Bahasa Madura
Bahasa Madura
Bahasa Madura
PERANG BHARATAYUDHA
KELAS X MIPA 4
SMAN 3 PAMEKASAN
TAHUN AJARAN
2019 - 2020
GHALIMPO’
INDAH WAHYUNI ( 18 )
UMMI KULSUM ( 31 )
VARADILA AVINA AFNANI ( 32 )
BERLIAN DWI RAHAYU ( 08 )
FIRDA FARASYI ( )
HEKLIA HANDAYANI ( 14 )
M. DWI PRASETYA ( 19 )
FALDY IBROZIN ( )
AHMAD RENALDI ( 03 )
Sejarah asal usul Perang Baratayudha (Pandawa
dan Kurawa) Kisah MAHABHARATA
Mahabharata adalah sebuah karya sastra kuno yang konon ditulis oleh Begawan Byasa atau
Vyasa dari India. Buku ini terdiri dari delapan belas kitab, maka dinamakan Astadasaparwa (asta
= 8, dasa = 10, parwa = kitab). Namun, ada pula yang meyakini bahwa kisah ini sesungguhnya
merupakan kumpulan dari banyak cerita yang semula terpencar-pencar, yang dikumpulkan
semenjak abad ke-4 sebelum Masehi.
Mahabharata menceritakan kisah konflik para Pandawa lima dengan saudara sepupu mereka
sang seratus Korawa, mengenai sengketa hak pemerintahan tanah negara Astina. Puncaknya
adalah perang Bharatayuddha di medan Kurusetra dan pertempuran berlangsung selama delapan
belas hari.
Di dalam hutan, Pandu dan kedua istrinya hidup laksanan pertapa. Mereka tidak lagi
mengindahkan keinginan akan kemewahan atau bahkan kekuasaan. Hanya satu hal yang
mengganggu pikiran Pandu - sesuai kepercayaannya - yaitu jika seorang lelaki tidak mempunyai
keturunan laki-laki, maka hidupnya akan berakhir di neraka. Tetapi dia sendiri punya masalah
dengan hasrat seksual karena kutukan sepasang Rishi yang menuntut kematiannya apabila dia
bersenggama dengan istrinya.
Oleh karena itu, Pandu membicarakan hal ini dengan kedua istrinya, maksudnya agar kedua
istrinya mau mendapatkan anak dari para Rishi yang hidup di hutan. Sama seperti dulu, Pandu
juga lahir dari seorang Rishi yang mendatangi ibundanya, janda raja wangsa Kuru. Alih-alih
mendapatkan persetujuan dari kedua istrinya, Pandu mendapatkan pencerahan lain.
Hal itu karena Kunti menceritakan anugerah yang pernah diberikan oleh Rishi Durvasa yang
mendatangi kerajaan ayahnya. Anugerah berupa mantera untuk memanggil para Dewata agar
mendapatkan karunia berupa putra dari mereka. Pandu pun meminta Kunti memanggil Dewa
Dharma. Maka lahirlah Yudhistira yang baik kepribadiannya juga bijaksana. Konon rupa
Yudhistira sama persis dengan rupa Dewa Dharma.
Setahun kemudian, Pandu meminta Kunti melakukannya lagi. Diundanglah Dewa Vayu (Bayu),
Dewa yang terkuat dari antara para Dewa. Dari Dewa Vayu lahirlah Bhimasena yang gagah
perkasa. Bahkan dikatakan tidak akan pernah ada orang yang lahir sedemikian kuat melebihi
kekuatan Bhimasena. Dan Bhimasena juga seorang yang amat pengasih. Dia begitu melindungi
saudara-saudaranya juga memperhatikan sesama manusia.
Tahun berikutnya, Pandu kembali meminta Kunti melahirkan anak baginya. Kunti pun
memanggil Indradewa, Dewa yang paling termasyhur di antara para Dewa. Dan lahirlah Arjuna.
Seorang yang dilahirkan sebagai pahlawan sejati juga memegang teguh ajaran kebenaran.
Melihat anak-anak yang dilahirkan Kunti begitu sempurna masing-masingnya, Pandu pun
menginginkan Kunti memanggil kembali Dewa yang lain.
Akan tetapi Kunti mengatakan bahwa mantera itu akan melanggar dharma apabila digunakan
lebih dari tiga kali. Mendengar hal itu, Pandu pun bersedih. Melihat hal itu, Kunti menjanjikan
akan mengajar Madri, istri Pandu yang lain untuk merapal mantera tersebut. Dan Madri pun
melaksanakan niat itu; dia memanggil Sang Kembar, tabib para Dewata, Ashwin Kumar.
