Asbabul Wurud PDF

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 24

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sebagai diketahui hadis merupakan sumber utama hukum Islam setelah
Al-Qur'an. Pada hakikatnya ada dua fungsi hadis, pertama hadis berfungsi
sebagai sumber hukum Islam. kedua, hadis juga berfungsi sebagai penjelas
(bayyin) terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang bersifat ‘am (umum) ataupun
mujmal (global). Dari ayat Al-qur’an Allah sendiri telah menyuruh kepada
Nabi untuk menjelaskan kepada umatnya mengenai Al-qur’an itu sendiri,
Justru pemahaman yang demikian membuat kita lebih memahami akan
fungsi hadis. Untuk memahami hadis secara baik, diperlukan suatu perangkat
atau metodologi. Salah satu caraalat bantu atau perangkatnya yaitu dengan
memahami asbabul wurud, Naskh Al-hadits dan ikhtilaf al-hadits suatu hadis.
Dengan mengetahui salah satu dari kaidah takhrijul hadis, maka akan
membantu untuk memberi pemahaman yang baik terhadap hadis dan tidak
terjebak pada pemahaman yang saklek atau tekstual. Karena itu, dengan
memahami ilmu ini maka akan sangat membantu dalam mengetahui kondisi
sosio-historis sebuah hadis.
B. Rumusan masalah
1. Apa pengertian asbabul wurud ?
2. Bagaimana cara mengetahui asbabul wurud?
3. Apa pengertian naskh mansukh al-hadits ?
4. Bagaimana cara mengetahui proses terjadinya naskh?
5. Sebutkan syarat-syarat naskh al-hadits?
6. Pengertian Ikhtilaf Al-Hadit?
7. Bagaimana metode penyelesaian ikhtilaf al-hadits ?

C. Maksud dan tujuan


1. Untuk mengetahui pengertian asbabul wurud.
2. Untuk mengetahui sebab munculnya hadist.
1
3. Untuk mengetahui pengertian naskh mansukh al-hadits.
4. Untuk mengetahui cara proses terjadinya naskh.
5. Untuk mengetahui syarat-syarat naskh al-hadits.
6. Untuk mengetahui Ikhtilaf Al-Hadits.
7. Untuk mengetahui metode penyelesaian ikhtilaf al-hadits.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Asbabul Wurud.
1. Pengertian
Secara etimologis, “asbabul wurud” merupakan susunan idhafah yang
berasal dari kata asbab dan al-wurud. Kata “asbab” adalah bentuk jamak
dari kata “sabab”. Menurut ahli bahasa diartikan dengan “al-habl” (tali),
saluran yang artinya dijelaskan sebagai segala yang menghubungakan satu
benda dengan benda lainnya.
Sedangkan menurut istilah adalah “Segala sesuatu yang mengantarkan
pada tujuan”. Dan ada juga yang mendifinisikan dengan : suatu jalan
menuju terbentuknya suatu hukum tanpa ada pengaruh apapun dalam
hukum itu. Sedangkan kata Wurud merupakan bentuk isim masdar (kata
benda abstrak) dari warada-yaridu yang berarti datang atau sampai pada
sesuatu, atau bisa berarti sampai, muncul, dan mengalir. 1
Dengan demikian, secara sederhana asbabul wurud dapat diartikan
sebagai sebab-sebab datangnya sesuatu. Karena istilah tersebut biasa
dipakai dalam diskursus ilmu hadis, maka asbabul wurud dapat diartikan
sebagai sebab-sebab atau latar belakang (background) munculnya suatu
hadis. Sedangkan ilmu asbabul wurud yaitu ilmu yang menerangkan
sebab-sebab Nabi saw menuturkan sabdanya dan masa-masanya Nabi
menuturkan.
Dari beberapa pengertian tersebut dapat kita definisikan asbabul
wurud sebagai berikut: “ilmu yang menerangkan sebab-sebab dan masa
Nabi Saw menuturkan sabdanya, atau ilmu yang mengkaji tentang hal-hal
yang terjadi di saat hadits disampaikan, berupa peristiwa atau pertanyaan
yang hal ini dapat membantu untuk menentukan maksud hadits yang
bersifat umum atau khusus, muthlaq atau muqoyyad atau untuk
menentukan ada tidaknya nashkh (penghapusan) dalam suatu hadits atau

1
Munzier Suparta.Ilmu Hadits.Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.2008.hlm. 38-.39
3
yang semisal dengan itu” sebenarnya pengetahuan tentang asbabul wurud
bukanlah ghayah (tujuan) namun sebagi sarana (washilah) untuk
memperoleh ketepatan makna dalam memahami pesan atau maksud suatu
hadis.
Urgensi mengetahui asbabul Wurud antara lain :
1. Untuk menolong memahami dan menafsirkan al Hadis
2. Untuk mengetahui hikmah-hikmah ketetapan syariat (hukum)
3. Untuk menentukan adanya takhsish terhadap suatu hadis yang ‘am.
Berikut ini adalah beberapa fungsi dari asbab al-wurud yang ada
contoh hadisnya, yaitu:
1. Menentukan adanya takhshish hadits yang bersifat umum.
2. Membatasi pengertian hadits yang masih mutlaq.
3. Mentafshil (merinci) hadits yang masih bersifat global (umum).
4. Menentukan ada atau tidaknya nasikh-mansukh dalam suatu hadits.
5. Menjelaskan ‘illah (sebab-sebab) ditetapkannya suatu hukum
6. Menjelaskan maksud suatu hadis yang masih musykil. (sulit
dipahami atau janggal).
2. Macam-macam dan Cara Mengetahui Asbabul Wurud Hadist
Cara mengetahui sebab-sebab lahirnya suatu hadis itu hanya
dengan jalan riwayat saja. Cara mengetahui asbab dari suatu hadis
adalah :
1. Asbab sudah tercantum dalam rangkaian hadis tersebut.
2. Asbab dari suatu hadis tersebut terdapat dalam hadis yang lain.
3. Asbab dari suatu hadis itu adalah informasi atau ahwal dari para
sahabat yang mengetahui munculnya hadis tersebut.
Menurut imam As-Suyuthi asbabul wurud itu dapat dikategorikan
menjadi tiga macam, yaitu:
1) Sebab yang berupa ayat al-Qur’an.
Artinya di sini ayat al-Qur’an itu menjadi penyebab Nabi SAW.
Mengeluarkan sabdanya. Contohnya antara lain :
‫الذين أمنوا ولم يلبسوا إيمانهم بظلم أولئك لهم األمن وهم مهتدون‬

