Laporan Praktek Lahan Imunoserologi I

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 53

Laporan Praktek Lahan Imunoserologi

LAPORAN PRAKTEK LAHAN IMUNOSEROLOGI

Dosen pengampu : 1. Retno Martini W, S.Si, M.Biomed


2. Drs. Chairlan, M.Biomed
3. Rizana P, M.Si.Med

DISUSUN OLEH :
KELOMPOK 5
KELAS A (REGULER SORE)

1. Rindy Antika : P3.73.34.1.16.033


2. Rizky Setya Wulandari : P3.73.34.1.16.034
3. Roh Hayatun : P3.73.34.1.16.035
4. Ruri Indriyani : P3.73.34.1.16.036
5. Ryan Yus Hendrawan : P3.73.34.1.16.037
6. Sri Ernawati : P3.73.34.1.16.038
7. Susanti : P3.73.34.1.16.039
8. Widjiatmi : P3.73.34.1.16.040

POLTEKKES KEMENKES JAKARTA III


DIII ANALIS KESEHATAN
TAHUN AJARAN 2016-2019

1
Poltekkes Kemenkes Jakarta III
Jurusan Analis Kesehatan
Reguler Sore, tahun 2016 – 2019
Laporan Praktek Lahan Imunoserologi

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas kasih
dan karunia-Nya kami dapat melaksanakan praktek lahan di AIC MIDC Kuningan, RS
Jakarta Medical Centre, RS Tugu Ibu, RS Mitra Keluarga Kelapa Gading, RSIA Anggrek
Mas, RSUD Bekasi, dan Puskesmas Kecamatan Menteng Jakarta Pusat. Praktek lahan
imunoserologi ini di selenggarakan dalam rangka kurikulum Program Diploma III Analis
Kesehatan di Poltekkes Kemenkes Jakarta III.
Praktek lahan ini diharapkan mampu menghasilkan tenaga Ahli Teknologi
Laboratorium Medik yang mampu bekerja secara professional sebagai pelaksana dalam
sistem pelayanan kesehatan, khususnya di bidang pelayanan laboratorium.
Program ini di harapkan mampu mengembangkan diri baik sebagai pribadi maupun
sebagai tenaga Analis Kesehatan yang mampu bekerja secara professional di dunia kesehatan.
Dalam kesempatan ini kami ingin mengucapkan terima kasih kepada semua pihak
yang sudah membantu terlaksananya praktek lahan ini.
Demikianlah laporan praktek lahan imunoserologi ini di buat. Semoga laporan
praktek lahan ini dapat bermanfaat untuk kita semua.

Jakarta, Maret 2018

Penyusun,

2
Poltekkes Kemenkes Jakarta III
Jurusan Analis Kesehatan
Reguler Sore, tahun 2016 – 2019
Laporan Praktek Lahan Imunoserologi

1. PEMERIKSAAN GOLONGAN DARAH METODE FORWARD

1. TUJUAN
Untuk Menentukan golongan darah pasien (A,B,O dan rhesus) berdasarkan antigen yang
ada pada eritrosit darah tersebut dengan menggunakan serum Anti A, Anti B, dan Anti AB
serta anti D (Rhesus)

2. PRINSIP

Reagen akan menyebabkan aglutinasi langsung (penggumpalan) sel uji sel darah merah
yang membawa antigen A, B, O yang sesuai.

3. ALAT DAN BAHAN


 Batang pengaduk
 Kartu golongan darah
 Mikropipet 20 ul
 Yellow tips
 Tissue
 Reagen Monoclonal IgM Anti-A (biru)
 Reagen Monoclonal IgM Anti-B (kuning)
 Reagen Monoclonal IgM Anti-AB (tidak berwarna/bening)
 Reagen Monoclonal IgM Anti-D (Rhesus) (tidak berwarna/bening)

4. CARA KERJA
1. Tuliskan identitas pada kartu golongan darah sesuai data pasien
2. Siapkan alat dan bahan yang digunakan
3. Pada kertas golongan darah diteteskan reagen anti A, anti B, anti AB dan anti D (Rh
faktor) masing-masing satu tetes pada kolom sesuai dengan namanya.
4. Setetes darah diteteskan kepada masing-masing reagen itu dan dicampur dengan
ujung batang pengaduk.
5. Kertas golongan darah digoyang dengan membuat gerakan lingkaran.
6. Perhatikan adanya aglutinasi berupa titik-titik halus seperti pasir yang akan terjadi
dengan mata belaka.
7. Pengamatan dilakukan dalam waktu 2 menit setelah percampuran serum dan darah
yang akan diperiksa.

3
Poltekkes Kemenkes Jakarta III
Jurusan Analis Kesehatan
Reguler Sore, tahun 2016 – 2019
Laporan Praktek Lahan Imunoserologi

Penilaian :

Ada aglutinasi : positif (+)

Tidak ada aglutinasi : negatif (-)

Pelaporan :

Aglutinasi terjadi pada Penilaian


anti-A anti-B anti-AB anti-D golongan darah Rh
+ - + + A Positif
- + + + B Positif
+ + + - AB Negatif
- - - - 0 Negatif

Anti AB Anti B Anti A Anti D Golongan Darah

AB

5. HASIL :
 Identitas Pasien
o Nama Pasien : Dewi Fitriana
o Umur : 44 tahun
o Alamat : KBIH BI
o Jenis kelamin : Perempuan

4
Poltekkes Kemenkes Jakarta III
Jurusan Analis Kesehatan
Reguler Sore, tahun 2016 – 2019
Laporan Praktek Lahan Imunoserologi

Gambar 1. Penulisan identitas pada kartu golongan darah

Gambar 2. Persiapan alat dan bahan

Gambar 3. Reagen golongan darah

Gambar 4. Pencampuran reagen dan darah

5
Poltekkes Kemenkes Jakarta III
Jurusan Analis Kesehatan
Reguler Sore, tahun 2016 – 2019
Laporan Praktek Lahan Imunoserologi

Gambar 5. Golongan darah AB Rh Positif

6. DISKUSI/PEMBAHASAN :

 Saat melakukan pemeriksaan, harus memperhatikan hal-hal penting yang dapat


mempengaruhi hasil yaitu :
 Menggunakan tip yang bersih (bukan tip bekas)
 Menggunakan tip yang sama untuk masing-masing anti sera, tip jangan ditukar
 Menjaga agar jangan sampai ada bekuan darah yang terhisap
 Jangan mencampur darah dengan antisera secara kasar sampai kartu golongan
darah terkelupas sehingga tampak seolah-olah ada aglutinasi. Bila terjadi hal
ini pemeriksaan harus diulang

 Terdapat tiga jenis darah dalam penggolongan sistem ABO, yaitu golongan darah
A, B, AB, dan O. Penggolongan ini ditentukan dari antigen dan antibodi yang
terdapat pada darah. Antigen dalam golongan darah (disebut juga aglutinogen)
terdapat pada eritrosit atau sel darah merah. Sedangkan antibodi dalam golongan
darah (disebut juga aglutinin) terdapat pada plasma darah.
 Golongan darah A memiliki antigen A pada eritrositnya dan memiliki antibodi
anti-B dalam plasmanya.
 Gongan darah B memiliki antigen B pada eritrositnya dan memiliki antibodi
anti-A dalam plasmanya.
 Golongan darah AB memiliki antigen A dan B pada eritrositnya, namun tidak
memiliki antibodi dalam plasmanya.

6
Poltekkes Kemenkes Jakarta III
Jurusan Analis Kesehatan
Reguler Sore, tahun 2016 – 2019
Laporan Praktek Lahan Imunoserologi

 Golongan darah O tidak memiliki antigen dalam eritrositnya, namun memiliki


antibodi anti-A dan anti-B dalam plasmanya.
 Lampiran gambar hasil pemeriksaan golongan darah :

Golongan Darah : A, Rhesus : Positif

Golongan Darah : B, Rhesus : Positif

Golongan Darah : B, Rhesus : Positif

7
Poltekkes Kemenkes Jakarta III
Jurusan Analis Kesehatan
Reguler Sore, tahun 2016 – 2019
Laporan Praktek Lahan Imunoserologi

Golongan Darah : O, Rhesus : Positif

7. KESIMPULAN
Dari hasil pengamatan, didapatkan kesimpulan bahwa golongan darah pasien atas nama
Ny. Dewi Fitriana adalah AB, Rhesus positif.

8
Poltekkes Kemenkes Jakarta III
Jurusan Analis Kesehatan
Reguler Sore, tahun 2016 – 2019
Laporan Praktek Lahan Imunoserologi

2. PEMERIKSAAN TES KEHAMILAN METODE ICT (CARIK CELUP)

1. TUJUAN
Untuk mendeteksi hormon hCG (human Chorionic Gonadothropin) dalam urin secara
kualitatif dengan metode immunokromatografi yang cepat dan sensitive, guna mendeteksi
kehamilan lebih dini.

