Laporan Pendahuluan Cholelistitis

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 23

1.

DEFINISI
Kolesistitis adalah radang kandung empedu yang merupakan inflamasi
akut dinding kandung empedu disertai nyeri perut kanan atas,nyeri tekan dan
panas badan. Dikenal dua klasifikasi yaitu akut dan kronis (Brooker,2011).
Kolesistitis adalah reaksi inflamasi dinding kandung empedu. Kolesisti
tis adalah radang kandung empedu yang merupakan reaksi inflamasi akut
dinding kandung empedu disertai keluhan nyeri perut kanan atas, nyeri tekan
dan panas badan.Dikenal klasifikasi kolesistitis yaitu kolesistitis akut serta
kronik. (Dr. Suparyanto, M.Kes 2009).
Kolesistitis akut adalah peradangan dari dinding kandung
empedu,biasanya merupakan akibat dari adanya batu empedu di duktus
sistikus,yang secara tiba-tiba menyebabkan serangan nyeri yang luar biasa.
Kolesistitis kronis adalah peradangan menahun dari dinding kandung
empedu,yang ditandai dengan serangan berulang dari nyeri perut yang tajam dan
hebat.
Kolelitiasis adalah adanya batu yang terdapat didalam kandung empedu
atau saluran empedu (duktus koledokus) atau keduanya Batu empedu bisa
terdapat pada kantung empedu, saluran empedu ekstra hepatik, atau saluran
empedu intra hepatik. Bila terletak di dalam kantung empedu saja disebut
kolesistolitiasis, dan yang terletak di dalam saluran empedu ekstra hepatik
(duktus koleduktus) disebut koledokolitiasis, sedang bila terdapat di dalam
saluran empedu intra hepatik disebelah proksimal duktus hepatikus kanan dan
kiri disebut hepatolitiasis. Kolesistolitiasis dan koledokolitiasis disebut dengan
kolelitiasis (Muttaqin dan Sari, 2011).

2. KLASISFIKASI
Berdasarkan komposisi kimiawi dan gambaran mikroskopiknya, batu empedu
dibagi menjadi tiga tipe utama oleh Suzuki dan Sato, yaitu batu kolesterol (batu
kolesterol murni, batu kombinasi, batu campuran), batu pigmen (batu kasium
bilirubinat, batu hitam atau pigmen murni), dan batu empedu yang jarang (batu
kalsium karbonat, dan batu kalsium asam lemak).
Menurut Hadi (2002), batu empedu terbagi menjadi tiga tipe yaitu:
1) Batu Kolesterol
a. Soliter (single cholesterol stone) atau batu kolesterol tunggal
Tipe batu ini mengandung kristal kasar kekuning-kuningan, pada foto rontgen
terlihat intinya. Bentuknya bulat dengan diameter 4 cm, dengan permukaan
licin atau noduler. Batu ini tidak mengandung kalsium sehingga tidak dapat
dilihat pada pemotretan sinar X biasa.
b. Batu kolesterol campuran
Batu ini terbentuk bilamana terjadi infeksi sekunder pada kandung empedu
yaitu mengandung batu empedu kolesterol yang soliter dimana pada
permukaannya terdapat endapan pigmen kalsium.
c. Batu kolesterol ganda
Jenis batu ini jarang ditemui dan bersifat radio transulen.
2) Batu pigmen
Pigmen kalkuli mengandung pigmen empedu dan berbagai macam
kalsium dan matriks dari bahan organik. Batu ini biasanya berganda, kecil,
keras, amorf, bulat, berwarna hitam atau hijau tua. Alasannya ± 10 %
radioopaque.
3) Batu Campuran
Batu ini adalah jenis yang paling banyak dijumpai (± 80 %), dan terdiri
atas kolesterol, pigmen empedu, berbagai garam kalsium dan matriks protein.
Biasanya berganda dan sedikit mengandung kalsium sehingga bersifat
radioopaque.
Menurut Sjamsuhidajat (1997), Batu kolesterol mengandung paling
sedikit 70% kolesterol, dan sisanya adalah kalsium karbonat, kalsium palmitit
dan kalsium bilirubinat. Bentuknya lebih bervariasi dibandingkan bentuk batu
pigmen. Dapat berupa batu soliter atau multiple. Permukaanya mungkin licin
atau multifaset, bulat, berduri, da nada yang seperti buah murbei.
Batu pigmen mengandung kurang dari 25% kolesterol, sering
ditemukan kecil-kecil, dapat berjumlah banyak, warnanya bervariasi antara
coklat, kemerahan, sampai hitam, dan berbentuk seperti lumpur atau tanah
yang rapuh.
3. FAKTOR RESIKO
Faktor risiko utama untuk kolesistitis, memiliki peningkatan prevalensi di
kalangan orang-orang keturunan Skandinavia, Pima India, dan populasi
Hispanik, cholelithiasis sedangkan kurang umum di antara orang dari sub-Sahara
Afrika dan Asia. Beberapa faktor resiko yang lain sebagai berikut:
1. adanya riwayat kolesistitis akut sebelumnya
2. Wanita (beresiko dua jadi lebih besar dibanding laki-laki)
3. Usia lebih dari 40 tahun .
4. Kegemukan (obesitas).
5. Faktor keturunan
6. Aktivitas fisik
7. Kehamilan (resiko meningkat pada kehamilan)
8. Hiperlipidemia
9. Diet tinggi lemak dan rendah serat
10. Pengosongan lambung yang memanjang
11. Nutrisi intravena jangka lama
12. Dismotilitas kandung empedu
13. Obat-obatan antihiperlipedmia (clofibrate)
14. Penyakit lain (seperti Fibrosis sistik, Diabetes mellitus, sirosis hati,
pankreatitis dan kanker kandung empedu) dan penyakit ileus (kekurangan
garam empedu)