4
“orang-orang yang beriman, dan mereka tidak mencampur
adukkan iman mereka dengan kedzaliman, mereka itulah orang-orang
yang mendapat keamanan dan mereka itu orang-orang yang
mendapatkan petunjuk” (Q.S. Al-An’am: 82)
Ketika itu sebagian sahabat memahami kata “azh-zhulmu” dengan
pengertian al jaur yang berarti berbuat aniaya atau melanggar aturan.
Nabi SAW. Kemudian memberikan penjelasan bahwa yang dimaksud
“azh-zhulmu” dalam firman tersebut adalah asy-syirku yakni perbuatan
syirik, sebagaimana yan g disebutkan dalam surat al-Luqman: 13
‫إن الشرك لظلم عظيم‬
“sesungguhnya syirik itu merupakan kezhaliman yang besar.”
2) Sebab yang berupa Hadis
Artinya pada waktu itu terdapat suatu Hadis, namun sebagian
sahabat merasa kesulitan memahaminya, maka kemudian muncul Hadis
lain yang memberikan penjelasan terhadap Hadis tersebut. Contoh
adalah Hadis yang berbunyi:
‫إ ن هلل تعالى ملئكة في الرض ينطق على ألسنة بني أدم بما في المرء من‬
‫خير أو شر‬
“sesungguhnya Allah SWT memiliki para malaikat di bumi, yang
dapat berbicara melalui mulut manusia mengenai kebaikan dan
keburukan seseorang.” (HR. Hakim) 2
Dalam memahami Hadis tersebut, ternyata para sahabat merasa
kesulitan, maka mereka bertanya: Ya rasul !, bagaimana hal itu dapat
terjadi? Maka Nabi SAW menjelaskan lewat sabdanya yang lain
sebagaimana Hadis yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik. Suatu
ketika Nabi SAW bertemu dengan rombongan yang membawa jenazah.
Para sahabat kemudian memberikan pujian terhadap jenazah tersebut,
seraya berkata: “Jenazah itu baik”. Mendengar pujian tersebut, maka
Nabi berkata: “wajabat” (pasti masuk surga) tiga kali. Kemudian Nabi
SAW bertemu lagi dengan rombongan yang membawa jenazah lain.

2
M.Agus Solahudin dan Agus Suyadi. Ulumul Hadis. Bandung : Pustaka Setia. 2013.hlm.121

5
Ternyata para sahabat mencelanya, seraya berkata: “Dia itu orang
jahat”. Mendengar pernyataan itu, maka Nabi berkata: “wajabat”. (pasti
masuk neraka). Ketika mendengar komentar Nabi SAW yang demikian,
maka para sahabat bertanya: “Ya rasul !, mengapa terhadap jenazah
pertama engkau ikut memuji, sedangkan terhadap jenazah kedua tuan
ikut mencelanya. Engkau katakan kepada kedua jenazah tersebut:
“wajabat” sampai tiga kali. Nabi menjawab: ia benar.
Lalu Nabi berkata kepada Abu Bakar, wahai Abu Bakar
sesungguhnya Allah SWT memiliki para malaikat di bumi. Melalui
mulut merekalah, malaikat akan menyatakan tentang kebaikan dan
keburukan seseorang. (HR. al-Hakim dan alBaihaqi).
Dengan demikian, yang dimaksud dengan para malaikat Allah di
bumi yang menceritakan tentang kebaikan keburukan seseorang adalah
para sahabat atau orang-orang yang mengatakan bahwa jenazah ini baik
dan jenzah itu jahat.
3) Sebab yang berupa perkaitan
Yang berkaitan dengan para pendengar dikalangan sahabat
sebagai contoh adalah persoalan yang berkaitan dengan sahabat Syuraid
Bin Suwaid ats-Tsaqafi. Pada waktu Fath makkah (pembukaan kota
makkah) beliau pernah datang kepada nabi SAW seraya berkata: “Saya
Bernazar Akan Shalat Dibaitul Maqdis”. Mendengar pernyataan
sahabat tersebut, lalu Nabi berssabda: “Shalat Di Sini, yakni masjidil
haram itu lebih utama”. Nabi SAW lalu bersabda: “Demi Dzat yang
Jiwaku Berada dalam kekuasaan-Nya, seandainya kamu shalat disini
(Masjid Al-Haram Makkah), maka sudah mencukupi bagimu untuk
memnuhi nazarmu”. Kemudian Nabi SAW, bersabda lagi: “Shalat
Dimasjid Ini, Yaitu Masjid Al-Haram Itu Lebih Lebih Utama Dari Pada
100.000 Kali Shalat Di Selain Masjid Al-Haram”. (H.R. Abdurrazzaq
Dalam Kitab Al-Mushannafnya)
Contoh-contoh Hadis yang Memiliki Asbabul wurud
Sebagaimana telah kita pahami bahwa sebagian hadis Nabi
dikemukakan oleh Nabi tanpa didahului oleh sebab tertentu dan

6
sebagian lagi didahului oleh sebab tertentu. Bentuk sebab tertentu yang
menjadi latar belakang terjadinya hadis itu dapat berupa peristiwa
secara khusus dan dapat pula berupa suasana atau keadaan yang bersifat
umum. 3
Selain sedikit contoh yang telah dipaparkn di atas, di bawah ini
akan diberikan beberapa contoh lagi mengenai hadis dan sebab
wurudnya.
Hadits 1:
‫أنتم أعلم بأمور دنياكم‬
“ Kalian lebih tahu urusan dunia kalian” ( HR. Muslim )
Sebagian orang menjadikan hadits ini sebagai alasan untuk lari
dari hukum – hukum syariat yang berkaiatan dengan masalah ekonomi,
hukum politik dan yang semisalnya dengan alasan ( sebagaimana
anggapan mereka yang salah ), bahwa itu adalah urusan dunia, dan
untuk urusan dunia ini Rasulullah telah menyerahkan kepada kami,
apakah betul ini yang dimaksud oleh hadis tersebut?sama sekali tidak,
dalam nash Al-Qur’an dan As-Sunnah terdapat hal-hal yang mengatur
urusan muamalah seperti jual-beli, serikat dagang, sewa menyewa,
hutang piutang, pegadaian dan lain sebagainya.
Hadits 2:
Sebagai ilustrasi mengenai fungsi asbabul wurud hadis untuk
menentukan adanya takhsish terhadap suatu hadis yang ‘am, misalnya
hadis yang berbunyi:
‫صالة القاعد على النصف من صلة القائم‬
“shalat orang yang sambil duduk pahalanya separoh dari orang
yang sholat sambil berdiri.” (H.R. Ahmad)
Pengertian “shalat” dalam hadis tersebut masih bersifat umum.
Artinya dapat berarti shalat fardhu dan sunnat. Jika ditelusuri melalui
asbabul wurudnya, maka akan dapat dipahami bahwa yang dimaksud
“shalat” dalam hadis itu adalah shalat sunnat, bukan shalat fardhu.

