Laporan Praktek Lahan Imunoserologi I
Laporan Praktek Lahan Imunoserologi I
Laporan Praktek Lahan Imunoserologi I
DISUSUN OLEH :
KELOMPOK 5
KELAS A (REGULER SORE)
1
Poltekkes Kemenkes Jakarta III
Jurusan Analis Kesehatan
Reguler Sore, tahun 2016 – 2019
Laporan Praktek Lahan Imunoserologi
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas kasih
dan karunia-Nya kami dapat melaksanakan praktek lahan di AIC MIDC Kuningan, RS
Jakarta Medical Centre, RS Tugu Ibu, RS Mitra Keluarga Kelapa Gading, RSIA Anggrek
Mas, RSUD Bekasi, dan Puskesmas Kecamatan Menteng Jakarta Pusat. Praktek lahan
imunoserologi ini di selenggarakan dalam rangka kurikulum Program Diploma III Analis
Kesehatan di Poltekkes Kemenkes Jakarta III.
Praktek lahan ini diharapkan mampu menghasilkan tenaga Ahli Teknologi
Laboratorium Medik yang mampu bekerja secara professional sebagai pelaksana dalam
sistem pelayanan kesehatan, khususnya di bidang pelayanan laboratorium.
Program ini di harapkan mampu mengembangkan diri baik sebagai pribadi maupun
sebagai tenaga Analis Kesehatan yang mampu bekerja secara professional di dunia kesehatan.
Dalam kesempatan ini kami ingin mengucapkan terima kasih kepada semua pihak
yang sudah membantu terlaksananya praktek lahan ini.
Demikianlah laporan praktek lahan imunoserologi ini di buat. Semoga laporan
praktek lahan ini dapat bermanfaat untuk kita semua.
Penyusun,
2
Poltekkes Kemenkes Jakarta III
Jurusan Analis Kesehatan
Reguler Sore, tahun 2016 – 2019
Laporan Praktek Lahan Imunoserologi
1. TUJUAN
Untuk Menentukan golongan darah pasien (A,B,O dan rhesus) berdasarkan antigen yang
ada pada eritrosit darah tersebut dengan menggunakan serum Anti A, Anti B, dan Anti AB
serta anti D (Rhesus)
2. PRINSIP
Reagen akan menyebabkan aglutinasi langsung (penggumpalan) sel uji sel darah merah
yang membawa antigen A, B, O yang sesuai.
4. CARA KERJA
1. Tuliskan identitas pada kartu golongan darah sesuai data pasien
2. Siapkan alat dan bahan yang digunakan
3. Pada kertas golongan darah diteteskan reagen anti A, anti B, anti AB dan anti D (Rh
faktor) masing-masing satu tetes pada kolom sesuai dengan namanya.
4. Setetes darah diteteskan kepada masing-masing reagen itu dan dicampur dengan
ujung batang pengaduk.
5. Kertas golongan darah digoyang dengan membuat gerakan lingkaran.
6. Perhatikan adanya aglutinasi berupa titik-titik halus seperti pasir yang akan terjadi
dengan mata belaka.
7. Pengamatan dilakukan dalam waktu 2 menit setelah percampuran serum dan darah
yang akan diperiksa.
3
Poltekkes Kemenkes Jakarta III
Jurusan Analis Kesehatan
Reguler Sore, tahun 2016 – 2019
Laporan Praktek Lahan Imunoserologi
Penilaian :
Pelaporan :
AB
5. HASIL :
Identitas Pasien
o Nama Pasien : Dewi Fitriana
o Umur : 44 tahun
o Alamat : KBIH BI
o Jenis kelamin : Perempuan
4
Poltekkes Kemenkes Jakarta III
Jurusan Analis Kesehatan
Reguler Sore, tahun 2016 – 2019
Laporan Praktek Lahan Imunoserologi
5
Poltekkes Kemenkes Jakarta III
Jurusan Analis Kesehatan
Reguler Sore, tahun 2016 – 2019
Laporan Praktek Lahan Imunoserologi
6. DISKUSI/PEMBAHASAN :
Terdapat tiga jenis darah dalam penggolongan sistem ABO, yaitu golongan darah
A, B, AB, dan O. Penggolongan ini ditentukan dari antigen dan antibodi yang
terdapat pada darah. Antigen dalam golongan darah (disebut juga aglutinogen)
terdapat pada eritrosit atau sel darah merah. Sedangkan antibodi dalam golongan
darah (disebut juga aglutinin) terdapat pada plasma darah.
Golongan darah A memiliki antigen A pada eritrositnya dan memiliki antibodi
anti-B dalam plasmanya.
Gongan darah B memiliki antigen B pada eritrositnya dan memiliki antibodi
anti-A dalam plasmanya.
Golongan darah AB memiliki antigen A dan B pada eritrositnya, namun tidak
memiliki antibodi dalam plasmanya.
6
Poltekkes Kemenkes Jakarta III
Jurusan Analis Kesehatan
Reguler Sore, tahun 2016 – 2019
Laporan Praktek Lahan Imunoserologi
7
Poltekkes Kemenkes Jakarta III
Jurusan Analis Kesehatan
Reguler Sore, tahun 2016 – 2019
Laporan Praktek Lahan Imunoserologi
7. KESIMPULAN
Dari hasil pengamatan, didapatkan kesimpulan bahwa golongan darah pasien atas nama
Ny. Dewi Fitriana adalah AB, Rhesus positif.