4. ETIOLOGI
Etiologi batu empedu masih belum diketahui secara pasti. Kolelitiasis dapat
terjadi dengan atau tanpa faktor resiko dibawah ini. Namun, semakin banyak
faktor resiko yang dimiliki seseorang, semakin besar kemungkinan untuk
terjadinya kolelitiasis. Faktor resiko tersebut antara lain:
1) Jenis Kelamin
Wanita mempunyai resiko 2-3 kali lipat untuk terkena kolelitiasis
dibandingkan dengan pria. Ini dikarenakan oleh hormon esterogen
berpengaruh terhadap peningkatan eskresi kolesterol oleh kandung empedu.
Kehamilan, yang menigkatkan kadar esterogen juga meningkatkan resiko
terkena kolelitiasis. Penggunaan pil kontrasepsi dan terapi hormon
(esterogen) dapat meningkatkan kolesterol dalam kandung empedu dan
penurunan aktivitas pengosongan kandung empedu.
2) Usia
Resiko untuk terkena kolelitiasis meningkat sejalan dengan
bertambahnya usia. Orang dengan usia > 60 tahun lebih cenderung untuk
terkena kolelitiasis dibandingkan dengan orang degan usia yang lebih muda.
3) Obesitas
Kondisi obesitas akan meningkatkan metabolism umum, resistensi
insulin, diabetes militus tipe II, hipertensi dan hyperlipidemia berhubungan
dengan peningkatan sekresi kolesterol hepatica dan merupakan faktor resiko
utama untuk pengembangan batu empedu kolesterol.
4) Statis Bilier
Kondisi statis bilier menyebabkan peningkatan risiko batu empedu.
Kondisi yang bisa meningkatkan kondisi statis, seperti cedera tulang belakan
(medulla spinalis), puasa berkepanjangan, atau pemberian diet nutrisi total
parenteral (TPN), dan penurunan berat badan yang berhubungan dengan
kalori dan pembatasan lemak (misalnya: diet rendah lemak, operasi bypass
lambung).
5) Obat-obatan
Estrogen yang diberikan untuk kontrasepsi atau untuk pengobatan kanker
prostat meningkatkan risiko batu empedu kolesterol. Clofibrate dan obat
fibrat hipolipidemik meningkatkan pengeluaran kolesterol hepatic melalui
sekresi bilier dan tampaknya meningkatkan resiko batu empedu kolesterol.
Analog somatostatin muncul sebagai faktor predisposisi untuk batu empedu
dengan mengurangi pengosongan kantung empedu.
6) Diet
Duet rendah serat akan meningkatkan asam empedu sekunder (seperti
asam desoksikolat) dalam empedu dan membuat empedu lebih litogenik.
Karbohidrat dalam bentuk murni meningkatkan saturasi kolesterol empedu.
Diet tinggi kolesterol meningkatkan kolesterol empedu.
7) Keturunan
Sekitar 25% dari batu empedu kolesterol, faktor predisposisi tampaknya
adalah turun temurun, seperti yang dinilai dari penelitian terhadap kembar
identik fraternal.
8) Infeksi Bilier
Infeksi bakteri dalam saluran empedu dapat memgang peranan sebagian
pada pembentukan batu dengan meningkatkan deskuamasi seluler dan
pembentukan mucus. Mukus meningkatkan viskositas dan unsur seluler
sebagai pusat presipitasi.
9) Gangguan Intestinal
Pasien pasca reseksi usus dan penyakit crohn memiliki risiko penurunan
atau kehilangan garam empedu dari intestinal. Garam empedu merupakan
agen pengikat kolesterol, penurunan garam pempedu jelas akan
meningkatkan konsentrasi kolesterol dan meningkatkan resiko batu empedu.
10) Aktifitas fisik
Kurangnya aktifitas fisik berhungan dengan peningkatan resiko terjadinya
kolelitiasis. Ini mungkin disebabkan oleh kandung empedu lebih sedikit
berkontraksi.
11) Nutrisi intravena jangka lama
Nutrisi intravena jangka lama mengakibatkan kandung empedu tidak
terstimulasi untuk berkontraksi, karena tidak ada makanan/ nutrisi yang
melewati intestinal. Sehingga resiko untuk terbentuknya batu menjadi
meningkat dalam kandung empedu.
5. MANIFESTASI KLINIS
Gejalanya bersifat akut dan kronis, Gangguan epigastrium : rasa penuh,
distensi abdomen, nyeri samar pada perut kanan atas, terutama setelah klien
konsumsi makanan berlemak / yang digoreng.

