A Song For Alexa-Cynthia Isabella
A Song For Alexa-Cynthia Isabella
A Song For Alexa-Cynthia Isabella
om
Vivi, teman sekelas Daniel yang kebetulan akrab dengan
cowok itu.
t.c
po
gs
Sementara itu, Alexa yang perasaannya telanjur
lo
melayang karena mengira Daniel sering diam-diam
.b
mengamatinya, dikejutkan kabar bahwa cowok itu
do
malah jadian dengan...Vivi! Alexa pun menenggelamkan
in
a-
diri dalam tugas kepanitiaan acara sekolah dan lebih
ak
banyak "sembunyi" di ruang lukis. Di sana, diam-diam
st
ada yang selalu menghiburnya dengan alunan piano,
pu
membantunya menghadapi masa-masa sulit. Dan ketika
akhirnya suatu kejadian tak terduga membuatnya
memahami perasaan orang-orang di sekitarnya, Alexa
pun menentukan pilihan.
A SONG FOR ALEXA
om
t.c
po
gs
lo
.b
do
in
a-
ak
st
pu
om
Ketentuan Pidana:
Pasal 72 t.c
po
1. Barangsiapa dengan sengaja melanggar dan tanpa hak melakukan perbuatan
gs
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Ayat (1) atau Pasal 49 Ayat (1) dan Ayat
(2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu)
lo
bulan dan/atau denda paling sedikit Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau
.b
pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak
do
menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran hak cipta
ak
atau hak terkait sebagai dimaksud pada Ayat (1) dipidana dengan pidana
st
GM 312 01 14 0050
www.gramediapustakautama.com
280 hlm; 20 cm
A Song For Alexa mungkin bukan tujuan utama aku menulis, tapi ini
bentuk usaha untuk menepati janji.
Bertahun-tahun yang lalu, ketika menempati kursi belakang kelas 3
SMP, seorang teman baik bernama Pingkan Putri Praditha berkata, “Bi-
kin novel aja Thia, bangga tahu punya temen novelis.” Tenggelam de
om
ngan begitu banyaknya buku-buku bacaan, sebuah ide pun muncul.
t.c
Tapi, sebuah karya tidak bisa langsung tercipta, ada proses selama berta
po
hun-tahun yang mendukung kualitas akhir karya tersebut. Aku mungkin
gs
bukan penulis yang bisa menyelesaikan sebuah buku dalam kurun waktu
lo
sebulan atau tiga bulan. Aku justru butuh kurang lebih delapan tahun
.b
analisis karakter banyak orang, lalu satu tahun tambahan untuk menulis
in
a-
dan berhasil menepati sebuah janji lama dengan menggunakan ide yang
pu
Cynthia Isabella
A girl whose name was taken from a famous Indonesian female singer and
a famous song at the time she was born.
ALEXA
Sepertinya usahaku untuk sengaja datang telat ke sekolah hari ini menam
pakkan hasil. Mataku menangkap sosok yang memang ingin kulihat pagi
ini berjalan tak jauh di depanku. Tampaknya dia baru sampai di sekolah.
”Hei, Alexa.” Aku menoleh ketika Selwyn memanggilku. Dia mulai ber
jalan agak cepat menyusulku.
”Woi,” balasku, ”kirain siapa.”
”Siapa?”
”Apa siapa?”
”Kirain siapa?”
”Bukan. Bukan siapa-siapa.”
”Pasti siapa-siapa,” ujarnya. Matanya berkilat jail.
Wah, anak satu ini memang sok tahu. Masih pagi begini sudah cari
gara-gara. ”Siapa maksudnya?”
”Kasih tahu nggak, ya?”
Aku berhenti, memasang tatapan minta-dibunuh-ya ke arah Selwyn. Dia
menyadari itu dan langsung mundur menjauh. ”Iya, iya, bercanda kok.
om
mencari tahu hobinya, saudaranya, tempat tinggalnya, nomor teleponnya.
t.c
Lalu meningkat seperti dia pernah pacaran sama siapa saja, saat ini lagi
po
suka siapa, pergi-pulang sekolah jam berapa, sama siapa, tipe cewek yang
gs
disuka kayak apa. Tapi untungnya tidak sampai mengikuti dia pulang
lo
sampai rumah atau muncul di kamarnya ketika dia baru bangun tidur.