8
Poltekkes Kemenkes Jakarta III
Jurusan Analis Kesehatan
Reguler Sore, tahun 2016 – 2019
Laporan Praktek Lahan Imunoserologi
1. TUJUAN
Untuk mendeteksi hormon hCG (human Chorionic Gonadothropin) dalam urin secara
kualitatif dengan metode immunokromatografi yang cepat dan sensitive, guna mendeteksi
kehamilan lebih dini.
2. PRINSIP
Alat berbentuk strip yang terdiri dari bantalan penyerap specimen, membrane dan bantalan
penyerap sisa reaksi. Bantalan penyerap specimen mengandung antibody monoclonal
Mouse anti-hCG yang dikonjugasi dengan zat warna Coloidal gold. Zona tes pada daerah
membrane dilapisi dengan antibody Goat anti-hCG dan zona control dilapisi dengan Goat
anti-Mouse IgG.
Selama pengetesan, specimen urin dihisap oleh bantalan penyerap specimen dan mengalir
melintasi daerah membrane sampai mencapai bantalan penyerap sisa reaksi dengan gaya
kapiler. Didalam bantalan penyerap specimen, hCG dalam specimen urin akan diikat oleh
Goat conjugat, membentuk kompleks kemudian bergerak menuju daerah membran.
Antibodi Goat anti hCG yang terikat pada zona tes akan menangkap kompleks tersebut,
membentuk sebuah garis berwarna merah uda yang menunjukkan adanya hCG dalam
specimen urin sebagai indikator terjadinya kehamilan. Tidak terbentuknya garis pada zona
tes tersebut menunjukkan tidak terdeteksinya hCG dalam specimen urin. Sebuah garis
berwarna merah muda yang tampak pada jendela control menunjukkkan bahwa test strip
berfungsi baik.
4. CARA KERJA
1) Siapkan semua alat dan bahan yang diperlukan
9
Poltekkes Kemenkes Jakarta III
Jurusan Analis Kesehatan
Reguler Sore, tahun 2016 – 2019
Laporan Praktek Lahan Imunoserologi
2) Buka kemasan strip reagen, dan beri label pada strip sesuai identifikasi sample pasien
3) Celupkan strip ke dalam sample urin dengan arah panah menghadap ke bawah selama
minimal 10 detik. Jangan mencelup melebihi batas garis MAX (maksimum)
4) Letakkan strip tersebut di atas tissue bersih dan kering yang sudah disediakan.
5) Tunggu sampai terbentuknya garis, tergantung pada konsentrasi dari hormone HCG
pada sample urin, hasil positif bisa didapatkan dalam waktu 10-30 detik. Hasil
negative harus ditunggu sampai 5 menit. Hasil tidak dapat jika sudah lebih dari 10
menit.
Pembacaan :
Negatif : Hanya terbentuk satu garis berwarna merah muda di bagian atas
(control) dan tidak terbentuk sama sekali pada bagian tes (bawah).
Hasilnya menunjukkan negatif hamil atau konsentrasi hCG dalam
specimen urin lebih kecil dari batas sensitifitas 25 mIU/ml
Positif : Selain terbentuk garis berwarna merah muda di bagian control (atas)
terbentuk juga garis merah muda di bagian tes (bawah). Hasil ini
menunjukkan positifhamil atau konsentrasi hCG dalam specimen sama
atau lebih besar dari sensitifitas 25 mIU/ml.
Invalid : Jika dalam waktu 5 menit tidak tampak garis berwarna merah muda
pada bagian control (atas) maupun tes, atau jika hanya garis tes yang
tampak, hasil tes dianggap tidak sah. Kemungkinan petunjuk
pemakaian tidak diikuti dengan seksama atau tes strip tersebut telah
rusak. Spesimen urin harus dites ulang dengan tes strip yang baru.
5. HASIL
Identitas pasien
A. Nama Pasien : Ny. Mulyani
Umur : 26 tahun
11
Poltekkes Kemenkes Jakarta III
Jurusan Analis Kesehatan
Reguler Sore, tahun 2016 – 2019
Laporan Praktek Lahan Imunoserologi
12
Poltekkes Kemenkes Jakarta III
Jurusan Analis Kesehatan
Reguler Sore, tahun 2016 – 2019
Laporan Praktek Lahan Imunoserologi
6. DISKUSI/PEMBAHASAN
13
Poltekkes Kemenkes Jakarta III
Jurusan Analis Kesehatan
Reguler Sore, tahun 2016 – 2019
Laporan Praktek Lahan Imunoserologi
7. KESIMPULAN :
Dari hasil praktikum didapatkan kesimpulan sebagai berikut :
Tes kehamilan terhadap sampel urin atas Ny. Mulyani dinyatakan Negatif
Tes kehamilan terhadap sampel urin atas Ny. Selfi dinyatakan positif
14
Poltekkes Kemenkes Jakarta III
Jurusan Analis Kesehatan
Reguler Sore, tahun 2016 – 2019
Laporan Praktek Lahan Imunoserologi
1. TUJUAN
Untuk mendeteksi adanya antibodi Rhematoid Faktor dalam darah secara kualitatif dan
kuantitatif. Antibodi ini muncul pada kasus penderita Rhematoid Arthritis.
