LP Mobilisasi
LP Mobilisasi
LP Mobilisasi
oleh:
Devi Putwi Hardini, S.Kep
NIM 182311101051
1.1 Otot
Jenis-jenis otot
a) Otot rangka, merupakan otot lurik, volunter, dan melekat pada rangka.
Serabut otot sangat panjang, sampai 30 cm, berbentuk silindris dengan
lebar berkisar antara 10 mikron sampai 100 mikron.
Setiap serabut memiliki banyak inti yang tersusun di bagian perifer.
Kontraksinya sangat cepat dan kuat.
Struktur Mikroskopis Otot Skelet/Rangka
• Otot skelet disusun oleh bundel-bundel paralel yang terdiri dari serabut-
serabut berbentuk silinder yang panjang, disebut myofiber /serabut otot.
• Setiap serabut otot sesungguhnya adalah sebuah sel yang mempunyai
banyak nukleus ditepinya.
• Cytoplasma dari sel otot disebut sarcoplasma yang penuh dengan
bermacam-macam organella, kebanyakan berbentuk silinder yang
panjang disebut dengan myofibril.
• Myofibril disusun oleh myofilament-myofilament yang berbeda-beda
ukurannya :
yang kasar terdiri dari protein myosin
yang halus terdiri dari protein aktin/actin.
b) Otot Polos merupakan otot tidak berlurik dan involunter. Jenis otot ini
dapat ditemukan pada dinding berongga seperti kandung kemih dan uterus,
serta pada dinding tuba, seperti pada sistem respiratorik, pencernaan,
reproduksi, urinarius, dan sistem sirkulasi darah.
Serabut otot berbentuk spindel dengan nukleus sentral.
Serabut ini berukuran kecil, berkisar antara 20 mikron (melapisi
pembuluh darah) sampai 0,5 mm pada uterus wanita hamil.
Kontraksinya kuat dan lamban.
Struktur Mikroskopis Otot Polos
Ada dua kategori otot polos berdasarkan cara serabut otot distimulasi untuk
berkontraksi.
Otot polos unit ganda ditemukan pada dinding pembuluh darah besar,
pada jalan udara besar traktus respiratorik, pada otot mata yang
memfokuskan lensa dan menyesuaikan ukuran pupil dan pada otot
erektor pili rambut.
Otot polos unit tunggal (viseral) ditemukan tersusun dalam lapisan
dinding organ berongga atau visera. Semua serabut dalam lapisan
mampu berkontraksi sebagai satu unit tunggal. Otot ini dapat bereksitasi
sendiri atau miogenik dan tidak memerlukan stimulasi saraf eksternal
untuk hasil dari aktivitas listrik spontan.
c) Otot Jantung
Merupakan otot lurik
Disebut juga otot seran lintang involunter
• Otot ini hanya terdapat pada jantung
• Bekerja terus-menerus setiap saat tanpa henti, tapi otot jantung juga
mempunyai masa istirahat, yaitu setiap kali berdenyut.
Struktur Mikroskopis Otot Jantung
Gambar .1
Kerja Otot
1.2 Tendon
Tendon adalah tali atau urat daging yang kuat yang bersifat fleksibel, yang
terbuat dari fibrous protein (kolagen). Tendon berfungsi melekatkan tulang
dengan otot atau otot dengan otot.
Gambar.2
Tendon
1.3 Ligamen
a) Ligamen Tipis
Gambar.3
Ligamen
2. Skeletal
1) Tulang terdiri dari sel hidup yang tersebar diantara material tidak hidup
(matriks).
2) Matriks tersusun atas osteoblas (sel pembentuk tulang).
3) Osteoblas membuat dan mensekresi protein kolagen dan garam mineral.
4) Jika pembentukan tulang baru dibutuhkan, osteoblas baru akan dibentuk.
5) Jika tulang telah dibentuk, osteoblas akan berubah menjadi osteosit (sel
tulang dewasa).
6) Sel tulang yang telah mati akan dirusak oleh osteoklas (sel perusakan
tulang).
1. Tulang Kompak
1. Synarthrosis (suture)
Hubungan antara dua tulang yang tidak dapat digerakkan, strukturnya terdiri
atas fibrosa. Contoh: Hubungan antara tulang di tengkorak.