.b
do
Aku masih cukup waras. Hanya saja segala informasi yang kucari tahu
in
menyukainya. Tetapi kalau ada satu hal yang paling kutakutkan, adalah jika
st
Dan ada seseorang yang kukhawatirkan. Waktu kelas X, aku sekelas de
ngan cewek ini dan saat itu pula pertama kalinya aku sekelas dengan
Daniel. Karena pernah satu SD, cewek ini juga mengenal Rieska, teman
yang saat itu sekelas juga denganku. Karena waktu kelas X aku dekat de
ngan Rieska, otomatis aku juga jadi dekat dengan cewek ini. Dan itu pula
yang membuatku mulai menyadari Daniel pun dekat dengan cewek ini.
Namanya Vivi. Matanya besar bulat, seperti karakter kartun Jepang. Badan
nya mungil, dia lebih pendek bahkan daripada aku yang terbilang pendek.
Rambutnya panjang lurus kecokelatan, berbeda denganku yang hitam dan
agak bergelombang di ujungnya. Yang jelas, Vivi itu manis.
10
***
11
12
om
nggak bisa mulu.”
t.c
”Nggak bisa kenapa?” tanyaku, berusaha memperpanjang pembicaraan.
po
”Sekarang mulai banyak tugas, kan?”
gs
”Oh, iya bener,” aku mengiyakan. ”Padahal baru masuk tahun ajaran
lo
baru.”
.b
Daniel mengangguk.
do
”Alexa.”
st
Aku menoleh, Vivi berdiri tidak jauh dari tempatku. Huh, akhirnya dia
pu
datang juga.
”Lihat Aria nggak?” Aria itu teman dekat Vivi yang sekelas denganku.
”Hm, kayaknya ke kantin,” jawabku.
”Oh,” balasnya, ”apa, Niel?”
”Nggak apa-apa,” balas Daniel sambil menahan senyum.
”Ngomongin apa sih kalian? Pasti ngomongin Jepang deh,” tambah Vivi.
Dia menghampiri mejaku.
”Dih, sok tahu,” ejek Daniel, ”lagian kalo emang Jepang juga, lo nggak
ngerti kan?”
”Biarin,” balas Vivi.
Akhirnya mereka bercanda berdua dengan sangat seru di depan mataku.
13
14
om
Baru tahun lalu aku benar-benar memiliki kesempatan untuk dekat dengan
t.c
nya. Dia meracuniku untuk mendengarkan musik-musik Jepang, terutama
po
L’Arc~en~Ciel. Kami sempat berdebat karena awalnya aku tidak menyukai
gs
suara vokalis, ketukan yang dihasilkan drummer, dan melodi yang dicipta
kan gitaris. Dan ia menuntunku untuk mencintai suara bas.
Awal semester dua saat aku kelas X, akhirnya aku membeli gitar bas.
Aku sering membawanya ke sekolah untuk minta diajari bermain bas. Aku
kemudian menekuninya di rumah. Mungkin kegemaranku akan musik dan
niatku untuk membuat Daniel kagumlah yang akhirnya membuatku mam
pu bermain bas. Dan saat ini ketika akhirnya aku lumayan menguasai
instrumen tersebut, mungkin kesempatan untuk menunjukkan kemampuan
ku di depan Daniel sudah hilang. Rasanya aku ingin menyerah saja, me
ninggalkan perasaan yang tidak jelas ini selamanya.
Kata-kata Rieska kembali mengusik benakku. Aku tahu agak jahat
15
16
17
Baru sekarang aku merasa seaneh ini. Keanehan yang kutemukan ini ber
asal dari orang lain.
Ada yang mengamatiku. Secara intens. Dan terang-terangan.
Awalnya aku tidak menyadari keberadaannya. Yang kurasakan hanyalah
sepasang mata yang memperhatikanku. Rasanya seperti ada yang terus-me
nerus melihat ke arahku, tetapi ketika akhirnya aku menoleh, semua orang
tampak sibuk dengan kegiatan masing-masing.
Sampai siang ini aku masih memikirkan orang tersebut, tapi kehadiran
Vivi di kelasku akhirnya mengalihkan pikiranku untuk sementara. Vivi,
seperti biasa sebenarnya mengunjungi Aria, tapi tak lama kemudian dia
mendatangiku yang kebetulan memang duduk tidak terlalu jauh dari
Aria.
”Lagi kerjain apa, Alexa?”