2. PRINSIP
RF didasarkan pada reaksi imunologi antara ikatan IgG Latex dan Rheumatoid Faktor
dalam serum penderita. Jika dalam serum mengandung RF maka akan terbentuk
aglutinasi.
4. CARA KERJA
a. Kualitatif
1. Biarkan semua reagen dan serum mencapai suhu ruang sebelum digunakan.
2. Siapkan slide, teteskan satu tetes (50 uL) kontrol positif RF pada lingkaran
pertama
3. Teteskan satu tetes (50 uL) kontrol negatif pada lingkaran kedua.
4. Teteskan satu tetes (50 uL) sampel pada lingkaran ketiga dan seterusnya.
5. Tambahkan satu tetes reagen RF Latex pada setiap lingkaran ketiga dan
seterusnya.
15
Poltekkes Kemenkes Jakarta III
Jurusan Analis Kesehatan
Reguler Sore, tahun 2016 – 2019
Laporan Praktek Lahan Imunoserologi
6. Aduk rata dan goyangkan slide selama 3 menit, baca hasil pada tempat yang
terang.
b. Kuantitatif
1. Siapkan sedikitnya lima tabung reaksi : 1:2, 1:4, 1:8, 1:16, 1:32, dan seterusnya.
2. Encerkan sampel sesuai faktor pengenceran pada setiap tabung reaksi dengan
larutan saline. Catatan : Larutan salin harus dilarutkan dengan aquabidest
sebelum digunakan.
3. Teteskan satu tetes kontrol positif dan kontrol negatif pada lingkaran slide.
Teteskan satu tetes masing-masing sampel yang telah diencerkan sesuai faktor
pengenceran.
4. Tambahkan satu tetes reagen RF Latex pada masing-masing lingkaran slide
tersebut di atas.
5. Aduk rata, lalu goyangkan slide selama 3 menit dan baca hasil (pada tempat yang
terang).
Penilaian :
a. Kualitatif
b. Kuantitatif
16
Poltekkes Kemenkes Jakarta III
Jurusan Analis Kesehatan
Reguler Sore, tahun 2016 – 2019
Laporan Praktek Lahan Imunoserologi
5. HASIL :
Identitas pasien :
o Nama pasien : Ny. Sarah
o Umur : 56 tahun
Gambar 1. Reagen RF
17
Poltekkes Kemenkes Jakarta III
Jurusan Analis Kesehatan
Reguler Sore, tahun 2016 – 2019
Laporan Praktek Lahan Imunoserologi
18
Poltekkes Kemenkes Jakarta III
Jurusan Analis Kesehatan
Reguler Sore, tahun 2016 – 2019
Laporan Praktek Lahan Imunoserologi
6. DISKUSI PEMBAHASAN :
19
Poltekkes Kemenkes Jakarta III
Jurusan Analis Kesehatan
Reguler Sore, tahun 2016 – 2019
Laporan Praktek Lahan Imunoserologi
titer atau kadar RF yang terkandung dalam sampel serum dengan teknik pengenceran
mulai dari ½ ,¼,1/8,1/16
Pada uji kualitatif dilakukan dengan menggunakan RA Lateks yang diteteskan pada
slide card hitam. Serum yang sudah dikondisikan sebelumnya diteteskan pada slide
card hitam yang berisi RA lateks, namun jangan sampai kedua cairan tersebut (RA
lateks dan serum) tercampur karena dapat bereaksi lebih dahulu dan dipastikan kedua
cairan terpisah. Kemudian RA lateks dan serum yang sudah diteteskan terpisah diaduk
secara perlahan. Slide card hitam lalu digoyangkan selama 2 menit secaraperlahan
agar RA lateks dan serum bereaksi secacara sempurna dan merata diseluruh sisi. Jika
sudah perhatikan reaksi yang terjadi, hasil positif ditandai dengan adanya aglutinasi.
1. Hasil uji RF sering tetap didapati positif, tanpa terpengaruh apakah telah terjadi
pemulihan klinis.
2. Hasil uji RF bisa positif pada berbagai masalah klinis, seperti penyakit kolagen,
kanker, sirosis hati.
3. Lansia dapat mengalami peningkatan titer RF, tanpa menderita penyakit apapun.
4. Akibat keanekaragaman dalam sensitivitas dan spesifisitas uji skrining ini, temuan
positif harus diinterpretasikan berdasarkan bukti yang terdapat dalam status klinis
pasien.
7. KESIMPULAN
20
Poltekkes Kemenkes Jakarta III
Jurusan Analis Kesehatan
Reguler Sore, tahun 2016 – 2019
Laporan Praktek Lahan Imunoserologi
4. PEMERIKSAAN ASO
1. TUJUAN
Mengetahui kadar antibodi terhadap Streptolisin O dalam darah yaitu suatu zat yang
dihasilkan oleh bakteri Streptococcus B.
2. PRINSIP
Uji ASO didasarkan pada reaksi imunologi antara streptococcal exoenzyme yang berikatan
dengan partikel latex dengan antibody streptococcal dalam sampel. Adanya aglutinasi
menunjukkan adanya antibody pada sampel.
