Balai Pustaka
Balai Pustaka
Balai Pustaka
Muzzamilah
PENDAHULUAN
Dalam makalah ini, sastra Indonesia berarti sastra berbahasa Indonesia yang sudah berkembang sejak
awal abad ke-20 sebagaimana tampak pada penerbitan pers (surat kabar, majalah) baik dari usaha
kalangan swasta maupun pemerintahan Kolonial Belanda. Dan selanjutnya berkembang marak bersama
sastra daerah (Melayu, Sunda, Jawa, Bali, dan lain-lain).
Dimana tradisi Indonesia pada tahun 1920-an erat hubungannya dengan penerbit Balai Pustaka yang
merupakan hasil kebijakan politik pemerintahan kolonial Belanda di bidang pengajaran. Dan
perkembangan sastra itu pastilah tidak dapat dilepaskan dari faktor-faktor politik, ekonomi, dan sosial.
Sedangkan novel atau roman Indonesia sudah dimulai pada tahun 1920-an dengan terbitnya Azab dan
Sengsara karangan Merari Siregar. Inilah karya pertama yang diterbitkan oleh Balai Pustaka. Dan
masalah-masalah yang bermunculan dalam setiap masa itu tertumpu pada peristiwa-peristiwa historis
yang sudah dikenal atau populer di kalangan publik sastra Indonesia, seperti Pergerakan Nasional, Balai
Pustaka, Pujangga Baru dan sebagainya.
Dalam sejarahnya awal mula Balai Pustaka terbentuk ketika pemerintahan Kolonial Belanda mendirikan
komisi untuk bacaan sekolah pribumi dan bacaan rakyat, pada 14 September 1908 melalui keputusan
Gubernemen dengan nama awal yaitu Commissie voor de inlandsche school en volkslectuur diketuai
oleh Dr. G.A.J. Hazeu. Dan Balai Pustaka baru menghasilkan bacaan pada tahun 1910 yang dipimpin oleh
Dr. D.A. Rinkes sampai tahun 1916 dengan tugasnya adalah memajukam moral dan budaya serta
meningkatkan apresiasi sastra. Kemudian pada tahun 1917 pemerintahan Kolonial Belanda mendirikan
Kantoor voor de volkslectuur atau Kantor Bacaan Rakyat yaitu Balai Pustaka.
Tujuan didirikannya Balai Pustaka ialah untuk mengembangkan bahasa – bahasa seperti bahasa Jawa,
bahasa Sunda, bahasa Melayu tinggi dan bahasa Madura. Serta mencegah pengaruh buruk dari bacaan
yang banyak menyoroti kehidupan pernyaian (cabul) dan dianggap memiliki misi politis (liar) yang
dihasilkan oleh sastra Melayu Rendah.
Tujuan inti didirikannya Komisi Bacaan Rakyat adalah meredam dan mengalihkan gejolak perjuangan
bangsa Indonesia lewat media tulisan dan tidak bertentangan dengan kepentingan Belanda. Tujuan
lainnya adalah menerjemahkan atau menyadur hasil sastra Eropa hal ini bertujuan agar rakyat Indonesia
buta terhadap informasi yang berkembang di negaranya sendiri.
Adapun usaha – usaha positif yang dilakukan yaitu mengadakan perpustakaan di tiap – tiap sekolah,
mengadakan peminjaman buku – buku dengan tarif murah secara teratur, dan memberikan bantuan
kepada usaha – usaha swasta untuk menyelenggarakan taman bacaan.
Jadi, beberapa faktor berikut inilah yang menjadi penyebab perjalanan kesusastraan Indonesia
berkembang mengikuti idiologi kolonial :
Pendirian Balai Pustaka telah menafikan keberadaan karya – karya terbitan swasta yang secara sepihak
dituding sebagai “bacaan liar”. Karya – karya sastra yang dipublikasikan lewat surat kabar dan majalah,
dianggap tidak ada.
Pemberlakuan sensor melalui Nota Rinkes menyebabkan buku – buku terbitan Balai Pustaka, khasnya
novel – novel Indonesia sebelum perang, cenderung menampilkan tokoh – tokoh yang terkesan
karikaturs.
