Kti sp3 Keluarga Defisit Perawatan Diri

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 62

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kesehatan Jiwa adalah suatu kondisi yang memungkinkan perkembangan

fisik, intelektual dan emosional yang optimal dari seseorang dan

perkembangan itu berjalan selaras dengan keadaan orang lain (UU No 36,

2009). Keperawatan jiwa merupakan suatu bidang spesialis praktik

keperawatan yang menerapkan teori perilaku manusia sebagai ilmunya dan

penggunaan diri sendiri secara terapeutik sebagai kiatnya(Dalami, 2010).

Kesehatan jiwa sangat erat kaitannya dengan konsep tentang kesehatan

secera umum. individu yang sehat jiwa dapat beradap tasi dari lingkungan

internal dan eksternal sesuai norma dan budayanya (Madalise,2015).

Gangguan jiwa menurut Depkes RI (2005) adalah suatu perubahan pada

fungsi jiwa yang menyebabkan adanya gangguan pada fungsi jiwa, yang

menimbulkan penderitaan pada individu dan atau hambatan dalam

melaksanakan peran sosial. Gangguan jiwa terbagi kedalam dua jenis yaitu

gangguan jiwa ringan dan gangguan jiwa berat. Skizofrenia merupakan

gamgguan jiwa berat yang akan membebani masyarakat sepanjang hidup

penderita, ditandai dengan disorganisasi pikiran, perasaan dan perilaku

defisit perawatan diri (Saputra, 2017).

1
2

Menurut (WHO) World Health Organization (2016), terdapat sekitar 35

juta orang terkena depresi, 60 juta orang terkena bipolar, 21 juta orang

terkena skizofrenia, serta 47,5 juta terkena dimensia. Berdasarkan hasil

RISKESDAS (2013) menunjukan prevelensi gangguan mental emosional

yang ditunjukan dengan gejala – gejala depresi dan kecemasan untuk usia

15 tahun ke atas mencapai sekitar 14 juta orang atau 6% dari jumlah

penduduk Indonesia. Sedangkan prevelensi gangguan jiwa berat, seperti

Skizofrenia mencapai sekitar 400.000 orang atau sebanyak 1,7 per 1.000

penduduk.

Menurut Direja, (2017) Skizofrenia sebagai penyakit neurologis yang

mempengaruhi persepsi klien, cara berfikir, bahasa, emosi, dan perilaku

sosialnya. Skizofrenia menunjukkan gangguan dalam fungsi kognitif

(Pikiran) berupa disorganisasi. Jadi, gangguannya ialah mengenai

pembentukan arus serta isi pikiran. Disamping itu, juga ditemukan gejala

gangguan persepsi, wawasan diri, perasaan, dan keinginan (Nasir &

Muhith, 2011).

Menurut hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Dewi (2016) , bahwa

Skizofrenia adalah tipe gangguan jiwa yang gejalanya ditandai dengan

adanya sikap yang aneh serta perilaku yang kacau, serta adanya efek datar

dan gangguan asosiasi, hal ini akan menghancurkan kondisi penderita

secara fisik dan psikologis, dan adanya disorganisasi pikiran dan perilaku

pada penderita. Oleh karena itu, dibutuhkan caregiver untuk merawat, dan
3

memenuhi kebutuhan pasien skizofrenia, keluarga sebagai elemen

memiliki peran penting dalam upaya penyembuhan, dukungan dan

perawatan secara optimal yang diberikan keluarga akan mencegah

kekambuhan pada pasien skizofrenia.

Defisit perawatan diri adalah salah satu kemampuan dasar manusia dalam

memenuhi kebutuhannya guna mempertahankan kehidupannya,

kesehatannya dan kesejahteraannya sesuai dengan kondisi kesehatannya.

Klien dinyatakan terganggu perawatan dirinya jika tidak dapat melakukan

perawatan dirinya (Damaiyanti, 2010).Defisit perawatan diri adalah suatu

kondisi pada seseorang yang mengalami kelemahan kemampuan dalam

melakukan atau melengkapi aktivitas perawatan diri secara mandiri seperti

mandi (hygiene), berpakaian/berhias, makan, dan BAB/BAK (toileting).

(Fitria 2012).Strategi Pelaksanaan (SP) 3 keluarga pada klien defisit

perawatan diri terdapat 2 bagian yaitu ,melatih keluarga langsung ke

pasien cara makan, rencana tindak lanjut keluarga atau jadwal keluarga

merawat pasien.

Hasil penelitian Budi (2014), menunujukan bahwa klien skizofrenia

dengan defisit perawatan diri membutuhkan bantuan untuk memenuhi

salah satu kebutuhan dari 5 aktivitas perawatan diri yaitu : makan,

berpakaian, mandi, eliminasi, dan aktivitas sehari – hari yang harus ada

bantuan dari tenaga kesehatan dan keluarga.


4

Berdasarkan data yang diperoleh di Rumah sakit jiwa provinsi Jambi

Tahun 2017. Di dapatkan bahwa jumlah klien Skizofrenia pada tahun 2016

mengalami penurunan yaitu 374 klien, sedangkan pada bulan Januari

sampai Maret 2017 sebanyak 133 klien.Berdasarkan data yang diperoleh

dari Rumah Sakit Jiwa provinsi Jambi pada Tahun 2018. Mengalami

peningkatan diketahui jumlah penderita Skizofrenia sebanyak 472 orang

(Rumah Sakit Jiwa Jambi 2018).

Berdasarkan data yang di peroleh dari puskesmas kumun pada Tahun

2016, jumlah penderita Skizofrenia 411 penderita. Diketahui jumlah laki –

laki 231 orang dan perempuan berjumlah 180 orang. Pada tahun 2017,

mengalami penurunan jumlah penderita skizofrenia sebanyak 315 orang.

Diketahui jumlah laki-laki 180 orang dan perempuan berjumlah 135 orang.

Berdasarkan data yang diperoleh dari puskesmas kumun pada tahun 2018.

Mengalami peningkatan diketahui jumlah penderita Skizofrenia sebanyak

274 0rang dan laki-laki sebanyak 370 orang (Puskesmas Kumun 2018).

Berdasarkan survey yang dilakukan pada tanggal 12 Februari 2019 di

Puskesmas Kumun di dapatkan data bahwa masih ada anggota keluarga

pasien defisit perawatan diri yang belum bisa merawat pasien, tentang

bagaimana cara makan yang baik.


5

Berdasarkan uraian diatas maka penulis tertarik untuk mengangkat judul

“Penerapan SP 3 keluarga defisit perawatan diri untuk merawat Tn.

F dan Tn. R pada kasus Skizofrenia di Wilayah Kerja Puskesmas

Kumun Tahun 2019”.

B. RUMUSAN MASALAH

“Bagaimana Penerapan SP 3 keluarga defisit perawatan diri untuk

merawat Tn F dan Tn R pada kasus Skizofrenia di Wilayah Kerja

Puskesmas Kumun Tahun 2019?’’.

C. Tujuan Penulisan

1. Tujuan Umum

Mampu menerapkan asuhan keperawatan dengan “Penerapan SP 3

keluarga defisit perawatan diri untuk merawat Tn F dan Tn R pada

kasus Skizofrenia di Wilayah Kerja Puskesmas Kumun Tahun 2019.

2. Tujuan khusus

a. Untuk mengetahui penerapan SP 3 keluarga defisit perawatan diri

dengan tujuan untuk merawat Tn F pada Kasus Skizofrenia di

Wilayah Kerja Puskesmas Kumun Tahun 2019.

b. Untuk mengetahui penerapan SP 3 keluarga defisit perawatan diri

dengan tujuan untuk merawat Tn R pada Kasus Skizofrenia di

Wilayah Kerja Puskesmas Kumun Tahun 2019.

c. Untuk mengetahui perbedaan hasil penerapan SP 3 keluarga defisit

perawatan diri dengan tujuan untuk merawat Tn F dan Tn R pada


6

kasus Skizofrenia di Wilayah Kerja Puskesmas Kumun Tahun

2019.

D. Manfaat Penulisan

1. Manfaat bagi peneliti

Dapat menambah wawasan dan ilmu pengetahuan secara nyata dalam

memberi asuhan keperawatan dengan penerapan SP 3 keluarga defisit

perawatan diri untuk Tn F dan Tn R pada kasus Skizofrenia dan dapat

memperoleh pengalaman nyata dalam memberi asuhan keperawatan.

2. Manfaat bagi puskesmas

Dapat memberi masukan bagi puskesmas Kumun dalam melakukan

asuhan keperawatan dengan penerapan SP 3 keluarga defisit perawatan

diri pada kasus Skizofrenia di Wilayah Kerja Puskesmas Kumun

Tahun 2018.

3. Manfaat bagi institusi pendidikan

Dapat dijadikan sebagai informasi atau bahan acuan bagi Akper Bina

Insani Sakti Sungai Penuh, terutama rekan-rekan mahasiswa dalam

melaksanakan asuhan keperawatan jiwa dengan penerapan SP 3

keluarga defisit perawatan diri pada klien Skizofrenia.


7

BAB II
TINJAUAN KEPUSTAKAAN

A. Konsep Medis Skizofrenia

1. Definisi

Skizofrenia merupakan suatu sindrom psikotik kronis yang ditandai

oleh gangguan pikiran dan persepsi, efek tumpul, anhedonia,

deteriorasi, serta dapat di temukan uji kognitif yang buruk (Soemasto,

2014). Skizofrenia adalah sekelompok reaksi psikotik yang

mempengaruhi berbagai area fungsi individu, termasuk berfikir dan

berkomunikasi, menerima, dan menginterprestasikan realitas,

merasakan dan menunjukkan emosi, dan berprilaku dengan sikap yang

dapat diterima secara sosial (Isaacs, 2005).

2. Etiologi

Menurut (Isaacs,2005) Etiologi Skizofrenia meliputi:

a. Pertimbangan umum

1) Penyebab pasti dari Skizofrenia masih belum jelas.

