Jurnal e Leadership

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 14

e-LEADERSHIP:

Faktor Kunci Pengembangan Kapasitas Teknologi Informasi dan


Komunikasi di Daerah

Awang Anwaruddin
Puslitbang Sistim Informasi dan Otomasi Administrasi Negara
Lembaga Administrasi Negara Republik Indonesia
e-Mail: [email protected], [email protected]

ABSTRACT
Leadership is not limited to a position or job; it is a worldview
and a way of being in the world. It takes vision and imagination as well as
knowledge, to be a leader. We define leadership as the ability to bring
people, tools and resources together to solve problems and achieve results.
In the world today, we need to bring people together across national,
geographic, cultural and other boundaries, using communications
technologies tools to achieve results. e-Leadership means a balancing many
roles and carrying them out via communications technologies.
Thus, e-Leadership is no different from any other form of effective
leadership except that in e-leadership you have no option but to be very
good at it. It requires a high level of transformational leadership because of
the highly participative nature of the e-world between e-organisations and
e-customers and the interconnectedness between leader and follower with
the ever-increasing reality of the blurred lines between the two
(Robert Burke: 2008).
Key Word: e-Leadership, e-Government, Kepemimpinan transformasional,
Virtual tim, Komunikasi multilevel, Profesionalitas

PENDAHULUAN
Pada saat ini Indonesia mengalami perubahan fundamental dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara, dari sistem kepemerintahan yang otokratis, tertutup tanpa kepastian
hukum yang jelas menuju ke sistem kepemerintahan yang lebih demokratis, transparan
dengan meletakkan supremasi hukum pada tatarannya. Perubahan ini terjadi ketika dunia
sedang mengalami transformasi menuju era masyarakat informasi. Kemajuan teknologi
informasi yang begitu pesat serta potensi pemanfaatannya secara luas, membuka peluang
bagi pengaksesan, pengelolaan, dan pendayagunaan informasi dalam volume besar secara
cepat dan akurat. Kenyataan menunjukkan bahwa penggunaan media elektronik adalah
faktor yang sangat penting dalam berbagai transaksi internasional, terutama dalam
transaksi perdagangan. Ketidakmampuan menyesuaikan diri dengan kecenderungan
global tersebut akan membawa bangsa Indonesia ke dalam jurang digital divide, yaitu
keterisolasian dari perkembangan global karena tidak mampu memanfaatkan informasi.
Untuk mengantisipasi perubahan global tersebut, pemerintah harus segera melaksanakan
proses transformasi menuju e-Government. Melalui proses transformasi tersebut,
pemerintah dapat mengoptimasikan pemanfaatan kemajuan teknologi informasi untuk
mengeliminasi sekat-sekat organisasi birokrasi, serta membentuk jaringan sistem
manajemen dan proses kerja yang memungkinkan instansi-instansi pemerintah, baik
pusat maupun daerah, bekerja secara terpadu untuk menyederhanakan akses ke semua
informasi dan layanan publik yang harus disediakan. Transformasi yang dilakukan akan
berdampak pada keleluasaan seluruh lembaga-lembaga negara, masyarakat, dunia usaha,
dan pihak-pihak berkepentingan lainnya dalam memanfaatkan informasi dan pelayanan
publik secara optimal. Untuk itu dibutuhkan kepemimpinan yang kuat di masing-masing
institusi atau unit pemerintahan agar proses transformasi menuju e-Government dapat
dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.

