Liyurgi Kontekstual PDF
Liyurgi Kontekstual PDF
Liyurgi Kontekstual PDF
2.1. Pendahuluan
ibadahan Kristen atau di gedung Gereja. Pandangan yang demikian itu tidak
salah. Istilah tersebut memang banyak dipakai oleh dunia Kekristenan dari-
pulalah kajian teori pada bab ini juga berpijak pada liturgi Kristen. Namun,
tujuan utamanya adalah mencari hakikat dan pokok-pokok liturgi itu sendiri
(kontekstual).
pula dengan kajian budaya Jawa yang meliputi inti dari faham Jawa,
17
kepercayaan Jawa sebagai liturgi, sekaligus liturgi yang kontekstual.
2.2. Liturgi
dengan kata lain yang memiliki kemiripan arti, yaitu latreia (λατρεία). Arti
harafiah kedua istilah tersebut adalah karya pengabdian atau karya bakti
bagi kepentingan umat secara umum. Pada Kitab Perjanjian Lama kedua
istilah itu dikenal dengan kata sharath ( ) שרתdan abodah ( ) ﬠבּידּה, yang di-
Jadi menurut arti katanya, istilah liturgi dan ibadah tampaknya hampir
tidak ada bedanya. Seperti dikatakan H. A. van Dop, arti keduanya seakan
sama saja.23 Selain itu, meminjam sebutan dari Emanuel Martasudjita dan
Liturgi maupun ibadah adalah tindakan yang dilakukan oleh umat tanpa
pamrih demi kepentingan kota atau negara, sebagai pelayanan dan bakti.24
22
Brownlee, Tugas Manusia dalam Dunia Milik Tuhan, 19.
23
H. A. van Dop, Hakikat dan Makna Liturgi, dalam: Liturgi dan Komunikasi
(Jakarta, YAKOMA—PGI, 2005), 104.
24
James F. White, Pengantar Ibadah Kristen (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009),
13-14.
18
Misalnya memberi sumbangan, iuran, pajak, dan lain sebagainya. Karena itu
dikatakan J. L. Ch. Abineno bahwa pada dasarnya semula tidak ada batas
ibadah memiliki banyak istilah dan perkembangan arti. Selain empat istilah
yang telah disebut, ada beberapa istilah lain yang biasa digunakan oleh
artinya perbuatan yang baik atau yang layak dilakukan. Kedua, service yang
dilakukan untuk orang lain. Ketiga, office yang berasal dari kata officium
dan penerima. Kelima, kebaktian yang berasal dari kata bakthi (Sansekerta),
serta perbuatan baik dengan kerelaan. Keenam, missa (Latin), yang merupa-
kan penyingkatan dari kata “ite missa est!” dengan arti “inilah pembubaran
25
J. L. Ch. Abineno, Jemaat: Ujud, Peraturan, Susunan, Pelayanan, Pelayan-
Pelayannya (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1983), 72-73.
19
atau pengutusan”.26 Ketujuh, ritus (Latin), artinya peribadahan yang
dilakukan sesuai dengan pola dan tata cara tertentu dalam petunjuk-petunjuk
order yang menunjuk pada tata ibadah. Sebutan ceremony cenderung untuk
serta saling berhubungan erat dan tidak bisa dipisahkan sebagai satu
itu, pada satu segi tampaknya liturgi bisa dikatakan tidak sama persis
Gereja melalui tindakan di dalam pola dan tata cara yang tersusun secara
26
Rasid, Pembimbing ke dalam Sejarah Liturgi, 1-5
27
White, Pengantar Ibadah Kristen, 18-19.
28
Rasid, Pembimbing ke dalam Sejarah Liturgi, 6.
29
Rasid, Pembimbing ke dalam Sejarah Liturgi, 6-7.
20
keberadaan hidupnya. Adapun ibadah cenderung merupakan istilah bagi
khalayak orang. Dengan kata lain, liturgi menjadi semacam tindakan teknis
bagi penghayatan dari ibadah itu sendiri. Pembedaan itu makin tegas dengan
dipandang lebih bermakna luas, cenderung praktis dan umum, tanpa harus
lebih luas dari pada ibadah yang gerakannya cenderung hanya searah dari
dengan ibadah secara teologis, yaitu memiliki dua arah sebagai dialog.
30
Rasid, Pembimbing ke dalam Sejarah Liturgi, 4-5.
21
tindakan ibadah yang masih bisa bersifat pribadi dan tidak memiliki unsur
resmi, sementara liturgi pasti merupakan tindakan bersama oleh umat dan
tidak hanya terbatas pada kegiatan upacara keagamaan atau perayaan bagi
Tuhan semata, tetapi juga merupakan sikap hidup sebagai pelayanan kepada
umumnya ternyata dipakai juga oleh Gereja sebagai liturgi untuk beribadah
31
E. Martasudjita, Liturgi: Pengantar untuk Studi dan Praksis Liturgi (Yogyakarta:
Kanisius, 2011), 26-30.
32
Rasid, Pembimbing ke dalam Sejarah Liturgi, 4.
22
2.2.2. Definisi Liturgi
empat sudut penekanan dalam mendefinisikan liturgi, yaitu dari sudut aksi,
sudut dasar aksi, sudut isi gagasan, dan sudut ruang penghayatan.
seperti yang diungkapkan oleh Rasid, yaitu ibadah yang tidak terbatas pada
sikap hidup orang percaya di dunia sehari-hari melalui aksi yang meliputi
itu, pada diri liturgi mesti terdapat keikutsertaan umat secara bersungguh-
33
Rasid, Pembimbing ke dalam Sejarah Liturgi, 1.
34
Bosco Da Cunha, Teologi Liturgi dalam Hidup Gereja (Malang: Dioma, 2004), 1-
2.
35
White, Pengantar Ibadah Kristen, 7.
23
Adapun menurut sudut isi gagasannya liturgi didefinisikan sebagai
pertemuan umat di hadapan Allah, bahkan dengan Allah sendiri. Karena itu
yaitu umat bersama dengan segala sesuatu yang dilakukan di dalam per-
liturgi yang kedua dapat dipandang sebagai penyebab tindakan Gereja itu
Karena itu, sebagaimana dinyatakan dalam definisi liturgi yang kedua, maka
penyataan Allah itu. Kedua, perpaduan definisi liturgi yang pertama dan
manusia menjadi suatu perjumpaan yang disebut pada definisi liturgi yang
ketiga sebagai makna bagi umat untuk melayani Allah maupun sesama
menurut iman.
sebagai tempat bagi umat menyanyikan akan pengharapan dan masa depan.
36
van Dop, Liturgi dan Komunikasi, 104-107.
24
kedatangan Kerajaan Allah dengan pelayanan kepada Allah dan sesama.37
sekaligus wujud penghayatan akan tujuan dari iman yang diungkapkan oleh
Gereja.
37
E. H. van Olst, Alkitab dan Liturgi (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2010), 111.
25
penyesuaian atas tata kebiasaan dan tradisi dalam budaya yang terdapat pada
baru melalui Yesus yang disebut Kristus dan Tuhan atas peribadahan
masa itu yang sulit menemukan sarana peribadahan sebagai alat peneguhan
keagamaan Yahudi itu berupa kenisah, altar, dan korban. Selain menjadi
tradisi Kitab Perjanjian Lama telah disatukan dan dibangun kembali dalam
38
R. S.Sugirtharajah, Poscolonial Criticism and Biblical Interpretation (New York:
Oxford University Press, 2002), 91.
39
Bosco Da Cunha, Teologi Liturgi dalam Hidup Gereja, 29-33.
40
Brox, A History of the Early Church, 2-4.
41
Everett Ferguson, Backgrounds of Early Christianity ((Michigan: Grand Rapids,
1994), 517-519.
