Askep Gadar
Askep Gadar
Askep Gadar
DISUSUN OLEH:
NUR FITHRIYATI (2018080038)
DWILIA DAYANTI (2018080039)
NANIK LUSIANAH (2018080040)
NUR FITRIYAH (2018080041)
ROJIHAN DWI S (2018080042)
SUCI NING ZIANA (2018080043)
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pertolongan terhadap keracunan yang ditimbulkan oleh zat apapun
haruslah dipersiapkan dengan sebaik-baikanya. Pertolongan yang keliru atau
secara berlebihan justru mendatangkan bahaya baru. Identifikasi racun
merupakan usaha untuk mengetahui bahan, zat, atau obat yang diduga
sebagai penyebab terjadi keracunan, sehingga tindakan
penganggulangannya dapat dilakukan dengan tepat, cepat dan akurat. Dalam
menghadapi peristiwa keracunan, kita berhadapan dengan keadaan darurat
yang dapat terjadi dimana dan kapan saja serta memerlukan kecepatan untuk
bertindak dengan segera dan juga mengamati efek dan gejala keracunan
yang timbul.
Racun adalah zat atau senyawa yang masuk ke dalam tubuh dengan
berbagai cara yang menghambat respons pada sistem biologis dan dapat
menyebabkan gangguan kesehatan, penyakit, bahkan kematian. Keracunan
sering dihubungkan dengan pangan atau bahan kimia.
Baygon termasuk kedalam salah satu jenis racun, yaitu racun serangga
(insektisida).
Baygon adalah insektisida kelas karbamat, yaitu insektisida yang
berada dalam golongan propuxur. Contoh golongan karbamat lain adalah
carbaryl (sevin), pirimicarb (rapid, aphox), dan timethacarb (landrin).
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pengertian dari keracunan?
2. Bagaimana teori tentang baygon?
3. Bagaimana patofisiologi keracunan baygon?
4. Bagaimana Gambaran Klinis tentang keracunan baygon?
5. Apa saja komplikasi dari keracunan baygon?
6. Bagaimana pemeriksaan diagnostik dari keracunan baygon?
7. Bagaimana penatalaksanaan kegawatdaruratan dari keracunan baygon?
8. Bagaimana konsep asuhan keperawatan dari pasien keracunan baygon?
C. Tujuan
1. Tujuan Umum
Dalam makalah ini penyusun bertujuan agar pembaca dapat
mengetahui dan memahami tentang cara pertolongan
kegawatdaruratan terhadap pasien keracunan baygon.
2. Tujuan Khusus
1. Mengetahui pengertian dari keracunan
2. Mengetahui teori tentang baygon
3. Mengetahui Gambaran Klinis tentang keracunan baygon
4. Mengetahui komplikasi dari keracunan baygon
5. Mengetahui pemeriksaan diagnostik dari keracunan baygon
6. Mengetahui penatalaksanaan kegawatdaruratan dari keracunan
baygon
7. Mengetahui konsep asuhan keperawatan dari pasien keracunan
baygon.
BAB II
PEMBAHASAN
Efek stimulasi Efek stimulasi Efek stimulasi nikotinik- Efek skumulasi asetilkolin
muskarinik pada nikotinik pada muskarinik pada sistem pada neuromuscular
saraf parasimpatis saraf simpatis saraf pusat junction
10
F. Komplikasi
Komplikasi yang bisa muncul pada kasus ini diantaranya adalah:
a. Shock
b. Henti nafas
c. Henti jantung
d. Kejang
e. Koma
G. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
1. Pemeriksaan rutin tidak banyak menolong
2. Pemeriksaan khusus, misalnya pengukuran kadar ache dalam sel darah
merah dan plasma, penting untuk memastikan diagnosis keracunan akut
maupun kronik.
a. Keracunan akut :
ringan 40 – 70 % n
sedang 20 % n
berat < 20 % n
b. Keracunan kronik :
Bila kadar ache menurun sampai 25–50 %, setiap individu yang
berhubungan dengan insektisida ini harus segera disingkirkan dan
baru diizinkan bekerja kembali bila kadar ache telah meningkat
sejumlah >75 %.
3. Pemeriksaan PA
Pada keracunan acut, hasil pemeriksaan patologi biasanya tidak khas.