”Oh,” kataku mengalihkan pandangan dari tugasku dan menatapnya,
”tugas kimia.” Aku memperhatikan hari ini pun dia tampil dengan gaya
khasnya: memakai kardigan hitam.
”Hm. Serius amat.”
Aku hanya tertawa. Masa untuk hal ini tampangku kelihatan serius?
18
19
20
21
22
23
24
25
Aku penasaran dengan orang itu. Apa maunya? Hampir setiap hari aku
merasa diamati. Apa aku pernah melakukan kesalahan dan orang ini datang
untuk balas dendam? Atau sesuatu yang pernah dilakukan orangtuaku dan
dendam itu diturunkan kepadaku? Atau hal buruk yang pernah kulakukan
di kehidupanku sebelumnya?
Yang pasti bisa kusimpulkan dalam hal ini adalah, aku terlalu banyak
nonton film. Hal-hal seperti itu mana mungkin terjadi.
Aku tidak pernah cari gara-gara dengan orang lain. Kalau pun berteng
kar dengan teman, apa mungkin aku yang pelit memberikan contekaan
bisa membuat orang lain dendam padaku? Yah, memang biasanya ada be
berapa teman cewek menyebalkan yang minta diberi jawaban saat ulangan
dan aku selalu menolak, yang berakhir dengan aku disindir-sindir sampai
seminggu setelahnya. Tapi tidak mungkin kan hal sepele seperti itu mem
buat seseorang dendam sampai mengamati segala gerak-gerikku.
Perbuatan orang ini cukup mengganggu. Aku menoleh ke sekeliling. Di
kelas saat ini hanya ada Selwyn yang sedang menggambar di buku cetak
fisikanya. Arnold seperti biasa sedang memakan bekal di mejanya di
sampingku. Aria dengan beberapa teman cewek dari kelas sebelah sedang
ngobrol di meja guru di depan. Sisanya ke kantin.
Tidak mungkin teman sekelasku sendiri yang melakukan itu. Aku pasti
tahu. Lagi pula, aku tidak pernah merasa seperti ini di kelas, makanya
26
27
28
29
Porseni kali ini bisa dibilang ajang yang lumayan besar untuk sekolahku.
Sebenarnya idenya sudah muncul lama, sayangnya persiapannya baru
dimulai bulan lalu. Kenny pernah cerita, dia dan seluruh anggota OSIS
sampai harus masuk beberapa kali saat liburan untuk rapat persiapan acara
ini. Acaranya sendiri akan dimulai bulan Oktober, tapi sekarang sudah
memasuki pertengahan Agustus dan panitianya kelihatannya masih keku
rangan orang.
Pak Woto pun terlihat sibuk, karena beliau diminta mempersiapkan
pameran karya seni murid sekaligus diminta memimpin tim dekorasi. Un
tungnya beliau guru seni, jadi jam mengajarnya agak lebih longgar. Tidak
seperti guru pelajaran biologi, fisika, akuntansi, dan lainnya yang nyaris
tidak boleh meninggalkan murid di kelas hanya dengan tugas. Entah ke-
napa guru-guru mata pelajaran itu selalu yang paling sehat walafiat dan
tidak absen memberikan tugas nyaris dalam setiap pertemuan.
Pada awal semester ini bahkan Pak Woto cenderung hanya memberikan
tugas yang harus dikumpulkan seminggu kemudian, begitu terus sampai
pertengahan Agustus ini. Dugaanku, setiap tugas itu akan diseleksi untuk
ditampilkan dalam pameran nanti. Uniknya tiap minggu beliau bisa memi
30
31
32
33
34
35
36
37
38
Aku menatap lukisan yang kubuat kemarin. Ini lukisan kedua yang kubuat
dan masih ada sepuluh lagi yang harus kukerjakan. Lukisan ini sama
seperti lukisan pertama, entah kenapa kurang memuaskan.
Sudah tiga hari ini aku menghabiskan waktu di ruang lukis, baik saat
istirahat kedua maupun setelah pulang sekolah. Dan masih akan terus
seperti ini sampai beberapa waktu ke depan. Aku berjanji akan menyele
saikan ini dalam sebulan, dan aku tidak akan mengecewakan mereka.
Kemarin Kenny sempat bilang, kalau aku agak bosan, aku bisa bantu-
bantu pekerjaan lain dulu. Istirahat sejenak selama membuat dua belas lu
kisan sangat diperlukan. Bahkan sampai pagi ini pun Kenny masih tidak
habis pikir dengan ide Raka ini.