2. Amphiarthrosis
Hubungan antara dua tulang yang sedikit dapat digerakkan, strukturnya
adalah kartilago. Contoh: Tulang belakang
3. Diarthrosis
Hubungan antara dua tulang yang memungkinkan pergerakan, yang terdiri
dari struktur sinovial. Contoh: sendi peluru (tangan dengan bahu), sendi
engsel (siku), sendi putar (kepala dan leher), dan sendi pelana (jempol/ibu
jari).
Gambar. 4
1. Struktur
1. Cervical/leher 7 ruas
2. Thoracalis/punggung 12 ruas
3. Lumbalis/pinggang 5 ruas
4. Sakralis/kelangkang 5 ruas
5. Koksigeus/ekor 4 ruas
2. Fungsi
Antar tulang belakang diikat oleh intervertebal, serta oleh ligamen dan
otot. Ikatan antar tulang yang lunak membuat tulang punggung menjadi fleksibel.
Sebuah unit fungsi dari dua bentuk tulang yang berdekatan diperlihatkan dari
gambar di bawah ini.
Gambar 7
Tulang leher terdiri dari tujuh ruas, mempunyai badan ruas kecil dan
lubang ruasnya besar. Pada taju sayapnya terdapat lubang tempat lajunya saraf
yang disebut foramen tranvertalis. Ruas pertama vertebra serfikalis disebut atlas
yang memungkinkan kepala mengangguk. Ruas kedua disebut prosesus odontois
(aksis) yang memungkinkan kepala berputar ke kiri dan ke kanan. Ruas ketujuh
mempunyai taju yang disebut prosesus prominan. Taju ruasnya agak panjang.
a. Os. Hyoideum adalah sebuah tulang uang berbentuk U dan terletak di atas
cartylago thyroidea setinggi vertebra cervicalis III.
b. Cartygo thyroidea
c. Prominentia laryngea, dibentuk oleh lembaran-lembaran cartylago thyroidea
yang bertemu di bidang median. Prominentia laryngea dapat diraba dan
seringkali terlihat.
d. Cornu superius, merupakan tulang rawan yang dapat diraba bilamana tanduk
disis yang lain difiksasi.
e. Cartilagocricoidea, sebuah tulang rawan larynx yang lain, dapat diraba di
bawah prominentia laryngea
f. Cartilagines tracheales, teraba dibagian inferior leher.
g. Cincin-cincin tulang rawan kedua sampai keempat tidak teraba karena
tertutup oleh isthmus yang menghubungkan lobus dexter dan lobus sinister
glandulae thyroideae.
h. Cartilage trachealis I, terletak tepat superior terhadap isthmus.
Otot Leher
Gambar 9
a. Muskulus platisma yang terdapat di bawah kulit dan wajah. Otot ini menuju
ke tulang selangka dan iga kedua. Fungsinya menarik sudut-sudut mulut ke
bawah dan melebarkan mulut seperti sewaktu mengekspresikan perasaan sedih
dan takut, juga untuk menarik kulit leher ke atas.
b. Muskulus sternokleidomastoideus terdapat pada permukaan lateral
proc.mastoidebus ossis temporalis dan setengah lateral linea nuchalis superior.
Fungsinya memiringkan kepala ke satu sisi, misalnya ke lateral (samping),
fleksi dan rotasi leher, sehingga wajah menghadap ke atas pada sisi yang lain;
kontraksi kedua sisi menyebabkan fleksi leher. Otot ini bekerja saat kepala
akan ditarik ke samping. Akan tetapi, jika otot muskulus platisma dan
sternokleidomastoideus sama-sama bekerja maka reaksinya adalah wajah akan
menengadah.
c. Muskulus longisimus kapitis, terdiri dari splenius dan semispinalis kapitis.
Fungsinya adalah laterofleksi dan eksorositas kepala dan leher ke sisi yang
sama.
Ketiga otot tersebut terdapat di belakang leher yang terbentang dari belakang
kepala ke prosesus spinalis korakoid. Fungsinya untuk menarik kepala
belakang dan menggelengkan kepala.
E. ELBOW
Gambar 10
Siku adalah suatu titik yang sangat komplek di mana terdapat tiga tulang yaitu
humerus, radius dan ulna. Ketiga tulang tersebut bekerja secara bersama-sama
dalam suatu gerakan flexi, extensi dan rotasi.
