LP Hepatoma
LP Hepatoma
LP Hepatoma
B. Etiologi
1. Virus Hepatitis B
Hubungan antara infeksi kronik HBV dengan timbulnya hepatoma terbukti
kuat, baik secara epidemiologis, klinis maupun eksperimental. Sebagian besar
wilayah yang hiperendemik HBV menunjukkan angka kekerapan hepatoma
yang tinggi. Umur saat terjadinya infeksi merupakan faktor resiko penting
karena infeksi HBV pada usia dini berakibat akan terjadinya kronisitas.
Karsinogenitas HBV terhadap hati mungkin terjadi melalui proses inflamasi
kronik, peningkatan proliferasi hepatosit, integrasi HBV DNA ke dalam DNA sel
penjamu, dan aktifitas protein spesifik-HBV berinteraksi dengan gen hati. Pada
1
dasarnya, perubahan hepatosit dari kondisi inaktif menjadi sel yang aktif
bereplikasi menentukan tingkat karsinogenesis hati. Siklus sel dapat diaktifkan
secara tidak langsung akibat dipicu oleh ekspresi berlebihan suatu atau
beberapa gen yang berubah akibat HBV. Infeksi HBV dengan pajanan agen
onkogenik seperti aflatoksin dapat menyebabkan terjadinya hepatoma tanpa
melalui sirosis hati.
2. Virus Hepatitis C
Di wilayah dengan tingkat infeksi HBV rendah, HCV merupakan faktor
resiko penting dari hepatoma. Infeksi HCV telah menjadi penyebab paling
umum karsinoma hepatoseluler di Jepang dan Eropa, dan juga bertanggung
jawab atas meningkatnya insiden karsinoma hepatoseluler di Amerika Serikat,
30% dari kasus karsinoma hepatoseluler dianggap terkait dengan infeksi HCV.
Sekitar 5-30% orang dengan infeksi HCV akan berkembang
menjadipenyakit hati kronis. Dalam kelompok ini, sekitar 30% berkembang
menjadi sirosis, dan sekitar 1-2% per tahun berkembang menjadi karsinoma
hepatoseluler. Resiko karsinoma hepatoseluler pada pasien dengan HCV
sekitar 5% dan muncul 30 tahun setelah infeksi. Penggunaan alkohol oleh
pasien dengan HCV kronis lebih beresiko terkena karsinoma hepatoseluler
dibandingkan dengan infeksi HCV saja. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa
penggunaan antivirus pada infeksi HCV kronis dapat mengurangi risiko
karsinoma hepatoseluler secara signifikan.
3. Sirosis Hati
Sirosis hati merupakan faktor resiko utama hepatoma di dunia dan
melatarbelakangi lebih dari 80% kasus hepatoma. Penyebab utama sirosis di
Amerika Serikat dikaitkan dengan alkohol, infeksi hepatitis C, dan infeksi
hepatitis B. Setiap tahun, 3-5% dari pasien dengan sirosis hati akan menderita
hepatoma. Hepatoma merupakan penyebab utama kematian pada sirosis hati.
Pada otopsi pada pasien dengan sirosis hati , 20-80% di antaranya telah
menderita hepatoma.
4. Aflatoksin
Aflatoksin B1 (AFB1) meruapakan mikotoksin yang diproduksi oleh
jamur Aspergillus. Dari percobaan pada hewan diketahui bahwa AFB1 bersifat
karsinogen. Aflatoksin B1 ditemukan di seluruh dunia dan terutama banyak
2
berhubungan dengan makanan berjamur.1 Pertumbuhan jamur yang
menghasilkan aflatoksin berkembang subur pada suhu 13°C, terutama pada
makanan yang menghasilkan protein. Di Indonesia terlihat berbagai makanan
yang tercemar dengan aflatoksin seperti kacang-kacangan, umbi-umbian
(kentang rusak, umbi rambat rusak,singkong, dan lain-lain), jamu, bihun, dan
beras berjamur.
Salah satu mekanisme hepatokarsinogenesisnya ialah kemampuan AFB1
menginduksi mutasi pada gen supresor tumor p53. Berbagai penelitian dengan
menggunakan biomarker menunjukkan ada korelasi kuat antara pajanan
aflatoksin dalam diet dengan morbiditas dan mortalitas hepatoma.