2. PRINSIP
Alat berbentuk strip yang terdiri dari bantalan penyerap specimen, membrane dan bantalan
penyerap sisa reaksi. Bantalan penyerap specimen mengandung antibody monoclonal
Mouse anti-hCG yang dikonjugasi dengan zat warna Coloidal gold. Zona tes pada daerah
membrane dilapisi dengan antibody Goat anti-hCG dan zona control dilapisi dengan Goat
anti-Mouse IgG.
Selama pengetesan, specimen urin dihisap oleh bantalan penyerap specimen dan mengalir
melintasi daerah membrane sampai mencapai bantalan penyerap sisa reaksi dengan gaya
kapiler. Didalam bantalan penyerap specimen, hCG dalam specimen urin akan diikat oleh
Goat conjugat, membentuk kompleks kemudian bergerak menuju daerah membran.
Antibodi Goat anti hCG yang terikat pada zona tes akan menangkap kompleks tersebut,
membentuk sebuah garis berwarna merah uda yang menunjukkan adanya hCG dalam
specimen urin sebagai indikator terjadinya kehamilan. Tidak terbentuknya garis pada zona
tes tersebut menunjukkan tidak terdeteksinya hCG dalam specimen urin. Sebuah garis
berwarna merah muda yang tampak pada jendela control menunjukkkan bahwa test strip
berfungsi baik.

3. ALAT DAN BAHAN


 Timer
 Tissue
 Reagen Rapid Test HCG strip
 Sample Urin Pagi atas nama Ny. Mulyani dan Ny. Selfi

4. CARA KERJA
1) Siapkan semua alat dan bahan yang diperlukan

9
Poltekkes Kemenkes Jakarta III
Jurusan Analis Kesehatan
Reguler Sore, tahun 2016 – 2019
Laporan Praktek Lahan Imunoserologi

2) Buka kemasan strip reagen, dan beri label pada strip sesuai identifikasi sample pasien
3) Celupkan strip ke dalam sample urin dengan arah panah menghadap ke bawah selama
minimal 10 detik. Jangan mencelup melebihi batas garis MAX (maksimum)
4) Letakkan strip tersebut di atas tissue bersih dan kering yang sudah disediakan.
5) Tunggu sampai terbentuknya garis, tergantung pada konsentrasi dari hormone HCG
pada sample urin, hasil positif bisa didapatkan dalam waktu 10-30 detik. Hasil
negative harus ditunggu sampai 5 menit. Hasil tidak dapat jika sudah lebih dari 10
menit.
Pembacaan :

Negatif : Hanya terbentuk satu garis berwarna merah muda di bagian atas
(control) dan tidak terbentuk sama sekali pada bagian tes (bawah).
Hasilnya menunjukkan negatif hamil atau konsentrasi hCG dalam
specimen urin lebih kecil dari batas sensitifitas 25 mIU/ml

Positif : Selain terbentuk garis berwarna merah muda di bagian control (atas)
terbentuk juga garis merah muda di bagian tes (bawah). Hasil ini
menunjukkan positifhamil atau konsentrasi hCG dalam specimen sama
atau lebih besar dari sensitifitas 25 mIU/ml.

Invalid : Jika dalam waktu 5 menit tidak tampak garis berwarna merah muda
pada bagian control (atas) maupun tes, atau jika hanya garis tes yang
tampak, hasil tes dianggap tidak sah. Kemungkinan petunjuk
pemakaian tidak diikuti dengan seksama atau tes strip tersebut telah
rusak. Spesimen urin harus dites ulang dengan tes strip yang baru.

5. HASIL
 Identitas pasien
A. Nama Pasien : Ny. Mulyani
Umur : 26 tahun

B. Nama Pasien : Ny. Selfi


Umur : 35 tahun
10
Poltekkes Kemenkes Jakarta III
Jurusan Analis Kesehatan
Reguler Sore, tahun 2016 – 2019
Laporan Praktek Lahan Imunoserologi

Gambar 1. Persiapan Alat dan Bahan

Gambar 2. Pengecekan kondisi strip sebelum digunakan

11
Poltekkes Kemenkes Jakarta III
Jurusan Analis Kesehatan
Reguler Sore, tahun 2016 – 2019
Laporan Praktek Lahan Imunoserologi

Gambar 3. Pencelupan strip ke dalam urin

Gambar 4. Menunggu waktu pembacaan hasil

Gambar 5. Hasil sampel Ny. Selfi

12
Poltekkes Kemenkes Jakarta III
Jurusan Analis Kesehatan
Reguler Sore, tahun 2016 – 2019
Laporan Praktek Lahan Imunoserologi

Gambar 6. Hasil sampel Ny. Mulyani

6. DISKUSI/PEMBAHASAN

 Tes hanya digunakan untuk pengetesan secara in vitro


 Jangan pernah menggunakan strip yang sudah kadaluarsa
 Biarkan tes strip beberapa saat agar mencapai suhu ruang sebelum pengetesan
dimulai.
 Jangan menbuka bungkus kemasan tes strip sebelum pemeriksaan dilakukan.
 Gunakan wadah dari gelas atau plastik yang kering dan untuk menampung specimen
urin
 Spesimen urin yang akan digunakan dapat diambil pada waktu kapanpun sepanjang
hari namun urin pertama di pagi hari adalah yang lebih baik digunakan untuk
pengiriman karena mengandung konsentrasi hCG paling tinggi.
 Apabila tes tidak dapat dilakukan dengan segera, specimen urin dapat disimpan pada
suhu 2-80 C selama 72 jam. Sebelum dtgunakan, specimen urin tersebut harus
disamakan terlebih dahulu suhunya dengan suhu ruang (20-300 C)
 Tingkat HCG dalam urin Reaksi negatif palsu dapat terjadi bila spesimen sangat
tinggi. Ini biasanya terjadi ketika kadar HCG pasien mencapai puncak pada kehamilan
13-16 minggu. Jika ini dicurigai, seseorang dapat mencairkan satu tetes air kencing
dengan 10 tetes cairan garam dan tes ulang urin yang diencerkan dengan
menggunakan strip tes baru. Jika spesimen diencerkan memberikan hasil positif,
seseorang dapat menyimpulkan bahwa tes kehamilan adalah positif.
 Sampel urin dan strip tes bekas berpotensi menular. Ikuti setiap prosedur yang
ditetapkan laboratorium untuk penanganan dan pembuangan yang tepat.

13
Poltekkes Kemenkes Jakarta III
Jurusan Analis Kesehatan
Reguler Sore, tahun 2016 – 2019
Laporan Praktek Lahan Imunoserologi

7. KESIMPULAN :
Dari hasil praktikum didapatkan kesimpulan sebagai berikut :
Tes kehamilan terhadap sampel urin atas Ny. Mulyani dinyatakan Negatif
Tes kehamilan terhadap sampel urin atas Ny. Selfi dinyatakan positif

14
Poltekkes Kemenkes Jakarta III
Jurusan Analis Kesehatan
Reguler Sore, tahun 2016 – 2019
Laporan Praktek Lahan Imunoserologi

3. PEMERIKSAAN RHEMATOID FAKTOR (RF)

1. TUJUAN
Untuk mendeteksi adanya antibodi Rhematoid Faktor dalam darah secara kualitatif dan
kuantitatif. Antibodi ini muncul pada kasus penderita Rhematoid Arthritis.

2. PRINSIP
RF didasarkan pada reaksi imunologi antara ikatan IgG Latex dan Rheumatoid Faktor
dalam serum penderita. Jika dalam serum mengandung RF maka akan terbentuk
aglutinasi.

3. ALAT DAN BAHAN


 Slide Kaca warna hitam
 Rotator
 Mikropipet 50 uL
 Yellow tip
 Batang pengaduk
 Tissue
 Sampel : Serum atau Plasma
 RF Latex reagen
 Positive Kontrol RF
 Negative Kontrol RF

4. CARA KERJA
a. Kualitatif
1. Biarkan semua reagen dan serum mencapai suhu ruang sebelum digunakan.
2. Siapkan slide, teteskan satu tetes (50 uL) kontrol positif RF pada lingkaran
pertama
3. Teteskan satu tetes (50 uL) kontrol negatif pada lingkaran kedua.
4. Teteskan satu tetes (50 uL) sampel pada lingkaran ketiga dan seterusnya.
5. Tambahkan satu tetes reagen RF Latex pada setiap lingkaran ketiga dan
seterusnya.

15
Poltekkes Kemenkes Jakarta III
Jurusan Analis Kesehatan
Reguler Sore, tahun 2016 – 2019
Laporan Praktek Lahan Imunoserologi

6. Aduk rata dan goyangkan slide selama 3 menit, baca hasil pada tempat yang
terang.

b. Kuantitatif
1. Siapkan sedikitnya lima tabung reaksi : 1:2, 1:4, 1:8, 1:16, 1:32, dan seterusnya.
2. Encerkan sampel sesuai faktor pengenceran pada setiap tabung reaksi dengan
larutan saline. Catatan : Larutan salin harus dilarutkan dengan aquabidest
sebelum digunakan.
3. Teteskan satu tetes kontrol positif dan kontrol negatif pada lingkaran slide.
Teteskan satu tetes masing-masing sampel yang telah diencerkan sesuai faktor
pengenceran.
4. Tambahkan satu tetes reagen RF Latex pada masing-masing lingkaran slide
tersebut di atas.
5. Aduk rata, lalu goyangkan slide selama 3 menit dan baca hasil (pada tempat yang
terang).