3
Syuhudi Ismail.Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual.Jakarta: PT. Bulan
Bintang.1994.hlm. 49

7
Inilah yang dimaksud dengan takhshish, yaitu menentukan kekhususan
suatu hadis yang bersifat umum, dengan memperhatikan konteks
asbabul wurud.
Asbabul wurud hadis tersebut adalah bahwa ketika itu dimadinah
dan penduduknya sedang terjangkit suatu wabah penyakit. Maka
kebanyakan para sahabat lalu melakukan shalat sunnah sambil duduk.
Pada waktu itu, nabi kebetulan datang dan tahu bahwa mereka suka
melakukan shalat sunnat tersebut sambil duduk. Maka nabi kemudian
bersabda :” shalat orang yang sambil duduk pahalanya separuh dari
orang yang shalat dengan berdiri”. 4
Mendengar pernyataan nabi tersebut, akhirnya para sahabat yang
tidak sakit memilih shalat sunnat sambil berdiri. Dari penjelasan
asbabul wurud tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud
dengan “shalat” dalam hadis itu adalah shalat sunnat. Pengertiannya
adalah bahwa bagi orang yang sesungguhnya mampu melakukan shalat
sunnah sambil duduk, maka ia akan mendapat pahala separoh dari
orang shalat sunnat dengan beridiri.
Dengan demikian, apabila seseorang memang tidak mampu
melakukan shalat sambil berdiri -mungkin karena sakit-, baik shalat
fardhu atau shalat sunnat, lalu ia memilih shalat dengan duduk, maka ia
tidak termasuk orang yang disebut-sebut dalam hadis tersebut. Maka
pahala orang itu tetap penuh bukan separoh, sebab ia termasuk
golongan orang yang memang boleh melakukan rukhshah atau
keringanan syari’at.

B. Naskh Al-Hadits
1. Pengertian
Naskh menururt bahasa mempunyai dua makna yaitu menghapus dan
menukil. Sehingga seolah-olah yang menasakh itu telah menghapuskan
yang mansukh, lalu memindahkan atau menukilkannya kepada hukum
yang lain. Sedangkan menurut istilah adalah “pengangkatan yang

4
Munzier suparta.Ilmu Hadis. Jakarta : Raja Grafindo Persada.2006.hlm. 40
8
dilakukan oleh penetap syariat terhadap suatu hukum yang datang
terdahulu dengan hukum yang datang kemudian”.
Naskh menururt bahasa mempunyai dua makna yaitu menghapus
dan menukil. Sehingga seolah-olah yang menasakh itu telah
menghapuskan yang mansukh, lalu memindahkan atau menukilkannya
kepada hukum yang lain. Sedangkan menurut istilah adalah
“pengangkatan yang dilakukan oleh penetap syariat terhadap suatu
hukum yang datang terdahulu dengan hukum yang datang kemudian”.
Sedangkan Mansukh menurut bahasa ialah sesuatu yang di hapus
atau dihilangkan atau dipindah atau disalin atau dinukil. Sedangkan
menurut istilah para ulama’ ialah hukum syara’ yang diambil dari dalil
syara’ yang sama, yang belum diubah dengan dibatalkan dan diganti
dengan hukum syara’ yang baru yang datang kemudian.
Ilmu Nasikh wa Mansukh hadits adalah ilmu pengetahuan yang
membahas tentang hadits yang datang kemudian sebagai penghapus
terhadap ketentuan hukum yang berlawanan dengan kandungan hadits
yang datang lebih dahulu.
Para muhadditsin memberikan ta’rif ilmu itu secara lengkap ialah:
‫هوالعلم ااذ ي يبحث عن االحاديث المتعارضة التلى اليمكن التو فيق بينها من حيث‬
‫ فما ثبت تقد مه‬,‫ وعلى بعضهااالخر بانه منسوخ‬,‫الحكم على بعضها باء نه ناسخ‬
.‫كان منسوخا وما تاخره كان ناسخا‬
“Ilmu yang membahas tentang hadist-hadist yang berlawanan yang tidak
dapat dipertemukan dengan ketetapan yang dating terlebih dahulu disebut
mansukh dan yang datang kemudian disebut nasikh”
Dasar – Dasar Penetapan Nasikh dan Mansukh. Manna’ Al-Qaththan
menetapkan tiga dasar untuk menegaskan bahwa suatu ayat dikatakan
nasikh (menghapus) ayat lain mansukh (dihapus). Ketiga dasar adalah:
a. Melalui pentransmisian yang jelas (An-naql Al-sharih ) dari Nabi
atau para sahabatnya, seperti hadist: Aku dulu melarang kalian
berziarah kubur, sekarang berziarahlah.
b. Melalui kesepakatan umat bahwa ayat ini nasikh dan ayat itu
mansukh
9
c. Melalui studi sejarah, mana ayat yang lebih belakang turun,
sehingga disebut nasikh, dan mana yang duluan turun, sehingga
disebut mansukh Al-Qaththan menambahkan bahwa nasikh tidak
bisa ditetapkan melalui prosedur ijtihad, pendapat ahli tafsir, karena
adanya kontradiksi antara beberapa dalil bila dilihat dari lahirnya,
atau belakangnya keislaman salah seorang dari pembawa riwayat.
2. Cara Mengetahui Proses Terjadinya Naskh
Terjadinya proses penghapusan (nasikh) ini bisa diketahui melalui
empat cara yaitu :
1. Adanya penjelasan langsung dari syari’ yaitu Rasulullah.
Contohnya sebagaimana hadits tentang pelarangan ziarah kubur
yang dihapus dengan perintah melakukannya.
ِ ‫سلَّ َم لَعَنَ َز َّوا َرا‬
ِ ُ‫ت القُب‬
‫ور‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬
َ ُ‫َّللا‬ َ ِ‫ أَنَّ َرسُو َل هللا‬،َ‫عنْ أَبِي ه َُري َْرة‬
َّ ‫صلَّى‬ َ
Bahwa Rasulullah SAW. melaknat para perempuan peziarah
kubur.” (HR. Turmudzi)
ُ‫ قَ ْد كُ ْنت‬:‫سلَّ َم‬ َ ‫َّللاُ عَلَ ْي ِه َو‬ َ ِ‫ قَا َل َرسُولُ هللا‬:َ‫عنْ أَبِي ِه قَال‬
َّ ‫صلَّى‬ َ ،َ‫عنْ سُلَ ْي َما َن ب ِْن بُ َر ْي َدة‬ َ
‫ فَ ُزو ُروهَا فَ ِإنَّ َها تُذَ ِك ُر‬،ِ‫ار ِة قَب ِْر أ ُ ِمه‬
َ ‫ فَقَ ْد أُذِنَ ِل ُم َح َّم ٍد فِي ِز َي‬،‫ور‬
ِ ُ ‫ار ِة القُب‬
َ َ‫عنْ ِزي‬ َ ‫نَ َهيْتُكُ ْم‬
.َ‫اآلخِ َرة‬
Diriwayatkan dari Sulaiman bin Buraidah, dari ayahnya, bahwa:
“Rasulullah SAW. bersabda: “Sesungguhnya aku pernah melarang
kalian ziarah kubur, sungguh telah diizinkan bagi Muhammad
untuk menziarahi kubur ibunya. Maka sekarang ziarah kuburlah.
Sebab dengan ziarah kubur itu akan membankitkan kesadaran
akan kehidupan akhirat.” (HR. Turmudzi)
2. Adanya penjelasan dari sahabat Nabi tentang terjadinya nasikh,
seperti hukum pembatalan wudhu saat memegang api yang
dijelaskan oleh Jabir bin Abdillah.
‫َلى هللا‬
َّ ‫س ْو ُل هللا ص‬ َ ‫عن ابي هريرة قال ِإنَّ َما أَت ََوضَّأ ُ ِمنْ أَثْ َو ِار أَقِطٍ أ َ َكلْت ُها َ ِألَنِي‬
ُ ‫س ِمعْتُ َر‬
‫ستْ ال َّنا ُر‬ ُ ‫سلَّم َيقُ ْو ُل ت ََوض‬
َّ ‫َّئوا مِ َّما َم‬ َ ‫علَيْه َو‬
َ
Diriwayatkan oleh Abu Hurairah, Sesungguhnya aku berwudhu,
karena telah makan sepotong keju, Aku mendengar Rasulullah