Maka Madri dianugerahi sepasang anak kembar yang tampan-tampan yaitu Nakula dan Sadewa.
Tidak cuma tampan, Nakula dan Sadewa memiliki keberanian dan kebijaksaan juga. Bersamaan
dengan kelahiran Bhimasena, Permaisuri Gandhari pun melahirkan putera pertamanya yaitu
Duryodhana. Setelah itu, istri Raja Dhristrata itu juga melahirkan 99 putera dan 1 orang puteri.
Ketika Duryodhana lahir, Raja Dhristrata mendapatkan firasat yang tidak baik. Dia pun
membicarakan hal itu dengan Widura, adiknya yang lahir dari dayang Ibundanya. Widura
mengatakan bahwa kelahiran Duryodhana mengawali kejadian yang paling mengerikan yang
akan menimpa seluruh keluarga yaitu lenyapnya dinasti Kuru. Akan tetapi karena baru
mendapatkan putera mahkota calon penggantinya, Raja Dhristrata tidak menghiraukan firasat
dan makna yang diungkapkan oleh Widura.
Sementara itu, setelah hidup layaknya pertapa dengan bahagia selama 15 tahun lebih, di saat
Kunti dan anak-anaknya berjalan-jalan ke dalam hutan, Pandu hanya tinggal berdua bersama
Madri istrinya di dalam Ashram. Karena sudah lama tidak memadu kasih, Pandu begitu
terpesona oleh kecantikan Madri, istrinya itu, hingga lupa akan kutukan sepasang Rishi yang
pernah dipanahnya ketika dalam wujud rusa.
Sebelum sempat mencumbu istrinya, Pandu pun meninggal. Madri sangat terpukul atas kejadian
ini. Dia menyalahkan diri tidak bisa menahan nafsu suaminya agar tidak mencumbu dirinya
hingga berakibat kematian Pandu. Dia meraung sekeras-kerasnya, hingga terdengar oleh Kunti
dan anak-anaknya di dalam hutan. Madri memutuskan untuk ikut membakar diri bersama dengan
pembakaran mayat Pandu. Sementara Kunti yang lebih memikirkan nasib anak-anaknya kelak
memilih kembali ke Hastinapura bersama para Pandawa.
Selain berisi cerita kepahlawanan (wiracarita), Mahabharata juga mengandung nilai-nilai Hindu,
mitologi dan berbagai petunjuk lainnya. Oleh sebab itu kisah Mahabharata ini dianggap suci,
teristimewa oleh pemeluk agama Hindu. Kisah yang semula ditulis dalam bahasa Sanskerta ini
kemudian disalin dalam berbagai bahasa, terutama mengikuti perkembangan peradaban Hindu
pada masa lampau di Asia, termasuk di Asia Tenggara.
PERANG Baratayudha
Karna menjadi panglima perang, dan berhasil menewaskan musuh. Yudhisthira minta agar Arjuna
menahan serangan Karna. Arjuna menyuruh Ghatotkaca untuk menahan dengan ilmu sihirnya,
Ghatotkaca mengamuk, Korawa lari tunggang-langgang. Karna dengan berani melawan serangan
Ghatotkaca. Namun Ghatotkaca terbang ke angkasa. Karna melayangkan panah, dan mengenai
dada Ghatotkaca. Satria Pringgandani ini limbung dan jatuh menyambar kereta Karna, tetapi Karna
dapat menghindar dan melompat dari kereta. Ghatotkaca mati di atas kereta Karna. Para Pandawa
berdukacita. Hidimbi pamit kepada Dropadi untuk terjun ke perapian bersama jenasah anaknya.
Pertempuran terus berkobar, Drona berhasil membunuh tiga cucu Drupada, kemudian membunuh
Drupada, dan raja Wirata. Maka Dhrtadyumna ingin membalas kematian Drupada.
Kresna mengadakan tipu muslihat. Disebarkannya berita, bahwa Aswatthama gugur. Yudhisthira
dan Arjuna mencela sikap Kresna itu. Kemudian Bhima membunuh kuda bernama Aswatthama,
kemudian disebarkan berita kematian kuda Aswatthama. Mendengar berita kematian Aswatthama,
Drona menjadi gusar, lalu pingsan. Dhrtadyumna berhasil memenggal leher Drona. Aswatthama
membela kematian ayahnya, lalu mengamuk dengan menghujamkan panah Narayana. Arjuna
sedih atas kematian gurunya akibat perbuatan yang licik. Arjuna tidak bersedia melawan
Aswatthama, tetapi Bhima tidak merasakan kematian Drona. Dhrtadymna dan Satyaki saling
bertengkar mengenai usaha perlawanan terhadap Aswatthama. Kresna dan Yudhisthira
menenangkan mereka. Pandawa diminta berhenti berperang. Tapi Bhima ingin melanjutkan
pertempuran, dan maju ke medan perang mencari lawan, terutama ingin menghajar Aswatthama.