Penilaian :

a. Kualitatif

 Negatif : Bila tidak terjadi aglutinasi

 Positif : Bila terjadi aglutinasi

b. Kuantitatif

 Negatif : Bila tidak terjadi aglutinasi

 Positif : Bila terjadi aglutinasi

Konsentrasi RF dalam serum dapat ditentukan dari titer pengenceran


serum tertinggi yang masih memberikan aglutinasi.

16
Poltekkes Kemenkes Jakarta III
Jurusan Analis Kesehatan
Reguler Sore, tahun 2016 – 2019
Laporan Praktek Lahan Imunoserologi

5. HASIL :
 Identitas pasien :
o Nama pasien : Ny. Sarah
o Umur : 56 tahun

Gambar 1. Reagen RF

Gambar 2. Pemipetan kontrol positif dan kontrol negatif

Gambar 3. Pemipetan sampel

17
Poltekkes Kemenkes Jakarta III
Jurusan Analis Kesehatan
Reguler Sore, tahun 2016 – 2019
Laporan Praktek Lahan Imunoserologi

Gambar 4. Penetesan reagen latex RF

Gambar 5. Hasil pemeriksaan RF kualitatif setelah dirotator

Gambar 5. Hasil pemeriksaan RF kuantitatif setelah dirotator

18
Poltekkes Kemenkes Jakarta III
Jurusan Analis Kesehatan
Reguler Sore, tahun 2016 – 2019
Laporan Praktek Lahan Imunoserologi

6. DISKUSI PEMBAHASAN :

 Faktor reumatoid (rheumatoid factor, RF) adalah immunoglobulin yang bereaksi


dengan molekul IgG. Karena penderita juga mengandung IgG dalam serum, maka RF
termasuk autoantibodi. Faktor penyebab timbulnya RF ini belum diketahui pasti,
walaupun aktivasi komplemen akibat adanya interaksi RF dengan IgG memegang
peranan yang penting pada rematik artritis (rheumatoid arthritis, RA) dan penyakit-
penyakit lain dengan RF positif. Sebagian besar RF adalah IgM, tetapi dapat juga
berupa IgG atau IgA.
 RF positif ditemukan pada 80% penderita rematik artritis. Kadar RF yang sangat
tinggi menandakan prognosis yang buruk dengan kelainan sendi yang berat dan
kemungkinan komplikasi sistemik.
 RF sering dijumpai pada penyakit autoimun lain, seperti LE, scleroderma,
dermatomiositis, tetapi kadarnya biasanya lebih rendah dibanding kadar RF pada
rematik arthritis. Kadar RF yang rendah juga dijumpai pada penyakit non-imunologis
dan orang tua (di atas 65 tahun).
 Uji RF tidak digunakan untuk pemantauan pengobatan karena hasil tes sering
dijumpai tetap positif, walaupun telah terjadi pemulihan klinis. Selain itu, diperlukan
waktu sekitar 6 bulan untuk peningkatan titer yang signifikan. Untuk diagnosis dan
evaluasi RA sering digunakan tes CRP dan ANA.
 PENINGKATAN KADAR : rematik arthritis, LE, dermatomiositis, scleroderma,
mononucleosis infeksiosa, leukemia, tuberculosis, sarkoidosis, sirosis hati, hepatitis,
sifilis, infeksi kronis, lansia.
 Pemeriksaan dengan metode ini menggunakan agglutination slide test menggunakan
latar hitam. Sedangkan sampel yang digunakan berupa sampel serum. Dalam
pemeriksaan RF dengan menggunakan aglutinasi tes dilakukan dengan dua tahap,
yaitu uji kualitatif dan uji semi kuantitatif.
 Uji kualitatif merupakan uji skrining atau tahap awal yang bertujuan untuk
mengetahui ada tidaknya RF (Rheumatoid Factor) yang merupakan penanda dari RA
(Rheumatoid Arthritis). Apabila didapatkan hasil yang negatif maka pemeriksaan
dihentikan. Namun apabila hasil menunjukkan hasil positif maka pemeriksaan
dilanjutkan ke uji semi kuantitatif. Uji semi kuantitatif dilakukan untuk mengetahui

19
Poltekkes Kemenkes Jakarta III
Jurusan Analis Kesehatan
Reguler Sore, tahun 2016 – 2019
Laporan Praktek Lahan Imunoserologi

titer atau kadar RF yang terkandung dalam sampel serum dengan teknik pengenceran
mulai dari ½ ,¼,1/8,1/16
 Pada uji kualitatif dilakukan dengan menggunakan RA Lateks yang diteteskan pada
slide card hitam. Serum yang sudah dikondisikan sebelumnya diteteskan pada slide
card hitam yang berisi RA lateks, namun jangan sampai kedua cairan tersebut (RA
lateks dan serum) tercampur karena dapat bereaksi lebih dahulu dan dipastikan kedua
cairan terpisah. Kemudian RA lateks dan serum yang sudah diteteskan terpisah diaduk
secara perlahan. Slide card hitam lalu digoyangkan selama 2 menit secaraperlahan
agar RA lateks dan serum bereaksi secacara sempurna dan merata diseluruh sisi. Jika
sudah perhatikan reaksi yang terjadi, hasil positif ditandai dengan adanya aglutinasi.

 Faktor yang dapat mempengaruhi temuan laboratorium :

1. Hasil uji RF sering tetap didapati positif, tanpa terpengaruh apakah telah terjadi
pemulihan klinis.
2. Hasil uji RF bisa positif pada berbagai masalah klinis, seperti penyakit kolagen,
kanker, sirosis hati.
3. Lansia dapat mengalami peningkatan titer RF, tanpa menderita penyakit apapun.
4. Akibat keanekaragaman dalam sensitivitas dan spesifisitas uji skrining ini, temuan
positif harus diinterpretasikan berdasarkan bukti yang terdapat dalam status klinis
pasien.

7. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil praktikum, maka pemeriksaan RF atas nama pasien tersebut


dinyatakan positif 1:4

20
Poltekkes Kemenkes Jakarta III
Jurusan Analis Kesehatan
Reguler Sore, tahun 2016 – 2019
Laporan Praktek Lahan Imunoserologi

4. PEMERIKSAAN ASO

1. TUJUAN
Mengetahui kadar antibodi terhadap Streptolisin O dalam darah yaitu suatu zat yang
dihasilkan oleh bakteri Streptococcus B.

2. PRINSIP

Uji ASO didasarkan pada reaksi imunologi antara streptococcal exoenzyme yang berikatan
dengan partikel latex dengan antibody streptococcal dalam sampel. Adanya aglutinasi
menunjukkan adanya antibody pada sampel.

3. ALAT DAN BAHAN


 Pengaduk
 Test Slide (berlatar belakang gelap)
 Mikropipet 20 µl
 Stopwatch
 Rotator
 Tabung serologi
 Pipet ukur
 Sampel : serum atas nama Ny. Risa

Reagensia :

-ASO Latex Reagent

-ASO Positive Control

-ASO Negative Control

-Glysine-Saline Buffer (20x) Ph = 8,2 ±0,1

21
Poltekkes Kemenkes Jakarta III
Jurusan Analis Kesehatan
Reguler Sore, tahun 2016 – 2019
Laporan Praktek Lahan Imunoserologi

4. CARA KERJA
A. KUALITATIF
1. Biarkan sampel dan reagen mencapai suhu ruang sebelum digunakan.
2. Siapkan slide, teteskan satu tetes 50 uL kontrol positif ASO pada lingkaran
pertama. Teteskan satu tetes (50 uL) kontrol negatif pada lingkaran kedua.
Teteskan satu tetes (50 uL) sampel pada lingkaran ketiga dan seterusnya.
3. Tambahkan satu tetes ASO Latex pada setiap lingkaran.
4. Aduk rata dan goyangkan slide selama 3 menit, baca hasil pada tempat yang
terang.

B. SEMI KUANTITATIF
1. Lakukan pemeriksaan dengan cara yang sama tetapi dengan serum yang diencerkan
(1:2, 1:4, 1:8, 1:16, dan seterusnya)
2. Hasil pemeriksaan sampel positif, dilanjutkan dengan pengenceran berseri :
-Diambil NaCl 0,85% 50 ul pada 6 tanda lingkaran slide
-Pada lingkaran pertama ditambahkan 50 ul serum, dicampur (2x)
-Dari lingkaran kedua, diambil 50 ul dicampur (4x)
-Dari lingkaran ketiga, diambil 50 ul lalu dicampur (8x)
-Dari lingkaran keempat , diambil 50 ul lalu dicampur (16x)
-Dari lingkaran kelima, diambil 50 ul lalu dicampur (32x)
-Ditambahkan masing-masing 1 tetes reagen latex, rotator 100 rpm 2 menit
3. Hasil positif terakhir di kalikan 200 IU/ml adalah di laporkan sebagai titer ASO
a. Control positif ASO berisi > 200 IU/ml.
b. Control Negatif ASO berisi < 200 IU/ml .

Penilaian :

A. KUALITATIF

 Negatif : Bila tidak terjadi aglutinasi

 Positif : Bila terjadi aglutinasi

B. SEMI KUATITATIF

 Negatif : Bila tidak terjadi aglutinasi


22
Poltekkes Kemenkes Jakarta III
Jurusan Analis Kesehatan
Reguler Sore, tahun 2016 – 2019
Laporan Praktek Lahan Imunoserologi

 Positif : Bila terjadi aglutinasi

Konsentrasi ASO dalam serum dapat ditentukan dari titer


pengenceran serum tertinggi yang masih memberikan
aglutinasi.