10
SAW. bersabda: “Berwudhulah kalian karena makan sesuatu yang
telah dimasak.” (HR. Muslim)

ُ ‫سلَّ َم ت َْر ُك الْ ُو‬


‫ضوءِ ِم َّما‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬
َ ُ ‫صلَّى هللا‬ ِ َّ ‫ «كَانَ آخِ َر ْاأل َ ْم َري ِْن ِمنْ َرسُو ِل‬:َ‫ قَال‬،‫عنْ َجا ِب ٍر‬
َ ‫َّللا‬ َ
»‫ت ال َّنا ُر‬ِ ‫غيَّ َر‬ َ
Diriwayatkan oleh Jabir, bahwa: “Adalah di antara dua perbuatan
Rasulullah SAW. ialah tidak berwudhu setelah makan sesuatu yang
berubah karena dimasak.” (HR. Abu Daud)
3. Melalui penelusuran sejarah keluarnya hadits, sebagaimana hadits
Syaddad bin Aus yang menjelaskan pembatalan puasa bagi orang
yang bekam dan yang membekam. Hadits ini muncul pada
peristiwa penaklukan kota Mekkah kemudian di nasikh oleh hadits
Ibnu Abbas bahwa Nabi melakukan bekam, sedang beliau dalam
keadaan ihram dan puasa, dan itu terjadi pada peristiwa haji wada’.
.‫اج ُم َوال َم ْح ُجو ُم‬ َ ‫ أ َ ْف‬:َ‫سلَّ َم قَال‬
ِ ‫ط َر ال َح‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ُ‫َّللا‬ َ ِ ‫ع ِن النَّبِي‬ ٍ ‫عنْ َراف ِِع ب ِْن َخد‬
َ ،‫ِيج‬ َ
Diriwayatkan dari Rafi’ bin Khadij, bahwa: Rasulullah SAW.
bersabda “Batal berpuasa bagi orang yang membekam dan yang
dibekam.” (HR. Turmudzi)
،‫سلَّ َم ا ْحت َ َج َم َوه َُو ُم ْح ِر ٌم‬ َ ‫ «أَنَّ النَّبِ َّي‬:‫عنْ ُه َما‬
َ ‫صلَّى هللاُ عَلَ ْي ِه َو‬ َ ُ‫َّللا‬
َّ ‫اس َر ِض َي‬
ٍ َّ‫ع َِن اب ِْن عَب‬
»‫َوا ْحت َ َج َم َوه َُو صَائِ ٌم‬

Diriwayatkan dari Ibnu Abbas ra. Bahwa Nabi SAW. berbekam


sedang beliau dalam keadaan berihram dan berpuasa. (HR.
Bukhari)
4. Petunjuk ijma’ atau konsensus ulama’ sebagaimana hukum cambuk
bagi peminum minuman keras yang jika mengulangi sampai empat
kali maka dibunuh. Menurut An-Nawawi, ijma’ menunjukkan
terjadinya nasikh. Ijma’, katanya, tidak bisa menghapus dan tidak
bisa dihapus. Akan tetapi, ia hanya menunjukkan adanya nasikh
didalamnya.
3. Syarat - Syarat Nasakh