Saudara-saudaranya berhasil menahan Bhima. Arjuna berhasil melumpuhkan senjata Aswatthama.
Putra Drona ini lari dan sembunyi di sebuah pertapaan. Karna diangkat menjadi panglima perang.
Banyak perwira Korawa yang memihak kepada Pandawa.
Pada waktu tengah malam, Yudhisthira meninggalkan kemah bersama saudara-saudaranya.
Mereka khidmat menghormat kematian sang guru Drona, dan menghadap Bhisma yang belum
meninggal dan masih terbaring di atas anak panah yang menopang tubuhnya. Bhisma memberi
nasihat agar Pandawa melanjutkan pertempuran, dan memberi tahu bahwa Korawa telah
ditakdirkan untuk kalah.
Pandawa melanjutkan pertempuran melawan Korawa yang dipimpin oleh Karna. Karna minta agar
Salya mau mengusiri keretanya untuk menyerang Kresna dan Arjuna. Salya sebenarnya tidak
bersedia, tetapi akhirnya mau asal Karna menuruti perintahnya.
Pertempuran berlangsung hebat, disertai caci maki dari kedua belah pihak. Bhima bergulat dengan
Doryudana, kemudian menarik diri dari pertempuran. Dussasana dibunuh oleh Bhima, sebagai
pembalasan sejak Dussasana menghina Drupadi. Darah Dussasana diminumnya.
Arjuna perang melawan Karna. Naga raksasa bernama Adrawalika musuh Arjuna, ingin membantu
Karna dengan masuk ke anak panah Karna untuk menembus Arjuna. Ketika hendak disambar
panah, kereta yang dikusiri Kresna dirundukkan, sehingga Arjuna hanya terserempet mahkota
kepalanya. Naga Adrawalika itu ditewaskan oleh panah Arjuna. Ketika Karna mempersiapan anak
panah yang luar biasa saktinya, Arjuna telah lebih dahulu meluncurkan panah saktinya. Tewaslah
Karna oleh panah Arjuna.
Doryudhana menjadi cemas, lalu minta agar Sakuni melakukan tipu muslihat. Sakuni tidak
bersedia karena waktu telah habis. Diusulkannya agar Salya jadi panglima tinggi. Sebenarnya
Salya tidak bersedia. Ia mengusulkan agar mengadakan perundingan dengan Pandawa.
Aswatthama menuduh Salya sebagai pengkhianat, dan menyebabkan kematian Karna. Tuduhan
itu menyebabkan mereka berselisih, tetapi dilerai oleh saudara-saudaranya. Aswatthama tidak
bersedia membantu perang lagi. Salya terpaksa mau menjadi panglima perang.
Nakula disuruh Kresna untuk menemui Salya, dan minta agar Salya tidak ikut berperang. Nakula
minta dibunuh daripada harus berperang melawan orang yang harus dihormatinya. Salya
menjawab, bahwa ia harus menepati janji kepada Duryodhana, dan melakukan darma kesatria.
Salya menyerahkan kematiannya kepada Nakula dan agar dibunuh dengan senjata Yudhisthira
yang bernama Pustaka, agar dapat mencapai surga Rudra. Nakula kembali dengan sedih.
Salya menemui Satyawati, pamit maju ke medan perang. Isteri Salya amat sedih dan mengira
bahwa suaminya akan gugur di medan perang. Satyawati ingin bunuh diri, ingin mati sebelum
suaminya meninggal. Salya mencegahnya. Malam hari itu merupakan malam terakhir sebagai
malam perpisahan. Pada waktu fajar Salya meninggalkan Satyawati tanpa pamit, dan dipotongnya
kain alas tidur isterinya dengan keris. Salya memimpin pasukan Korawa. Amukan Bhima dan
Arjuna sulit untuk dilawannya. Salya menghujankan anak panahnya yang bernama Rudrarosa.
Kresna menyuruh agar Pandawa menyingkir. Yudhisthira disuruh menghadap Salya.
Yudhisthira tidak bersedia harus melawan pamannya. Kresna menyadarkan dan menasihati
Yudhisthira. Yudhisthira disuruh menggunakan Kalimahosadha, kitab sakti untuk menewaskan
Salya. Salya mati oleh Kalimahosadha yang telah berubah menjadi pedang yang bernyala-nyala.