Tanda dan gejalanya adalah sebagai berikut :


1) Nyeri dan kolik bilier, jika duktus sistikus tersumbat oleh batu
empedu, kandung empedu akan mengalami distensi dan akhirnya
infeksi.
2) Pasien akan menderita panas,
3) teraba massa padat pada abdomen, pasien dapat mengalami kolik
bilier disertai nyeri hebat pada abdomen kanan atas yang menjalar
kepunggung atau bahu kanan ,
4) rasa nyeri disertai mual dan muntah, dan akan bertambah hebat dalam
waktu beberapa jam sesudah makan dalam porsi besar.
5) Pasien akan gelisah dan membalik-balikkan badan, merasa tidak
nyaman, nyerinya bukan kolik tetapi persisten. Seorang kolik bilier
semacam ini disebabkan oleh kontraksi kandung empedu yang tidak
dapat mengalirkan empedu keluar akibat tersumbatnya saluran oleh
batu.
6) Adanya nyeri tekan yang mencolok pada kuadran kanan atas ketika
inspirasi dalam.
7) Ikterus. Biasanya terjadi obstruksi duktus koledokus. Obstruksi
pengaliran getah empedu keduodenum akan menimbulkan gejala yang
khas : getah empedu tidak dibawa keduodenum tetapi diserap oleh
darah sehingga kulit dan mukosa membran berwarna kuning, disertai
gatal pada kulit.
8) Perubahan warna urine tampak gelap dan feses warna abu-abu serta
pekat karena ekskresi pigmen empedu oleh ginjal.
9) Terjadi defisiensi vitamin ADEK. Defisiensi vitamin K dapat
mengganggu pembekuan darah yang normal. Jika batu empedu terus
menyumbat saluran tersebut akan mengakibatkan abses, nekrosis dan
perforasi disertai peritonitis generalisata
6. PATOFISIOLOGI
Pembentukan batu kolesterol merupakan proses yang terdiri atas 4 defek
utama yang dapat terjadi secara berurutan atau bersamaan:
a) Supersaturasi kolesterol empedu
b) Hipomotilitas kantung empedu
c) Peningkatan aktivitas nukleasi kolesterol
d) Hipersekresi mukus di kantung empedu
1) Supersaturasi kolesterol empedu
Kolesterol merupakan komponen utama dalam batu kolesterol. Pada
metabolisme kolesterol yang normal, kolesterol yang disekresi ke dalam
empedu akan terlarut oleh komponen empedu yang memiliki aktivitas
detergenik seperti garam empedu dan fosfolipid (khususnya lesitin).
Konformasi kolesterol dalam empedu dapat berbentuk misel, vesikel,
campuran misel dan vesikel atau kristal. Umumnya pada keadaan normal
dengan saturasi kolesterol yang rendah, kolesterol wujud dalam bentuk misel
yaitu agregasi lipid dengan komponen berpolar lipid seperti senyawa fosfat
dan hidroksil terarah keluar dari inti misel dan tersusun berbatasan dengan
fase berair sementara komponen rantaian hidrofobik bertumpuk di bagian
dalam misel.

Semakin meningkat saturasi kolesterol, maka bentuk komposisi kolesterol


yang akan ditemukan terdiri atas campuran dua fase yaitu misel dan vesikel.
Vesikel kolesterol dianggarkan sekitar 10 kali lipat lebih besar daripada misel
dan memiliki fosfolipid dwilapisan tanpa mengandung garam empedu. Seperti
misel, komponen berpolar vesikel turut diatur mengarah ke luar vesikel dan
berbatasan dengan fase berair ekstenal sementara rantaian hidrokarbon yang
hidrofobik membentuk bagian dalam dari lipid dwilapis. Diduga <30%
kolesterol bilier diangkut dalam bentuk misel, yang mana selebihnya berada
dalam bentuk vesikel. Umumnya, konformasi vesikel berpredisposisi terhadap
pembentukan batu empedu karena lebih cenderung untuk beragregasi dan
bernukleasi untuk membentuk konformasi kristal.. Empedu yang
tersupersaturasi dengan kolesterol akan berwujud lebih dari satu fase yaitu
dapat dalam bentuk campuran fase misel, vesikel maupun kristal dan
cenderung mengalami presipitasi membentuk kristal yang selanjutnya akan
berkembang menjadi batu empedu.
Pada keadaan supersaturasi, molekul kolesterol cenderung berada dalam
bentuk vesikel unilamelar yang secara perlahan-lahan akan mengalami fusi
dan agregasi hingga membentuk vesikel multilamelar (kristal cairan) yang
bersifat metastabil. Agregasi dan fusi yang berlanjutan akan menghasilkan
kristal kolesterol monohidrat menerusi proses nukleasi. Teori terbaru pada
saat ini mengusulkan bahwa keseimbangan fase fisikokimia pada fase vesikel
merupakan faktor utama yang menentukan kecenderungan kristal cairan untuk
membentuk batu empedu.