Titer sampel (IU/ml)

Konsentrasi Positif Kontrol x Titer pengenceran sampel

5. NILAI NORMAL :

 Usia dibawah 5 tahun : < 100 IU/ml

 Usia 5-7 tahun : 166 – 250 IU/ml

 Usia 17 tahun ke atas : < 200 IU.ml

 Titer Antistreptolisin-O biasanya akan muncul setelah satu minggu, dan akan terus
meningkat hingga 3-5 minggu dan kemudian menurun pada 6-12 bulan.

 Pada infeksi streptococcus akut, titer antistreptolisyn –O akan muncul setelah 1


minggu, dan akan terus meningkat pada minggu ke-3 sampai minggu ke-5 dan
kemudian menurun kembali setelah 6-12 bulan.

6. HASIL :
 Identitas pasien
o Nama Pasien : Tn. Arsyad
o Umur : 48 tahun
o Jenis kelamin : Laki-laki

23
Poltekkes Kemenkes Jakarta III
Jurusan Analis Kesehatan
Reguler Sore, tahun 2016 – 2019
Laporan Praktek Lahan Imunoserologi

Gambar 1. Reagen ASO

Gambar 2. Pemipetan sampel

Gambar 2. Pemipetan reagen


24
Poltekkes Kemenkes Jakarta III
Jurusan Analis Kesehatan
Reguler Sore, tahun 2016 – 2019
Laporan Praktek Lahan Imunoserologi

Gambar 3. Homogenisasi

Gambar 4. Hasil pemeriksaan kualitatif setelah di rotator

Gambar 5. Hasil pemeriksaan kuantitatif setelah dirotator

25
Poltekkes Kemenkes Jakarta III
Jurusan Analis Kesehatan
Reguler Sore, tahun 2016 – 2019
Laporan Praktek Lahan Imunoserologi

7. DISKUSI / PEMBAHASAN

 Streptolisin O adalah suatu antibodi yang di bentuk oleh tubuh terhadap suatu enzim
proteolitik. Streptolisin O yang diproduksi oleh hemolitik Streptococcus A group A
dan mempunyai aktivitas biologicmerusak dinding sel darah merah serta
mengakibakan terjadinya hemolisis.Streptolisin o adalah toksin yang merupakan dasar
sifat -βhemolitik organisme ini. Streptolisin O ialah racun sel yang
berpotensimempengaruhi banyak tipe sel termasuk netrofil, platelets dan organel
sel,menyebabkan respon imun dan penemuan antibodinya.
 Anti-Streptolisin O bisa di gunakan secara klinis untuk menegaskan infeksi yang baru
saja. Antibodi itu tidak merusak kuman dan tidak mempunyai dampak perlindungan,
tetapi adanya antibodi itu dalam serum menunjukkan bahwa di dalam tubuh baru saja
terdapat streptokokus yang aktif. Antibodi yang dibentuk adalah Antistreptolysin O
(ASO), Antihialuronidase (AH), Antistreptokinase (anti SK), antidesoksiribonuklease
B (AND B), dan anti nikotinamid adeninedinukleotidase (anti-NADase).
 Pemeriksaan ASTO (anti streptolisin O) merupakan suatu pemeriksaan darah yang
berfungsi untuk mengukur kadar antibodi terhadap streptolisin O, suatu zat yang
dihasilkan oleh bakteri Streptococcus grup A. Ada dua prinsip dasar penetuan ASTO,
yaitu:
a. Netralisasi/penghambat hemolisis Streptolisin O dapat menyebabkan hemolisis dari
sel darah merah,akan tetapi bila Streptolisin O tersebut di campur lebih dahulu
dengan serum penderita yang mengandung cukup anti streptolisin O sebelum
ditambahkan pada sel darah merah, maka streptolisin O tersebut akan dinetralkan
oleh ASO sehingga tidak dapat menibulkan hemolisis lagi.Pada tes ini serum
penderita di encerkan secara serial dan ditambahkan sejumlah streptolisin O yang
tetap (Streptolisin O diawetkan dengan sodium thioglycolate). Kemudian di
tambahkan suspensi sel darah merah 5%. Hemolisis akan terjadi pada pengenceran
serum di mana kadar/titer dari ASO tidak cukup untuk menghambat hemolisis
tidak terjadi pada pengencaran serum yang mengandung titer ASO yang tinggi.

26
Poltekkes Kemenkes Jakarta III
Jurusan Analis Kesehatan
Reguler Sore, tahun 2016 – 2019
Laporan Praktek Lahan Imunoserologi

b. Aglutinasi pasif Streptolisin O merupakan antigen yang larut. Agar dapat


menyebabkan aglutinasi dengan ASO. Maka Streptolisin O perlu di salutkan pada
partikel-partikel tertentu. Partikel yang sering dipakai yaitu partikel lateks.
Sejumlah tertentu Streptolisin O (yang dapat mengikat 200 IU/ml ASO) di
tambahkan pada serum penderita sehingga terjadi ikatan Streptolisin O – anti
Strepolisin O (SO – ASO). Bila dalam serum penderita terdapat ASO lebih dari
200 IU/ml,maka sisa ASO yang tidak terikat oleh Streptolisin O akan
menyebabkan aglutinasi dari streptolisin O yang disalurkan pada partikel – partikel
latex . Bila kadar ASO dalam serum penderita kurangdari 200 IU / ml , maka tidak
ada sisa ASO bebas yang dapat menyebabkan aglutinasi dengan streptolisin O pada
partikel – partikellatex. Tes hambatan hemolisis mempunyai sensitivitas yang
cukup baik,sedangkan tes aglutinasi latex memiliki sensitivitas yang sedang. Tes
aglutinasi latex hanya dapat mendeteksi ASO dengan titer di atas 200IU/ml.

 Diagnosa penyakit demam rematik (ASTO) perlu dilakukan pemeriksaan


laboratorium, diantaranya berupa pemeriksaan kadar LED (Laju Endap Darah),
CRP (C-Reaktive Factor), dan ASTO (Anti Streptolisin-O). Pemeriksaan tambahan
yang dapat dilakukan adalah sinar X, EKG dan echocardiography.

 Reagen :
- Reagen stabil hingga tanggal kadaluwarsa yang tertera pada label jika disimpan
dengan baik (pada suhu 2-8ºC). jangan dibekukan.

- Ketika mengocok reagen ASO latex, jangan sampai terbentuk gelembung.

- Jangan menggunakan reagen latex dan control jika telah terkontaminasi.

- Pembacaan hasil setelah 3 menit akan memperoleh hasil yang salah.

 Sampel :

- Gunakan serum segar.

- Jika serum tidak dapat langsung dikerjakan, simpan serum pada suhu 2-8ºC dan
tidak lebih dari 72 jamsetelah pengambilan sampel.

- Jangan menggunakan serum yang hemolysis dan telah terkontaminasi.

- Jangan menggunakan plasma.

27
Poltekkes Kemenkes Jakarta III
Jurusan Analis Kesehatan
Reguler Sore, tahun 2016 – 2019
Laporan Praktek Lahan Imunoserologi

 Pembacaan hasil pada tes aglutinasi lebih dari 5 menit menggunakan serum yang
lipemik, serta penyimpanan reagensia yang salah merupakan factor kesalahan
dalam pemeriksaan. Hasil pemeriksaan ASTO metode slide bernilai positif (+)
akan dilakukan pemeriksaan lanjutan (semi kuantitatif) dan hasil positif
pengenceran yang terakhir akan dikalikan 200 IU/ml.

 Sebaiknya serum yang digunakan adalah serum dari darah yang segar, dan tidak
boleh menunjukan adanya fibrin. Pada suhu 2-8o C masih dapat stabil selama 48
jam dan jika ditunda dalam waktu yang lama sebaiknya disimpan pada suhu -
20o C.

8. KESIMPULAN
Dari hasil praktikum maka dinyatakan bahwa hasil pemeriksaan ASO atas nama pasien
tersebut dinyatakan positif titer 1:8

28
Poltekkes Kemenkes Jakarta III
Jurusan Analis Kesehatan
Reguler Sore, tahun 2016 – 2019
Laporan Praktek Lahan Imunoserologi

5. PEMERIKSAAN CRP

1. TUJUAN

 Untuk mengetahui kadar CRP dalam satuan serum pasien


 Untuk mendeteksi adanya infeksi kerusakan jaringan, inflamasi
 Untuk membantu diagnosa infeksi bakteri atau peradangan (inflamasi)

2. PRINSIP
Aglutinasi pasif terbalik dimana latex dilapisi antibodi CRP dan yang dideteksi adalah
antigen CRP dalam serum dengan kadar tinggi, aglutinasi terlihat dalam waktu 2 menit.
antigen CRP di dalam serum akan bereaksi secara imunologis dengan antibodi anti-CRP
di dalam partikel lateks sehingga akan terjadi aglutinasi. Reaksi aglutinasi menunjukkan
adanya antigen CRP di dalam sampel serum yang diperiksa dan secara klinis
menunjukkan kemungkinan adanya reaksi peradangan

3. ALAT DAN BAHAN


 Slide tes dasar hitam

 Yellow tip
 Mikropipet
 Pipet tetes
 Batang Pengaduk
 Rotator
 Tabung reaksi dan rak
 Sentrifuge

BAHAN
 Sampel : Serum segar
 Reagen CRP latex
 Reagen kontrol positif CRP
 Reagen control negative CRP
 Batang pengaduk
 Glicine Buffer (20x)

29
Poltekkes Kemenkes Jakarta III
Jurusan Analis Kesehatan
Reguler Sore, tahun 2016 – 2019
Laporan Praktek Lahan Imunoserologi

4. CARA KERJA
A. KUALITATIF

1. Biarakan sampel dan reagent mencapai suhu ruang sebelum digunakan.


2. Teteskan 1 tetes (50 µL) serum (tanpa pengenceran) ke dalam lingkaran pada
glass slide.
3. Teteskan control positif dan negative pada lingkaran yang lain.
4. Kocok AIM CRP Latex Test sebelum digunakan, teteskan masing-masing 1 tetes
(50 µL) AIM CRP Latex Tes ke lingkaran berisi sampel, kontrol negatif, dan
kontrol positif.