Reagensia :
21
Poltekkes Kemenkes Jakarta III
Jurusan Analis Kesehatan
Reguler Sore, tahun 2016 – 2019
Laporan Praktek Lahan Imunoserologi
4. CARA KERJA
A. KUALITATIF
1. Biarkan sampel dan reagen mencapai suhu ruang sebelum digunakan.
2. Siapkan slide, teteskan satu tetes 50 uL kontrol positif ASO pada lingkaran
pertama. Teteskan satu tetes (50 uL) kontrol negatif pada lingkaran kedua.
Teteskan satu tetes (50 uL) sampel pada lingkaran ketiga dan seterusnya.
3. Tambahkan satu tetes ASO Latex pada setiap lingkaran.
4. Aduk rata dan goyangkan slide selama 3 menit, baca hasil pada tempat yang
terang.
B. SEMI KUANTITATIF
1. Lakukan pemeriksaan dengan cara yang sama tetapi dengan serum yang diencerkan
(1:2, 1:4, 1:8, 1:16, dan seterusnya)
2. Hasil pemeriksaan sampel positif, dilanjutkan dengan pengenceran berseri :
-Diambil NaCl 0,85% 50 ul pada 6 tanda lingkaran slide
-Pada lingkaran pertama ditambahkan 50 ul serum, dicampur (2x)
-Dari lingkaran kedua, diambil 50 ul dicampur (4x)
-Dari lingkaran ketiga, diambil 50 ul lalu dicampur (8x)
-Dari lingkaran keempat , diambil 50 ul lalu dicampur (16x)
-Dari lingkaran kelima, diambil 50 ul lalu dicampur (32x)
-Ditambahkan masing-masing 1 tetes reagen latex, rotator 100 rpm 2 menit
3. Hasil positif terakhir di kalikan 200 IU/ml adalah di laporkan sebagai titer ASO
a. Control positif ASO berisi > 200 IU/ml.
b. Control Negatif ASO berisi < 200 IU/ml .
Penilaian :
A. KUALITATIF
B. SEMI KUATITATIF
5. NILAI NORMAL :
Titer Antistreptolisin-O biasanya akan muncul setelah satu minggu, dan akan terus
meningkat hingga 3-5 minggu dan kemudian menurun pada 6-12 bulan.
6. HASIL :
Identitas pasien
o Nama Pasien : Tn. Arsyad
o Umur : 48 tahun
o Jenis kelamin : Laki-laki
23
Poltekkes Kemenkes Jakarta III
Jurusan Analis Kesehatan
Reguler Sore, tahun 2016 – 2019
Laporan Praktek Lahan Imunoserologi
Gambar 3. Homogenisasi
25
Poltekkes Kemenkes Jakarta III
Jurusan Analis Kesehatan
Reguler Sore, tahun 2016 – 2019
Laporan Praktek Lahan Imunoserologi
7. DISKUSI / PEMBAHASAN
Streptolisin O adalah suatu antibodi yang di bentuk oleh tubuh terhadap suatu enzim
proteolitik. Streptolisin O yang diproduksi oleh hemolitik Streptococcus A group A
dan mempunyai aktivitas biologicmerusak dinding sel darah merah serta
mengakibakan terjadinya hemolisis.Streptolisin o adalah toksin yang merupakan dasar
sifat -βhemolitik organisme ini. Streptolisin O ialah racun sel yang
berpotensimempengaruhi banyak tipe sel termasuk netrofil, platelets dan organel
sel,menyebabkan respon imun dan penemuan antibodinya.
Anti-Streptolisin O bisa di gunakan secara klinis untuk menegaskan infeksi yang baru
saja. Antibodi itu tidak merusak kuman dan tidak mempunyai dampak perlindungan,
tetapi adanya antibodi itu dalam serum menunjukkan bahwa di dalam tubuh baru saja
terdapat streptokokus yang aktif. Antibodi yang dibentuk adalah Antistreptolysin O
(ASO), Antihialuronidase (AH), Antistreptokinase (anti SK), antidesoksiribonuklease
B (AND B), dan anti nikotinamid adeninedinukleotidase (anti-NADase).
Pemeriksaan ASTO (anti streptolisin O) merupakan suatu pemeriksaan darah yang
berfungsi untuk mengukur kadar antibodi terhadap streptolisin O, suatu zat yang
dihasilkan oleh bakteri Streptococcus grup A. Ada dua prinsip dasar penetuan ASTO,
yaitu:
a. Netralisasi/penghambat hemolisis Streptolisin O dapat menyebabkan hemolisis dari
sel darah merah,akan tetapi bila Streptolisin O tersebut di campur lebih dahulu
dengan serum penderita yang mengandung cukup anti streptolisin O sebelum
ditambahkan pada sel darah merah, maka streptolisin O tersebut akan dinetralkan
oleh ASO sehingga tidak dapat menibulkan hemolisis lagi.Pada tes ini serum
penderita di encerkan secara serial dan ditambahkan sejumlah streptolisin O yang
tetap (Streptolisin O diawetkan dengan sodium thioglycolate). Kemudian di
tambahkan suspensi sel darah merah 5%. Hemolisis akan terjadi pada pengenceran
serum di mana kadar/titer dari ASO tidak cukup untuk menghambat hemolisis
tidak terjadi pada pengencaran serum yang mengandung titer ASO yang tinggi.
