Bedah Mayor
Bedah Mayor
Bedah Mayor
Oleh
A. Pengertian
Operasi adalah semua tindakan pengobatan yang menggunakan cara invasif
dengan membuka atau menampilkan bagian tubuh yang akan ditangani.
Pembukaan tubuh ini umumnya dilakukan dengan membuat sayatan. Setelah
bagian yang akan ditangani ditampilkan, dilakukan tindakan perbaikan yang
akan diakhiri dengan penutupan dan penjahitan luka (Syamsuhidajat,
2010).Pembedahan merupakan suatu tindakan yang dilakukan di ruang operasi
rumah sakit dengan prosedur yang sudah ditetapkan (Smeltzer dan Bare, 2002).
Klasifikasi operasi terbagi manjadi dua, yaitu operasi minor dan operasi
mayor. Operasi minor yang bertujuan untuk memperbaiki fungsi tubuh,
mengangkat lesi pada kulit dan memperbaiki deformitas. Operasi mayor adalah
operasi yang bersifat selektif, urgen dan emergensi. Tujuan dari operasi ini
adalah menyelamatkan nyawa, mengangkat atau memperbaiki bagian tubuh,
memperbaiki fungsi tubuh dan meningkatkan kesehatan, contoh kolostomi,
histerektomi, mastektomi, amputasi dan operasi akibat trauma (Brunner &
Sudarth 2001).
Post Operasi adalah masa setelah dilakukan pembedahan yang dimulai saat
pasien dipindahkan ke ruang pemulihan dan berakhir sampai evaluasi
selanjutnya (Uliyah & Hidayat, 2008). Proses keperawatan pascaoperatif pada
praktiknya akan dilaksanakan secara berkelanjutan baik di ruang pemulihan,
ruang intensif, dan ruang rawat inap bedah.
B. Etiologi/Predisposisi
Prosedur bedah pada dasarnya terbagi dalam tiga kelompok besar, dan
terbagi dalam beberapa kategori yaitu
1. Kelompok operasi berdasarkan tujuan
Kelompok pertama ini menggolongkan prosedur bedah berdasarkan
tujuan dari tindakan medis ini dilakukan. Pada dasarnya operasi dianggap
sebagai metode pengobatan, namun tindakan medis ini juga dapat
digunakan untuk:
a) Mendiagnosis
Operasi yang digunakan untuk mendiagnosis penyakit tertentu,
seperti operasi biopsi yang sering dilakukan untuk memastikan dugaan
adanya kanker padat atau tumor pada bagian tubuh tertentu.
b) Mencegah
Tak hanya mengobati, bedah dilakukan juga untuk mencegah suatu
kondisi yang lebih buruk lagi. Misalnya, operasi pengangkatan polip
usus yang bila tak ditangani akan dapat tumbuh menjadi kanker.
c) Menghilangkan
Operasi ini dilakukan dengan tujuan untuk mengangkat sejumlah
jaringan dalam tubuh. Biasanya, operasi jenis ini memiliki akhiran –
ektomi. Misalnya saja mastektomi (pengangkatan payudara) atau
histerektomi (pengangkatan rahim).
d) Mengembalikan
Operasi juga dilakukan untuk dapat mengembalikan suatu fungsi
tubuh menjadi normal kembali. Contohnya, pada rekonstruksi
payudara yang dilakukan oleh orang yang telah melakukan
mastektomi.
e) Paliatif.
Jenis operasi ini ditujukan untuk mengurangi rasa sakit yang
dirasakan oleh pasien yang biasanya mengalami penyakit kronis
stadium akhir.