B. SEMI-KUANTITATIF

1. Biarkan sampel dan reagent mencapai suhu ruang sebelum digunakan.


2. Teteskan 50 µL saline pada lingkaran 2 dan seterusnya.
3. Teteskan 50 µL sampel serum pada lingkaran 1.
4. Teteskan 50 µL sampel serum pada lingkaran 2 yang sudah ada 50 µLsaline.
Kemudian lakukan seri pengenceran, caranya dengan mencampur rata larutan
saline dan specimen pada lingkaran 2 dengan pipet, kemudian pindahkan 50 µL
cairan ke lingkaran 3, campur rata lagi, dan pindahkan 50 µL cairan ke lingkaran
4 dan seterusnya. Buanglah cairan pada seri pengenceran terakhir. Hindari
terjadinya gelembung udara pada saat pengenceran berlangsung.
5. Atau buatlah terlebih dahulu seri/titer pengenceran sampel serum = 1:2, 1:4, 1:8,
1:16 dan seterusnya. Lalu teteskan 1 tetes (50 µL) serum yang telah diencerkan
tersebut ke slide test.
6. Kocok AIM CRP Latex Test sebelum digunakan, teteskan masing-masing 1 tetes
(50 µL) AIM CRP Latex Test ke setiap lingkaran berisi seri pengenceran sampel.
7. Aduk campuran tersebut dengan menggunakan batang pengaduk, sebarkan cairan
dalam masing-masing lingkaran dengan menggunakan ujung pipet pengaduk yang
datar. Mulailah dengan pengenceran terbesar ke pengenceran terkecil.
8. Baca hasil tes pada 3 menit.

30
Poltekkes Kemenkes Jakarta III
Jurusan Analis Kesehatan
Reguler Sore, tahun 2016 – 2019
Laporan Praktek Lahan Imunoserologi

Pembacaan hasil :

Kualitatif
 Positif : Terbentuk aglutinasi (setara dengan 0,8 mg/dl)
 Negatif : Tidak terbentuk aglutinasi

Semi kuantitatif
 Konsentrasi sampel
= Konsentrasi kontrol positif (0,8 mg/dl) x titer pengenceran
sampel
 Titer pengenceran sampel adalah titer pengenceran tertinggi pada
sampel yang masih memberiksan reaksi aglutinasi.
 Konsentrasi control (+) = 0.8 mg/dl
 Nilai Normal : 0 – 0.8 mg/dl

5. HASIL
Identitas pasien
Sample 1 :
 Nama Pasien : Tn. Dias
 Umur : 29 tahun
 Jenis kelamin : laki-laki

Sampel 2 :
 Nama Pasien : Ny. Sarah
 Umur : 39 tahun
 Jenis kelamin : Perempuan

31
Poltekkes Kemenkes Jakarta III
Jurusan Analis Kesehatan
Reguler Sore, tahun 2016 – 2019
Laporan Praktek Lahan Imunoserologi

Gambar 1. Persiapan alat dan bahan

Gambar 2. Pengujian Kualitatif

Gambar 3. Hasil Pengujian Kualitatif (sampel 1)

32
Poltekkes Kemenkes Jakarta III
Jurusan Analis Kesehatan
Reguler Sore, tahun 2016 – 2019
Laporan Praktek Lahan Imunoserologi

Gambar 4. Hasil Pengujian kualitatif (sampel 2)

Gambar 5. Hasil Pengujian Semi Kuantitatif (sampel 1)

6. DISKUSI/PEMBAHASAN

 Hanya digunakan untuk diagnosis in vitro


33
Poltekkes Kemenkes Jakarta III
Jurusan Analis Kesehatan
Reguler Sore, tahun 2016 – 2019
Laporan Praktek Lahan Imunoserologi

 Sampel selalu diperlakukan sebagai bahan infeksius.


 Buang seluruh peralatan reaksi yang telah dipakai ke dalam wadah biohazard atau
dengan mengauto-klaf paling sedikit 1 jam atau direndam dalam larutan Natrium
Hipoklorit 0,5-1,0% selama 1 jam sebelum dibuang.
 Sampel harus diperiksa sesegera mungkin, setelah ditampung. Spesimen dapat
disimpan sampai 72 jam pada suhu 2-80 C
 Jangan membekukan dan mencairkan specimen lebih dari satu kali.
 Jangan menggunakan sampel serum yang terkontaminasi terhemolisis/lipemik.
 Jangan menggunakan sampel plasma.
 Sensitifitas : 95,6% dan spesifitas reagen : 96,2%
 Linearitas : 25 mg/dl
 Tidak ada efek prozone yang terdeteksi lebih dari 1.600 mg/dl
 Hb (10 mg/dl) , bilirubin (20 mg/dl) dan lipemia (10 mg/dl) tidak menimbulkan cross
reaksi dengan AIM CRP Latex Test. Rhematoid factor (100 IU/ml) dapat
menimbulkan cross reaksi dengan AIM CRP Latex Test.
 Hasil false positif dapat Nampak pada pembacaan lebih dari 3 menitdan juga karena
adanya reagen yang mongering.
 Konsentrasi CRP yang sangat tinggi pada sampel dapat mengakibatkan hasil yang
false negative (prozone effect), ulangi pengetesan sampel dengan menggunakan
volume serum tiap tetes 20 µL. Jika tebentuk aglutinasi kuat/lemah) menunjukkan
hasil positiftetapi tidak menunjukkan konsentrasi CRP pada sampel.
 Hasil diagnosis tidak boleh hanya berdasarkan hasil satu pengujian saja, tetapi harus
ditetapkan berdasarkan seluruh uji klinis dan uji laboratorium yang telah dievaluasi.
 CRP (C-reactive protein /protein C-reaktif) adalah suatu protein plasma (alfa-
globulin) yang diproduksi oleh hati sebagai respon adanya infeksi, kerusakan
jaringan atau inflamasi.Kadar CRP akan meningkat tajam di dalam serum saat 6 jam
setelah terjadinya inflamasi danselama proses inflamasi sistemik berlangsung. Kadar
CRP dalam serum dapat meningkat duakali lipat sekurang-kurangnya setiap 8 jam
dan mencapai puncaknya setelah kira-kira 48-72 jam. Setelah diberikan pengobatan
yang efektif dan rangsangan inflamasi hilang, maka kadar CRP akan turun /
menghilang secepatnya seiring dengan proses kesembuhan.
 CRP digunakan terutama sebagi penanda peradangan. Selain gagal hati, ada beberapa
factor yang diketahui yang mengganggu produksi CRP. Mengukur dan mencatat
34
Poltekkes Kemenkes Jakarta III
Jurusan Analis Kesehatan
Reguler Sore, tahun 2016 – 2019
Laporan Praktek Lahan Imunoserologi

nilai CRP dapat berguna dalam menenyukan perkembangan penyakit atau efektivitas
pengobatan.
 C-Reaktif Protein atau CRP merupakan pertanda adanya inflamasi sistemik yang
sangat sensitive. Peningkatan kadar CRP sangat berhubungan kuat dengan adanya
penyakit jantung koroner ,MCI, stroke dan kematian mendadak karena jantung
Pemeriksaan C-Reactive Protein atau CRP kualitatif yaitu pemeriksaan terhadap
keberadaan suatu reaktan fase akut, yakni CRP di dalam serum. Konsentrasi serum
CRP akan meningkat setelah proses inisiasi inflamatori. Pemeriksaan ini memiliki
sensitifitas yang baik, namun bukan indikator yang spesifik pada kondisi terjadinya
luka akut, infeksi bakteri, atau inflamasi.
 Manfaat pemeriksaan ini untuk Mendeteksi Pelvic Inflammatory Disease (PID),
apendidtis akut, dan sepsis (pada pasien kritis); menentukan faktor risiko penyakit
vaskular, terutama penyakit jantung koroner (PJK); dan memantau kondisi post-
operasi Nilai normalnya pria < 0.55 mg/L dan wanita < 1,5 mg/dl.
 Prosedur Tes CRP dapat dilakukan secara manual menggunakan metode aglutinasi
atau metode lain yang lebih maju, misalnya sandwich imunometri.
 Dalam pemeriksaan CRP denagn metode lateks aglutination ini digunakan slide test
berlatar belakang gelap yang telah berisi beberapa lingkaran sebagai tempat
mereaksikan antigen dalam serum dan antibodi anti-CRP pada reagen lateks.
 Latar belakang gelap bertujuan untuk mempermudah pengamatan, karena campuran
yang terbentuk dari homohenisasi reagen lateks dan serum berwarna putih. Reaksi
positif ditandai dengan adanya aglutinasi. Reaksi aglutinasi ditunjukkan dengan
terbentuknya butir-butir halus seperti pasir pada campuran.
 Dalam setiap pengujian CRP , harus selalu disertakan serum kontrol positif dan
serum kontrol negatif. Serum kontrol positif merupakan serum standar yang positif
mengandung CRP, sedangkan serum control negatif merupakan serum standar yang
tidak mengandung CRP. Kedua serum ini diperlakukan sama seperti sampel
(direaksikan dengan reagen lateks). kedua kontrol serum ini berfungsi sebagai
pembanding sehingga lebih mudah menginterpretasikan reaksi yang terjadi pada
sampel yang diuji (apakah positif atau negatif). aglutinasi yang terjadi pada sampel
dibandingkan dengan serumkontrol positif dan serum kontrol negatif. Apabila
terbentuk ciri-ciri seperti yang ditunjukkan serum kontrol positif, maka hasil