F. SHOULDER (BAHU)
1. Tulang Bahu
Gambar 11
Tulang-tulang pada bahu terdiri dari:
Gambar 12
Otot bahu hanya meliputi sebuah sendi saja dan membungkus tulang pangkal
lengan dan scapula.
Muskulus deltoid (otot segi tiga), otot ini membentuk lengkung bahu dan
berpangkal di bagian lateral clavicula (ujung bahu), scapula, dan tulang
pangkal lengan. Fungsi dari otot ini adalah mengangkat lengan sampai
mendatar.
Muskulus subkapularis (otot depan scapula). Otot ini dimulai dari bagian
depan scapula, menuju tulang pangkal lengan. Fungsi dari otot ini adalah
menengahkan dan memutar humerus (tulang lengan atas) ke dalam.
Muskulus supraspinatus (otot atas scapula). Otot ini berpangkal di lekuk
sebelah atas menuju ke tulang pangkal lengan. Fungsi otot ini adalah untuk
mengangkat lengan.
Muskulus infraspinatus (otot bawah scapula). Otot ini berpangkal di
lekuk sebelah bawah scapula dan menuju ke tulang pangkal lengan.
Fungsinya memutar lengan keluar.
Muskulus teres mayor (otot lengan bulat besar). Otot ini berpangkal di
siku bawah scapula dan menuju tulang pangkal lengan. Fungsinya bisa
memutar lengan ke dalam.
Muskulus teres minor (otot lengan bulat kecil). Otot ini berpangkal di
siku sebelah luar scapula dan menuju tulang pangkal lengan. Fungsinya
memutar lengan ke luar.
B. Definisi Mobilisasi
Mobilisasi adalah kemampuan seseorang untuk bergerak secara bebas,
mudah, dan teratur yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehat.
Mobilisasi diperlukan untuk meningkatkan kemandirian diri, meningkatkan
kesehatan, memperlambat proses penyakit khususnya penyakit degeneratif dan
untuk aktualisasi diri (Mubarak et al 2015 dalam Pradana 2016).
Latihan mobilisasi atau rehabilitasi juga bertujuan untuk memperbaiki fungsi
neurologis melalui terapi fisik dan tehnik-tehnik lain. Mobilisasi dan rehabilitasi
dini di tempat tidur merupakan suatu program rehabilitasi. Tujuannya adalah
untuk mencegah terjadinya kekakuan (kontraktur) dan kemunduran pemecahan
kekakuan (dekondisioning), mengoptimalkan pengobatan sehubungan masalah
medis dan menyediakan bantuan psikologis pasien dan keluarganya (Junaidi, 2006
dalam Pradana 2016). Pemenuhan kebutuhan aktivitas dan latihan biasanya
menyangkut tentang kemampuan untuk mobilisasi secara mandiri. Aktivitas fisik
yang kurang memadai dapat menyebabkan berbagai gangguan pada sistem
musculoskeletal seperti atrofi otot, sendi menjadi kaku dan juga menyebabkan
ketidakefektifan fungsi organ internal lainnya (Potter & Perry, 2006).
Menurut Mubarak 2008 jenis mobilisasi sebagai berikut:
1. Mobilitas penuh, merupakan kemampuan seseorang untuk bergerak secara
penuh dan bebas sehingga dapat melakukan interaksi sosial dan menjalankan
peran sehari-hari. Mobilitas penuh ini merupakan fungsi saraf motorik
volunteer dan sensorik untuk dapat mengontrol seluruh area tubuh seseorang.
2. Mobilitas sebagian, merupakan kemampuan seseorang untuk bergerak dengan
batasan jelas dan tidak mampu bergerak secara bebas karena dipengaruhi oleh
gangguan saraf motorik dan sesnsorik pada area tubuhnya. Hal ini dapat
dijumpai pada kasus cedera atau patah tulang dengan pemasangan traksi.