2) Hipomotilitas kantung empedu


Motilitas kantung empedu normal merupakan satu proses fisiologik yang
mencegah litogenesis dengan memastikan evakuasi empedu secara berterusan
dari kantung empedu ke dalam usus sebelum terjadinya proses litogenik.
Hipomotilitas kantung empedu memperlambat evakuasi empedu ke dalam usus
menerusi duktus empedu secara optimal dan ini menfasilitasi pembentukan
kristal kolesterol halus yang cenderung bernukleasi dan berkembang menjadi
batu empedu. Perlambatan evakuasi kantung empedu membolehkan absorpsi air
dari empedu oleh dinding mukosa secara melampau hingga terjadi peningkatan
konsentrasi empedu dan ini mempergiat proses litogenesis empedu.
Hipomotilitas kantung empedu dapat terjadi akibat:
a) Kelainan intrinsik dinding muskuler yang meliputi: Perubahan tingkat
hormon seperti menurunnya kolesistokinin (CCK), meningkatnya
somatostatin dan estrogen. Perubahan kontrol neural (tonus vagus).
b) Kontraksi sfingter melampau hingga menghambat evakuasi empedu normal.
Patofisiologi yang mendasari fenomena hipomotilitas kantung empedu pada
batu empedu masih belum dapat dipastikan. Namun begitu, diduga hipomotilitas
kantung empedu merupakan akibat efek toksik kolesterol berlebihan yang
menumpuk di sel otot polos dinding kantung yang menganggu transduksi sinyal
yang dimediasi oleh protein G. Kesannya, terjadi pengerasan membran
sarkolema sel otot tersebut. Secara klinis, penderita batu empedu dengan defek
pada motilitas kantung empedu cenderung bermanifestasi sebagai gangguan pola
makan terutamanya penurunan selera makan serta sering ditemukan volume
residual kantung empedu yang lebih besar.
Selain itu, hipomotilitas kantung empedu dapat menyebabkan stasis kantung
empedu. Stasis merupakan faktor resiko pembentukan batu empedu karena gel
musn akan terakumulasi sesuai dengan perpanjangan waktu penyimpanan
empedu. Stasis menyebabkan gangguan aliran empedu ke dalam usus dan ini
berlanjut dengan gangguan pada sirkulasi enterohepatik. Akibatnya, output
garam empedu dan fosfolipid berkurang dan ini memudahkan kejadian
supersaturasi.
Stasis yang berlangsung lama menginduksi pembentukan lumpur bilier (biliary
sludge) terutamanya pada penderita dengan kecederaan medula spinalis,
pemberian TPN untuk periode lama, terapi oktreotida yang lama, kehamilan dan
pada keadaan penurunan berat badan mendadak. Lumpur bilier yang turut
dikenal dengan nama mikrolitiasis atau pseudolitiasis ini terjadi akibat presipitasi
empedu yang terdiri atas kristal kolesterol monohidrat, granul kalsium bilirubinat
dan mukus. Patofisiologi lumpur bilier persis proses yang mendasari
pembentukan batu empedu. Kristal kolesterol dalam lumpur bilier akan
mengalami aglomerasi berterusan untuk membentuk batu makroskopik hingga
dikatakan lumpur bilier merupakan prekursor dalam litogenesis batu empedu.
3) Peningkatan aktivitas nukleasi kolesterol
Empedu yang supersaturasi dengan kolesterol cenderung untuk mengalami
proses nukleasi. Nukleasi merupakan proses kondensasi atau agregasi yang
menghasilkan kristal kolesterol monohidrat mikroskopik atau partikel kolesterol
amorfus daripada empedu supersaturasi.
Nukleasi kolesterol merupakan proses yang dipengaruhi oleh keseimbangan
unsur antinukleasi dan pronukleasi yang merupakan senyawa protein tertentu
yang dikandung oleh empedu. Penelitian in vitro model empedu mendapatkan
bahwa faktor pronukleasi berinteraksi dengan vesikel kolesterol sementara faktor
antinukleasi berinteraksi dengan kristal solid kolesterol. Antara faktor
pronukleasi yang paling penting termasuk glikoprotein musin, yaitu satu-satunya
komponen empedu yang terbukti menginduksi pembentukan batu pada keadaan
in vivo. Inti dari glikoprotein musin terdiri atas daerah hidrofobik yang mampu
mengikat kolesterol, fosfolipid dan bilirubin. Pengikatan vesikel yang kaya
dengan kolesterol kepada regio hidrofilik glikoprotein musin ini diduga memacu
proses nukleasi.
Faktor pronukleasi lain yang berhasil diisolasi daripada model sistem
empedu termasuk imunoglobulin (IgG dan M), aminopeptidase N, haptoglobin
dan glikoprotein asam. Penelitian terbaru menganjurkan peran infeksi intestinal
distal oleh spesies Helicobacter (kecuali H. pylori) menfasilitasi nukleasi
kolesterol empedu. Proses nukleasi turut dapat diinduksi oleh adanya
mikropresipitat garam kalsium inorganik maupun organik.2 Faktor antinukleasi
termasuk protein seperti imunoglobulin A (IgA), apoA-I dan apoA –II.
Mekanisme fisiologik yang mendasari efek untuk sebagian besar daripada faktor-
faktor ini masih belum dapat dipastikan.
Nukleasi yang berlangsung lama selanjutnya akan menyebabkan terjadinya
proses kristalisasi yang menghasilkan kristal kolesterol monohidrat. Waktu
