Proposal Ebn

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 47

PROPOSAL

SEMINAR EVIDENCE BASED NURSING


PENGARUH HIPNOTERAPI TERHADAP PENURUNAN TINGKAT
INTENSITAS NYERI PADA PASIEN POST OP ORIF DI RUANG
BOUGENVILLE
RS PERTAMINA BALIKPAPAN

Disusun oleh :
1. Eka Suci Wati
2. Farida Navrizal
3. Lazkar Gesang Laksana
4. Muhammad Junaedi
5. Mukhlis Supriadi
6. Rina Wati
7. Rosita Destiana
8. Syifaunisa

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN PERTAMEDIKA JAKARTA
2019
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pembedahan atau operasi adalah semua tindakan pengobatan yang dilakukan
secara invasif dengan cara membuka atau menampilkan bagian tubuh yang akan
ditangani. Pada umumnya dilakukan dengan membuat sayatan serta diakhiri
dengan penutupan dangan jahitan luka. Sayatan serta jahitan yang dihasilkan
dari tindakan pembedahan merupakan suatu trauma bagi penderita dan ini bisa
menimbulkan berbagai keluhan dan gejala. Akibat dari prosedur pembedahan
pasien akan mengalami gangguan rasa nyaman nyeri (Potter & Perry, 2005).
Nyeri sendiri merupakan cara tubuh untuk memberitahu kita bahwa terjadi
sesuatu yang salah. Nyeri bekerja sebagai suatu sistem alarm yang memberikan
sinyal untuk berhenti melakukan sesuatu yang mungkin menyakitkan bagi
tubuh, dan dengan cara ini melindungi tubuh dari keadaan yang berbahaya
(Archard & Graham, 2007). Data World Health Organization (WHO, 2009)
menunjukkan bahwa selama lebih dari satu abad perawatan bedah telah menjadi
komponen penting dari perawatan kesehatan di seluruh dunia. Diperkirakan
setiap tahun ada 230 juta operasi utama dilakukan diseluruh dunia, satu untuk
setiap 25 orang hidup (Hastri dkk, 2012).

Nyeri dinyatakan sebagai tanda-tanda vital kelima oleh The American Pain
Society (2005, dalam Smeltzer & Bare, 2005). Joint Commission on the
Accreditation of Healthcare Organization (JCAHO) (2003, dalam Black &
Hawk, 2005) berdasarkan hal tersebut menyatakan bahwa keluhan nyeri harus
dinilai pada semua pasien karena mereka mempunyai hak untuk dikaji dan
diberikan penatalaksanaan nyeri secara tepat. Ikorski dan Barker (2004, dalam
Black & Hawk, 2005) mengemukakan bahwa nyeri akut yang tidak berkurang
dapat menyebabkan pasien mengalami debilitation (kelemahan tenaga/
kehilangan motivasi), menghambat kualitas hidup, dan depresi. Nyeri akut
pascabedah yang tidak ditangani dengan baik dapat berkembang menjadi
sindrom nyeri kronik yang dapat menyebabkan terjadinya banyak komplikasi.
Nyeri merupakan masalah utama yang terjadi pada pasien post operasi.
Penanganan nyeri yang baik akan meningkatkan dan mempercepat
penyembuhan. Strategi penatalaksanaan nyeri mencakup baik secara
farmakologis maupun secara nonfarmakologis. Penatalaksanaan nyeri secara
farmakologis yaitu kolaborasi dengan dokter dalam pemberian analgesik dan
anestesi. Analgesik merupakan metode yang umum untuk mengatasi nyeri.
Anestesi lokal dan regional, (Potter & Perry, 2006). Sedangkan penatalaksanaan
nyeri secara nonfarmakologis yaitu metode pereda nyeri yang biasanya
mempunyai resiko yang sangat rendah. Metode ini diperlukan untuk
mempersingkat episode nyeri yang berlangsung hanya beberapa detik atau
menit (Smeltzer & Bare, 2002). Penatalaksanaan nyeri secara nonfarmakologis
untuk mengurangi nyeri terdiri dari beberapa teknik diantaranya adalah
Distraksi, Relaksasi, Imajinasi terbimbing, dan salah satunya adalah
Hipnoterapi.

Hipnoterapi pada dasarnya adalah seni komunikasi, dimana kondisi hipnosis


merupakan kondisi relaksasi pikiran yang disertai relaksasi tubuh. Ada pula
yang mendifinisikan hipnosis sebagai suatu kondisi pikiran ketika fungsi
analitis logis pikiran direduksi sehingga memungkinkan seseorang masuk ke
dalam kondisi bawah sadar (subconscious/unconscious mind).

Penggunaan hipnotis sudah ada sebelum sejarah itu sendiri tercatat, sejak awal
mula peradaban manusia. Tentu saja waktu itu hipnotis belum dikenal dengan
nama “hipnotis”. Hipnotis pada masa dulu dipraktekkan dalam ritual agama
maupun ritual penyembuhan. Sejarah hipnosis modern dimulai pada abad ke 18,
catatan sejarah tertua tentang hipnotis yang diketahui saat ini berasal dari Ebers
Papyrus yang menjelaskan teori dan praktek pengobatan bangsa Mesir Kuno
pada tahun 1552 SM. Hipnosis telah dipraktekkan di tempat yang berbeda
dengan berbagai istilah sejak dahulun (Kroger, 2007)

Di Barat sendiri keberadaan hipnosis sudah banyak mendapat pengakuan, hal


ini diikuti dengan banyaknya penelitian mengenai hipnosis dan hipnoterapi,
salah satunya adalah penelitian yang dilakukan oleh Flammer dan Bogarts dari
Universiti Konstanze di Jerman pada tahun 2003 yang melakukan metaanalisis
dari berbagai penelitian tentang hipnoterapi. Dari 57 (lima puluh tujuh)
penelitian yang telah dilakukan, didapatkan hasil yang menyatakan bahwa
tingkat keberhasilan hipnoterapi dalam mengatasi masalah adalah sebesar 64%.
Kesuksesan tersebut adalah dalam mengatasi gangguan psikosomatis, tes
anastesi, membantu untuk berhenti merokok, fobia dan mengontrol nyeri pada
beberapa pasien dengan sakit kronis (www.medicalera.com).

Di Indonesia sendiri pengunaan hipnoterapi masih banyak mengalami pro dan


kontra. Permasalahan di Indonesia selama ini adalah hipnoterapi dianggap
sebagai sesuatu yang bersifat magis, bahkan di beberapa daerah penggunaan
hipnosis masih dilarang. Hal ini diungkapkan Yan saat membuka pertemuan
perdana para hipnoterapis se-Indonesia. Selama ini, hipnoterapi belum diakui
sebagai cabang pengobatan psikologis tersendiri di Kementerian Kesehatan
melainkan masih dianggap sebagai alternatif. (http:// kesehatan.kompas.com
/read/2010/06).

Sebagian orang mengira hipnosis sama dengan tidur, padahal kedua kondisi ini
jelas berbeda. Kondisi hipnosis terjadi saat tubuh dalam keadaan rilaks dan
pikiran menjadi tenang, tetapi ketika seseorang masih tetap bisa mendengar
suara-suara di sekitar. Sedangkan pada saat tidur, kita sama sekali tidak dapat
mendengar suara-suara disekitar. Dalam kondisi hipnosis, pikiran kita menjadi
lebih terbuka terhadap perubahan. Dalam kondisi rilaks inilah, kita dapat
memberikan sugesti yang dapat menyembuhkan berbagai penyakit yang ada,
baik dalam jiwa maupun badan, menentukan tingkat kecemasan dan dapat
meningkatkan kuallitas kehidupan.

Dengan memberikan tindakan hipnoterapi diharapkan dapat menurunkan


tingkat nyeri pada pasien post operasi. Terapi perilaku kognitif seperti hypnosis
(McCloskey & Bulechek, 2004) merupakan jenis terapi yang efektif untuk
mengatasi nyeri dengan sedikit atau hampir tidak ada efek samping sama sekali.
Dampak yang diharapkan adalah dapat mempersingkat lama rawat,
meningkatkan pemulihan fisik, dan meringankan respon psikoemosional
pasien-pasien yang menjalani pembedahan. Di Indonesia terapi hipnosis ini
belum banyak dikembangkan dan dimanfaatkan secara optimal dalam praktik
keperawatan profesional.

Penelitian yang dilakukan oleh Paulus Subiyanto dkk (2008) menyebutkan


bahwa Penurunan tingkat sensasi nyeri terjadi secara signifikan pada kelompok
kontrol dan kelompok intervensi setelah diberikan terapi analgesik dan hipnosis
pada hari pertama dan kedua pascabedah ortopedi. Penurunan tingkat sensasi
nyeri pada kelompok intervensi lebih besar jika dibandingkan dengan kelompok
kontrol. Hasil penelitian menunjukkan kombinasi terapi analgesik dan hipnosis
terbukti lebih efektif jika dibandingkan terapi analgesik sebagai terapi tunggal
untuk mengatasi nyeri.

Hasil penelitian ini mendukung hasil penelitian sebelumnya (Hilgard &


Hilgard, 1983; Doody et al., 1991; Williams et al., 1994; Dahlgren et al., 1995;
Handel, 1998; Simon & Dahl, 1999, Rainville et al., 1999; Montgomery et al.,
2000 dalam Kihlstorm, 2000) bahwa hipnosis efektif untuk memodulasi
persepsi nyeri dengan mempengaruhi proses-proses kognitif seseorang
dibandingkan individu yang tidak mendapatkan terapi hypnosis.

Hal ini juga didukung oleh Sumarwanto (2015) Berdasarkan hasil penelitian
didapatkan bahwa hipnoterapi lebih dapat menurunkan tingkat nyeri lebih
cepat. Hipnoterapi juga dapat mengubah persepsi dan respon seseorang. Pada
saat pemberian hipnoterapi pasien dibimbing untuk melakukan imajinasi
sehingga mempengaruhi kerja otak, gelombang otak akan turun dari gelombang
beta menjadi alpha dan theta sehingga menyebabkan tubuh menjadi rileks.
Impuls nyeri terhambat dan pasien menjadi rileks. Pada saat pasien rileks
perhatian pasien terhadap nyeri teralihkan sehingga persepsi nyeri dan respon
terhadap nyeri berubah dan persepsi terhadap nyeri yang dirasakan menurun
bahkan hilang.
Berdasarkan data yang didapat di ruang bougenville Rumah Sakit Pertamina
Balikpapan kepada 10 orang pasien post operasi, didapatkan dari 10 pasien
operasi ada sekitar 5 pasien yang masuk kategori nyeri sedang, 3 nyeri ringan
dan 2 nyeri berat. Berdasarkan data yang diperoleh untuk pasien dengan
kategori nyeri sedang dan berat setelah 1 hari post operasi dengan pemberian
terapi farmakologi didapatkan data belum ada perubahan atau penurunan
sensasi nyeri.