Penetapan bahasa melayu mendorong munculnya sastrawan – sastrawan yang menguasai bahasa
Melayu. Dan mereka datang dari Sumatera. Maka, sastrawan yang berasal dari Sumatera itulah yang
kemudian mendominasi peta kesusastraan Indonesia.
Sastra Balai Pustaka adalah sastra rakyat yang berpijak pada kultur Indonesia abad 20. Hal ini dengan
jelas nampak dari roman – roman Balai Pustaka dalam bahasa jawa, sunda, dan melayu tinggi.
Sastra Balai Pustaka sebenarnya adalah “sastra daerah”, bukan saja dalam arti menggunakan bahasa
daerah tetapi juga menggarap tema – tema kedaerahan, bisa dilihat dari karya – karya yang lahir pada
saat itu.
Saat itu buku – buku yang diterbitkan Balai Pustaka dapat dibagi tiga; pertama, buku untuk anak – anak.
Kedua, buku hiburan dan penambahan pengetahuan dalam bahasa daerah. Ketiga, buku hiburan dan
penambahan pengetahuan dalam bahasa melayu dan kemudian menjadi bahasa Indonesia.
Pada masa pendudukan jepang (1942-1945) Balai Pustaka masih tetap eksis namun menggunakan nama
lain yaitu, Gunseikanbo Kokumin Tosyokyoku yang artinya Biro Pustaka Rakyat Pemerintah Militer
Jepang. [1]
Zaman keemasan Balai Pustaka sekitar tahun 1948 hingga pertengahan tahun 50-an ketika dipimpin oleh
K.St. Pamoentjak dan mendominasi penerbitan buku – buku sastra dan sejumlah pengarang Indonesia
bermunculan seperti H.B.Jassin, Idrus, M.Taslim, dan lain – lain.[2]
Pada ragam karya sastra prosa, timbul genre baru, yaitu roman, yang sebelumnya belum pernah ada.
Tujuan didirikannya Balai Pustaka ialah untuk mengembangkan bahasa – bahasa seperti bahasa Jawa,
bahasa Sunda, bahasa Melayu tinggi dan bahasa Madura. Serta mencegah pengaruh buruk dari bacaan
yang banyak menyoroti kehidupan pernyaian (cabul) dan dianggap memiliki misi politis (liar) yang
dihasilkan oleh sastra Melayu Rendah.
Isi roman Azab dan Sengsara sudah tidak lagi menceritakan hal – hal yang fantastis dan istanasentris,
melainkan lukisan tentang hal – hal yang benar terjadi dalam masyarakat yang memusatkan pada
golongan orang tua tentang akibat kawin paksa dan masalah adat. Adapun isi ringkasa roman Azab dan
Sengsara.
Cinta yang tak sampai antara kedua anak muda Aminuddin dan Mariamin, karena rintangan orang tua.
Mereka saling mencintai sejak dibangku sekolah, tetapi akhirnya masing – masing harus kawin dengan
orang yang bukan pilihannya sendiri, yang akibatnya tak ada kebahagiaan dalam hidupnya. Pihak gadis
terpaksa kawin dengan orang yang tidak dicintai, yang berakhir dengan perceraian dan Mariamin mati
muda karena merana.
Genre roman mencapai puncak yang sesungguhnya ketika diterbitkan buku Siti Nurbaya karya Marah
Rusli pada tahun 1922. Pengarang tidak hanya mempersoalkan masalah yang nyata saja, tetapi
mengemukakan manusia- manusia yang hidup. Pada roman Siti Nurbaya tidak hanya melukiskan
percintaan saja, juga mempersoalkan poligami, membangga- banggakaan bangsawan, adat yang tidak
sesuai dengan zamannya, persamaan hak wanita dan pria dalam menentukan jodohnya, anggapan
bahwa asal ada uang segala maksud tertentu tercapai. Persoalan – persoalan itulah yang ada dalam
masyarakat.