PENGEMBANGAN e-GOVERNMENT
Pengembangan e-Government merupakan amanat Inpres No. 3/2003 tentang Kebijakan
dan Strategi Pengembangan e-Government sebagai upaya untuk mengembangkan
penyelenggaraan kepemerintahan yang berbasis (menggunakan) elektronik dalam rangka
meningkatkan kualitas layanan publik secara efektif dan efisien. Melalui pengembangan
e-Government dilakukan penataan sistem manajemen dan proses kerja di lingkungan
instansi pemerintah pusat maupun daerah dengan mengoptimasikan pemanfaatan
teknologi informasi. Pada hakekatnya pemanfaatan teknologi informasi tersebut
mencakup 2 (dua) aktivitas yang berkaitan yaitu :
(a) pengolahan data, pengelolaan informasi, sistem manajemen dan proses kerja secara
elektronis; dan
(b) pemanfaatan kemajuan teknologi informasi agar pelayanan publik dapat diakses
secara mudah dan murah oleh masyarakat di seluruh wilayah negara.
Agar dapat mengimplementasikan maksud tersebut, pengembangan e-Government
diarahkan untuk mencapai 4 (empat) tujuan sebagai berikut :
(1) Pembentukan jaringan informasi dan transaksi pelayanan publik yang memiliki
kualitas dan lingkup yang dapat memuaskan masyarakat luas serta dapat terjangkau
di seluruh wilayah Indonesia pada setiap saat tanpa dibatasi oleh sekat waktu,
dengan biaya yang terjangkau oleh masyarakat.
(2) Pembentukan hubungan interaktif dengan dunia usaha untuk meningkatkan
perkembangan perekonomian nasional dan memperkuat kemampuan menghadapi
perubahan dan persaingan perdagangan internasional.
(3) Pembentukan mekanisme dan saluran komunikasi dengan lembaga-lembaga negara
serta penyediaan fasilitas dialog publik bagi masyarakat agar dapat berpartisipasi
dalam perumusan kebijakan negara.
(4) Pembentukan sistem manajemen dan proses kerja yang transparan dan efisien serta
memperlancar transaksi dan layanan antar lembaga pemerintah dan pemerintah
daerah otonom.
Pemanfaatan teknologi informasi dalam lingkup pengembangan e-Government pada
umumnya ditinjau dari sejumlah aspek sebagai berikut :
(1) e-Leadership; aspek ini berkaitan dengan prioritas dan inisiatif negara dalam
mengantisipasi dan memanfaatkan kemajuan teknologi informasi.
(2) Infrastruktur Jaringan Informasi; aspek ini berkaitan dengan kondisi infrastruktur
telekomunikasi serta akses, kualitas, lingkup, dan biaya jasa akses.
(3) Pengelolaan Informasi; aspek ini berkaitan dengan kualitas dan keamanan
pengelolaan informasi, mulai dari pembentukan, pengolahan, penyimpanan, sampai
penyaluran dan distribusinya.
(4) Lingkungan Bisnis; aspek ini berkaitan dengan kondisi pasar, sistem perdagangan,
dan regulasi yang membentuk konteks bagi perkembangan bisnis teknologi
informasi, terutama yang mempengaruhi kelancaran aliran informasi antara
pemerintah dengan masyarakat dan dunia usaha, antar badan usaha, antara badan
usaha dengan masyarakat, dan antar masyarakat.
(5) Masyarakat dan Sumber Daya Manusia, aspek ini berkaitan dengan difusi teknologi
informasi dalam kegiatan masyarakat baik perorangan maupun organisasi, serta
sejauh mana teknologi informasi disosialisasikan kepada masyarakat melalui proses
pendidikan.
Pada saat ini telah banyak instansi pemerintah pusat dan daerah yang berinisiatif
mengembangkan pelayanan publik sebagai bagian dari implementasi e-Government
melalui jaringan komunikasi dan informasi dalam bentuk situs web. Namun demikian,
berdasarkan hasil pengamatan penulis, mayoritas situs web Pemerintah Daerah masih
berada pada tingkat pertama (persiapan) dan hanya sebagian kecil yang telah mencapai
tingkat dua (pematangan), sedangkan tingkat tiga (pemantapan) dan empat (pemanfaatan)
belum tercapai.
Dengan mempertimbangkan kondisi tersebut, pencapaian tujuan strategis e-Government
sejatinya perlu dilaksanakan melalui 6 (enam) strategi yang saling berkaitan erat sebagai
berikut :
(1) Mengembangkan sistem pelayanan yang andal dan terpercaya, serta terjangkau oleh
masyarakat luas.
(2) Mengembangkan kapasitas SDM pemerintah, baik pemerintah pusat maupun
pemerintah daerah otonom, disertai peningkatan e-literacy masyarakat,
(3) Menata sistem manajemen dan proses kerja pemerintah dan pemerintah daerah
otonom secara holistik.
(4) Memanfaatkan teknologi informasi secara optimal.
(5) Meningkatkan peran serta dunia usaha dan mengembangkan industri telekomunikasi
dan teknologi informasi.
(6) Melaksanakan pengembangan secara sistematik melalui tahapan-tahapan yang
realistik dan terukur.
Sementara itu, pengembangan e-Government harus dilaksanakan secara harmonis dengan
mengoptimalkan hubungan antara inisiatif masing-masing instansi pemerintah, dan
penguatan kerangka kebijakan untuk menjamin keterpaduannya dalam suatu jaringan
sistem manajemen dan proses kerja. Pendekatan ini diperlukan untuk mensinergikan dua
kepentingan utama dalam implementasi e-Government :
(a) kepentingan pendayagunaan pemahaman dan pengalaman masing-masing instansi
tentang pelayanan publik yang diperlukan oleh masyarakat;
(b) kepentingan untuk penataan sistem manajemen dan proses kerja yang terpadu.
Mengingat betapa kompleksnya pengembangan e-Government di lingkungan instansi
pemerintah pusat maupun daerah, dibutuhkan kepemimpinan yang kuat di masing-masing
institusi atau unit pemerintahan agar proses transformasi menuju e-Government dapat
dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Kepemimpinan dimaksud harus memiliki
kemampuan untuk mengelola Sumberdaya Manusia (SDM) pegawai, peralatan, dan
sumber-sumber daya institusi lainnya secara bersama-sama melalui berbagai peran
kepemimpinan dan pemanfaatan teknologi informasi untuk memecahkan permasalahan
dan mencapai visi dan misi institusi yang telah ditetapkan. Kepemimpinan yang memiliki
kompetensi semacam inilah yang lazim disebut dengan e-Leadership.