Konsekuensi umum saat ini adalah bahwa gangguan ini

disebabkan oleh interaksi yang kompleks antara berbagai

faktor.

2) Faktor-faktor yang telah dipelajari dan diimplikasikan meliputi

predisposisi struktur otak, ketika seimbang neurokimia, dan

prose psikososial dan lingkungan.


8

b. Predisposisi genetika

1) Meskipun genetika merupakan faktor resiko yang signifikan,

belum ada penanda genetika tunggan yang diidentifikasi.

Kemungkinan melibatkan berbagai gen.

2) Penelitian telah berfokus pada kromosom 6, 13, 18 dan 22.

Resiko terjangkit Skizofrenia bila gangguan ini ada dalam

keluarga adalah sebagai berikut.

a) Satu orang tua yang terkena: resiko 12% sampai 15%.

b) Kedua orang tua terkena penyakit ini: resiko 30% sampai

39%.

c) Saudara sekandung yang terkena: resiko 8% sampai 10%.

d) Kembar dizigotik yang terkena: resiko 15%.

e) Kembar monozigotik yang terkena: resiko 50%.

c. Abnormalitas perkembangan saraf

1) Penelitian menunjukkan bahwa malformasi janin minior yang

terjadi pada awal gestasi berperan dalam manifestasi akhir dari

Skizofrenia.

2) Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi perkembangan saraf

dan diidentifikasi sebagai resiko yang terus bertambah

meliputi:

a) Individu yang ibunya terserang influenza pada trimester

kedua.

b) Individu yang mengalami trauma atau cedera pada waktu

dilahirkan.
9

c) Penganiayaan atau trauma di masa bayi atau masa kanak-

kanak awal.

d. Abnormalitas struktur otak. Pada beberapa subkelompok penderita

Skizofrenia, teknik pencitraan otak (CT, MRI, dan PET)

telahmenunjukkan adanya abnormalitas adanya abnormalitas pada

struktur otak.

1) Pembesaran ventrikel

2) Penurunan aliran darah kortikal, terutama di korteks prefrontal

3) Penurunan aktivitas metabolik dibagian-bagian otak tertentu

4) Atrofi serebral

e. Ketidak seimbangan neurokimia (neurotrensmiter)

1) Dulu peneliti fokus pada hipotesis dopamin, yang menyatakan

bahwa aktivitas dopamin yang berlebihan dibagian kortikal

otak, berkaitan dengan gejala dari Skizofrenia.

2) Peneliti terbaru menunjukkan pentingnya neurotrensmiter lain,

termasuk serotonin, norepinefrin, glutmat dan GABA.

3) Homeostasis, atau hubungan antara neurotrensmiter tertentu.

4) Tempat reseptor untuk neurotrensmiter tertentu juga penting.

Perubahan jumlah dan jenis reseptor dapat mempengaruhi

tingkat neurotransmiter. Obat psikotropika dapat

mempengaruhi tempat reseptor neurotrensmiter.


10

f. Proses Psikososial dan Lingkungan.

1) Teori perkembangan. Ahli teori seperti freud, sulivan, dan

erikson mengemukakakan bahwa kurangnya perhatian yang

hangat dan penuh kasih sayang di tahun-tahun awal kehidupan

berperan dalam menyebabkan kurangnya identitas diri, salah

interpretasi terhadap realitas, dan menarik diri dari Lingkungan

pada penderita Skizofrenia.

2) Teori keluarga. Teori-teori yang berkaitan dengan keluarga

dalam munculnya Skizofrenia belum divalidasi dengan

penelitian. Bagian fungsi keluarga yang telah diimplikasikan

dalam peningkatan angka kekambuhan individu dengan

Skizofrenia adalah sangat mengekspresikan emosi HEE (high

expressed emotion). Keluarga dengan ciri ini dianggap terlalu

ikut campur secara emosional, kasar dan kritis.

3) Status sosial ekonomi. Hasil penelitian yang konsisten adalah

hubungan yang kuat antara Skizofrenia dan status sosial

ekonomi yang rendah.

4) Model kerentanan stres. Model Interaksional yang menyatakan

bahwa penderita Skizofrenia. Kerentanan ini, bila disertai

dengan pajanan stresor kehidupan, dapat menimbulkan gejala-

gejala pada individu tersebut.


11

3. Klasifikasi

a. Skizofrenia Paranoid, merupakan tipe yang paling stabil dan paling

sering ditemui. Pedoman diagnostik berdasarkan PPDGJ-III:

1) Memenuhi pedoman diagnostik umum Skizofrenia.

2) Halusinasi dan waham (tipe apapun) harus menonjol.

3) Gangguan efektif dan katatonik tidak terlalu menonjol.

b. Skizofrenia Hebefrenik. Diagnosa ini ditegakkan pada penderita

usia remaja atau dewasa muda. Pedoman diagnostik berdasarkan

PPDGJ-III:

1) Memenuhi pedoman diagnostik umum Skizofrenia.

2) Kepribadian yang menonjol, yaitu pemalu dan senang

menyendiri.

3) Perilaku yang tidak bertanggung jawab, efek yang dangkal dan

tidak wajar, disorganisasi proses pikir, dan pembicara tidak

menentu. Gejala ini harus timbul secara kontinu (diamati

selama 2-3 bulan).

4) Terdapat gangguan efektif dan proses pikir yang menonjol.

Halusinasi dan Waham umumnya tidak menonjol. Dapat

ditemukan juga preokupasi yang dangkal dan dibuat-buat

terhadap sebagai tema abstrak.


12

c. Skizofrenia Katonik. Pedoman diagnostik berdasarkan PPDGJ-III

1) Memenuhi pedoman diagnostik umumSkizofrenia

2) Minimal terapat satu perilaku yang ditemukan pada pasien dari

kriteria seperti stupor, gaduh-gelisah, postur katatonik,

negativisme, rigiditas, cerea flexibility, pengulangan kata serta

kalimat.

d. Skizofrenia Tak Terinci. Pada penderita ditemukan gejala psikotik

yang menonjol, tetapi tidak dapat digolongkan pada tipe paranoid,

katatonik, hebefrenik, residual dan defresi pasca-Skizofrenia.

Pedoman diagnostik berdasarkan PPDGJ-III

1) Memenuhi pedoman diagnostik umum Skizofrenia.

2) Tidak sesuai dengan pedoman diagnostik untuk Skizofrenia

paranoid, hebefrenik, katatonik, residual, atau depresi pasca

Skizofrenia.

e. Depresi pasca Skizofrenia. Merupakan episode depresi yang timbul

setelah penderita mengidap Skizofrenia. Masih dapat ditemukan

gejala Skizofrenia (Amelz, 2014).


13

4. Manifestasi Klinis

a. Gangguan proses pikir asosiasi longgar neologisme (pembentukan

kata baru), klangasosiasi (pemilihan kata berdasarkan bunyi kata

yang baru diucapkan), ekolalia (pengulangan kata kata yang baru

diucapkan orang lain. Konkrititas (gangguan pemikiran abstrak),

alogia (miskin isi pembicaraan).

b. Gangguan isi pikir waham kejar, waham kebesaran, waham

rujukan, thought broadcasting, thought insertion.

c. Tilikan yang buruk terhadap penyakitnya.

d. Gangguan persepsi halusinasi auditorik, visual maupun penghidup,

ilusi, depersonalisasi, dan derealisasi.

e. Gangguan emosi efek tumpul atau datar, efek tak serasi dan labil

(Junaidi, 2014).

5. Tanda dan gejala

Gejala-gejala Skizofrenia menurut (Keliat, 2012), Sebagai berikut :

a. Gejala positif

1) Waham keyakinan yang salah, tidak sesuai dengan kenyataan,

dipertahankan dan disampaikan berulang-ulang (Waham kerja,

waham curiga, waham kebesaran).

2) Halusinasi Gangguan penerimaan panca indera tanpa ada

stimulus eksternal (halusinasi pendengaran, penglihatan,

pengecapan, penciuman, dan perabaan).


14

3) Perubahan arus pikir

a) Arus pikir terputus dalam pembicaraan tiba-tiba dapat

melanjutkan isi pembicaraan.

b) Inkoheren berbicara tidak selaras dengan lawan bicara

(bicara kacau).

c) Neologisme menggunakan kata-kata yang hanya dimengerti

oleh orang lain.

4) Perubahan perilaku

a) Hiperaktik perilaku motorik yang berlebihan.

b) Agitasi perilaku yang menunjukkan kegelisahan.

b. Gejala negatif

1) Sikap masa bodoh (apatis)

2) Pembicaraan terhenti tiba-tiba (blocking)

3) Menarik diri dari pergaulan sosial (Isolasi Sosial)

4) Menurutnya kinerja aktivitas sosial sehari-hari.

c. Fase Skizofrenia

1) Fase akut: fase mulai munculnya gejala sampai dengan

sebelum 6 bulan, ditandai dengan gejala positif dan negatif.

2) Fase kronik: diagnosis Skizofrenia kronik ditandai dengan

gejala akut sudah berlangsung 6 bulan atau lebih, disertai

a) Tidak memperhatikan kebersihan

b) Gangguan motorik atau pergerakan.


15

6. Pemeriksaan Diagnostik

a. (Biasanya dilakukan untuk penyakit fisik, dapat menyebabkan

gejala reversibel seperti : kondisi defisiensi/toksik, penyakit

neorologis, gangguan metabolik/endokrin).

1) CT scan : dapat menunjukkan struktur abnormalitas otak pada

beberapa kasus skizofrenia (misatrofi lobus tampotal):

pembesaran ventrikel dengan rasio ventrikel otak meningkat

yang dapat dihubungkan dengan gejala yang dapat dilihat.

2) Pemindai PET (positron Emission Tomographi): mengukur

aktivitas metabolik dari area spesifik otak dan dapat

menyatakan aktivitas metabolik yang rendah dari lobus frontal,

terutama pada area prefrontal dari korteks serebral.