Salah pilih, Apa Dayaku karena Aku Perempuan (Nur Sultan Iskandar)
Balai Pustaka membahas tentang istiadat dan percintaan. Pada tingkat unsur intrinsik ; gaya bahasa yang
digunakan karya – karya Balai Pustaka menggunakan perumpamaan klise, menggunakan banyak pepatah
– pepatah dalam bahasanya, serta gaya percakapan sehari – hari. Alur yang dipakai adalah alur datar
atau alur lurus dan akhir cerita tertutup. Tokoh – tokohnya selalu orang – orang kedaerahan atau bersifat
kedaerahan, baik dalam bahasa maupun dalam masalah dengan teknik penokohan yang datar. Penyajian
tokoh hanya dalam permukaannya saja tidak ada atau menggunakan masalah kejiwaan tetapi masalah
seperti fisik yang dimunculkan dalam karya – karya Balai Pustaka. Sudut pandang yang digunakan adalah
sudut pandang maha tahu, bersifat Idealisme dan Romantis. Kadang banyak alur yang menyimpang dan
lambat. Amanatnya bersifat didaktis atau nasihat, mendidik pembaca agar loyal pada pemerintah
sebagai pegawai. Bertumpu pada kebudayaan daerah, sehingga karya- karya Balai Pustaka digemari
rakyat pedesaan dan rakyat kota yang Priyayi. Roman – roman Balai Pustaka penuh sentimentalis, penuh
air mata/cengeng, yang dimaksudkan untuk meninabobokan rakyat agar menjauhkan diri dari pikiran –
pikiran sosial dan politik bangsanya.
Bersifat Kedaerahan
Kalimat – kalimatnya panjang dan masih banyak menggunakan perbandingan – perbandingan, pepatah,
dan ungkapan – ungkapan klise.
Adapun perintis puisi baru pada masa angkatan 20 adalah Moh. Yamin. Beliau dipandang sebagai penyair
Indonesia baru yang pertama karena ia mengadakan pembaharuan puisi Indonesia, pembaharuannya
dapat dilihat dari kumpulan puisi Tanah Air pada tahun 1922.
Dari segi isi, puisi ini merupakan ucapan perasaan pribadi seorang manusia yang rindu pada keagungan
yang Maha Kuasa. Dari segi bentuk, jumlah barisnya tidak lagi empat baris, seperti syair dan pantun dan
persajakannya (rima) tidak sama.
Dilihat bentuknya, puisi tersebut seperti pantun, tetapi dilihat hubungan barisnya, seperti syair, ia
meniadakan tradisi sampiran dalam pantun sehingga sajak itu disebut pantun modern, yang lebih banyak
menggunakan sajak aliterasi, asonansi, dan sajak dalam sehingga beliau dipandang sebagai pelopor
penggunaan sajak asonansi dan aliterasi.
Di bawah ini disajikan riwayat hidup para pengarang angkatan Balai Pustaka secara singkat dan berikut
nama-nama pada masa angkatan Balai Pustaka.
1. Merari Siregar
Dilahirkan 13 Juni 1896 di Siporok, Tanapuli Selatan (Sumatra Utara), meninggal 23 April 1940 di
Kelenget, Madura. Berpendidikan Handels-correspondent Bond A di Jakarta (1923), pernah bekerja
sebagai guru di Medan, rumah sakit umum Jakarta, dan Opium & Zouttreige Kalianget. Novelnya Azab
dan Sengsara (1920) lazim dianggap sebagai awal kesusastraan Indonesia.
2. Marah Rusli
Dilahirkan 7 Agustus 1889 di Padang, meninggal 17 Januari 1968 di Bandung. Berpendidikan Sekolah
Dokter hewan di Bogor (1915), dan Dosen Sekolah Tinggi Dokter Hewan di Klaten (1948). Namanya
terkenal karena novel atau roman Siti Nurbaya.