PENGERTIAN e-LEADERSHIP
Leadership atau kepemimpinan tidak terbatas hanya pada suatu kedudukan atau
pekerjaan; kepemimpinan mencakup wawasan yang lebih luas. Untuk menjadi seorang
pemimpin seseorang perlu memiliki visi dan imajinasi. Burke (2008) mendefinisikan
kepemimpinan sebagai “..... the ability to bring people, tools and resources together to
solve problems and achieve results”. Namun di era global sekarang ini, seorang
pemimpin perlu melangkah lebih jauh, mampu membawa SDM yang dipimpinnya
bersama-sama melintas batas-batas bangsa, geografis, budaya dan batasan-batasan
lainnya, dengan memanfaatkan teknologi informasi untuk mencapai tujuan organisasi.
Kepemimpinan semacam inilah yang disebut e-Leadership.
Berdasarkan pada deskripsi tersebut di atas, kompetensi e-Leadership mencakup
kemampuan untuk mengintegrasikan berbagai peran dan melaksanakannya dengan
memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi. Menurut Burke (2008), peran-peran
yang harus dijalankan oleh e-Leadership adalah sebagai berikut:
(1) Visionary: memiliki kemampuan untuk melihat gambaran yang besar dan
menerjemahkannya kepada anggota organisasinya;
(2) Convener: memiliki kemampuan untuk mengelola perbedaan anggota dan membawa
organisasinya ke arah tujuan yang jelas dan pemecahan masalah;
(3) Team sponsor: memiliki kemampuan untuk membentuk dan mengarahkan
kelompok kerja nyata dan kelompok virtual/maya;
(4) Manager: memiliki kemampuan untuk mengupayakan dan mengalokasikan
sumber-sumber organisasi dengan penuh tanggung-jawab, dan kemampuan untuk
mengelola organisasi nyata dan virtual;
(5) Innovator: memiliki kemampuan untuk menemukan cara-cara baru untuk
pekerjaan-pekerjaan di luar tugas pokok dan fungsinya;
(6) Mentor: memiliki kemampuan untuk membimbing dan mengarahkan calon-calon
pemimpin baru di lingkungan organisasinya.
Menurut Rahardjo (2008) karakteristik e-Leadership tertutama terlihat pada (1) visi dan
misi kepimpinan, dan (2) komitmen terhadap pengembangan teknologi informasi. Kedua
faktor ini sangat kuat pengaruhnya terhadap keberhasilan e-Government, terutama di
beberapa daerah yang telah terbukti berhasil mengembangkan teknologi informasi,
seperti Kota Surabaya, Kabupaten Sragen, dan kabupaten Jembrana.
Pada hakekatnya permasalahan di dalam suatu organisasi modern yang berbasis teknologi
informasi menurut Avolio (1999)1, adalah "..... 90% are created by management, not
technology". Karena itu tepatlah bila dikatakan, bahwa pada era internet ini telah
muncul paradigma baru pengembangan ketrampilan dan pembelajaran, yakni learning to
learn (belajar untuk mempelajari). Agar dapat mengintegrasikan manajemen dan
teknologi, learning to learn juga termasuk mempelajari teori-teori dan praktek-praktek
manajerial yang sebenarnya tidak lagi sesuai dan bahkan dapat merusak tatanan
organisasi. Sayangnya, banyak di antara praktek-praktek manajerial ini, termasuk prinsip-
prinsip bisnis yang muncul pada tahun delapan-puluhan atau sebelumnya, masih saja
menjadi mata kuliah pada kebanyakan jurusan manajemen. Padahal prinsip-prinsip
tersebut berpijak pada masa organisasi-organisasi tengah mempelajari apa sebenarnya
yang dibutuhkan konsumen, lalu para akademisi pun mengangkatnya menjadi mata
kuliah Menciptakan Tuntutan Konsumen, dsb.
Sementara itu, perkembangan pesat dalam teknologi informasi telah merubah prinsip di
atas dan memunculkan trend baru dalam bidang pelayanan publik yaitu perubahan dalam
fokus kebutuhan pelayanan dari pemberi pelayanan ke masyarakat. Sekarang bukan lagi
organisasi pelayanan yang menentukan kebutuhan tetapi masyarakatlah yang menentukan
dengan cara menuntut yang mereka inginkan dan bukan yang ditawarkan oleh organisasi
pelayanan publik. Perubahan ini mengharuskan manajemen untuk menyadari bahwa
organisasi pelayanan publik merupakan bagian dari sistim masyarakat, dan bahwa
perkembangan teknologi informasi perlu untuk diintegrasikan dengan baik pada seluruh
komponen organisasi. Pada hakekatnya hal ini berarti bahwa perkembangan teknologi
informasi telah merubah masyarakat pelanggan secara de facto menjadi pemimpin
organisasi karena internet secara dramatis telah memberikan akses secara langsung pada
organisasi dan sistim pengambilan keputusannya. Dengan kata lain, masyarakat telah
menjadi sistim, sistim makro organisasi, sementara sistim teknologi dan organisasi
menjadi sub-sistim mikro.
Seorang pemimpin perlu memahami bahwa kekuatan internet yang mampu melintasi
batas negara dan pemerintahan telah menciptakan lingkaran masyarakat pasar global
sesungguhnya yang diciptakan oleh dunia yang saling terkoneksi. Artinya, tantangan
seorang pemimpin adalah menjembatani gap antara SDM dan masyarakat dengan
kemajuan teknologi dan dampaknya, dan bukan perkembangan teknologi itu sendiri.
Perubahan fundamental tersebut berkembang pesat sejak beberapa tahun terakhir ini.
1
Avolio, Bruce (1999). Full Leadership Development Building the Vital Forces in Organizations. New
York, NY: Sage.
Hal ini berdampak pada permasalahan baru dalam lingkup kepemimpinan, antara lain
sebagai berikut:
(1) Bagaimana implikasi sistim kepemimpinan yang diterapkan saat ini?
(2) Bagaimana cara mengintegrasikan sistim kepemimpinan dan sistim teknologi yang
diterapkan dalam organisasi?
(3) Apakah gaya kepemimpinan medukung atau menghambat teknologi?
(4) Apakah sistim kepemimpinan dan sistim teknologi akan saling mendukung?
Solusi terhadap semua permasalahan di atas sangat tergantung pada gaya kepemimpinan
kita, terutama kesiapan dalam melakukan transformasi kepemimpinan. E-Leadership
membutuhkan kepemimpinan transformasional level tinggi, yang dapat diperoleh melalui
berbagai sumber, seperti ; pengalaman, proses pembelajaran (sekolah, universitas, Diklat,
dsb.), dan tidak kalah pentingnya adalah melalui cara kita dalam memperoleh sesuatu
yang baru seperti insting, intuisi, hubungan sosial, dsb.
Dunia virtual, sebagaimana juga dunia nyata yang membutuhkan interaksi antar manusia
dan antara manusia dengan teknologi, kunci keberhasilan terletak pada level
kepemimpinan transformasional yang berlaku di dalam organisasi. Dengan demikian,
faktor utama keberhasilan pengembangan e-Government terletak pada implementasi e-
Leadership yang efektivitasnya sangat tergantung pada gaya kepemimpinan
transformasional yang dikembangkan.