5. Obesitas
Suatu penelitian pada lebih dari 900.000 individu di Amerika Serikat
diketahui bahwa terjadinya peningkatan angka mortalitas sebesar 5x akibat
kanker pada kelompok individu dengan berat badan tertinggi (IMT 35-40
kg/m2) dibandingkan dengan kelompok individu yang IMT-nya normal.
Obesitas merupakan faktor resiko utama untuk non-alcoholic fatty liver
disesease (NAFLD), khususnya non-alcoholic steatohepatitis (NASH) yang
dapat berkembang menjadi sirosis hati dan kemudian berlanjut menjadi
hepatoma.
6. Diabetes Mellitus
Tidak lama ditengarai bahwa DM menjadi faktor resiko baik untuk
penyakit hati kronis maupun untuk hepatoma melalui terjadinya perlemakan
hati dan steatohepatitis non-alkoholik (NASH). Di samping itu, DM dihubungkan
dengan peningkatan kadar insulin dan insulin-like growth factors (IGFs) yang
merupakan faktor promotif potensial untuk kanker. Indikasi kuatnya aasosiasi
antara DM dan hepatoma terlihat dari banyak penelitian. Penelitian oleh El
Serag dkk. yang melibatkan173.643 pasien DM dan 650.620 pasien bukan DM
menunjukkan bahwa insidensi hepatoma pada kelompok DM lebih dari dua kali
lipat dibandingkan dengan insidensi hepatoma kelompok bukan DM.
7. Alkohol
Meskipun alkohol tidak memiliki kemampuan mutagenik, peminum berat
alkohol (>50-70 g/hari atau > 6-7 botol per hari) selama lebih dari 10 tahun
meningkatkan risiko karsinoma hepatoseluler 5 kali lipat. Hanya sedikit bukti
3
adanya efek karsinogenik langsung dari alkohol. Alkoholisme juga
meningkatkan resiko terjadinya sirosis hati dan hepatoma pada pengidap
infeksi HBV atau HVC. Sebaliknya, pada sirosis alkoholik terjadinya HCC juga
meningkat bermakna pada pasien dengan HBsAg positif atau anti-HCV positif.
Ini menunjukkan adanya peran sinergistik alkohol terhadap infeksi HBV
maupun infeksi HCV.
C. Patofisiologi
Inflamasi, nekrosis, fibrosis, dan regenerasi dari sel hati yang terus berlanjut
merupakan proses khas dari cirrhosis hepatic yang juga merupakan proses dari
pembentukan hepatoma walaupun pada pasien – pasien dengan hepatoma,
kelainan cirrhosis tidak selalu ada. Hal ini mungkin berhubungan dengan proses
replikasi DNA virus dari virus hepatitis yang juga memproduksi HBV X protein
yang tidak dapat bergabung dengan DNA sel hati, yang merupakan host dari
infeksi Virus hepatitis, dikarenakan protein tersebut merupakan suatu RNA. RNA
ini akan berkembang dan mereplikasi diri di sitoplasma dari sel hati dan
menyebabkan suatu perkembangan dari keganasan yang nantinya akan
mengahambat apoptosis dan meningkatkan proliferasi sel hati. Para ahli genetika
mencari gen – gen yang berubah dalam perkembangan sel hepatoma ini dan
didapatkan adanya mutasi dari gen p53, PIKCA, dan β-Catenin.
Sementara pada proses cirrhosis terjadi pembentukan nodul – nodul di
hepar, baik nodul regeneratif maupun nodul diplastik. Penelitian prospektif
menunjukan bahwa tidak ada progresi yang khusus dari nodul – nodul diatas yang
menuju kearah hepatoma tetapi, pada nodul displastik didapatkan bahwa nodul
yang terbentuk dari sel – sel yang kecil meningkatkan proses pembentukan
hepatoma. Sel sel kecil ini disebut sebagai stem cel dari hati. Sel – sel ini
meregenrasi sel – sel hati yang rusak tetapi sel – sel ini juga berkembang sendiri
menjadi nodul – nodul yang ganas sebagai respons dari adanya penyakit yang
kronik yang disebabkan oleh infeksi virus.nodul – nodul inilah yang pada
perkembangan lebih lanjut akan menjadi hepatoma.