26
penafsiran baru atas tradisi keagamaan dalam kitab-kitab Ibrani maupun
atas juga ada. Langkah pembaruan yang terjadi pada peristiwa Yesus itu
titik tolak, yaitu sejarah liturgi Gereja, sejarah tempat dan waktu
Perdana. Di dalam sejarah liturgi Gereja, kesadaran iman akan Yesus yang
hidup dan bangkit dari kematian mengubah cara hidup Gereja, khususnya
berupa kenisah, altar, dan korban di Bait Allah berganti yang rohaniah
kepada Allah dengan dalil “dalam roh dan kebenaran” oleh kesediaan
Mula mengikuti tradisi pada hari Sabat di Bait Allah berangsur diubah di
42
Richard E. Palmer, Hermuneutika: Teori Baru Mengenai Interpretasi,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), 39-42.
43
Brox, A History of the Early Church, 4-5.
44
Arlo D. Duba, W. B. Sidjabat, Asas-Asas Kebaktian Alkitabiah dan Protestan
(Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1980), 23-39.
27
waktu disebut pula hari Minggu,45 yaitu hari peringatan akan Yesus yang
hidup dan bangkit dari kematian. Adapun di dalam sejarah perayaan liturgi
oleh Gereja Perdana, pada tradisi hari peribadahan yang baru itu selalu
tengah kehidupan politik yang meliputi delapan hal. Pertama adalah dalil
dokumen liturgis. Kedua adalah Allah Maha Kuasa dan berdaulat penuh atas
harus bersedia tunduk dan berserah kepada seluruh kehendak yang difirman-
kan Allah (epiklese). Ketiga adalah norma praktik apostolik, sehingga liturgi
28
Allah bagi umat. Karena itu peringatan yang dilakukan tiap hari Minggu
Gereja tidak bisa menjadi lembaga statis. Gereja harus in transitius, yaitu
lembaga yang bergerak atau hidup dari umat yang mengadakan perziarahan.
berpusat pada satu pelayan melainkan seluruh umat yang saling melayani
dan penuh rasa hormat. Kedelapan adalah norma pastoral. Artinya sejauh
adaan umat sehingga tujuannya tercapai oleh umat. Karena itu pelaksanaan
yang secara lebih jelas sangat kelihatan pada historisitas dan per-
47
Arlo D. Duba, W. B. Sidjabat, Asas-Asas Kebaktian Alkitabiah dan Protestan
(Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1980), 23-39.
29
kembangannya. Pertama kali muncul umat Kristen, liturgi peribadahan
dalam bentuk rumusan khusus dan baku pada dasarnya belum ada. Liturgi
Yahudi itu sendiri, tampaknya ada tradisi umum dan tradisi khusus yang
khusus yang hanya dimiliki dan dilakukan oleh golongan tertentu dalam
Dalam suatu kajian, baptisan merupakan ritual yang berasal dari kaum
Esseni untuk orang yang dibaiat sebagai anggota. Sejauh mana hubungan-
nya dengan tradisi yang terdapat pada Kitab Perjanjian Lama, yang pasti
baptisan yang mereka lakukan itu sebagai lambang dari kesucian atau
48
Ferguson, Backgrounds of Early Christianity, 503-527.
30
Selain baptisan, mereka sangat kuat dalam ritual-ritual kesucian, anti
pertobatan.49
dengan kajian lain yang menganggap berasal dari tradisi Rabbinik. Menurut
pandangan Rabbinik, baptisan yang dijalani setelah sunat adalah untuk men-
yang terjadi pada diri Yesus. Tradisi itu kemudian menjadi lebih khas di
terbuka dan mendalam dengan tidak membatasi pada kalangan Yahudi saja
kaum Rabbinik, tetapi bagi semua orang tanpa melihat syarat asal-usulnya
maupun sunat atau tidak sunat.50 Dan itulah sebabnya, baptisan juga
menjadi bagian yang penting dalam kehidupan Yesus, dan akhirnya diikuti
mampu mereka terima dan menjadi sebuah tradisi untuk mencapai tujuan
49
John Stambaugh dan David Balch, Dunia Sosial Kekristenan Mula-Mula (Jakarta:
BPK Gunung Mulia, 2008), 91-124.
50
Justin Taylor, Asal-Usul Agama Kristen (Yogyakarta: Kanisius, 2008), 142-150.
31
kebudayaan dan kehidupan masyarakat yang mereka miliki. Sehubungan
dasar bangunan penting yang sama. Namun sifat gerakan yang dilambang-
kan dengan baptisan Kristen bertolak belakang dengan kaum Esseni maupun
atau bangsa mereka sendiri, maka baptisan pada Kekristenan lebih terbuka
Sabbath, yaitu hari Akhad. Peristiwa pada hari Akhad itu selalu dijadikan
anamnese bagi umat Kristen dengan perjamuan agape maupun ekaristi serta
baptisan.
peribadahan Yahudi yang juga diikuti dalam liturgi Kristen.51 Kebiasaan itu
adalah melantunkan Kitab Mazmur, membaca Kitab Suci (Taurat dan Nabi-
Nabi) seperti di Sinagoge dengan diikuti khotbah pengajaran dari para rasul,
dan pada waktu kemudian ditambah dengan membaca Epistel dan Injil,
untuk mengenang Yesus secara sederhana itu dikenal juga dengan sebutan
51
Rasid, Pembimbing ke dalam Sejarah Liturgi, 13-14.
52
Brox, A History of the Early Church, 4-5.
32
liturgi synaxis, yaitu liturgi persekutuan untuk membaca Kitab Suci,
membedakan antara liturgi umat Kristen dengan umat Yahudi itu adalah
liturgi yang memiliki ciri-ciri warisan dari tata tradisi keagamaan orang
Yahudi tetap dipertahankan dan dijadikan isi pokok peribadahan Kristen. Ini
dapat dilihat dalam periode umum perkembangan Gereja dari masa awal
hingga sekarang.
oleh para rasul Yesus Kristus ini melakukan baptisan dan perjamuan dengan
dilakukan pula oleh Yesus sendiri.54 Liturgi Gereja Perdana tersebut awal-
nya berjalan tanpa terikat pada tatanan, tulisan, maupun aturan liturgi
33
Ada yang biasa seperti umat Kristen di Yerusalem, namun ada yang kreatif
Kristen di Korintus.55
Periode kedua adalah masa Gereja Patriarkhi. Masa ini dikenal juga
sebagai masa para Bapa Gereja, yaitu para pemimpin umat Kristen yang
menjadi penerus Rasul-Rasul Yesus Kristus. Pada masa ini terdapat dua
Kristen. Tahap pertama adalah kehidupan yang sulit. Gereja tidak hanya
juga mendapat tekanan politis yang sangat keras dari penguasa Romawi,
waktu itu.56 Karena itu, di dalam konteks masa awal tersebut tata
liturgi pada masa Bapa-Bapa Gereja awal itu dapat dilihat dalam terjemahan
tata peribadahan mereka yang dihimpun oleh Bard Thompson. Pada tulisan-
55
Rasid, Pembimbing ke dalam Sejarah Liturgi, 17.
56
Th. van Den End, Harta dalam Bejana: Sejarah Gereja Singkat (Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 1987), 34-56.
57
Martasudjita, Liturgi, 53-55.
34
tulisan itu ditemukan bahwa sebelum diadakan ekaristi, terlebih dulu dilaku-
berasal dari para rasul. Sesudah itu dilanjutkan dengan doa oleh umat yang
disusul dengan pengucapan syukur atas roti dan anggur maupun air bagi
yang sulit ditekan dan malah cenderung berkembang. Sejak itu Kekristenan
58
Bard Thompson, Liturgies of the Western Church (Philadelphia: Fortress Press,
1982), 4-9.
59
van Den End, Harta dalam Bejana, 57.
60
Martasudjita, Liturgi, 56-57.