Kematian Salya diikuti oleh kematian Sakuni oleh Bhima. Berita kematian Salya sampai kepada
Satyawati. Satyawati menuju medan perang, mencari jenasah suaminya. Setelah ditemukan,
Satyawati bunuh diri di atas bangkai suaminya.
Duryodhana melarikan diri dari medan perang, lalu bersembunyi di sebuah sungai. Bhima dapat
menemukan Duryodhana yang sedang bertapa. Duryodhana dikatakan pengecut. Duryodhana sakit
hati, lalu bangkit melawannya. Bhima diajak berperang dengan gada. Terjadilah perkelahian hebat.
Baladewa yang sedang berziarah ke tempat-tempat suci diberi tahu oleh Narada tentang peristiwa
peperangan di Hastina. Kresna menyuruh Arjuna agar Bhima diberi isyarat untuk memukul paha
Duryodhana. Terbayarlah kaul Bhima ketika hendak menghancurkan Duryodhana dalam perang
Bharatayudha. Baladewa yang menyaksikan pergulatan Bhima dengan Duryodhana menjadi
marah, karena Pandawa dianggap tidak jujur, lalu akan membunuh Bhima. Tetapi maksud
Baladewa dapat dicegah, dan redalah kemarahan Baladewa.
Dalam kitab Mahabharata dikisahkan tentang beberapa kutukan dari orang yang merasa dianiaya,
dan demikian pula dalam kitab Srimad Bhagavatam. Rupanya sang penulis, Bhagawan Abyasa
memberikan peringatan agar manusia berhati-hati dalam menapaki kehidupan, karena bisa saja
orang teraniaya oleh tindakan kita dan hukum sebab-akibat akan mengejar kita. Dikisahkan
bahwa Dewi Gendari mengutuk Sri Krishna, mengapa membiarkan perang Bharatayuda terjadi
dan tidak membuat skenario agar para Korawa sadar dan tidak semakin berlarut-larut berkubang
dalam perbuatan adharma sehingga perang Bharatayuda tidak terjadi.
Perang Bharatayuda tidak memberi keuntungan bagi Korawa dan Pandawa. Korawa punah, di
pihak Pandawa juga tinggal Pandawa sendiri yang sudah tua-tua dan seorang cucu Pandawa yang
selamat yaitu Parikesit. Konon Dewi Gendari yang kehilangan semua putranya, mengutuk agar
kejadian serupa terjadi pada Dinasti Yadawa. Bagaimana pun ada banyak faktor yang
mempengaruhi terlaksananya sebuah kutukan dan faktor utama adalah Hukum Alam dan Ridha
Ilahi, Kehendak Hyang Widhi. Dan, perang Bharatayuda memang bukan merupakan
kemenangan mutlak Pandawa, tetapi kemenangan mutlak dharma mengalahkan adharma.
Setelah perang Bharatayuda, Dinasti Yadawa mengalami masa jaya selama 36 tahun dibawah
kepemimpinan Sri Krishna, Sang Wisnu yang mewujud di dunia untuk menegakkan dharma dan
mengalahkan adharma yang merajalela. Kala sebuah bangsa atau seorang manusia mengalami
penderitaan, maka semangatnya bangkit untuk berjuang melepaskan diri dari kesengsaraan. Akan
tetapi kala, sudah tidak ada tantangan, hidup terasa nyaman, sebuah bangsa atau seorang manusia
sering lalai dan terbuai oleh kenyamanan dan kenikmatan pancaindera. Demikianlah, setelah
perang Bharatayuda dinasti Yadawa menjadi sombong, arogan dan gemar berpesta pora.
Ada perbedaan kehidupan Sri Krishna sewaktu kecil di Brindavan dan sesudah menjadi raja
dinasti Yadawa di Dwaraka. Para Gopi dan Gopal, para penggembala di Brindavan merasa
bahwa mereka adalah milik Sri Krishna, mereka tidak mempunyai kesenangan pribadi kecuali
menyenangkan Sri Krishna. Sedangkan bagi dinasti Yadawa, Sri Krishna adalah milik mereka,
mereka memuaskan kesenangan mereka sendiri, yang penting dilindungi Sri Krishna.
Para Gopi dan Gopal sudah dapat mengendalikan sifat hewani mereka, sedangkan dinasti
Yadawa tidak dapat mengendalikan sifat hewani mereka. Para Gopi dan Gopal yakin bahwa
yang bisa membahagiakan manusia adalah kasih, sedangkan dinasti Yadawa masih yakin
kenyamanan dunialah yang akan membahagiakan mereka.