2. Kelompok operasi berdasarkan tingkat risiko
Setiap operasi bedah pasti memiliki risiko, tetapi tingkat risikonya
tentu berbeda-beda. Berikut adalah pengelompokkan operasi berdasarkan
tingkat risikonya:
a. Bedah mayor
Merupakan operasi yang dilakukan di bagian tubuh seperti kepala,
dada, dan perut. Salah satu contoh operasi ini adalah operasi cangkok
organ, operasi tumor otak, atau operasi jantung. Pasien yang menjalani
operasi ini biasanya membutuhkan waktu yang lama untuk kembali
pulih.
b. Bedah minor
Kebalikan dari tindakan bedah mayor, operasi ini tidak membuat
pasiennya harus menunggu lama untuk pulih kembali. Bahkan dalam
beberapa jenis operasi, pasien diperbolehkan pulang pada hari yang
sama. Contoh operasinya seperti biopsi pada jaringan payudara.
3. Kelompok operasi berdasarkan teknik
Pembedahan itu sendiri dapat dilakukan dengan beragam teknik
berbeda, tergantung dari bagian tubuh mana yang harus dioperasi dan
penyakit apa yang diderita oleh pasien.
a. Operasi bedah terbuka
Metode ini biasanya disebut dengan operasi konvensional, yaitu
tindakan medis yang membuat sayatan pada bagian tubuh dengan
menggunakan pisau khusus. Contohnya adalah operasi jantung, dokter
menyayat bagian dada pasien dan membukanya agar organ jantung
terlihat jelas.
b. Laparaskopi
Jika sebelumnya operasi dilakukan dengan menyayat bagian tubuh,
pada laparaskopi, ahli bedah hanya akan menyayat sedikit dan
membiarkan alat seperti selang masuk ke dalam lubang yang telah
dibuat, untuk mengetahui masalah yang terjadi di dalam tubuh
C. Patofisiologi
Operasi adalah semua tindakan pengobatan yang menggunakan cara
invasif dengan membuka atau menampilkan bagian tubuh yang akan
ditangani. Pembukaan tubuh ini umumnya dilakukan dengan membuat
sayatan. Setelah bagian yang akan ditangani ditampilkan, dilakukan tindakan
perbaikan yang akan diakhiri dengan penutupan dan penjahitan luka
(Syamsuhidajat, 2010).
Pembedahan pada dasarnya merupakan trauma yang akan menimbulkan
perubahan faal, sebagai respon terhadap trauma. Gangguan faal tersebut
meliputi tanda- tanda vital serta organ-organ vital seperti sistem respirasi,
sistem kardiovaskular, panca indera (SSP), sistem urogenital, sistem
pencernaan dan luka operasi.
1. Sistem Kardiovaskuer
Pasien mengalami komplikasi kardiovaskular akibat kehilangan darah
secara aktual dan potensial dari tempat pembedahan, balans cairan, efek
samping anastesi, ketidakseimbangan elektrolit dan depresi mekanisme
resulasi sirkulasi normal.
Masalah yang sering terjadi adalah pendarahan. Kehilangan darah
terjadi secara eksternal melalui drain atau insisi atau secara internal luka
bedah. Pendarahan dapat menyebabkan turunnya tekanan darah:
meningkatnya kecepatan denyut jantung dan pernafasan (denyut nadi
lemah, kulit dingin, lembab, pucat, serta gelisah). Apabila pendarahan
terjadi secara eksternal, memperhatikan adanya peningkatan drainase yang
mengandungi darah pada balutan atau melalui drain.
2. Sistem Pernafasan
Obat anastesi tertentu dapat menyebabkan depresi pernafasan sehingga
perlu waspada terhadap pernafasan yang dangkal dan lambat serta batuk
yang lemah.Frekuensi, irama, kedalaman ventilasi pernafasan,
kesimetrisan gerakan dinding dada, bunyi nafas dan membrane mukosa
dimonitor.