Berdasarkan fenomena diatas maka kelompok ingin mempresentasikan hasil


analisa jurnal “Pengaruh Hipnoterapi terhadap Penurunan Intensitas Nyeri pada
Pasien Post Operasi ORIF di ruang Bougenville Rumah Sakit Pertamina
Balikpapan”.

B. Tujuan
Tujuan dari penyampaian seminar Evidence Based Nursing ini adalah:
1. Menambah wawasan tentang pengaruh hipnoterapi terhadap penurunan
intensitas nyeri
2. Mengetahui pengaruh intervensi penatalaksanaan hipnoterapi di ruang
rawat inap Bougenville RS Pertamina Balikpapan.

C. Manfaat
1. Manfaat bagi pelayanan keperawatan
Evidence Based Nursing ini diharapkan bermanfaat bagi pemberi asuhan
keperawatan dalam meningkatkan mutu pelayanan dalam bidang
keperawatan khususnya dalam mengurangi intensitas nyeri pada pasien post
op ORIF
2. Manfaat bagi ilmu keperawatan
Evidence Based Nursing ini diharapkan sebagai upaya pengembangan
program dan terapi non farmakologis dalam rangka meningkatkan
kesejahteraan pasien terutama pada pasien post op ORIF
BAB II
ANALISA JURNAL

A. Analisa PICO

Unsur PICO Analisis


Problem 1. Pasien post op ORIF
2. Pasien dengan skala nyeri sedang
3. Pasien post operasi yang belum ada indikasi
mobilisasi
Intervensi Intervensi yang dilakukan adalah pemberian
sugesti hipnoterapi selama perawatan
Comparison Intervensi kompres dingin yang dilakukan di
Ruang Bougenville
Outcome Hipnoterapi efektif terhadap penurunan intensitas
nyeri pada post op ORIF

B. Pernyataan Klinis
Apakah penerapan Hipnoterapi dapat menangani masalah penurunan
intensitas nyeri pada pasien post op ORIF di ruang Bougenville RS
Pertamina Balikpapan?
C. Sumber Penelusuran dan Kata Kunci
Pencarian jurnal data based dalam EBN ini menggunakan search engine
jurnal yaitu :
1. http://scholar.google.co.id/
2. http://www.google.co.id/
3. Pubmed.gov

D. Proses penelusuran jurnal dijabarkan pada table berikut ini :


Sumber penelusuran
Kata https://scholar.google.co https://google.co. Pub.Med.go
Kunci .id id v
Pemberian Diperoleh 10 artikel lalu Diperoleh 15 Diperoleh
Hipnotera dilakukan filter dengan artikel lalu 27 artikel
pi rentang tahun 2010-2018 dilakukan filter lalu
kemudian diperoleh 2 dengan rentang dilakukan
artikel yang relevan tahun 2010-2018 filter
dengan topik EBN kemudian dengan
diperoleh 1 rentang
artikel yang tahun 2010-
relevan dengan 2018
topik EBN kemudian
diperoleh 5
artikel yang
relevan
dengan
topik EBN

Berdasarkan hasil penelusuran tersebut dipilih 3 jurnal yang relevan dengan


penerapan EBN. Kemudian diambil 1 (satu) jurnal yang dijadikan rujukan
utama dalam penerapan EBN sebagai berikut :
1. Pengaruh Hipnoterapi Terhadap Penurunan Nyeri Pada Pasien Post
Operasi Fraktur Femur Di Ruang Rawat Inap Bedah Rumah Sakit
Orthopedi Surakarta (Rizqi, 2010)
2. Pengaruh Hipnoterapi Terhadap Penurunan Intensitas Nyeri Pada Pasien
Post Operasi Dengan Skala Nyeri Sedang-Berat Di Rumah Sakit
Bhayangkara Polda Kalbar (Sulistyorini, 2015)
3. Hipnoterapi Mengurangi Nyeri Pasca Pembedahan Pada Anak Usia
Sekolah (Imelda, 2013)
TELAAH JURNAL

A. Study Appraisal Worksheet


Penulis dan Tahun Judul Penelitian Validitas Hasi
Rizqi Yulida Astari, Pengaruh Hipnoterapi Penelitian ini dilakukan pada 1. Mayoritas resp
2010 Terhadap Penurunan tahun 2010. penelitian sebelum

Nyeri Pada Pasien Post Penelitian dilakukan pada 27 hipnoterapi meng


intensitas nyeri se
Operasi Fraktur Femur klien dengan tehnik probability
2. Mayoritas resp
Di Ruang Rawat Inap sampling dengan purposive
penelitian seduda
Bedah Rumah Sakit sampling, instrument ini
hipnoterapi meng
Orthopedi Surakarta menggunakan lembar observasi
intensitas nyeri ri
dalam bentuk skala nyeri numeric 3. Ada pengaruh
menurut Agency for Health Care terhadap penurun
Policy and Research (AHCPR). pada pasien post
fraktur femur di r
inap bedah Ruma
Orthopedi Suraka

Penulis dan Tahun Judul Penelitian Validitas


Sulistyorini, 2015 Pengaruh Hipnoterapi Penelitian ini dilakukan pada tahun Hasil uji T
Terhadap Penurunan 2015 Berpasang
Intensitas Nyeri Pada Penelitian ini dilakukan pada 27 menunjuk
Pasien Post Operasi responden. Desain penelitian ini pre- nilai signif
Dengan Skala Nyeri eksperimental dengan rancangan one (p>0,05) a
Sedang-Berat Di group pretest-posstest design. Sampel hipnoterap
Rumah Sakit berjumlah 16 responden, dengan teknik terhadap p
Bhayangkara Polda purposive sampling. Alat ukur yang intensitas
Kalbar digunakan adalah Numerical Rating operasi.
Scale (NRS). Analisis menggunakan Direkome
Uji T Berpasangan. Rumah Sa
Bhayangk
Kalbar aga
hipnoterap
satu terapi
nonfarmak
menurunk
nyeri post
Hipnotera
terhadap p
intensitas
post opera
agar peraw
mengaplik
hipnoterap
dengan ny
operasi.
BAB III
TINJAUAN TEORI

A. TEORI DAN KONSEP TERKAIT


1. Konsep Operasi
a. Definisi
Pembedahan atau operasi adalah semua tindakan pengobatan yang
menggunakan cara invasif dengan membuka atau menampilkan bagian
tubuh. Pada umumnya dilakukan dengan membuat sayatan, pada bagian
tubuh yang akan ditangani, lalu dilakukan tindakan perbaikan dan
diakhiri dengan penutupan dan penjahitan luka (Syamsuhidajat, 2010).
Pembedahan dilakukan untuk mendiagnosa atau mengobati suatu
penyakit, cedera atau cacat, serta mengobati kondisi yang sulit atau tidak
mungkin disembuhkan hanya dengan obat-obatan sederhana. Ada 3
faktor penting yang terkait dalam pembedahan yaitu penyakit pasien,
jenis pembedahan dan pasien itu sendiri. Dari ketiga faktor tersebut,
tindakan pembedahan adalah hal yang baik/benar. Bagi pasien sendiri,
pembedahan adalah hal yang paling mengerikan yang pernah mereka
alami. Mengingat hal tersebut di atas, sangatlah penting untuk
melibatkan pasien dalam setiap langkah langkah pre operatif (Baradero
& Mary, 2009).

b. Indikasi
Tidakan pembedahan/operasi dilakukan dengan berbagai indikasi
diantaranya adalah :
1) Diagnostik : biopsi atau laparotomy eksploitasi
2) Kuratif : eksisi tumor atau pengangkatan apendiks yang mengalami
inflamasi
3) Reparatif : memperbaiki luka multiple
4) Rekontruksif/kosmetik : mammoplasty, atau bedah plastic
5) Palliatif : seperti menghilangkan nyeri atau memperbaiki masalah,
contoh : pemasangan selang gastrotomi yang dipasang untuk
mengkompensasi terhadap ketidakmampuan menelan makanan

c. Klasifikasi operasi
1) Menurut urgensi dilakukan tindakan pembedahan, maka tindakan
pembedahan dapat diklasifikasikan menjadi 5 tingkatan, antara lain:
a) Kedaruratan/ Emergency : pasien membutuhkan perhatian
segera, gangguan mungkin mengancam jiwa. Indikasi dilakukan
pembedahan tanpa ditunda, misal : pendarahan hebat, obstruksi
kandung kemih atau usus, fraktur tulang tengkorak, luka tembak
atau tusuk, luka bakar sangat luas.
b) Urgen : pasien membutuhkan perhatian segera. Pembedahan
dapat dilakukan dalam 24-30 jam, misal : infeksi kandung kemih
akut, batu ginjal atau batu pada uretra.
c) Diperlukan pasien harus menjalani pembedahan. Pembedahan
dapat diriencanakan dalam beberapa minggu atau bulan, misal :
Hyperplasia prostate tanpa obstruksi kandung kemih. Gangguan
tyroid, katarak.
d) Efektif : pasien harus dioperasi ketika diperlukan. Indikasi
pembedahan, bila tidak dilakukan pembedahan maka tidak
terlalu membahayakan, misal : perbaikan sesar, hernia
sederhana, perbaikan vaginal.
e) Pilihan keputusan tentang dilakukannya pembedahan diserahkan
sepenuhnya kepada pasien. Indikasi pembedahan merupakan
pilihan pribadi dan biasanya terkait dengan estetika, misal :
bedah kosmetik.

2) Sedangkan menurut faktor resikonya, operasi dapat diklasifikasikan


sebagai besar atau kecil, tergantung pada keseriusan dari penyakit,
maka bagian tubuh yang terkena, kerumitan pengoperasian, dan
waktu pemulihan yang diharapkan
a) Operasi kecil adalah operasi yang paling sering dilakukan
dirawat jalan, dan dapat pulang di hari yang sama. Operasi ini
sedikit menimbulkan komplikasi.
b) Operasi besar adalah operasi yang penetrates dan exposes semua
rongga badan, termasuk tengkorak, termasuk pembedahan
tulang atau kerusakan signifikan dari anatomis atau fungsi faal.
Operasi besar meliputi pembedahan kepala, leher, dada dan
perut. Pemulihan dapat dalam waktu panjang dan dapat
melibatkan perawatan intensif dalam beberapa hari di rumah
sakit. Pembedahan ini memiliki resiko komplikasi yang lebih
tinggi setelah pembedahan.
Operasi besar sering melibatkan salah satu badan utama di
perutcavities (laparotomy), di dada (thoracotomy), atau
tengkorak (craniotomy) dan dapat juga pada organ vital. Operasi
yang biasanya dilakukan dengan menggunakan anastesi umum
di rumah sakit ruang operasi oleh tim dokter. Setidaknya pasien
menjalani perawatan satu malam di rumah sakit setelah operasi.
Operasi besar biasanya membawa beberapa derajat resiko bagi
pasien hidup, atau potensi cacat parah jika terjadi suatu
kesalahan dalam operasi, misalnya dalam sebuah prosedur
operasi besar dapat terjadi perubahan signifikan ke anatomi yang
terlibat dalam situasi di mana organ akan dihilangkan, atau sendi
yang dibangun dengan komponen buatan. Setiap penetrasi organ
tubuh dianggap sebagai operasi besar, seperti pembedahan
ekstensif pada tulang pada kaki. Bedah syaraf umumnya
dianggap utama karena resiko kepada pasien. Beberapa contoh
utama operasi meliputi : penggantian lutut, operasi
kasrdiovaskular, dan transplantasi organ. Prosedur ini pasti
membawa risiko bagi pasien seperti infeksi, pendarahan, atau
komplikasi dari yang menyebabkan kematirasaan umum
digunakan.
2. Konsep nyeri
a. Definisi
Nyeri merupakan bentuk ketidaknyamanan, yang didefinisikan dalam
berbagai perspektif. Berikut ini beberapa pengertian nyeri yang di kutip
dari berbagi sumber.