11
1. Adanya mansukh (yang dihapus) dengan syarat bahwa hukum yang
dihapus itu adalah berupa hukum syara’ yang bersifat ‘amali,
tidak terikat ataudibatasi dengan waktu tertentu.
2. Adanya mansukh bih (yang digunakan untuk menghapus) dengan
syarat datangnya dari syari’ (Rasulullah saw).
3. Adanya nasikh (yang berhak menghapus), dalam kaitan ini yaitu
Rasulullah saw.
4. Adanya mansukh ‘anhu (arah hukum yang dihapus itu adalah
orang-orang yang sudah akil baligh atau mukallaf). Karena yang
menjadi sasaran hukum yang menghapus atau yang dihapus itu
adalah tertuju pada mereka.
Sedangkan ‘Abd ‘Azhim al Zarqany mengemukakan bahwa
nasakh baru dapat dilakukan apabila :
a. Adanya dua hukum yang saling bertolak belakang dan tidak dapat
dikompromikan, serta tidak diamalkan secara sekaligus dalam
segala segi.
b. Ketentuan hukum syara’ yang berlaku (menghapus) datangnya
belakangan dari pada ketetapan hukum syara’ yang diangkat atau
dihapus.
c. Harus diketahui secara meyakinkan perurutan penukilan hadits-
hadits tersebut sehingga yang lebih dahulu dinukilan ditetapkan
sebagai mansukh dan yang dinukilkan kemudiaannya sebagai
nasikh

4. Bentuk Naskh Yang Berkaitan Dengan Hadits


1) Nasakh Hadis Dengan Hadis
Ulama Usul al-Fiqh sepakat mengatakan hadis boleh
dinasakhkan dengan hadis, yaitu mutawatir dengan mutawatir,
mutawatir dengan masyhur dan mutawatir dengan ahad. Contohnya
ialah hadis larangan menziarahi kubur dan menyimpan daging
korban. Larangan-larangan ini pada mulanya thabit dengan hadis

12
dan hadis sendiri yang membenarkannya. Oleh itu, nasakh ini
dikatakan nasakh hadis dengan hadis.5

2) Nasakh Hadis Dengan al-Qur’an


Kebanyakan ulama termasuk ulama Zahiriyyah mengakui
adanya nasakh hadis dengan al-Qur’an. Walau bagaimanapun,
Imam al-Syafi’i tidak menerimanya. Jumhur berhujah bahawa
nasakh seperti ini memang berlaku dengan mengemukakan contoh
perpindahan kiblat dari Baitul Maqdis ke Ka`bah. Sembahyang
dengan mengadap ke arah Baitul Maqdis sememangnya thabit
tetapi dengan hadis bukan al-Qur’an. Al-Hazimi mengemukakan
satu riwayat daripada al-Barra’ bin `Azib:
‫ان رسول هللا صلى هللا عليه وسلم كان اول ماقد المد ينة نزل على احداده من االء‬
.‫نصاروانه صلى قبل بيت المقد س سته عشر شهرا اءوسبعه عشر شهر‬

Daripada al-Barra’ bin `Azib bahawa perkara yang


dilakukan oleh Rasulullah s.a.w. apabila sampai di Madinah ialah
menemui datuk neneknya dari kalangan Ansar dan baginda
bersembahyang mengadap ke arah Baitul Maqdis selama enam
belas bulan atau tujuh belas bulan.
Hadis ini telah dinasakhkan oleh ayat yang artinya:
Sesungguhnya Kami sering melihat mukamu mengadah ke
langit, maka sesungguhnya Kami akan memalingkan kamu ke
kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu kr arah Masjidil
Haram. Dan dimana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke
arahnya. (Surah al-Baqarah: 144)

3) Nasakh al-Qur’an Dengan Hadis


Jumhur ulama termasuk Zahiriyyah mengharuskan nasakh
hadis dengan al-Qur’an sementara Imam al-Syafie mencegahnya.

5
Zuhaili, Ilmu Usul al-Fiqh al-Islami, jilid 2. Hlm. 967

13
Bagaimanapun golongan Hanafiyyah hanya mengharuskan nasakh
al-Qur’an dengan hadis mutawatir dan masyhur kerana ianya
tersebar luas di kalangan manusia. Golongan yang
mengharuskannya berhujah dengan ayat wasiat kepada ibu bapa
dan kaum kerabat.
Diwajibkan ke atas kamu, apabila seorang di antara kamu
kedatangan tanda-tanda maut, jika ia meninggalkan harta yang
banyak berwasiat untuk ibu bapa dan kaum kerabat secara ma`ruf,
ini adalah kewajipan atas orang-orang yang bertakwa. (al-
Baqarah:180)
Ayat ini telah dimansukhkan dengan hadis:
‫ " ان هللا قد أعطى‬:‫ سمعت رسول هللا صلى هللا عليه وسم يقو ل‬:‫ قال‬,‫عن ابي امامة‬
‫ فال وصية لوارث" ابو داود‬,‫كل ذي حق حقه‬
Daripada Abu Umamah, katanya: “Saya mendengar
Rasulullah s.a.w. bersabda: Sesungguhnya Allah s.w.t. telah
menentukan kepada setiap orang yang mempunyai hak akan hak
masing-masing. Dengan itu, maka, tidak ada wasiat untuk waris
(orang yang berhak menerima pusaka).”
Tetapi golongan yang tidak mengharuskan bentuk nasakh ini
menjawab bahawa ayat wasiat itu sebenarnya dinasakhkan oleh
ayat mawarith yaitu ayat 11 surah al-Maidah sebagaimana yang
ditegaskan oleh Ibn Abbas.

4) Apakah Semua Hadis Yang Dimansukhkan Itu Dipersetujui


Oleh Semua
Oleh kerena penentuan nasakh merupakan perkara yang
diijtihadkan, tentu sekali ada perbedaan pendapat ulama dalam
menentukan sesuatu hadis itu dimansukhkan ataupun tidak. Tidak
semua hadis yang dikatakan sebagai telah mansukh dipersetujui
oleh semua pihak. Walau bagaimanapun terdapat juga, hadis yang
disepakati oleh ulama sebagai mansukh. Dalam hal ini, Dr Yusuf
al-Qaradhawi menyebut: “Banyak hadis yang didakwa sebagai

14
telah dimansukhkan tetapi setelah dikaji ia tidaklah dinasakhkan.
Ada hadis yang berbentuk `azimah dan ada pula yang berbentuk
rukhsah. Kedua bentuk ini mempunyai hukum masing-masing pada
tempatnya. Terdapat sesetengah hadis yang berkaitan dengan
keadaan tertentu dan hadis yang lain pula berkaitan dengan
keadaan yang lain, maka perbedaan keadaan itu bukan
menunjukkan nasakh.