3. Abdul Muis
Dilahirkan pada tahun 1889 di Solok, Sumatra Barat, meningggal 17 Juli 1959 di Bandung. Pendidikan
terakhir tamat sekolah kedokteran (STOVIA), di Jakarta. Menjadi klerek didepartemen buderwijs en
eredienst dan jadi wartawan di Bandung selain itu ia juga aktif dalam syarikat islam dan pernah menjadi
anggota dewan rakyat. Namanya terkenal karena novel Salah Asuhan (1928), Pertemuan Jodoh (1933),
Surapati (1950), dan Robert Anak Surapati (1953)
Dilahirkan 3 November 1989 di Sungai Batang (Sumatra Utara), meningggal 28 November 1975 di
Jakarta. Pendidikannya sekolah Melayu 11 (1908), dan sekolah Bantu (1911) ia pernah menjadi guru
sekolah Desa di Sungai Batang (1908), guru Bantu di Muarabelita (Palembang), Dosen Fakultas Sastra UI
(1955-1960), dan Redaktur Balai Pustaka hingga pensiun. Menghasilkan sejumlah novel diantaranya yaitu
Apa Dayaku Karena Aku Permpuan (1922), Salah Pilih (1928), Karena Mertua (1932), dan lain – lain.
5. Muhamad Kasim
Dilahirkan tahun 1886 di Muara Sipongi, Tanapuli Selatan (Sumatra Utara), pendidikannya sekolah guru
sampai tahun 1935, ia bekerja sebagai guru sekolah dasar. Kumpulan cerpennya Teman Duduk (1936)
lazim disebut sebagai awal tradisi kumpulan cerpen sastra Indonesia. Bukunya yang berjudul Si Samin
mendapat hadiah Sayembara Buku Anak – anak Balai Pustaka tahun 1924, lalu terbit lagi tahun 1928
dengan judul Pemandangan Dalam Dunia Kanak – kanak.
6. Suman H. S.
Dilahirkan tahun 1904 di Bengkalis. Berpindah ke sekolah Melayu di Bengkalis (1912-1918) dan sekolah
normal di Medan dan Langsa (1923), dia pernah menjadi guru Bahasa Indonesia di HISSIAK Sri Indapura
(1923-1930). Kepala Sekolah Bumi Melayu (di Pasir pengkarayaan (1930) pemilik sekolah dizaman
penduduk Jepang, pemilik sekolah merangkap kepala jabatan dinas Pekanbaru – Kampar. Anggota
pemerintahan tingkat satu Riau (1960-1966). Anggota DPRD propinsi Riau (1966-1968) dan terakhir
menjabat ketua umum Yayasan Lembaga Pendidikan Riau.
Karangannya :
1. Kasih Tak Terlarai (novel, 1929)
7. Adinegoro
Dilahirkan 14 Agustus 1904 di Talawi, Sumatra Barat, meninggal 8 Januari 1967 di Jakarta berpendidikan
sekolah kedokteran (STOVIA) di Jakarta (1918-1925) dan kemudian memperdalam pengetahuan di
Belanda dan Jerman Barat (1926-1930), dia pernah memjadi redaktur Panji Pustaka. Perwata Deli dan
Mimbar Indonesia di samping itu ia juga pernah menjadi anggota Dewan Rakyat pada masa pendudukan
Jepang, anggota Dewan Perancang Nasional, anggota MPRS, ketua komisaris badan penerbit Dewan
Agung, dan Dewan Komisaris LKBN antara.
Karangannya:
Dilahirka tahun 1928 di Bukitinggi, meninggal tahun 1942 di Jakarta pernah menjadi guru dan kemudian
menjadi Redaktur Balai Pustaka (1920-1940).
Karangannya:
Di lahirkan 17 Febuari 1899 di Magak, Bukitinggi, meninggal 4 Oktober 1975 di Jakarta pendidikannya
Swasta di Magek (1908-1911) sekolah privat di Bukitinggi (1911-1913), Kweek Schol (1914-1920), kursus
bahasa (1918), dan Inland MO (1929-1945), ia pernah menjadi guru diberbagai kota (1920-1942), Dosen
Sekolah Tinggi di Jakarta (1942-1945), Dosen Universitas Gajah Mada di Yogyakarta (1946-1949),
pegawai departemen pendidikan pengajaran merangkap Dosen Universitas Indonesia di Jakarta (1949).