3) MRI: memberi gambaran otak tiga dimensi : dapat

memperlihatkan gambaran yang lebih kecil dari lobus frontal

rata-rata, atrofi lobus temporal (terutama hipokampus, girus

parahipokampus, girus temporal superior.

4) RCB (regional cerebral blood flow) ; memetakan aliran darah

menyatakan intensitas.

5) BEAM (Brain Electrical Activity Mapping): Menunjukkan

respons gelombang otak terhadap rangsangan yang bervariasi

disertai dengan adanya respons yang terhambat dan menurun,

kadang-kadang di lobu temporal dan sistim limbik.

6) ASI (Addiction Severity Index): menetukan masalah-masalah

ketergantungan (ketergantungan zat), yang mungkin dikaitkan


16

dengan penyakit mental, dan mengindikasikan area pengobatan

yang diperlukan (Townsed, 2007).

7. Penatalaksanaan

a. Pertimbangan Umum

1) Kontinuitas perawatan merupakan hal yang penting, klien dapat

menerima pengobatan di berbagai tempat, termasuk rumah

sakit jiwa akut, rumah sakit jiwa jangka panjang, dan program

berbasis komunitas.

2) Tingkat perawatan bergantung pada keparahan gejala

ketersediaan dukungan dari keluarga dan sosial. Pengobatan ini

biasanya diberikan di lingkungan dengan sifat restriktif yang

paling normal.

3) Pendekatan menejemen kasus merupakan hal yang penting

karena perawatan klien pada umumnya berjangka panjang,

membutuhkan kerja sama dengan berbagai penyedia layanan

untuk memastikan pelayanan tersebut diberikan secara

terkoordinasi.

b. Hospitalisasi psikiatri jangka pendek, digunakan untuk menekan

gejala-gejala akut dan memberikan lingkungan yang aman dan

terstruktur serta berbagai pengobatan

1) Pengobatan farmakologi dengan medikasi anti psikotik

(Diagram obat 7-1)

2) Menejemen lingkungan
17

3) Terapi pendukung yang pada umumnya berorientasi pada

realitas, dengan pendekatan perilaku kognitif

4) Psikologi edukasi bagi klien dan keluarganya

5) Rencana pemulangan dari rumah sakit untuk memastikan

kontinuitas asuhan.

c. Hospitalisasi psikiatri jangka panjang

Tujuannya adalah menstabilkan dan memindahkan klien secepat

mungkin ke lingkungan yang kurang restriktif.

d. Rehabilitasi psikososial

1) Rehabilitasi psikososial menekankan perkembangan

keterampilan dan dukungan yang diperlukan untuk hidup,

belajar dan berkerja dengan baik di komunitas.

2) Pendekatan ini dapat menjadi bagian dari program pengobatan

di berbagai tempat pemberian layanan, Penggunaan gedung

pertemuan tempat klien dapat berkumpul untuk bekerja

bersama dan bersosialisasi sambil mempelajari keterampilan

yang diperluka, dapat menjadi bagian dari layanan masyarakat

di beberapa tempat (Isaach, 2005).


18

B. Konsep Dasar Keperawatan Defisit Perawatan Diri

1. Definisi

Menurut (Direja 2017) Skizofrenia sebagai penyakit neurologis yang

mempengaruhi persepsi klien, cara berfikir, bahasa, emosi, dan

perilaku sosialnya. Perawatan diri (personal hygiene) mencangkup

aktivitas yang dibutuhkan untuk memahami kebutuhan sehari-hari,

yang biasa dikenal dengan aktifitas kehidupan sehari-hari (ADLs).

Aktifitas ini dipelajari dari waktu ke waktu dan menjadi kebiasaan

seumur hidup. Kegiatan perawatan diri tidak hanya melibatkan apa

yang harus dilakukan (kebersihan, mandi, berpakaian, toilet, makan),

tetapi juga berapa, kapan, di mana, dengan siapa, dan bagaimana

(Sutejo, 2017).

Personal hygiene adalah cara perawatan diri manusia untuk

memelihara kesehatan mereka secara fisik dan keadaan emosional.

Pemeliharaan personal hygiene diperlukan untuk kenyamanan

individu, keamanan, dan kesehatan. Ketika memberikan perawatan

kebersihan diri pada klien, perawat dapat mengkaji status fisik dan

emosional klien, dan dapat mengimplementasi proses perawatan bagi

kesehatan total klien (Sulistyowati, 2012). Defisit perawatan diri

adalah suatu kondisi pada seseorang yang mengalami kelemahan

kemampuan dalam melakukan atau melengkapi aktivitas perawatan

diri secara mandiri seperti mandi (hygiene), berpakaian atau berhias,

dan BAB dan BAK (toileting) (Laili, 2014).


19

Sedangkan definisi perawatan diri menurut, (Doenges, 2007) adalah

ketidak mampuan mengangkat makanan dari piring kemulut,

memperoleh atau mendapatkan minuman, membersihkan tubuh,

mengatur suhu atau aliran air, kerusakan kemampuan untuk memakai

atau melepaskan pakaian yang diperlukan, mengambil atau meletakkan

pakaian, mengencangkan pakaian, mempertahankan penampilan dalam

tingkat yang memuaskan, ketidak mampuan kekamar kecil (hambatan

mobilitas), melepaskan pakaian untuk keperluan eliminasi (defekasi

atau berkemih, melakukan hiegene setelah defekasi atau berkemih.

2. Etiologi

Menurut (Sutejo, 2017) terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi

personal hygiene, yaitu:

a. Citra tubuh

Gambaran individu terhadap dirinya sangat mempengaruhi

kebersihan diri. Perubahan fisik akibat operasi bedah, misalnya,

dapat memicu individu untuk tidak peduli terhadap kebersihannya.

b. Status sosial ekonomi

Sumber penghasilan atau sumber ekonomi mempengaruhi jenis

dan tingkat praktik keperawatan diri yang dilakukan. Perawat harus

menentukan apakah klien dapat mencukupi perlengkapan

perawatan diri yang penting, seperti sabun, pasta gigi, sikat gigi,

sampo. Selain itu, hal yang perlu diperhatikan adalah apakah

penggunaan perlengkapan tersebut sesuai dengan kebiasaan sosial

yang dipraktikkan oleh kelompok sosial klien.


20

c. Pengetahuan

Pengetahuan tentang perawatan diri sangat penting karena

pengetahuan yang baik dapat meningkatkan kesehatan. Kurangnya

pengetahuan tentang pentingnya perawatan diri dan implikasinya

bagi kesehatan dapat mempengaruhi praktik perawatan diri.

d. Variabel kebudayaan

Kepercayaan akan nilai kebudayaan dan nilai dari mempengaruhi

perawatan diri. Orang dari latar belakang kebudayaan yang berbeda

mengikuti praktik kesehatan yang berbeda pula. Disebagian

masyarakat, misalnya, ada yang menerapkan mandi setiap hari,

tetapi masyarakat dengan lingkup budaya hanya mandi seminggu

sekali.

e. Kondisi fisik

Pada keadaan tertentu atau sakit kemampuan untuk merawat diri

berkurang dan memerlukan bantuan. Biasanya, jika tidak mampu,

klien dengan kondisi fisik yang tidak sehat lebih memilih untuk

tidak melakukan perawatan diri.

Sedangkan Menurut (Damaiyanti, 2012) Penyebab kurang

perawatan diri adalah :

a. Faktor presdiposisi

1) Perkembangan

Keluarga terlalu melindungi dan memanjakan klien

sehingga perkembangan inisiatif terganggu.


21

2) Biologis

Penyakit kronis yang menyebabkan klien tidak mampu

melakukan perawatan diri.

3) Kemampuan realitas turun

Klien dengan gangguan jiwa dengan kemampuan realitas

yang kurang menyebabkan ketidakpedulian dirinya dan

lingkungan termasuk perawatan diri.

4) SosialKurang dukungan dan latihan kemampuan perawatan

diri lingkungannya, Situasi lingkungan mempengaruhi

latihan kemampuan dalam perawatan diri.

b. Faktorpresipitasi

1) Body image: gambaran individu terhadap dirinya sangat

mempengaruhi kebersihan diri misalnya dengan adanya

perubahan fisik sehingga individu tidak peduli dengan

kebersihan dirinya.

2) Praktik sosial: pada anak-anak selalu dimanja dalam

kebersihan diri, maka kemungkinan akan terjadi perubahan

personal hygiene.

3) Status sosial ekonomi: Personal hygienememerlukan alat

dan bahan seperti sabun, pasta gigi, sikat gigi, shampoo,

alat mandi yang semuanya memerlukan uang untuk

menyediakannya.
22

4) Pengetahuan: Pengetahuan personal hygiene sangat penting

karena pengetahuan yang baik dapat meningkatkan

kesehatan. Misalnya, pada klien penderita diabetes melitus

iaharus menjaga kebersihan kakinya.

5) Budaya: disebagian masyarakat jika individu sakit tertentu

tidak boleh dimandikan.

6) Kebiasaan orang: ada kebiasaan orang yang menggunakan

produk tertentu dalam perawatan diri seperti penggunaan

sabun, shampoo dan lain-lain.

7) Kondisi fisik atau psikis: pada keadaan tertentu/ sakit

kemampuan untuk merawat diri berkurang dan perlu

bantuan untuk melakukannya.

Kemampuan individu dalam melakukan perawatan diri dipengaruhi

Oleh beberapa faktor seperti umur, jenis kelamin, tingkat

perkembangan, status kesehatan, sistem keluarga, faktor

lingkungan, sosial dan budaya, serta tersedianya sumber-

sumber/fasilitas. Kebutuhan perawatan diri pada klien skizofrenia

lebih besar dari kemampuannya melakukan aktifitas perawatan diri.