International Association for Study of Pain (1979), mendifinisikan nyeri


sebagai suatu sensori subjektif dan pengalaman emosional yang tidak
menyenangkan berkaitan dengan kerusakan jaringan yang bersifat
actual atau potensial atau yang dirasakan dalam kejadian-kejadian
dimana terjadi kerusakan.

Curton (1983) mengatakan bahwa nyeri merupakan mekanisme


produksi bagi tubuh, timbul ketika jaringan sedang rusak, dan
menyebabkan individu tersebut bereaksi untuk menghilangkan rasa
nyeri.

Tourne dan Theau-Yonneau (2007) dalam judha dkk (2012),


mendefiniskan nyeri sebagai pengalaman yang tidak menyenangkan,
baik sensori maupun emosional yang berhubungn dengan resiko atau
aktualnya kerusakan jaringan.

Secara medis mouncastle mendefinisikan nyeri sebagai pengalaman


sensori yang dibawa oleh stimulus sebagai akibat adanya ancaman atau
kerusakan jaringan, dapat disimpulkan bahwa nyeri adalah ketika
seseorang terluka (Prasetyo, 2010).

Definisi diatas merupakan definisi yang diterima sebagai definisi medis,


meskipun begitu definisi diatas hanya membatasi nyeri sebagai bentuk
dari kerusakan jaringan tubuh, padahal tidak setiap nyeri
mengindikasikan adanya kerusakan jaringan tubuh.
Definisi keperawatan menyatakan bahwa nyeri adalah sesuatu yang
menyakitkan tubuh yang diungkapkan secara subjektif oleh individu
yang mengalaminya . Nyeri dianggap nyata meskipun tidak ada
penyebab fisik atau sumber yang dapat diidentiftkasi. Meskipun
beberapa sensasi nyeri dihubungkan dengan status mental atau status
psikologis, pasien secara nyata merasakan sensasi nyeri dalam banyak
hal dan tidak hanya membayangkannya saja. Kebanyakan sensasi nyeri
adalah akibat dari stimulasi fisik dan mental atau stimuli emosional
(Prasetyo, 2010). Berdasarkan definisi- definisi di atas dapat
disimpulkan bahwa nyeri adalah suatu pengalaman sensori yang tidak
menyenangkan dan menyakitkan bagi tubuh sebagai respon karena
adanya kerusakan atau trauma jaringan maupun gejolak psikologis yang
diungkapkan secara subjektif oleh individu yang mengalaminya.

b. Fisologis nyeri
Nyeri selalau dikaitkan dengan adanya stimulus (rangsang nyeri) dan
reseptor. Reseptor yang dimaksud adalah nosiseptor, yaitu ujung-ujung
syaraf bebas pada kulit yang berespon terhadap stimulus yang kuat.
Munculnya nyeri dimulai dengan adanya stimulus nyeri. Stimulus-
stimulus tersebut dapat berupa biologis, zat kimia, panas, listrik serta
mekanik (Prasetyo, 2010).

c. Proses terjadinya nyeri


Rangkaian proses terjadinya nyeri diawali dengan tahap transduksi,
dimana hal ini terjadi ketika nosiseptor yang terletak pada bagian perifer
tubuh distimulasi oleh berbagai stimulus seperti factor biologis, zat
kimia, panas, listrik serta mekanik dan lain-lain.

Fast pain dicetuskan oleh reseptor tipe mekanis atau thermal (yaitu
serabut saraf A-Delta), sedangkan slow pain (nyeri lambat) biasanya
dicetuskan oleh serabut saraf C. Serabut saraf A-delta mempunyai
karakteristik menghantarkan nyeri dengan cepat serta bermielinasi, dan
serabut saraf C yang tidak bermielinasi, berukuran sangat kecil dan
bersifat lambat dalam menghantarkan nyeri. Serabut A mengirim sensai
yang tajam, terlokalisasi, dan jelaas dalam melokalisasin sumber nyeri
dan mendeteksi intensitas nyeri. Serabut C menyampaikan implus yang
tisak terlokalisasi (bersifat difusi), visceral dan terus-menerus.

d. Klasifikasi nyeri
Klasifikasi nyeri secara umum dibagi menjadi dua yaitu nyeri akut dan
nyeri kronis. Klasifikasi ini berdasarkan pada waktu atau durasi
terjadinya nyeri.
1) Nyeri akut
Nyeri akut adalah nyeri yang terjadi setelah cedera akut, penyakit
atau intervensi bedah dan memiliki awitan yang cepat, dengan
intensitas yang bervariasi (ringan smpai berat) dan berlangsung
untuk waktu singkat. Untuk tujuan definisi, nyeri akut dapat
dijelskan sebagai nyeri yang berlangsung dari beberapa detik hingga
enam bulan. Nyeri akut terkadang disertai oleh aktivitas system saraf
simpatis yang akan memperlihatkan gerjala-gejala seperti peningktn
respirasi, peningkatn tekanan darah, peningkatan denyut jantung,
diaphoresis, dan dilatasi pupil. Klien yang menglami nyeri akut juga
biasanyaakan memperlihatkn respin emosi dan perilku seperti
menangis, mengerang kesakitan, mengerutkan wajah, atau
menyeringai.
2) Nyeri kronik
Nyeri kronik adalah nyeri konstan atau intermiten yang menetap
sepanjang suatu periode waktu. Nyeri kronik berlangsung lama,
intensitas yang bervariasi, dn biasanya berlangsung lebih dari 6
bulan. Nyeri kronik dibagi menjadi dua, yaitu nyeri kronik
nonmalignant dan malignan. Nyeri kronik malignan merupakan
nyeri yang timbul akibat cedera jaringan yang tidak progresif atau
yang menyembuh (Shceman, 2009 dalam Potter & Perry, 2005), bisa
timbul yanpa penyebab yang jelas misalnya nyeri pinggang bawah,
dan nyeri yang didasari kondisi kronis, misalnya ostheoarthritis.
Sementara nyeri kronik malignan yang disebut juga nyeri kanker
memiliki penyebab nyeri yang dapat diidentifikasi, yaitu terjadi
akibat perubahan pada saraf. Perubahan ini terjadi bisa karena
penekanan pada saraf akibat metastasis sel-sek kanker maupun zat-
zat kimia yang dihasilkan oleh kanker itu sendiri.

Berdasarkan sumbernya, nyeri dapat dibedakan menjadi nyeri nosiseptif


dan neuropatik (Potter & Perry, 2005).
1) Nyeri nosiseptif
Nyeri nosiseptif merupakan nyeri yang diakibatkan oleh aktivasi
atau sensitivitas nosiseptor perifer yang merupakan reseptor khusus
yang menghantarkan stimulus noxious. Nyeri nosiseptif perifer
dapat terjadi karena adanya stimulus yang mengenai kulit, tulang,
sendi, otot, jaringan ikat, dan lain-lain. Hal ini dapatb terjadi pada
nyeri post operatif dan nyeri kanker.
Dilihat dari sifat nyerinya maka nyeri nosiseptif merupakan nyeri
akut. Nyeri akut merupakan nyeri nosiseptif yang mengenai daerah
perifer dan letaknya lebih terlokalisasi.
2) Nyeri neuropatik
Nyeri neuropatik merupakan hasil suatu cedera atau abnormalitas
yang didapat pada struktur saraf perifer maupun sentral. Berbeda
dengan nyeri nosiseptif, nyeri neuropatik bertahan lebih lama dan
merupakan proses input saraf sensorik yang abnormal oleh system
saraf perifer. Nyeri ini lebih sulit diobati. Pasien akan mengalami
nyeri seperti rasa terbakar, tingling, shooting, shock like, hypergesia,
atau allodyna. Nyeri neuropati dari sifat nnyerinya merupakan nyeri
kronis.