3. Sistem Persyarafan
Setelah dilakukan pembedahan, pasien memiliki tingkat kesadaran yang
berbeda. Oleh karena itu, seorang harus memonitor tingkat respon pasien
dengan berbagai cara. Misalnya dengan memonitor fungsi pendengaran
atau penglihatan. Apakah pasien dapat berespon dengan baik ketika diberi
stimulus atau tidak sama sekali. Ataupun juga dapat memonitor tingkat
kesadaran dengan menentukan Skala Koma Glasgow / Glasgow Coma
Scale (GCS). GCS ini memberikan 3 bidang fungsi neurologik:
memberikan gambaran pada tingkat responsif pasien dan dapat digunakan
dalam mengevaluasi motorik pasien, verbal, dan respon membuka mata
4. Sistem Perkemihan
Retensi urine paling sering terjadi pada kasus-kasus pembedahan
rektum, anus, vagina, herniofari dan pembedahan pada daerah abdomen
bawah.Penyebabnya adalah adanya spasme spinkter kandung kemih.
5. Sistem Gastrointestinal
Setelah pembedahan, harus dipantau apakah pasien telah flatus atau
belum. Intervensi untuk mencegah komplikasi gastrointestinal akan
mempercepat kembalinya eleminasi normal dan asupan nutrisi. Pasien
yang menjalani bedah pada struktur gastrointestinal membutuhkan waktu
beberapa hari agar diitnya kembali normal. Peristaltik normal mungkin
tidak akan terjadi dalam waktu 2-3 hari. Sebaliknya pasien yang saluran
gastrointestinalnya tidak dipengaruhi langsung oleh pembedahan boleh
mengkonsumsi makanan setelah pulih dari pengaruh anastesi, tindakan
tersebut dapat mempercepat kembalinya eliminasi secara normal.
6. Luka Operasi
Prosedur pembedahan biasanya dilakukan dengan meminimalisasi
resiko infeksi dengan menggunakan alat yang steril.Maka, kemungkinan
luka tersebut untuk terjadi infeksi adalah juga minimal.Namun, jika ada
risiko diidentifikasi luka tersebut bermasalah, seperti ada luka yang masih
basah dan ada pengumpulan cairan, maka hal tersebut mungkin dapat
disebabkan beberapa faktor. Antaranya adalah seperti diabetes mellitus,
imunosupresi, keganasan dan malnutrisi, cara penutupan luka, infeksi dan
apa pun yang mungkin menyebabkan penekanan berlebihan pada luka
D. Manifestasi Klinik
1. Sistem Kardiovaskuler
a. Perdarahan : tekanan darah menurun, meningkatnya denyut jantung dan
pernafasan, denyut nadi lemah, kulit dingin, lembab, pucat, serta gelisah
b. Eksternal : peningkatan drainase yang mengandungi darah pada balutan
atau melalui drain.
c. Hipoksia (capillary refill).
2. Sistem Pernafasan
a. Depresi pernafasan : pernafasan yang dangkal dan lambat serta batuk
yang lemah
b. Frekuensi, irama, kedalaman ventilasi pernafasan, kesimetrisan gerakan
dinding dada, bunyi nafas abnormal dan membrane mukosa
3. Sistem Persyarafan
Tingkat kesadaran ( GCS ) : Coma
4. Sistem Traktus Urinarius
Retensi urine (pasme spinkter kandung kemih )
5. Sistem Gastrointestinal
Mual, muntah, belum flatus atau defekasi
6. Luka Operasi
Infeksi : luka yang masih basah dan ada pengumpulan cairan (mungkin
dapat disebabkan beberapa factor adalah seperti diabetes mellitus,
imunosupresi, keganasan dan malnutrisi )
E. Pengkajian Fokus Kegawatan
1. Pengkajian Airway
Tindakan pertama kali yang harus dilakukan adalah memeriksa
responsivitas pasien dengan mengajak pasien berbicara untuk memastikan
ada atau tidaknya sumbatan jalan nafas. Seorang pasien yang dapat
berbicara dengan jelas maka jalan nafas pasien terbuka (Thygerson, 2011).