Hal ini terjadi karena klien menderita gejala yang disebabkan

penyakit skizofreniayang gangguan pada fungsi kognitif, afektif

dan perilaku (Wulandari, 2016).


23

3. Jenis-jenis Defisit perawatan Diri

Menurut(Sutejo, 2017) ada beberapa jenis defisit perawatan diri, yaitu:

a. Kebersihan diri

Tidak ada keinginan untuk mandi secara teratur, pakaian korot, bau

badan, bau napas, dan penampilan tidak rapi.

b. Berdandan atau berhias

Kurangnya minat dalam memiliki pakaian yang sesuai, tidak

menyisir rambut, atau mencukur kumis.

c. Makan

Mengalami Kesukaran dalam mengambil, ketidakmampuan

membawa makanan dari piring ke mulut, dan makan hanya

beberapa suap makanan dari piring.

d. Toileting

Ketidakmampuan atau tidak adanya keinginan untuk melakukan

defekasi atau berkemih tanpa bantuan.


24

4. Tanda Dan Gejala

Adapun tanda dan gejala menurut Depkes dalam Ramdhani (2013)

dengan defisit perawatan diri, dari faktor psikososial yaitu malas/ tidak

ada inisiatif, menarik diri/ isolasi diri, merasa tak berdaya/ rendah diri

dan merasa hina, interaksi kurang, kegiatan kurang, tidak mampu

berprilaku sesuai norma, cara makan tidak teratur, bak dan bab

sembarang tempat, gosok gigi dan mandi tidak dapat dilakukan sendiri.

Menurut (Keliat, 2012) tanda dan gejala pada klien yang mengalami

defisit perawatan diri adalah sebagai berikut :

a. Gangguan kebersihan diri, ditandai dengan rambut kotor, gigi

kotor, kulit berdaki dan bau, serta kuku panjang dan kotor.

b. Ketidakmampuan berhias/berpakaian, ditandai rambut acak-

acakan, pakaian kotor dan tidak rapi, pakaian tidak sesuai, pada

klien laki-laki tidak bercukur, pada perempuan tidak berdandan.

c. Ketidakmampuan makan secara mandiri, ditandai oleh

ketidakmampuan mengambil makan sendiri, makan berceceran,

dan makan tidak pada tempatnya.

d. Ketidakmampuan eliminasi secara mandiri, ditandai dengan buang

air besar (BAB) atau buang air kecil (BAK) tidak pada tempatnya,

dan tidak membersihkan diri dengan baik setelah BAB/BAK.

Sedangkan tanda dan gejala defisit perawatan diri menurut (Fitria,

2012) sebagai berikut:


25

a. Mandi/hygiene.

Klien mengalami ketidakmampuan dalam membersihkan

badan, memperoleh atau mendapatkan sumber air, mengatur

suhu atau aliran air mandi, mendapatkan perlengkapan mandi,

mengeringkan tubuh, serta masuk dan keluar kamar mandi.

b. Berpakaian/berhias

Klien mempunyai kelemahan dalam meletakkan atau

mengambil potongan pakaian, menanggalkan pakaian, serta

memperoleh atau menukar pakaian. Klien juga memiliki

ketidakmampuan untuk mengenakan pakaian dalam, memilih

pakaian, menggunakan alat tambahan, menggunakan kancing

tarik, melepas pakaian, menggunakan kaos kaki,

mempertahankan penampilan pada tingkat yang memuaskan,

mengambil pakaian, dan mengenakan sepatu.

c. Makan

Klien mempunyai ketidakmampuan dalam menelan makanan,

mempersiapkan makanan, menangani perkakas, mengunyah

makanan, menggunakan alat tambahan, mendapatkan makanan,

membuka kontainer, memanipulasi makanan dalam mulut,

mengambil makanan dari wadah, lalu memasukannya ke mulut,

melengkapi makan, mencerna makanan menurut cara yang

diterima masyarakat, mengambil cangkir atau gelas, serta

mencerna cukup makanan dengan aman.


26

d. BAB/BAK (Toileting)

Klien memiliki keterbatasan atau ketidakmampuan dalam

mendapatkan jamban atau kamar kecil, duduk atau bangkit dari

jamban, memanipulasi pakaian untuk toileting, membersihkan

diri setelah BAB/BAK dengan tepat, dan menyiram toilet atau

kamar kecil.

5. Batasan Karakteristik

NANDA (2017) menjelaskan batasan karakteristik yang terdapat pada

lingkup defisit perawatan diri. Batasan karakteristik pada tiap lingkup

tersebut meliputi:

a. Defisit perawatan diri: mandi

Hal ini merupakan gangguan kemampuan melakukan atau

menyelesaikan aktivitas mandi untuk diri sendiri. Batasan

karakteristiknya meliputi:

1) Ketidakmampuan membasuh tubuh

2) Ketidakmampuan mengakses kamar mandi

3) Ketidakmampuan mengambil perlengkapan mandi

4) Ketidakmampuan mengatur air mandi

5) Ketidakmampuan mengeringkan tubuh

6) Ketidakmampuan menjangkau sumber air

b. Defisit perawatan diri: berpakaian

1) Hambatan memilih pakaian.

2) Hambatan mempertahankan penampilan yang memuaskan.


27

3) Hambatan mengambil pakaian.

4) Hambatan mengenakan pakaian pada bagian tubuh atas.

5) Hambatan mengenakan pakaian pada bagian tubuh bawah.

6) Hambatan menggunakan resleting.

7) Ketidakmampuan melepaskan atribut pakaian (mis, blus, kaus

kaki, sepatu).

8) Ketidakmampuan memadupadankan pakaian.

9) Ketidakmampuan mengancing pakaian.

10) Ketidakmampuan mengenakan atribut pakaian (mis, blus, kaus

kai, sepatu).

c. Defisit perawatan diri: makan

1) Ketidakmampuan memakan makanan dalam cara yang dapat

diterima.

2) Ketidakmampuan memakan makanan dalam jumlah memadai.

3) Ketidakmampuan memanipulasi makanan didalam mulut.

4) Keridakmampuan membuka wadah makanan.

5) Ketidakmampuan memegang alat makan.

6) Ketidakmampuan menelan makanan.

7) Ketidakmampuan menempatkan makanan ke alat makan.

8) Ketidakmampuan mengambil cangkir.

9) Ketidakmampuan mengambil makanan dan memasukkan ke

mulut.

10) Ketidakmampuan menggunakan alat bantu.

11) Ketidakmampuan menghabiskan makanan secara mandiri.


28

12) Ketidakmampuan mengunyah makanan.

13) Ketidakmampuan menyiapkan makanan untuk dimakan.

d. Defisit perawatan diri: eliminasi

1) Ketidakmampuan melakukan hiegiene eliminasi secara

komplet.

2) Ketidakmampuan memanipulasi pakaian untuk eliminasi.

3) Ketidakmampuan mencapai toilet.

4) Ketidakmampuan menyiram toilet.

5) Ketidakmampuan naik ke toilet.

6) Ketidakmampuan duduk di toilet.

6. Dampak Masalah Defisit Perawatan Diri

Menurut (Damaiyanti, 2012) ada beberapa dampak yang sering timbul

pada masalah personal higiene yaitu:

a. Dampak fisik

Banyak gangguan kesehatan yang diderita seseorang karena tidak

terpeliharanya kebersihan perorangan dengan baik. Gangguan fisik

yang sering terjadi diantaranya gangguan integritas kulit, gangguan

mebran mukosa mulut, infeksi pada mata dan telinga, dan

gangguan fisik pada kuku.

b. Dampak psikososial

Masalah sosial yang berhubungan dengan personal higiene adalah

gangguan kebutuhan rasa nyaman, kebutuhan dicintai dan


29

mencintai, kebutuhan harga diri, aktualisasi diri dan gangguan

interaksi sosial.

7. Pohon Masalah

Gambar Pohon Masalah Defisit Perawatan Diri menurut (Fitria, 2012)

Bagan 2.2

Pohon Masalah

Risiko Tinggi Isolasi Sosial

Defisit Perawatan Diri

Harga Diri Rendah Kronis


30

C. Konsep Keperawatan

1. Pengkajian

Elemen penting untuk pembuatan rencana asuhan keperawatan yang

efektif relevansinya teridentifikasi pada pengkajian klien. Oleh karena

itu, pembuatan rencana dimulai dengan pengumpulan data

(pengkajian). Menurut Standar of Clinical Nursing Practie (ANA,

1991), Pengkajian klien mencangkup area berikut ini: fisik, psikologis,

sosiokultural, kognitif, kemampuan fungsional, perkembangan,

ekonomi, dan gaya hidup. Pengkajian ini digabungkan dengan hasil

temuan medis dan studi diagnostik, yang didokumentasikan pada data

dasar klien (Doenges, 2007).

Menurut (Damaiyanti, 2012) menjelaskan pengkajian keperawatan

sebagai berikut:

a. Data yang biasa ditemukan dalam defisit perawatan diri adalah:

1) Data subjektif:

(a) Klien merasa lemah,

(b) Malas untuk beraktifitas,

(c) Merasa tidak berdaya.

2) Data objektif:

(a) Rambut kotor, acak-acakan,

(b) Badan dan pakaian kotor dan bau,

(c) Mulut dan gigi bau,

(d) Kulit kusam dan kotor,

(e) Kuku panjang dan tidak terawat.


31

2. Diagnosa keperawatan

Diagnosa keperawatan, yang menggambarkan suatu kerangka kerja

untuk menggunakan proses keperawatan, merupakan hal terpenting

sari suatu rencana perawatan, yang memusatkan perhatian pada

kebutuhan/respons klien (pengidentifikasian masalah, intervensi

keperawatan, dan alat evaluasi) dan dibuat sebagai penentu utama gaya

asuhan keperawatan yang akan diberikan. Diagnosis keperawatan

adalah penyajian data klien yang setepat-tepatnya. Diagnosis

menggambarkan situasi klien saat ini dan juga menggambarkan

perubahan yang terjadi. Penting untuk mencari, menggabungkan, dan

menyintesis semua data yang relavan dan membuat pernyataan yang

berarti untuk memberikan petunjuk yang tepat dalam asuhan

keperawatan (Doenges, 2007).