35
rumah, bahkan di katakombe-katakombe, atau tempat-tempat tersembunyi
hirarkis, serta kemegahan dan mewah ala imperial basilika. Bahkan, di masa
itu mulai muncul liturgi-liturgi untuk aneka tujuan atau keperluan. Misalnya
liturgi peneguhan dan pelantikan para petinggi atau para pejabat negara,
ibadahan utama yang dilakukan pada tiap hari Minggu dengan inti
cenderungan dasar yang sama. Ada doa syukur umat yang dilanjutkan
36
Baru dengan selingan lantunan nyanyian pujian ataupun mazmur sebelum
saja, yang membedakan dengan masa sebelumnya adalah peran serta umat
dalam liturgi yang berangsur kurang dibandingkan dengan peran serta kaum
Pada periode ini terjadi perubahan besar, yaitu kekuasaan politik Romawi
Barat yang kian surut dan berangsur cepat beralih ke tangan Gereja.
liturgi yang dilakukan oleh para uskup maupun abbas sehingga memuncul-
63
van Olst, Alkitab dan Liturgi, 88-91.
64
Christiaan de Jonge, Pembimbing ke dalam Sejarah Gereja (Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 1987), 60-70.
65
Rasid, Pembimbing ke dalam Sejarah Liturgi, 77.
66
Martasudjita, Liturgi, 70.
37
Apapun penyebab kuatnya pengaruh Liturgi Roma yang kian
pelaksanaannya nampak ada suasana resmi dan begitu rumit, bahkan khas
dengan bahasa pengantar, yaitu Latin. Selain itu, peran imam menjadi
penentu peribadahan. Karena itu Ritus Roma disebut juga dengan Liturgi
Klerus. Dengan penggunaan pola yang serba resmi menurut peran para
hampir semua dikuasai dan diperankan oleh para imam dengan rumusan
dipandang suci dan mampu menolong (santo dan santa) untuk memperoleh
setelah penyucian dengan doa syukur dan berkat serta pengucapan kata-kata
67
Thompson, Liturgies of the Western Church, 54-91.
68
Martasudjita, Liturgi, 72.
69
Thompson, Liturgies of the Western Church, 54-91.
38
yang pernah diucapkan oleh Tuhan Yesus sewaktu Perjamuan Malam
Paskah oleh imam diyakini telah menjadi tubuh dan darah Tuhan Yesus
dan harus dengan penuh rasa hormat. Hosti harus diletakkan oleh imam
secara langsung pada lidah tiap umat yang berhak menerimanya. Demikian
pula dengan altar, Kitab Suci, bejana roti dan anggur, salib, rosary, hingga
para santo dan santa dengan relik-relik mereka yang dipandang memiliki
daya pengaruh oleh ritual yang dilakukan oleh para imam Gereja.70 Semua
umat ditentukan atau diukur oleh tindakan Gereja melalui ritus;71 sehingga
di luar Gereja tidak ada keselamatan (extra ecclesiam nulla salus). Penting-
kuasa kaum imam Gereja yang sangat menentukan bagi keselamatan umat.72
70
van Den End, Harta dalam Bejana, 141-142.
71
Rasid, Pembimbing ke dalam Sejarah Liturgi, 135.
72
H. Berkhof, I. H. Enklaar, Sejarah Gereja (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2011),
111.
73
Berkhof, Enkklaar, Sejarah Gereja, 114-118, 126-127.
74
van Den End, Harta dalam Bejana, 142.
39
di berbagai sisi kehidupan, dan mengembalikannya menurut pandangan
extra ecclesiam nulla salus dengan berbagai tata peribadahan yang ber-
terdapat pada pandangan Gereja Perdana.75 Salah satu upaya reformasi yang
hak dan tanggung jawab yang melibatkan peran serta umat secara penuh di
adanya keragaman yang cepat. Salah satunya adalah Liturgi Calvin, yang
kan salam dan berkat yang didalamnya terkandung makna seruan (votum)
75
van Den End, Harta dalam Bejana, 166-176, 188-191.
76
Berkhof, Enklaar, Sejarah Gereja, 98, 131, 135.
40
maupun pengakuan pertolongan Tuhan di dalam pelaksanaan ibadah
firman itu diteruskan dengan doa permohonan umat (intersesi) maupun doa
menurut rumusan serta aturan yang berlaku. Namun bagi yang tidak
Kitab Suci maupun kebiasaan Gereja Kuno.77 Kedua, Liturgi Calvin tidak
diteguhkan dalam berkat. Ketiga, roti dan anggur Perjamuan Kudus yang
77
Thompson, Liturgies of the Western Church, 185-224.
41
diletakkan di atas meja perjamuan dipandang bukan penjelmaan kurban
tanda dan pengingat bagi setiap orang percaya yang ikut ambil bagian di
dalam sakramen perjamuan akan karya korban penebusan dosa beserta janji
kehidupan kekal dari Allah di dalam Yesus Kristus. Karena itu, yang
Allah bukan karena anggur dan roti yang disucikan melalui ritual seperti
yang ada pada Liturgi Roma, melainkan karena kasih karunia yang bekerja
melalui pengujian batin diri setiap pribadi umat yang hendak mengambil
Adapun yang terakhir, kelima adalah doa-doa umat untuk kesejahteraan atau
keselamatan tidak untuk para suci ataupun melalui mereka kepada Tuhan
menurut tugas-tugas mereka, serta kepada gereja dan umat agar bisa
menjalankan kehidupan yang baik menurut ajaran iman yang benar oleh
ketaatan.78
yang terdapat pada periode sebelumnya, ada pola maju pada jamannya yang
78
Thompson, Liturgies of the Western Church, 185-224.
42
digunakan sebagai pendekatan untuk mewujudkan pemahaman keselamatan
di dalam kehidupan umat, yaitu pola pendidikan atau pengajaran. Cara yang
dimiliki umat pada masa ini dipandang memiliki hubungan dengan budaya
yang sedang menonjol saat itu, yaitu Renaisance yang berpegang pada
pemikiran akan kesadaran diri manusia sebagai tindakan kritis dan ilmiah,
masa Pasca Reformasi Gereja. Sebutan ini memang belum baku. Apabila
adalah jaman modern. Sebutan itu berpijak pada perkembangan Gereja pada
abad ke-20 dengan keterbukaan yang luas terhadap berbagai sisi yang
lain, yaitu jaman pembaruan hingga abad ke-20. Dasarnya adalah gerakan
yang telah dimulai semenjak reformasi Gereja melalui Konsili Trente dan
berpuncak pada Konsili Vatikan II, di mana Gereja semakin membuka diri
dengan sisi-sisi dan pergumulan nyata dari umat saat ini.81 Apapun sebutan-
nya, masa-masa tersebut adalah masa yang memiliki hubungan erat dan
79
van Olst, Alkitab dan Liturgi, 92-93.
80
Rasid, Pembimbing ke dalam Sejarah Liturgi, 192-193.
81
Martasudjita, Liturgi, 77-96.
43
dalam periode ini bisa disebut juga sebagai masa Pasca Reformasi Gereja,
kalangan Gereja Protestan saja, tetapi juga pada kehidupan Gereja Katholik
ini sama-sama berusaha untuk semakin dapat memberikan hak dan tanggung
jawab umat sebagai pengakuan dan pemberian tempat atas peran serta
masyarakat dan budaya di mana umat tinggal dan hidup di dalamnya juga
asas keyakinan dan pemahaman yang terungkap lewat pola yang digunakan
untuk mewujudkan keselamatan umat di antara kedua Gereja itu tetap tidak
bisa disamakan. Gereja Katholik masih tetap bertahan dengan pola ritual-
44
nya. Pola masing-masing Gereja tersebut sangat nyata dipengaruhi oleh
masyarakat.
berkembang dari penjelasan di atas, ada salah satu segi penting yang begitu
berperan di dalam nya, yaitu budaya. Sebagai bagian dari kebudayaan, tata
peribadahan yang merupakan bentuk dari ritual keagamaan itu tidak lepas
bahwa ritual adalah suatu sisi keagamaan yang menjadi salah satu unsur
jalinan erat dan utuh di dalam keberadaan mereka.83 Karena itu pada diri
liturgi bisa pula melekat unsur-unsur lain dari sebuah kebudayaan, seperti
Selain dari kajian asal usul Paskah dan Baptisan di atas, hubungan
liturgi Kristen dengan budaya dapat dilihat pada tafsir yang menjadi sudut
teologis. Dari sudut teologis Kristen, kematian Yesus Kristus di kayu salib
82
Paul Tillic, Theology of Culture (New York: Oxford University Press, 1959), 47.