Pasien yang tidak sadar mungkin memerlukan bantuan airway dan
ventilasi. Tulang belakang leher harus dilindungi selama intubasi
endotrakeal jika dicurigai terjadi cedera pada kepala, leher atau dada. Perlu
diperhatikan dalam pengkajian airway pada pasien antara lain :
a. Kaji kepatenan jalan nafas pasien. Apakah pasien dapat berbicara atau
bernafas dengan bebas?
b. Tanda-tanda terjadinya obstruksi jalan nafas pada pasien antara lain
adanya snoring atau gurgling, stridor atau suara napas tidak normal,
agitasi (hipoksia), penggunaan otot bantu pernafasan / paradoxical chest
movements, sianosis
c. Look dan listen bukti adanya masalah pada saluran napas bagian atas dan
potensial penyebab obstruksi yaitu muntahan, perdarahan, gigi lepas atau
hilang, gigi palsu, trauma wajah
d. Jika terjadi obstruksi jalan nafas, maka pastikan jalan nafas pasien
terbuka.
e. Lindungi tulang belakang dari gerakan yang tidak perlu pada pasien yang
berisiko untuk mengalami cedera tulang belakang.
f. Gunakan berbagai alat bantu untuk mempatenkan jalan nafas pasien
sesuai indikasi yaitu Chin lift/jaw thrust, lakukan suction (jika tersedia),
Oropharyngeal airway/nasopharyngeal airway, Laryngeal Mask Airway,
lakukan intubasi
2. Pengkajian Breathing (Pernafasan)
Pengkajian pada pernafasan dilakukan untuk menilai kepatenan jalan
nafas dan keadekuatan pernafasan pada pasien. Jika pernafasan pada pasien
tidak memadai, maka langkah-langkah yang harus dipertimbangkan adalah:
dekompresi dan drainase tension pneumothorax/haemothorax, closure of
open chest injury dan ventilasi buatan (Wilkinson & Skinner, 2000).Yang
perlu diperhatikan dalam pengkajian breathing pada pasien antara lain :
a. Look, listen dan feel; lakukan penilaian terhadap ventilasi dan oksigenasi
pasien.
b. Inspeksi dari tingkat pernapasan sangat penting. Apakah ada tanda-tanda
sebagai berikut :cyanosis, penetrating injury, flail chest, sucking chest
wounds, dan penggunaan otot bantu pernafasan.
c. Palpasi untuk adanya : pergeseran trakea, fraktur ruling iga,
subcutaneous emphysema, perkusi berguna untuk diagnosis haemothorax
dan pneumotoraks.
d. Auskultasi untuk adanya : suara abnormal pada dada.
e. Buka dada pasien dan observasi pergerakan dinding dada pasien jika
perlu.
f. Tentukan laju dan tingkat kedalaman nafas pasien; kaji lebih lanjut
mengenai karakter dan kualitas pernafasan pasien.
g. Penilaian kembali status mental pasien.
h. Dapatkan bacaan pulse oksimetri jika diperlukan
i. Pemberian intervensi untuk ventilasi yang tidak adekuat dan / atau
oksigenasi:
1) Pemberian terapi oksigen
2) Bag-Valve Masker
3) Intubasi (endotrakeal atau nasal dengan konfirmasi penempatan yang
benar), jika diindikasikan. Catatan: defibrilasi tidak boleh ditunda
untuk advanced airway procedures
j. Kaji adanya masalah pernapasan yang mengancam jiwa lainnya dan
berikan terapi sesuai kebutuhan.
3. Pengkajian Circulation
Shock didefinisikan sebagai tidak adekuatnya perfusi organ dan
oksigenasi jaringan.Hipovolemia adalah penyebab syok paling umum pada
trauma. Diagnosis shock didasarkan pada temuan klinis: hipotensi,
takikardia, takipnea, hipotermia, pucat, ekstremitas dingin, penurunan
capillary refill, dan penurunan produksi urin. Oleh karena itu, dengan
adanya tanda-tanda hipotensi merupakan salah satu alasan yang cukup aman
untuk mengasumsikan telah terjadi perdarahan dan langsung mengarahkan
tim untuk melakukan upaya menghentikan pendarahan.