26
Poltekkes Kemenkes Jakarta III
Jurusan Analis Kesehatan
Reguler Sore, tahun 2016 – 2019
Laporan Praktek Lahan Imunoserologi
Reagen :
- Reagen stabil hingga tanggal kadaluwarsa yang tertera pada label jika disimpan
dengan baik (pada suhu 2-8ºC). jangan dibekukan.
Sampel :
- Jika serum tidak dapat langsung dikerjakan, simpan serum pada suhu 2-8ºC dan
tidak lebih dari 72 jamsetelah pengambilan sampel.
27
Poltekkes Kemenkes Jakarta III
Jurusan Analis Kesehatan
Reguler Sore, tahun 2016 – 2019
Laporan Praktek Lahan Imunoserologi
Pembacaan hasil pada tes aglutinasi lebih dari 5 menit menggunakan serum yang
lipemik, serta penyimpanan reagensia yang salah merupakan factor kesalahan
dalam pemeriksaan. Hasil pemeriksaan ASTO metode slide bernilai positif (+)
akan dilakukan pemeriksaan lanjutan (semi kuantitatif) dan hasil positif
pengenceran yang terakhir akan dikalikan 200 IU/ml.
Sebaiknya serum yang digunakan adalah serum dari darah yang segar, dan tidak
boleh menunjukan adanya fibrin. Pada suhu 2-8o C masih dapat stabil selama 48
jam dan jika ditunda dalam waktu yang lama sebaiknya disimpan pada suhu -
20o C.
8. KESIMPULAN
Dari hasil praktikum maka dinyatakan bahwa hasil pemeriksaan ASO atas nama pasien
tersebut dinyatakan positif titer 1:8
28
Poltekkes Kemenkes Jakarta III
Jurusan Analis Kesehatan
Reguler Sore, tahun 2016 – 2019
Laporan Praktek Lahan Imunoserologi
5. PEMERIKSAAN CRP
1. TUJUAN
2. PRINSIP
Aglutinasi pasif terbalik dimana latex dilapisi antibodi CRP dan yang dideteksi adalah
antigen CRP dalam serum dengan kadar tinggi, aglutinasi terlihat dalam waktu 2 menit.
antigen CRP di dalam serum akan bereaksi secara imunologis dengan antibodi anti-CRP
di dalam partikel lateks sehingga akan terjadi aglutinasi. Reaksi aglutinasi menunjukkan
adanya antigen CRP di dalam sampel serum yang diperiksa dan secara klinis
menunjukkan kemungkinan adanya reaksi peradangan
Yellow tip
Mikropipet
Pipet tetes
Batang Pengaduk
Rotator
Tabung reaksi dan rak
Sentrifuge
BAHAN
Sampel : Serum segar
Reagen CRP latex
Reagen kontrol positif CRP
Reagen control negative CRP
Batang pengaduk
Glicine Buffer (20x)
29
Poltekkes Kemenkes Jakarta III
Jurusan Analis Kesehatan
Reguler Sore, tahun 2016 – 2019
Laporan Praktek Lahan Imunoserologi
4. CARA KERJA
A. KUALITATIF
B. SEMI-KUANTITATIF
30
Poltekkes Kemenkes Jakarta III
Jurusan Analis Kesehatan
Reguler Sore, tahun 2016 – 2019
Laporan Praktek Lahan Imunoserologi
Pembacaan hasil :
Kualitatif
Positif : Terbentuk aglutinasi (setara dengan 0,8 mg/dl)
Negatif : Tidak terbentuk aglutinasi
Semi kuantitatif
Konsentrasi sampel
= Konsentrasi kontrol positif (0,8 mg/dl) x titer pengenceran
sampel
Titer pengenceran sampel adalah titer pengenceran tertinggi pada
sampel yang masih memberiksan reaksi aglutinasi.
Konsentrasi control (+) = 0.8 mg/dl
Nilai Normal : 0 – 0.8 mg/dl
5. HASIL
Identitas pasien
Sample 1 :
Nama Pasien : Tn. Dias
Umur : 29 tahun
Jenis kelamin : laki-laki
Sampel 2 :
Nama Pasien : Ny. Sarah
Umur : 39 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
31
Poltekkes Kemenkes Jakarta III
Jurusan Analis Kesehatan
Reguler Sore, tahun 2016 – 2019
Laporan Praktek Lahan Imunoserologi
32
Poltekkes Kemenkes Jakarta III
Jurusan Analis Kesehatan
Reguler Sore, tahun 2016 – 2019
Laporan Praktek Lahan Imunoserologi
6. DISKUSI/PEMBAHASAN
nilai CRP dapat berguna dalam menenyukan perkembangan penyakit atau efektivitas
pengobatan.
C-Reaktif Protein atau CRP merupakan pertanda adanya inflamasi sistemik yang
sangat sensitive. Peningkatan kadar CRP sangat berhubungan kuat dengan adanya
penyakit jantung koroner ,MCI, stroke dan kematian mendadak karena jantung
Pemeriksaan C-Reactive Protein atau CRP kualitatif yaitu pemeriksaan terhadap
keberadaan suatu reaktan fase akut, yakni CRP di dalam serum. Konsentrasi serum
CRP akan meningkat setelah proses inisiasi inflamatori. Pemeriksaan ini memiliki
sensitifitas yang baik, namun bukan indikator yang spesifik pada kondisi terjadinya
luka akut, infeksi bakteri, atau inflamasi.