Soal pertunjukan seni, kudengar dari Arnold bahwa Daniel akan tampil
dengan band-nya. Mereka memilih untuk tampil di acara penutupan. Aku
benar-benar menunggu penampilan itu. Tapi sebelum bisa melihat
penampilan Daniel, aku masih harus menyelesaikan sepuluh lukisan siluet
ini. Aku benar-benar harus bersabar.
Aku memutuskan untuk menghabiskan jam istirahat siang ini dengan
menggambar sketsa kasar lukisan selanjutnya. Aku mengambil beberapa
lembar kertas kosong dari lemari lalu duduk di meja dekat jendela. Aku
menengadah, menopang kepala dengan tangan kiri sementara tangan kanan
ku memainkan pensil. Aku mulai membayangkan apa kira-kira yang akan
kugambar. Sesekali aku menggoreskan pensil, sesekali aku berhenti untuk
mencocokkan gambarku dengan apa yang ada di benakku, lalu aku mene
ruskan menggambar.
Entah berapa lama aku asyik sendiri, hanya berkutat dengan apa yang
ada di hadapanku dan di kepalaku. Namun tiba-tiba telingaku menangkap
sesuatu. Aku mendengar musik dari ruangan sebelah. Oh, orang itu datang
lagi. Aku sempat melupakannya belakangan ini. Dia memainkan piano itu
39
40
41
Next time.
Saat itu juga bel berbunyi. Aku menatap pintu dan melihat beberapa
anak berjalan meninggalkan kantin. Aku langsung mengintip ke arah ruang
musik dan melihat cowok itu berjalan ke arah pintu. Aku langsung berlari
ke luar ruang lukis dan sempat melihatnya menutup pintu dan bergegas
ke kelas bersama rombongan anak-anak yang lain. Aku hanya melihat sisi
wajahnya sekilas, tapi itu cukup membuatku yakin siapa dirinya.
42
Dua jam pertama adalah bahasa Indonesia dan di sinilah aku, Selwyn, dan
Kenny berada: lapangan indoor lantai delapan. Seperti biasa, kami izin un
tuk membantu persiapan Porseni, tapi pada dasarnya kabur dari pelajaran.
Aku sebenarnya tidak rela meninggalkan kelas bahasa Indonesia karena itu
salah satu pelajaran favoritku, tapi Kenny dan Selwyn yang memang ingin
cabut dari kelas memaksaku ikut agar alasan mereka dipercaya. Aku tidak
bisa melawan, karena Selwyn mengancam akan menyebarkan aibku. Bukan
nya takut aibku akan tersebar, masalahnya aku sendiri tidak tahu rahasia
buruk apa yang dia ketahui. Lebih parah lagi, apa jadinya kalau itu hasil
imajinasinya belaka? Mungkin saat kuliah nanti aku harus mengambil ju
rusan Public Relations agar mudah membangun kembali image-ku yang
jatuh-bangun ini. Selwyn, entah dia sebenarnya teman atau lawan.
Pada akhirnya, ketika jam tanganku menunjukkan saat ini mulai mema
suki jam pelajaran kedua, aku hanya duduk-duduk di kursi pinggir lapang
an, menatap para murid cowok melakukan pekerjaan berat. Aku berniat
membantu—mengangkat meja saja sih aku bisa—tapi kalau tiap baru me
nyentuh meja saja ada murid cowok yang berteriak ”Minggir, ini kerjaan
cowok,” aku harus membantu apa? Dan di sinilah aku, akhirnya hanya
43
44
45
46
”Alexa,” panggil Arnold tiba-tiba. ”Mau tanya deh, yang nomor ini kenapa
gue salah ya? Gue udah cek lagi bener kok.”
Aku melihat kertas ulangan kimia milik Arnold sekilas. ”Ya iya dong,
gambar ikatan karbon lo aja salah, ini kan mestinya begini…” Aku meng
ambil pensil dan menggambar jawaban yang benar.
”Eh, tapi kan… Oh, gue ngerti! Pantesan!” teriak Arnold berlebihan. Ia
langsung menarik kertas ulangannya dan mengecek nomor-nomor lain yang
salah.
”Makanya belajar sama Alexa, Nold.”
47
48
Aku menatap pintu putih di hadapanku. Rasanya baru sedetik yang lalu
aku berada di kelas.