83
Soerjono Soekamto, Sosiologi: Suatu Pengantar (Jakarta: Rajawali Pers, 1990),
191-194.
45
terdapat di dalam akar keagamaan orang-orang Yahudi,84 seperti dicatat pula
Adapun roti dan anggur sebagai sarana dalam sakramen yang menjadi
lambang gagasan dasar dan pusat peribadahan umat Kristen sendiri juga
kebutuhan yang penting bagi kehidupan orang Yahudi sejak jaman kuno,
84
Donald Guthrie, Teologi Perjanjian Baru (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003),
69-71.
85
Yohanes 1:29, 36, I Korintus 5:7b, Ibrani 9:13-14, I Petrus 1:18-19 LAI.
86
Ferguson, Backgrounds of Early Christianity, 74-78, 521-526.
87
Keluaran 22:29, 29:40, Imammat 23:13, Bilangan 15:5, 7, 18:27, 28:14, Ulangan
12:17, I Samuel 1:24, Ezra 6:9, Nehemia 10:36-37, 13:5, 12 LAI.
46
Demikian pula dengan berbagai kelengkapan dan lambang-lambang
ibadahan ataupun liturginya. Beberapa lambang yang ada pada waktu itu
masih berupa anggur, roti, dan air. Namun dengan berubahnya suasana
lain, yang salah satu kegunaannya lebih mengarah pada makna tanda
dalam kesatuan umat berbentuk gambar salib jangkar dan ikan.88 Dilihat
kehidupan sebagai nelayan.89 Akan tetapi, pada waktu itu semua lambang di
Kristen. Baru setelah jaman yang memberikan keterbukaan makin luas dari
ibadahan dan secara berangsur dijadikan sebagai sarana liturgi. Tidak hanya
88
van Den End, Harta dalam Bejana, 29.
89
Ferguson, Backgrounds of Early Christianity, 74-78, 521-526.
47
roti, anggur, dan air saja yang digunakan sebagai lambang di dalam
peribadahan, tetapi mulai terdapat berbagai lambang lain, seperti meja altar,
salib dan relik, pakaian para imam, dupa, gambar-gambar lambang dan
lambang-lambang itu tidak lepas dari budaya yang ada di lingkup kehidupan
yang tidak lagi cukup dalam pribadi Yesus Kristus seperti kepercayaan baku
Kekristenan awal, namun pada akhirnya juga ada pribadi lain yang
dipandang oleh kaum tertentu ikut menentukan, yaitu santo ataupun santa.
90
Brox, A History of the Early Church, 11-15.
48
Kelekatan liturgi sebagai salah satu wujud tindakan keagamaan
di dalam kehidupan manusia.91 Pada sisi lain, hubungan liturgi sebagai salah
satu sisi agama dengan kebudayaan itu secara khusus juga nampak dalam
kenyataan dan pusat keyakinan yang disebut dengan istilah “illahi” atau
91
Retnowati, Agama dan Kebudayaan (Salatiga: Universitas Kristen Satya Wacana,
2009), 4-5.
92
Emile Durkheim, The Elementary Form of The Religious Life (Yogyakarta:
IRCiSoD, 2011), 471-585, 497.
49
Kedua, ritus yang dilakukan oleh umat akan bekerja di dalam pikiran
kebersamaan umat; atau lebih pasnya adalah bahwa liturgi akan menimbul-
kan suatu ikatan perasaan dan kesadaran yang sama di antara para anggota
umat sendiri.
93
Durkheim, The Elementary Form of The Religious Life, 538-539.
94
Durkheim, The Elementary Form of The Religious Life, 501, 554.
50
Keempat, di sisi lain ritus juga menjadi wahana peneguhan dan pem-
95
Durkheim, The Elementary Form of The Religious Life, 538-539.
96
Durkheim, The Elementary Form of The Religious Life, 533.
51
wantahannya.97 Pandangan tentang inti iman itu adalah pengalaman umat
mereka. Karena itu pada hakikatnya di dalam liturgi terdapat suasana dan
keadaan tertentu dan khas atau kontekstual dari kehidupan umat di tengah
gambar, warna, maupun tata perilaku, aneka piranti sesaji maupun perabot,
bahkan musik dan bentuk bangunan atau tempat yang dipergunakan dan
97
Christiaan de Jonge, Apa Itu Calvinisme? (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2000),
165-166.
98
Ferguson, Backgrounds of Early Christianity, 582-583.
99
Joachim Wach, Ilmu Perbandingan Agama: Inti dan Bentuk Pengalaman
Keagamaan (Jakarta: Rajawali Press, 1992), 147.
52
2.2.6. Kontekstualisasi Litugi dalam Budaya
terus dipertahankan atau dapat diubah sesuai dengan wujud yang ada di
persoalan apakah iman dapat dihayati melalui dan di dalam budaya umat itu
53
menyusun teologi yang saling berkaitan penting bagi konteks setempat tidak
teologi kontekstual yang dinyatakan oleh Huang Po Ho, yaitu suatu teologi
yang mengambil konteks, situasi dan kondisi daerah tempat tinggal, sejarah
atau Teologi Barat, yang banyak dikuasai oleh para misionaris dalam Gereja
100
Emanuel Gerrit Singgih, Dari Israel ke Asia: Masalah Hubungan Antara
Kontekstualisasi Teologi dengan Interpretasi Alkitabiah (Jakarta: BPK Gunung Mulia,
2012), 8-28, 118-119.
54
unsur kebudayaan setempat diperlukan sebagai sarana. Sikap Gereja
dengan cara lebih positif, masih saja menerimanya sebagai peran atau
teologi yang menekankan cara lebih berdaya, dengan melihatnya bukan saja
kuat untuk ikut serta di dalam karya rencana penyelamatan Allah. Pada
Kristen ikut serta dalam missi dan bersaksi, merubah dan membuat
sebagai sasaran ataupun tujuan teologi, tetapi juga menjadikan diri teologi
itu sendiri sebagai sasaran serta tujuan pembaruan dan membuat perubahan.
55
Gereja umat setempat, bergumul dengan cara berteologi yang didasarkan
kebudayaan mereka.101
dan memoles teologi yang mereka terima dari Gereja-Gereja Barat, sehingga
tidak mengubah isi dan inti teologi yang diterima pula dari para missionaris
Barat. Semua teologi itu dihiasi dengan unsur-unsur budaya setempat untuk
teologi asal yang luas dengan cara ramah dan menarik hati melalui unsur-
Pendekatan ini perlu terus dipertajam sesuai dengan perubahan konteks dan
101
Huang Po Ho, No Longer a Stranger, 31-33.
56
masyarakat, harus dikerjakan dengan tekat semangat ikut serta tak henti di
yang meninjau dan memberi arah pemikiran baru terhadap ajaran maupun
oleh para penerus atau Gereja hingga sekarang selaras dengan lingkungan
kehidupannya.103
pelaksanaan liturgi yang masih ada hingga sekarang.104 Karena itu konteks-
102
Huang Po Ho, No Longer a Stranger, 54-57.
