Tugas Etik Medik

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 6

Kuliah Wajib Ilmu Dasar

ETIK MEDIK KASUS BAGIAN MATA

Oleh:
dr. Agung Putra Evasha
dr. Nurfanida Natasya M
dr. Nadia Vinka Lisdianti
dr. Ryan Aquario
dr. Alifvia Nabdakh
dr. Muhammad Apriliandy S
Departemen: Ilmu Kesehatan Mata

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA


RSUP DR. MOH. HOESIN PALEMBANG
TAHUN 2020
http://beritajatim.com/pendidikan_kesehatan/287971/buta_permanen,_pas
ien_polisikan_dokter_mata.html

Buta Permanen, Pasien Polisikan Dokter Mata


Jum'at, 20 Januari 2017 18:25:12 WIB
Reporter : Arif Fajar Ardianto

Surabaya (beritajatim.com) - Harapan Tatok Poerwanto untuk bisa


menyembuhkan katarak bagian mata kirinya sirna. Kondisinya kini justru
mengalami buta permanen. Pria 78 tahun Warga Jalan Ubi Surabaya ini
diduga mengalami malpraktik dan pelanggaran kode etik keprofesian dari
Dokter di Surabaya Eye Clinic (SEC) Jemursari Surabaya. Kejadian ini
bermula saat dirinya mendapat perawatan medis di Rumah Sakit Mata
kawasan Jemursari Surabaya, pada tanggal 28 April tahun 2016. Saat itu,
Tatok ditangani oleh dr. Moestidjab. Dikatakan Bapak tujuh anak ini, dirinya
diminta melakukan operasi. "Katanya sudah banyak yang mengalami
begitu," terang Tatok saat ditemui di kediamannya di Jalan Ubi Gang II
Surabaya, Jumat (20/1/2017).

Tapi, pasca operasi pertama, Tatok tidak merasakan ada perubahan


membaik. Justru, kondisi matanya kian nyeri dan sakit. Perawatan hanya
ditutup dengan perban. ”Tapi kata dr. Moestidjab ndak papa,” ujar Tatok.
Karena kian parah, Tatok pun akhirnya disarankan untuk operasi kedua.
Lokasinya di RS. Graha Amerta Surabaya. Alasannya, dikatakan dr.
Moestidjab kepada pihak keluarga, peralatan di rumah sakit tersebut lebih
lengkap. Tatok pun menuruti saran Dokter tersebut. Pada tanggal 10 Mei
2016, operasi dilakukan. Dugaan kejanggalan pun dialami oleh keluarga.
Menurut Condro Wiryono Poerwanto, anak korban, operasi yang awalnya
dijanjikan hanya berlangsung 30 menit, mendadak molor hingga lima jam.

Hingga pasca operasi kedua, dr. Moestidjab hanya menugaskan


asistennya untuk menyampaikan hasil operasi kepada pihak keluarga.
”Dokter itu berupaya bohong. Dengan meminta asistennya mengatakan
operasi tidak dapat dilanjutkan. Karena ada pendarahan. Selain itu alat
tidak memadai, jadi beliau angkat tangan,” ujar Condro. Meski begitu, dr.
Moestidjab masih meyakinkan pihak keluarga dengan merujuk lokasi
berobat di Singapura. Lagi-lagi keterbatasan alat menjadi alasan. Pun
demikian, pihak keluarga mulai merasakan kejanggalan, akhirnya
membawa ayah mereka berobat di Singapura. Ironisnya, ketika sampai di
Singapura, lokasi yang menjadi saran dr. Moestidjab tidak representatif.
Hanya sebuah bangunan ruko. Disana, kejanggalan pun kian membuat
pihak keluarga jengkel. Apalagi, menurut keterangan menantu Tatok,
Eduard Rudy Suharto, setelah dibawa ke Singapore National Eye Centre
(SNEC), mata sebelah kiri Totok sudah mengalami kerusakan. “Dari awal
pasca operasi pertama. Beliau (dr. Moestidjab, Red) tidak mengatakan
kondisi sebenarnya kepada keluarga.

Bukan malah membaik justru kian parah yang dirasakan,”


ujarnya. Itu baru terbongkar, setelah pihak keluarga mendapat rekam
medis hasil berobat. Yakni, kondisi mata Tatok tidak bisa ditangani, karena
operasi pertama ada lensa mata yang robek. Serta pecahan katarak
ternyata bertaburan di mata korban. Hingga akhirnya, Eduard mendatangi
dr. Moestidjab pada tanggal 13 Januari 2017. Sudah sembilan bulan
berlalu, akhirnya hasil rekam medis dari SNEC pun ditunjukkan. “Awalnya
dia berkilah. Sejak awal bilangnya, sudah..ndak papa itu.

Ternyata begitu saya tunjukkan hasil rekam medis dari Singapura dia
tertunduk malu”, kata Eduard.