Karangannya:
Putri Zahara atau Bunga Tanjung di Pasar Pasir (Afrika) (novel, 1947)
Karangannya:
Dilahirkan 23 Agustus 1903 di Sawahlunto, Sumatra Barat, meninggal 17 Oktober 1926 di Jakarta,
pendidikannya HIS (1918), AMS (1927), dan tamat sekolah Hakim Tinggi Jakarta (1932). Ia pernah
menjadi Menteri Kehakiman (1951), Menteri Pengajaran, pendidikan dan kebudayaan RI (1953-1955),
Ketua Badan Pengawasan LKBN antara (1961-1962) ketua Dewan Perancang Nasional (1962).
Karangannya:
Karangannya:
Dilahirkan 1 Juli 1896 di Bonjol, Sumatra Utara, meninggal 4 April 1983 di Jakarta pendidikannya Sekolah
Gubernemen kelas dua Lubuk Sikamping dan Kursus Guru Bantu.
Karangannya:
Tokoh – tokoh yang pernah memimpin Balai Pustaka tercatat Dr. D.A Rankes, Dr. G.W.J. Drewes, Dr. K.A.
Hidding, sementara sastrawan Indonesia yang pernah bekerja di sana tercatat adinegoro,S. Takdir
Alisjahbana, Armijn Pane, Nur Sutan Iskandar, dan H.B. Jasin.[3]
Karya sastra yang terbit di luar Balai Pustaka dan yang tidak termasuk kriteria Balai Pustaka biasa kita
sebut dengan Bacaan Liar.
Pada abad ke-19, di Surabaya terbit surat kabar Bintang Timoer (mulai tahun 1862). Awal abad-20 di
Bandung terbit surat kabar yaitu Medan Priyayi yang memuat cerita – cerita bersambung berbentuk
roman. Cerita – cerita itu ditulis dalam bahasa Melayu, tetapi bukan oleh pengarang – pengarang Melayu
atau Sumatra, yang mengisahkan masyarakat pada masa itu. Seperti roman yang berjudul Hikayat, yang
melukiskan kehidupan sehari – hari dan menggunakan bahasa Melayu. Pemimpin redaksi surat kabar
Medan Prijaji sendiri, Raden Mas (Djokonomo) Tirto Adhisurjo (1875-1916) menulis dua buah cerita
roman, masing-masing berjudul Busono (1910) dan Nyai Permana (1912). Pengarang keturunan bahasa
Melayu- Cina. Misalnya G. Francis yang menulis kisah Nyai Desima (1896). Kisah ini menceritakan nasib
seorang wanita kampung yang dijadikan nyai orang Inggris kemudian tertawan hatinya oleh pengaruh
guna-guna seorang Bang Samiun.[4]
Adapun karya Marco Kartodikromo yang berjudul Student Hijo, yang terbit pertama kali tahun 1918
melalui Harian Sinar Hindia, dan muncul sebagai buku tahun 1919, merupakan salah satu perintis
lahirnya sastra perlawanan: sebuah fenomena dalam sastra Indonesia sebelum perang.[5]
Novel ini berkisah tentang lahirnya para intelektual pribumi dari kalangan borjuis kecil yang secara berani
mengontraskan kehidupan di Nederland, oleh karena itu novel ini dipinggirkan oleh Balai Pustaka. Tak
hanya itu, buku ini menceritakan kisah cinta yang rumit antara para tokoh – tokohnya seperti Hijo, Biru,
Wungu, Walter dan lain – lain.
Adapun Kesastraan Melayu Tionghoa. Mengutip hasil penelitian Salmon Edwin mengatakan, Oey Se
karya Thio Tjien Boen dan Lo Fen Koei karangan Gouw Peng Liang adalah dua prosa asli pertama
Kesastraan Melayu Tionghoa yang diterbutkan tahun 1903, dua karya itu lahir 20 tahun lebih awal
dibanding karya – karya sastra terbitan Balai Pustaka antara lain terbitan novel Azab dan Sengsara (1920)
karya Merari Siregar dan Siti Nurbaya (1922) karya Marah Rusli.