103
Anscar J. Chupungco, Penyesuaian Liturgi dalam Budaya (Yogyakarta: Kanisius,
1987), 13-56.
104
Chupungco, Penyesuaian Liturgi dalam Budaya, 13-15.
57
terhadap kesamaan-kesamaan akan nilai-nilai budaya beserta dengan
untuk dijadikan sarana yang dapat dipergunakan secara baik di dalam liturgi
58
pandangan iman Kristen sedemikian rupa sehingga unsur-unsur itu lenyap
dalam beberapa model di atas tidak bisa dipisahkan dari tiga asas pokok.
Sabda Allah.106 Kecuali dosa, Sang Sabda telah merasuki keadaan manusia
manusia tanpa identitas, tetapi manusia tertentu dengan ciri-ciri khas bangsa
bakal spiritualitas dan cara mengungkapkan diri yang khas Yahudi. Sejarah
dan budi, dalam daging dan darah. Asas ini membuka pengertian bahwa
59
keharusan teologis yang timbul dari tuntutan misteri inkarnasi. Gereja tidak
dapat tetap menjadi “orang asing” di tengah suatu bangsa dengan siapa dia
hidup, tetapi harus menjadi anak bangsa itu. Dengan memandang bahwa
tuntutan iman di dalam liturgi sehingga liturgi tidak menjadi asing bagi
pribadi dengan Allah sebagai hal yang utama.107 Sebabnya adalah di dalam
adalah Sabda Allah, yang di dalamnya Kristus menjadi inti liturgi yang
tidak bisa digantikan oleh pikiran atau ideologi manusia. Namun demikian
107
Chupungco, Penyesuaian Liturgi dalam Budaya, 81-93.
60
dan menjelaskan maksud-maksud tanda liturgis. Selama Gereja mengguna-
kan bahasa asing yang pola pikir dan ekspresinya asing pula bagi umat,
dipakai dan memiliki hubungan yang penting bagi setiap kebudayaan yang
cara-cara hidup primitif atau yang telah ditinggalkan, maupun dalam arti
nilai dan tradisi yang telah baku, yang telah membentuk kehidupan agama,
hingga mapan. Karena itu yang harus dicari di dalam peribadahan adalah
bangsa itu sebagai miliknya sendiri, dan dapat diresapi melalui bahasa
61
2.3. Budaya Jawa
dimaksud dengan budaya Jawa adalah seperangkat pikiran dan tindakan atau
perilaku dari masyarakat yang memiliki faham Jawa, beserta dengan segala
(harmoni) antara kenyataan jagad gêdhe (makro kosmos) dengan jagad cilìk
Jawa.108 Jagad gêdhe adalah seluruh kenyataan yang ada di alam semesta,
dan jagad cilìk adalah kenyataan diri pribadi seseorang sebagai manusia
berkaitan erat dengan kenyataan yang ada di alam semesta itu. Kedua jagad
satu dari jagad itu akan berpengaruh pada keberadaan jagad yang lainnya,
dan entah besar atau kecil pasti akan menimbulkan kekacauan atau kaos
jagad gêdhe dan jagad cilìk harus selalu selaras, dijaga hubungannya secara
Apapun wujud dan keadaan di tengah dunia ini telah ditetapkan (pinêsthi)
kedudukan serta daya guna yang saling berhubungan dan tidak bisa
108
Yana, Falsafah dan Pandangan Hidup Orang Jawa, 18-21.
62
ditiadakan. Seperti diungkapkan oleh Niels Mulder bahwa dalam
yang telah terjadi bukan sebagai kebetulan, tetapi sudah dirancang dan
wujud dan hasil yang senantiasa berkembang. Hal itu disebabkan oleh ber-
bagai pengaruh dari dalam dan dari luar masyarakatnya yang bersifat
63
kuasa roh-roh maupun kekuatan-kekuatan alam yang diyakini memiliki
masyarakat petani yang ada di Jawa. Nama lain dari Dewi Laksmi yang
lambang kekuatan alam atas kesuburan tanah dan pertanian dalam wujud
kepercayaan terhadap Déwi Lanjar, sang penguasa Laut Utara (Laut Jawa)
Kidûl (Déwi Gilang Kêncânâ), Sang Ratu Penguasa Laut Selatan (Samudra
Hindia) yang sosoknya sering diwakili sang Maha Patih bernama Déwi Sri
Kaditâ (Nyai Rârâ Kidûl) dalam menyatakan diri pada orang-orang dan raja-
terhadap Nyai Endang Jwiri alias Nyai Selâ Gilang, Sang Penguasa Gunung
110
Koentjoroningrat, Kebudayaan Jawa (Jakarta: Balai Pustaka, 1994), 35-47.
111
Philip van Akkeren, Dewi Sri dan Kristus: Sebuah Kajian Tentang Gereja
Pribumi di Jawa Timur (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1994), 16-18.
112
Ch.Masroer Jb., The History of Java: Sejarah Perjumpaan Agama-Agama di
Jawa (Yogyakarta:Ar-Ruzz, 2004), 21.
64
Merapi yang diyakini memiliki hubungan dengan kekuasaan, keamanan,
India melalui agama Hindu dan Buddha, kebudayaan Timur Tengah dari
Arab melalui agama Islam, serta kebudayaan Barat dari Eropa melalui
abangan dan santri dalam menjalani tata aturan agama (syari’at), serta
faham Jawa di tengah perubahan yang terjadi dalam masyarakatnya itu tidak
113
Soetomo Siswokartono, Filsafat Jawa (Semarang: Kanthil, 2010), 142.
114
Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa, 3-4, 30-64.
65
apalagi di desa masih banyak di antara mereka yang tetap melaksanakan
kolonialisasi oleh Bangsa Barat, namun terdapat pula akibat yang positif.
kebatinan yang bernama Pangestu. Ajaran ini merupakan ajaran dari Raden
terjadi itu merupakan penampilan luar yang dihasilkan dari penggunaan cara
sejajar dengan nilai-nilai kehidupan diri orang Jawa sendiri. Tanpa harus
cenderung mengacu pada tata jalinan etika yang sama, maupun pada
115
Marbangun Hardjowirogo, Manusia Jawa (Jakarta: Inti Idayu Press, 1984), 17-
25.
116
Suwarno Imam S., Konsep Tuhan, Manusia, Mistik dalam Berbagai Kebatinan
Jawa (Jakarta: Rajawali Pers, 2005), 50-52.
66
dapat diperbandingkan dan mampu dipahami secara penuh dengan khasanah
keberadaan Kêjawén.117
mengubah inti faham budaya Jawa. Meskipun pada perkembangan saat ini
penganut agama-agama resmi dari luar, akan tetapi dengan kuat ataupun
ataupun masyarakat Jawa itu disebut pula dengan istilah perilaku hybrid
perwujudan. Pertama, sikap dan tata perilaku orang Jawa. Ada banyak sikap
dan tata perilaku orang Jawa dan selalu sarat dengan makna keselarasan.
117
Mulder, Individual and Society in Java, 4.
118
Mulder, Individual and Society in Java, 1.
119
Sondong Mandali, Ngelmu Urip: Bawarasa Kawruh Kejawen (Semarang:
Yayasan Sekar Jagad, 2010), 28.
67
sesuatu diterapkan pada diri pribadi), êmpan papan (segala sesuatu disesuai-
kan dengan tempatnya), narimâ ìng pandûm (menerima segala sesuatu yang
segala sesuatu). Semua itu harus dilakukan dengan sikap rasa penuh hormat
(ngajéni) kepada sesama dan dirinya karena elìng (selalu sadar dalam segala
hal) dan waspâdâ (hati-hati dan penuh pertimbangan cermat). Tindakan etis
orang Jawa itu oleh Mulder disebut tingkah laku perorangan sebagai moral
yang didasar-kan pada sikap nrimâ, sabar, wâspâdâ, elìng, andhap asôr,
dan merusak tata keseimbangan alam dan kehidupan dunia.120 Tanpa sikap
akan Tuhan. Oleh orang Jawa, Tuhan disebut Sang Hyang, atau Gûsti
Tuhan itu sumber mula dan tujuan akhir dari segala sesuatu yang tercipta
120
Niels Mulder, Kebatinan dan Hidup Sehari-Hari Orang Jawa (Jakarta: Gramedia,
1984), 22-23.