Dalam buku “Narada Bhakti Sutra, Menggapai Cinta Tak Bersyarat dan Tak Terbatas”, Anand
Krishna, Gramedia Pustaka Utama, 2001 disampaikan…….. Manusia pun tak luput dari sifat-
sifat hewani. Bahkan kebutuhan akan makan, minum, tidur, seks dan sebagainya masih
merupakan sifat-sifat hewani. Sifat-sifat yang kita miliki bersama hewan. Berarti ada sifat-sifat
hewani yang “masih dibutuhkan demi keberlangsungan hidup”. Hanya saja, perlu dijinakkan,
dikendalikan. Dan yang menjinakkan adalah diri kita sendiri. Yang mengendalikan adalah
kesadaran diri pula.
Jadi sesungguhnya, setiap orang harus menjadi Gopal atau Gopi. Harus menjaga dan memelihara
kejinakan “sapi”nya. Para Gopi disebut-sebut sebagai reinkarnasi para pertapa yang telah
mencapai suatu tingkat kesadaran tertentu, tetapi belum mencicipi manisnya kasih. Mereka lahir
kembali untuk menyelesaikan “skripsi”. Untuk mengikuti semester terakhir. Sungguh beruntung
mereka, karena Krishna menjadi dosen pembimbing mereka.
Dalam buku “Narada Bhakti Sutra, Menggapai Cinta Tak Bersyarat dan Tak Terbatas”, Anand
Krishna, Gramedia Pustaka Utama, 2001 juga disampaikan bahwa. Kita harus membedakan
kenyamanan dari kebahagiaan. Sandang, pangan, papan, seks, dan sebagainya, sekadar untuk
menyamankan kita, dan tidak bisa membahagiakan kita. Tetapi, kenyamanan pun penting.
Karena itu, tidak perlu meninggalkan semua itu. Cukup menyadari bahwa apa yang bisa
menyamankan belum tentu bisa membahagiakan. Menurut Narada, yang bisa membahagiakan
manusia hanya satu. Kasih, titik. Karena sifat Kasih yang tak terbatas dan tak bersyarat itu, apa
yang kita peroleh dari-Nya juga tidak terbatas dan tidak bersyarat. Kasih adalah “sebab”.
“Akibat”-nya adalah kebahagiaan sejati. Akibat tidak bisa bersifat lain dari sebab.
Pada suatu ketika beberapa resi mengunjungi Kota Dwaraka untuk menemui Sri Krishna.
Beberapa pemuda mendandani Samba, putra Sri Krishna dari istri Dewi Jembawati sebagai
seorang wanita yang sedang hamil dan para resi diminta meramalkan jenis kelamin bayi yang
akan lahir. Merasa dipermalukan, salah seorang Resi mengutuk bahwa Samba akan melahirkan
gada besi yang akan memusnahkan dinasti Yadawa. Para pemuda Dwaraka takut karena setelah
Samba melepaskan “tumpukan kain” pakaian hamilnya betul-betul ada sebuah gada besi di
dalam tumpukan kain tersebut. Mereka menghancurkan gada tersebut menjadi serbuk dan
membuangnya ke laut. Akan tetapi beberapa minggu kemudian, serbuk tersebut terbawa arus
kembali kepantai. Dan, dari serbuk tersebut tumbuh ribuan alang-alang besi semacam bilah-bilah
logam yang tajam.
Beberapa bulan kemudian, kala para pria Dwaraka mengadakan pesta mabuk-mabukan di pantai,
Setyaki dan Kertamarma saling mengolok tentang perang Bharatayuda. Setyaki dikatakan
membunuh Burisrawa yang sedang bermeditasi memulihkan ketenangan setelah tangannya
dipanah Arjuna, sedangkan Kertamarma dikatakan membantu Aswatama membunuh
Drestayumna, Srikandi dan anak-anak Pandawa yang sedang tidur lelap. Olok-olok tersebut
berbuntut perkelahian. Dan, perkelahian tersebut merembet ke seluruh warga pria Dwarka.
Mereka pada mengambil bilah-bilah logam di pantai sebagai senjata. Akhirnya, semuanya tewas
saling bunuh, tak ada satu pun yang selamat.
Baladewa datang ke tempat kejadian dan melihat semua dinasti Yadawa telah binasa dan ia pun
segera pergi ke hutan. Sri Krishna kemudian berpesan kepada pelayannya agar melaporkan
kejadian tersebut ke Pandawa di Hastina dan dia mengikuti Baladewa ke hutan. Sri Krishna
melihat Baladewa duduk dalam posisi yoga dan tak lama kemudian dari mulutnya keluar asap
putih berbentuk Nagasesa yang menuju ke arah samudera. Baladewa telah mengakhiri hidupnya.