4
Stadium Hepatoma
Stadium I : Satu fokal tumor berdiameter < 3 cm
Stadium II : Satu fokal tumor berdiameter > 3 cm. Tumor terbatas pada
segment I atau multi-fokal tumor terbatas padlobus kanan atau lobus kiri hati.
Stadium III : Tumorpada segment I meluas ke lobus kiri (segment IV) atau ke
lobus kanan segment V dan VIII atau tumordengan invasi peripheral ke sistem
pembuluh darah (vascular) atau pembuluh empedu (biliary duct) tetapi hanya
terbatas pada lobus kanan atau lobus kiri hati.
Stadium IV : Multi-fokal atau diffuse tumor yang mengenai lobus kanan dan
lobus kiri hati. atau tumor dengan invasi ke dalam pembuluh darah hati (intra
hepaticvaskuler ) ataupun pembuluh empedu (biliary duct) atau tumor dengan
invasi ke pembuluh darah di luar hati (extra hepatic vessel) seperti pembuluh
darah vena limpa (vena lienalis) atau vena cava inferior-atau adanya
metastase keluar dari hati (extra hepatic metastase).
5
Pathway
VirusVirus
hepatitis
hepatitisBB Virus Virus
hepatitis C Aflatoksin Alkohol, steroid
hepatitis C anabolic,
androgen yang
berlebihan, Bahan
Integrasi DNA Infeksi sel hati Mutasi gen kontrasepsi oral,
virus ke DNA sel Penimbunan zat
hati besi yang
berlebihan dalam
Peningkatan Inflamasi hati
poliferasi hepatosit Inflamasi kronik
kronik
Sirosis hepatik
Hepatoma
Anoreksia, Asites
mual
Anoreksia, mual
Gangguan
ventilasi
Pembedahan
Diskontinuitas
Insisi bedah jaringan
7
e) Letih, mengurus: dapat disebabkan metabolit dari tumor ganas dan
berkurangnya masukan makanan dll, yang parah dapat sampai kakeksia.
f) Demam: timbul karena nekrosis tumor, disertai infeksi dan metabolit tumor,
jika tanpa bukti infeksi disebut demam kanker, umumnya tidak disertai
menggigil.
g) Ikterus: tampil sebagai kuningnya scler adan kulit, umumnya karena
gangguan fungsi hati, biasanya sudah stadium lanjut,juga dapat karena
sumbat kanker di saluran empedu atau tumor mendesak saluran empedu
hingga timbul ikterusobstruktif.
h) Asites: juga merupakan tanda stadium lanjut. Secara klinis ditemukan
perut membuncit dan pekak bergeser, seringdisertai udem kedua tungkai.
i) Lainnya: selain itu terdapat kecenderungan perdarahan, diare, nyeri bahu
belakang
kanan, udem kedua tungkai bawah, kulitgatal dan lainnya, juga
manifestasi sirosis
hati seperti splenomegali, palmar eritema, lingua hepatik, spider nevi,
venodilatasi
dinding abdomen dll. Pada stadium akhir hepatoma sering timbul
metastasis paru, tulang dan banyak organ lain.
E. Pemeriksaan Penunjang
1. Biopsi
Biopsi aspirasi dengan jarum halus (fine needle aspiration biopsy)
terutama ditujukan untuk menilai apakah suatu lesi yang ditemukan pada
pemeriksaan radiologi imaging dan laboratorium AFP itu benar pasti suatu
hepatoma.
Cara melakukan biopsi dengan dituntun oleh USG ataupun CT scan
mudah, aman, dan dapat ditolerir oleh pasien dan tumor yang akan dibiopsi
dapat terlihat jelas pada layar televisi berikut dengan jarum biopsi yang
berjalan persis menuju tumor, sehingga jelaslah hasil yang diperoleh
mempunyai nilai diagnostik dan akurasi yang tinggi karena benar jaringan
tumor ini yang diambil oleh jarum biopsi itu dan bukanlah jaringan sehat di
sekitar tumor.
2. Radiologi
8
Untuk mendeteksi kanker hati stadium dini dan berperan sangat
menentukan dalam pengobatannya. Kanker hepato selular ini bisa dijumpai
di dalam hati berupa benjolan berbentuk kebulatan (nodule) satu buah, dua
buah atau lebih atau bisa sangat banyak dan diffuse (merata) pada seluruh
hati atau berkelompok di dalam hati kanan atau kiri membentuk benjolan
besar yang bisa berkapsul.