nukleasi pada empedu penderita batu empedu telah terbukti lebih pendek
dibanding empedu kontrol pada orang normal. Waktu nukleasi yang pendek
mempergiat kristalisasi kolesterol dan menfasilitasi proses litogenesis empedu.
4) Hipersekresi mukus di kantung empedu
Hipersekresi mukus kantung empedu dikatakan merupakan kejadian
prekursor yang universal pada beberapa penelitian menggunakan model empedu
hewan. Mukus yang eksesif menfasilitasi pembentukan konkresi kolesterol
makroskopik karena mukus dalam kuantitas melampau ini berperan dalam
memerangkap kristal kolesterol dengan memperpanjang waktu evakuasi empedu
dari kantung empedu. Komponen glikoprotein musin dalam mukus ditunjuk
sebagai faktor utama yang bertindak sebagai agen perekat yang menfasilitasi
aglomerasi kristal dalam patofisiologi batu empedu. Saat ini, stimulus yang
menyebabkan hipersekresi mukus belum dapat dipastikan namun prostaglandin
diduga mempunyai peran penting dalam hal ini.
7. PATWAY
8. KOMPLIKASI
Kolesistokinin yang disekresi oleh duodenum karena adanya makanan
mengakibatkan/menghasilkan kontraksi kandung empedu, sehingga batu yang
tadi ada dalam kandung empedu terdorong dna dapat menutupi duktus sistikus,
batu dapat menetap ataupun terlepas lagi. Apabila batu menutupi duktus sistikus
secara menetap makan mungkin dapat terjadi mukokel, bila terjadi infeksi maka
mukokel dapat menjadi suatu empiema, biasanya kandung empedu dikelilingi
dan ditutupi oleh alat-alat perut (kolon, omentum), dan dapat juga membentuk
suatu fistel kolesitoduodenal. Penyumbatan duktus sistikus dapat juga berakibat
terjadinya kolesistitis akut yang dapat sembuh atau dapat mengakibatkan
nekrosis sebagian dinding (dapat ditutupi alat sekitarnya) dan dapat membentuk
suatu fistel kolesitoduodenal ataupun dapat terjadi perforasi kandung empedu
yang berakibat terjadi peritonitis generalisata.
Batu kandung empedu dapat maju masuk ke dalam duktus sistikus pada
saat kontraksi dari kandung empedu. Batu ini dapat terus maju sampai duktus
koledokus kemudian menetap asimtomatis atau kadang dapat menyebabkan
kolik. Batu yang menyumbat di duktus koledokus juga berakibat terjadinya
ikterus obstruktif, kolangitis, kolangiolitis, dan pankretitis.
Batu kandung empedu dapat lolos ke dalam saluran cerna melalui
terbentuknya fistel kolesitoduodenal. Apabila batu empedu cukup besar dapat
menyumbat pada bagian tersempit saluran cerna (ileum terminal) dan
menimbulkan ileus obstruksi. Berikut beberapa penjelasan tentang komplikasi
kolelitiasis:
1. Hidrops
Hidrops biasanya disebabkan oleh stenosis atau obstruksi duktus sistikus
sehingga tidak dapat diisi lagi oleh empedu. Dalam keadaan ini tidak terdapat
peradangan akut dan sindrom yang berkaitan dengannya, tetapi ada bukti
peradangan kronis dengan adanya mukosa gundul. Kandung empedu
berdinding tebal dan terdistensi oleh materi steril mukoid. Sebagian besar
pasien mengeluh efek massa dalam kuadran kanan atas. Hidrops kandung
empedu dapat menyebabkan kolesistisi akut.
2. Kolesistitis akut
Hampir semua kolesistisi akut terjadi akibat sumbatan duktus sistikus
oleh batu yang terjebak dalam kantung empedu. Trauma mukosa kantung
empedu oleh batu dapat menyebabkan pelepasan fosfolipase yang mengubah
lesitin dalam empedu menjadi lisolesitin yang bersifat toksik yang memperberat
proses peradangan. Pada awal penyakit, peran bakteri sangat sedikit, tetapi
kemudian dapat terjadi supurasi. Komplikasi kolesistisis akut adalah empiema,
nekrosis, dan perforasi.
1) Empiema
Empiema adalah lanjutan dari kolisistisis akut. Pada empiema atau kolesistisis
supuratif, kandung empedu berisi nanah. Penderita menjadi semakin toksik,
demam tinggi, menggigil dan leukositosis.
2) Nekrosis dan Perforasi
Kolesistisis akut bisa berlanjut ke nekrosis dinding kantung empedu dan
perforasi. Batu empedu yang tertahan bias menggoresi dinding nekrotik, sinus
Roktiansky-Aschoff terinfeksi yang berdilatasi bias memberika titik lemah bagi
ruptura. Biasanya rupture terjadi pada fundus, yang merupakan bagian vesica
biliaris yang paling kurang baik vaskularisasinya. Ruptur ke dalam cavitas
peritonialis bebas jarang terjadi dan lebih bias memungkinkan terjadinya
perlekatan dengan organ-organ yang berdekatan dengan pembentukan abses
local. Ruptura ke dalam organ berdekatan menyebabkan fistula saluran empedu.
3) Pritonitis
Ruptura bebas empedu ke dalam cvitas peritonialis menyebabkan syok parah.
Karena efek iritan garam empedu, peritoneum mengalami peradangan.
3. Kolesistitis kronis
1) Fistel bilioentrik
Apabila kandung empedu yang mengandung batu besar menempel pada dinding
organ di dekatnya seperti lambung, duodenum, atau kolon transversum, dapat
terjadi nekrosis dinding kedua organ tersebut karena tekanan, sehingga terjadi