121
Fachry Ali, Refleksi Paham Kekuasaan Jawa dalam Indonesia Modern (Jakarta:
Gramedia, 1986), 16.
68
Tinggi, Maha Agung, dan Maha Mulia, sehingga dengan pengetahuan
manusia biasa tidak bisa atau sulit dipahami secara tepat, namun keber-
adaanNya dapat dirasakan (Gûsti tan kênâ kinirâ-kirâ, aywâ tan kenâ kinâyâ
ngâpâ, ngìng bisâ rinâsâ: Tuhan tidak bisa direka-reka dengan pikiran
manusia juga tidak bisa diupamakan atau disamakan dengan apapun, namun
mana-mana (Gûsti iku dumunûng ìng ngêndi papan, anéng sirâ ugâ ânâ
Gûsti: Tuhan itu ada di mana pun tempatnya melalui daya kekuatan yang
kan pula penjelasan Masroer tentang kepercayaan asli dan khas orang Jawa,
kehadiran, bahkan bisa melebur dalam diri manusia, demikian juga dalam
dengan kekuatan gaib.122 Dengan rasa itulah pemahaman Tuhan yang tidak
mudah menjadi unik. Tuhan yang tak tersentuh dan seakan jauh, tetapi pada
satu sisi terasa sangat dekat; bahkan menyatu dalam kehidupan diri manusia
(Gûsti iku adôh tanpâ wangénan, cêdhak tanpâ senggôlan: Tuhan itu jauh,
tetapi tidak berjarak; namun dekat, meski tidak bisa tersentuh). Kenyataan
122
Masroer, The History of Java, 19-20.
69
keberadaan Tuhan yang ada di mana-mana dan bisa dirasa secara demikian
unik itu dimengerti pula sebagai Hyang Maha Tahu (Gûsti tan nate klilapan
marang jalmâ titah, Gûsti Mâhâ Pìrsâ. Panjenengane ora sare: Tuhan tidak
pernah lepas perhatian kepada makhluk ciptaanNya, Tuhan itu Maha Tahu.
Dia tidak tertidur atau lengah). Inti dari kepercayaan itu adalah bahwa
kan Pemilik, Sumber dan Kiblat, serta Pemelihara dan Pengatur seluruh
kehidupan yang selamat secara lahir maupun batin dalam kesatuan jiwanya
cilìk, yang terjelma dalam kasta dan sebutannya, yaitu Gûsti (tuan, untuk
terkemuka) dan wông cilìk (golongan rendah jelata), dan lain sebagainya.
lekat dengan lambang kêrìs (piranti senjata atau pusaka, sekaligus lambang
70
kekuatan, kekuasaan, ataupun pemerintah), dan pelaksana (réh-réhan) yang
lekat dengan pacûl (piranti bekerja, sekaligus lambang rakyat, hamba, atau-
antara golongan satu dengan golongan yang lainnya itu dilakukan dengan
yang terdapat pada perilaku dan bahasa Jawa. Tataran-tataran hubungan itu
harus dijalani dengan sikap narimâ ìng pandûm dan ngajéni secara penuh
(erìng: segan). Sikap tersebut menjadi pendorong bagi orang Jawa untuk
selalu menyesuaikan dirinya dengan jalan têpâ sālirâ dan êmpan papan,
agar selalu ada kelestarian (slamêt). Pokok pengertian tersebut bisa dilihat
Tuhan dengan sebutan titisan dewa (Bāthârâ) ataupun Gûsti dengan rakyat
123
Suwardi Endraswara, Buku Pintar Budaya Jawa: Mutiara Adiluhung Orang Jawa
(Yogyakarta: Gelombang Pasang, 2005), 315.
71
Keempat, tata bangunan rumah dan kāratôn yang menjadi pusat
sekaligus gambaran keselarasan yang antara jagad gêdhe dengan jagad cilìk.
(bangunan) sitinggìl (siti inggil: permukaan tanah atau tempat dan ruang
kiblat papat, limâ pancêr (keempat penjuru, yang kelima pusatnya) alias
empat arah mata penjuru dunia di sekeliling istana yang adalah pusatnya.
Pokok pengertian itu oleh Durkheim dan Mauss diistilah mâncâpat, yaitu
72
semesta tersebut juga terjelma dalam warna dan corak beserta perpaduannya
Kelima, karya seni khususnya dari lingkup kāratôn yang tidak bisa
Jawa. Ada beberapa karya seni yang secara kuat mengungkapkan pandangan
memberikan wêjangan etika agar manusia hidup serasi dengan sesama dan
langsung sebagai para lakôn (pelaku). Dalam filsafat Jawa, wayang itu
dalam tiga bagian penting (pathêt), yaitu pathêt nêm, pathêt sângâ, pathêt
dan dewasa, hingga tua.127 Berikutnya adalah bêksâ (tari), yaitu seni per-
tunjukkan gerak tubuh yang terarah penuh makna dalam irama secara
sebagai salah satu bentuk seni pertunjukkan memiliki tiga kegunaan utama,
yaitu untuk: (1) sarana ritual, (2) ungkapan pribadi bagi kesenangan atau
126
Apika Nurani Sulistyati, “Kiblat Papat Lima Pancer: Sebagai Media Refleksi
dalam Wujud Karya Tekstil,” (Skripsi, Universitas Negeri Sebelas Maret Surakarta, 2009),
4-6, 17, 25.
127
Soetomo, Filsafat Jawa, 83-84.
73
lingkungan kehidupan adat masyarakat Jawa tari lebih bersifat ritual,
Baratha dan Tari Ramayana untuk pemujaan Dewa Wishnu yang menjelma
dalam diri raja berkuasa, Tari Bêdâyâ dan Tari Srimpi untuk menghadirkan
maupun upacara pertanian, dan lain sebagainya. Seni gerak itu umumnya
sebagai keselarasan dalam laras (irama) pelôg (nada mayor Jawa) maupun
sastra (suara yang memiliki daya kekuatan gaib yang berpengaruh terhadap
128
R. M. Soedarsono, Seni Pertunjukkan Indonesia di Era Globalisasi (Yogyakarta:
Gadah Mada University Press, 2002), 123-126, 140-148.
129
Suryo Pugiarto, Sugeng Dambaan Masyarakat Jawa Berwawasan Integral:
Sebuah Langkah Awal dalam Memperteguh Jati Diri (Jakarta: Sinar Harapan, 1993), 37.
130
Sondong, Ngelmu Urip, 122-124.
74
senjata pusaka, yaitu piranti untuk membela diri ataupun melumpuh musuh.
Di antara senjata yang banyak dimiliki oleh orang Jawa, kêrìs merupakan
keserasian hidup antara jagad gêdhe dengan jagad cilìk. Kêrìs dan wrângkâ
lain. Keduanya memiliki makna lambang hubungan erat dan menyatu untuk
kêrìs yang dipercaya memiliki daya sakti dan mesti bertempat di dalam
roh-roh yang menjadi wujud kekuatan akan keberadaan Tuhan dan diyakini
bentuk.
131
Fachry, Refleksi Paham Kekuasaan Jawa dalam Indonesia Modern, 30-31.
132
Endraswara, Buku Pintar Budaya Jawa, 321-322.
