Filsafat Kebudayaan Makassar (Bahasa Daerah)
Filsafat Kebudayaan Makassar (Bahasa Daerah)
Filsafat Kebudayaan Makassar (Bahasa Daerah)
Pada dasarnya tujuan akhir dari penulisan makalah ini ialah agar rekan-rekan
mahasiswa dapat memahami tentang Filsafat Kebudayaan
Makassar. Makalah ini disusun untuk memenuhi mata kuliah Bahasa Daerah.
“Tiada gading yang tak retak”. Kiranya itulah pribahasa yang pantas untuk
menggambarkan isi dari makalah ini. Kritik dan saran yang membangun
tentunya akan membuat penyusun lebih baik dalam penulisan makalah
dikemudian hari.
Sekiranya makalah ini dapat bermanfaat dan memperkaya wawasan bagi para
pembaca semua, khususnya mengenai Filsafat budaya Makassar.
A. LATAR BELAKANG
Ketika seseorang mengeluarkan sebuh filsafat budaya, maka apa yang ada
dipikirannya bukan hanya sebatas budaya, tetapi lebih dari itu. Mungkin
sesuatu yang juga mendukung burjalannya suatu kebudayaan atau hal-hal
yang mempengaruhi kebudayaan baik secara langsung maupun tidak.
B. RUMUSAN MASALAH
C. TUJUAN
PEMBAHASAN
Filsafat budaya sebenarnya telah lahir jauh sebelum istilah postmodern itu
muncul, dengan kata lain, ada banyak kemungkinan nilai dan makna telah
kehilangan jati dirinya oleh modernisasi dan postmodernisasi.
Pada era post modern ini, semua yang ada begitu konkret, karena segala hal
yang menyangkut apapun, nyaris ada dan dapat tepenuhi. Post modern
dikatakan abstrak karena kebudayaan telah berkembang begitu rumit, skeptis
dan penuh kontroversi. Siapapun yang mengikuti kebudayaan postmodern
akan melihat kekacauan makna dalam keadaan realitas. Namun, ini semua
adalah sebuah filsafat budaya yang lahir dari pemikiran dan proses
pemahaman.
Kata siri’ dalam bahasa Makassar berarti malu atau rasa malu, maksudnya
siri’ (tuna) lanri anggaukanna anu kodi, artinya malu apabila melakukan
perbuatan yang tercela. Sekalipun kata siri’ tidak hanya dipahami menurut
makna harfiah tersebut.
Pengertian siri’ menurut istilah dapat dilihat dari pendapat beberapa tokoh,
seperti: B. F. Matthes menjelaskan sebagaimana dikutip oleh
Koentjaraningrat, bahwa istilah siri’ diterjemahkan dengan malu, rasa
kehormatannya tersinggung dan sebagainya (Koentjaraningrat, 1995: 279).
Menurut C.H. Salam Basjah yang dikutip oleh Mattulada memberi tiga
pengertian kepada konsep siri’, yaitu: Pertama ialah malu, kedua,
merupakan daya pendorong untuk membinasakan siapa saja yang telah
menyinggung rasa kehormatan seseorang, dan ketiga ialah sebagai daya
pendorong untuk bekerja atau berusaha sebanyak mungkin (Mattulada,
1995: 62). Pengertian siri’ juga diungkapkan oleh M. Natzir Said, bahwa
siri’ adalah perasaan malu yang memberi kewajiban moril untuk
membunuh pihak yang melanggar adat, terutama dalam soal-soal hubungan
perkawinan (Koentjaraningrat, 1995: 280).
Siri’ pernah pula dibicarakan dan dikaji pada Seminar Nasional yang
diselenggarakan oleh Komando Daerah Kepolisian (KOMDAK) XVII
Konsep siri’ berdasarkan pengertian bahasa, istilah dan hasil seminar tersebut
dapat memberikan sumbangan pemikiran kepada masyarakat secara umum
tentang makna dan tujuan siri’ yang patut untuk diyakini, dilaksanakan dan
dipertahankan dalam kehidupan sehari-hari. Dari seluruh pengertian siri’
tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa siri’ adalah suatu sistem nilai sosial,
budaya dan kepribadian yang merupakan pranata pertahanan harga diri dan
martabat manusia sebagai individu dan anggota masyarakat.
Adapun pengertian pacce secara harfiah, yaitu pacce berarti perasaan pedis,
perih atau pedih (Limpo, 1995: 91). Sedangkan pengertian pacce menurut
istilah, antara lain: pacce adalah suatu perasaan yang menyayat hati, pilu
bagaikan tersayat sembilu apabila sesama warga masyarakat atau keluarga
atau sahabat ditimpa kemalangan (musibah) (Moein, 1990: 33). Pacce ini
berfungsi sebagai alat penggalang persatuan, solidaritas, kebersamaan rasa
kemanusiaan dan memberi motivasi pula untuk berusaha sekalipun dalam
keadaan yang sangat pelik dan berbahaya (Limpo, 1995: 91).