Sering hanya ditemukan edema paru, dilatasi kapiler, hiperemi paru,otak
dan organ-oragan lainnya.
H. PENATALAKSANAAN KEGAWATDARURATAN
Hal yang pertama kali harus dilakukan dalam kegawatdaruratan dalam
keracunan adalah melakukan survey primer dan sekunder, yaitu meliputi :
1. Survey Primer
11
Resusitasi (ABCD).
a. Airway
Periksa klancaran jalan napas, gangguan jalan napas sering terjadi
pada klien dengan keracunan baygon, botulisme karena klien sering
mengalami depresi pernapasan seperti pada klien keracunan baygon,
botulinun. Usaha untuk kelancaran jalan napas dapat dilakukan dengan
head tilt chin lift/ jaw trust/ nasopharyngeal airway/ pemasangan
guedal.
Cegah aspirasi isi lambung dengan posisi kepala pasien
diturunkan, menggunakan jalan napas orofaring dan pengisap. Jika ada
gangguan jalan napas maka dilakukan penanganan sesuai BHD
(bantuan hidup dasar). Bebaskan jalan napas dari sumbatan bahan
muntahan, lender, gigi palsu, pangkal lidah dan lain-lain.
Kalau perlu dengan “Oropharyngealairway”, alat penghisap lendir.
Posisi kepala ditengadahkan (ekstensi), bila perlu dapat dilakukan
tindakan pemasangan pipa ETT.
b. Breathing: pernapasan.
Kaji keadekuatan ventilasi dengan observasi usaha ventilasi
melalui analisa gas darah atau spirometri. Siapkan untuk ventilasi
mekanik jika terjadi depresi pernpasan. Tekanan ekspirasi positif
diberikan pada jalan napas, masker kantong dapat membantu menjaga
alveoli tetap mengembang. Berikan oksigen pada klien yang mengalami
depresi pernapasan, tidak sadar dan syock. Jaga agar pernapasan tetap
dapat berlangsung dengan baik.
c. Circulation
Jika ada gangguan sirkulasi segera tangani kemungkinan syok
yang tepat, dengan memasang IV line, mungkin ini berhubungan
12
dengan kerja kardio depresan dari obat yang ditelan, pengumpulan
aliran vena di ekstremitas bawah, atau penurunan sirkulasi volume
darah, sampai dengan meningkatnya permeabilitas kapiler.
Kaji TTV, kardiovaskuler dengan mengukur nadi, tekanan darah,
tekanan vena sentral dan suhu. Stabilkan fungsi kardioaskuler dan
pantau EKG
2. Survey Sekunder
Kaji adanya bau baygon dari mulut dan muntahan, sakit kepala,
sukar bicara, sesak nafas, tekanan darah menurun, kejang-kejang,
gangguan penglihatan, hypersekresi hidung, spasme laringks, brongko
kontriksi, aritmia jantung dan syhock
Langkah selanjutnya setelah survey primer (resusitasi) dan survey
skunder adalah sebagai berikut :
a. Dekontaminasi
Merupakan terapi intervensi yang bertujuan untuk menurunkan
pemaparan terhadap racun, mengurangi absorpsi dan mencegah
kerusakan.
13
Ada beberapa dekontaminasi yang perlu dilakukan yaitu:
1) Dekontaminasi gastrointestinal
Penelanan merupakan rute pemaparan yang tersering, sehingga
tindakan pemberian bahan pengikat (karbon aktif), pengenceran
atau mengeluarkan isi lambung dengan cara induksi muntah atau
aspirasi dan kumbah lambung dapat mengurangi jumlah paparan
bahan toksik.
Bisa dilakukan dengan cara mekanik (menekan reflek muntah
di tenggorokan), atau pemberian air garam.
Kontraindikasi :cara ini tidak boleh dilakukan pada keracunan
zat korosif (asam/basa kuat, minyak tanah, bensin), kesadaran
menurun dan penderita kejang.
2) Dekontaminasi pulmonal
Dekontaminasi pulmonal berupa tindakan menjauhkan korban dari
pemaparan inhalasi zat racun, monitor kemungkinan gawat napas
dan berikan oksigen 100% dan jika perlu beri ventilator.