e. Factor-faktor yang mempengaruhi nyeri


McCaffery & Pasero (1999) dalam Prasetyo (2010) menyatakan bahwa
hanya klienlah yang paling mengerti dan memahami tentang nyeri yang
ia rasakan. Oleh karena itulah dikatakan klien sebagai expert tentang
nyeri yang ia rasakan (Andarmoyo, 2013).
Terdapat berbagai factor yang dapat mempengaruhi persepsi individu
terhadap nyeri. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi reaksi nyeri
tersebut antara lain:
1) Usia
Anak yang masih kecil mempunyai kesulitan memahami nyeri dan
prosedur yang dilakukan perawat yang menyebabkan nyeri. Sebab,
mereka belum dapat mengucapkan kata-kata untuk mengungkapkan
secara verbal dan mengekspresikan kepada orang tua atau petugas
kesehatan. Sedangkan pada lansia, seorang perawat harus
melakukan pengkajian secara lebih rinci ketika seorang lansia
melaporkan adanya nyeri. Pada kondisi lansia sering memiliki
sumber nyeri yang lebih dari satu.
2) Jenis kelamin
Secara umum pria dan wanita tidak berbeda secara signifikan dalam
merespon terhadap nyeri. Diragukan apakah hanya jenis kelamin
saja yang merupakan suatu faktor dalam pengekspresian nyeri.
3) Kebudayaan
Mengenali nilai-nilai kebudayaan yang dimiliki seseorang dan
memahami mengapa nilai-nilai ini berbeda dari nilai-nilai
kebudayaan lainnya dapat membantu untuk menghindari
mengevaluasi perilaku pasien berdasarkan pada harapan dan nilai
budaya seseorang. Perawat yang mengetahui perbedaan budaya
akan mempunyai pemahaman yang lebih besar tentang nyeri pasien
dan akan lebih akurat dalam rnengkaji nyeri dan reaksi perilaku
terhadap nyeri juga efektif dalarn menghilangkan nyeri pasien.
4) Makna Nyeri
Makna seseorang yang dikaitkan dengan nyeri memengaruhi
pengalaman nyeri dan cara seseorang beradaptasi terhadap nyeri.
Hal ini juga dikaitkan secara dekat dengan latar belakang budaya
individu tersebut.
5) Perhatian
Tingkat seorang klien mefokuskan perhatiannya pada nyeri dapat
memengaruhi persepsi nyeri. Perhatian yang meningkat
dihubungkan dengan nyeri meningkat, sedangkan upaya pengalihan
dihubungkan dengan respon nyeri yang menurun.
6) Ansietas
Hubungan antara nyeri dan ansietas bersifat kompleks, ansietas yang
dirasakan seseorang seringkali meningkatkan persepsi nyeri, akan
tetapi nyeri juga dapat menimbulkan perasaan ansietas.
7) Keletihan
Keletihan/ kelelahan yang dirasakan seorang akan menigkatkan
persepsi nyeri. Rasa kelelahan akan menyebabkan sensasi nyeri
semakin intensif dan menurunkan koping.
8) Pengalaman Sebelumnya
Apabila individu sejak lama sering mengalami serangkaian episode
nyeri tanpa pernah sembuh atau menderita nyeri yang berat maka
ansietas atau bahkan rasa takut dapat muncul. Sebaliknya, apabila
individu mengalami nyeri dengan jenis yang sama berulang-ulang
tetapi kemudian nyeri tersebut dengan berhasil dihilangkan, akan
lebih mudah bagi individu tersebut untuk menginterpretasikan
sensasi nyeri akibatnya, klien akan lebih siap untuk melakukan
tindakan-tindakan yang diperlukan untuk menghilangkan nyeri.
9) Gaya Koping
Nyeri dapat menyebabkan ketidakmampuan, baik sebagian maupun
keseluruhan/ total. Klien sering kali menemukan berbagai cara untuk
mengembangkan koping terhadap efek fisik dan psikologis nyeri.
10) Dukungan Keluarga dan Sosial
Individu yang mengalami nyeri seringkali bergantung pada anggota
keluarga atau teman dekat untuk memperoleh dukungan, bantuan,
atau perlindungan. Walaupun nyeri tetap klien rasakan, kehadiran
orang yang dicintai akan meminimalkan kesepian dan ketakutan
f. Pengukuran intensitas nyeri
Intensitas nyeri merupakan gambaran tentang seberapa parah nyeri
dirasakan oleh individu. Pengukuran intensitas nyeri sangat subjektif
dan kemungkinan nyeri dalam intensitas yang sama dirasakan sangat
berbeda oleh dua orang yang berbeda oleh dua orang yang berbeda.
Pengukuran nyeri dengan pendekatan objektif yang paling mungkin
adalah menggunakan respon fisiologik tubuh terhadap nyeri itu sendiri.
Namun, pengukuran dengan tehnik ini juga tidak dapat memberikan
gambaran pasti tentang nyeri itu sendiri (Tamsuri, 2007).

Alat pengukur skala nyeri adalah alat yang digunakan untuk mengukur
skala nyeri yang dirasakan seseorang dengan rentang 0 sampai 10.
Terdapat tiga alat pengukur skala nyeri, yaitu :
1) Numerical Rating Scale (NRS)

Gambar 2.1 Skala Pengukur Nyeri NRS


Merupakan skala yang digunakan untuk pengukuran nyeri pada
dewasa. Dimana 0 tidak ada nyeri, 1-3 nyeri ringan, 4-6 nyeri
sedang, 7-9 nyeri berat, dan 10 sangat nyeri (National Precribing
Service Limited, 2007).

2) Visual Analogue Scale (VAS)


Gambar 2.2 Skala Pengukur Nyeri VAS

Skala pengukur nyeri VAS merupakan skala berupa garis lurus


dengan panjang biasanya 10 cm. Interpretasi nilai VAS 0-3
merupakan nyeri ringan, 4-6 merupakan nyeri sedang dan 7-9 adalah
nyeri berat dan 10 adalah nyeri terberat (National Precribing Service
Limited, 2007).

3) Face Rating Scale (FRS)

Gambar 2.3 Skala Pengukur Nyeri Face Ratting Scale


Skala pengukur nyeri Wong & Baker (1988) dalam Potter & Perry
(2006) banyak digunakan oleh tenaga kesehatan untuk mengukur
nyeri pada pasien anak. Perawat terlebih dulu menjelaskan tentang
perubahan mimik wajah sesuai rasa nyeri dan pasien memilih sesuai
dengan rasa nyeri yang dirasakan. Interpretasinya adalah 0 tidak ada
nyeri, 2 sedikit nyeri, 4 sedikit lebih nyeri, 6 semakin lebih nyeri, 8
nyeri sekali, 10 sangat sangat nyeri (National Precribing Service
Limited, 2007).
Keterangan :
0 :Tidak nyeri
1-3 : Nyeri ringan : secara obyektif klien dapat berkomunikasi
dengan baik dan memiliki gejala yang tidak dapat terdeteksi.
4-6 : Nyeri sedang : Secara obyektif klien mendesis,menyeringai,
dapat menunjukkan lokasi nyeri, dapat mendeskripsikannya, dapat
mengikuti perintah dengan baik. Memiliki karateristik adanya
peningkatan frekuensi pernafasan , tekanan darah, kekuatan otot,
dan dilatasi pupil.
7-9 : Nyeri berat : secara obyektif klien terkadang tidak dapat
mengikuti perintah tapi masih respon terhadap tindakan, dapat
menunjukkan lokasi nyeri, tidak dapat mendeskripsikannya, tidak
dapat diatasi dengan alih posisi nafas panjang dan distraksi.
Memiliki karateristik muka klien pucat, kekakuan otot, kelelahan
dan keletihan
10 : Nyeri sangat berat : Pasien sudah tidak mampu lagi
berkomunikasi, memukul.

Karakteristik paling subyektif pada nyeri adalah tingkat keparahan


atau intensitas nyeri tersebut. Klien seringkali diminta untuk
mendeskripsikan nyeri sebagai yang ringan, sedang atau parah.
Namun, makna istilah-istilah ini berbeda bagi perawat dan klien.
Dari waktu ke waktu informasi jenis ini juga sulit untuk dipastikan.
Skala deskriptif merupakan alat pengukuran tingkat keparahan nyeri
yang lebih obyektif. Skala pendeskripsi verbal (Verbal Descriptor
Scale, VDS) merupakan sebuah garis yang terdiri dari tiga sampai
lima kata pendeskripsi yang tersusun dengan jarak yang sama di
sepanjang garis. Pendeskripsi ini diurut dari “tidak terasa nyeri”
sampai “nyeri yang tidak tertahankan”. Perawat menunjukkan klien
skala tersebut dan meminta klien untuk memilih intensitas nyeri
terbaru yang ia rasakan. Perawat juga menanyakan seberapa jauh
nyeri terasa paling menyakitkan dan seberapa jauh nyeri terasa
paling tidak menyakitkan. Alat VDS ini memungkinkan klien
memilih sebuah kategori untuk mendeskripsikan nyeri. Skala
penilaian numerik (Numerical rating scales, NRS) lebih digunakan
sebagai pengganti alat pendeskripsi kata. Dalam hal ini, klien
menilai nyeri dengan menggunakan skala 0-10. Skala ini paling
efektif digunakan saat mengkaji intensitas nyeri sebelum dan setelah
intervensi terapeutik. Apabila digunakan skala untuk menilai nyeri,
maka direkomendasikan patokan 10 cm (Potter & Perry, 2006).

Skala analog visual (Visual analog scale, VAS) tidak melebel


subdivisi. VAS adalah suatu garis lurus, yang mewakili intensitas
nyeri yang terus menerus dan pendeskripsi verbal pada setiap
ujungnya. Skala ini memberi klien kebebasan penuh untuk
mengidentifikasi keparahan nyeri. VAS dapat merupakan
pengukuran keparahan nyeri yang lebih sensitif karena klien dapat
mengidentifikasi setiap titik pada rangkaian dari pada dipaksa
memilih satu kata atau satu angka (Potter & Perry, 2006).
Skala nyeri harus dirancang sehingga skala tersebut mudah
digunakan dan tidak mengkomsumsi banyak waktu saat klien
melengkapinya. Apabila klien dapat membaca dan memahami skala,
maka deskripsi nyeri akan lebih akurat. Skala deskriptif bermanfaat
bukan saja dalam upaya mengkaji tingkat keparahan nyeri, tapi juga,
mengevaluasi perubahan kondisi klien. Perawat dapat menggunakan
setelah terapi atau saat gejala menjadi lebih memburuk atau menilai
apakah nyeri mengalami penurunan atau peningkatan (Potter &
Perry, 2006).

g. Penatalaksanaan nyeri
1) Penatalaksanaan nyeri secara farmakologi
Penatalaksanaan nyeri secara farmakologi melibatkan penggunaan
opiat (narkotik), nonopiat/ obat AINS (anti inflamasi nonsteroid),
obat-obat adjuvans atau koanalgesik. Analgesik opiat mencakup
derivat opium, seperti morfin dan kodein. Narkotik meredakan nyeri
dan memberikan perasaan euforia. Semua opiat menimbulkan
sedikit rasa kantuk pada awalnya ketika pertama kali diberikan,
tetapi dengan pemberian yang teratur, efek samping ini cenderung
menurun. Opiat juga menimbulkan mual, muntah, konstipasi, dan
depresi pernapasan serta harus digunakan secara hati-hati pada klien
yang mengalami gangguan pernapasan (Berman, et al. 2009).

Nonopiat (analgesik non-narkotik) termasuk obat AINS seperti


aspirin dan ibuprofen. Nonopiat mengurangi nyeri dengan cara
bekerja di ujung saraf perifer pada daerah luka dan menurunkan
tingkat mediator inflamasi yang dihasilkan di daerah luka. (Berman,
et al. 2009).

Analgesik adjuvans adalah obat yang dikembangkan untuk tujuan


selain penghilang nyeri tetapi obat ini dapat mengurangi nyeri kronis
tipe tertentu selain melakukan kerja primernya. Sedatif ringan atau
obat penenang, sebagai contoh, dapat membantu mengurangi
spasme otot yang menyakitkan, kecemasan, stres, dan ketegangan
sehingga klien dapat tidur nyenyak. Antidepresan digunakan untuk
mengatasi depresi dan gangguan alam perasaan yang mendasarinya,
tetapi dapat juga menguatkan strategi nyeri lainnya (Berman, et al.
2009).