Dari pengertian di atas jelaslah bahwa pacce dapat memupuk rasa persatuan
dan kesatuan bangsa, membina solidaritas antara manusia agar mau
membantu seseorang yang mengalami kesulitan. Sebagai contoh seseorang
mengalami musibah, jelas masyarakat lainnya turut merasakan penderitaan
yang dialami rekannya itu dan segera pada saat itu pula mengambil tindakan
untuk membantunya baik berupa materi maupun non materi. Perasaan ini
merupakan suatu pendorong ke arah solidaritas dalam berbagai bentuk
terhadap mereka yang ditimpa kemalangan itu.
Siri’ na pacce merupakan budaya yang telah melembaga dan dipercaya oleh
suku Makassar, maka untuk membahas lebih lanjut tentang falsafat tersebut
perlu ada penelitian dan pengkajian tentang sejarah dan konsep siri’ na pacce
yang ada pada suku Makassar sejak zaman dahulu.
Suku Makassar yang mendiami sebagian wilayah Sulawesi Selatan
merupakan penduduk asli yang sudah memiliki pranata budaya tersendiri,
jauh sebelum resmi lahirnya kerajaan Gowa yang merupakan kerajaan dari
Kawasan Timur Indonesia yang mempunyai pengaruh yang cukup besar.
Kerajaan Gowa dimulai ketika kehadiran Tumanurunga di Takakbassia
Tamalate, berdasarkan atas perjanjian pemerintahan antara Tumanurunga
dengan Sembilan Kasuwiang yang kira-kira terjadi pada tahun 1300 M
(Limpo, 1995: 23).
Berikut ini beberapa istilah tentang siri’ dan maknanya, antara lain:
sirik (siri’) sebagai harga diri atau kehormatan; mappakasiri’, artinya
dinodai kehormatannya; ritaroang sirik (siri’), artinya ditegakkan
kehormatannya; passampo sirik (siri’), artinya penutup malu;
tomasiri’na, artinya keluarga pihak yang dinodai kehormatannya; sirik
(siri’) sebagai perwujudan sikap tegas dami kehormatan tersebut; sirik
(siri’) sebagai pernyataan sikap tidak serakah (mangowa); sirik (siri’)
naranreng, artinya dipertaruhkan demi kehormatan; sirik-sirik (siri’-siri’),
artinya malu-malu; palaloi siriknu (siri’nu), artinya tantang yang
melawan; passirikia, artinya bela kehormatan saya; napakasirikka
(napakasiri’ka), artinya saya dipermalukan; tau tena sirikna (siri’na),
artinya orang tak ada malu, tak ada harga diri (Moein, 1990: 10).
Pada dasarnya siri’ dan pacce merupakan suatu falsafah yang tidak
dapat dipisahkan, karena antara satu dengan yang lainnya mempunyai
keterkaitan makna dan hubungan, sehingga dalam hal pembagian siri’ dan
pacce, keduanya saling berkaitan erat.
2. Sirik (siri’) yang berasal dari pribadi orang itu sendiri (penyebab
di dalam) disebut sirik ma sirik (siri’ ma siri’), maksudnya malu
yang berasal dari dirinya/keluarganya (Moein, 1990: 33).
Jenis siri’ kedua adalah siri’ yang dapat berakibat kriminal. Siri’
seperti ini, misalnya menempeleng seseorang di depan orang banyak,
menghina dengan kata-kata yang tidak enak didengar dan sebagainya.
Tamparan itu dibalas dengan tamparan pula, sehingga dapat terjadi
perkelahian bahkan pembunuhan.
Jenis siri’ ketiga ialah siri’ yang dapat memberikan motivasi untuk
meraih sukses, misalnya bila orang lain mampu berhasil mengapa kita
tidak, sehingga suku Makassar kadang merantau ke daerah mana saja dan
sesampainya di daerah tersebut mereka bekerja keras untuk meraih
kesuksesan, sebab mereka akan malu bila pulang ke kampung halaman
tanpa hasil.
Ada beberapa syair orang Makassar yang sesuai dengan jenis siri’
tersebut, antara lain:
Jenis siri’ yang keempat ialah siri’ yang berarti malu-malu. Siri’
seperti ini sebenarnya dapat berakibat negatif bagi seseorang tapi ada pula
positifnya, misalnya apabila ada seseorang yang diminta untuk tampil ke
depan untuk menjadi protokol, ia merasa siri’-siri’ (malu-malu). Hal ini
dapat berakibat menghalangi bakat seseorang untuk dapat tampil di depan
umum. Sisi positif dari siri’-siri’ ini ialah apabila seseorang disuruh
mencuri, maka ia merasa siri’-siri’ untuk melakukannya, apalagi bila
ketahuan oleh orang.
1. Budaya sipakatau
3. Budaya sipakalebbi
KESIMPULAN
SARAN
1.
Daftar Pustaka