C. Ikhtilaf Al-Hadits
1. Pengertian
Ikhtilaf berasal dari bahasa arab yang berarti ketidaksamaan,
ketidakserasian, atau ketidak cocokan. Ikhtilaf hadist yanggg berarti
hadist-hadist antara satu sama lain mengandung ketidaksaman,
ketidakserasian, ketidakcocokan.6 Ilmu mukhtalif hadist adalah ilmu yang
membahas hadist- hadist yang tanpaknya saling bertentangan, lalu
menghilangkan pertentangan itu atau mengkompromikannya disamping
membahas hadist yang sulit difahami atau dimengerti lalu menghilangkan
kesulitan itu dan menjelaskan hakikatnya.
Definisi lain menyebutkan sebagai berikut, ilmu ikhtilaf hadist adalah
ilmu yang membahas hadist-hadist yang menurut lahirnya saling
bertentangan, karena adanya kemungkinan dapat dikompromikan, baik
dengan cara mentaqyid kemutlakannya, atau membawanya ke beberapa
kejadian yang relevan dengan hadist tersebut dll.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Ilmu Ikhtilaf hadist adalah
ilmu yang membahas hadist-hadist yang lahirnya saling berlawanan, lalu
menghilangkan pertentangan atau mempertemukan antara satu dengan
yang lainnya.
Dalam ulumul hadist pembahasan tentang Iktilaf al hadist disebut juga
ilmu Mukhtalifulhadist dan ada sebagian ulama menyebutnya dengan
ilmu musykilul hadist, bahkan sebagian ulama yang lain menyebut dengan

6
Saifullah Ansyari, Khazanah pemikiran Al-Syafi’I dan Ibn Taimiyah dalam memahami hadist
mukhtalif, Tesis program Magister (Banda Aceh, IAIN Ar Raniry,

15
ilmu ta’wilul hadist. Disamping itu ada yang menamakan denag ilmu
talfiqul hadist, namu memiliki pengertian yang sama.
Ilmu Mukhtalif al-Hadist adalah termasuk salah satu bagian dari ilmu
hadist yang sangat diperlukan oleh muhaddisin, fuqaha dan lain
sebagainya.Bagi seorang yang ingin mengistimbatkan suatu hukum dari
dalil-dalilnya, hendaklah mempunyai pengetahuan yang cukup,
pemahaman yang kuat tentang hadist Rasulullah SAW sebagi salah satu
sumber hukum.Ia tidak cukup menghafal hadist, sand-sanadnya dan
lafadh-lafadhnya tanpa mengetahui ketentuan-ketentuannyadan tanpa
memahami berbagai ilmu hadist itu dengan baik.
Ilmu Mukhtalif al hadist ini awalnya hanya ada dalam bentuk
praktisnya saja, belum merupakan suatu teori yang dapat diwarisi. Barulah
kemudian al Syafi’I membuka lembaran baru sejarah perkembangannya
yang sebelumnya tidak tertulis menjadi sebuah warisan tertulis dan dapat
dipelajari denag menuangkan hadist-hadist mukhtalifnya dalam sebuah
karya ikhtilaf al hadist, bahkan kitabnya yang secara khusus membahas
hadist-hadist mukhtalif dan juga terdapat dalam kitabnya al Risalah. Dan
pada akhirnya langkah Al Syafi’I tersebut diikuti oleh Ibnu Qutaybah,
yang juga menulis kitab khusus tentang hadist-hadist mukhtalif dan
penyelesaiannya dengan judul Ta’wil mukhtalif al hadist. Setelahnya
tampil pula Al-Thahawi dengan kitabnya Musykil al- atsari Ibnu Faurak
denagn kitabnya Musykil al hadist wa bayanuh, dan sejumlah tokoh
lainnya.
1. Pendekatan dan Metode Penyelesaian Ikhtilaf al Hadist Menurut
Para Ulama
Sebagai Ulama pertama yang membicarakan masalah ini adalah al
Iman al-Syafi’i dalam kitabnya dalam bab mukhtalif al-hadist, dia
menawarkan metode al-jam’u sebagai upaya untuk mempertemukan
kedua hadist itu. Perlu digaris bawahi bahwa pertentangan yang terjadi
dalam hadist tersebut adalah pertentangan dalam arti dhahiri, sedangkan
secara substantive , sama sekali tidak bertentangan, bahkan saling
mendukung sesuai dengan kebutuhan situasi dan kondisi. Dapat

16
dikatakan bahwa dalam penyelesaian pertentangan hadist ini, metode
pertama yang ditempuh oleh para ulama fiqh dan hadist adalah jam’u
(al- taufiq, al-talfiq atau al-ta’lif), barulah setelah itu menempuh
langkah lain secara bertahap seperti al-naskh, al-tarjih dan al-
tawaqquf, yang akan dijelaskan dalam pembahasan berikut ini satu
persatu.
a. Ikhtilaf al-Hadist dengan Pendekatan al-Jam’u wal Taufiq
Al- jam’u bermakna mengumpulkan atau manggabungkan. Kata ini
semakna dengan al-taufiq, Al-talfiq,dan al-ta’lif yang semuanya kira-kira
bermakna mengkompromikan. Al-jam’u dalam pengertian yang diberikan oleh
ulama ushul adalah mengalihkan makna dari setiap dalil kepada makna yang lain
sehingga tidak terdapat perlawanan lagi. Berbeda dengan tarjih, dalam taufiq ini
kedua dalil yang berlawanan tersebut masih digunakan semuanya.dengan
demikian, dalam pengertian yang diberiakan lebih mengarah pada usaha mencari
makna yang laindibalik pertentangan tersebut.
Imam Syafi’I juga memakai metode al-Jam’u sebagai prioritas di atas
metode yang lain. Hal ini mungkin karena Syafi’I menganggap bahwa pada
dasarnya tidak adapertentangan dalam hadist.Pertentangan itu hanya lahir karena
keternatasan kemampuan para pegiat hadist dalam khazanah hadist yang
dikuasainya. Langkah yang digunakan Syafi’I dengan metode ini adalah
mengklarifikasikan suatu hadist dalam kategori am dan khasatau mutlak dan
muqayyad. Suatu hadist dilihat dari cakupan makna dan kondisi serta situasi yang
melatarbelakangi sutau hadist. namun yang perlu dicatat adalah penyelesaian
ikhtilaf al-hadist sangat erat kaitanya dengan asbabul wurud hadist. Hal ini adalah
masuk akal , karena mungkin saja suatu hadist dating karena situasi tertentu,
ditujukan kepada orang-orang tertentu yang tidak termasuk orang lain secara
secara keseluruhan, sebab kondisi keimanan kaum musliminketika itu tidak
sama, maka kadangkala terhadap orang yang masih labil imanya nabi member
semacam rukhsah dan kejadian-kejadian seperti ini tentu orang-orang tertentu
saja yang mengetahuinya.
Adapun cara jam’u wa taufiq pada dua dalil yang berlawanan adalah
sebagaimana yang dikatkan mukhtar yahya dan Fatchur Rahman :