Pada pasien paraplegi dapat mengalami mobilitas sebagian pada ekstremitas
bawah karena kehilangan kontrol motorik dan sensorik. Mobilitas sebagian
ini dibagi menjadi dua jenis, yaitu:
a. Mobilitas sebagian temporer, merupakan kemampuan individu untuk
bergerak dengan batasan yang sifatnya sementara. Hal tersebut dapat
disebabkan oleh trauma reversibel pada system musculoskeletal,
contohnya adalah adanya dislokasi sendi dan tulang.
b. Mobilitas permanen, merupakan kemampuan individu untuk bergerak
dengan batasan yang sifatnya menetap. Hal tersebut disebabkan oleh
rusaknya system saraf yang reversibel, contohnya terjadinya hemiplegia
karena stroke, paraplegi karena cedera tulang belakang, poliomilitis
karena terganggunya system saraf motorik dan sensorik.
3. Rentang Gerak dalam mobilisasi
Dalam mobilisasi terdapat tiga rentang gerak yaitu :
a. Rentang gerak pasif
Rentang gerak pasif ini berguna untuk menjaga kelenturan otot-otot dan
persendian dengan menggerakkan otot orang lain secara pasif misalnya
perawat mengangkat dan menggerakkan kaki pasien.
b. Rentang gerak aktif
Hal ini untuk melatih kelenturan dan kekuatan otot serta sendi dengan cara
menggunakan otot-ototnya secara aktif misalnya berbaring pasien
menggerakkan kakinya.
c. Rentang gerak fungsional
Berguna untuk memperkuat otot-otot dan sendi dengan melakukan
aktifitas yang diperlukan
C. Etiologi
Penyebab yang dapat mempengaruhi mobilisasi antara lain (Kozier, 1995
dalam Khairani, 2013):
1. Usia dan status perkembangan
Perbedaan tingkat mobilisasi salah satunya disebabkan oleh perbedaan usia.
Orang dewasa akan mempunyai tingkat mobilitas yang berbeda dengan anak-
anak. Anak yang sering sakit juga akan mempunyai mobilitas berbeda dengan
anak yang sehat.
2. Gaya hidup
Masing-masing individu mempunyai gaya hisup sendiri yang berbeda-beda.
Hal ini juga dapat bergantung pada tingkat pendidikannya. Semakin tinggi
tingkat pendidikan individu maka perilakunya akan dapat meningkatkan
kesehatannya. Apabila pengetahuan tinggi tentunya akan diikuti pengetahuan
tentang mobilitas dan akan senantiasa melakukan mobilitas dengan cara yang
sehat.
3. Proses dari suatu penyakit
Individu yang dihadapkan dengan penyakit tertentu akan berpengaruh
terhadap mobilitasnya. Contohnya seseorang yang menderita patah tulang
akan kesulitan dalam melakukan mobilisasi secara bebas.
4. Kebudayaan
Suatu budaya dapat mempengaruhi seseorang meliputi pola dan sikap dalam
beraktivitas, misalnta seorang anak desa akan biasa dengan jalan kaki berbeda
dengan anak kota yang menggunakan kendaraan pribasi. Sehingga dapat
disimpulkan mobilitasnya sangat berbeda.
5. Tingkat energi
Individu dalam melakukan mobilitas akan membutuhkan sebuah energi.
Individu yang sedang sakit akan mempunyai tingkat mobilitas yang lebih
sedikit dibandingkan dengan individu yang sehat.
Degenerasi tulang
rawan sendi
Ketidakmampuan Ketidakmampuan
mengakses kamar mandi melakukan
dan menjangkau sumber air pergerakan ke toilet
G. Penatalaksanaan Keperawatan
a. Pengkajian
1) Aspek Biologis
a) Usia
b) Riwayat Keperawatan
Hal yang perlu dikaji antara lain yaitu adanya gangguan pada istem
muskuloskeletal, ketergantungan terhadap orang lain dalam
melakukan aktivitas, jenis latihan atau olahraga yang sering
dilakukan klien
c) Pemeriksaan fisik meliputi rentang gerak kekuatan ototkekuatan otot
sikap tubuh dan dampak imobilisasi terghadap sistem tubuh.
2) Aspek Psikologis
Aspek psikologis yang perlu dikaji antara lain yaitu bagaimana respon
psikolofgis terhadap masalah gangguan aktivitas yang dialaminya.
3) Aspek Sosiokultural
Pengkajian pada aspek sosio kultural ini dilakukan untuk
mengidentifikasi dampak yang terjadi akibat gangguan aktifitas yang
dialami klien terhadap kehidupan sosialnya.