Sri Krishna duduk dalam posisi yoga, dan seorang pemburu bernama Jara dari kejauhan melihat
Sri Krishna seperti rusa emas yang sedang beristirahat. Jara memanah kaki rusa emas yang
ternyata adalah Sri Krishna. Panah tersebut menyebabkan kematian Sri Krishna. Sebagian orang
bercerita bahwa Sri Krishna sebagai titisan Wisnu, kala menjadi Sri Rama pernah memanah
Subali dan kini menerima akibatnya. Sebagian orang lainnya bercerita, bahwa Jara mempunyai
makna usia tua, dan Sri Krishna meninggal karena usia tua. Bagaimana pun tubuh yang terbuat
dari materi alam akan kembali ke alam, sedangkan ruhnya kembali ke Hyang Widhi. Seminggu
setelah meninggalnya Sri Krishna Negeri Dwaraka mengalami bencana tsunami dan tenggelam
ke laut.
Dalam Bhagavad Gita 2: 27-28 disampaikan, ia yang lahir harus mati, ia yang mati harus lahir.
Jangan gelisah, karena hukum ini memang tak terelakkan. Makhluk-makhluk yang kau lihat ini,
wahai Arjuna, pada awal mulanya Tak-Nyata, pada masa pertengahannya terasa Nyata dan pada
akhirnya menjadi Tak-Nyata lagi. Lantas apa gunanya kamu bersedih hati? Yang diketahui
manusia hanya antara lahir dan mati saja. Kita ini sebenarnya hanya alat-Nya, yang dikirimkan
untuk melakukan tugas-tugas-Nya, jadi kita seharusnya berbhakti sesuai dengan kehendak-Nya.
Arjuna pergi ke Madura menengok Prabu Basudewa, kakak ibundanya, dan Sang Prabu
meninggal dunia setelah kedatangan Arjuna. Kemudian, Arjuna melanjutkan pergi ke Dwaraka
mengumpulkan para wanita dan anak-anak yang selamat untuk dibawa ke Hastina. Dalam
perjalanan rombongan tersebut dirampok dan Arjuna tidak dapat berbuat banyak karena
kesaktiannya mendadak sirna.
Sesampai di Hastina, Arjuna menyampaikan hasil perjalanannya, yang membuat semua Pandawa
berduka. Setelah menobatkan Parikesit sebagai raja Hastina, Pandawa beserta Drupadi dan
seekor anjing melakukan tirtayatra, perjalanan ke tempat-tempat suci dan akhirnya ke naik ke
gunung Himalaya mempersiapkan kematian mereka.
Dalam buku “Kematian, Panduan Untuk Menghadapinya Dengan Senyuman”, Anand Krishna,
Gramedia Pustaka Utama, 2002 disampaikan.Ketika masih memiliki badan, kau menyia-
nyiakannya untuk mengejar hal-hal yang serba semu. Kau tidak pernah mempersiapkan dirimu
untuk sesuatu yang pasti terjadi, yaitu maut. Apabila kau hidup dalam ketidaksadaran, kau akan
mati dalam ketidaksadaran pula. Lalu, sia-sialah satu masa kehidupan. Kau akan memasuki
lingkaran kelahiran dan kematian lagi.Diantara sekian banyak ketidakpastian dalam hidup ini,
mungkin hanya “kematian” yang merupakan satu-satunya kepastian. Aneh, selama ini kita sibuk
mengejar ketidakpastian. Dan tidak pernah mempersiapkan diri untuk sesuatu yang sudah
“pasti”. Sesungguhnya, mempersiapkan masyarakat untuk “menerima” kematian adalah tugas
agama dan para praktisi keagamaan. Tugas ini sudah lama terlupakan, karena para praktisi
keagamaan pun tidak sepenuhnya memahami proses kematian. Lalu, penjelasan apa yang dapat
mereka berikan? Yang dapat mereka lakukan hanyalah menteror manusia, mengintimidasi dan
menakut-nakutinya dengan ancaman api neraka atau alam kubur yang sunyi sepi.
Satu per satu Drupadi, Sadewa, Nakula, Arjuna, Bhima meninggal di perjalanan dan tinggal
Yudistira dan anjingnya. Sampai di Puncak Gunung, Yudistira bertemu Bathara Indra yang
mengajaknya naik kereta ke kahyangan, akan tetapi anjingnya tidak diperbolehkan ikut.