2) Penatalaksanaan nyeri secara non farmakologi


a) Stimulasi dan masase kutaneus
Masase adalah melakukan tekanan tangana pada jaringan lunak,
biasanya otot, tendon, atau ligamentum, tanpa menyebabkan
gerakan atau perubahan posisi sendi untuk meredakan nyeri,
menghasilkan relaksasi, dan/ atau mem[perbaiki sirkulasi
(Andarmoyo, 2013).
b) Terapi es dan panas
Terapi es dapat menurunkan prostaglandin, yang memperkuat
sensitivitas reseptor nyeri dan subkutan lain pada tempat cedera
dengan menghambat proses inflamasi. Penggunaan panas
mempunyai keuntungan meningkatkan aliran darah ke suatu
area dan kemungkinan dapat turut menurunkan nyeri dengan
mempercepat penyembuhan. Baik terapi es maupun terapi panas
harus digunakan dengan hati-hati dan dipantau dengan cermat
untuk menghindari cedera kulit (Andarmoyo, 2013).
c) Trancutaneus electric nerve stimulation
Trancutaneus electric nerve stimulation (TENS) menggunakan
unit yang dijalankan oleh baterai dengan elektroda yang
dipasang pada kulit untuk menghasilkan sensasi kesemutan,
menggetar atau mendengung pada area nyeri. TENS dapat
digunakan baik untuk nyeri akut maupun nyeri kronis
(Andarmoyo, 2013).
d) Distraksi
Distraksi yang mencakup memfokuskan perhatian pasien pada
sesuatu selain pada nyeri dapat menjadi strategi yang berhasil
dan mungkin merupakan mekanisme yang bertanggung jawab
terhadap teknik kognitif efektif lainnya. Seseorang yang kurang
menyadari adanya nyeri atau memberikan sedikit perhatian pada
nyeri akan sedikit terganggu oleh nyeri dan lebih toleransi
terhadap nyeri. Distraksi diduga dapat menurunkan persepsi
nyeri dengan menstimulasi sistem kontrol desenden, yang
mengakibatkan lebih sedikit stimuli nyeri yang ditransmisikan
ke otak (Smeltzer & Bare, 2002).
e) Teknik relaksasi
Relaksasi otot skeletal dipercaya dapat menurunkan nyeri
dengan merilekskan ketegangan otot yang menunjang nyeri.
Hampir semua orang dengan nyeri kronis mendapatkan manfaat
dari metode relaksasi. Periode relaksasi yang teratur dapat
membantu untuk melawan keletihan dan ketegangan otot yang
terjadi dengan nyeri kronis dan yang meningkatkan nyeri
(Smeltzer & Bare, 2002).
f) Imajinasi terbimbing
Imajinasi terbimbing adalah mengggunakan imajinasi seseorang
dalam suatu cara yang dirancang secara khusus untuk mencapai
efek positif tertentu. Sebagai contoh, imajinasi terbimbing untuk
relaksasi dan meredakan nyeri dapat terdiri atas menggabungkan
napas berirama lambat dengan suatu bayangan mental relaksasi
dan kenyamanan (Smeltzer & Bare, 2002).
g) Hipnosis
Hipnosis adalah sebuah tekhnik yang menghasilkan suatu
keadaan yang tidak sadarkan diri, yang dicapai melalui gagasan-
gagasan yang disampaikan oleh orang yang menghipnotisnya
(Depkes, 1984). Hipnosis dapat membantu mengubah persepsi
nyeri melalui pengaruh sugesti psoitif.

3. Konsep hipnoterapi
a. Definis Hipnoterapi
Merupakan salah satu cabang ilmu psikologi yang mempelajari
pemanfaatan sugesti untuk mengatasi masalah psikologis yang meliputi
pikiran, perasaan dan perilaku. Hipnoterapi merupakan suatu aplikasi
modern dalam teknik kuno yang mengaplikasikan trance-hypnosis.
Penerapan hipnoterapi akan membimbing klien untuk memasuki
kondisi trance (relaksasi pikiran) agar dapat dengan mudah menerima
sugesti yang diberikan oleh hipnoterapis. Dalam kondisi trance, pikiran
bawah sadar klien akan diberikan sugesti positif guna melakukan
penyembuhan gangguan psikologis atau dapat pula digunakan untuk
mengubah pikiran, perilaku, dan perasaan agar menjadi lebih baik
(As’adi, 2011).

Periode trance merupakan periode dimana hipnoterapis mengubah


keterbatasan pemahaman klien agar menjadi reseptif terhadap sugesti
positif yang diberikan oleh hipnoterapis untuk tujuan terapi.
Berdasarkan penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa hipnoterapi
merupakan suatu teknik terapi pikiran yang menggunakan metode
hypnosis. Hipnoterapi merupakan suatu metode untuk membantu
seseorang dalam memanfaatkan asosiasi mental, kenangan, dan potensi
hidup untuk tujuan terapi yang diinginkan. Sugesti hypnosis mengasah
kemampuan dan potensi yang terpendam dalam diri seseorang akibat
kurangnya pelatihan dan pemahaman (Erickson & Rossi, 1979).
Hipnoterapi sebagai penyembuhan gangguan jiwa dengan membawa
individu ke suatu keadaan trance agar individu tersebut mengeluarkan
isi hati, dalam keadaan sadar individu tersebut tidak bersedia untuk
bercerita (KBBI, 2008).

Wolman (1983) mendefinisikan hipnoterapi sebagai metode sugesti


tanpa menggunakan alat. Hipnoterapi sebagai sebuah metode untuk
mengubah perilaku melalui perkataan atau bisikan yang cenderung
melibatkan teori-teori psikologi dan konsep klinis ke dalam terapi
tersebut. Hal yang penting untuk diingat dan ditekankan dalam
penggunaan hipnoterapi yaitu bisa terjadi perbedaan antara proses
induksi dengan apa yang ditransfer oleh hipnoterapis. Hal tersebut
berarti hipnoterapi merupakan proses yang dinamis yang berpusat pada
individu (yang di hypnosis) itu sendiri dan hypnosis memiliki strategi
dan taktik induksi yang secara jelas menunjukkan bahwa individu bisa
teripnosis dengan cara tidak memfungsikan alam sadar selama proses
hipnoterapi dan lebih kepada pengimplementasian keadaan dimana
individu tersebut berkonsentrasi.

Hipnoterapi sebagai hal yang berkenaan dengan hal kejiwaan dan


pengalaman pribadi individu dapat digunakan untuk proses penyatuan
dan memperkuat hubungan antara hasil, mekanisme hasil dan terapi
perilaku. Kapasitas seorang hipnoterapis mengakses kognitif untuk
menghasilkan sikap/perilaku yang diinginkan dalam menghasilkan
feedback dengan menggunakan pendekatan yang dinamis untuk
memodifikasi perilaku selama terapi dilakukan. Berdasarkan pendapat
para ahli diatas maka dapat disimpulkan bahwa hipnoterapi merupakan
salah satu teknik terapi yang memanfaatkan sugesti dan alam bawah
sadar untuk mengubah perilaku sesuai dengan keinginan.