Penyebab lain yang mungkin membutuhkan perhatian segera adalah:
tension pneumothorax, cardiac tamponade, cardiac, spinal shock dan
anaphylaxis. Semua perdarahan eksternal yang nyata harus diidentifikasi
melalui paparan pada pasien secara memadai dan dikelola dengan baik
(Wilkinson & Skinner, 2000).
Langkah-langkah dalam pengkajian terhadap status sirkulasi pasien,
antara lain :
a. Cek nadi dan mulai lakukan CPR jika diperlukan.
b. CPR harus terus dilakukan sampai defibrilasi siap untuk digunakan.
c. Kontrol perdarahan yang dapat mengancam kehidupan dengan
pemberian penekanan secara langsung.
d. Palpasi nadi radial jika diperlukan:
1) Menentukan ada atau tidaknya
2) Menilai kualitas secara umum (kuat/lemah)
3) Identifikasi rate (lambat, normal, atau cepat)
4) Regularity
e. Kaji kulit untuk melihat adanya tanda-tanda hipoperfusi atau
hipoksia (capillary refill).
f. Lakukan treatment terhadap hipoperfusi
4. Pengkajian Level of Consciousness dan Disabilities
Pada primary survey, disability dikaji dengan menggunakan skala AVPU
a. A - alert, yaitu merespon suara dengan tepat, misalnya mematuhi
perintah yangdiberikan
b. V - vocalises, mungkin tidak sesuai atau mengeluarkan suara yang tidak
biasdimengerti
c. P - responds to pain only (harus dinilai semua keempat tungkai jika
ekstremitasawal yang digunakan untuk mengkaji gagal untuk merespon)
d. U - unresponsive to pain, jika pasien tidak merespon baik stimulus
nyerimaupun stimulus verbal.
F. Pengkajian yang difokuskan pada kasus
Setelah menerima laporan dari perawat sirkulasi, dan pengkajian klien,
perawat mereview catatan klien yang berhubungan dengan riwayat klien,
status fisik dan emosi, sebelum pembedahan dan alergi.
Pemeriksaan fisik dan manifestasi klinik ketika klien dimasukan ke PACU :
1. Sistem Pernafasan
a. Potensi jalan nafas
b. Perubahan pernafasan (rata-rata, pola, dan kedalaman)
c. RR <
d. Gangguan kardiovaskuler atau rata rata metabolisme yang meningkat.
e. Depresi narkotik, respirasi cepat, dangkal 10 x/menit
f. Keadekuatan expansi paru, kesimetrisan
g. Auskultasi paru : efek anathesi yang berlebihan, obstruksi.
h. Inspeksi: pergerakan dinding dada, penggunaan otot bantu pernafasan
diafragma, retraksi sternal Thorax Drain.
2. Sistem Kardiovaskuler
a. Sirkulasi darah, nadi dan suara jantung dikaji tiap 15 menit ( 4 x ), 30
menit (4x). 2 jam (4x) dan setiap 4 jam selama 2 hari jika kondisi
stabil.
b. Depresi miokard, shock, perdarahan atau overdistensi.
c. Penurunan tekanan darah, nadi dan suara jantung shock, nyeri,
hypothermia.
d. Nadi meningkat
e. Kaji sirkulasi perifer (kualitas denyut, warna, temperatur dan ukuran
ektremitas).
f. Trombhoplebitis pada ekstrimitas bawah (edema, kemerahan, nyeri).
g. Homan’s saign Keseimbangan Cairan Dan Elektrolit
h. Inspeksi : membran mukosa : warna dan kelembaban, turgor kulit,
balutan. NG tube, out put urine, drainage luka.
i. Ukur cairan
j. Kaji intake / out put.
k. Monitor cairan intravena dan tekanan darah
3. Sistem Persyarafan semua klien dengan anesthesia umum.
a. Kaji fungsi serebral dan tingkat kersadaran depresi fungsi motor.