Sejak istirahat tadi aku berpikir untuk absen melukis karena merasa ti
dak nyaman kalau harus menyelesaikan lukisanku sambil membawa peras
aan negatif. Namun ketika satu per satu murid mulai meninggalkan kelas
dan pulang, aku melihatnya. Cowok itu membuka beberapa jendela ruang
musik.
Dan di sinilah aku berada.
Aku berdiri sendirian di lorong lantai tujuh, menatap pintu ruang lukis.
Aku bisa mendengar alunan permainan piano yang begitu pelan, nyaris
tidak terdengar. Aku memegang gagang pintu dan mendorongnya hingga
terbuka. Permainan itu kini terdengar lebih jelas.
Aku menutup pintu perlahan. Aroma cat dan lukisan seperti biasa lang
sung memenuhi hidungku begitu aku memasuki ruangan. Aku merasa
lebih familier.
49
50
51
52
53
Aku menekan tombol lantai dua. Agak lama, tetapi kemudian lift bergerak
turun. Kei berdiri di sampingku. Aku menyandarkan kepalaku di dinding
lift dan memejamkan mata. Melelahkan juga ya menyelesaikan empat lukis
an sekaligus. Dengan begini besok aku bisa lebih santai. Mungkin karena
semangat dan emosi yang memengaruhiku untuk bekerja seefisien tadi.
Inikah yang dinamakan kekuatan cinta? Membuat kita mampu melakukan
hal yang tidak pernah kita duga? Mengerikan. Dan terdengar menggelikan.
Bisa-bisanya aku berpikir begitu.
Aku menguap lebar. Tidak berselang lama aku mendengar kuapan seru
pa. Aku membuka mata dan melihat Kei sedang menutup mulutnya.
Aku tertawa. ”Nguap emang nular, ya?”
Dia membalasku dengan tatapan tidak-lucu-ya.
Pintu lift kemudian terbuka. Kei membiarkanku keluar duluan. Aku
senang dia mau menemaniku. Entah berapa kali aku menyuruhnya pulang
duluan, tapi dia bilang dia tidak punya banyak kesempatan untuk bermain
piano di rumah, jadi menemaniku adalah salah satu kesempatan untuk
berlatih. Aku tidak berani menanyakan apa yang mencegahnya berlatih di
rumah, terutama melihat kemampuan yang dia miliki, tetapi mungkin akan
datang waktunya aku bisa menanyakan hal tersebut.
Kami sedang menuruni tangga utama sekolah ketika tiba-tiba seseorang
memanggilku. Arnold melambaikan tangan. Dia kemudian berlari ke ping
gir lapangan dan merogoh sesuatu dari tasnya. Aku berjalan ke arahnya,
tampaknya dia sedang ekskul futsal. Kei juga mengikutiku sambil meng
amati lapangan.
”Lex, untung lo belom pulang. Tadi lo ninggalin buku sketsa lo di ke-
las,” ujarnya.
54
55
56
Rasanya konyol bermasalah dengan teman sendiri karena orang yang ku-
suka. Aku selalu menentang apa yang ada di drama atau komik tentang
dua cewek yang akhirnya bermusuhan karena memperebutkan cowok. Me
nurutku, itu sia-sia. Aku selalu heran kenapa mereka tidak memikirkan
pertemanan mereka. Yah, bukannya aku mau menyerah dan melepaskan
Daniel. Aku hanya heran kenapa Vivi tidak mementingkan pertemanan
kami dan merelakan Daniel untukku.
Wow, pikiranku egois sekali. Mungkin sekarang aku mengerti perasaan
karakter-karakter dalam drama dan komik itu.
Aku merasa kali ini memiliki kesempatan dengan Daniel. Aku pernah
yakin dia juga akan membalas perasaanku. Aku pernah benar-benar dekat
dengan Daniel. Dia pernah meminta bantuanku ketika bandnya akan
tampil di sekolah, mulai dari menanyakan pendapatku tentang lagu yang
akan dibawakan, menemaninya latihan, meminta pendapatku akan per
mainannya, aku juga membantu menenangkannya sebelum tampil karena
itu penampilan perdananya. Dia memercayakan banyak hal padaku, seakan-
akan aku manajer bandnya.
57
om
langsung membombardirku dengan topik Vivi. Yah, mungkin yang dipang
t.c
gil memang hanya aku dan Rieska, atau Daniel sudah lebih dulu ke lantai
po
atas.
gs
”Tapi gue nggak mungkin cuekin dia, Ries. Gue sama dia kan pernah
lo
sekelas juga.”