35
Poltekkes Kemenkes Jakarta III
Jurusan Analis Kesehatan
Reguler Sore, tahun 2016 – 2019
Laporan Praktek Lahan Imunoserologi

pemeriksaan sampel adalah positif, namun jika ciri-ciri reaksi yang terjadilebih
menyerupai serum kontrol negatif, maka hasilnya negatif
 Terlebih dahulu dilakukan pemeriksaan CRP secara kualitatif. Pemeriksaan ini
dilakukan untuk mengetahui secara kasar ada tidaknya antigen CRP di dalam sampel
serum yang diperiksa. Jika dalam pemeriksaan CRP secara kualitatif diperoleh hasil
positif, maka dilanjutkan dengan pemeriksaan secara semi-kuantitatif untuk
menentukan kadar CRP di dalam sampel serum tersebut.

 Tes sandwich imunometri dilakukan dengan mengukur intensitas warna


menggunakan Nycocard Reader. Berturut-turut sampel (serum, plasma, whole blood)
dan konjugat diteteskan pada membran tes yang dilapisi antibodi mononklonal
spesifik CRP. CRP dalam sampel tangkap oleh antibodi yang terikat pada konjugat
gold colloidal particle. Konjugat bebas dicuci dengan larutan pencuci (washing
solution). Jika terdapat CRP dalam sampel pada level patologis, maka akan terbentuk
warna merah-coklat pada area tes dengan intensitas warna yang proporsional
terhadap kadar. Intensitas warna diukur secara kuantitatif menggunakan NycoCard
reader II.
 Nilai rujukan normal CRP dengan metode sandwich imunometri adalah < 5 mg/L

7. KESIMPULAN

Dari hasil praktikum, didapatkan kesimpulan bahwa :


Sample 1 :
 Nama Pasien : Tn. Dias
 Umur : 29 tahun
 Jenis kelamin : laki-laki
 Hasil CRP Positif 1:8

Sampel 2 :
 Nama Pasien : Ny. Sarah
 Umur : 39 tahun
 Jenis kelamin : Perempuan
 Hasil CRP Negatif
36
Poltekkes Kemenkes Jakarta III
Jurusan Analis Kesehatan
Reguler Sore, tahun 2016 – 2019
Laporan Praktek Lahan Imunoserologi

6. PEMERIKSAAN WIDAL

1. TUJUAN
Untuk mendeteksi adanya antigen bakteri Salmonella sp dalam serum pasien yang dapat
menyebabkan demam thypoid

2. PRINSIP
Suatu cara penetapan semi kuantitatif antibody yang spesifik terhadap antigen fibril.
Dibuat satu seri pengenceran serum pasien yang kemudian ditambah suspensi antigen
dengan volume tertentu. Titer antibody pasien adalah pengenceran terakhir dari serum
yang masih memberikan aglutinasi.

3. ALAT DAN BAHAN


 Batang pengaduk
 Mikropipet (40ul, 20ul, 10ul, 5ul)
 Tabung sentrifuge
 Tip kuning
 Sentrifuge
Reagen widal
1. Suspensi antigen O Salmonela typhi
2. Suspensi antigen H Salmonela typhi
3. Suspensi antigen AO Salmonela paratyphi
4. Suspensi antigen AH Salmonela paratyphi
5. Suspensi antigen BO Salmonela paratyphi
6. Suspensi antigen BH Salmonela paratyphi
7. Suspensi antigen CO Salmonela paratyphi
8. Suspensi antigen CH Salmonela paratyphi

4. CARA KERJA

1. Disiapkan slide yang kering dan bersih dengan 4 (empat) lingkaran


37
Poltekkes Kemenkes Jakarta III
Jurusan Analis Kesehatan
Reguler Sore, tahun 2016 – 2019
Laporan Praktek Lahan Imunoserologi

2. Dengan mikropipet dimasukkan reagen widal dengan volume 40 ul ke dalam


lingkaran-lingkaran tadi.
3. Selanjutnya dimasukkan serum dengan tingkat titer 1/80 dengan volume sampel 20
ul.
4. Di campur homogen dan di goyang
5. Apabila hasil (+) aglutinasi, dilanjutkan lagi dengan tingkatan titer selanjutnya yaitu
1/160 dan 1/320
6. Di campur dan di goyang.
7. Catat dan laporkan hasil
Catatan : pemeriksaan tidak boleh dilakukan dengan waktu lebih dari 1 menit, karena
apabila lebih dapat menimbulkan hasil positif palsu.

6. HASIL
Identitas pasien
 Nama Pasien : An. Diandra
 Umur : 9 tahun
 Jenis kelamin : laki-laki

Gambar 1. Persiapan reagen widal

38
Poltekkes Kemenkes Jakarta III
Jurusan Analis Kesehatan
Reguler Sore, tahun 2016 – 2019
Laporan Praktek Lahan Imunoserologi

Gambar 2. Pemipetan reagen widal

Gambar 3. Pemipetan sampel

Gambar 4. Homogenisasi
39
Poltekkes Kemenkes Jakarta III
Jurusan Analis Kesehatan
Reguler Sore, tahun 2016 – 2019
Laporan Praktek Lahan Imunoserologi

Gambar 5. Menunggu dirotator

Gambar 6. Pembacaan hasil

6. DISKUSI/PEMBAHASAN

 Antigen yang digunakan pada tes widal ini berasal dari suspense salmonella
yang sudah dimatikan dan diolah dalam laboratorium. Dengan jalan

40
Poltekkes Kemenkes Jakarta III
Jurusan Analis Kesehatan
Reguler Sore, tahun 2016 – 2019
Laporan Praktek Lahan Imunoserologi

mengencerkan serum, maka kadar anti dapat ditentukan. Pengenceran tertinggi


yang masih menimbulkan reaksi aglutinasi menunjukkan titer antibodi dalam
serum.
 Tekhnik pemeriksaan uji widal dapat dilakukan dengan dua metode yaitu uji
hapusan/ peluncuran (slide test) dan uji tabung (tube test). Perbedaannya, uji
tabung membutuhkan waktu inkubasi semalam karena membutuhkan teknik
yang lebih rumit dan uji widal peluncuran hanya membutuhkan waktu
inkubasi 1 menit saja yang biasanya digunakan dalam prosedur penapisan.
Umumnya sekarang lebih banyak digunakan uji widal peluncuran.
 Sensitivitas dan spesifitas tes ini amat dipengaruhi oleh jenis antigen yang
digunakan. Menurut beberapa peneliti uji widal yang menggunakan antigen
yang dibuat dari jenis strain kuman asal daerah endemis (local) memberikan
sensitivitas dan spesifitas yang lebih tinggi daripada bila dipakai antigen yang
berasal dari strain kuman asal luar daerah enddemis (import). Walaupun
begitu, menurut suatu penelitian yang mengukur kemampuan Uji Tabung
Widal menggunakan antigen import dan antigen local, terdapat korelasi yang
bermakna antara antigen local dengan antigen S.typhi O dan H import,
sehingga bisa dipertimbangkan antigen import untuk dipakai di laboratorium
yang tidak dapat memproduksi antigen sendiri untuk membantu menegakkan
diagnosis Demam tifoid.
 Antibodi Salmonela mulai muncul dalam serum pada minggu pertama dan
meningkat pada minggu ke-3. pada kasus demam tifoid akut antibodi
salmonela O biasanya sudah dapat terdeteksi pada hari ke 6-8 setelah
timbulnya demam dan antibodi H dapat terdeteksi setelah 10-12 hari.
 Pada pemeriksaan uji widal dikenal beberapa antigen yang dipakai sebagai
parameter penilaian hasil uji Widal. Berikut ini penjelasan macam antigen
tersebut :
1. Antigen O
Antigen O merupakan somatik yang terletak di lapisan luar tubuh
kuman. Struktur kimianya terdiri dari lipopolisakarida. Antigen ini tahan
terhadap pemanasan 100°C selama 2–5 jam, alkohol dan asam yang encer.