17
1. Menakwilakan salah satu nash itu sehingga tidak berlawanan dengan nash
yang lain.
2. Salah satu nash dijadikan takhsisk terhdap nash yang lain
Adapun contoh hadist mukhtalif yang diselesaikan secara jam’u wal
taufiq adalah sebagai berikut :
“nabi ditanyai tentang air yang berada ditanah lapang dan silih
nerganti dimanfaatkan (diminum, dimandi,dikencingi dan lain-lain) oleh
binatang peliharaan dan binatang buas. Maka rasulullah saw menjawab; “bila
iar itu mencapai dua kulah, maka tidak mengandung najis”.
Pengertian yang dapt ditangkap dari hadist ini adalh air sebanyak dua
kulah dianggap suci secara mutlak, baik berubah rasa,bau atau warnanaya
maupun tidak berubah sama sekali. Namun ada hadist lain yang seolah-olah
mengandung makna menentang hadist ini, yakni hadist yang diriwaratkan oleh
Ibnu Mas’ud dalam masalh yang sama, yakni kesusian air yang artinya.
“Allah menciptakan air dalam keadaan suci, tidak ada sesuatupun yang
menjaisinya kecuali telah berubah rasa,warna dan bau.
Kaedah yang dipakai oleh para ulama, dalam menyelesaikan
pertentangan ini adalah dengan jam’u dengan metode takhsish, dimana salah satu
dari hadist ini mengkhususkan keumuman yang terkandung hadist yang
lainnya.Hadist pertama menyatakan bahwaair dianggap suci apabila air
mencapai jumlah tertentu tanpa memandang pada perubahan rasa dan
warnanya.Sedangkan hadist ke dua air dianggap suci dibawah ukuran dua kula
sepanjang tidak ada perubahan pada sifat-sifat kesuciannya. Masing-masing dari
dua hadist berfungsi sebagai pentakhsis bagi yang lain dan pertentangan di
dalamnya terselesaikan. Jadi, sebenarnya kedua hadist ini tidak saling
bertentangan.
b. Ikhtilaf al-hadist dengan pendekatan Tarjih
Tarjih sebagaimana disebutkan oleh Hasbi Ash-Shiddiqie adalah
menampakkan suatu kelebihan salah satu dari dua dalil yang serupa dengan
sesuatu yang tidak berdiri sendiri. maka apabila telah nyata kerajihan salah
satunya, hendaklah kita mengamal yang rajah itu. Tarjih dalam ulama ushul
adalah menjadikan sesuatu lebih kuat atau mempunyai kelebiahan. Sedangkan

18
ulama Hanafiah menyatakan bahwa tarjih adalah menyatakan keistimewaan
salah satu dari dua dalil yang sama, dengan suatu sifat yang menjadikan lebih
utama dilihat dari yang lain. Tarjih merupakan jalan terakhir yang ditempuh
untuk menyelesaikan problema hadist mukhtalif setelah menempuh jalan al-
jam’u dan jalan nasakh.Tarjih merupakan jalan terakhir dilakukan sebelum
tawaquf.
Dalam mentarjihkan hadist ada beberapa aspek antara lain:
1) Mentarjihkan dengan memperhatikan kualitas sanad.Apa yang diperhatikan
dalam tarjih sanad ini adalah mendeteksi ittisalnya hadist, kemudian jumlah
periwayat dan jalur periwayatan hadist.Disamping jumlah periwayat, kualitas
ketinggian sanad termasuk aspek terpenting yang harus diperhatikan, apakah
sanad hadist tersebut tergolong hadist mutawatir, masyur, ahad, atau mursal.
2) Mentarjih dengan memperhatikan sifat-sifat periwayat. Sifat-sifat periwayat
yang utama adalah adl dan dhabt , periwayat yang tidak dhabt mudah sekali
terjebak dalam kesalahan menyampai riwayat, demikian pula dengan
periwayat yang tidak adl, tidak segan-segan dalam melakukan kebohongan.
Oleh karena itu, sasaran utama yang menjadi perhatian dalam persoalan sifat-
sifat periwayat ini adalah masalah keadilan dan kedhabitan periwayat.
3) Mentarjih dengan memperhatikan keadaan matan.Oleh karena suatu matan
hadist mesti terhindar dari syadz dan Illah, maka yang tidak memiliki
syadz dan Illah yang lebih utama digunakan.
4) Mentarjih dengan memperhatikan perkara(persoalan hukum) yang keluar dari
sebuah hadist. Perkara yang keluar dari sebuah hadist harus sejalan dengan
kandungan ayat Al-Qura’an, Hadist dan Qiyas.Jika berlawanan dengan
ketiganya, maka yang dipegang yang tidak berlawanan.

c. Ikhtilaf al hadist dengan Pendekatan Nasikh wal Mansukh


Secara etimologi kata naskh mengandung arti pembatalan (al- ibthal),
penghapusan (al-izalah), dan memidahkan (an-naql) dan memalingkan (al
ta’wil). Sedangkan secara terminology arti dari naskh adalah mengangkat atau
menghapuskan hukum syara’ dengan dalil hukum syara’ yang lain.