.b
”Yah, terserah lo,” timpal Rieska cuek. ”Gue juga bukannya mau larang
do
dia buat suka sama Daniel, ya. Tapi gue kecewa aja dia nggak jujur sama
in
a-
lo. Kalo emang suka mah jujur aja, ngapain pake nawarin bantuan.”
ak
Aku teringat apa yang pernah Kitty katakan. ”Kalau dipikir-pikir, kita
st
nggak punya bukti yang kuat kan dia naksir Daniel. Sejauh ini kita masih
pu
menduga-duga,” jawabku. ”Dan dugaan aja udah bikin sakit begini, apalagi
kalau beneran? Nggak kebayang deh gue.”
”Ya ampun, Alexa,” omel Rieska, ”lo mau bukti konkret yang kayak
gimana? Sampai mereka jadian dulu lo baru percaya kalo dugaan gue ini
benar?”
Aku hanya mengangkat bahu. ”Entahlah, tapi mungkin dia punya alasan
sendiri,” jawabku tanpa berpikir. Aku sedang tidak tertarik dengan topik
ini dan karena kami sudah sampai di lantai delapan, mataku langsung
mencari-cari Pak Woto.
Rieska memelototiku. ”Lo naif banget sih Lex, gue nggak percaya kalo
dia…”
58
Tangga utama dipenuhi murid-murid yang baru saja keluar dari kelas. Se
pertiganya langsung memenuhi kantin lantai dua dan sisanya di tangga
utama. Tangga utama ini berada di tengah dua gedung tinggi sekolah, kare
na itu selain pada siang bolong, area luas ini selalu berada di bawah ba
yangan dua gedung dan terhindar dari terik matahari, membuatnya enak
dijadikan tempat nongkrong setelah pulang.
Aku membuka handphone dan melihat pesan dari Kitty. Dia mengajakku
jalan akhir pekan ini. Ah, ajakan pada saat yang tepat, tak mungkin
kutolak. Setelah kemunculan banyak hal yang rasanya berusaha memenuhi
pikiranku, tawaran tersebut hal yang benar-benar kubutuhkan saat ini, aku
juga bisa langsung bercerita pada Kitty.
Aku sedang mengetik pesan balasan sehingga tidak terlalu memperhati
kan jalanan di depanku, hanya melihatnya dari sudut mata. Aku berada di
tengah arus murid yang berjalan merayap menuju tangga utama, membiar
kan orang lain yang sedang terburu-buru menyelaku. Aku berjalan begitu
pelan karena terlalu fokus pada layar handphone.
Sambil mengetik jawaban mengiyakan pertanyaan tersebut, tiba-tiba aku
teringat cerita Selwyn di kelas. Dia bilang kemarin dia melihat CD single
terbaru Namie Amuro di toko musik di mal dekat sekolah. Kitty pengge
59
60
”Nih, jawaban bagian gue, tinggal digabung aja.” Aku menyerahkan kertas
jawaban kimia ke Kenny. Selwyn masih mengerjakan bagiannya, sedangkan
Kenny bertugas menyalin semuanya sekaligus mengecek kembali jawaban
kami.
”Akhirnya kelar juga, Lex,” sahut Arnold yang sedang memakan bekal
nya di sampingku. Dia satu kelompok dengan teman kami yang jago ki
mia, jadi kelompoknya selesai lebih dulu. Dia beruntung, tugas kelompok
ini memang menyusahkan, terlalu banyak soal yang harus diselesaikan da
lam waktu satu jam pelajaran.
”Baru bagian gue, Nold, yang lain belom,” balasku. Aku meregangkan
tubuh di kursi, rasanya pegal sekali. ”Haiya, gue butuh pencerahan.”
”Hahaha…” Arnold tertawa, ”Sayang ya Daniel nggak masuk.”
Aku langsung menoleh. ”Oh, ya?” Pantas saja sejak pagi aku tidak meli
hatnya.
61
62
63
64
65
Setelah mendengar cerita Arnold, aku merasa mulai menyadari sesuatu yang
sebenarnya mungkin bukan hal baru, fakta lama yang kukubur dalam-
dalam karena terlalu menyakitkan. Arnold terus menekankan bahwa itu
belum tentu benar, tetapi aku tahu—mungkin lebih tepatnya naluriku
mengatakan semua itu benar. Aku tidak tahu sampai kapan aku akan tetap
mengabaikannya. Walaupun begitu aku tahu, waktunya tidak akan lama
lagi.