b. Dasar Teori Hipnoterapi


Telah banyak penulis yang mencoba memberi keterangan mengenai
fenomena hipnosis dan banyak sekali teori yang diungkapkan. Teori-
teori yang diajukan, antara lain: teori imobilisasi, teori hipnosis sebagai
suatu status histeria, teori yang didasari perubahan fisiologis serebral,
teori hipnosis sebagai suatu proses menuju tidur yang dikondisikan,
teori aktifitas dan inhibisi ideomotor, teori disosial, teori memainkan
peran (Role-Playing), teori regresi, teori hipersugestibilitas
(hypersuggestibility), serta teori psikosomatik. Secara umum, teori-teori
mengenai hipnosis tersebut dibagi dalam dua kategori besar, yaitu:
1) Teori berdasarkan Neuropsiko-fisiologis
Teori berdasarkan neuropsiko-fisiologis menerangkan hipnosis
sebagai suatu keadaan dimana kondisi otak berubah dan oleh karena
itu, faal otakpun juga berubah. Teori berdasarkan psikologis yang
memandang sebagai hubungan antarmanusia yang khas (termasuk
teori sugesti, disosiasi, psikoanalitik, psychic relative exclusion, dan
lain-lain).
2) Teori Psikofisiologis
Beberapa peneliti menerapkan formasi retikulare, hipokampus, dan
struktur subkortikal yang memerantarai komunikasi. Teori-teori lain
termasuk inhibisi sel ganglion otak, eksitasi dan inhibisi dari neuron-
neuron, fokus eksitasi sentral yang mengelilingi area non eksitasi,
anemia serebral, pergeseran energi saraf dari sistem saraf pusat
menuju sistem vasomotor, perlambatan vasomotor mengakibatkan
anemia lobus frontal “synaptic ablation” dimana impuls-impuls
saraf langsung masuk ke dalam sejumlah bagian yang lebih kecil
(perhatian selektif) juga dipertimbangkan.
3) Teori Imobilisasi
Hipnosis suatu waktu mungkin diperlukan oleh manusia sebagai
mekanisme pertahanan untuk menghadapi ketakutan atau bahaya.
Teori ini berdasarkan pada pengamatan Pavlov bahwa satu-satunya
kesempatan seekor hewan bertahan hidup adalah untuk tetap imobile
(tidak bergerak) agar terlepas dari pengamatan. (Kroger, 2008).
Walaupun diinduksi berbeda-beda pada hewan, RI (Reaksi
Imobilisasi) ditimbulkan terutama oleh faktor fisik dan insting. Pada
manusia diakibatkan dari interaksi faktor-faktor ini dengan
pengalaman arti dari simbul dan kata-kata. Hipnosis manusia dan
hewan tidak mirip. Induksi berulang pada hewan dengan penurunan
kerentanan hipnotik, sedangkan pada manusia meningkatkannya.
(Kroger, 2008).
Pada umumnya, stimulus sekuat apapun seperti ketakutan,
menyebabkan hewan dan manusia tertentu ”membeku”. Konsep ini
berlanjut pada teori hipnosis “pingsan-mati”. Akan tetapi, teori ini
tidak menjelaskan bagaimana hipnosis terjadi pada manusia.
Bersamaan dengan itu, hipnosis dijelaskan sebagai suatu keadaan
kesiapan tindakan emosi yang makin bertambah menghubungkan ke
bawah pada pengaruh korteks sebagai satu filogeni ke atas, namun
demikian secara konsisten muncul pada organisme hewan dalam
berbagai bentuk. (Kroger, 2008).
4) Hipnosis sebagai suatu Status Histeria
Pada suatu waktu, hipnosis dianggap sebagai suatu gejala histeria.
Hanya individu histeris yang diyakini dapat dihipnosis. Kesimpulan
ini diambil oleh Charcot dengan dasar hanya beberapa kasus dalam
keadaan patologis. Hipotesis seperti ini tidak dapat dipertahankan,
seberapa besar kerentanan terhadap hipnosis adalah tidak
patognomonik pada neurosis. Individu normal nyatanya dengan
mudah dihipnosis. (Kroger, 2008).
5) Teori Tidur yang Dikondisikan
Teori Keadaan Alpha dan Theta. Melalui data yang dikumpulkan
dari Electroencephalography (EEG), diidentifikasikan dari impuls
elektrik yang dipancarkan oleh otak ada empat macam frekuensi
pola gelombang otak yang pokok. Keadaan Beta (waspada/bekerja)
didefinisikan sebagai 14-32 putaran per detik / cycles per second
(CPS), keadaan Alpha (santai/relax) sebagai 7-14 CPS, keadaan
Theta (mengantuk) sebagai 4-7 CPS, dan keadaan Delta
(tidur/bermimpi/tidur pulas) kira-kira 3-5 CPS. (Kroger, 2008).
Satu definisi fisiologis dari keadaan hipnosis adalah bahwa tingkat
gelombang otak yang diperlukan untuk mengatasi masalah, seperti
berhenti merokok, penanganan masalah berat badan, pengurangan
fobia, peningkatan kemampuan olahraga, dan lain-lain adalah
keadaan alpha. Keadaan alpha pada umumnya diasosiasikan dengan
menutup mata, relaksasi, dan melamun. (Kroger, 2008).
Definisi fisiologis lain menyebutkan bahwa keadaan theta
diperlukan untuk perubahan therapeutic (berhubungan dengan
pengobatan). Keadaan theta dikaitkan dengan hipnosis untuk
pembedahan, hipnoanestesia (penggunaan hipnosis untuk
mematirasakan rasa sakit) dan hipnoanalgesia (penggunaan hipnosis
untuk mengurangi kepekaan terhadap rasa sakit), dimana
pembedahan lebih siap dilakukan dalam keadaan theta dan delta.
Obat bius (anestetik), zat penenang (sedatif), dan hipnosis
mengacaukan keselarasan saraf yang dianggap mendasari terjadinya
gelombang theta, baik pada manusia maupun binatang. (Kroger,
2008).
6) Teori Inhibisi dan Aktivitas Ideomotor
Hal itu dianggap oleh beberapa penulis bahwa efek sugestibilitas
adalah hasil dari inhibisi dan tindakan ideomotor, dan sugestibilitas
hanya sebuah pengalaman dari imaginasi yang diaktualisasikan
hingga aktivitas ideomotor. (Kroger, 2008).
7) Teori Neodisosiasi dan Disosiasi
Selama beberapa tahun diduga bahwa seseorang yang dihipnosis
berada dalam kondisi disosiasi, area-area tertentu dari perilaku
terbelah dari aliran utama kesadaran. Oleh karena itu, hipnosis
menghapus kontrol kehendak dan sebagai hasilnya seseorang
merespon hanya dengan perilaku otonomik pada tingkat refleks. Jika
teori disosiasi adalah valid, maka amnesia dapat dihilangkan oleh
sugesti dari pelaksana. Selain itu, amnesia akan selalu terjadi secara
spontan. Hipnosis telah dijelaskan sebagai disosiasi kesadaran dari
sebagian besar sensori meski dengan tegas peristiwa yang
berhubungan dengan saraf disimpan. Golongan disosiasi tidak hanya
hipnosis tetapi juga banyak kondisi siaga/waspada lain dari
kesadaran seperti mimpi-mimpi, kondisi hipnagogik, “highway
hypnosis”, kondisi melamun, pemisahan atau depersonalisasi dilihat
pada beberapa tipe pemujaan agama/ ritual agama dan banyak
fenomena mental lainnya. (Kroger, 2008).
8) Teori Disosiasi
Teori lama ini tidak mempunyai nama baik lagi ketika diperagakan
lebih sering sebagai ganti dari amnesia atau disosiasi. Di sana ada
hyperacuity dan pengaturan yang lebih baik dari seluruh makna
selama hipnosis. Oleh karena itu, meskipun beberapa tingkat dari
disosiasi terjadi ketika amnesia muncul, itu bukan berarti indikasi
bahwa disosiasi menghasilkan hipnosis atau serupa untuknya.
Meskipun teori ini tidak diselesaikan, Hilgard menunjukkan bahwa
kontrol ego normal adalah memperhatikan kebutuhan,
memperbolehkan perilaku yang dapat diterima masyarakat dan
pilihan yang masuk akal. Namun demikian, dia mencatat bahwa
proses lain dibawa di sisi luar kontrol normal dimana pada saatnya
dapat berfungsi simultan dengan mereka. (Kroger, 2008).
9) Teori Memainkan Peran (Role Playing)
Teori ini beranggapan bahwa individu yang dihipnosis memainkan
peran dan membiarkan penghipnosis menciptakan realitas untuk
mereka. Umumnya, selama proses hipnosis orang menjadi lebih
reseptif (mudah menerima) sugesti, menyebabkan mereka berubah
dalam cara merasakan, berpikir, dan berperilaku. Beberapa
psikolog, seperti Robert Baker mengklaim bahwa apa yang kita
sebut dengan hipnosis sebenarnya adalah bentuk dari perilaku sosial
yang dipelajari. Sementara psikolog seperti Sarbin dan Spanos
beranggapan bahwa subjek bermain peran dengan pengharapan
sosial yang kuat, subjek percaya bahwa mereka dalam keadaan
terhipnosis, kemudian mereka berperilaku dengan cara yang mereka
bayangkan bagaimana seorang yang dihipnosis akan berperilaku.
(Kroger, 2008).
10) Teori Regresi
Konsep Psikoanalisis: Sebuah tiruan di antara psikoanalisis dan teori
fisiologi Pavlov dicoba oleh Kubic dan Margolin. Peneliti-peneliti
ini merasa bahwa subyek menuju sebuah regresi infantile dengan
hipnosis penuh berisi sebuah peran permainan dahulu oleh orangtua.
Gill dan Brenman beranggapan bahwa hipnosis adalah sebuah
regresi pelayanan dari ego, transferensi (sebuah
transfer/pemindahan oleh pasien kepada pelaksana dari perasaan
emosi terhadap orang lain) adalah sebuah elemen penting dari
hipnosis. Kubic percaya motivasi lebih bermakna daripada konsep
regresi dalam memahami respon hipnosis. Hodge menekankan
konsep kontraktual dari hipnosis. Sebagai sebuah ilustrasi dari
konsep ketidakpatuhan yang lebih besar. (Kroger, 2008).

c. Tujuan Hipnoterapi
Pada saat ini, tujuan dari hipnoterapi adalah untuk mengatasi masalah-
masalah sebagai berikut :
1) Masalah Fisik dan Fisiologis
Ketegangan otot, hipertensi, dan rasa nyeri yang berlebihan dapat
dibantu dengan hipnoterapi. Hipnoterapi dapat membuat tubuh
menjadi rileks dan mengurangi intensitas nyeri yang berlebihan
secara drastis.
2) Masalah Emosi dan Psikologis
Serangan panik, ketegangan dalam menghadapi ujian, kemarahan,
rasa bersalah, cemas, fobia, kurang percaya diri, dan lain-lain adalah
masalah-masalah emosi yang berhubungan dengan rasa takut dan
kegelisahan. Semua masalah di atas bisa diatasi dengan hipnoterapi.

3) Masalah Perilaku
Masalah perilaku seperti merokok, makan berlebihan hingga
menyebabkan obesitas, minum minuman keras yang berlebihan,
gangguan tidur, dan berbagai macam perilaku ketagihan, dapat
diatasi dengan hipnoterapi.

d. Proses Hipnoterapi
Aktivitas pikiran manusia secara sederhana dikelompokkan ke dalam
empat wilayah yang dikenal dengan istilah Brainwave, yaitu : Beta,
Alpha, Theta, dan Delta.

Beta adalah kondisi pikiran pada saat sesorang sangat aktif dan waspada.
Kondisi ini adalah kondisi umum ketika seseorang tengah beraktivitas
normal. Frekuensi pikiran pada kondisi ini sekitar 14-24 CPS (diukur
dengan perangkat EEG).

Alpha adalah kondisi ketika seseorang tengah fokus pada suatu hal atau
pada saat seseorang dalam kondisi relaksasi. Frekuensi pikiran pada
kondisi ini sekitar 7-14 CPS.

Theta adalah kondisi relaksasi yang sangat ekstrim, sehingga seakan-


akan yang bersangkutan merasa “tertidur”, kondisi ini seperti halnya
pada saat seseorang melakukan meditasi yang sangat dalam. Theta juga
disebut sebagai gelombang pikiran ketika seseorang tertidur dengan
bermimpi, atau kondisi REM (Rapid Eye Movement). Frekuensi pikiran
pada kondisi ini sekitar 3.5-7 CPS.

Delta adalah kondisi tidur normal (tanpa mimpi). Frekuensi pikiran pada
kondisi ini sekitar 0.5-3.5 CPS. Kondisi hipnosis sebenarnya identik
dengan gelombang otak alfa dan theta. Saat seseorang berada dalam
kondisi trance maka kisaran gelombang otaknya pasti berada di antara
alfa dan theta. Yang sangat menarik, bahwa kondisi Beta, Alpha, dan
Theta, merupakan kondisi umum yang berlangsung secara bergantian
dalam diri kita. Suatu saat kita di kondisi Beta, kemudian sekian detik
kita berpindah ke Alpha, sekian detik berpindah ke Theta, dan kembali
lagi ke Beta, dan seterusnya. (Ellias.,2009). Pada saat setiap orang
menuju proses tidur alami, maka yang terjadi adalah gelombang pikiran
ini secara perlahan-lahan akan menurun mulai dari Beta, Alpha, Theta,
kemudian Delta dimana kita benar-benar mulai tertidur. Perpindahan
wilayah ini tidak berlangsung dengan cepat, sehingga sebetulnya
walaupun seakan-akan seseorang sudah tampak tertidur, mungkin saja
ia masih berada di wilayah Theta. Pada wilayah Theta seseorang akan
merasa tertidur, suara-suara luar tidak dapat didengarkan dengan baik,
tetapi justru suara-suara ini didengar dengan sangat baik oleh pikiran
bawah sadarnya, dan cenderung menjadi nilai yang permanen, karena
tidak disadari oleh “pikiran sadar” yang bersangkutan.