3. Ultrasonografi
Dengan USG hitam putih (grey scale) yang sederhana (conventional)
hati yang normal tampak warna ke-abuan dan texture merata (homogen).
USG conventional hanya dapat memperlihatkan benjolan kanker
hatidiameter 2 cm – 3 cm saja. Tapi bila USG conventional ini dilengkapi
dengan perangkat lunak harmonik sistem bisa mendeteksi benjolan kanker
diameter 1 cm – 2 cm13, namun nilai akurasi ketepatan diagnosanya hanya
60%.
4. CT scan
CT scan sebagai pelengkap yang dapat menilai seluruh segmen hati
dalam satu potongan gambar yang dengan USG gambar hati itu hanya bisa
dibuat sebagian-sebagian saja. CTscann dapat membuat gambar kanker
dalam tiga dimensi dan empat dimensi dengan sangat jelas dan dapat pula
memperlihatkan hubungan kanker ini dengan jaringan tubuh sekitarnya.
5. Angiografi
Angiografi ini dapat dilihat berapa luas kanker yang sebenarnya.
Kanker yang kita lihat dengan USG yang diperkirakan kecil sesuai dengan
ukuran pada USG bisa saja ukuran sebenarnya dua atau tiga kali lebih
besar. Angigrafi bisa memperlihatkan ukuran kanker yang sebenarnya.
6. MRI (Magnetic Resonance Imaging)
MRI yang dilengkapi dengan perangkat lunak Magnetic Resonance
Angiography (MRA) sudah pula mampu menampilkan dan membuat peta
pembuluh darah kanker hati ini.
7. PET (Positron Emission Tomography)
Positron Emission Tomography (PET) yang merupakan alat
pendiagnosis kanker menggunakan glukosa radioaktif yang dikenal sebagai
9
flourine18 atau Fluorodeoxyglucose (FGD) yang mampu mendiagnosa
kanker dengan cepat dan dalam stadium dini. Caranya, pasien disuntik
dengan glukosa radioaktif untuk mendiagnosis sel-sel kanker di dalam tubuh.
Cairan glukosa ini akan bermetabolisme di dalam tubuh dan memunculkan
respons terhadap sel-sel yang terkena kanker. PET dapat menetapkan
tingkat atau stadium kanker hati sehingga tindakan lanjut penanganan
kanker ini serta pengobatannya menjadi lebih mudah. Di samping itu juga
dapat melihat metastase (penyebaran).
F. Penatalaksanaan Medis
Pemilihan terapi kanker hati ini sangat tergantung pada hasil pemeriksaan
radiologi dan biopsi. Sebelum ditentukan pilihan terapi hendaklah dipastikan
besarnya ukuran kanker,lokasi kanker di bagian hati yang mana, apakah
lesinya tunggal (soliter) atau banyak (multiple), atau merupakan satu kanker
yang sangat besar berkapsul, atau kanker sudah merata pada seluruh hati,
serta ada tidaknya metastasis (penyebaran) ke tempat lain di dalam tubuh
penderita ataukah sudah ada tumor thrombus di dalam vena porta dan apakah
sudah ada sirrhosis hati. Tahap penatalaksanaan dibagi menjadi dua yaitu
tindakan non-bedah dan tindakan bedah.
1. Tindakan Bedah Hati Digabung dengan Tindakan Radiologi
Terapi yang paling ideal untuk kanker hati stadium dini adalah tindakan
bedah yaitu reseksi (pemotongan) bahagian hati yang terkena kanker dan
juga reseksi daerah sekitarnya. Pada prinsipnya dokter ahli bedah akan
membuang seluruh kanker dan tidak akan menyisakan lagi jaringan kanker
pada penderita, karena bila tersisa tentu kankernya akan tumbuh lagi jadi
besar, untuk itu sebelum menyayat kanker dokter ini harus tahu pasti batas
antara kanker dan jaringan yang sehat.
Radiologilah satu-satunya cara untuk menentukan perkiraan pasti batas
itu yaitu dengan pemeriksaan CT angiography yang dapat memperjelas
batas kanker dan jaringan sehat sehingga ahli bedah tahu menentukan di
mana harus dibuat sayatan. Maka harus dilakukan CT angiography terlebih
dahulu sebelum dioperasi.