Menurut Eduard saat didesak, akhirnya dr. Moestidjab mengaku


bahwa dia berbohong. ”Alasannya, saat itu gagal operasi namun dia malu
untuk berterusterang. Karena takut reputasinya jatuh di mata keluarga
kami,” ucapnya. Hingga saat ini, pihak keluarga Tatok merasa tidak terima
dan melanjutkan persaoalan tersebut ke ranah hukum. Dikatakan Eduard,
Pengacara keluarga sudah melaporkan dr. Moestidjab dan Klinik SEC
Jemursari Surabaya atas dugaan malpraktek serta pelanggaran kode etik.
”Kami juga sudah mengadukan persoalan ini ke IDI Jatim, sehingga
kasusnya bisa segera ditangani,” ucap Eduard yang juga Ketua Solidaritas
Merah Putih (Solmet) Jatim ini. Terpisah, pihak Surabaya Eye Clinic
khususnya dr. Moestidjab belum memberikan keterangan resmi menyoal
pelaporan tersebut. Upaya konfirmasi dari media ini hanya ditemui pihak
Staff bernama Rinto.

Menurut keterangan wanita berjilbab ini, dr. Moestidjab memang


berpraktik di klinik tersebut. ”Iya kalau praktik biasanya pagi. Jam 11 siang.
Ini tadi beliau keluar. Saya tidak berani berstatemen soal itu,” ujarnya.
Sepengetahuan Rinto, dokter tersebut merupakan salah satu pemilik
saham di klinik tersebut.

Dari segi etik:

1. Informed consent pada pasien kemungkinan kurang jelas sehingga


pasien dan keluarganya tidak terima dengan efek kegagalan dari
operasi tersebut.

2. Pihak Surabaya Eye Clinic (SEC) Jemursari Surabaya, terutama


dokter pemberi layanan seharusnya tidak lempar tangan saat
mengkonfirmasi ke pasien mengenai masalah ini karena pada artikel
dikatakan bahwa hingga pasca operasi kedua, dr. Moestidjab hanya
menugaskan asistennya untuk menyampaikan hasil operasi kepada
pihak keluarga. Sehingga pada saat operasi dan pasca operasi,
kejadian yang terjadi segera dikomunikasikan dan diantisipasi jika
keluarga pasien dan pasien tidak terima pada operasi dan
melakukan protes.
3. Dari sisi prinsip etik, ada beberapa langkah yang harus diperhatikan
seorang praktisi sebelum membuat keputusan etis.

1. Informasi
Sebelum melaksanakan tindakan, seorang dokter harus
dapat menggali sebanyak mungkin informasi mengenai
riwayat kesehatan serta riwayat sosial pasien sehingga
dengan tepat dapat membuat diagnosis, prognosis, tujuan
yang ingin dicapai setelah dilakukan pengobatan, rencana
pengobatan atau tindakan apa yang paling tepat serta fasilitas
kesehatan lain yang kemungkinan dibutuhkan di kemudian
hari.

2. Identifikasi
Seorang dokter harus dapat menemukan adakah
kemungkinan masalah etis atau masalah sosial yang mungkin
akan timbul di kemudian hari.

3. Klarifikasi
Apakah dokter yang akan melakukan tindakan serta seluruh
anggota tim yang terlibat dalam tindakan tersebut mengerti
keseluruhan masalah / penyakit yang dialami pasien?
Apakah pasien dan keluarganya telah mengerti masalah apa
dan tindakan apa yang akan dilakukan terhadap pasien?
Adakah alternatif lain bagi pasien, misalnya rumah sakit lain
yang lebih mampu menangani penyakitnya?
Adakah pilihan tindakan lain yang lebih sesuai dengan kondisi
pasien saat ini?
Seluruh pertanyaan tersebut harus ditelaah dengan benar
sebelum memutuskan melakukan tindakan atas pasien.
4. Assessment
Pastikan kembali indikasi medis tindakan yang akan
dilakukan, kenyamanan pasien, dan hasil akhir tindakan yang
dilakukan terhadap kualitas hidup pasien.

5. Rekomendasi
Buat rekomendasi yang dapat dimengerti oleh pasien dan
keluarganya.

6. Dokumentasi
Dokumentasikan seluruh hasil proses sebelum, saat dan
setelah tindakan dilakukan, termasuk follow-up kondisi pasien
sebelum dipulangkan.

Selain mengikuti langkah-langkah diatas, seorang praktisi juga harus


memegang prinsip etis, yaitu:

a. Beneficence : Dokter mengoperasi untuk kebaikan dan


kesembuhan pasien

b. Non-maleficence: Dokter melakukan tindakan yang tidak


merugikan pasien. Kegagalan dalam operasi merupakan efek
komplikasi dari operasi

c. Autonomy : Kemungkinan terjadi kekurangan pada


kejelasan informed consent pada kasus ini, tetapi dokter telah
menjaga rahasia pasien dengan tidak banyak berbicara di
media

d. Justice : Pada kasus ini, dokter dan rumah sakit adil dan
tidak membeda-bedakan pasien.

Anda mungkin juga menyukai