventrikel kiri. Jadi, penurunan berat badan adalah hal yang
sangat efektif untuk menurunkan tekanan darah. Penurunan berat badan (1
kg/ minggu) sangat dianjurkan. Penurunan berat badan dengan
menggunakan obat-pbatan perlu menjadi perhatian khusus karena
umumnya obat penurunan berat badan yang terjual bebas mengandung
umumnya obat penurunan berat badan yang terjual bebas mengandung
simpatomimetik, sehingga dapat meningkatkan tekanan darah,
memperburuk angina atau gejala gagal jantung dan terjadinya eksaserbasi
aritmia.

c. Olahraga
Olahraga teratur seperti berjalan, lari , berenag, bersepeda bermanfaat
umtuk menurunkan tekanan darah dan memperbaiki keadaan jantung.
Olahraga isotonik juga dapat meningkatkan fungsi endotel, vasodilatasi
perifer dan mengurangi katekolamin. Olahraga teratur selama 30 menit
sebanyak 3-4 kali dalam satu mimggu sangat dianjurkan untuk
menurunkan tekanan darah. Olahraga meningkatkan HDL, yang dapat
mengurangi terbentuknya arterosklerosis akibat hipertensi.

d. Memperbaiki gaya hidup yang kurang sehat


Berhenti merokok dan tidak mengomsumsi alkohol untuk mengurangi
efek jangka panjang hipertensi karena asap rokok diketahui menurunkan
aliran darah ke berbagai organ dan dapat meningkatkan kerja jantung.

Jenis-jenis obat antihipertensi :


1) Diuretik Obat-obatan jenis diuretik bekerja dengan mengeluarkan
cairan tubuh (Iewat kencing), sehingga volume cairan tubuh berkurang
mengakibatkan daya pompa jantung menjadi lebih ringan dan berefek
turunnya tekanan darah. Digunakan sebagai obat pilihan pertama pada
hipertensi tanpa adanya penyakit lainnya.
2) Penghambat Simpatis Golongan obat ini bekerja denqan menghambat
aktifitas syaraf simpatis (syaraf yang bekerja pada saat kita
beraktifitas). Contoh obat yang termasuk dalam golongan penghambat
simpatetik adalah : metildopa, klonodin dan reserpin. Efek samping
yang dijumpai adalah: anemia hemolitik (kekurangan sel darah merah
kerena pecahnya sel darah merah), gangguan fungsi ahati dan kadang-
kadang dapat menyebabkan penyakit hati kronis. Saat ini golongan ini
jarang digunakan.
3) Betabloker Mekanisme kerja obat antihipertensi ini adalah melalui
penurunan daya pompa jantung. Jenis obat ini tidak dianjurkan pada
penderita yang telah diketahui mengidap gangguan pernafasan seperti
asma bronkhial. Contoh obat golongan betabloker adalah metoprolol,
propanolol, atenolol dan bisoprolol. Pemakaian pada penderita diabetes
harus hati-hati, karena dapat menutupi gejala hipoglikemia (dimana
kadar gula darah turun menjadi sangat rendah sehingga dapat
membahayakan penderitanya). Pada orang dengan penderita
bronkospasme (penyempitan saluran pernapasan) sehingga pemberian
obat harus hati-hati.
4) Vasodilatator Obat ini bekerja langsung pada pembuluh darah dengan
relaksasi otot polos (otot pembuluh darah). Yang termasuk dalam
golongan ini adalah prazosin dan hidralazin. Efek samping yang sering
terjadi pada pemberian obat ini adalah pusing dan sakit kapala.
5) Penghambat enzim konversi angiotensin Kerja obat golongan ini
adalah menghambat pembentukan zat angiotensin II (zat yang dapat
meningkatakan tekanan darah). Contoh obat yang termasuk golongan
ini adalah kaptopril. Efek samping yang sering timbul adalah batuk
kering, pusing, sakit kepala dan lemas.
6) Antagonis kalsium Golongan obat ini bekerja menurunkan daya pompa
jantung dengan menghambat kontraksi otot jantung (kontraktilitas).
Yang termasuk golongan obat ini adalah : nifedipin, diltizem dan
verapamil. Efek samping yang mungkin timbul adalah : sembelit,
pusing, sakit kepala dan muntah.
7) Penghambat reseptor angiotensin II Kerja obat ini adalah dengan
menghalangi penempelan zat angiotensin II pada reseptornya yang
mengakibatkan ringannya daya pompa jantung. Obat-obatan yang
termasuk .golongan ini adalah valsartan. Efek samping yang munkin
timbul adalah sakit kepala, pusing, lemas, mual.
Daftar Pustaka

Arief Mansjoer. 2010. Kapita Selektif Kedokteran, edisi 4, Jakarta : Media

Aspiani, Reni , yuni, 2010, Asuhan Keperawatan Klien Gnagguan KardiovaskulerAplikasi


Nic Noc, Jakarta : EGC

Brunner & Suddarth. 2013. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Edisi 8 Volume 2. Jakarta : EGC

Harjono, R. 2013. Keperawatan Medikal Bedah : System Perkemihan. Yogyakarta : Andi Offses

Haryanto, A., & Rini, S. (2015). Keperawatan Medikal Bedah 1. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.

Kemenkes RI.2017. Infodatin Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI CKD

LeMone, Burke, &Bauldoff. 2016. Keperawatan Medikal Bedah, Alih bahasa. Jakarta: EGC.

Mahdiana.2010. Panduan Kesehatan Jantung dan Ginjal. Yogyakarta : Citra Medikal

Manurung, N. (2016). Aplikasi Asuhan Keperawatan Sistem Kardiovaskuler. Jakarta: KDT.

Muttaqin, Arif & Sari, Kumala. 2014. Gangguan Gastrointestinal Aplikasi Asuhan Keperawatan
Medikal Bedah. Jakarta : Salemba Medika

Nuarif, A.N dan Kusuma H. 2015. Aplikasi Asuhan Keoerawatan Berdasarkan Diagnosa Medis &
Nanda Nic-Noc . Yogyakarta : Media Action

Nugroho, T. (2011). Asuhan Keperawatan. Yogyakarta: Nuha Medika.

Prabowo, Eka dan Andi Eka Pratama. 2014. Asuhan Keperawatan System Perkemihan. Yogyakarta :
Hukum Media

Smeltzer and Bare. 2009. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner and Suddarth Volume 2
Edisi 8. Jakarta : EGC

Suharyanto, T & Madjid, A. 2009. Asuhan Keperawatan Pada klien dengan. Gangguan Sistem
Perkemihan. Jakarta: TIM.

Udjianti, J. W. 2010. Keperawatan Kardiovaskuler. Jakarta : Salemba Medika

Wijaya, A. S., & Putri, Y. M. 2013. KMB 1 Keperawatan Medikal Bedah,Keperawatan Dewasa Teori
dan Contoh Askep. Yogyakarta: Nuha Medika.

Wijdjaja, Felix, dkk., 2013. Prehypertension and hyperetnsion among young Indonesia adults a
primary health care in a rural area

Anda mungkin juga menyukai