10
Dilakukan CT angiography sekaligus membuat peta pembuluh darah
kanker sehingga jelas terlihat pembuluh darah mana yang bertanggung
jawab memberikan makanan (feeding artery) yang diperlukan kanker untuk
dapat tumbuh subur. Sesudah itu barulah dilakukan tindakan radiologi Trans
Arterial Embolisasi (TAE) yaitu suatu tindakan memasukkan suatu zat yang
dapat menyumbat pembuluh darah (feeding artery) itu sehingga menyetop
suplai makanan ke sel-sel kanker dan dengan demikian kemampua hidup
(viability) dari sel-sel kanker akan sangat menurun sampai menghilang.
Sebelum dilakukan TAE dilakukan dulu tindakan Trans Arterial
Chemotherapy (TAC) dengan tujuan sebelum ditutup feeding artery lebih
dahulu kanker-nya disirami racun (chemotherapy) sehingga sel-sel kanker
yang sudah kena racun dan ditutup lagi suplai makanannya maka sel-sel
kanker benar-benar akan mati dan tak dapat berkembang lagi dan bila sel-
sel ini nanti terlepas pun saat operasi tak perlu dikhawatirkan, karena sudah
tak mampu lagi bertumbuh. Tindakan TAE digabung dengan tindakan TAC
yang dilakukan olehdokter spesialis radiologi disebut tindakan Trans Arterial
Chemoembolisation (TACE). Selain itu TAE ini juga untuk tujuan supportif
yaitu mengurangi perdarahan pada saat operasi dan juga untuk mengecilkan
ukuran kanker dengan demikian memudahkan dokter ahli bedah.
Setelah kanker disayat, seluruh jaringan kanker itu harus diperiksakan
pada dokter ahli patologi yaitu satu-satunya dokter yang berkompentensi dan
yang dapat menentukan dan memberikan kata pasti apakah benar pinggir
sayatan sudah bebas kanker. Bila benar pinggir sayatan bebas kanker
artinya sudahlah pasti tidak ada lagi jaringan kanker yang masih tertinggal di
dalam hati penderita. Kemudian diberikan chemotherapy (kemoterapi) yang
bertujuan meracuni sel-sel kanker agar tak mampu lagi tumbuh berkembang
biak.
Pemberian Kemoterapi dilakukan oleh dokter spesialis penyakit dalam
bahagian onkologi (medical oncologist) ini secara intra venous (disuntikkan
melalui pmbuluh darah vena) yaitu epirubucin/dexorubicin 80 mg digabung
dengan mitomycine C 10 mg. Dengan cara pengobatan seperti ini usia
harapan hidup penderita per lima tahun 90% dan per 10 tahun 80%.
11
2. TindakanNon-bedah Hati
Tindakan non-bedah merupakan pilihan untuk pasien yang datang pada
stadium lanjut. Termasuk dalam tindakan non-bedah ini adalah:
a) Embolisasi Arteri Hepatika (Trans Arterial Embolisasi = TAE)
Pada prinsipnya sel yang hidup membutuhkan makanan dan oksigen
yang datangnyabersama aliran darah yang menyuplai sel tersebut. Pada
kanker timbul banyak sel-sel baru sehingga diperlukan banyak makanan
dan oksigen, dengan demikian terjadi banyak pembuluh darah baru (neo-
vascularisasi) yang merupakan cabang-cabang dari pembuluh darah yang
sudah ada disebut pembuluh darah pemberi makanan (feeding artery)
Tindakan TAE ini menyumbat feeding artery.
Caranya dimasukkan kateter melalui pembuluh darah di paha (arteri
femoralis) yang seterusnya masuk ke pembuluh nadi besar di perut (aorta
abdominalis) dan seterusnya dimasukkan ke pembuluh darah hati (artery
hepatica) dan seterusnya masuk ke dalam feeding artery. Lalu feeding
artery ini disumbat (di-embolisasi) dengan suatu bahan seperti gel foam
sehingga aliran darah ke kanker dihentikan dan dengan demikian suplai
makanan dan oksigen ke sel-sel kanker akan terhenti dan sel-sel kanker
ini akan mati. Apalagi sebelum dilakukan embolisasi dilakukan tindakan
trans arterial chemotherapy yaitu memberikan obat kemoterapi melalui
feeding artery itu maka sel-sel kanker jadi diracuni dengan obat yang
mematikan.