Sedangkan menurut (Direja, 2017) dagnosa keperawatan adalah

identifikasi atau penilaian terhadap pola respons klien baik actual

maupun potensial. Menurut, (khotimah, 2017) diagnosa yang muncul,

adalah defisit perawatan diri : Hygine diri, berhias, makan dan

BAB/BAK.
32

3. Perencanaan

Intervensi mengomunikasikan tindakan yang dilakukan untuk

mencapai hasil yang diharapkan klien dan tujuan pemulangan klien.

Diharapkan bahwa perilaku yang ditetapkan (intervensi/tindakan) akan

menguntungkan klien dan keluarga dengan cara yang dapat

diperkirakan,dikaitkan dengan masalah yang teridentifikasi dan hasil

yang dipilih. Intervensi ini memiliki tujuan terhadap perawatan

individu dengan pemenuhan kebutuhan khusus klien dan jika

memungkinkan, sebaiknya dipadukan dengan kekuatan klien yang

teridentifikasi (Doenges, 2007).


33

Adapun intervensi keperawatan keluarga pada masalah defisit

perawatan diri menurut (Direja, 2017), sebagai berikut:

Tabel 2.1

Defisit perawatan diri: Strategi Pelaksanaan Keluarga (Direja, 2017)

Tujuan Kriteria Evaluasi Intervensi


Keluarga Setelah beberapa kali SP 1
Mampu pertemuan, keluarga  Identifikasi masalah
merawat mampu meneruskan keluarga dalam
anggota melatih pasien dan merawat pasien
keluarga yang mendukung agar dengan masalah
mengalami kemampuan pasien kebersihan diri,
masalah kurang dalam perawatan berdandan, makan,
perawatan diri dirinya meningkat. BAB/BAK
 Jelaskan defisit
perawatan diri
 Jelaskan cara
merawat kebersihan
diri, berdandan,
makan, BAB/BAK
 Bermain peran cara
merawat
 Rencana tindak
lanjut
keluarga/jadwal
keluarga untuk
merawat pasien.
34

SP 2
 Evaluasi SP 1
 Latih keluarga
merawat langsung
ke pasien,
kebersihan diri, dan
berdandan
 Rencana tindak
lanjut
keluarga/jadwal
keluarga untuk
merawat pasien.

SP 3
 Evaluasi
kemampuan SP 2
 Latih keluarga
merawat langsung
ke pasien cara
makan
 Rencana tindak
lanjut
keluarga/jadwal
keluarga untuk
merawat pasien.

SP 4
 Evaluasi
kemampuan
keluarga
 Evaluasi
kemampuan pasien
 Rencana tindak
lanjut keluarga,
Follow Up, Rujukan
35

4. Implementasi

Apabila tujuan, hasil, dan intervensi telah diidentifikasi, perawat siap

untuk melakukan aktivitas pencatatan pada rencana perawatan klien.

Dalam pengaplikasian rencana ke dalam tindakan dan penggunaan

biaya secara efektif serta pemberian perawatan secara tepat waktu,

perawat pertamakali mengidentifikasi prioritas untuk pemberian

perawatan tersebut. Perawat perlu mempertimbangkan intervensi yang

dapat digabungkan untuk memfasilitasi penyelesaian aktivitas dalam

batasan waktu yang telah diberikan. Selanjutnya. Sambil memberikan

perawatan juga di catat data respons klien terhadap intervensi

(Doenges 2007).

5. Evaluasi

Evaluasi respons klien terhadap perawatan yang diberikan dan

pencapaian hasil yang diharapkan (yang dikembangkan pada fase

perencanaan dan didokumentasikan dalam rencana perawatan)

merupak tahap akhir dari proses keperawatan (Doenges, 2007).

Menurut (Direja, 2017) Evaluasi adalah proses berkelanjutan untuk

menilai efek dari tindakan keperawatan pada klien. Evaluasi dilakukan

terus-menerus pada respons klien tindakan keperawatan yang telah

dilaksanakan.
36

D. Konsep Tindakan Keperawatan

Penerapan SP 3 keluarga defisit perawatan diri untuk merawat Tn F dan

Tn R pada kasus Skizofrenia di Wilayah Kerja Puskesmas Kumun Tahun

2019.

1. Definisi Strategi Pelaksanaan (SP)

Menurut (Damaiyanti, 2012) Strategi Pelaksanaan Tindakan

Keperawatan (SPTK) merupakan rangkaian percekapan perawat

dengan klien pada saat melaksanakan tindakan keperawatan. SPTK

melatih kemampuan intelektual tentang pola komunikasi dan pada saat

dilaksanakan merupakan latihan kemampuan yang terintegrasi antara

intelektual, psikomotor dan efektif, SPTK terdiri dari dua bagian, yaitu

bagian pertama: proses keperawatan yang memuat kondisi, diagnosis

keperawatan, tujuan, dan tindakan keperawatan. Bagian kedua: strategi

komunikasi pada saat melaksanakan tindakan keperawatan.

Strategi pelaksanaan komunikasi merupakan standar asuhan

keperawatan terjadwal yang diterapkan pada klien dan keluarga klien

yang bertujuan untuk mengurangi masalah keperawatan jiwa yang

ditangani. Strategi pelaksanaan adalah panduan yang dijadikan sebagai

panduan oleh seorang perawat jiwa ketika berinteraksi dengan klien

(Arianti, 2013). Strategi pelaksanaan (SP) 3 Keluarga adalah fokus

pelaksanaan tindakan pada keluarga. Pada SP 3 keluarga terdapat dua

tindakanyang dilakukan, yang pertama latih keluarga merawat


37

langsung cara makan, rencana tindak lanjut keluarga atau jadwal

keluarga untuk merawat pasien.

2. Jenis-jenis Strategi Pelaksanaan (SP)

Strategi Pelaksanaan (SP) ada dua bagian:

a. Strategi pelaksanaan pada klien

b. Strategi pelaksanaan pada Keluarga

3. Pelaksanaan Strategi Pelaksanaan (SP)

Strategi Pelaksanaan (SP) yang dilakukan pada keluarga adalah SP 3

keluarga yakni, melatih keluarga merawat langsung ke pasien cara

makan, rencana tindak lanjut keluarga atau jadwal keluarga untuk

merawat pasien. Strategi Pelaksanaan (SP) 3 keluarga tersebut

dilaksanakan pada 2 keluarga, yang nantinya akan muncul

perbandingan antara Keluarga Tn F dan Tn F setelah dilakukan

penelitian.

Dalam melakukan SP 3 keluarga, peneliti melakukan proses

keperawatan dan tindakan keperawatan dengan cara komunikasi

terapeutik. Fungsi komunikasi terapeutik adalah untuk mendorong dan

menganjurkan kerja sama antara perawat dan keluarga melalui

hubungan perawat-keluarga klien. Perawat berusaha untuk

mengungkapkan perasaan, mengidentifikasi dan mengkaji masalah

serta megevaluasi tindakan yang dilakukan dalam perawatan. Proses


38

komunikasi yang baik dapat memberikan pengertian tingkah laku klien

dan keluarga untuk membantu keluarga dalam rangka mengatasi

persoalan yang dihadapi pada tahap perawatan (Direja, 2017).

Terapeutik merupakan kata sifat yang dihubungkan dengan seni dari

penyembuhan. Disini dapat diartikan bahwa komunikasi terapeutik

adalah komunikasi yang direncanakan secara sadar, tujuan dan

kegiatannya difokuskan untuk penyembuhan klien( Direja, 2017).

Menurut (Damaiyanti, 2012) Dalam pelaksanaan SP 3 keluarga ada

beberapa komponen yang dilakukan:

a. Proses Keperawatan

Pada SPTK dituliskan garis besar dari proses keperawatan yang

merupakan justifikasi ilmiah dari mana sumber tindakan

keperawatan yang akan dilakukan. Hal ini merupakan kemampuan

intelktual yang harus selalu dilakukan oleh perawat pada saat

melakukan tindakan keperawatan. Tindakan keperawatan yang

ditetapkan akan dilakukan, merupakan faktor yang penting dalam

melakukan langkah selanjutnya yaitu strategi komunikasi. Tidak

diperkenankan hanya melakukan tindakan tanpa mengetahui

diagnosa dan tujuan dari tindakan tersebut.

b. Strategi Komunikasi dalam pelaksanaan tindakan keperawatan

Strategi komunikasi yang digunakan adalah tahapan komunikasi

terapeutik perawat dan klien, yaitu pra interaksi,

perkenalan/orientasi, kerja dan terminasi.


39

1) Tahap Pra Interaksi

Pra interaksi dilakukan sebelum berinteraksi dengan keluarga

klien, yaitu SPTK sebagai rencana interaksi.

2) Tahap Perkenalan/Orientasi

Secara garis besar tahapan ini dapat dibagi tiga pola sepanjang

merawat klien, yaitu pertemuan awal (kontak pertama),

pertemuan kedua dan seterusnya (kontak selama proses

keperawatan) dan pertemuan akhir (kontak di akhir shift atau

akhir perawatan). Isi dari tahapan ini merupakan ringkasan

teoritis yang dianggap penting saat melakukan interaksi secara

operasional yaitu salm terapeutik, evaluasi dan validasi

kontrak.

3) Tahap Kerja

Tahap Kerja ini berisi berbagai tindakan keperawatan yang

telah direncanakan pada tiap diagnosa keperawatan. Tindakan

keperawatan dapat berupa observasi dan monitoring, terapi

keperawatan termasuk individu dan kelompok disertai terapi

modalitas keperawatan, pendidikan kesehatan pada keluarga

dan klien, tindakan kolaborasi dengan berbagai tim kesehatan

jiwa. Prinsip pada tahapan ini adalah perawat menggunakan

diri secara terapeutik yang tepat dari teknik komunikasi

terapeutik dan pelaksanaan langkah-langkah tindakan

keperawatan sesuai rencana.