SEKILAS TENTANG KEPEMIMPINAN TRANSFORMASIONAL


Konsep kepemimpinan transformasional pertamakali dikemukakan oleh James McGregor
Burns pada tahun 1978, dan selanjutnya dikembangkan oleh Bernard Bass dan para
behaviourists lainnya. Bass (1985) mendefinisikan kepemimpinan transformasional
sebagai ‘kemampuan yang dimiliki seorang pemimpin untuk mempengaruhi anak
buahnya, sehingga mereka akan percaya, meneladani, dan menghormatinya.’
Kompetensi transformasi seorang pemimpin dapat diukur dari kemampuannya dalam
membangun sinergi semua pegawai dengan memanfaatkan pengaruh dan kewenangannya
sehingga lebih berhasil dalam mencapai visi dan misi organisasinya. Proses perubahan
yang dilakukan pemimpin transformasional, menurut Bass, dapat dilakukan dengan cara
berikut ini :
(a) meningkatkan kesadaran pegawai terhadap nilai dan pentingnya tugas dan
pekerjaan;
(b) mengarahkan mereka untuk fokus pada tujuan kelompok dan organisasi, bukan pada
kepentingan pribadi; dan
(c) mengembangkan potensi mereka seoptimal mungkin.
Implementasi kepemimpinan transformasional ini bukan hanya tepat dilakukan dalam
lingkungan birokrasi, tetapi juga di berbagai organisasi yang memiliki banyak tenaga
potensial dan berpendidikan.
Secara organisasional, Leithwood dan Jantzi (1990) menulis bahwa penerapan
model kepemimpinan transformasional sangat bermanfaat untuk: (1) membangun budaya
kerjasama dan profesionalitas di antara para pegawai, (2) memotivasi pimpinan untuk
mengembangkan diri, dan (3) membantu pimpinan memecahkan masalah secara efektif.
Budaya kerjasama dan profesionalitas dapat dibangun karena pemimpin transformasional
akan memfasilitasi pegawainya untuk berdialog, berdiskusi, dan merencanakan pekerjaan
bersama. Kerjasama yang terbentuk dari kegiatan ini akan memudahkan mereka untuk
saling mengingatkan dalam melaksanakan tugas dan pekerjaan. Kebersamaan juga
dilakukan dalam merumuskan visi dan misi organisasi, sehingga komitmen lebih mudah
dibangun. Seorang pemimpin transformasional juga akan membagi kewenangannya
melalui pemberdayaan pegawai, secara aktif mengkomunikasikan nroma-norma dan
nilai-nilai organisasi. Untuk mendukung perubahan budaya, Bass menyarankan untuk
memanfaatkan mekanisme birokrasi yang selama ini telah dijalankan.
Di samping itu, budaya yang dikembangkan tersebut, secara tidak langsung, juga akan
memotivasi pemimpin untuk lebih mengembangkan diri. Dengan melibatkan staf dalam
penyelesaian masalah-masalah strategis, pemimpin transformasional harus mampu
meyakinkan mereka bahwa tujuannya jelas, rasional dan visioner. Berbagai kelebihan
yang dimiliki atasan akan membantu para staf untuk bekerja secara lebih cerdas, bukan
hanya bekerja lebih keras. Di samping itu, keterlibatan staf dalam pemecahan
permasalahan strategis juga akan meningkatkan pemahan bersama, bahwa permasalahan
organisasi yang dipecahkan secara bersama akan lebih berhasil dibanding bila dipecahkan
sendiri oleh pimpinan.
Berdasarkan diskusi di atas dan berbagai referensi, di bawah ini terangkum sepuluh
prinsip kepemimpinan transformasi dalam lingkup birokrasi pemerintahan sebagai
berikut:
(1) Kejelasan visi: Kepemimpinan yang baik selalu mulai dengan visi yang
merefleksikan tujuan bersama, dan dijelaskan kepada seluruh pegawai dengan
gamblang dan sederhana.
(2) Kesadaran pegawai: Selalu berusaha untuk meningkatkan kesadaran pegawai
terhadap nilai dan pentingnya tugas dan pekerjaan mereka bagi organisasi.
(3) Pencapaian visi: Berorientasi pada pencapaian visi dengan cara menjaga dan
memelihara komitmen yang telah dibangun bersama.
(4) Pelopor perubahan: Berani melakukan dan merespon perubahan apabila
diperlukan, dan menjelaskan kepada seluruh pegawai tentang manfaat perubahan
yang dilakukan.
(5) Pengembangan diri: Mengembangkan diri secara terus-menerus melalui berbagai
media pembelajaran untuk meningkatkan kompetensi kepemimpinannya.
(6) Pembelajaran pegawai: Memfasilitasi kebutuhan pembelajaran pegawai secara
efektif, dan mengembangkan potensi mereka seoptimal mungkin.
(7) Pemberdayaan pegawai: Membagi kewenangan dengan cara memberdayakan
pegawai berdasarkan trust, dengan mempertimbangkan kemampuan dan kemauan
mereka.
(8) Pengembangan kreativitas: Membimbing dan mengembangkan kreativitas
pegawai dan membantu mereka dalam memecahkan masalah-masalah strategis
secara efektif.
(9) Budaya kerjasama: Membangun budaya kerjasama pegawai, dan mengarahkan
mereka untuk mendahulukan tujuan kelompok dan organisasi daripada kepentingan
pribadi.
(10) Kondusifitas organisasi: Menciptakan organisasi yang kondusif dengan
mengembangkan budaya kemitraan, komunikasi multi-levels, dan mengutamakan
etika dan moralitas.
Dengan demikian, jelaslah bahwa kepemimpinan transformasional dapat memberikan
berbagai pengaruh positif terhadap pegawai, pemimpin, dan organisasi. Dalam era
globalisasi seperti sekarang ini, yang membutuhkan kerjasama dari seluruh komponen
organisasi untuk memecahkan berbagai masalah strategis, model kepemimpinan
semacam itu tampaknya tepat untuk diterapkan dalam lingkungan birokrasi. Budaya
kerjasama yang terbentuk dapat merubah sikap mereka terhadap perkembangan
organisasi dan peningkatan kinerja, dan perhatian yang ditunjukkan oleh pimpinan juga
akan menciptakan iklim yang kondusif dalam organisasi. Pada akhirnya, seperti
diasumsikan Erik Rees (2006), model kepemimpinan ini akan bermuara pada
peningkatan kondisi ekonomi, sosial, budaya kerja, dan spiritual seluruh komponen
organisasi.