Bila kedua cara ini digabung maka sel-sel kanker benar-benar
terjamin mati dan tak berkembang lagi.Dengan dasar inilah embolisasi dan
injeksi kemoterapi intra-arterial dikembangkan dan nampaknya memberi
harapan yang lebih cerah pada penderita yang terancam maut ini. Angka
harapan hidup penderita dengan cara ini per lima tahunnya bisa mencapai
sampai 70% dan per sepuluh tahunnya bisa mencapai 50%.
12
ke sel-sel hati normal akan terhenti dan sel-sel tersebut akan mati.
Dapatlah dimengerti kenapa pasien cepat meninggal bila sudah ada
penyumbatan vena porta ini. Infus sitostatika intra-arterial ini dikerjakan
bila vena porta sampai ke cabang besar tertutup oleh sel-sel tumor di
dalamnya dan pada pasien tidak dapat dilakukan tindakan transplantasi
hati oleh karena ketiadaan donor, atau karena pasien menolak atau
karena ketidakmampuan pasien. Sitostatika yang dipakai adalah
mitomycin C 10 – 20 Mg kombinasi dengan adriblastina 10-20 Mg
dicampur dengan NaCl (saline) 100 – 200 cc. Atau dapat juga cisplatin
dan 5FU (5 Fluoro Uracil).
Metoda ballon occluded intra arterial infusion adalah modifikasi infus
sitostatika intra-arterial, hanya kateter yang dipakai adalah double lumen
balloncatheter yang di-insert (dimasukkan) ke dalam arteri hepatika.
Setelah ballon dikembangkan terjadi sumbatan aliran darah, sitostatika
diinjeksikan dalam keadaan ballon mengembang selama 10 – 30 menit,
tujuannya adalah memperlama kontak sitostatika dengan tumor. Dengan
cara ini maka harapan hidup pasien per lima tahunnya menjadi 40% dan
per sepuluh tahunnya 30% dibandingkan dengan tanpa pengobatan
adalah20% dan 10%.
c) Injeksi Etanol Perkutan (Percutaneus Etanol Injeksi = PEI)
Pada kasus-kasus yang menolak untuk dibedah dan juga menolak
semua tindakan atau pasien tidak mampu membiayai pembedahan dan
tak mampu membiayai tindakan lainnya maka tindakan PEI-lah yang
menjadi pilihan satu-satunya.
Tindakan injeksi etanol perkutan ini mudah dikerjakan, aman, efek
samping ringan, biaya murah, dan hasilnya pun cukup memberikan
harapan. PEI hanya dikerjakan pada pasien stadium dini saja dan tidak
pada stadium lanjut. Sebagian besar peneliti melakukan pengobatan
dengan cara ini untuk kanker bergaris tengah sampai 5 cm, walaupun
pengobatan paling optimal dikerjakan pada garis tengah kurang dari 3 cm.
Pemeriksaan histopatologi setelah tindakan membuktikan bahwa tumor
mengalami nekrosis yang lengkap. Sebagian besar peneliti menyuntikkan
13
etanol perkutan pada kasus kanker ini dengan jumlah lesi tidak lebih dari3
buah nodule, meskipun dilaporkan bahwa lesi tunggal merupakan kasus
yang paling optimal dalam pengobatan. Walaupun kelihatannya cara ini
mungkin dapat menolong tetapi tidak banyak penelitian yang memadai
dilakukan sehingga hanya dikatakan membawa tindakan ini memberi hasil
yang cukup baik.
d) Terapi Non-bedah Lanilla
Terapi non-bedah lainnya saat ini sudah dikembangkan dan hanya
dilakukan bila terapi bedah reseksi dan Trans Arterial Embolisasi (TAE)
ataupun Trans Arterial Chemoembolisation ataupun Trans Arterial
Chemotherapy tak mungkin dilakukan lagi. Di antaranya yaitu terapi Radio
Frequency Ablation Therapy (RFA),Proton Beam Therapy, Three
Dimentional Conformal Radiotherapy (3DCRT), Cryosurgery yang
kesemuanya ini bersifat palliatif (membantu) bukan kuratif
(menyembuhkan) keseluruhannya.
e) Tindakan Transplantasi Hati
Bila kanker hati ini ditemukan pada pasien yang sudah ada sirrhosis
hati dan ditemukan kerusakan hati yang berkelanjutan atau sudah hampir
seluruh hati terkena kanker atau sudah ada sel-sel kanker yang masuk ke
vena porta (thrombus vena porta) maka tidak ada jalan terapi yang lebih
baik lagi dari transplantasi hati. Transplantasi hati adalah tindakan
pemasangan organ hati dari orang lain ke dalam tubuh seseorang.