Manfaat pemeriksaan ini untuk Mendeteksi Pelvic Inflammatory Disease (PID),
apendidtis akut, dan sepsis (pada pasien kritis); menentukan faktor risiko penyakit
vaskular, terutama penyakit jantung koroner (PJK); dan memantau kondisi post-
operasi Nilai normalnya pria < 0.55 mg/L dan wanita < 1,5 mg/dl.
Prosedur Tes CRP dapat dilakukan secara manual menggunakan metode aglutinasi
atau metode lain yang lebih maju, misalnya sandwich imunometri.
Dalam pemeriksaan CRP denagn metode lateks aglutination ini digunakan slide test
berlatar belakang gelap yang telah berisi beberapa lingkaran sebagai tempat
mereaksikan antigen dalam serum dan antibodi anti-CRP pada reagen lateks.
Latar belakang gelap bertujuan untuk mempermudah pengamatan, karena campuran
yang terbentuk dari homohenisasi reagen lateks dan serum berwarna putih. Reaksi
positif ditandai dengan adanya aglutinasi. Reaksi aglutinasi ditunjukkan dengan
terbentuknya butir-butir halus seperti pasir pada campuran.
Dalam setiap pengujian CRP , harus selalu disertakan serum kontrol positif dan
serum kontrol negatif. Serum kontrol positif merupakan serum standar yang positif
mengandung CRP, sedangkan serum control negatif merupakan serum standar yang
tidak mengandung CRP. Kedua serum ini diperlakukan sama seperti sampel
(direaksikan dengan reagen lateks). kedua kontrol serum ini berfungsi sebagai
pembanding sehingga lebih mudah menginterpretasikan reaksi yang terjadi pada
sampel yang diuji (apakah positif atau negatif). aglutinasi yang terjadi pada sampel
dibandingkan dengan serumkontrol positif dan serum kontrol negatif. Apabila
terbentuk ciri-ciri seperti yang ditunjukkan serum kontrol positif, maka hasil
35
Poltekkes Kemenkes Jakarta III
Jurusan Analis Kesehatan
Reguler Sore, tahun 2016 – 2019
Laporan Praktek Lahan Imunoserologi
pemeriksaan sampel adalah positif, namun jika ciri-ciri reaksi yang terjadilebih
menyerupai serum kontrol negatif, maka hasilnya negatif
Terlebih dahulu dilakukan pemeriksaan CRP secara kualitatif. Pemeriksaan ini
dilakukan untuk mengetahui secara kasar ada tidaknya antigen CRP di dalam sampel
serum yang diperiksa. Jika dalam pemeriksaan CRP secara kualitatif diperoleh hasil
positif, maka dilanjutkan dengan pemeriksaan secara semi-kuantitatif untuk
menentukan kadar CRP di dalam sampel serum tersebut.
7. KESIMPULAN
Sampel 2 :
Nama Pasien : Ny. Sarah
Umur : 39 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Hasil CRP Negatif
36
Poltekkes Kemenkes Jakarta III
Jurusan Analis Kesehatan
Reguler Sore, tahun 2016 – 2019
Laporan Praktek Lahan Imunoserologi
6. PEMERIKSAAN WIDAL
1. TUJUAN
Untuk mendeteksi adanya antigen bakteri Salmonella sp dalam serum pasien yang dapat
menyebabkan demam thypoid
2. PRINSIP
Suatu cara penetapan semi kuantitatif antibody yang spesifik terhadap antigen fibril.
Dibuat satu seri pengenceran serum pasien yang kemudian ditambah suspensi antigen
dengan volume tertentu. Titer antibody pasien adalah pengenceran terakhir dari serum
yang masih memberikan aglutinasi.
4. CARA KERJA
6. HASIL
Identitas pasien
Nama Pasien : An. Diandra
Umur : 9 tahun
Jenis kelamin : laki-laki
38
Poltekkes Kemenkes Jakarta III
Jurusan Analis Kesehatan
Reguler Sore, tahun 2016 – 2019
Laporan Praktek Lahan Imunoserologi
Gambar 4. Homogenisasi
39
Poltekkes Kemenkes Jakarta III
Jurusan Analis Kesehatan
Reguler Sore, tahun 2016 – 2019
Laporan Praktek Lahan Imunoserologi
6. DISKUSI/PEMBAHASAN
Antigen yang digunakan pada tes widal ini berasal dari suspense salmonella
yang sudah dimatikan dan diolah dalam laboratorium. Dengan jalan
40
Poltekkes Kemenkes Jakarta III
Jurusan Analis Kesehatan
Reguler Sore, tahun 2016 – 2019
Laporan Praktek Lahan Imunoserologi
2. Antigen H
41
Poltekkes Kemenkes Jakarta III
Jurusan Analis Kesehatan
Reguler Sore, tahun 2016 – 2019
Laporan Praktek Lahan Imunoserologi
3. Antigen Vi
Antigen Vi terletak di lapisan terluar S. typhi (kapsul) yang melindungi
kuman dari fagositosis dengan struktur kimia glikolipid, akan rusak bila
dipanaskan selama 1 jam pada suhu 60°C, dengan pemberian asam dan fenol.