b. Respon pupil, kekuatan otot, koordinasi.
c. Klien dengan bedah kepala leher
4. Sistem Perkemihan
a. Kontrol volunter fungsi perkemihan kembali setelah 6 – 8 jam post
anesthesia inhalasi, IV, spinal.
b. Retensio urine. Anesthesia, infus IV, manipulasi operasi abdomen
bawah (distensi buli-buli).
c. Pencegahan : Inspeksi, Palpasi, Perkusi kaji warna, jumlah urine, out
put urine
d. Dower catheter < komplikasi ginjal 30 ml / jam
5. Sistem Gastrointestinal
a. 40 % klien dengan GA selama 24 jam pertama dapat menyebabkan
stress dan iritasi luka GI dan dapat meningkatkan TIK pada bedah
kepala dan leher serta TIO meningkat.
b. Mual muntah
c. Kaji fungsi gastro intestinal dengan auskultasi suara usus. suara usus (-
), distensi abdomen, tidak flatus.
d. Kaji paralitic ileus
e. Insersi NG tube intra operatif mencegah komplikasi post operatif
dengan decompresi dan drainase lambung.
f. Meningkatkan istirahat.
g. Memberi kesempatan penyembuhan pada GI trac bawah
h. Memonitor perdarahan
i. Mencegah obstruksi usus.
j. Irigasi atau pemberian obat.
k. Jumlah, warna, konsistensi isi lambung tiap 6 – 8 jam
6. Sistem Integumen
Luka bedah sembuh sekitar 2 minggu. Jika tidak ada infeksi, trauma,
malnutrisi, obat-obat steroid. Penyembuhan sempurna sekitar 6 bulan –
satu tahun. Ketidak efektifan penyembuhan luka dapat disebabkan karena
infeksi luka, diostensi dari udema / palitik ileus, tekanan pada daerah luka,
dehiscence, eviscerasi, drain dan balutan
7. Pengkajian Nyeri
Nyeri post operatif berhubungan dengan luka bedah , drain dan posisi
intra operative. Kaji tanda fisik dan emosi; peningkatan nadi dan tekanan
darah, hypertensi, diaphorosis, gelisah, menangis. Kualitas nyeri sebelum
dan setelah pemberian analgetika.
8. Pemeriksaan laboratorium
Dilakukan untuk memonitor komplikasi . Pemeriksaan didasarkan pada
prosedur pembedahan, riwayat kesehatan dan manifestasi post operative.
Test yang lazim adalah elektrolit, Glukosa, dan darah lengkap.
G. Penatalaksanaan kegawatan
Komplikasi yang muncul pada pasien pasca-operasi Menurut Rothrock
(1999) komplikasi yang akan muncul saat pascaoperasi diantaranya:
1. Pernapasan
Komplikasi pernapasan yang mungkin timbul termasuk hipoksemia
yang tidak terdeteksi, atelektasis, bronkhitis, bronkhopneumonia,
pneumonia lobaris, kongesti pulmonal hipostatik, plurisi, dan superinfeksi
(Smeltzer & Bare, 2001). Gagal pernapasan merupakan fenomena pasca-
operasi, biasanya karena kombinasi kejadian. Kelemahan otot setelah
pemulihan dari relaksan yang tidak adekuat, depresi sentral dengan opioid
dan zat anestesi, hambatan batuk dan ventilasi alveolus yang tak adekuat
sekunder terhadap nyeri luka bergabung untuk menimbulkan gagal
pernapasan restriktif dengan retensi CO2sertakemudian narkosis CO2,
terutama jika PO2 dipertahankan dengan pemberian oksigen.
2. Kardiovaskuler
Komplikasi kardiovaskuler yang dapat terjadi antara lain hipotensi,
hipertensi, aritmia jantung, dan payah jantung (Baradero et al, 2008).