3) Dekontaminasi mata
Dekontaminasi mata berupa tindakan untuk membersihkan mata
dari racun yaitu dengan memposisikan kepala pasien
ditengadahkan dan miring ke posisi mata yang terburuk
kondisinya. Buka kelopak matanya perlahan dan irigasi larutan
aquades atau NaCL 0,9% perlahan sampai zat racunnya
diperkirakan sudah hilang.
4) Dekontaminasi kulit (rambut dan kuku)
Tindakan dekontaminasi paling awal adalah melepaskan pakaian,
arloji, sepatu dan aksesoris lainnnya dan masukkan dalam wadah
plastik yang kedap air kemudian tutup rapat, cuci bagian kulit yang
terkena dengan air mengalir dan disabun minimal 10 menit
selanjutnya keringkan dengan handuk kering dan lembut.
b. Eliminasi
14
Tindakan eliminasi adalah tindakan untuk mempercepat pengeluaran
racun yang sedang beredar dalam darah, atau dalam saluran
gastrointestinal setelah lebih dari 4 jam.
Langkah-langkahnya meliputi :
1) Emesis, merangsang penderita supaya muntah pada penderita yang
sadar atau dengan pemberian sirup ipecac 15 – 30 ml. Dapat diulang
setelah 20 menit bila tidak berhasil.
2) Katarsis, (intestinal lavage), dengan pemberian laksan bila diduga
racun telah sampai diusus halus dan besar.
3) Kumbah lambung atau gastric lavage, pada penderita yang
kesadarannya menurun, atau pada penderita yang tidak kooperatif.
Hasilnya paling efektif bila kumbah lambung dikerjakan dalam 4 jam
setelah keracunan.
Emesis, katarsis dan kumbah lambung sebaiknya hanya dilakukan bila
keracunan terjadi kurang dari 4-6 jam. pada koma derajat sedang hingga
berat tindakan kumbah lambung sebaiknya dukerjakan dengan bantuan
pemasangan pipa endotrakeal berbalon,untuk mencegah aspirasi
pnemonia.
c. Pengobatan
1) Antidotum
Pada kebanyakan kasus keracunan sangat sedikit jenis racun yang
ada obat antidotumnya dan sediaan obat antidot yang tersedia
secara komersial sangat sedikit jumlahnya. Salah satu antidotum
yang bisa digunakan adalah Atropin sulfat (SA) yang bekerja
menghambat efek akumula si AKH pada tempat penumpukannya.
Segera diberikan antidotum Sulfas atropin 2 mg IV atau
IM. Dosis besar ini tidak berbahaya pada keracunan organofosfat
dan harus dulang setiap 10 – 15 menit sampai terlihat gejala-gejala
keracunan atropin yang ringan berupa wajah merah, kulit dan
mulut kering, midriasis dan takikardi. Kewmudian atropinisasi
ringan ini harus dipertahankan selama 24 – 48 jam, karena gejala-
gejala keracunan organofosfat biasanya muncul kembali. Pada hari
15
pertama mungkin dibutuhkan sampai 50 mg atropin. Kemudian
atropin dapat diberikan oral 1 – 2 mg selang beberapa jam,
tergantung kebutuhan.
Atropin akan menghialngkan gejala –gejala muskarinik perifer
(pada otot polos dan kelenjar eksokrin) maupun sentral. Pernafasan
diperbaiki karena atropin melawan brokokonstriksi, menghambat
sekresi bronkus dan melawan depresi pernafasan di otak, tetapi
atropin tidak dapat melawan gejala kolinergik pada otot rangka
yang berupa kelumpuhan otot-otot rangka, termasuk kelumpuhan
otot-otot pernafasan.
Adapun prosedurnya adalah sebagai berikut :
a) Pengobatan Pada pasien yang sadar :
Kumbah lambung
Injeksi sulfas atropin 2 mg (8 ampul) Intra muscular
30 menit kemudian berikan 0,5 mg SA (2 ampul) IM, diulang
tiap 30 menit sampai terjadi artropinisasi.
Setelah atropinisasi tercapai, diberikan 0,25 mg SA (1 ampul)
IM tiap 4 jam selama 24 jam .
b) Pada pasien yang tidak sadar
Injeksi sulfus Atropin 4 mg intra vena (16 ampul)
30 menit kemudian berikan SA 2 mg (8 ampul) IM, diulangi
setiap 30 menit sampai klien sadar.