40

4) Tahap terminasi

Tahap terminasi hampir sama dengan perkenalan dan orientasi,

yaitu dibagi menjadi dua macam, yaitu terminasi sementara dan

terminasi akhir. Isi dari terminasi adalah evaluasi (evaluasi

obyektif dan subyektif), rencana tindak lanjut bagi klien

(plenning bagi klien) dan kontrak yang akan datang berupa

topik, waktu dan tempat (plenning bagi perawat) yang terkait

dengan rencana tindakan keperawatan selanjutnya.

Adapun strategi pelaksanaan Defisit perawatan Diri menurut (Fitria,

2012), sebagai berikut:

a. Orientasi:

1) Salam terapeutik

“Selamat pagi! Boleh saya kenalan dengan bapak? Nama saya

Reoza, bapak boleh panggil saya R. Saya mahasiswa

Keperawatan Bina Insani Sakti Sungai Penuh yang sedang

melakukan penelitian kepada keluarga klien. Kalau boleh tau

nama bapak siapa, dan senangnya di panggil dengan sebutan

apa?’’

2) Evaluasi/validasi

“Bagaimana perasaan ibu hari ini?Apakah Ada Keluhan bapak

dalam merawat Bapak F?”

3) Kontrak
41

a) Topik: “Apakah bapak tidak keberatan ngobrol dengan

saya?Saya akan melakukan pengkajian pada ibu tentang

perawatan Bapak F”.

b) Waktu: “Berapa lama kira-kira bapak berkenan ngobrol

dengan saya?Bagaimana Kalau 20 menit?”

c) Tempat: “Dimana kita bisa berbincang-bincang pak?”

b. Kerja

“pak, jadwal yang telah dibuat selama F di rumah sakit tolong

dilanjutkan lagi, baik jadwal aktivitas maupun jadwal minum

obatnya. Mari kita lihat jadwal F!”

“Hal-hal yang perlu diperhatikan lebih lanjut adalah perilaku yang

ditampilkan oleh F selama di rumah. Kalau misalnya F menolak

makan atau memperlihatkan perilaku membahayakan orang lain.

Jika hal ini terjadi segera hubungi Puskesmas terdekat.

“Jika tidak teratasi puskesmas akan merujuknya ke RSJ.”

“Saya akan membantu bapak memantau perkembangan Bapak F di

rumah”

c. Terminasi

1) Evaluasi subjektif

“Bagaimana pendapat bapak tentang obrolan kita tadi? Apakah

ada yang ingin ibu tanyakan?”.

2) Evaluasi objektif
42

“Setelah kita berdiskusi panjang lebar, mungkin bisa bapak

ulang jelaskan mengenai cara melaksanakan jadwal aktivitas

pada Bapak F?”

3) Rencana tindak lanjut

“Baiklah bapak, kalau demikian nanti coba bapak bantu bapak F

tentang cara makan”.

4. Prosedur cara makan yang benar

1. Sebelum Makan

A. Hendaknya mencuci tangan terlebih dahulu

B. Hendaknya meletakkan makanan pada lantai, tidak di atas meja

makan karena hal ini menunjukkan ketawadukan

C. Hendaknya duduk dengan kaki kanan di atas kaki kiri. Makan

tidak boleh sambil bersandar, berjalan, dan tidur-tidura

D. Makan apa adanya, Tidak boleh mencela makanan, Walaupun

makanan kurang enak

E. Hendaknya makan bersama dengan keluarga

2. Ketika makan

A. Hendaknya memulai dengan membaca basmalah

B. Hendaknya makan dengan tiga jari tangan kanan, memperkecil

genggaman, memperbaiki kunyahan, kemudian hendaknya


43

memakan makanan yang paling dekat, bukan dari yang ada di

tengah tengah hidangan.

C. Bila sebagian makanan jatuh, buanglah kotorannya, kemudian

makanlah

D. Dilarang meniup makanan yang masih panas, dilarang

memakannya sebelum makanan itu dingin.

E. Memulai makan dari pinggir piring menuju ke tengah, karena

berkah makanan terletak di tengah

F. Jangan memotong daging dengan pisau ketika makan. Hal itu

adalah budaya orang asing

G. Dilarang melirik kepada orang yang sedang makan. Jangan

memperhatikannya karena dengan memperhatikannya membuat

mereka malu.

3. Setelah Makan

A. Berhenti makan sebelum kenyang sehingga tidak terjadi

kekenyangan yang berlebihan

B. Menjilati piring dengan menggunakan jari tangan, kemudian

menjilati jari tangannya sebelum membersihkan dengan sapu

tangan atau sebelum mencucinya dengan air

C. Hendaknya membersihkan gigi dan berkumur kumur untuk

membersihkan mulut.
44

BAB III

METODE STUDI KASUS

A. Desain Studi Kasus

Desain pelaksanaan studi kasus ini menggunakan pendekatan asuhan

keperawatan dengan desain rancangan studi kasus (case study) adalah

suatu penelitian tentang status subjek yang berkenaan dengan suatu fase

spesifik dari keseluruhan personalitas yang kemudian akan ditarik suatu

kesimpulan yang bersifat umum (Supardi & Rustika, 2013). Rancangan

studi kasus mencangkup pengkajian satu unit penelitian secara intensif

misalnya satu klien, keluarga, kelompok, komunitas, atau institusi

(Nursalam, 2008).

Studi kasus adalah penelitian yang bertujuan memberikan gambaran secara

mendetail tentang latar belakang, sifat maupun karakter yang khas dari

suatu kasus intensif dan rinci. Penelitian dalam metode ini dilakukan

secara mendalam terhadap suatu keadaan/kondisi yang disebut sebagai

kasus dengan menggunakan cara-cara sistematis dalam melakukan

pengamatan, pengumpulan data, analisis informasi, dan pelaporan hasil.

Sehingga hasilnya akan menunjukkan pemahaman yang mendalam tentang

mengapa sesuatu terjadi (Pamungkas, 2017).


45

B. Sampel Studi Kasus

Sampel yang digunakan dalam pelaksanaan studi kasus ini adalah defisit

perawatan diri pada kasus Skizofrenia di Wilayah Kerja Puskesmas

Kumun sebanyak 2 orang klien, dengan kriteria sebagai berikut.

1. Kriteria Inklusi

a. Bersedia menjadi responden penelitian.

b. Klien dengan usia 26-45 tahun (Dewasa menengah)

c. Berjenis kelamin laki-laki

d. Keluarga inti dari klien defisit perawatan diri.

e. Keluarga yang memiliki klien defisit perawatan diri yang telah

dirawat di Rumah Sakit Jiwa.

2. Kriteria Ekslusi

a. Tidak bersedia menjadi responden penelitian.

b. Klien yang tidak mempunyai keluarga.

C. Waktu dan Tempat Pelaksanaan Studi Kasus

Waktu penyusunan studi kasus ini telah dimulai pada tanggal 26 Desember

2018 sampai dengan Maret 2019, Wilayah Kerja Puskesmas Kumun

Tahun 2019.
46

D. Instrumen Studi Kasus

Instrumen pelaksanaan studi kasus adalah alat yang digunakan untuk

mengumpulkan, memeriksa, menyelidiki, suatu masalah atau

mengumpulkan, mengolah, menganalisis dan menyajikan data-data secara

sistematis objektif (Pamungkas, 2017). Instrumen pada pelaksanaan studi

kasus ini menggunakan format pengkajian Keperawatan Jiwa dan alat

yang dibutuhkan dalam penggumpulan data, misalnya : tensimeter,

termometer, timbangan berat badan, dan alat kesehatan lainnya.

E. Etika Pelaksanaan Studi Kasus

Secara umum terdapat empat prinsip utama dalam etik penelitian studi

kasus keperawatan (Dharma, 2017).

1. Menghormati hakikat dan martabat manusia (respect forhuman

dignity) peneliti menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia.

Sampel memiliki hak asasi dan kebebasan untuk menentukan pilihan

ikut atau menolak (autonomy). Peneliti tidak melakukan paksaan,

partisipan jugaberhak mendapatkan informasi yang terbuka dan

lengkap tentang pelaksanaan penelitian, resiko penelitian, keuntungan

yang mungkin di dapat kerahasiaan informasi.

Setelah mendapatkan penjelasan yang lengkap dan

mempertimbangkannya dengan baik, sampel kemudian menentukan

apakah akan ikut serta atau menolak sebagai sampel. Prinsip ini

tertuang dalam pelaksanaan informed consent.


47

2. Menghormati privasi dan kerahasiaan sampel (respect for privacy and

confidentiality)

Sampel penelitian memiliki privasi dan hak asasi untuk mendapatkan

kerahasiaan informasi. Peneliti merahasiakan berbagai informasi yang

menyangkut privasi partisipan yang tidak ingin identitas dan segala

informasi tentang dirinya diketahui oleh orang lain. Dengan demikian

segala informasi yang menyangkut identitas partisipan tidak terekspos

secara luas.

3. Menghormati keadilan dan inklusifitas (respect for justice

inclisiveness)

Prinsip keterbukaan dalam penelitian mengandung makna bahwa studi

kasus dilakukan secara jujur, tepat, cermat, hati-hati dan dilakukan

secara profesional. Sedangkan prinsip keadilan mengandung makna

bahwa studi kasus memberikan keuntungan dan beban secara merata

dengan kebutuhan dan kemampuan sampel.

4. Memperhitungkan manfaat dan kerugian yang ditimbulkan

(balancingharm and benefits)

Prinsip ini mengandung makna bahwa setiap penelitian harus

mempertimbangkan manfaat – besarnya bagi sampel penelitian dan

populasi dimana hasil penelitian akan diterapkan (beneficience).