Antigen ini digunakan untuk mengetahui adanya karier.
Salah satu kelemahan yang amat penting dari penggunaan uji widal sebagai
sarana penunjang diagnosis demam typhpid yaitu spesifitas yang agak rendah
dan kesukaran untuk menginterpretasikan hasil tersebut, sebab banyak factor
yang mempengaruhi kenaikan titer. Selain itu antibodi terhadap antigen H
bahkan mungkin dijumpai dengan titer yanglebih tinggi, yang disebabkan
adanya reaktifitas silang yang luas sehingga sukar untuk diinterpretasikan.
Dengan alas an ini maka pada daerah endemis tidak dianjurkan pemeriksaan
antibodi H S.typhi, cukup pemeriksaan titer terhadap antibodi O S.typhi.
Titer widal biasanya angka kelipatan : 1/32 , 1/64 , 1/160 , 1/320 , 1/640.
42
Poltekkes Kemenkes Jakarta III
Jurusan Analis Kesehatan
Reguler Sore, tahun 2016 – 2019
Laporan Praktek Lahan Imunoserologi
-Bila penyimpanan suspensi tidak sesuai temperatur di atas dapat merusak reagen.
7. KESIMPULAN
43
Poltekkes Kemenkes Jakarta III
Jurusan Analis Kesehatan
Reguler Sore, tahun 2016 – 2019
Laporan Praktek Lahan Imunoserologi
7. PEMERIKSAAN TUBEX
1. TUJUAN
untuk deteksi Demam Tifoid akut yang disebabkan oleh salmonella typhi, melalui deteksi
spesifik adanya serum antibodi lgM Salmonella typhi.
2. PRINSIP
ketika partikel magnet yang diselimuti oleh antigen (s.typhi LPS) dicampurkan dengan
blue latex antibody-coated indicator particle yang diselimuti oleh anti-s typhi LPS (O9)
antibody, maka kedua jenis partikel ini akan berikatan satu dengan yang lain. Ketika pada
akhir eksperimen tabung berbentuk V tempat terjadinya proses reaksi diatas diletakan
diatas magnet stand, maka antigen-coated magnetic particle akan tersedimentasi dibawa
tabung. Begitu juga blue latek particle yang telah berikatan dengan antigen-coated
magnetic particle akan ikut tersedimentasi pada bagian bawah tabung. Sehingga terjadi
perubahan warna dari biru menjadi merah. Hal ini menunjukan tidak adanya anti-s typhi
O9 antibody pada serum milik pasien dan hasil reaksi dikatakan negative (pasien tidak
terindikasi menderita demam tifoid).
4. CARA KERJA
Interpretasi Hasil:
Negatif : Perubahan warna yang terjadi < 4
Positif : Perubahan warna yang terjadi = 4 atau lebih jika dibandingkan dengan skala
pada tubex color sale.
Keluarkan hasil dengan nilai angka, sesuai perubahan warna yang sesuai
dengan skala pada tubex color sale (2, 4, 6, 8, 10)
5. HASIL
Identitas pasien
A. Nama Pasien : Tn. Dias
Umur : 29 tahun
Jenis kelamin : laki-laki
45
Poltekkes Kemenkes Jakarta III
Jurusan Analis Kesehatan
Reguler Sore, tahun 2016 – 2019
Laporan Praktek Lahan Imunoserologi
46
Poltekkes Kemenkes Jakarta III
Jurusan Analis Kesehatan
Reguler Sore, tahun 2016 – 2019
Laporan Praktek Lahan Imunoserologi
47
Poltekkes Kemenkes Jakarta III
Jurusan Analis Kesehatan
Reguler Sore, tahun 2016 – 2019
Laporan Praktek Lahan Imunoserologi
48
Poltekkes Kemenkes Jakarta III
Jurusan Analis Kesehatan
Reguler Sore, tahun 2016 – 2019
Laporan Praktek Lahan Imunoserologi
6. DISKUSI / PEMBAHASAN
TUBEX merupakan alat diagnostik demam tifoid yang diperoduksi oleh IDL Biotech,
Sollentuna, Sweden. Tes ini sangat cepat 5-10 min, simpel, dan akurat. Tes TUBEX
ini menggunakan sistem pemeriksaan yang unik dimana tes ini mendeteksi serum
antibody immunoglobulin M (Ig M) terhadap antigen O9 (LPS) yang sangat spesifik
terhadap bakteri salmonella typhi. Metode dari tes TUBEX ini adalah mendeteksi
antibody melalui kemampuannya untuk memblok ikatan antara reagent monoclonal
anti-O9 s.typhi (antibody-coated indicator particle) dengan reagent antigen O9 s.typhi
(antigen-coated magnetic particle) sehingga terjadi pengendapan dan pada akhirnya
tidak terjadi perubahan warna.