Isi dari Oey Se karya Thio Tjien Boen dan Lo Fen Koei itu sudah bukan lagi tergolong kisah – kisah hikayat
namun sebaliknya lebih mengesankan sabagai novel denan para tokohnya yang riil an pengarang yang
jelas. Gerakan Tionghoa Modern waktu itu, berniat ingin memperbarui adat – istiadat Tionghoa di Jawa
yang mereka nilai sudah kolot.[6]
KESIMPULAN
Dalam Sejarahnya Balai Pustaka terbentuk pada masa pemerintahan Kolonial Belanda. Nama awal dari
Balai Pustaka yaitu Commissie voor de Inlandsche School en Volkslectuur. Kemudian pada tahun 1917
pemerintahan Kolonial Belanda mendirikan Kantoor voor de volkslectuur atau Kantor Bacaan Rakyat
yaitu Balai Pustaka. Karya pertama yang diterbitkan pada masa angkatan Balai Pustaka adalah Azab dan
Sengsara oleh Merari Siregar (1920). Tujuan didirikannya Balai Pustaka ialah untuk mengembangkan
bahasa – bahasa daerah. Balai pustaka juga melakukan berbagai cara untuk mencegah pengaruh buruk
dari bacaan yang banyak menyoroti kehidupan pernyaian (cabul) dan daianggap memiliki misi politis
(liar) yang dihasilkan oleh sastra Melayu Rendah.
Karya – karya Balai Pustaka membahas tentang istiadat dan percintaan. Tokoh – tokohnya di angkatan
Balai pustaka selalu orang – orang kedaerahan atau bersifat kedaerahan. Sedangkan karya sastra yang
terbit di luar Balai Pustaka dan yang tidak termasuk kriteria Balai Pustaka biasa kita sebut dengan bacaan
liar. Pada abad ke-19 mulai bermunculan bacaan liar yang ada di Surabaya, yaitu terbit surat kabar
Bintang Timoer (mulai tahun 1862). Pada masa Balai Pustaka, bacaan liar yang popular adalah Nyai
Dasima dan Student Hijo. Adapun Kesastraan Melayu Tionghoa.Oey Se karya Thio Tjien Boen dan Lo Fen
Koei karangan Gouw Peng Liang, isinya menceritakan tentang keinginan memperbarui adat – istiadat
Tionghoa di Jawa, yang mereka nilai sudah kolot.
(Semua isi penjelasan di atas, kurang lebih merangkum dan menyalin dari data daftar pustaka di bawah)
DAFTAR PUSTAKA
Mahayana, Maman. S. 2007. Ekstrinsikalitas Sastra Indonesia. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
6 http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0002/18/dikbud/sast09.htm
Muzzam's Blog
Kembali ke atas
Pada angkatan Balai Pustaka nilai yang terkandung dalam puisi-puisi yang dihasilkan kebanyakan lebih
bersifat nasionalisme, selain puisi juga di temukan syair, seperti syair Putri Hijau dan Syair Siti aminah.
Sastrawan yang tidak mau menndatangani nota ringkas seperti Mohammad Yamin puisi yang dihasilkan
lebi bersifat nasionalisme. Nilai nasionalisme yang diperjuangkan oleh Mohammad Yamin adalah
menumbuhkan sikap cinta tanah air. Hanya sedikit orang yang sadar bahwa kemerdekaan harus
ditegakkan. Ada kalannya rasa takut terhadap penjajah di kesampingkan untuk memperoleh hak-hak
kita. Untuk menegakkan kemerdekaan tersebut ditanamkan kecintaan terhadap tanah air. Cara
tersebutlah yang digunakan oleh para penyair liar untuk menumbuhkan sikap nasinalisme penduduk
pribumi terhadap tanah air. Persatuan merupakan bagian penting untuk mencapai suatu tujuan,baik
dalam keadan bahagia maupun menderita persatuan harus tetap terjaga.
Muhammad Yamin begitu menggebu untuk mengembangkan rasa cinta tanah air, maka dengan media
puisi ia tuangkan rasa cintannya. Seperti dalam kutipan tersebut ini;
Dalam bait diatas nilai nasinalisme sangat melekat pada cita-cita Muhammad Yamin.
Dalam puisi Roestam Effendi yang berjudul “mengeluh” nilai nasinalisme sangat kental seperti pada
kutipan berikut:
Bait diatas mengungkap penderitaan karena penjajahan Belanda. Penjajah menjadikan negara Indonesia
semakin menderita.