Kemudian meminimalisirkan resiko/dampak yang merugikan bagi

partisipan (normaledeficience).
48

F. Metode Pengumpulan Data

Menurut Dharma (2017) dalam pengumpulan data pada studi kasus, ada

beberapa jenis metode meliputi :

1. Metode Observasi

Merupakan kegiatan pengumpulan data melalui pengamatan langsung

terhadap aktivitas klien yang terencana, dilakukan secara aktif dan

sistematis.

2. Metode Wawancara

Merupakan metode pengumpulan data dengan cara berinteraksi,

bertanya, dan mendengarkan apa yang disampaikan oleh klien ataupun

keluarga klien. Wawancara dilaksanakan pada saat pengkajian,

ataupun pada saat mengimplementasikan tindakan.

3. Metode Pengukuran

Merupakan suatu cara sistematis untuk menentukan jumlah, ukuran

atau memberi label pada objek tertentu. Pengukuran dapat bersifat

mandiri ataupun kolaborasi.

G. Fokus Studi kasus

Penerapan Sp 3 strategi pelaksanaan keluarga pada klien skizofrenia

defisit perawatan diri.


49

H. Prosedur Pelaksanaan Studi Kasus

Penulis mengajukan judul studi kasus pada tanggal 26 Desember 2018 dan

disetujui oleh pembimbing I serta pembimbing II. Pada tanggal 7 Februari

2019 penulis mengajukan surat pengantar kepada Kepala Puskesmas

Kumun Kota Sungai Penuh dalam perihal permohonan izin pengambilan

data untuk survey awal. Penulis melakukan survey awal di Puskesmas

Kumun Kota Sungai Penuh dengan pengambilan data terkait di ruang Tata

Usaha (TU) sesuai dengan judul yang diajukan Setelah adanya

pengumpulan data, penulis menyusun proposal dengan adanya bimbingan

dari pembimbing I dan pembimbing II, yang dimulai dari pengesahan

judul sampai persetujuan proposal. Setelah adanya persetujuan

pembimbing I dan pembimbing II maka mendaftar serta mendapatkan

jadwal pelaksanaan ujian proposal.

Pada pelaksanaan ujian proposal dihadiri oleh penguji dan pembimbing,

jika dalam pelaksanaan pengujian proposal tersebut penulis mendapat

revisi dari penguji maka penulis akan merevisi proposal sesuai dengan

waktu yang ditentukan. Selanjutnya penulis mengajukan surat pengantar

pelaksanaan studi kasus yang akan dilaksanakan pada juni 2019, setelah

pelaksanaan tindakan studi kasus maka di Puskesmas Kumun Kota Sungai

Penuh. Penulis melanjutkan bimbingan studi kasus (BAB IV dan V)

dengan pembimbing I dan pembimbing II sampai adanya persetujuan

pelaksanaan ujian hasil.


50

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN STUDI KASUS

Setelah Peneliti melakukan tindakan Penerapan Sp 3 Keluarga dengan

masalah Defisit Perawatan Diri dengan Skizofrenia dari tanggal 05

Agustus sampai 09 Agustus 2019, dengan sampel sebanyak 2 orang

Keluarga di Wilayah kerja Puskesmas Kumun tahun 2019. Peneliti telah

menemukan perbedaan antara Keluarga Tn. F dan Tn. R.

A. Penerapan SP 3 Keluarga Defisit Perawatan Diri Pada Keluarga


Tn. F Dengan Skizofrenia di Wilayah kerja Puskesmas Kumun
Tahun 2019

Tabel 4.1

Hasil Penerapan SP 3 Keluarga Dengan Masalah Defisit


Perawatan Diri Pada Keluarga Tn. F Dengan Skizofrenia di
Wilayah Kerja Puskesmas Kumun Tahun 2019

No Hari/ Strategi Pelaksanaan 1


Tanggal/
Jam
Pre Post

1 Senin/ Keluarga belum tau Keluarga kurang tau


05-08-2019/ tentang cara merawat tentang cara merawat
10:00 wib pasien cara makan pasien cara makan yang
yang benar benar

2 Selasa/ Keluarga belum bisa Keluarga sudah bisa cara


06-08-2019/ cara merawat pasien merawat pasien cara
09:30 wib cara makan yang makan yang benar
benar
51

3 Rabu/ Keluarga tidak bisa Keluarga mulai paham


07-08-2019/ cara menerapkan cara menerapkan dalam
11: 10 wib dalam merawat pasien merawat pasien cara
cara makan yang makan yang benar.
benar.
4 Kamis/ Keluarga tidak paham Keluarga kurang
08-08-2019/ dan tidak mampu mampu mempraktekkan
10: 25 wib mempraktekkan cara cara penerapan dalam
penerapan dalam merawat pasien cara
merawat pasien makan yang benar.
makan yang benar
5 Jum’at/ Keluarga tidak paham Keluarga kurang mampu
09-08-2019/ menerapkan jadwal menerapkan jadwal
09:40 wib kegiatan untuk kegiatan untuk merawat
merawat pasien cara pasien cara makan yang
makan yang benar. benar.

Berdasarkan tabel 4.1 dapat dilihat hasil dari tindakan keperawatan

yang dilakukan selama lima hari mulai dari tanggal 05 Agustus 2019

sampai tanggal 09 Agustus 2019, pada keluarga Tn. F menunjukan

pada hari pertama kunjungan keluarga kurang tau tentang cara

merawat pasien cara makan yang benar, pada hari kedua keluarga

sudah bisa cara merawat pasien cara makan yang benar, pada hari

ketiga kelurga kurang mampu menerapkan cara makan yang benar,

pada hari keempat keluarga kurang mampu mempraktekkan cara

penerapan dalam merawat pasien cara makan yang benar, dan pada

kujungan terakhir keluarga kurang mampu menerapkan jadwal

kegiatan untuk merawat pasien cara makan yang benar.


52

Menurut (NANDA, 2006), Defisit perawatan diri sering kali

disebabkan oleh intoleransi aktifitas, hambatan mobilitas fisik, nyeri,

ansietas, gangguan kognitif atau persepsi.

Defisit perawatan diri adalah suatu kondisi pada seseorang yang

mengalami kelemahan kemampuan dalam melakukan atau melengkapi

aktivitas perawatan diri secara mandiri seperti mandi (hygiene),

berpakaian/berhias, makan, dan BAB atau BAK (toileting) (fitria, 2012

: 93). Hal ini sejalan dengan penelitian yang ditemukan bahwa angka

kekambuhan pada klien tampa terapi keluarga sebesar 25-50%

sedangkan angka kekambuhan pada klien yang diberikan terapi

keluarga 5-10% (kelliat, 2006).

Keluarga sebagai “perawat utama” dari pasien memerlukan treatment

untuk meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan dalam merawat

pasien.

Peneliti beramsumsi bahwa pasien yang mengalami Defisit perawatan

diri sangat memerlukan motivasi dari Anggota keluarga terhadap klien,

kemampuan Anggota keluarga Tn. F dalam merawat pasien defisit

perawatan diri ke klien untuk dapat mengerti walaupun telah

dijelaskan berulang-ulang.
53

B. Penerapan SP 3 Keluarga Dengan Masalah Defisit Perawatan Diri


Pada Keluarga Tn. R Dengan Skizofrenia di Wilayah kerja
Puskesmas Kumun Tahun 2019

Tabel 4.2

Hasil Penerapan SP 3 keluarga Dengan Masalah Defisit


Perawatan diri Pada Keluarga Tn. R Dengan Skizofrenia di
Wilayah Kerja Puskesmas Kumun Tahun 2019

Hari/ Strategi Pelaksanaan 1


No Tanggal/
Jam
Pre Post

Keluarga tidak tau Keluarga sudah mengerti


Senin/ 05- tentang cara merawat
tentang cara merawat
1 08-2019/ pasien cara makan yang
pasien cara makan
11: 45 wib benar
yang benar

Selasa/ Keluarga belum tau Keluarga sudah mengerti


2 06-08-2019/ cara merawat pasien cara merawat pasien cara
10:20 wib cara makan yang makan yang benar
benar

Keluarga tidak bisa Keluarga sudah mampu


Rabu/ cara penerapan dalam
cara penerapan dalam
3 07-08-2019/ merawat pasien cara
merawat pasien cara
09: 20 wib makan yang benar.
makan yang benar.

Keluarga tidak paham Keluarga sudah paham


dan tidak mampu dan sudah mampu
Kamis/
mempraktekkan cara mempraktekkan cara
4 08-08-2019/
penerapan dalam penerapan dalam
09: 00 wib
merawat pasien cara merawat pasien cara
makan yang benar. makan yang benar.
Keluarga tidak paham Keluarga sudah paham
Jum’at/
menerapkan jadwal dan mampu menerapkan
5 09-08-2019/
kegiatan untuk jadwal kegiatan untuk
11:20 wib
merawat pasien cara merawat pasien cara
54

makan yang benar. makan yang benar.

Berdasarkan tabel 4.2 dapat dilihat hasil dari tindakan keperawatan

yang dilakukan selama lima hari mulai dari tanggal 05 Agustus 2019

sampai dengan tanggal 09 Agustus 2019, pada keluarga Tn. R

menunjukkan pada hari pertama kunjungan Keluarga sudah mengerti

tentang cara merawat pasien cara makan yang benar, pada hari kedua

keluarga sudah mengerti cara merawat pasien cara makan yang benar,

pada hari ketiga Keluarga sudah mampu cara penerapan dalam

merawat pasien cara makan yang benar, pada hari ke empat keluarga

sudah paham dan sudah mampu mempraktekkan cara penerapan dalam

merawat pasien cara makan yang benar dan pada kunjungan hari

terakhir keluarga sudah paham dan mampu menerapkan jadwal

kegiatan untuk merawat pasien makan yang benar.