perforasi ke dalam lumen saluran cerna. Selanjutnya terjadi fitsel antara
kandung empedu dan organ-organ tersebut.
4. Kolangitis
Kolangitis dapat berkembang bila ada obstruksi duktus biliaris dan
infeksi. Penyebab utama dari infeksi ini adalah organisme gram negatif, dengan
54% disebebkan oleh sepsis Klebesiella, dan 39% oleh Escherchia, serta 25%
oleh organisme Enterokokal dan Bacteroides. Empedu yang terkena infeksi akan
berwarna coklat tua dan gelap. Duktus koledokus menebal dan terjadi dilatasi
dengan diskuamasi atau mukosa yang ulseratif, terutama di daearah ampula vetri.
5. Pankreatitis
Radang pankreas akibat autodigesti oleh enzim yang keluar dari saluran
pankreas. Ini disebebkan karena batu yang berada di dalam duktus koledokus
bergerak menutupi ampula vetri.
9. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1) Pemeriksaan Laboratorium
Batu kandung empedu yang asimtomatis umumnya tidak menunjukkan kelainan
pada pemeriksaan laboratorium. Apabila terjadi peradangan akut, dapat terjadi
leukositosis. Apabila terjadi sindroma mirizzi, akan ditemukan kenaikan ringan
bilirubin serum akibat penekanan duktus koledukus oleh batu. Kadar bilirubin
serum yang tinggi mungkin disebabkan oleh batu didalam duktus koledukus.
Kadar fosfatase alkali serum dan mungkin juga kadar amilase serum biasanya
meningkat sedang setiap kali terjadi serangan akut. Enzim hati AST (SGOT),
ALT (SGPT), LDH agak meningkat. Kadar protrombin menurun bila obstruksi
aliran empedu dalam usus menurunkan absorbs vitamin K.
2) Pemeriksaan sinar-X abdomen
Pemeriksaan sinar-X abdomen bisa dilakukan jika ada kecurigaan akan
penyakit kandung empedu dan untuk menyingkirkan penyebab gejala yang lain.
Namun demikian, hanya 15-20% batu empedu yang mengalami cukup kalsifikasi
untuk dapat tampak melalui pemeriksaan sinar-X.
3) Foto polos abdomen
Foto polos abdomen biasanya tidak memberikan gambaran yang khas karena
hanya sekitar 10-15% batu kandung empedu yang bersifat radioopak. Kadang
kandung empedu yang mengandung cairan empedu berkadar kalsium tinggi
dapat dilihat dengan foto polos.
4) Ultrasonografi (USG)
Pemeriksaan USG telah menggantikan kolesistografi oral sebagai prosedur
diagnostik pilihan karena pemeriksaan ini dapat dilakukan dengan cepat dan
akurat, dan dapat digunakan pada prndrita disfungsi hati dan icterus. Disamping
itu, pemerikasaan USG tidak membuat pasien terpajan radiasi ionisasi. Prosedur
ini akan memberikan hasil paling akurat jika pasien sudah berpuasa pada malam
harinya sehingga kandung empedunya dalam keadaan distensi. Penggunaan ultra
sound berdasarkan pada gelombang suara yang dipantulkan kembali.
5) Kolesistografi
Meskipun sudah digantikan dengan USG sebagai pilihan utama, namun
untuk penderita tertentu, kolesistografi dengan kontras cukup baik karena relatif
murah, sederhana, dan cukup akurat untuk melihat batu radiolusen sehingga
dapat dihitung jumlah dan ukuran batu. Kolesistografi oral dapat digunakan
untuk mendeteksi batu empedu dan mengkaji kemempuan kandung empedu
untuk melakukan pengisian, memekatkan isinya, berkontraksi, serta
mengosongkan isinya. Media kontras yang mengandung iodium yang
diekresikan oleh hati dan dipekatkan dalam kandung empedu diberikan kepada
pasien. Kandung empedu yang normal akan terisi oleh bahan radiopaque ini.
Jika terdapat batu empedu, bayangannya akan Nampak pada foto rontgen.
6) Endoscopic Retrograde Cholangiopnacreatography (ERCP)
Pemeriksaan ERCP memungkinkan visualisasi struktur secara langsung yang
hanya dapat dilihat pada saat melakukan laparotomi. Pemeriksaan ini meliputi
insersi endoskop serat-optik yang fleksibel ke dalam esophagus hingga
mencapai duodenum pasrs desenden.Sebuah kanula dimasukkan ke dalam
duktus koledokus dan duktus pankreatikus, kemudian bahan kontras
disuntikkan ke dalam duktus tersebut untuk memungkinkan visualisasi serta
evaluasi percabangan bilier. ERCP juga memungkinkan visualisasi langsung
struktur ini dan memudahkan akses ke dalam duktus koledokus bagian distal
untuk mengambil batu empedu.
7) Percutaneous Transhepatic Cholangiography (PTC)
Pemeriksaan kolangiografi ini meliputi penyuntikan bahan kontras secara
langsung ke dalam percabangan bilier. Karena konsentrasi bahan kontras yang
disuntikkan relative besar, maka semua komponen dalam system bilier tersebut,
yang mencakup duktus hepatikus dalam hati, keseluruhan panjang doktus
koledokus, duktus sistikus dan kandung empedu, dapat dilihat garis bentuknya
dengan jelas.
8) Computed Tomografi (CT)
CT scan juga merupakan metode pemeriksaan yang akurat untuk menentukan
adanya batu empedu, pelebaran saluran empedu dan koledokolitiasis. Walaupun
demikian, teknik ini jauh lebih mahal dibanding US.
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