Aku selalu merasa Vivi-lah yang menjadi pengganggu di antara aku dan
Daniel. Tapi kalau yang dikatakan Arnold itu fakta, berarti akulah peng
ganggunya. Beban di hatiku bertambah, dadaku terasa semakin sesak. Me
mang aku belum merasa aku akan mulai menangis. Belum. Aku tahu,
masih ada satu hal yang mengganjal. Apa sebenarnya yang ada di dalam
pikiran Vivi?
Perasaanku semakin berubah-ubah. Awalnya aku merasa bersimpati, lalu
iba, tetapi sekarang ada sedikit perasaan marah.
Bisa-bisanya selama ini teman-teman Daniel memandangku seperti itu.
66
67
68
69
70
71
72
73
Perasaanku lebih tenang sejak sesi curhat dengan Kei kemarin. Badanku
terasa lebih segar karena tidur cukup semalam. Aku merasa lebih bebas
setelah menyelesaikan kewajiban melukisku. Aku juga sudah latihan bicara
dengan Kitty melalui telepon sore kemarin. Dia benar-benar memberiku
banyak nasihat dan sangat mendukung pendapat Kei. Dia mengajariku
bagaimana harus menghadapi Daniel, bagaimana kalimat yang benar dan
tepat sasaran. Aku benar-benar deg-degan, rasanya seperti mau menyatakan
perasaan ke Daniel. Dulu ketika pertama kali menyatakan perasaan pada
nya, rasanya tidak segugup ini. Aneh sekali.
74
75
76
”Kamu sakit?”
”Nggak,” jawabku, lebih terdengar seperti bisikan.
”Yakin, Alexa?”
Aku mengangguk.
”Kamu ada masalah?”
Aku menggeleng.
Bu Rani berdiri di depan mejaku, masih memperhatikan wajahku de
ngan saksama. Ketika yakin tidak bisa menemukan apa yang dia cari dari
ku, dia beralih ke trio di sebelahku.
”Kalian bercandanya kelewatan, ya?” tuduh Bu Rani.
”Dih, kok jadi kami yang kena sih,” Kenny angkat bicara. ”Kami dari
tadi diem aja kok, Bu. Suer.”
Bu Rani masih memandangi Selwyn, Arnold, dan Kenny bergantian,
tidak percaya.
”Lah, wong biasanya Alexa rajin pelajaran saya kok sekarang ndak. Ma
lah Selwyn yang nulis. Keajaiban, kan?”
”Wah, Bu Rani menganggap remeh saya,” sahut Selwyn sambil tetap
mengerjakan tugas kelompok kami.
77
78
79
80
Ruang sebelah begitu hening. Dia belum datang. Aku membuka jendela
dan duduk di atas meja yang biasa, memandang lautan siswa-siswi SMP
dan SMA yang memenuhi kantin lantai dua dan tangga utama di bawah.
Aku melihat Daniel, berada di antara teman-teman dekatnya. Dan itu dia,
Vivi menghampiri cowok itu dan mereka berdua berpisah dari teman-te
man mereka, berjalan beriringan menuruni tangga utama. Bergandengan
tangan.
Aku berada di lantai tujuh, tapi pemandangan itu tampak jelas di mata
ku.
Bersamaan dengan hilangnya mereka dari pandanganku, tampaknya
perasaan yang selama ini terpendam pun harus kuhilangkan. Bagaimana
caranya? Seandainya cukup dengan menjentikkan jari.
Aku pernah mendengar bahwa jatuh cinta diakibatkan oleh hormon
tertentu yang dihasilkan otak dan dalam beberapa tahun selanjutnya pro
duksi hormon tersebut akan berhenti perlahan-lahan, karena itu mungkin
saja seorang manusia pada suatu waktu tertentu akan berhenti mencintai
seseorang. Bisakah aku menghentikan produksi hormon tersebut lebih
cepat? Kalau perlu besok aku sudah tidak menanggung perasaan ini. Kare
na ini berhubungan dengan otak, apa perlu aku mencederai kepalaku? Ti
dak hanya perasaan sukaku, tapi juga efek samping sakit hati ini yang
ingin sekali kuhilangkan.
Seandainya aku bisa memutar kembali waktu.