e. Sistim pikiran manusia


Sekalipun otak manusia adalah organ fisik yang sangat kompleks, para
ilmuan bisa menemukan setidaknya ada tiga jenis system yang bekerja
dan saling bekerja sama di dalamnya.
1) Conscious Mind (CM, alam sadar)
Adalah bagian yang bersifat logika dan analitis. Ia berfungsi untuk
mencari alasan-alasan mengapa ingin melakukan sesuatu, serta
berurusan dengan fungsi memori sementara. Secara singkat, CM
adalah sistem yang dipakai jika sedang berpikir apapun, misalnya
ketika memilih menu makan siang, mencari solusi ujian, mengatur
jadwal penyelesaian tugas kantor, dsb. Karena CM sifatnya terfokus
dan memiliki kapasitas yang terbatas, maka umumnya hanya bisa
berpikir satu dua hal saja secara sekaligus, dan maksimumnya
adalah tujuh buah ide bersamaan (Kahija, 2007).
Pikiran sadar terletak dibagian kortek otak yang mulai aktif pada
usia 3 tahun. Fungsinya untuk berpikir atau logika sekitar 12% dari
kemampuan otak manusia. Ketika pikiran sadar terbentuk dan
berkembang, terciptalah suatu pintu pembatas antara pikiran sadar
dan pikiran bawah sadar. Pintu pembatas ini terbuka bila pikiran
sadar dibuat sibuk, fokus memperhatikan sesuatu, larut dalam suatu
cerita, atau menggunakan hypnosis (Prihatanto, 2009).
Pikiran sadar mempunyai empat fungsi utama :
a) Identifikasi : Mengidentifikasi informasi yang diterima melalui
panca indera penglihatan, pendengaran, penciuman pengecap,
dan sentuhan atau perasaan
b) Membandingkan : Informasi yang masuk dibandingkan dengan
data base (referensi, pengalaman, dll) yang tersimpan di dalam
pikiran bawah sadar.
c) Analisa : Memeriksa informasi yang masuk dengan membagi
informasi itu menjadi komponen yang lebih kecil agar dapat
diperiksa dengan seksama.
d) Memutuskan : Memutuskan respon atau tindakan yang akan
diambil terhadap informasi yang telah masuk.
2) Subconscious Mind (SM, alam bawah sadar)
Bertanggung jawab terhadap penyimpanan memori jangka panjang
dan pengekspresian emosi. Sistem SM sama sekali tidak memiliki
keterbatasan kapasitas. Ia menyimpan segala sesuatu dengan baik,
tanpa memilah-milah arti maupun nilai moralnya. Bagian ini tidak
akan berpikir atau menganalisa, melainkan sekedar bereaksi sesuai
apa yang sudah diprogramkan. Program-program tersebut bisa
berbentuk pengalaman, kepercayaan, dan ide-ide apapun yang
dipelajari di sepanjang hidup ini. Dalam hipnosis, bagian inilah yang
diakses dan diajak untuk berdialog. SM adalah pusat database dari
seluruh kehidupan. Jika pintu SM telah dibuka lewat proses
hipnosis, maka orang tersebut dapat memperbaiki bagian memori
yang terluka, membuang memori buruk, dan menanam sugesti baru
yang lebih berguna bagi hidup.
Pikiran bawah sadar sekitar 88% terletak di medulla oblongata yang
terbentuk sejak dalam kandungan. Sejak lahir hingga usia 3 tahun,
apapun yang terjadi di sekitar kita positif, negatif, gambar, tindakan,
kata-kata, nada, frekwensi suara akan langsung diserap dan masuk
ke pikiran bawah sadar. Pengalaman yang paling berkesan yang
mempunyai komponen emosi tinggi atau intens akan menjadi
informasi yang terekam sangat kuat dalam pikiran bawah sadar.
Pikiran bawah sadar menyimpan hal-hal berikut :
a) Kebiasaan (baik, buruk, reflek)
b) Emosi: Bagaimana perasaan kita terhadap hal-hal tertentu,
terhadap orang lain.
c) Memori jangka panjang. Tempat menyimpan informasi yang
bersifat permanen. Ada memori yang tidak dapat diingat dalam
kondisi sadar, namun dapat dimunculkan dengan bantuan
hipnosis.
d) Kepribadian
e) Intuisi. Perasaan mengetahui sesuatu secara instingtif,
berhubungan dengan spiritual
f) Kreativitas. Kemampuan mengubah visi, pemikiran, impian
menjadi kenyataan.
g) Persepsi. Bagaimana kita melihat dunia menurut kaca mata kita
h) Belief dan value. Belief adalah segala sesuatu yang kita yakini
sebagai hal yang benar. Value atau nilai adalah segala sesuatu
yang kita pandang sebagai hal yang penting.

f. Reticular activating System


Sejak lahir seseorang telah mulai mendapat program terutama dari orang
tua, apapun yang dialami selama proses pertumbuhan dan
perkembangan kita merupakan proses pemrograman yang tanpa disadari
membentuk diri seseorang hingga saat ini. Semua pengalaman hidup
yang berasal dari lingkungan, keluarga, orangtua, sekolah, guru, televisi,
buku, majalah, dll merupakan stimulus eksternal (berasal dari luar)
Stimulus ini diterima oleh kelima panca indera dan masuk ke pikiran
sadar yang kemudian memberikan makna kepada stimulus tersebut. Dari
pikiran sadar stimulus akan masuk ke pikiran bawah sadar melalui filter
RAS (Reticular Activating System). Ada beberapa faktor yang
mempengaruhi luasnya filter RAS ini terbuka antara lain kondisi
gelombang otak, pemikiran, dan emosi. Selain itu RAS berfungsi
menentukan apa yang menjadi fokus perhatian, menentukan seberapa
besar tingkat intensitas perhatian, dan berapa lama perhatian itu
diberikan. (Gunawan, 2005). Filter RAS berfungsi sebagai pengaman
untuk menyaring pikiran dan perilaku baru. Filter membandingkan
informasi baru dengan kepercayaan yang ada dalam pikiran bawah
sadar. Hal itu bertujuan agar pikiran bawah sadar tidak selalu berubah
dan tidak mudah dipengaruhi sugesti dari luar. Ada lima cara untuk bisa
melewati filter RAS masuk ke pikiran bawah sadar yaitu : (Gunawan,
2005).
1) Repetisi : dilakukan secara berulang dan konsisten sehingga masuk
di pikiran bawah sadar.
2) Identifikasi kelompok : Mengikuti kebiasaan kelompok misalnya
budaya, cara makan, bicara.
3) Otoritas : disampaikan oleh seseorang yang memiliki otoritas, pakar,
dihormati dapat dengan mudah diterima pikiran bawah sadar
4) Emosi : kejadian yang diikuti dengan emosi tinggi akan sangat
membekas
5) Hipnosis : menjangkau pikiran bawah sadar dengan tehnik
komunikasi yang mampu melewati pikiran bawah sadar. Hipnosis
ini merupakan cara yang paling cepat dan efektif.
g. Syarat-syarat melakukan Hipnoterapi
Secara konvensional, hipnoterapi dapat diterapkan kepada mereka yang
memenuhi persyaratan dasar, yaitu:
1) Bersedia dengan sukarela
2) Memiliki kemampuan untuk focus
3) Memahami komunikasi verbal

h. Tahap Hipnoterapi
Menurut Wong & Andri (2009) kondisi hipnoterapi dapat dicapai dalam
beberapa proses, yaitu tahap Pre Induction, Suggestibility Test,
Induction, Deepening, Suggestion dan Termination.
1) Pre-Induction (Interview)
Pada tahap awal, hipnoterapis dan klien untuk pertama kalinya
bertemu. Setelah klien mengisi formulir mengenai data dirinya,
hipnoterapis membuka percakapan (rapport) untuk membangun
kepercayaan klien, menghilangkan rasa takut terhadap hypnosis atau
hipnoterapi, menjelaskan mengenai hipnoterapi, dan menjawab
semua pertanyaan yang klien ajukan. Sebelumnya, hipnoterapis
harus dapat mengenali aspek-aspek psikologis dari klien, antara lain
hal yang diminati dan tidak diminati, apa yang diketahui klien
terhadap hipnosis, dan seterusnya. Pre-Induction merupakan
tahapan yang sangat penting. Seringkali kegagalan proses
hipnoterapi diawali dari proses Pre-Induction yang tidak tepat.
2) Suggestibility Test
Fungsi dari uji sugestibilitas adalah untuk menentukan apakah klien
termasuk ke dalam golongan orang yang mudah menerima sugesti
atau tidak. Selain itu, uji sugestibilitas juga berfungsi sebagai
pemanasan dan juga untuk menghilangkan rasa takut terhadap
proses hipnoterapi. Uji sugestibilitas juga membantu hipnoterapis
untuk menentukan teknik induksi mana yang terbaik bagi klien
3) Induction
Induksi adalah cara yang digunakan oleh seorang hipnoterapis untuk
membawa pikiran klien berpindah dari pikiran sadar (conscious)
menuju pikiran bawah sadar (subconscious), dengan menembus apa
yang dikenal dengan Critical Area. Saat tubuh rileks, pikiran juga
menjadi rileks. Maka selanjutnya frekuensi gelombang otak dari
klien akan turun dari Beta, Alpha, lalu Theta. Semakin turun
gelombang otak, klien akan menjadi semakin rileks, sehingga klien
berada dalam kondisi trance. Inilah yang dinamakan dengan kondisi
terhipnosis. Hipnoterapis akan mengetahui kedalaman trance klien
dengan melakukan Depth Level Test (tingkat kedalaman trance
klien).
4) Deepening (Pendalaman Trance)
Bila diperlukan, hipnoterapis akan membawa klien ke trance yang
lebih dalam. Proses ini dinamakan deepening.
5) Suggestions / Sugesti
Post Hypnotic Suggestion adalah salah satu komponen terpenting
dalam tahapan hipnoterapi. Pada saat klien masih berada dalam
trance, hipnoterapis juga akan memberi Post Hypnotic Suggestion,
yaitu sugesti yang diberikan kepada klien pada saat proses hipnotis
masih berlangsung dan diharapkan terekam terus oleh pikiran bawah
sadar klien, meskipun klien telah keluar dari proses hipnosis.
6) Termination
Termination merupakan tahapan terakhir dari hipnoterapi. Pada
tahap ini, hipnoterapis secara perlahan-lahan akan membangunkan
klien dari “tidur” hipnosisnya dan membawanya menuju keadaan
yang sepenuhnya sadar.

i. Manfaat Hipnoterapi
Erickson dan Rossi (1979) mengemukakan bahwa hipnoterapi
bermanfaat untuk mengubah fungsi sensori-perseptual (masalah nyeri
dan kenyamanan), mampu mengatasi rasa sakit, dan membuat seseorang
merasa nyaman, mampu mengatasi penyakit somatik berupa trauma
akibat kecelakaan fisik, operasi, kanker dan sebagainya, mampu
mengatasi masalah psikosomatik berupa kecemasan, mengatasi masalah
trauma dan mengatasi phobia. As’adi (2011) mengemukakan bahwa
hipnoterapi telah diperkenalkan pertama kali sejak tahun 1734-1815
dengan tujuan untuk penyembuhan psikoterapi, upaya rehabilitasi,
mencegah timbulnya berbagai gangguan kesehatan, dan digunakan
dalam upaya meningkatan taraf kesehatan.