Setelah klien sadar, berikan SA 0,5 mg (2 ampul) IM sampai
tercapai atropinisasi, ditandai dengan midriasis, fotofobia,
mulut kering, takikardi, palpitasi, dan tensi terukur.
Setelah atropinisasi tercapai, berikan SA 0,25 mg (1 ampul)
IM tiap 4 jam selama 24 jam.
16
Atropin dapat diberikan dengan dosis 0,015 – 0,05 mg / Kg
BB secara intra vena dan dapat diulangi setiap 5 – 10 menit
sampai timbul gejala atropinisasi. Kemudian berikan dosis
rumat untuk mempertahankan atropinisasi ringan selama 24
jam.
Protopan dapat diberikan pada anak dengan dosis 0,25 gram
secara intra vena sangat perlahan – lahan atau melalui IVFD
Pengobatan simtomatik dan suportif.
2) Pralidoksim
Diberikan segera setelah pasien diberi atropin yang
merupakan reaktivator enzim kolinesterase. Jika pengobatan
terlambat lebih dari 24 jam setelah keracunan, keefektifannya
dipertanyakan. Dosis normal yaitu 1 gram pada orang dewasa. Jika
kelemahan otot tidak ada perbaikan, dosis dapat diulangi dalam 1 – 2
jam. Pengobatan umumnya dilanjutkan tidak lebih dari 24 jam
kecuali pada kasus pajanan dengan kelarutan tinggi dalam lemak atau
pajanan kronis.
Pralidoksim dapat mengaktifkan kembali enzim kolinesterase
pada sinaps-sinaps termasuk sinaps dengan otot rangka sehingga
dapat mengatasi kelumpuhan otot rangka.
I. PROGNOSIS
Prognosis dari kasus ini pada umumnya baik, bila pengobatan
dilakukan secepat mungkin, namun akan berdampak fatal hingga pada
kematian jika terjadi kesalahan dalam pengobatan. Beberapa kesalahan
pengobatan yang sering terjadi, berupa :
1. Resusitasi kurang baik dikerjakan.
2. Eliminasi racun kurang baik.
17
3. Dosis atropin kurang adekuat, atau terlalu cepat dihentikan.
c. Sirkulasi
Tanda : Nadi lemah (hipovolemia), takikardi, hipotensi (pada kasus
berat), aritmia jantung, pucat, sianosis, keringat banyak.
d. GI Tract
Iritasi mulut, rasa terbakar pada selaput mukosa mulut dan esofagus,
mual dan muntah.
e. Kardiovaskuler: Disritmia.
f. Dermal: Iritasi kulit
g. Okuler (Mata): Luka bakar kornea
18
Pada pemeriksaan ADL (Activity Daily Living) data yang mungkin muncul
adalah sebagai berikut :
a. Aktifitas dan istirahat
Gejala : Keletihan, kelemahan, malaise
Tanda : Kelemahan, hiporefleksi
b. Makanan Cairan
Gejala : Dehidrasi, mual , muntah, anoreksia, nyeri uluhati
Tanda : Perubahan turgor kulit/kelembaban, berkeringat banyak
c. Eliminasi
Gejala : Perubahan pola berkemih, distensi vesika urinaria,
bising usus menurun, kerusakan ginjal.
Tanda : Perubahan warna urin contoh kuning pekat, merah, coklat
d. Nyaman/ nyeri
Gejala : Nyeri tubuh, sakit kepala
Tanda : Perilaku berhati-hati/distraksi, gelisah
e. Keamanan
Gejala : Penurunan tingkat kesadaran, koma, syok, asidemia
Sedangkan pada pemeriksaan laboratorium didapatkan hasil sebagai
berikut :
Eritrosit menurun
Proteinuria
Hematuria
Hipoplasi sumsum tulang
2. Diagnosa Keperawatan
Adapun diagnosa keperawatan yang mengkin timbul adalah :
a. Tidak efektifnya pola napas berhubungan dengan depresi
pernapasan akibat efek langsung dari intoksikasi baygon
b. Resiko gangguan keseimbangan cairan berhubungan dengan output
yang berlebihan
c. Penurunan kesadaran berhubungan dengan depresi sistem saraf
pusat
3. Intervensi
19
a. Tidak efektifnya pola napas berhubungan dengan depresi pernapasan
akibat efek langsung dari intoksikasi baygon
Tujuan : Mempertahankan keefektifan pola nafas
Kriteria hasil : RR dalam batas normal, jalan nafas bersih, sputum tidak
ada.