BEST PRACTICES KEBERHASILAN e-LEADERSHIP


Cukup banyak Pemerintah Daerah (Pemda) Kabupaten dan Kota yang telah berhasil
mengembangkan teknologi informasi di daerahnya. Aplikasi e-Government yang umum
diterapkan di daerah, antara lain pembuatan KTP Online, e-Procurement, dan PSB
Online.
Dalam implementasinya, menurut Suprawoto (2008) pendekatan yang diterapkan dapat
dibagi dalam tiga tingkat pelayanan, yaitu sreet level, screen level, dan system level.
Street level adalah tingkatan pelayanan publik dimana masyarakat masih harus datang
langsung untuk bertransaksi, walaupun prosesnya dilakukan secara elektronik. Screen
level adalah tingkat pelayanan publik dimana perangkat teknologi informasi berfungsi
sebagai tools pendukung bagi pemerintah. Pembuatan KTP online pada beberapa daerah,
misalnya, masih berada di level ini, karena sistem koordinasi data sudah terintegrasi
dengan jaringan intranet, namun untuk membuat KTP seorang warga harus datang ke
kantor kecamatan untuk difoto dan tanda tangan elektronik. Aplikasi e-Proc juga masih
masuk kategori ini, karena pada tahap akhir pengadaan peserta tender harus datang
langsung. Pada system level semua aktivitas pelayanan dilakukan secara online.
Penerimaan Siswa Baru atau PSB Online yang dilakukan oleh beberapa Dinas
Pendidikan dapat dikatakan sudah masuk level ini. Meskipun siswa harus datang untuk
menyerahkan bukti ijasah dan berkas lainnya, namun itu hanya sebatas verifikasi akhir.
Beberapa Pemerintah Daerah (Pemda) yang menonjol dalam pengembangan teknologi
informasi dengan berbagai bentuk aplikasi e-Government, antara lain adalah ; Kabupaten
Jembrana, Kabupaten Sragen, Kabupaten Kebumen, Kota Surabaya, Kota Den Pasar, dll.
Karena keterbatasan tempat dan waktu, berikut ini disajikan best practices dari dua
Pemda yang telah berhasil mengembangkan teknologi nformasi melalui penerapan
beberapa aplikasi e-Government, yakni (1) Kota Surabaya, dan (2) Kabupaten Sragen.