As’adi (2011) mengemukakan bahwa teknik hypnosis telah menjadi


alternative yang digunakan untuk pengobatan selama masa perang dunia
II. Pengobatan ini diberikan kapada korban perang untuk mengurangi
rasa sakit, mengobati gangguan neurosis, dan pengalaman traumatic
yang mengganggu. As’adi (2011) mengemukakan bahwa teknik
hipnoterapi sudah sangat berkembang di Indonesia, bahkan beberapa
perguruan tinggi telah memasukkan hipnoterapi sebagai kurikulum
resmi bagi mahasiswa sebab manfaat dari hipnoterapi sangatlah banyak.
Berdasarkan pemapaan diatas terdapat begitu banyak manfaat yang
dapat diperoleh dari hipnoterapi mulai dari masalah kejiawaan hingga
gangguan kesehatan.

j. Mekanisme hipnoterapi terhadap penurunan nyeri


Pada penanganan menggunakan metode hipnoterapi dilakukan dengan
menurunkan gelombang otak dari beta ke theta untuk masuk pada
kondisi hipnosis agar dapat menjangkau alam bawah sadar klien.
Metode hipnoterapi ini bertujuan untuk menghilangkan gejala nyeri
yang disebabkan oleh trauma post operasi dengan melakukan
pemograman/re–edukasi kembali di alam bawah sadar klien dengan
pemberian sugesti-sugesti positif ke klien sehingga menimbulkan
perilaku baru.
Ketika gelombang otak turun ke Theta akan menghasilkan stimulus
yang dikirim dari akson-akson serabut asenden ke neuro – neuro
dari reticular activating system (RAS). RAS memiliki hubungan timbal
balik dengan sistem limbik yang berfungsi yaitu sebagai respon
emosional yang mengarahkan pada tingkah laku individu, merespon
secara sadar terhadap lingkungan, memberdayakan fungsi intelektual
dari korteks serebri secara tidak sadar, memfungsikan batang otak
secara otomatis untuk merespon keadaan, menfasilitasi penyimpanan
memori dan menggali kembali simpanan memori yang diperlukan serta
merespon suatu pengalaman dan ekpresi suasana hati. Stimulus ini
kemudian ditransmisikan melewati area sistem saraf otonom yang
merupakan saraf campuran. Serabut-serabut aferennya membawa input
dari organ-organ visceral yaitu yang mengatur denyut jantung,
pernafasan, pencernaan makanan, mual, pembuangan dan sebagainya.

Pada manusia terdapat dua sistem saraf, yaitu sistem saraf otonom dan
sistem saraf pusat. Sistem saraf otonom mengatur sistem internal, yang
biasanya merupakan gerak yang di luar kendali pikiran sadar. Yang
termasuk dalam kendali sistem saraf otonom, antara lain adalah detak
jantung, sistem pencernaan, dan aktivitas kelenjar. Sistem saraf pusat
mengatur respons motorik hingga impresi sensori melalui otak dan saraf
pada tulang belakang. Sistem saraf otonom terbagi menjadi dua bagian,
yang cara kerjanya saling bertolak belakang.
1) Sistem saraf simpatik, yang bertanggung jawab terhadap mobilisasi
energi tubuh untuk kebutuhan yang bersifat darurat. misalnya,
jantung berdetak lebih cepat dan lebih kuat, tekanan darah
meningkat, atau pernapasan menjadi lebih cepat. Saat mengalami
ketakutan secara fisik yang terjadi adalah: lutut dan tangan gemetar,
telapak tangan dan wajah berkeringat, jantung berdebar lebih
kencang dan keras, tarikan napas lebih cepat, dan perut terasa tidak
enak atau mungkin mual. Semua itu disebabkan karena sistem saraf
simpatik sedang in-action sebagai respons dari perasaan takut dan
tegang.
2) Sistem saraf parasimpatik mengakibatkan detak jantung melambat,
tekanan darah turun, dan respons insting dari kondisi istirahat dan
relaksasi. Respons parasimpatik mengakibatkan seseorang menjadi
lebih tenang dan nyaman. Semua itu bertujuan untuk menghemat
energi tubuh. Kedua sistem saraf, simpatik dan parasimpatik, tidak
bisa aktif bersamaan.

Dalam fisiologis nyeri, impuls nyeri merupakan impuls darurat yang


melalui jalur sensorik menuju thalamus. Sinyal tersebut seharusnya
menuju ke korteks sensorik, tetapi sebagian besar sinyal tersebut
mengalami pembajakan dan dibelokkan menuju amigdala dan sebagian
kecil menuju korteks sensorik untuk proses kognitif dan berlanjut ke
korteks transisional untuk proses kognitif selanjutnya (Mulyata, 2005).

Amigdala yang merupakan pusat perubahan emosi belum siap


menerima sinyal yang bersifat darurat dan mengirimkannya ke
hipotalamus terutama nukleus paraventrikularis. Nukleus hipothalami
merespon sinyal darurat tersebut dengan melepas corticotropin releasing
factor (CRF) yang juga bersifat darurat yang selanjutnya mengaktifkan
hipofise dan sistem saraf otonom (Kaplan, 1995., Cit. Mulyata, 2005).
Impuls nyeri berjalan menuju thalamus direspon dengan melepas CRF
dari hipotalamus, sinyal darurat dari CRF akan mengaktifkan serabut
preganglioner simpatis kemudian memicu adrenal melepas kortisol
berlebihan, CRF juga mengaktifkan pituitaria untuk melepas ACTH
yang juga akan memicu kortisol berlebihan dan menekan sistim imun,
sementara pengeluaran β-endorfin ditekan sehingga akan memicu
pengeluaran sitokin proinflamasi, dimana sitokin dan mediator
proinflamasi mengaktifkan reseptor nyeri perifer yang selanjutnya
membawa signal nyeri ke thalamus dan korteks
somatosensorik, sehingga meningkatkan rasa nyeri (Raison & Miller,
2003., Mulyata, 2005).

Dengan hipnoterapi, sinyal kognitif berjalan ke otak melalui jalur


sensorik, auditorik dan visual. Sinyal ini sifatnya tidak darurat, sesudah
mencapai thalamus kemudian ke korteks sensorik tanpa mengalami
pembajakan, terus berlanjut ke korteks transisional untuk proses kontrol
kognitif. Selanjutnya diproyeksikan ke hippokampus untuk disimpan
sebagai memori, selain itu sebagian sinyal diproyeksikan ke amigdala
serta organ lain yang terkait untuk diekspresikan ke luar. Sinyal kognitif
tersebut memiliki kemampuan untuk menghentikan arus pembajakan
sinyal darurat dari korteks menuju amigdala dan dari amigdala menuju
hippothalamus (Le Doux, 1988., Cit.Mulyata, 2005). Dengan demikian
sinyal yang berasal dari pemberian psikoterapi sesudah mencapai
korteks untuk proses kognisi, saat diproyeksikan ke hippokampus dan
ke amigdala sudah merupakan sinyal yang tertata baik, sedang sinyal
darurat yang menimbulkan nyeri sudah terhambat dan hilang (Le Doux,
1988., Cit.Mulyata, 2005).
BAB IV
ANALISA PENERAPAN EBN

A. Analisa Ruangan
Dalam 3 bulan terakhir didapatkan data 18 pasien dengan post open
reduction internal fixation.

B. Analisa SWOT
Analisis situasi penerapan program hipnoterapi ruang bougenville
RS.Pertamina Balikpapan menggunakan pendekatan analisis
SWOT (Strength, Weakness, Opportunities, Threats) sebagai
berikut :
1. Strength
Kekuatan dalam program inovasi yang akan dilaksanakan di
ruang Bougenville RS. Pertamina Balikpapan antara lain :
a) Pendidikan perawat minimal DIII keperawatan,
sebagian besar pendidikan Sarjana keperawatan.
b) RS. Pertamina Balikpapan mendukung kegiatan
EBN.
c) Perawat di ruangan mendorong partisipasi aktif
pasien dan keluarga dalam proses pemberian asuhan
keperawatan demi tercapainya penurunan nyeri post
operasi.
d) Tidak membutuhkan biaya yang besar
e) RS. Pertamina Balikpapan memberikan kesempatan
bagi mahasiswa Ners STIKes Pertamedika untuk
melakukan presentasi/pemaparan tentang ilmu-
ilmu/inovasi baru yang dapat diterapkan di Rumah
Sakit.
2. Weakness
a) Belum pernah dilaksanakan latihan hipnoterapi di ruang
Bougenville RS Pertamina Balikpapan.
b) Pasien dan keluarga tidak mengetahui manfaat dan cara
melakukan hipnoterapi pasca operasi.
c) Membutuhkan tenaga professional yang bersertifikasi
hipnoterapi
d) Hipnoterapi masih belum populer di gunakan di
masyarakat.

3. Opportunities
a) Mahasiswa Ners STIKes diberikan kesempatan untuk
mempresentasikan /memaparkan EBN tentang
hipnoterapi pada pasien post operasi
b) Terdapat pasien yang mengalami nyeri post operasi di
ruang Bougenville.

4. Threats
• Adanya tuntutan masyarakat akan pelayanan yang
maksimal dan lebih profesional.
• Adanya kejadian nyeri berat dalam waktu yang lama
merupakan indicator mutu layanan RS yang buruk.
• Adanya RS.Kompetitor yang juga mulai meningkatkan
mutu layanan dan juga kelengkapan peralatan medis dan
penunjang.
• Keluarga menolak karena tidak mengerti tentang
prosedur yang akan dilakukan.

BAB V
PENUTUP

A. SIMPULAN
Hipnoterapi Merupakan salah satu cabang ilmu psikologi yang mempelajari
pemanfaatan sugesti untuk mengatasi masalah psikologis yang meliputi
pikiran, perasaan dan perilaku. Hipnoterapi merupakan suatu aplikasi
modern dalam teknik kuno yang mengaplikasikan trance-hypnosis.
Penerapan hipnoterapi akan membimbing klien untuk memasuki kondisi
trance (relaksasi pikiran) agar dapat dengan mudah menerima sugesti yang
diberikan oleh hipnoterapis. Dalam kondisi trance, pikiran bawah sadar
klien akan diberikan sugesti positif guna melakukan penyembuhan
gangguan psikologis atau dapat pula digunakan untuk mengubah pikiran,
perilaku, dan perasaan agar menjadi lebih baik (As’adi, 2011).
Dalam penatalaksanaan nyeri pasien pasca operasi orif dapat dilakukan dua
terapi yaitu farmakologis dan non farmakologis. Salah satu terapi non
farmakologis yang bisa di gunakan adalah tehnik hipnoterapi. Pada
penanganan menggunakan metode hipnoterapi dilakukan dengan
menurunkan gelombang otak dari beta ke theta untuk masuk pada kondisi
hipnosis agar dapat menjangkau alam bawah sadar klien. Metode
hipnoterapi ini bertujuan untuk menghilangkan gejala nyeri yang
disebabkan oleh trauma post operasi dengan melakukan pemograman/re–
edukasi kembali di alam bawah sadar klien dengan pemberian sugesti-
sugesti positif ke klien sehingga menimbulkan perilaku baru. Hipnoterapi
dapat membuat tubuh menjadi rileks dan mengurangi intensitas nyeri yang
berlebihan secara drastis.

B. SARAN
Hingga saat ini, tidak sedikit masyarakat yang belum benar-benar
memahami apa itu hipnoterapi. Yang berkembang di masyarakat adalah,
hipnoterapi dianggap sebagai ilmu gaib, berkaitan dengan klenik atau
supranatural. Akibatnya, timbul stigma negatif di masyarakat karena
beranggapan hipnoterapi menggunakan cara-cara ilmu hitam atau yang
sering disebut sebagai gendam. Padahal banyak sekali manfaat yang didapat
dari hipnoterapi salah satunya dapat dikolaborasikan dalam pemberian
terapi kepada pasien-pasien yang dirawat dengan keluhan tertentu yaitu
nyeri sehingga perlu adanya pelatihan hipnoterapi bagi perawat ruang
bougenville.

Anda mungkin juga menyukai