1. PENGKAJIAN
Pengkajian dalam hal ini terdapat beberapa pengkajian yang harus di isi
seperti identitas, pasien tanggal masuk, penangguang jawab pasien, semua itu
harus di isi dengan benar.
2. RIWAYAT KESEHATAN
Riwayat kesehatan merupakan bagian dari salah satu pengkajian dalam hal ini
pasien dikaji seperti keluahan utama, riwayat penyakit sekarang, riwayat
kesehatan terdahulu, riwayat kesehatan keluarga serta persepsi keluarga
terhadap penyakit dan genogram. Pasien terdahulu pernah mengalami
penyakit jantung bengkak
3. POLA FUNGSI KESEHATAN
Pasien tidak ada alergi obat atau makanan.
4. PERSEPSI DAN PEMELIHARAAN KESEHATAN
Dalam hal ini meliputi harapan dirawat di rumah sakit, penegetahuan tentang
penyakit, penegtahuan tentang keamanan, dan keselamatan.
5. NUTRISI DAN METABOLIK
Anoreksia, mual/muntah, Tidak toleran terhadap lemak dan makanan
“pembuat gas”; regurgitas berulang, nyeri epigastrium, tidak dapat makan,
flatus, dyspepsia. Kegemukan, adanya penurunan berat badan.
6. AKTIVITAS DAN LATIHAN
Disini terdapat kemampuan perawatan diri pasien seperti makan, minum,
mandi, toileting, berpakaian, berpindah, mobilitas, di tempat tidur, dan alat
bantu.
7. TIDUR DAN ISTIRAHAT
Dalam hal ini terdapat kebiasaan tidur pasien, lama tidur pasien, dan masalah
tidur pasien
8. ELIMINASI
Urine pekat dan berwarna gelap, akibat dari pigmen empedu, Feses berwarna
kelabu “clay colored” akibat obstruksi duktus biliaris sehingga pigmen
empedu tidak dibuang melalui feses
9. POLA PERSEPSI DIRI
Terdapat hargadiri pasien, identitas diri pasien, ideal diri pasien, penampilan
koping.
10. SISTEM PERAN
Hal ini terdapat peran pasien saat ini, penampilan pasien, system pendukung,
interaksi dengan orang lain.
11. SEKSUAL DAN REPRODUKSI
Hal ini terdapat frekuensi hubungan seksual pasien, hambatan hubungan
seksual, periode mestruasi.
12. KOGNITIF PERSEPTUAL
Hal ini terdapat keadaan mental, berbicara, kemapuan memahami, ancietas,
pendengaran, penglihatan, nyeri.
13. NILAI DAN KEYAKINAN
Hal ini terdapat agama dan nilai keyakianan yang dianut oleh pasien.
14. PENGKAJIAN FISIK PASIEN
1) Vital sign: tekanan darah, suhu, nadi, respirasi
2) Pemerkasaan fisik
a) Kepala: warna rambut, kualiatas rambut, kulit kepala,bentuk
kepala.
b) Mata: konjungtiva, seclera, kesimetrisan, pengeluaran cairan.
c) Telinga: bentuk telinga, kesimetrisan, pengeluaran cairan
d) Hidung dan sinus: pengeluaran cairan, bentuk hidung, warna.
e) Mulut dan tenggorokan: bentuk bibir, mukosa, gigi, lidah,
palatum, faring.
f) Leher: bentuk, warna, posisi trakea, pemeriksaan tiroid, JVP.
Trdapat luka dibagian leher kanan dan luka bekas tusukan
infus.
g) Thorak: bentuk dada, frekuensi nafas, kedalaman nafas, jenis
pernafasan, retraksi dada, irama nafas, ekspansi paru, vocal
vermitus, nyeri, batas paru,
h) Jantung: ictus cordis, nyeri, batas jantung, suara tambahan.
i) Abdomen: pasien nyeri di bagian perut kanan atas
j) Genetalia: kondisi meatus, kelinan sukrotum, odem vulva.
k) Ektermitas: ektermitas pasien normal dan dapat berfungsi
semua
15. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang dilakukan setelah pemeriksaan fisik pada penderita,
specimen yang diperoleh dari pasien akan mengalami berbagai macam
pemeriksaan mikroskopik, biokimia, mikrobiologi, mauapun imuno fluo
resensi
16. TERAPI MEDIK
Terapi yang dilakukan guna mengembalikan fungsi tubuh yang mengalami
masalah, biasanya bagi seseorang yang telah menjalankan pengobatan atau
operasi
17. ANALISA DATA
Mengelompokan data-data pasien atau keadaan tertentu pasien dimana pasien
mengalami permasalahan kesehatan atau keperawatan berdasarkan kkriteria
permasalahan.
18. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1) Disfungsi motilitas gastrointestinal b.d intoleransi makanan
2) Nyeri akut b.d agen cedera biologis ( peradangan pada empedu)
3) Kekurangan volume cairan b.d kehilangan cairan aktif
19. RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN
NO DIAGNOASA NOC NIC
KEPERAWATAN
1 Disfungsi motilitas Fungsi gastrointestinal Penahapan diet
gastrointestinal b.d Setalah dilakukan 1) Mnitor kesadaran
intoleransi makanan pengakjian selama 3x24 pasien dan adanya
jam didapatkan hasil ; reflek menelan
1) Nafsu makan (4) sesuai kebutuhan
2) Toleransi 2) Tingkatkan diet
terhadap makanan dari cairan jernih,
(4) lembut sampai
3) Serum albumin denngan diet
(4) regular atau khusus
4) Hematrokrit (4) 3) Berikan nutrisi per
oral sesuai
kebutuhan
4) Edukasi pasien dan
keluarga tentang
diet yang dijalani
oleh pasien.
5) Kolaborasi dengan
tim medis lain
dalam pemebrian
obat dan
meningkatkan diet
secepat mungkin
bila tidak ada
komplikasi
2 Nyeri akut b.d agen Kontrol nyeri Manajeman nyeri
cedera biologis ( Setalah dilakukan 1. Monitor mengenai
peradangan pada pengakjian selama 3x24 ketidaknyamanan
empedu) jam didapatkan hasil ; pada pasien yang
1) Mengenali kapan di tunjukan secara
yeri terjadi (4) verbal dan
2) Megambarkan nonverbal
waktu penyebab 2. Ajarkan teknik no
(4) farmakologi untuk
3) Meggunakan menguragi nyeri
tindakan 3. Dukung tidur /
pegurangan nyeri istirahat yang
tanpa analgesic adekuat untuk
(4) membantu
4) Melaporkan nyeri penurunan nyeri
yang terkontrol 4. Edukasi pasien dan
(4) keluarga
meneganai nyeri
seperti penyebab
nyeri, berapa lama
nyeri diraskan dan
antisipasi dari
ketidaknyamanan
akibat procedure.
5. Kolaborasi dengan
tim medis dalam
pembarian
analgesik dalam
mengurangi nyeri.
3 Kekurangan volume Keseimbangan cairan Manajemen cairan
cairan b.d kehilangan pengakjian selama 3x24 1. monitor hasil
cairan aktif jam didapatkan hasil ; laboratorium yang
1) Keseimbangan relevan dengan
intake dan output retensi cairan
dalam 24 jam (4) (hemtokrit)
2) Berat badan stabil 2. jaga intake/ asupan
(5) yang akurat dan
3) Serum elektrolit catat output
(4) 3. medistribusikan
4) Hematocrit (4) asupan cairan
selama 24 jam
4. Edukasi pasien dan
keluarga dalam
pemberian makan
yang baik
5. Kolaborasi dengan
tim medis lain
untuk pemebrian
obat melalui IV
dan pemasagan
infus dan mencatat
kondisi pasien
apakan membaik
atau memburuk.