Pada hal ini sesuai dengan pendapat (Damaiyanti, 2010), Defisit

perawatan diri adalah salah satu kemampuan dasar manusia dalam

memenuhi kebutuhannya guna mempertahankan kehidupannya,

kesehatannya dan kesejahteraannya sesuai dengan kondisi

kesehatannya. Klien dinyatakan terganggu perawatan dirinya jika tidak

dapat melakukan perawatan dirinya.

hal ini didukung oleh penelitian yang dilakukan Budi (2014), yang

menunjukan bahwa klien skizofrenia dengan defisit perawatan diri

membutuhkan bantuan untuk memenuhi salah satu kebutuhan dari 5


55

aktivitas perawatan diri : makan, berpakaian, mandi, eliminasi, dan

aktivitas sehari – hari harus ada bantuan dari tenaga kesehatan atau

peran keluarga.

Keluarga sebagai “perawat utama” dari klien memerlukan treatment

untuk meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan dalam merawat

pasien.

Hal ini sejalan dengan penelitian yang ditemukan bahwa angka

kekambuhan pada klien tampa terapi keluarga sebesar 25-50%

sedangkan angka kekambuhan pada klien yang diberikan terapi

keluarga 5-10% (kelliat, 2006).

Peneliti beramsumsi penerapan SP 3 Keluarga dengan masalah defisit

perawatan diri, dengan tujuan agar keluarga dapat mengatasi masalah

defisit perawatan diri dengan cara menerapkan pada pasien cara makan

yang benar.

Berdasarkan pada tabel yang diatas, dapat dilihat hasil penerapan SP 3

Keluarga dengan masalah Defisit Perawatan Diri Tn. F yang peneliti

lakukan pada tanggal 05 Agustus sampai 10 Agustus tahun 2019,

menunjukan hasil yaitu masalah defisit perawatan diri keluarga pasien

sudah berkurang dan Keluarga sudah paham dan mampu menerapkan

jadwal kegiatan untuk merawat pasien cara makan.


56

C. Perbedaan Hasil Penerapan SP 3 Keluarga Dengan Masalah


Defisit Perawatan Diri Pada Keluarga Tn. F dan Tn. R Dengan
Skizofrenia di Wilayah kerja Puskesmas Kumun Tahun 2019.

Tabel 4.3

Hasil Penerapan SP 3 Keluarga Dengan Masalah Defisit


Perawatan diri Pada keluarga Tn. F dan Tn. R Dengan
Skizofrenia di Wilayah Kerja Puskesmas Kumun Tahun 2019

No Hari/ Hasil Tn. F Hasil Tn. R


Tanggal/
1 Rabu/ Keluarga belum paham Keluarga sudah paham cara
07-08-2019 cara penerapan penerapan merawat pasien
merawat pasien cara cara makan yang benar.
makan yang benar.
2 kamis/ Keluarga belum paham Keluarga sudah paham cara
08-08-2019 dalam menerapkan dalam menerapkan dalam
merawat pasien cara merawat pasien cara makan
makan yang benar. yang benar.
3 Jum’at/ Keluarga belum paham Keluarga sudah paham cara
09-08-2019 cara menerapkan jadwal menerapkan jadwal
kegiatan untuk merawat kegiatan untuk merawat
pasien cara makan yang pasien cara makan yang
benar. benar.

Berdasarkan tabel 4.3 setelah peneliti melakukan tindakan Sp 3

Keluarga Tn. F dan Tn. R dengan skizofrenia, maka peneliti dapat

menemukan perbedaan respon antara kedua keluarga pasien tersebut,

yaitu pada keluarga Tn. F peneliti dapat menyimpulkan keluarga Tn. F

sudah paham cara penerapan dalam merawat pasien cara makan pada

pasien defisit perawatan diri yang dialami pasien berkurang dan pasien

sudah mulai mau makan dan mulai mau berkumpul dengan keluarga
57

lainnya sedangkan pada keluarga Tn. R pada hari ke empat keluarga

kurang mampu menerapkan cara dalam merawat pasien cara makan.

Keluarga sebagai “perawat utama” dari klien memerlukan treatment

untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan dalam merawat

pasien.

Peneliti berasumsi bahwa dengan tindakan keperawatan keluarga yang

sama tetapi hasilnya berbeda, hal ini bisa dikarenakan faktor dukungan

dari keluarga. Pada Tn. R lebih mendapatkan dukungan penuh dari

keluarga untuk beraktivitas secara mandiri, sehingga dalam melatih

kemampuan pada Tn. R lebih berjalan dengan optimal, sedangkan

pada Tn. F tidak mendapatkan dukungan penuh dari keluarga sehingga

menyebabkan Tn. F kurang mampu beraktivitas secara mandiri dan

perbedaan antara kedua pasien tersebut dipengaruhi oleh adanya

dukungan dari keluarga dalam melakukan kemampuan dan aspek

positif yang dimiliki.

D. Implikasi Hasil Laporan Studi Kasus

Hasil temuan dalam studi kasus ini memiliki beberapa implikasi yang

menjadi dasar bagi perkembangan ilmu pengatahuan dan pendidikan

keperawatan.
58

1. Bagi Tenaga Kesehatan

Data dari studi kasus ini dapat menjadi dasar bagi tenaga kesehatan

khusunya keperawatan untuk dapat meningkatkan pengetahuan

dalam hal penerapan proses asuhan keperawatan yang optimal

dalam mengatasi masalah Defisit perawatan diri pada pasien

skizofrenia.

2. Bagi Institusi Pendidikan

Dampak bagi institusi pendidikan juga baik, sehingga kompetensi

dari mahasiswa-mahasiswi dari institusi pendidikan yang terkait

dapat diakui oleh masyarakat ataupun pihak Puskesmas tempat

peneliti melakukan penelitian.

3. Bagi Pelayanan Kesehatan

Diharapkan kepada perawat khusunya di Wilayah Kerja Puskesmas

Kumun agar dalam membuat rencana keperawatan dan dalam

melakukan tindakan keperawatan secara optimal kepada pasien

dengan skizofrenia agar masalah pasien dapat teratasi dengan baik.

E. Keterbatasan Studi Kasus

Penulis menyadari penuh bahwa studi kasus ini masih jauh dari

kesempurnaan dan masih banyak terdapat kekurangan, hal ini

disebabkan oleh karena adanya keterbatasan, seperti saat melakukan

implementasi pada klien sesuai dengan intervensi yang penulis buat,

terkadang di dalam rumah klien terdapat banyak anggota keluarga,


59

sehingga tidak terciptanya suasana yang kondusif dalam menerapkan

implementasi keperawatan secara optimal.

F. Rencana Tindak Lanjut

1. Memotivasikan Keluarga untuk melakukakan tindakan yang telah

dianjurkan.

2. Menganjurkan Keluarga untuk tetap menkonsumsi obat yang

didapatkan dari puskesmas secara teratur.

3. Untuk peneliti selanjutnya agar tetap melanjutkan tindakan SP 3

Keluarga Dengan Masalah Defisit Perawatan Diri dengan kasus

Skizofrenia.
60

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Dari hasil penerapan SP 3 dengan masalah Defisit Perawatan Diri: Cara

makan pada Tn. F dan Tn. R dengan Skizofrenia di Wilayah Kerja

Puskesmas Kumun Tahun 2019 dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:

1. Penerapan SP 3 Keluarga dengan masalah Defisit Perawatan Diri:

Cara makan pada Tn. F dengan Skizofreni diwilayah kerja puskesmas

kumun. Dengan Masalah Defisit Perawatan Diri oleh Tn. F setelah

dilakukakan penerapan SP 3 Keluarga masih kurang bisa dan kurang

mampu menerapkan cara merawat.

2. Penerapan SP 3 Keluarga dengan masalah Defisit Perawatan Diri: Cara

makan pada Tn. R dengan Skizofreni diwilayah kerja puskesmas

kumun. Perubahan Menerapkan Defisit Perawatan yang dilakukan Tn.

R sebelum diterapakan SP 3 Keluarga yaitu belum bisa dan mampu

merawat anggota keluarga klien yang mengalami defisit perawatan

diri, setelah diterapkan SP 3 Keluarga mengalami perubahan yaitu

sudah bisa dan mampu menerapkanya dengan benar.


61

3. Adanya perbedaan hasil Penerapan SP 3 Keluarga dengan masalah

Defisit Perawatan Diri: Cara makan pada Tn. F dan Tn. R dengan

Skizofreni diwilayah kerja puskesmas kumun, di mana Tn. R sudah

terlihat perbedaan setelah diterapakan anggota keluarga klien masih

kurang bisa dan kurang mampu dalam menerapkan cara makan dengan

benar, sedangkan pada Tn. F perbedaanya sudah terlihat bisa dan

mampu menerapkan cara makan dengan benar.

B. Saran

1. Bagi Penulis

Diharapkan dapat menambah wawasan dan ilmu pengatahuan secara

nyata penulis khususnya dalam memberi asuhan keperawatan dengan

penerapan SP 3 Keluarga dengan masalah defisit perawatan diri pada

kasus Skizofrenia di Wilayah Kerja Puskesmas Kumun Tahun 2019,

dan dapat memperoleh pengalaman nyata dalam memberi asuhan

keperawatan keluarga.

2. Bagi Puskesmas Kumun

Diharapkan dapat memberi masukan bagi pihak Puskesmas Kumun

dalam melakukan asuhan keperawatan jiwa pada anggota keluarga

dengan masalah Defisit perawatan diri; Cara makan pada kasus

Skizofrenia.
62

3. Bagi Institusi Pendidikan

Diharapkan dapat dijadikan sebagai informasi atau bahan acuan bagi

mahasiswa Akper Bina Insani Sakti Sungai Penuh, dalam melakukan

konsep-konsep teori yang diberikan dalam praktek asuhan

keperawatan jiwa pada anggota keluarga dengan masalah Defisit

perawatan diri: Cara makan pada kasus Skizofrenia.

Anda mungkin juga menyukai