Intervensi Rasional
Pantau tingkat, irama pernapasan & Efek insektisida mendepresi SSP
suara napas serta pola pernapasan yang mungkin dapat mengakibatkan
hilangnya kepatenan aliran udara atau
depresi pernapasan, pengkajian yang
berulang kali sangat penting karena
kadar toksisitas mungkin berubah-
ubah secara drastis.
Tinggikan kepala tempat tidur Menurunkan kemungkinan aspirasi,
diafragma bagian bawah untuk
menigkatkan inflasi paru.
Dorong untuk batuk/ nafas dalam Memudahkan ekspansi paru &
mobilisasi sekresi untuk mengurangi
resiko atelektasis/pneumonia.
20
Auskultasi suara napas Pasien beresiko atelektasis
dihubungkan dengan hipoventilasi &
pneumonia.
Berikan O2 jika dibutuhkan Hipoksia mungkin terjadi akibat
depresi pernapasan
Kolaborasi untuk sinar X dada, Memantau kemungkinan munculnya
Blood Gas Analysis komplikasi sekunder seperti
atelektasis/pneumonia, evaluasi
kefektifan dari usaha pernapasan.
21
Pantau tanda-tanda vital Hipotensi, takikardia, peningkatan
pernapasan mengindikasikan
kekurangan cairan
(dehindrasi/hipovolemia).
Berikan kembali pemasukan oral secara Pemasukan peroral bergantung
berangsur-angsur. kepada pengembalian fungsi
gastrointestinal.
Kolaborasi dengan tim medis dalam Cairan parenteral dibutuhkan
pemberian cairan parenteral untuk mendukung volume
cairan /mencegah hipotensi.
22
Monitor adanya perubahan tingkat Tindakan umum yang bertujuan
kesadaran untuk keselamatan hidup, meliputi
resusitasi : Airway, breathing,
sirkulasi
Kolaborasi dengan tim medis dalam Anti dotum (penawar racun) dapat
pemberian anti dotum membantu mengakumulasi
penumpukan racun
BAB III
23
PENUTUP
A. Kesimpulan
Keracunan atau intoksikasi adalah keadaan patologik yang disebabkan
oleh obat, serum, alkohol, bahan serta senyawa kimia toksik, dan lain-lain.
Keracunan dapat diakibatkan oleh kecelakaan atau tindakan tidak disengaja,
tindakan yang disengaja seperti usaha bunuh diri atau dengan maksud tertentu
yang merupakan tindakan kriminal.
Baygon termasuk kedalam racun serangga ( insektisida ). Yang berada
dalam golongan propoxur. Propoxur merupakan senyawa karbamat yang
menyebabkan kerusakan syaraf, karena duduga kuat sebagai zat karsinogenik.
Sehingga saat ini penggunaannya telah dilarang.
B. Saran
Semoga dengan dibuatnya makalah ini, pembaca dan penulis terutama
nya bisa memahami dan mengerti tentang pertolongan pertama pada korban
keracunan baygon. Dan mungkin penulis membutuhkan saran dan kritik
untuk membuat makalah yang lebih sempurna lagi.
DAFTAR PUSTAKA
24
Abadi, Nur. 2008. Buku Panduan Pelatihan BC & TLS (Basic Cardiac &
Trauma Life Support). Jakarta : EMS 119
Kumala Sari Muttaqin Arief. 2011. Gangguan Gastrointestinal. Jakarta :
Salemba Medika
Monica ester.2010. Diagnosa Keperawatan :definisi dan klasifikasi 2009-
2011.jakarta:EGC
Sartono. (2012). Racun dan Keracunan. Jakarta: Widya Medika.
Smeltzer, Suzanne C., & Bare, Brenda G. Buku Ajar: Keperawatan Medikal
Bedah, vol: 3. Jakarta: EGC
Krisanty, dkk. (2011). Asuhan Keperawatan Gawat Darurat. Jakarta: Trans Info
Media.
25