4) Aspek Spiritual
Hal yang perlu dikaji pada aspek ini adalah bagaimana keyakinan dan
nilai yang dianut dengan kondisi kesehatan yang dialaminya sekarang.
5) Kemunduran Muskuloskeletal
Indikator primer dari keparahan imobilitas pada sistem muskuloskeletal
adalah penurunan tonus, kekuatan, ukuran dan ketahanan otot, rentang
gerak sendi dan kekuatan skeletal
6) Kemunduran Kardiovaskuler
Tanda dan gejala kardiovaskuler tidak memberikan bukti langsung atau
meyakinkan tentang perkenbangan komplikasi imobilitas
7) Kemunduran respirasi
Indikasi kemunduran respirasi dibuktikan dari tanda dan gejala eletasis
dan pneumonia. Tanda-tanda awal meliputi peningkatan temperatur dan
denyut jantung. Perubahan-perubahan dalam pergerakan dada, perkusi,
bunyi nafas dan gas arteri mengindikasaikan adanya perluasan kondisi
yang terjadi
8) Perubahan-perubahan Integumen
Indikator cedera iskhemia terhadap jaringan yang pertama adalah reaksi
inflamasi. Perubahan awal terluihat pada permukaan kulit sebagai
daerah eritema yang tidak teratur dan didefinisikan sangat buruk diatas
tonjolan tulang yang tidak hilang dalam waktu 3 menit setelah tekanan
dihilangkan
9) Perubahan-perubahan Fungsi urinaria
Bukti dari perubahan-perubahan fungsiurinaria termasuk tanda-tanda
fisik berupa berkemih sedikit dan sering, distensi abdomen bagian
bawah dan batas kandung kemih yang dapat diraba. Gejala-gejala
kesulitan miksi termasuk pernyataan ketidakmampuan untuk berkemih
dan tekanan atau nyeri pada abdomen bagian bawah.
10) Perubahan-perubahan gastrointestinal
Sensasi subyektif dan konstipasi termasuk rasa tidak nyaman pada
abdomen bagian bawah, rasapenuh, tekanan. Pengosongan rectum yang
tidak sempurna, anorexia, mual gelisah, depresi mental, iritabilitas,
kelemahan dan sakit
11) Faktor-faktor lingkungan
Lingkungan tempat tinggal klien memberikan bukti untuk intervensi.
Didalam rumah, kamar mandi tanpa pegangan, karpet yang lepas,
penerangan yang tidak adekuat, tangga yang tinggi, lantai licin dan
tempat duduk toilet yang rendah dapat menurunkan mobilitas klien.
Hambatan-hambatan institusional terhadap mobilitas termasuk jalan
koridor yang terhalang, tempat tidur yang posisinya tinggi dan cairan
pada lantai. Identifikasi dan penghilangan hambatan-hambatan yang
potensial dapat meniingkatkan mobilitas
12) Pemeriksaan Fisik
a) Inspeksi dan Palpasi
Pemeriksaan ini dilakukan untuk mengetahui : fungsi, integritas
tulang, postur, fungsi sendi, kekuatan otot, cara berjalan,
kemampuan melakukan kegiatan sehari-hari. Sirkulasi perifer
dilakukan dengan mengkaji : denyut perifer, warna, suhu, kapilerry
reffill. Pengkajian sistem skelet tubuh ditujukan untuk mengetahui
kesejajaran, deformitas, dan krepitus.
b) Pengkajian Sistem Tulang Belakang
Inspeksi dilakukan untuk mengetahui Kalainan adanya : skoliosis,
lordosis, kifosis. Prosedur yang digunakan untuk pemeriksaan
tulang belakang adalah sebagai berikut :
1) Buka baju pasien untuk menampakan seluruh punggung,
bokong dan tungkai.
2) Posisi pasien berdiri tegak dan membungkuk kedepan.
3) Yang diperiksa : kurvatura tulang belakang, simetri batang
tubuh dari pandangan antrior, posterior dan lateral.
4) Berdiri di belakang pasien yang diperhatikan : tinggi bahu dan
krista iliaka, lipatan bokong(normalnya simetris), simetris bahu
dan pinggul, kelurusan tulang belakang.
c) Pengkajian Sistem Persendian
1) Memeriksa luas gerak, deformitas, stabilitas, adanya benjolan.