75
a. Pertama slamêtan tolak bâlâ yang diadakan untuk menangkal bencana
sebagainya.
agar seorang anak tidak sering sakit-sakitan), metri desâ (bersìh desâ:
menjaga bayi yang baru lahir dari gangguan Si Kâlâ, selama sāpasar),
puputan (hilangnya tali puser sang bayi pada usia sāpasar: lima hari,
hari), têdhak siti (saat bayi diturunkan ke tanah pada usia tujuh bulan
ditandai dengan sunat) atau têtêsan (remaja perempuan akil balik yang
ditandai dengan sunat atau pangûr: meratakan gigi dengan tatah dan
76
pria) atau midôdari (persiapan menikah bagi calon mempelai wanita),
ada pula slamêtan sêdêkah bumi (memberi sesaji pada Hyang, Sang
77
e. Kelima slamêtan harian yang dilakukan untuk menghormati dan
makanan untuk keluarga pada hari itu, dan diletakkan di dalam kamar
pada umumnya sama, yaitu: pemberian sesaji dengan rapal rumusan mantra
kepada roh-roh leluhur ataupun Sang Hyang. Sesaji itu sendiri sebenarnya
tertentu yang dipercaya diinginkan oleh sang sosok adikodrat. Korban itu
dimaksud-kan sebagai sarana pemujaan dan ucapan syukur, namun juga bisa
78
sebagai sarana pengganti atau penebus kesalahan atau penyimpangan
tidak bisa dilakukan oleh sembarang orang. Mantra itu harus diucapkan oleh
berkuasa itu. Contohnya pemberian sesaji ketika hendak panen padi (wiwít)
berupa nasi tumpeng putih kecil dengan puncak cabai merah (lômbôk
abang) dan bawang merah (brambang) ditusuk jadi satu. Ada pula air putih
dalam kêndhi dan íngkûng (ayam yang disembelih dimasak utuh), ditambah
telur rebus dan pelas kangsén (larva lebah madu), atau aneka masakan
keempat sudut sawah (sebagai lambang hormat pada empat saudara yang tak
usus pusar; turunan dari pokok pengertian kiblat papat limâ pancêr dengan
berbagai lambang serta makna keseimbangan alam semesta), dan yang satu
syukur kepada sang maha agung yang sering dikenal dengan sebutan Déwi
Sri, karena telah memberi keselamatan tanaman padi hingga dapat dituai.
Akhir menghantarkan sesaji itu, sang sesepuh menuangkan air dari kêndhi
ke atas tanaman padi dan memotong beberapa untai tanaman rumpun siap
79
panen itu menjadi dua ikatan sebagai pêngantén padi yang melambangkan
Déwi Sri dan Radén Sri Sadânâ. Lambang itu kemudian diserahkan kepada
Cara bersesaji tersebut pada intinya sama dengan aneka upacara slamêtan
yang lainnya. Hanya isi mantra yang diucap-kanlah yang berbeda karena
yaitu maksud dan tujuan slamêtan yang diselenggarakan. Agar ujûb itu
dapat mengena dengan baik dalam pemahaman khalayak yang hadir, maka
yang menyampaikan biasanya juga sesepuh. Sebab maksud dan tujuan itu
lambang dari nasi tumpeng putih dengan puncak brambang dan lômbôk
abang. Nasi tumpeng putih adalah lambang gunung tempat maha tinggi
lambang alam dan kehidupan maupun asal usul segala ciptaan (sangkang
paraning dumadi), yaitu jagad gêdhe dan jagad cilík yang dilambangkan
juga dengan gambar gunungan atau kayôn dalam peraga wayang pûrwâ
pokok. Karena itu setiap orang harus ingat muliakan Sang Pencipta dan
133
Agus Purwoko, Gunungan: Nilai-Nilai Filsafat Jawa (Yogyakarta: Graha Ilmu,
2012), 26, 30-31.
80
bersyukur atas kemurahanNya dengan menjaga serta mendayagunakan alam
abang adalah panah yang melambangkan manah (hati) sebagai pusat cipta,
rasa, dan karsa atau tempat têtimbangan (pertimbangan nalar dan budi)
(animbang). Kedua jenis bumbu itu sering diringkas hanya lômbôk abang
manusia yang harus tahu dan dapat menempatkan diri dalam tata kehidupan
sama. Adapun íngkûng dan air putih yang dikucurkan pada rumpun padi
kan jadi satu) sebagai dasar bekerja dan akhirnya layak merasa tenang
(sirêp: hilang kegundahan dalam penantian hasil karya, dan menjadi asrêp:
dingin dan tenang dengan lambang siraman air putih dari kêndhi) karena
adalah manusia tidak boleh lepas dan melupakan Tuhan, Sumber kehidupan
81
hasil dan ketenangan. Demikian pula dengan telur rebus dan pelas kangsén.
dadi (benih utuh berisi), sama dengan biji padi (las) siap panen yang antêpe
kata berwujud makanan: pe + las dan kang + sén. Sebagai wiji dadi, maka
pemberian Tuhan Maha Murah dalam karya pekerjaan dan hasilnya, pada
kemampuan hidupnya yang berguna bagi sesamaan dan alam, seperti butir
telur yang bisa menetas (nêtês) dan bulir padi bernas (mêntês).
keluarga agar giat bekerja sehingga beroleh penghasilan yang cukup, dan
anak dan keturunan yang banyak, mereka selalu menghormati orang tua,
sesepuh, dan leluhur. Pada akhirnya seisi keluarga supaya selalu ingat pada
Gûsti Kang Akaryâ Uríp (Tuhan yang menjadikan hidup dan kehidupan).
82
kehidupan manusia, yang disahut oleh keluarga empunya sawah maupun
sering disebut juga dengan pajatan atau kenduri itu berisikan masakan nasi
putih, lauk (telur rebus, ikan asin (gêréh) péthék, daging ayam), sayuran
(sambal kelapa yang dicampur rata dengan kuluban), dan aneka jajan pasar.
tadi dihidangkan bersama dengan banyu tâwâ (air murni atau air putih tanpa
rasa).
(petunjuk) lugas maupun gugôn tuhôn (ajaran dalam bentuk mitos sebagai
orang yang telah melakukan upacara slamêtan pada masa nyidham tidak
subang dan cincin. Semua itu dianggap dapat mengganggu atau meng-
hambat pertumbuhan dan kelahiran bayi pada nantinya. Selain itu juga
83
dilarang makan makanan dari daging sungsang (hewan yang lahirnya keluar
kakinya lebih dulu) dan daging yang menimbulkan rasa panas, daging ikan
pemakan daging dan buas, maupun tidak boleh makan buah-buahan yang
berakibat pada rasa yang sama di tubuh. Ketika makan calon ibu yang
sedang mengandung muda itu tidak boleh berada di depan atau di tengah
pintu, dilarang duduk di lumpang maupun alu (antan), serta cara makan
dengan piring tidak boleh disânggâ (ditopang) tangan supaya calon bayi
tidak dimangsa oleh si Kâlâ (Bāthârâ Kâlâ). Sebaliknya, calon ibu itu harus
rajin minum ramuan cabe lêmpuyang tiap delapan hari sekali pada hari
Rabu atau Sabtu, cuci tangan dan kaki dengan air yang dicampur garam
dan waspada, tertib dan mapan, kebersihan dan sehat, baik dan sopan bagi
para ibu yang sedang mengandung, khususnya di usia kandungan muda. Itu
semua adalah keteraturan dan sikap untuk menjaga atau mengendalikan diri.
135
Siman Widyatmanta, Sikap Gereja Terhadap Budaya dan Adat Istiadat: Sebagai
Sarana Berinteraksi dalam Kehidupan Bermasyarakat (Salatiga: BMGJ, 2007), 65-66.
84
Apabila dilanggar maka dapat membahayakan bagi keselamatan sang ibu
Salah satu pokok penting lain dari tata susunan upacara kepercayaan
Jawa di atas adalah bahwa banyaknya aneka bumbu dan makanan yang
136
Sondong, Ngelmu Urip, 173.
