LP Defect Cranium
LP Defect Cranium
LP Defect Cranium
A. Pengertian
Skull defect merupakan suatu kelainan pada kepala ketika tidak adanya
tulang cranium/tulang tengkorak Skull defect menjadi suatu masalah sejak
awal periode kehidupan manusia. Skull defect sudah dapat ditemukan pada
jaman neolitikum.. Skull effect adalah adanya pengikisan pada tulang
cranium yang disebabkan oleh adanya pengikisan yang disebabkan massa
ekstrakranial atau intrakranial, atau juga bisa berasal dari dalam tulang
(Kormano, 2008). Skull defect dapat terjadi dari lahir atau kongenital pada
bayi yang biasanya disebut dengan anenchephaly dan juga skull defect yang
dilakukan secara sengaja untuk membantu pengeluaran cairan atau
pendarahan atau massa yang ada di kepala atau otak.
B. Etiologi
Penyebab terjadinya skull defect diantara lain:
1. Fraktur cranium
2. Tumor
3. Penipisan tulang
4. Kelainan kongenital (enchephalocele)
5. Pengikisan massa ekstrakranial atau intrakranial
6. Post op trepanasi (Kormano, 2008)
7. Trauma parah pada tengkorak dan tulang wajah
8. Reseksi tumor tengkorak
9. Hilangnya tulang akibat osteomyelitis (Ramamurthi, et al, 2009)
C. Patofisiologi
Berdasarkan patofisiologinya cedera kepala dapat digolongkan menjadi 2
proses yaitu cedera kepala primer dan cedera kepala sekunder. Cedera otak
primer adalah cedera yang terjadi saat atau bersamaan dengan kejadian
trauma dan merupakan suatu fenomena mekanik. Umumnya menimbulkan
lesi permanen. Tidak banyak yang bisa dilakukan kecuali membuat fungsi
stabil, sehingga sel-sel yang sedang sakit bisa mengalami proses
penyembuhan yang optimal. Cedera primer, yang terjadi pada waktu
benturan, mungkin karena memar pada permukaan otak, laserasi substansi
alba, cedera robekan atau hemoragi karena terjatuh, dipukul, kecelakaan dan
trauma saat lahir yang bisa mengakibatkan terjadinya gangguan pada
seluruh sistem dalam tubuh.
Cedera otak sekunder merupakan hasil dari proses yang berkelanjutan
sesudah atau berkaitan dengan cedera primer dan lebih merupakan fenomena
metabolik sebagai akibat, cedera sekunder dapat terjadi sebagai kemampuan
autoregulasi serebral dikurangi atau tak ada pada area cedera. Cidera
kepala terjadi karena beberapa hal diantanya, bila trauma ekstrakranial
akan dapat menyebabkan adanya leserasi pada kulit kepala selanjutnya bisa
perdarahan karena mengenai pembuluh darah. Karena perdarahan yang
terjadi terus- menerus dapat menyebabkan hipoksia, hiperemi peningkatan
volume darah pada area peningkatan permeabilitas kapiler, serta
vasodilatasiarterial, semua menimbulkan peningkatan isi intrakranial, dan
akhirnya peningkatan tekanan intrakranial (TIK), adapun, hipotensi namun
bila trauma mengenai tulang kepala akan menyebabkan robekan dan terjadi
perdarahan juga. Cidera kepala intrakranial dapat mengakibatkan laserasi,
perdarahan dan kerusakan jaringan otak bahkan bisa terjadi kerusakan
susunan syaraf kranial terutama motorik yang mengakibatkan terjadinya
gangguan dalam mobilitas.
D. Manifestasi Klinik
Gejala yang nampak pada pasien skull defect dapat berupa:
1. Bentuk kepala asimetris
2. Pada bagian yang tidak tertutup tulang teraba lunak
3. Pada bagian yang tidak tertutup tulang dapat dilihat adanya denyutan atau
fontanela
Sedangkan manifestasi klinis dari cedera kepala tergantung dari berat
ringannya cedera kepala yaitu berupa:
1. Perubahan kesadaran adalah merupakan indicator yang paling sensitive
yang dapat dilihat dengan penggunaan GCS (Glasgow Coma Scale).
Pada cedera kepala berat nilai GCS nya 3-8.
2. Peningkatan TIK yang mempunyai trias klasik seperti: nyeri kepala karena
regangan dura dan pembuluh darah; papil edema yang disebabkan oleh
tekanan dan pembengkakan diskus optikus; muntah seringkali proyektil.
3. Perubahan tekanan darah atau normal (hipertensi), perubahan frekuensi
jantung (bradikardi, takikardia, yang diselingi dengan bradikardia
disritmia).
4. Perubahan pola nafas (apnea yang diselingi oleh hiperventilasi), nafas
berbunyi, stridor, terdesak, ronchi, mengi positif (kemungkinan karena
aspirasi), gurgling.
E. Pemeriksaan Penunjang
Selain dari gejala-gejala klinik, keluhan pasien maupun dari hasil
pemeriksaan fisik dan psikis, untuk keperluan skull defect perlu dilakukan
pemeriksaan-pemeriksaan penunjang yaitu:
1. CT-Scan
Fungsi CT Scan ini adalah untuk mengidentifikasi luasnya lesi,
perdarahan, determinan ventrikuler, dan perubahan jaringan otak. Untuk
mengetahui adanya infark / iskemia jangan dilekukan pada 24 - 72 jam
setelah injuri.
2. Foto polos kepala (X-ray)
Tidak semua penderita dengan cidera kepala diindikasikan untuk
pemeriksaan kepala karena masalah biaya dan kegunaan yang sekarang
makin dittinggalkan. Jadi indikasi pelaksanaan foto polos kepala
meliputi jejas lebih dari 5 cm, luka tembus (tembak/tajam), adanya
corpus alineum, deformitas kepala (dari inspeksi dan palpasi), nyeri
kepala yang menetap, gejala fokal neurologis, gangguan kesadaran.