Yudistira bersikeras tidak mau pergi ke kahyangan bila anjingnya tidak ikut. Akhirnya sang
anjing diperbolehkan naik kereta dan segera menghilang di perjalanan. Dikisahkan bahwa anjing
tersebut merupakan simbol dari dharma manusia. Hanya dharma yang mendampingi ke
kahyangan, saudara dan istri pun ditinggalkan di dunia.
Isi Kitab
1. Adiparwa :
Kitab Adiparwa berisi berbagai cerita yang bernafaskan Hindu, seperti misalnya kisah pemutaran
Mandaragiri, kisah Bagawan Dhomya yang menguji ketiga muridnya, kisah para leluhur
Pandawa dan Korawa, kisah kelahiran Rsi Byasa, kisah masa kanak-kanak Pandawa dan
Korawa, kisah tewasnya rakshasa Hidimba di tangan Bhimasena, dan kisah Arjuna mendapatkan
Dropadi
2. Sabhaparwa
Berisi kisah pertemuan Pandawa dan Korawa di sebuah balairung untuk main judi, atas rencana
Duryodana. Karena usaha licik Sangkuni, permainan dimenangkan selama dua kali oleh Korawa
sehingga sesuai perjanjian, Pandawa harus mengasingkan diri ke hutan selama 12 tahun dan
setelah itu melalui masa penyamaran selama 1 tahun.
3. Wanaparwa
Berisi kisah Pandawa selama masa 12 tahun pengasingan diri di hutan. Dalam kitab tersebut juga
diceritakan kisah Arjuna yang bertapa di gunung Himalaya untuk memperoleh senjata sakti.
Kisah Arjuna tersebut menjadi bahan cerita Arjunawiwaha.
4. Wirataparwa
Berisi kisah masa satu tahun penyamaran Pandawa di Kerajaan Wirata setelah mengalami
pengasingan selama 12 tahun. Yudistira menyamar sebagai ahli agama, Bhima sebagai juru
masak, Arjuna sebagai guru tari, Nakula sebagai penjinak kuda, Sahadewa sebagai pengembala,
dan Dropadi sebagai penata rias.
5. Udyogaparwa
Berisi kisah tentang persiapan perang keluarga Bharata (Bharatayuddha). Kresna yang bertindak
sebagai juru damai gagal merundingkan perdamaian dengan Korawa. Pandawa dan Korawa
mencari sekutu sebanyak-banyaknya di penjuru Bharatawarsha, dan hampir seluruh Kerajaan
India Kuno terbagi menjadi dua kelompok.
6. Bhismaparwa
Merupakan kitab awal yang menceritakan tentang pertempuran di Kurukshetra. Dalam beberapa
bagiannya terselip suatu percakapan suci antara Kresna dan Arjuna menjelang perang
berlangsung. Percakapan tersebut dikenal sebagai kitab Bhagavad Gītā. Dalam kitab
Bhismaparwa juga diceritakan gugurnya Resi Bhisma pada hari kesepuluh karena usaha Arjuna
yang dibantu oleh Srikandi.
7. Dronaparwa
Menceritakan kisah pengangkatan Bagawan Drona sebagai panglima perang Korawa. Drona
berusaha menangkap Yudistira, namun gagal. Drona gugur di medan perang karena dipenggal
oleh Drestadyumna ketika ia sedang tertunduk lemas mendengar kabar yang menceritakan
kematian anaknya, Aswatama. Dalam kitab tersebut juga diceritakan kisah gugurnya Abimanyu
dan Gatotkaca.
8. Karnaparwa
Menceritakan kisah pengangkatan Karna sebagai panglima perang oleh Duryodana setelah
gugurnya Bhisma, Drona, dan sekutunya yang lain. Dalam kitab tersebut diceritakan gugurnya
Dursasana oleh Bhima. Salya menjadi kusir kereta Karna, kemudian terjadi pertengkaran antara
mereka. Akhirnya, Karna gugur di tangan Arjuna dengan senjata Pasupati pada hari ke-17
9. Salyaparwa
Berisi kisah pengangkatan Sang Salya sebagai panglima perang Korawa pada hari ke-18. Pada
hari itu juga, Salya gugur di medan perang. Setelah ditinggal sekutu dan saudaranya, Duryodana
menyesali perbuatannya dan hendak menghentikan pertikaian dengan para Pandawa. Hal itu
menjadi ejekan para Pandawa sehingga Duryodana terpancing untuk berkelahi dengan Bhima.
Dalam perkelahian tersebut, Duryodana gugur, tapi ia sempat mengangkat Aswatama sebagai
panglima.