Pengukuran luas gerak yang tepat dapat dilakukan dengan
geniometer (busur derajat yang dirancang kusus untuk evaluasi
gerak sendi. Jika sendi diekstensikan maksimal masih ada sisa
fleksi berarti terjadi keterbatasan gerak.
2) Keterbatasan gerak karena : deformitas skeletal, kontraktur
otot dan tendon, patologi sendi, patologi sendi pada lansia
yang menimbulkan penurunan kemampuan ADL
3) Deformitas sendi karena : kontraktur, dislokasi,
subluksasi(lepasnya sebagian permukaan sendi)
d) Pengkajian Sistem Otot
1) Meliputi kemampuan mengubah posisi, kekuatan otot dan
koordinasi, ukuran otot.
2) Kelainan otot : polineuropati, miastenia gravis, poliomeilitis,
distrofi otot.
3) Penambahan ukuran dilakukan dengan mengukur lingkar
ekstrimitas. Pengukuran pada lingkar terbesar ekstrimitas.
4) Berikut skala kekuatan otot untuk mengkaji kekuatan otot
Skala Nilai Ket.
Normal Mampu menggerakkan persendian dalam lingkup
5/5 gerak penuh, mampu melawan gaya gravitasi,
mampu melawan dengan tahan penuh
Baik 4/5 Mampu menggerakkan persendian dengan gaya
gravitasi, mampu melawan dengan tahan sedang
Sedang 3/5 Hanya mampu melawan gaya gravitasi
Buruk 2/5 Tidak mampu melawan gaya gravitas (gerakkan
pasif)
Sedikit 1/5 Kontraksi otot dapat di palpasi tampa gerakkan
persendian
Tidak ada 0/5 Tidak ada kontraksi otot
e) Pemeriksaan Penunjang
1) Pemeriksaan darah lengkap: Haemoglobin, lekosit, waktu
pembekuan dan waktu perdarahan.
2) Pemeriksaan kimia darah :
- Kalsium serum. Dilakukan pada pasien osteomalasia,
fungsi paratiroid, penyakit piaget, tumor tulang metastase,
immobilisasi lama.
- Fosfor serum. Berbanding terbalik dengan kalsium,
menurun pada pasien rikets karena malasorbsi. ◦Fosfatase
asam. Meningkat pada piaget dan kanker metastase.
- Fosfatase alkali. Meningkat pada proses penyembuhan,
miningakt pada penyakit dengan peningkatan aktivitas
osteoblast, misalnya pada pasien tumor tulang metastase.
3) Radiografi
- X-rays
- Hasil dari foto rontgen mengambarkan kepadatan, tekstur,
erosi, perubahan hubungan/menunjukkan adanya
pelebaran, dan penyempitan. Foto rontgen sendi
menggambarkan adanya cairan, sput, iregulitas, perubahan
struktur sendi.
- Ct scan.
- Hasil foto yang diperoleh adalah rincian bidang yang
diperiksa.
- EMG/elektromiografi memberikan informasi mengenai
potensial listrik otot dan saraf yang mensarafinya. Tujuan
dari EMG adalh untuk menentukan abnormalitas fungsi
unit motor end.
- Arthroscopy/endoskopi sendi
- Biops dilakukan untuk menentukan struktur dan komposisi
tulang, otot, dan sinovium
- Arteriografi.
Perry & Potter. 2005. Buku ajar fundal mental keperawatan konsep, proses dan
praktik. Edisi 4. Jakarta : EGC.
Pradana, M. D. 2016. Upaya peningkatan Mobilitas Fisik pada Pasien Stroke
NonHemoragik di RSUD dr Soehadi Prijonegoro. Naskah Publikasi
Surakarta: Program Studi Keperawatan Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas
Muhammadiyah Surakarta [Diakses pada 7 Maret 2018]
Muttaqin, Arif. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan
Sistem Persarafan. Jakarta: Salemba Medika.
Batticaca, Fransisca B. 2008. Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Gangguan
Sistem Persafan. Salemba Medika: Jakarta.
C.Pearce, Evelyn. Anatomi dan Fisiologi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama,
1992.
Gibson, John. Anatomi dan Fisiologi Modern untuk Perawat. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC, 2003.
Sloane, Ethel. Anatomi dan Fisiologi untuk Pemula. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC, 2003.