3. MRI (Magnetik Resonance Imaging)
Digunakan sama seperti CT-Scan dengan atau tanpa kontras radioaktif.
4. EEG (Elektroensepalogram)
Digunakan untuk melihat perkembangan gelombang yang patologis
G. Komplikasi
1. Koma
Penderita tidak sadar dan tidak memberikan respon disebut coma. Pada
situasi ini, secara khas berlangsung hanya beberapa hari atau minggu,
setelah masa ini penderita akan terbangun, sedangkan beberapa kasus
lainya memasuki vegetative state atau mati penderita pada masa
vegetative statesering membuka matanya dan mengerakkannya,
menjerit atau menjukan respon reflek. Walaupun demikian penderita
masih tidak sadar dan tidak menyadari lingkungan sekitarnya. Penderita
pada masa vegetative state lebih dari satu tahun jarang sembuh.
2. Seizure
Penderita yang mengalami cedera kepala akan mengalami sekurang-
kurangnya sekali seizure pada masa minggu pertama setelah cedera.
Meskipun demikian, keadaan ini berkembang menjadi epilepsy.
3. Infeksi
Faktur tengkorak atau luka terbuka dapat merobekan membran
(meningen) sehingga kuman dapat masuk. Infeksi meningen ini
biasanya berbahaya karena keadaan ini memiliki potensial untuk
menyebar ke sistem saraf yang lain.
4. Kerusakan saraf
Cedera pada basis tengkorak dapat menyebabkan kerusakan pada
nervus facialis. Sehingga terjadi paralysis dari otot-otot facialis atau
kerusakan dari saraf untuk pergerakan bola mata yang menyebabkan
terjadinya penglihatan ganda.
5. Hilangnya kemampuan kognitif
Berfikir, akal sehat, penyelesaian masalah, proses informasi dan
memori merupakan kemampuan kognitif. Banyak penderita dengan
cedera kepala berat mengalami masalah kesadaran.
H. Diagnosa Keperawtan
1. Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera fisik (trauma kranial)
2. Resiko cedera berhubungan dengan faktor risiko trauma intracranial
3. Resiko infeksi berhubungan dengan faktor risiko luka post operasi dan
prosedur infeksi
4. Risiko perdarahan berhubungan dengan faktor risiko trauma: kranial,
kerusakan integritas jaringan pembuluh darah otak
5. Risiko ketidakefektifan perfusi jaringan otak berhubungan dengan
faktor risiko trauma kranial, gangguan serebrovaskular berhubungan
dengan peningkatan TIK
6. Ansietas berhubungan dengan ancaman pada status terkini: prosedur
pembedahan yang ditandai dengan batasan karakteristik perilaku
agitasi, gelisah, tampak waspada, afektif ragu, dan fisiologis
peningakatan ketegangan dan keringan serta tremot
7. Risiko syok berhubungan dengan faktor risiko hipovolemia, hipoksia
pada prosedur pembedahan
8. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan adanya faktor mekanik
post trauma
9. Defisit pengetahuan berhubungan dengan kurang informasi dan
kurangnya sumber pengetahuan
10. Kerusakan memori berhubungan dengan gangguan neurologis: post
trauma kepala yang ditandai dengan batasan karakteristik
ketidakmampuan mengingat informasi faktual, ketidakmampuan
mengingat perilaku tertentu yang pernah dilakukan, ketidakmampuan
mengingat peristiwa, mudah lupa
I. Intervensi Keperawatan
1. Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera fisik (trauma kranial)
Pengalaman sensori dan emosional tidak menyenangkan yang muncul
akibat kerusakan jaringan aktual ataupun potensial atau yang
digambarkan sebagai kerusakan (Internasional Assosiation fot the
Study of Pain; awitan yang tiba-tiba atau lambat dari intensitas ringan
hingga berat dengan akhir yang dapat di antisipasi atau diprediksi.
Kriteria Hasil :
a. Mengenali kapan nyeri terjadi
b. Menggambarkan faktor penyebab
c. Menggunakan tindakan pengurangan nyeri tanpa analgesik
d. Menggunakan analgesik yang di rekomendasikan
e. Melaporkan perubahan terhadap gejala nyeri pada profesional
kesehatan
f. Mengenali apa yang terkait dengan gejala nyeri
Intervensi Rasional
a. Lakukan pengkajian yang a. Membantu pasien untuk
komprehensif yang meliputi mengenal nyeri dan
lokasi, karakteristik,
onsertataudurasi, frekuensi, mengurangi nyerinya dalam
kualitas, intensitas atau bentuk nonfamakologis
beratnya dan faktor pencetus. maupun farmakologis
b. Pastikan perawatan analgesik
bagi pasien dilakukan dengan b. Memanipulasi lingkungan
pemamtauan yang ketat pasien untuk mendapatkan
c. Gali pengetahuan dan kenyamanan yang optimal
kepercayaan pasien mengenai
nyeri
d. Posisikan pasien untuk
memfasilitasi kenyamanan
3. Resiko infeksi berhubungan dengan faktor risiko luka post operasi dan
prosedur infeksi
Rentan mengalami invasi dan multiplikasi organisme patogenik yang dapat
mengganggu kesehatan
Kriteria Hasil :
a. Tidak ada kemerahan
b. Tidak ada luka yang berbau busuk
c. Kestabilan suhu
Intervensi Rasional
Burgener, Francis A & Kormano, Martti. 1997. Bone And Joint Disorder. New
York: Thieme.
Mansjoer, Arif dkk. 2001. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 3. Jilid 1. Jakarta:
Media Aesculapius.