1. PEMERINTAH KOTA SURABAYA


Pada tahun 2007 Pemerintah Kota Surabaya mendapat penghargaan dari majalah Warta
Ekonomi dalam ajang e-Government Award untuk kategori e-Leadership. Keberhasilan
Pemerintah Kota Surabaya dalam menerapkan berbagai sistem dan aplikasi E-
Government, seperti e-Procurement, e-Budgeting, KTP Online, PSB Online , dll. terlihat
dalam pelaksanaan pelayanan publik berbasis elektronik di kawasan tersebut.
Sementara itu, keberhasilan implementasi e-Leadership di lingkungan Pemerintah Kota
Surabaya, menurut Satria (2008) terlihat dari tercapainya beberapa variabel e-Leadership.
Pertama, aspek convener dan team sponsor yang, antara lain, menyangkut kebijakan
pimpinan dalam mengatur pemanfatatn teknologi informasi untuk memecahkan
permasalahan secara kolaboratif di dalam organisasi. Kedua, aspek manager dan mentor
yang meliputi kebijakan dalam alokasi sumber daya dan anggaran khusus untuk aktivitas
teknologi informasi. Ketiga, aspek innovator menyangkut fasilitasi terhadap gagasan
yang inovatif di dalam organisasi, baik inovasi proses maupun produk. Dan keempat,
aspek radical change, yang meliputi keberanian pimpinan dalam melakukan perubahan
yang signifikan dalam organisasi.
(a) Aspek convener dan team sponsor
Dalam aspek convener dan team sponsor, Walikota Surabaya terbukti telah menekankan
pemanfaatan teknologi informasi guna menunjang pekerjaan pelayanan langsung publik
maupun dalam rangka meningkatkan kinerja internal birokrasi melalui instrumen
Instruksi dan Peraturan Walikota. Sementara dalam implementasi e-Budgeting dan e-
Procurement dilakukan melalui “pemaksaan” agar semua unit organisasi menggunakan
aplikasi ini untuk urusan pemerintahan. Pemaksaan dalam tanda kutip ini juga mencakup
perlindungan dari top management jika jajaran middle management di internal pemkot
ternyata saling “bergesekan atau digesek dengan sengaja” dari luar organisasi karena
adanya benturan kepentingan di luar Pemkot. Kejadian semacam ini memang banyak
terjadi di lingkungan Pemkot Surabaya, terutama pada awal implementasi e-Procurement
sering terjadi pada level middle management.
(b) Aspek manager dan mentor
Aspek manager dan mentor diterapkan melalui pengalokasian APBD yang cukup
signifikan untuk pembangunan infrastruktur jaringan komunikasi antar satker sehingga
semua SKPD (termasuk kantor kecamatan) dan kantor kelurahan dapat terhubung dalam
jaringan intranet Pemkot Surabaya. Berbagai aplikasi juga dikembangkan untuk semakin
menyempurnakan layanan publik yang selama ini ada. Pengembangan virtual team
terlihat dari kurangnya frekuensi tatap muka, misalnya tim pengendali pelaksanaan
APBD, karena laporan dari anggota tim pelaksana di lapangan dapat dilakukan langsung
ke pimpinan terkait melalui aplikasi IT yang berbasis WEB atau gadget bergerak (mobile
service). Virtual tim Pemkot Surabaya ternyata ada dan bekerja di dunia maya.
(c) Aspek innovator dan radical change
Aspek innovator dan radical change juga terpenuhi, misalnya berbagai inovasi proses
maupun produk difasilitasi melalui layanan teknologi informasi. Demikian juga business
model yang signifikan akibat penetrasi teknologi informasi ke dalam organisasi terjadi.
Misalnya, lelang yang semula manual jadi elektronik dengan proses yang lebih pendek
dan sederhana, dan digantinya tanda tangan manual menjadi tanda tangan digital melalui
IKP (infrastruktur kunci publik).
Aspek-aspek inilah yang selama ini telah diimplementasikan oleh jajaran pimpinan
Pemerintah Kota Surabaya sehingga wajar kalau majalah Warta Ekonomi memberikan
penghargaan e-Government Award dalam kategori e-Leadership pada tahun 2007. hal ini
sekaligus membuktikan, bahwa e-Leadership merupakan faktor kunci keberhasilan
pengembangan e-Government. Bahkan, menurut Suprawoto (2008), e-Leadership yang
kokoh merupakan prasyarat utama penerapan e-Government. Artinya, jika tidak ada e-
Leadership, jangan berharap sistem tersebut dapat berjalan dengan baik.

2. PEMERINTAH KABUPATEN SRAGEN


Kabupaten Sragen merupakan salah satu daerah percontohan implementasi e-Government
di Indonesia. Dengan e-Leadership yang kuat, inovasi dan upaya terus menerus
dilakukan untuk meningkatkan kualitas pelayanan melalui teknologi informasi.
Perkembangan pesat teknologi informasi di Kabupaten ini terlihat dari maraknya dunia
virtual di lingkungan masyarakat melalui aplikasi remote Jaringan Global se Kabupaten
Sragen (NAGIOS),siaganya Internet dan intranet online 24 jam di semua satker, dan
Website Kabupaten Sragen yang interaktif. Berbagai aplikasi e-Government juga telah
diterapkan di wilayah tersebut untuk memberikan pelayanan publik secara efektif dan
efisien melalui online, antara lain:
(a) Kantaya (Kantor Maya), berfungsi sebagai sarana pengiriman laporan harian ke
jajaran Pimpinan pada setiap unit kerja;
(b) Simduk (SIM Kependudukan), berfungsi sebagai aplikasi KTP dan KK serta
Rekapitulasi Data Penduduk;
(c) Simpeg (SIM Kepegawaian), berfungsi sebagai aplikasi kepegawaian, kartu
pegawai, kenaikan gaji berkala, dll;
(d) Billing System, merupakan aplikasi di lingkungan rumah sakit meliputi; rekam
medis, data pasien, jasa medis dll.;
(e) Mapatda, merupakan aplikasi di Dipenda seperti PAD, retribusi, PBB dll.;
(f) SIM Perijinan, aplikasi di Kantor Pelayanan Terpadu, antara lain aplikasi perijinan
(IMB, HO, SIUP dll).