Langkah ini ditempuh bila langkah lain seperti operasi dan tindakan
radiologi seperti yang disebut di atas tidak mampu lagi menolong pasien.
Akan tetapi,langkah menuju transplantasi hati tidak mudah, pasalnya
ketersediaan hati untuk di-transplantasikan sangat sulit diperoleh seiring
kesepakatan global yang melarang jual beli organ tubuh. Selain itu, biaya
transplantasi tergolong sangat mahal. Dan pula sebelum proses
transplantasi harus dilakukan serangkaian pemeriksaan seperti tes
jaringan tubuh dan darah yang tujuannya memastikan adanya
kesamaan/kecocokan tipe jaringan tubuh pendonor dan pasien agar tidak
terjadi penolakan terhadap hati baru. Penolakan bisa berupa
14
penggerogotan hati oleh zat-zat dalam darah yang akan menimbulkan
kerusakan permanen dan mempercepat kematian penderita. Seiring
keberhasilan tindakan transplantasi hati, usia pasien setidaknya akan lebih
panjang lima tahun.
G. Komplikasi
Komplikasi yang sering terjadi pada sirosis adalah asites, perdarahan
saluran cerna bagian atas, ensefalopati hepatika, dan sindrom hepatorenal.
Sindrom hepatorenal adalah suatu keadaan pada pasien dengan hepatitis
kronik, kegagalan fungsi hati, hipertensi portal, yang ditandai dengan gangguan
fungsi ginjal dan sirkulasi darah Sindrom ini mempunyai risiko
kematianyangtinggi. Terjadinya gangguan ginjal pada pasien dengan sirosis hati
ini baru dikenal pada akhir abad 19 dan pertamakali dideskripsikan oleh Flint
dan Frerichs. Penatalaksanaan sindrom hepatorenal masih belum memuaskan;
masih banyak kegagalan sehingga menimbulkan kematian. Prognosis pasien
dengan penyakit ini buruk.
B. Diagnosa Keperawatan
1. Pre operasi
a) Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan adanya asites dan
penekanan diafragma.
b) Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan
anoreksia, mual.
c) Nyeri berhubungan dengan tegangnya dinding perut. Akibat asites
2. Post operasi
a) Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan luka post operasi.
b) Resiko infeksi berhubungan dengan luka post operasi.
17
- Tidak mengeluh sesak napas,
- RR 16 – 24 X/menit.
- Hasil Lab BGA Normal
- Tidak ada pernafasan cuping hidung
- Tidak ada penggunaan otot-otot bantu pernafasan
Intervensi Rasional
1. Pertahankan Posisi semi fowler 1. Posisi ini memungkinkan tidak terjadinya
penekanan isi perut terhadap diafragma
sehingga meningkatkan ruangan untuk
ekspansi paru yang maksimal dan
mengurangi peningkatan volume darah
paru sehingga memperluas ruangan yang
dapat diisi oleh udara
2. Pemantau lebih dini pada perubahan
2. Observasi gejala kardinal dan
sehingga dapat diambil tindakan
monitor tanda-tanda
penanganan segera.
ketidakefektifan pola napas
3. Pengertian klien akan mengundang
3. Berikan penjelasan tentang partispasi klien dalam mengatasi
penyebab sesak dan motivasi utuk permasalahan yang terjadi
4. Untuk mengurangi asites dan cairan dalam
membatasi aktivitas
4. Kolaborasi dengan tim medis cavum peritoneum sehingga pola nafas
(dokter) dalam pemberian diuretik, kembali normal (16-24x/menit)
batasi asupan cairan, dan aspirasi
asites.
18
pemberian vitamin. proses metabolisme, mempertahankan
fungsi berbagai jaringan dan membantu
pembentukan sel baru.