19
Maksudnya adalah suatu hukum yang sebelumnya berlaku , kemudian
hukum tersebut menjadi hilang dengan datangnya dalil hukum yang baru.
Hukum yang lama dinamakan mansukh dan dalil yang dating kemudian
dinamakan nasikh.
Pada dasarnya kajian tentang naskh merupakan objek kajian ilmu ushul
fiqh, karena hakikatnya untuk mengetahui tentang naskh secara komprehensif
dapat dilihat dari kitab-kitab ushul fiqh.kendati demikian naskh dalam hadist-
hadist rasulullah juga dibicarakan.yang pada akhirnya melahirkan suatu ilmu
yang dinamakan ilmu naskh al-hadist wa mansukh.
Untuk mengetahui nash dan mansukh terdapat beberapa cara diantaranya
adalah ;
Keterangan tegas dari Rasulullah SAW atau sahabat, seperti hadist :“aku
dulu pernah melarangmu berziarah kubur, maka kini berziarah kuburlah”.
Ijma’ umat bahwa ayat ini adalah nasikh dan itu adalah mansukh
mengetahui mana yang terlebih dahulu dan mana yang datang kemudian
berdasarkan sejarah.
Berikut adalh contoh hadist mukhtalif yang diselesaikan dengan cara
naskh dan mansukh oleh Al- Syafi’I yang artinya :
“Hadist Syaddad Ibn Aws, dai berkata : aku pernah bersama nabi pada
tahun memasuki kota Mekkah, nabi melihat seseorang berbekam yaitu pada
hari ke 18 bulan Ramadhan. Sambil memegang tangan ku beliau
bersabda”Yang berbekam dan yang dibekam batal puasanya”( H.R Al-
Syafi’i
Hadist yang ke dua yang artinya:
“Hadist dari Ibn Abbas, bahwa rasulullah SAW pernah berbekam sedang
dia dalam keadaan ihram dan berpuasa”. (H.R al- Syafi’i)
Hadist yang pertama menyata bahwa berbekam membatalkan puasa, baik
yang berbekam atau yang dibekamkan.Namun ketentuan ketentuan ini berbeda
dengan hadist yang ke dua, yaitu menyatakan bahwa berbekam tidak
membatalkan puasa.Jadi menurut Al-Syafi’I kedua hadist ini tidak mungkin
dikompromikan, sehingga salah satu dari hadist tersebut haruslah dihapuskan
secara hukum atau dinasakh. Menurutnya hadist yang pertama terjadi tahun ke

20
8 hijriah, dimana waktu itu rasulullah belum pernah mengerjakan ihram,
sementara hadist yang ke dua rasulullah mengerjakan ihram sambil berpuasa
yang terjadi pada tahun yang ke 10 H.oleh karena itu hadist yang kedua
menjadi nasikh dan hadist yang pertama menjadi mansukh.

21
BAB III
PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan pembahasan tentang kajian Asbabul Wurud,Naskh


Mansukh Al-Hadits dan Ikhtilaf Al-Hadits maka dapat disimpulakan
bahwa :

1) Asbabul warud al-hadis merupakan konteks historisitas yang melatar


belakangi munculnya suatu hadis. Ia dapat berupa peristiwa atau
pertanyaan yang terjadi pada saat hadis itu di sampaikan nabi SAW.
Dengan lain ungkapan, asbabul wurud adalah faktor-faktor yang
melatar belakangi munculnya suatu hadis.Urgensi mengetahui asbabul
Wurud antara lain : Untuk menolong memahami dan menafsirkan al
Hadis,Untuk mengetahui hikmah-hikmah ketetapan syariat
(hukum),Untuk menentukan adanya takhsish terhadap suatu hadis yang
‘amCara mengetahui asbab dari suatu hadis adalah : Asbab sudah
tercantum dalam rangkaian hadis tersebut,asbab dari suatu hadis
tersebut terdapat dalam hadis yang lain,asbab dari suatu hadis itu adalah
informasi atau ahwal dari para sahabat yang mengetahui munculnya
hadis tersebut.
2) Ilmu Nasikh wa Mansukh hadits adalah ilmu pengetahuan yang
membahas tentang hadits yang datang kemudian sebagai penghapus
terhadap ketentuan hukum yang berlawanan dengan kandungan hadits
yang datang lebih dahulu. Cara mengetahui proses terjadinya naskh
yaitu adanya penjelasan langsung dari syari’ ,adanya penjelasan dari
sahabat Nabi tentang terjadinya nasikh, melalui penelusuran sejarah
keluarnya hadits, dan Petunjuk ijma’ atau konsensus ulama’. Bentuk
naskh yang berkaitan dengan hadits yaitu nasakh hadis dengan hadist,
naskh hadist dengan al-Qur’an,naskh hadist dengan hadits

22
3) Ikhtilaf Al-Hadits dengan demikian dapat dikatakan bahwa Ilmu
Ikhtilaf hadist adalah ilmu yang membahas hadist-hadist yang lahirnya
saling berlawanan, lalu menghilangkan pertentangan atau
mempertemukan antara satu dengan yang lainnya. Pendekatan dan
metode penyelesaian ikhtilaf al Hadist menurut para ulama yaitu Ikhtilaf
al-Hadist dengan Pendekatan al-Jam’u wal Taufiq,Ikhtilaf al-hadist dengan
pendekatan Tarjih,Ikhtilaf al hadist dengan Pendekatan Nasikh wal Mansukh

B. Saran

Untuk memahami suatu hadist diperlukan cara atau kaidah untuk


memahami nya yaitu salah satunya dengan Asbabul wurud, dengan naskh
mansukh al-hadits, dan ikhtilaf al-hadits . Sebagai salah satu disiplin ilmu
dalam studi hadis, ketiga hal tersebut merupakan salah satu yang
mempunyai peranan yang sangat signifikan dalam rangka memahami
maksud suatu hadis secara lebih baik. Dengan Asbabul wurud, naskh al-
hadits dan ikhtilaf kita dapat mengasah pemikiran kita,agar mampu
berfikir secara ilmiah.

23
DAFTAR PUSTAKA

Manna’ al-Qattan, Pengantar Studi Ilmu Hadits cet. 1 (Jakarta: Pustaka al-Kausar, 2005)
hlm. 127Ahmad, Muhammad .2000. Ulumul Hadis. Bandung : Pustaka Setia.

Ash-shiddieqy, M. Hasbi. 2013. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits. Semarang:


Pustaka Rizki Putra.

https://www.academia.edu/30554655/AL_IKHTILAFUL_HADIS

Mudasir.2010.Ilmu Hadis.Bandung: CV.Pustaka Setia

Munawwar, Said Agil Husin dan Abdul Mustaqim. 2001.Asbabul wurud Studi
kritis Hadis Nabi Pendekatan Sosio-Historis-Kontekstual. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.

Rahman, Fatchur. 1974.Ikhtishar Mushthalahul Hadis. Bandung : Al Ma’arif.

23

Anda mungkin juga menyukai