Keberhasilan Kabupaten Sragen dalam pengembangan e-Government tidak lepas dari


kemampuan pimpinan daerah dalam menerapkan e-Leadership secara komprehensif.
Secara lengkap, strategi yang diterapkan pemda Kabupaten Sragen meliputi enam faktor,
yaitu ;
(1) Kepemimpinan politik yang kuat dengan visi yang jelas; (2) Pelibatan semua pihak;
(3) Penyiapan sumberdaya manusia; (4) Implementasi secara bertahap; (5) Pembangunan
kemitraan; dan (6) Evaluasi secara rutin. Berikut ini secara berturut-turut dijelaskan
keenam faktor kunci keberhasilan pemda Kabupaten Sragen dalam pengembangan e-
Government.
(1) Kepemimpinan politik yang kuat dengan visi yang jelas
Kepemimpinan politik dengan visi yang jelas mutlak diperlukan dalam menjamin
keberhasilan implementasi e-Government (i.e. The Asia Foundation, 2007). Manajemen
perubahan (change management) untuk mengatasi inersia organisasi dan kultur hanya
dapat dilakukan dengan baik dengan dukungan kepemimpinan yang kuat. Tantangan
organisasi dan kultural sangat sering lebih sulit diselesaikan daripada tantangan dari sisi
teknologi. Dalam hubungan ini Bupati Sragen menyatakan, bahwa manajemen perubahan
perlu untuk menjamin keberhasilan implementasi e-Government.
Dalam beberapa pertemuan dengan staf, Bupati Sragen bahkan mempersilakan kepada
yang menentang kebijakan implementasi untuk mundur dari jabatannya. Kepemimpinan
politik yang kuat dengan visi yang jelas ini telah memberikan hasil yang nyata, berupa
dukungan dari para staf dan bahkan rival politiknya di DPRD. Latar belakang Bupati
sebagai pengusaha sukses dalam bidang minyak bumi mungkin mempengaruhi gaya
kepemimpinan politiknya. Kepemimpinan politik yang kuat ini sekaligus menjadi bukti
komitmen pimpinan dalam implementasi e-Government. Komitmen yang rendah dari
pimpinan, karena ketakutan akan kehilangan kekuasaan, merupakan salah satu kendala
dalam implementasi e-Government (Allen et al., 2004).
(2) Pelibatan semua pihak
Kepemimpinan yang kuat telah memberikan iklim yang baik untuk membangkitkan
kesadaran bersama akan arti penting dukungan semua pihak yang terlibat dengan
implementasi e-Government. Tahap awal implementasi bukan tanpa hambatan. Awal
dibukanya KPT (Kantor Pelayanan Terpadu) memunculkan sinisme dari banyak pihak.
Adopsi inovasi selama belum terbukti bermanfaat seringkali mendapatkan resistansi.
Ketika inovasi sudah terbukti, maka dengan mudah untuk mendapatkan dukungan banyak
pihak (Rogers, 1995). Pelibatan semua pihak akan mengurangi resitensi ini.
Pelibatan semua pihak dalam implementasi e-Government dari berbagai tingkatan, mulai
kabupaten sampai desa, merupakan modal awal keberhasilan. KPT telah mengubah
paradigma pelayanan publik di Kabupaten Sragen. Hubungan antar lembaga pun
menyesuaikan. KPT sebagai sebuah one-stop service berhasil menyatukan komitmen
semua dinas terkait dalam memudahkan dan meningkatkan kualitas layanan publik.
(3) Penyiapan sumberdaya manusia
Dalam implementasi e-Government di Kabupaten Sragen, salah satu kendala yang
dihadapi pada tahap awal adalah kapabilitas sumberdaya manusia. Masalah sumberdaya
manusia adalah tipikal dalam implementasi e-Government, terutama di negara
berkembang (e.g. Heeks dan Davies, 1999).Beberapa inisiatif pun diambil untuk
mengatasi masalah ini. Masalah terbesar adalah mengubah pola pikir. Pelatihan,
konsultansi, dan studi banding ke beberapa perusahaan swasta pun dilakukan. Bahkan
seragam staf di KPT pun mirip dengan seragam pegawai di pegawai perusahaan swasta.
Semua dilakukan untuk memberikan kenyamanan dalam pelayanan publik. Untuk
menyiasati masalah kapabilitas individu, pelatihan teknologi informasi dilakukan secara
teratur. Setiap kepala dinas bahkan harus didampingi oleh seorang operator TI terlatih.
Di samping itu, beberapa orang profesional diundang untuk bergabung dengan Tim TI.
Jiwa entrepreneurial pun ditanamkan kepada semua staf untuk memberikan yang terbaik
untuk Sragen dan siap memberikan bantuan kepada kabupaten/kota lain jika diminta.
Inistiatif yang terakhir ini telah membuat Tim TI Sragen mendapatkan banyak undangan
untuk membantu implementasi sistem serupa di kabupatan/kota lain, dan bahkan dari
departemen di tingkat pusat. Aktivitas ini selain meningkatkan kapabilitas individu
melalui pengalaman lapangan, juga membuka pintu penghasilan tambahan yang legal.
Bahkan untuk persiapan implementasi e-Government sampai tingkat desa, sebanyak lebih
dari 600 staf di tingkat kabupaten dilatih menjadi pendamping di tingkat desa. Pada setiap
desa akan ditempatkan tiga orang tenaga bantuan, salah satunya adalah operator TI.
(4) Implementasi secara bertahap
Implementasi secara bertahap adalah pelajaran lain yang bisa diambil. KPT adalah
sebuah pilihan baik untuk mengawali implementasi e-Government. Selain karena
melibatkan banyak pihak, dampak terhadap layanan publik dapat langsung terasa.
Pembangunan infrastruktur pun dilakukan secara bertahap. Pada tahap awal sebanyak 52
kantor terkoneksi Internet sampai pada tingkat kecamatan. Pada tahapan selanjutnya,
sebanyak 208 desa juga disambungkan.
Selain dapat menyiasati keterbatasan sumberdaya, implementasi secara bertahap ini juga
akan memudahkan proses difusi dengan mengurangi risiko dan menurunkan resitensi.
Inisiatif Pemda Kabupaten Sragen untuk mendukung pengadaan infrastruktur dan
fasilitas dengan membentuk Badan Usaha Milik Daerah yang akan memasok keperluan
tersebut dengan harga yang lebih terjangkau juga sangat menarik.
(5) Pembangunan kemitraan
Kemitraan dengan berbagai pihak dikembangkan pun dikembangkan. Sebagai contoh,
aplikasi untuk pencetakan Kartu Tanda Penduduk merupakan hasil kerjasama bagi hasil
dengan sebuah perusahaan swasta. Dengan demikian, investasi yang harus dikeluarkan
tidak terlalu besar tanpa mengorbankan kualitas layanan.
Untuk memperbaiki cetak biru e-Government, pihak perguruan tinggi pun dijadikan
mitra. Kemitraan dengan beberapa lembaga internasional yang terkesan dengan kualitas
layanan publik Sragen juga dilakukan. Kemitraan yang baik ini dengan berbagai pihak,
selain akan memecahkan masalah keterbatasan sumberdaya, juga akan meningkatkan
kualitas penerapan e-Government.
(6) Melakukan evaluasi secara rutin
Salah satu masalah yang sering muncul dalam implementasi e-Government adalah tidak
adanya indikator keberhasilan (e.g. Janssen et al., 2004). Hal ini disadari betul oleh
Sragen dan ditindaklanjuti dengan evaluasi rutin meskipun masih bersifat terbatas pada
kualitas layanan publik yang diberikan oleh KPT. Setiap tahun, KPT melakukan survei
kepada pengguna layanan, untuk mengukur kualitas, dan sekaligus mendapatkan umpan
balik untuk perbaikan.
PENUTUP
Pengembangan kapasitas teknologi informasi merupakan upaya awal dari pengembangan
e-Government sebagai amanat Inpres No. 3/2003 tentang Kebijakan dan Strategi
Pengembangan e-Government. Upaya ini dilakukan dalam rangka meningkatkan kualitas
layanan publik secara efektif dan efisien. Keberhasilan pengembangan e-Government
sangat tergantung pada kepemimpinan transformasional yang tangguh dan berorientasi
pada teknologi informasi atau lazim disebut e-Leadership.
Kompetensi yang dibutuhkan dalam e-Leadership mencakup kemampuan untuk
mengintegrasikan berbagai peran dan melaksanakannya dengan memanfaatkan teknologi
informasi dan komunikasi. Adapun peran-peran yang harus dijalankan oleh e-
Leadership, antara lain meliputi (1) Visionary, yakni kemampuan untuk melihat
gambaran yang besar serta menerjemahkannya kepada semua anggota organisasinya;
(2) Convener, atau kemampuan untuk mengelola perbedaan anggota dan membawa
organisasinya ke arah tujuan yang jelas dan pemecahan masalah; (3) Team sponsor, yakni
kemampuan untuk membentuk dan mengarahkan kelompok kerja nyata dan kelompok
virtual; (4) Manager, yang merupakan kemampuan untuk mengupayakan dan
mengalokasikan sumber-sumber organisasi dengan penuh tanggung-jawab, dan
kemampuan untuk mengelola organisasi nyata dan virtual; (5) Innovator, yakni
kemampuan untuk menemukan cara-cara baru untuk pekerjaan-pekerjaan di luar tugas
pokok dan fungsinya; dan (6) Mentor, atau kemampuan untuk membimbing dan
mengarahkan calon-calon pemimpin baru di lingkungan organisasinya.
Dari studi best practices pada beberapa daerah tersebut dapat disimpulkan bahwa faktor
e-Leadership dengan ragam peran seperti di atas sangat signifikan dalam menentukan
keberhasilan pengembangan teknologi informasi. Bahkan dapat dikatakan bahwa jika
tidak ada e-Leadership dalam suatu instansi, maka jangan berharap bahwa e-Government
dapat diimplementasikan dengan baik.