2. Antigen H
41
Poltekkes Kemenkes Jakarta III
Jurusan Analis Kesehatan
Reguler Sore, tahun 2016 – 2019
Laporan Praktek Lahan Imunoserologi

Antigen H merupakan antigen yang terletak di flagela, fimbriae atau


fili S. typhi dan berstruktur kimia protein. S. typhi mempunyai antigen H
phase-1 tunggal yang juga dimiliki beberapa Salmonella lain. Antigen ini tidak
aktif pada pemanasan di atas suhu 60°C dan pada pemberian alkohol atau
asam.

3. Antigen Vi
Antigen Vi terletak di lapisan terluar S. typhi (kapsul) yang melindungi
kuman dari fagositosis dengan struktur kimia glikolipid, akan rusak bila
dipanaskan selama 1 jam pada suhu 60°C, dengan pemberian asam dan fenol.
Antigen ini digunakan untuk mengetahui adanya karier.

4. Outer Membrane Protein (OMP)


Antigen OMP S typhi merupakan bagian dinding sel yang terletak di
luar membran sitoplasma dan lapisan peptidoglikan yang membatasi sel
terhadap lingkungan sekitarnya. OMP ini terdiri dari 2 bagian yaitu protein
porin dan protein nonporin. Porin merupakan komponen utama OMP, terdiri
atas protein OMP C, OMP D, OMP F dan merupakan saluran hidrofilik yang
berfungsi untuk difusi solut dengan BM < 6000. Sifatnya resisten terhadap
proteolisis dan denaturasi pada suhu 85–100°C. Protein nonporin terdiri atas
protein OMP A, protein a dan lipoprotein, bersifat sensitif terhadap protease,
tetapi fungsinya masih belum diketahui dengan jelas.

 Salah satu kelemahan yang amat penting dari penggunaan uji widal sebagai
sarana penunjang diagnosis demam typhpid yaitu spesifitas yang agak rendah
dan kesukaran untuk menginterpretasikan hasil tersebut, sebab banyak factor
yang mempengaruhi kenaikan titer. Selain itu antibodi terhadap antigen H
bahkan mungkin dijumpai dengan titer yanglebih tinggi, yang disebabkan
adanya reaktifitas silang yang luas sehingga sukar untuk diinterpretasikan.
Dengan alas an ini maka pada daerah endemis tidak dianjurkan pemeriksaan
antibodi H S.typhi, cukup pemeriksaan titer terhadap antibodi O S.typhi.

 Titer widal biasanya angka kelipatan : 1/32 , 1/64 , 1/160 , 1/320 , 1/640.
42
Poltekkes Kemenkes Jakarta III
Jurusan Analis Kesehatan
Reguler Sore, tahun 2016 – 2019
Laporan Praktek Lahan Imunoserologi

Peningkatan titer uji Widal 4 x (selama 2-3 minggu) : dinyatakan (+).


Titer 1/160 : masih dilihat dulu dalam 1 minggu kedepan, apakah ada
kenaikan titer. Jika ada, maka dinyatakan (+).
Jika 1 x pemeriksaan langsung 1/320 atau 1/640, langsung dinyatakan (+) pada
pasien dengan gejala klinis khas.

 Interprestasi tes widal harus memperhatikan beberapa factor yaitu sensitivitas,


stadium penyakit; factor penderita seperti status imunitas dan status gizi yang
dapat mempengaruhi pembentukan antibody; gambaran imunologis dari
masyarakat setempat (daerah endemis atau non-endemis); factor antigen;
teknik serta reagen yang digunakan.

 Tes Widal mempunyai sensitivitas dan spesifisitas moderat (± 70%), dapat


negative palsu pada 30% kasus demam tifoid dengan kultur positif.
Tes Widal negative palsu dapat terjadi pada:
1. Carrier tifoid
2. Jumlah bakteri hanya sedikit sehingga tidak cukup memicu produksi
antibody pada host.
3. Pasien sudah mendapatkan terapi antibiotika sebelumnya

 Tes Widal positif palsu dapat terjadi pada:


1. Imunisasi dengan antigen Salmonella
2. Reaksi silang dengan Salmonella non tifoid
3. Infeksi malaria, dengue atau infeksi enterobacteriaceae lain

-Bila penyimpanan suspensi tidak sesuai temperatur di atas dapat merusak reagen.

-Serum specimen tidak boleh dipanaskan karena akan menginaktifkan atau


merusak antibody di dalamnya.

7. KESIMPULAN

Dari pemeriksaan pasien terjadi aglutinasi (positif) pada Salmonella paratyphi B


antigen H, dan tidak terjadi aglutinasi (negative) pada Salmonella lainnya.

43
Poltekkes Kemenkes Jakarta III
Jurusan Analis Kesehatan
Reguler Sore, tahun 2016 – 2019
Laporan Praktek Lahan Imunoserologi

7. PEMERIKSAAN TUBEX

1. TUJUAN
untuk deteksi Demam Tifoid akut yang disebabkan oleh salmonella typhi, melalui deteksi
spesifik adanya serum antibodi lgM Salmonella typhi.

2. PRINSIP
ketika partikel magnet yang diselimuti oleh antigen (s.typhi LPS) dicampurkan dengan
blue latex antibody-coated indicator particle yang diselimuti oleh anti-s typhi LPS (O9)
antibody, maka kedua jenis partikel ini akan berikatan satu dengan yang lain. Ketika pada
akhir eksperimen tabung berbentuk V tempat terjadinya proses reaksi diatas diletakan
diatas magnet stand, maka antigen-coated magnetic particle akan tersedimentasi dibawa
tabung. Begitu juga blue latek particle yang telah berikatan dengan antigen-coated
magnetic particle akan ikut tersedimentasi pada bagian bawah tabung. Sehingga terjadi
perubahan warna dari biru menjadi merah. Hal ini menunjukan tidak adanya anti-s typhi
O9 antibody pada serum milik pasien dan hasil reaksi dikatakan negative (pasien tidak
terindikasi menderita demam tifoid).

3. ALAT DAN BAHAN


 Mikropipet (40 dan 90 µl)
 Yellow tip
Bahan
 Sampel serum
 Tubex TF reagen
 Reagen biru
 Reagen coklat
 Kontrol positif dan negative
 Skala warna strip wall reaction
 Tape sealing

4. CARA KERJA

1. Lakukan identifikasi dan siapkan bahan specimen yang akan diperiksa.


44
Poltekkes Kemenkes Jakarta III
Jurusan Analis Kesehatan
Reguler Sore, tahun 2016 – 2019
Laporan Praktek Lahan Imunoserologi

2. Tuliskan identitas pasien pada reaction well


3. Pipet 45 µl antigen coated magnetic particle (brown reagent) masukkan ke dalam well
reaction yang disediakan (satu set yang terdiri dari enam tabung berbentuk V).
4. Tambahkan 45µl serum sampel (serum harus jernih) ke dalam sumur yang sudah
berisi reagen, lalu campurkan keduanya dengan menggunakan pipette tip.
5. Inkubasi dalam 2 menit.
6. Tambahan 90 µl antibody coated indikator partikel (blue reagent)
7. Tutup tempat reaksi tersebut dengan menggunakan strip, lalu ubah posisi tabung dari
vertical menjadi horizontal dengan sudut 90º.
8. Goyang-goyangkan tabung kedepan dan kebelakang selama 2 menit.
9. Pada akhir proses reaksi ini tabung berbentuk V ini diletakkan diatas rotator tubex
selama 2 menit.
10. Didiamkan 5 menit untuk terjadi proses pemisahan (pengendapan) di atas color scale.
11. Pembacaan skor hasil dari reaksi ini dilakukan dengan cara mencocokkan warna yang
terbentuk pada akhir reaksi dengan skor yang tertera pada color scale.

Interpretasi Hasil:
Negatif : Perubahan warna yang terjadi < 4
Positif : Perubahan warna yang terjadi = 4 atau lebih jika dibandingkan dengan skala
pada tubex color sale.
Keluarkan hasil dengan nilai angka, sesuai perubahan warna yang sesuai
dengan skala pada tubex color sale (2, 4, 6, 8, 10)

5. HASIL
Identitas pasien
A. Nama Pasien : Tn. Dias
Umur : 29 tahun
Jenis kelamin : laki-laki

B. Nama Pasien : Nn. Hani


Umur : 20 tahun
Jenis kelamin : perempuan

45
Poltekkes Kemenkes Jakarta III
Jurusan Analis Kesehatan
Reguler Sore, tahun 2016 – 2019
Laporan Praktek Lahan Imunoserologi

Gambar 1. SOP Pemeriksaan

Gambar 2. Persiapan reagen

Gambar 3. Penambahan reagen coklat 45 uL

46
Poltekkes Kemenkes Jakarta III
Jurusan Analis Kesehatan
Reguler Sore, tahun 2016 – 2019
Laporan Praktek Lahan Imunoserologi

Gambar 5. Inkubasi 2 menit

Gambar 6. Perubahan warna setelah inkubasi 2 menit

47
Poltekkes Kemenkes Jakarta III
Jurusan Analis Kesehatan
Reguler Sore, tahun 2016 – 2019
Laporan Praktek Lahan Imunoserologi

Gambar 7. Penambahan blue reagen sebanyak 90,0 uL

Gambar 8. Dihomogenkan dengan shaker selama 2 menit

Gambar 9. Menunggu waktu pembacaan hasil

48
Poltekkes Kemenkes Jakarta III
Jurusan Analis Kesehatan
Reguler Sore, tahun 2016 – 2019
Laporan Praktek Lahan Imunoserologi

Gambar 10. Hasil Tubex an Tn. Dias

Gambar 10. Hasil Tubex an Nn. Hani (No.4)

6. DISKUSI / PEMBAHASAN

 TUBEX merupakan alat diagnostik demam tifoid yang diperoduksi oleh IDL Biotech,
Sollentuna, Sweden. Tes ini sangat cepat 5-10 min, simpel, dan akurat. Tes TUBEX
ini menggunakan sistem pemeriksaan yang unik dimana tes ini mendeteksi serum
antibody immunoglobulin M (Ig M) terhadap antigen O9 (LPS) yang sangat spesifik
terhadap bakteri salmonella typhi. Metode dari tes TUBEX ini adalah mendeteksi
antibody melalui kemampuannya untuk memblok ikatan antara reagent monoclonal
anti-O9 s.typhi (antibody-coated indicator particle) dengan reagent antigen O9 s.typhi
(antigen-coated magnetic particle) sehingga terjadi pengendapan dan pada akhirnya
tidak terjadi perubahan warna.