Hipotensi didefinisikan sebagai tekanan darah systole kurang dari 70
mmHg atau turun lebih dari 25% dari nilai sebelumnya. Hipotensi dapat
disebabkan oleh hipovolemia yang diakibatkan oleh perdarahan, overdosis
obat anestetika, penyakit kardiovaskuler seperti infark miokard, aritmia,
hipertensi, dan reaksi hipersensivitas obat induksi, obat pelumpuh otot,
dan reaksi transfusi. Hipertensi dapat meningkat pada periode induksi
dan pemulihan anestesia. Komplikasi hipertensi disebabkan oleh
analgesik dan hipnosis yang tidak adekuat, batuk, penyakit hipertensi yang
tidak diterapi, dan ventilasi yang tidak adekuat (Baradero et al, 2008).
3. Perdarahan
Penatalaksanaan perdarahan seperti halnya pada pasien syok. Pasien
diberikan posisi terlentang dengan posisi tungkai kaki membentuk sudut
20 derajat dari tempat tidur sementara lutut harus di jaga tetap lurus.
Penyebab perdarahan harus dikaji dan diatasi. Luka bedah harus selalu
diinspeksi terhadap perdarahan. Jika perdarahan terjadi, kassa st eril
dan balutan yang kuat dipasangkan dan tempat perdarahan ditinggikan
pada posisi ketinggian jantung. Pergantian cairan koloid disesuaikan
dengan kondisi pasien (Majid et al, 2011).
Penatalaksanaan pasien dibaringkan seperti pada posisi pasien syok,
sedatif atau analgetik diberikan sesuai indikasi, inspeksi luka bedah,
balut kuat jika terjadi perdarahan pada luka operasi dan transfusi darah
atau produk darah lainnya.
4. Hipertermia maligna
Hipertermi malignan sering kali terjadi pada pasien yang dioperasi.
Angka mortalitasnya sangat tinggi lebih dari 50%, sehingga diperlukan
penatalaksanaan yang adekuat. Hipertermi malignan terjadi akibat
gangguan otot yang disebabkan oleh agen anastetik. Selama anastesi,
agen anastesi inhalasi (halotan, enfluran) dan relaksan otot
(suksinilkolin) dapat memicu terjadinya hipertermi malignan.
5. Hipotermia
Hipotermia adalah keadaan suhu tubuh dibawah 36,6 ⁰C (normotermi :
36,6⁰C-37,5⁰C). Hipotermi yang tidak diinginkan mungkin saja dialami
pasien sebagai akibat suhu rendah di kamar operasi (25⁰C-26,6⁰C), infus
dengan cairan yang dingin, inhalasi gas-gas dingin, aktivitas otot yang
menurun, usia lanjut atau obat-obatan yang digunakan (vasodilator,
anastetik umum, dan lain-lain). Penggunaan gaun operasi pasien dan
selimut yang basah harus segera diganti dengan gaun dan selimut yang
kering.
H. Pathway Keperawatan Pascaoperatif
II. RESPIRATORY
MONITORING
lingkungan/perilaku Menghindarkan
PENUTUP
A. Kesimpulan
Post Operasi adalah masa setelah dilakukan pembedahan yang dimulai saat
pasien dipindahkan ke ruang pemulihan dan berakhir sampai evaluasi
selanjutnya. Perawatan pasca operasi pada setiap pasien tidak selalu sama,
bergantung pada kondisi fisik pasien, teknik anestesi, dan jenis operasi.
Monitoring lebih ketat dilakukan pada pasien dengan risiko tinggi seperti
kelainan organ, syok yang lama, dehidrasi berat, sepsis, dan gangguan organ
penting, seperti otak.
B. Saran
Dalam pembuatan makalah ini terdapat beberapa referensi lama. Sehingga
diharapkan untuk mahasiswa yang akan membuat makalah mengenai post
bedah mayor mencari referensi yang terbaru sehingga teori yang digunakan
bisa dijadikan acuan untuk manajemen kritis dan kegawatdaruratan post bedah
mayor.