2. Pengertian klien tentang nutrisi mendorong
2. Jelaskan pada klien tentang
klien untuk mengkonsumsi makanan
pentingnya nutrisi bagi tubuh dan
sesuai diit yang ditentukan dan umpan
diit yang di tentukan dan tanyakan
balik klien tentang penjelasan merupakan
kembali apa yang telah di jelaskan.
tolak ukur penahanan klien tentang
3. Bantu klien dan keluarga
nutrisic.
mengidentifikasi dan memilih 3. Dengan mengidentifikasi berbagai jenis
makanan yang mengandung kalori makanan yang telah di tentukan
dan protein tinggi Diharapkan klien kooperatif
4. Sajikan makanan dalam keadaan
4. Dengan penyajian yang menarik
menarik dan hangat.
5. Anjurkan pada klien untuk menjaga diharapkan dapat meningkatkan selera
kebersihan mulut. makan
6. Monitor kenaikan berat badan 5. Dengan kebersihan mulut menghindari
rasa mual sehingga diharapkan menambah
rasa
6. Dengan monitor berat badan merupakan
sarana untuk mengetahui perkembangan
asupan nutrisi klien
Intervensi Rasional
1. Lakukan kolaborasi dengan dokter 1. Analgesik bekerja mengurangi reseptor
dalam pemberian analgesik nyeri dalam mencapai sistim saraf sentral
(perhatikan fungsi faal hepar)
19
2. Atur posisi klien yang enak sesuai 2. Dengan posisi miring ke sisi yang sehat
dengan keadaan disesuaikan dengan gaya gravitasi,maka
dengan miring kesisi yang sehat maka
terjadi pengurangan penekanan sisi yang
sakit
3. Keadaan emosional mempunyai dampak
3. Awasi respon emosional klien
pada kemampuan klien untuk
terhadap proses nyeri
menangani nyeri
4. Ajarkan teknik pengurangan nyeri 4. Teknik distraksi merupakan teknik
dengan teknik distraksi pengalihan perhatian sehingga
mengurangi emosional dan kognitif
5. Observasi tanda-tanda vital
5. Deteksi dini adanya kelainan
Post operasi
Dx 1 : Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan luka post
operasi
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan manejemen nyeri selama 3
x 24 jam diharapkan nyeri klien berkurang
KH :
- Klien terlihat tenang
- Skala nyeri 0-3
- TD 120/80 mmHg
- Nadi 60-100 x/mnt
Intervensi Evaluasi
1. Observasi cemas, mudah 1. Petunjuk non verbal ini dapat
terangsang, menangis, gelisah, menindikasikan adanya/ derajat nyeri
gangguan tidur yang dialami
2. Kecepatan jantung biasanya meningkat
karena nyeri. TD mungkin meningkat
2. Pantau tanda-tanda vita
karna ketidaknyamanan insisi tetapi dapat
menurun atau tkidak stabil.
l
3. Dapat meningkatkan relaksasi atau
3. Berikan tindakan nyaman, bantu
perhatian tak langsung dan menurunkan
aktivitas perawatan diri dan dorong
frekuensi/ kebutuhan dosis analgesic.
aktvitas senggang sesuai indikasi.
4. Adanya nyeri menyebabkan tegangan otot
20
4. Beritahu pasien bahwa wajar saja, yang mengganggu sirkulasi,
meskipun lebih baik, untuk memperlambat penyembuhan, dan
meminta analgesic segera setelah memperberat nyeri
ketidaknyamanan menjadi
5. Biasanya diberikan untuk control nyeri
dilaporkan
adekuat dan menurunkan tegangan otot,
5. Kolaborasikan pemberian obat
yang memperbaiki kenyamanan pasien
sesuai indikasi seperti profiksene
dan meningkatkan penyembuhan
dan asetaminofen
21
DAFTAR PUSTAKA
Misnadiarly. 2007. Penyakit Hati (Liver) Edisi 1. Jakarta : Pustaka Obor Populer.
22
Price S. A., Wilson L.A., 2006. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit. Jakarta : EGC.
Sjamsuhidayat, R. & Jong, W. D. 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 3. Jakarta:
EGC.
Smeltzer, S. C., & Bare, B. G. 2006. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah
Brunner & Suddarth (8 ed. Vol. 3). Jakarta: EGC.
Sudoyo A, et al. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : FKUI.
Sudoyo, Aru W.2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III. Edisi IV.Jakarta:
FKUI. 1495-1499
23