10. Sauptikaparwa
Berisi kisah pembalasan dendam Aswatama kepada tentara Pandawa. Pada malam hari, ia
bersama Kripa dan Kertawarma menyusup ke dalam kemah pasukan Pandawa dan membunuh
banyak orang, kecuali para Pandawa. Setelah itu ia melarikan diri ke pertapaan Byasa. Keesokan
harinya ia disusul oleh Pandawa dan terjadi perkelahian antara Aswatama dengan Arjuna. Byasa
dan Kresna dapat menyelesaikan permasalahan itu. Akhirnya Aswatama menyesali perbuatannya
dan menjadi pertapa.
11. Striparwa
Berisi kisah ratap tangis kaum wanita yang ditinggal oleh suami mereka di medan pertempuran.
Yudistira menyelenggarakan upacara pembakaran jenazah bagi mereka yang gugur dan
mempersembahkan air suci kepada leluhur. Pada hari itu pula Dewi Kunti menceritakan
kelahiran Karna yang menjadi rahasia pribadinya.
12. Santiparwa
Berisi kisah pertikaian batin Yudistira karena telah membunuh saudara-saudaranya di medan
pertempuran. Akhirnya ia diberi wejangan suci oleh Rsi Byasa dan Sri Kresna. Mereka
menjelaskan rahasia dan tujuan ajaran Hindu agar Yudistira dapat melaksanakan kewajibannya
sebagai Raja.
13. Anusasanaparwa
Berisi kisah penyerahan diri Yudistira kepada Resi Bhisma untuk menerima ajarannya. Bhisma
mengajarkan tentang ajaran Dharma, Artha, aturan tentang berbagai upacara, kewajiban seorang
Raja, dan sebagainya. Akhirnya, Bhisma meninggalkan dunia dengan tenang.
14. Aswamedhikaparwa
Berisi kisah pelaksanaan upacara Aswamedha oleh Raja Yudistira. Kitab tersebut juga
menceritakan kisah pertempuran Arjuna dengan para Raja di dunia, kisah kelahiran Parikesit
yang semula tewas dalam kandungan karena senjata sakti Aswatama, namun dihidupkan kembali
oleh Sri Kresna.
15. Asramawasikaparwa
Berisi kisah kepergian Drestarastra, Gandari, Kunti, Widura, dan Sanjaya ke tengah hutan, untuk
meninggalkan dunia ramai. Mereka menyerahkan tahta sepenuhnya kepada Yudistira. Akhirnya
Resi Narada datang membawa kabar bahwa mereka telah pergi ke surga karena dibakar oleh api
sucinya sendiri.
16. Mosalaparwa
Menceritakan kemusnahan bangsa Wresni. Sri Kresna meninggalkan kerajaannya lalu pergi ke
tengah hutan. Arjuna mengunjungi Dwarawati dan mendapati bahwa kota tersebut telah kosong.
Atas nasihat Rsi Byasa, Pandawa dan Dropadi menempuh hidup “sanyasin” atau mengasingkan
diri dan meninggalkan dunia fana.
17. Mahaprastanikaparwa
Menceritakan kisah perjalanan Pandawa dan Dropadi ke puncak gunung Himalaya, sementara
tahta kerajaan diserahkan kepada Parikesit, cucu Arjuna. Dalam pengembaraannya, Dropadi dan
para Pandawa (kecuali Yudistira), meninggal dalam perjalanan.
18. Swargarohanaparwa
Menceritakan kisah Yudistira yang mencapai puncak gunung Himalaya dan dijemput untuk
mencapai surga oleh Dewa Indra. Dalam perjalanannya, ia ditemani oleh seekor anjing yang
sangat setia. Ia menolak masuk surga jika disuruh meninggalkan anjingnya sendirian. Si anjing
menampakkan wujudnya yang sebenanrnya, yaitu Dewa Dharma.
Tokoh penting
Perang Bharatayuda. Para arkeolog terkemuka dunia telah sepakat bahwa perang besar di
Kuruksetra merupakan sejarah Bharatavarsa (sekarang India) yang terjadi sekitar 5000 tahun
yang lalu. Sekarang para peneliti hanya ingin menentukan tanggal yang pasti tentang peristiwa
tersebut. Dari hasil pengamatan beserta bukti-bukti ilmiah. Dari berbagai estimasi maka
dibuatlah suatu usulan peristiwa-peristiwa sebagai berikut:
Batayuda, adalah istilah yang dipakai di Indonesia untuk menyebut perang besar di Kurukshetra
antara keluarga Pandawa melawan Korawa. Perang ini merupakan klimaks dari kisah
Mahabharata, yaitu sebuah wira carita terkenal dari India.