DAFTAR PUSTAKA
Aisonhaji (2008). E-Leadership : faktor Vital Keberhasilan Implementasi e-Gov.
Aisonhajihttp://aisonhaji. wordpress.com /2008 /09/14 /e-leadership-faktor vital-
keberhasilan-implementasi-e-Government / Retrieved 1 December 2008
Avolio, Bruce (1999). Full Leadership Development Building the Vital Forces in
Organizations. New York, NY: Sage.
Bass, B. M. (1985). Leadership and performance beyond expectation. New York: Free
Press
Burke, Robert (2008). E-Leadership. http : //www.metafuture.org /articlesbycolleagues/
RobertBurke/ eleadership.htm. Retrieved 05 Desember 2008
Leithwood, Kenneth, and Doris Jantzi (1990). Transformational Leadership : How
Principals Can Help School Cultures. Paper presented at annual meeting of the
Canadian Association for Curriculum Studies (Victoria, British Columbia, June
1990)
Raharjo, Budi (2008) dalam Aisonhaji (2008). E-Leadership: faktor Vital Keberhasilan
Implementasi e-Gov. Aisonhajihttp://aisonhaji.wordpress.com /2008 /09/14 /e-
leadership-faktor vital-keberhasilan-implementasi-e-Government / Retrieved 1
December 2008
Rees, Erik, Seven Principles of Transformational Leadership, http://www.pastors.com
/articles 7/25/2013
Suprawoto (2008). Menerapkan e-Gov, e-Leadership Harus Kuat Dulu dalam yunus @
wartaegov.com. http://jakarta.wartaegov.com /index.php? Option = comcontent
&view=article&id=1201:suprawoto-menerapkan-e-gov-e-leadership-harus-kuat-
dulu&catid=38:sosok&Itemid=62. Retrieved 05 Desember 2008
Wahid, Fathul (2007). Pelajaran dari e-Gov Sragen. http://fathulwahid.wordpress.com
/2007/06/24/pelajaran-dari-e-gov-sragen-2/ Retrieved 05 December 2008.

Anda mungkin juga menyukai