20. IMPLEMENTASI
Pelaksanaan rencama keperawatan oleh perawat dan pasien (Riyadi, 2010)

21. EVALUASI
Kegiatan yang harus terus menerus dilakukan untuk menentukan apakah
rencana keperatan efektif dan bagaimana rencana keperawatan dilanjutkan,
merevisi rencana, atau menghentikan rencana keperawatan (Manunung, 2011)
S: berisi data dari pasien melalui anamnesis yang merupakan ungkapan
langsung.
O: berisi data dari observasi melalui pemeriksaan fisik
A: analisis dan interpretasi berdarkan data yang terkumpul dibuat kesimpulan
yang meliputi diagnosis, antisipasi diagnosis atau masalah potensial, serta
perlu dilakukan tindakan selanjutnya
P: perencanaan merupakan rencana dari tindakan yang akan diberikan
termasuk asuhan mandiri, kolaborasi, diagnosis, atau laboratorium, serta
konseling untuk tindak lanjut.
DAFTAR PUSTAKA

Cahyono, Suharjo B. 2009. Batu Empedu. Yogyakarta: Kanisus


Hadi, Sujono. 2002. Gastroenterologi. Bandung: Alumni
Herdman, T.Heather. 2010. NANDA Internasional Diagnosis Keperawatan : Definisi
dan Klasifikasi 2009-2011. Jakarta : EGC
Kurnia, Nila Ramdani. “Kolelitiasis” (Online)
http://bedahmataram.org/index.php?option=com_content&view=article&id=104:kole
litiasis-ur&catid=43:regfrat-urologi&Itemid=81. (Diakses 22 November 2012;
18.00).
Muttaqin, Arif dan Sari, Kumala. 2011. Gangguan Gastrointestinal: Aplikasi Asuhan
Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: Salemba Medika
Sanjaya, Arif. “Patofisiologi Pembentukan Batu Empedu” (Online)
http://penyuluhan-kesehatan.blogspot.com/2011/12/patofisiologi-pembentukan-batu-
empedu.html (Diakses 23 November 201; 10.30)
Schwartz, Seymour I. 2000. Intisari Prinsip-prinsip Ilmu Bedah. Jakarta: EGC
Sherlock, Sheila. 1990. Penyakit Hati dan Sistem Saluran Empedu. Jakarta: Widya
Medika.
Smeltzer, Suzanne C. 2001. Keperawatan Medikal-Bedah: Buku Saku dari Brunner
& Suddarth. Jakarta : EGC
Sulaiman, Ali dkk. 1990. Gastroenterologi Hepatologi. Jakarta : CV.Sagung Seto
Suratun dan Lusianah. 2010. Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem
Gastrointestinal. Jakarta: Trans Info Medi

Anda mungkin juga menyukai