49
Poltekkes Kemenkes Jakarta III
Jurusan Analis Kesehatan
Reguler Sore, tahun 2016 – 2019
Laporan Praktek Lahan Imunoserologi

 Secara imunologi, antigen O9 bersifat imunodominan. Antigen ini dapat merangsang


respons imun secara independen terhadap timus, pada bayi, dan merangsang mitosis
sel B tanpa bantuan dari sel T. Karena sifat-sifat ini, respon terhadap antigen O9
berlangsung cepat sehingga deteksi terhadap anti-O9 dapat dilakukan lebih dini, yaitu
pada hari ke 4-5 untuk infeksi primer dan hari ke 2-3 untuk infeksi sekunder.

 Dasar konsep antibodi lgM spesifik terhadap salmonella typhi digunakan sebagai
marker penanda TUBEX TF menurut beberapa peneliti: kadar ketiga
kelas immunoglobin anti Lipopolisakarida (lgA, lgG dan lgM) lebih tinggi pada
pasien tifoid dibandingkan kontirol;pengujian lgM antipolisakarida memberikan hasil
yang berbeda bermakna antara tifoid dan non tifoid.
 Dalam diagnosis serologis Demam Tifoid, deteksi antibodi lgM adalah lebih baik
karena tidak hanya meningkat lebih awal tetapi juga lebih cepat menurun sesuai
dengan fase akut infeksi, sedangkan antibodi lgG tetap bertahan pada fase
penyembuhan. TUBEX TF mendeteksi antibodi lgM dan bukan lgG. Hal ini membuat
sangat bernilai dalam menunjang diagnosa akut.
 tes TUBEX tidak hanya mendeteksi adanya antibody anti-O9 spesifik s.typhi saja,
melainkan juga dapat mendeteksi antigen O9 spesifik s.typhi. Hal ini membuat
TUBEX menjadi sangat unik karena kemampuannya untuk mendeteksi baik antibody
maupun antigen. Secara teoritis hal ini sangatlah penting untuk dignostik serologi
pada fase akut. Mengingat bahwa secara teori antigenlah yang terlebih dahulu muncul
daripada antibody diawal mulainya terjadi infeksi.
 Sangatlah penting untuk mengambil sampel serum pada hari-hari awal saat onset
panas mulai muncul. Mengingat pada saat itulah antigen banyak terdapat pada serum
pasien, jika telat dilakukan pengambilan sampel maka antigen didalam serum akan
menghilang karena terjadinya ikatan terhadap antibody yang terbentuk dan
selanjutnya membentuk antibody-antigen komplek.

Pemeriksaan ini dilakukan dengan menggunakan 3 macam komponen, meliputi:


 Tabung berbentuk V, yang juga berfungsi untuk meningkatkan sensitivitas.

50
Poltekkes Kemenkes Jakarta III
Jurusan Analis Kesehatan
Reguler Sore, tahun 2016 – 2019
Laporan Praktek Lahan Imunoserologi

 Reagen A (brown), yang mengandung partikel magnetik yang diselubungi dengan


antigen S. typhi O9
 Reagen B (blue), yang mengandung partikel lateks berwarna biru yang diselubungi
dengan antibodi monoklonal spesifik untuk antigen 09.

Jika dibandingakan antara tes TUBEX dengan uji Widal akan ditemukan beberapa hal
sebagai berikut:
 Antigen yang digunakan pada tes TUBEX adalah anti-O9 s.typhi yang mampu
membedakan organisme ini dari >99% serotype bakteri salmonella lainnya,
sedangkan uji Widal menggunakan antigen yang tidak begitu spesifik terhadap
s.typhi sehingga dapat terjadi cross-reaction dengan kuman salmonella lainnya
misalnya pada pasien yang pernah menderita enteric fever lainnya. Reaksi ini
dinamakan anamnestic response dan dapat menimbulkan tingginya nilai false
positive. Hal ini menjawab alasan dari kurang spesifiknya uji Widal.
 Dilihat dari metode yang digunakan oleh kedua tes, dimana TUBEX menggunakan
kemampuan inhibitor activities dari antibody dan uji Widal menggunakan reaksi
agglutinasi. Inhibitor activities memiliki keuntungan karena lebih mudah dideteksi
walaupun dengan kadar antibody yang rendah. Hal ini memberikan alasan mengapa
TUBEX lebih sensitive daripada uji Widal.
 Single test pada uji Widal tidak begitu bermakna. Idealnya uji widal dilakukan dua
kali yaitu pada fase akut dan 7-10 hari setelahnya. Hal ini dikarenakan agglutinin O
dan H meningkat dengan tajam ±8 hari setelah onset panas pertama. Jika terjadi
empat kali peningkatan titer agglutinin baru dapat dikatakan hasilnya positive secara
signifikan. Sayangnya hal ini jarang ditemukan karena penggunaan antibiotik pada
awal penyakit bisa mencegah meningkatnya titer agglutinin. Hal ini berbeda dengan
tes TUBEX yang fokus mendeteksi Ig M yang secara teoritis muncul lebih awal
daripada Ig G. Bahkan penelitian terbaru mengatakan bahwa tes TUBEX yang
dimodifikasi mampu mendeteksi bukan hanya antibody melainkan antigen s.typhi ,
sehingga tes ini sangat berguna pada fase akut. Hal ini menyebabkan tingginya angka
sensitivitas tes TUBEX.
 Meningkatnya penggunaan vaksin typhoid menyebabkan meningkatnya angka false
positive pada uji Widal. Hal ini terjadi karena meninggkatnya agglutinin level secara
persisten pada H agglutinin dan transient pada O agglutinin, yang terjadi baik pada
51
Poltekkes Kemenkes Jakarta III
Jurusan Analis Kesehatan
Reguler Sore, tahun 2016 – 2019
Laporan Praktek Lahan Imunoserologi

non-infected population maupun pada febrile non-typhoid patients karena anamnestic


response. Hal ini belum pernah dilaporkan pada pemeriksaan dengan menggunakan
tes TUBEX. Tentu saja ini sangat berpengaruh pada penggunaan antibiotik yang
tidak tepat dan meningkatkan angka resistensi obat. Untungnya hal ini dapat diatasi
dengan mengulangi tes Widal pada minggu berikutnya, karena tidak akan terjadi
peninggkatan lagi pada hasil tes ulangan tersebut.
 Sensitivitas dan spesifistas yang cukup berbeda, pada suatu penelitain oleh Olsen,
Sonja et al, 2004 menyebutkan perbedaan antara tes TUBEX dan uji Widal yaitu;
sensitivitas (78/64); spesifisitas (94/76); positive predictive value (98/88); dan
negative predictive value (59/43). beberapa penelitian lain menunjukan sensitivitas
dan spesifisitas TUBEX yang lebih tinggi lagi yaitu 94,7% dan 80,4%-93%.
 Persamaan yang dimiliki oleh kedua tes ini dan sangatlah penting adalah proses
pengerjaan yang relatif mudah; simpel (one-step); tidak membutuhkan alat-alat
canggih dan mahal, sehingga kedua tes ini dapat diterapkan pada daerah edemik yang
cenderung merupakan negara berkembang.
 Masih banyak lagi kelemahan uji widal seperti nilai dari uji ini yang sangat
dipengaruhi oleh operator yang bekerja dll. Beberapa hal diatas menunjukan bahwa
tes TUBEX dapat menutupi kelemahan dari uji Widal dan memiliki keunggulan dari
tes Widal.

7. KESIMPULAN
Dari hasil praktikum, didapatkan kesimpulan bahwa hasil tubex tes atas nama pasien :
A. Tn. Dias : dinyatakan negatif
B. Nn. Hani : dinyatakan positif (4)

52
Poltekkes Kemenkes Jakarta III
Jurusan Analis Kesehatan
Reguler Sore, tahun 2016 – 2019
Laporan Praktek Lahan Imunoserologi

53
Poltekkes Kemenkes Jakarta III
Jurusan Analis Kesehatan
Reguler Sore, tahun 2016 – 2019

Anda mungkin juga menyukai