137
Ronan Hallowell, “Discernment, Ethics, and Compassion in the Cross-Cultural
Practice of the Native American Sun Dance,” Re Vision: A Journal of Consciousness and
Transformation 32, no. 3 (2012), 87.
85
mengungkapkan serta menikmati keselamatan terhubung dengan Tuhan
dapat disebut juga sebagai ritual. Seperti dinyatakan White, bahwa ritual
bermakna tertentu.
merupakan pancaran dari penyataan Tuhan di dalam wujud dan aneka karya
86
kemapanan hidup. Sama halnya dengan slamêtan yang dijadikan karena
dijumpai berdasarkan peristiwa yang pernah terjadi pula pada masa lalu di
kegiatan untuk menyampaikan maksud dan tujuan liturgi itu sendiri. Dari
yang sama persis dengan liturgi. Ketiga pangkal tolak langkah tradisi bagi
liturgi memang ada, dan sebagian besar intinya punya pengertian yang
serupa. Akan tetapi khusus mengenai dalil tempat dan waktu pelaksanaan-
nya, slamêtan tidak begitu mengenal batasan terlalu khusus, seperti liturgi
yang telah tersedia, seperti laut, sungai, gunung, hutan, sawah, sumur,
seperti itu orang Jawa menganggap dan meyakini sudah cukup dan bisa
87
Demikian pula dengan waktu pelaksanaannya. Dibandingkan dengan
liturgi Kristen, slamêtan juga mengenal almanak tahunan, dan sudah khas.
khusus secara teratur dalam waktu dekat atau mingguan untuk mengadakan
sendiri, yang disebut pasar atau dibahasakan halus menjadi pêkên (dan
akhirnya muncul istilah pekan). Satu pasar terdiri dari lima hari, yaitu hari
Kliwon, Legi, Pahing, Pon, Wage. Meskipun ada sekelompok orang Jawa
menentukan salah satu hari itu untuk waktu berkumpul secara rutin guna
dilakukan tergantung pada keadaan dan kebutuhan, seperti orang yang selalu
diadakan mêtri desâ, minta hujan karena musimnya sudah terlambat lama,
musim menggarap sawah sudah tiba maka diadakan labûh, ketika seorang
delapan dalil, yaitu: (1) Tulisan Suci yang dipandang memiliki otoritas nilai
88
nya atas kehidupan manusia dan ciptaan lainnya, (3) Kebiasaan para
untuk acuan dan inti peribadahan, (6) Persekutuan sebagai salah satu wujud
aneka peran dan karya berbeda tetapi satu kesatuan hidup bersama sebagai
tubuh, yang menuntut (7) Peran serta seluruh anggota untuk saling melayani
dalam keteraturan dan rasa hormat, (8) Norma Pastoral sehingga pelaksana-
Alkitab tampaknya memang tidak ada pikiran membuat seperti itu. Ada
kāratôn. Akan tetapi semuanya tidak memiliki alasan untuk menjadi acuan
89
seluruhnya oleh masyarakat Jawa sebagai himpunan karwûh adi luhûng
cenderung nyaman, maka watak batin dinamis dan harmoni yang didukung
kehendak Hyang Kewâsâ; termasuk untuk belajar karwûh adi luhûng yang
banyak orang Jawa yang suka pada gêgulang, pitutûr, bahkan percaya pula
pada gugôn tuhôn yang turun-temurun dari para leluhur yang diwejangkan
oleh para sesepuh dan kaum cendekia, dengan penerimaan seperti percaya
pada raja atau pendeta yang mewakili Tuhan dalam falsafah: sabdâ
karena dia wakilNya, sehingga tidak patut diulangi, seakan ada kesalahan).
90
berliturgi juga tidak mungkin disamakan dalam slamêtan. Sebagaimana roti,
menjadi inti liturgi pada umumnya telah diakui menjadi milik Kekristenan
khas yang sesungguhnya berasal dari budaya tertentu, maka slamêtan juga
memiliki wujud khas menurut budaya Jawa dengan tujuan seperti itu. Dalam
ritual Jawa yang selalu dikenal adalah tumpêng lengkap dengan ìngkûng dan
banyu tâwâ untuk diterima dan dimakan atau diminum bersama, maupun
nya tersusun oleh berbagai latar belakang kehidupan yang menjadi peng-
masyarakat Jawa.
91
2.5. Liturgi Kontekstual Jawa dan Teologi Kontekstual Jawa
dari pihak manusia. (2) Penyampaian ujûb kepada khalayak. (3) Pemanjatan
doa permohonan berkat bagi yang sedang menjalani slamêtan. (4) Pem-
kontekstual sebagai hal yang paling pokok. Seperti dinyatakan di dalam Bab
juga berteologi lokal adalah teologi yang dihasilkan dari perhatian penuh
138
Huang Po Ho, No Longer a Stranger, 13.
92
kungan sekitar di bumi ini dan berhubungan penting dengan budaya tertentu
di manapun, di sini dan saat ini yang meliputi politik, ekonomi, maupun
faham dan berbagai wujudnya. Pada intinya orang Jawa mengimani bahwa
Tuhan itu ada. Dia adalah Sang Pencipta Maha Kuasa dan Maha Suci yang
memiliki hakikat transenden, dan sebagai sosok hakiki itu mampu ber-
imanensi dalam rupa profan (Gûsti tan kênâ kinirâ-kirâ, aywâ tan kenâ
kinâyâ ngâpâ, ngìng bisâ rinâsâ; Gûsti iku dumunûng ìng ngêndi papan,
anéng sirâ ugâ ânâ Gûsti). Meminjam istilah M. Sastrapratedja, asas faham
kebudayaan Jawa itu disebut juga sebagai teologi kodrati (teologi naturalis),
pada alam, seperti laut, sungai, gunung, hutan, sawah maupun ladang,
benda-benda yang dianggap bertuah atau memiliki kekuatan gaib, dan lain
139
Clemens Sedmak, Doing Local Theology: A Guide for Artisans of a New
Humanity (Maryknoll, New York: Orbis Books, 2006), 3-4.
140
M. Sastrapratedja, Allah Sebagai Dasar Ada: Filsafat dan Teologi Paul Tillich
(Yogyakarta: Penerbitan Universitas Sanata Dharma, 2001), 16.
93
hari orang Jawa. Bagi mereka, aneka rupa alam itu memiliki nilai ekonomis
alaman praktis dan nyata. Kekhasan liturgi kontekstual Jawa tersebut tidak
disajikan secara ringkas pada bagian sebelumnya tentang wujud aneka jenis
merupakan piranti wajib diadakan dan tak tergantikan. Sebab ubârampe itu
Hyang), sekaligus cerminan alam dan etika kehidupan yang serasi dalam
pengertian jagad gêdhe dan jagad cilìk. Inilah acuan aksi dan refleksi orang
94
Jawa dalam berbagai kehidupan berkebudayaan yang sampai sekarang tetap
ada walaupun pada keadaan tertentu seakan tersamar oleh berbagai macam
2.6. Penutup
atas, maka liturgi kontekstual dalam budaya Jawa disimpulkan sebagai tata
yang terbingkai dalam teologi Kêjawén dan terpusat pada lambang tumpêng
pun tradisi kepercayaan beserta aneka lambang yang berasal dari budaya
95
masyarakat Jawa di tengah suasana keberadaan hidup mereka sebagai
karunia yang terjelma di dalam Yesus Kristus Sang Sabda yang menjadi
dalam budaya Jawa tidak cukup hanya ditentukan oleh penggunaan bahasa
kehidupan masyarakat Jawa, sehingga Injil Kristus dapat dijumpai dan di-
141
F. J. Clasen, “Liturgy on the Edge of Change”. Practical Theology in South
Africa 2010. 23, no. 1 (2010), 36-54.
96