49
Poltekkes Kemenkes Jakarta III
Jurusan Analis Kesehatan
Reguler Sore, tahun 2016 – 2019
Laporan Praktek Lahan Imunoserologi
Dasar konsep antibodi lgM spesifik terhadap salmonella typhi digunakan sebagai
marker penanda TUBEX TF menurut beberapa peneliti: kadar ketiga
kelas immunoglobin anti Lipopolisakarida (lgA, lgG dan lgM) lebih tinggi pada
pasien tifoid dibandingkan kontirol;pengujian lgM antipolisakarida memberikan hasil
yang berbeda bermakna antara tifoid dan non tifoid.
Dalam diagnosis serologis Demam Tifoid, deteksi antibodi lgM adalah lebih baik
karena tidak hanya meningkat lebih awal tetapi juga lebih cepat menurun sesuai
dengan fase akut infeksi, sedangkan antibodi lgG tetap bertahan pada fase
penyembuhan. TUBEX TF mendeteksi antibodi lgM dan bukan lgG. Hal ini membuat
sangat bernilai dalam menunjang diagnosa akut.
tes TUBEX tidak hanya mendeteksi adanya antibody anti-O9 spesifik s.typhi saja,
melainkan juga dapat mendeteksi antigen O9 spesifik s.typhi. Hal ini membuat
TUBEX menjadi sangat unik karena kemampuannya untuk mendeteksi baik antibody
maupun antigen. Secara teoritis hal ini sangatlah penting untuk dignostik serologi
pada fase akut. Mengingat bahwa secara teori antigenlah yang terlebih dahulu muncul
daripada antibody diawal mulainya terjadi infeksi.
Sangatlah penting untuk mengambil sampel serum pada hari-hari awal saat onset
panas mulai muncul. Mengingat pada saat itulah antigen banyak terdapat pada serum
pasien, jika telat dilakukan pengambilan sampel maka antigen didalam serum akan
menghilang karena terjadinya ikatan terhadap antibody yang terbentuk dan
selanjutnya membentuk antibody-antigen komplek.
50
Poltekkes Kemenkes Jakarta III
Jurusan Analis Kesehatan
Reguler Sore, tahun 2016 – 2019
Laporan Praktek Lahan Imunoserologi
Jika dibandingakan antara tes TUBEX dengan uji Widal akan ditemukan beberapa hal
sebagai berikut:
Antigen yang digunakan pada tes TUBEX adalah anti-O9 s.typhi yang mampu
membedakan organisme ini dari >99% serotype bakteri salmonella lainnya,
sedangkan uji Widal menggunakan antigen yang tidak begitu spesifik terhadap
s.typhi sehingga dapat terjadi cross-reaction dengan kuman salmonella lainnya
misalnya pada pasien yang pernah menderita enteric fever lainnya. Reaksi ini
dinamakan anamnestic response dan dapat menimbulkan tingginya nilai false
positive. Hal ini menjawab alasan dari kurang spesifiknya uji Widal.
Dilihat dari metode yang digunakan oleh kedua tes, dimana TUBEX menggunakan
kemampuan inhibitor activities dari antibody dan uji Widal menggunakan reaksi
agglutinasi. Inhibitor activities memiliki keuntungan karena lebih mudah dideteksi
walaupun dengan kadar antibody yang rendah. Hal ini memberikan alasan mengapa
TUBEX lebih sensitive daripada uji Widal.
Single test pada uji Widal tidak begitu bermakna. Idealnya uji widal dilakukan dua
kali yaitu pada fase akut dan 7-10 hari setelahnya. Hal ini dikarenakan agglutinin O
dan H meningkat dengan tajam ±8 hari setelah onset panas pertama. Jika terjadi
empat kali peningkatan titer agglutinin baru dapat dikatakan hasilnya positive secara
signifikan. Sayangnya hal ini jarang ditemukan karena penggunaan antibiotik pada
awal penyakit bisa mencegah meningkatnya titer agglutinin. Hal ini berbeda dengan
tes TUBEX yang fokus mendeteksi Ig M yang secara teoritis muncul lebih awal
daripada Ig G. Bahkan penelitian terbaru mengatakan bahwa tes TUBEX yang
dimodifikasi mampu mendeteksi bukan hanya antibody melainkan antigen s.typhi ,
sehingga tes ini sangat berguna pada fase akut. Hal ini menyebabkan tingginya angka
sensitivitas tes TUBEX.
Meningkatnya penggunaan vaksin typhoid menyebabkan meningkatnya angka false
positive pada uji Widal. Hal ini terjadi karena meninggkatnya agglutinin level secara
persisten pada H agglutinin dan transient pada O agglutinin, yang terjadi baik pada
51
Poltekkes Kemenkes Jakarta III
Jurusan Analis Kesehatan
Reguler Sore, tahun 2016 – 2019
Laporan Praktek Lahan Imunoserologi
7. KESIMPULAN
Dari hasil praktikum, didapatkan kesimpulan bahwa hasil tubex tes atas nama pasien :
A. Tn. Dias : dinyatakan negatif
B. Nn. Hani : dinyatakan positif (4)
52
Poltekkes Kemenkes Jakarta III
Jurusan Analis Kesehatan
Reguler Sore, tahun 2016 – 2019
Laporan Praktek Lahan Imunoserologi
53
Poltekkes Kemenkes Jakarta III
Jurusan Analis Kesehatan
Reguler Sore, tahun 2016 – 2019