Aku ingat pertama kali aku bertemu dengan Daniel. Aku tidak tahu
apakah itu cinta pada pandangan pertama, tapi yang jelas pertama kali aku
melihatnya aku tidak bisa melepaskan mataku darinya. Seandainya saat itu
aku tidak pernah melihatnya.
Saat itu aku masih kelas VIII. Kami berpapasan di koridor tapi dia ti
81
82
83
84
85
86
87
88
89
90
91
92
93
94
95
96
97
98
99
100
101
102
103
104
105
106
107
Sejujurnya aku merasa mantap untuk tampil di Porseni nanti, bahkan sam
pai berani mendatangi seksi acara dan mendaftarkan namaku. Sayangnya,
hasil pembicaraanku terakhir dengan Kitty justru membuatku semakin
ragu.
Aku tahu pilihanku untuk melakukan ini diawali dengan Alexa yang
sedang emosi dan berkembang menjadi Alexa yang nekat, tapi sekarang
ketika akhirnya aku mulai berpikir jernih lagi, aku merasa ini tindakan
bodoh.
Aku menghubungi Kitty untuk memohon bantuannya. Sudah lima ta
hun belakangan ini Kitty belajar teknik vokal, karena itu aku berpikir un
tuk menjadikannya vokalis saat tampil nanti. Walaupun begitu dia selalu
merasa masih perlu belajar dan ingin terus mengembangkan kemampuan
nya. Bahkan untuk tampil di acara Porseni nanti, dia ingin memastikan
108
109
110
111
112
113
114
115
Aku menatap tangan kiriku. Sudah lama aku tidak merasakan pegal di
buku-buku jari dan nyeri di permukaan ujung-ujung jari seperti ini. Bukan
berarti ini hal yang menyebalkan, justru ini membuatku lebih bersemangat.
Di balik ketidaknyamanan ini, aku merasa lebih hidup.
Kei memang tidak tanggung-tanggung. Dia merombak lagu seenaknya
tanpa memikirkan kapasitas yang kumiliki. Yang ada di pikirannya hanya
lah dia yakin aku bisa memainkan permainan bas seperti itu, dan hal ini
mendorongku untuk berusaha lebih.
Hmmm.
Aku tahu orang yang melihat wajahku saat ini pasti akan mengira aku
aneh, tapi aku tidak bisa menghilangkan senyum yang sejak berhari-hari
lalu menghiasi wajahku. Semakin tidak masuk akal saran-saran improvisasi
lagu yang Kei berikan padaku dan Kitty, semakin menggebu-gebu pula
diriku. Aku semakin terobsesi untuk menembus batas kemampuanku.
Menyenangkan sekali. Belum pernah aku merasa begitu hidup seperti
ini.
Terlintas dalam pikiranku apakah kegilaan yang muncul dalam diriku
ini salah satu bentuk pelarian diri dari sakit hati yang sedang kualami.
Mungkin saja. Mungkin juga tidak. Aku lebih ingin menganggapnya seba
gai langkah untuk maju dan menerima apa yang telah terjadi. Toh penam
pilan nanti akan menjadi persembahan terakhirku untuk Daniel. Tentu
masih ada rasa sakit itu di hatiku. Aku pun masih belum benar-benar bera
ni menghadapi mereka terang-terangan seperti sebelumnya, terutama saat
Porseni sudah di depan mata dan aku terpaksa bertemu dengan Daniel dan
Vivi nyaris setiap saat. Tetapi setidaknya perlahan-lahan aku sudah bisa
membuat diriku kembali normal… kalau aku tidak bertemu pasangan
itu.
Memang ketika emosi sedang tidak stabil seperti saat ini, musik adalah
pelarian yang tepat. Tidak heran kalau dalam keadaan seperti ini begitu
116
117
118
119
120
121
Sudah dua minggu terakhir ini Kitty datang ke sekolahku untuk latihan.
Aku selalu menyarankan untuk latihan di studio musik saja dia tidak perlu
repot-repot ke sekolahku, tapi menurutnya itu buang-buang uang dan
dengan waktu sewa yang dibatasi pun kami tentu tidak akan bisa latihan
dengan bebas. Kitty juga menyadari bahwa ruang musik sudah dimonopoli
oleh Kei, jadi tempat itu benar-benar untuk berlatih.
Untungnya selisih waktu pulang sekolah kami pun tidak terlalu berbeda.
Hanya saja, hari ini seluruh kelas dibubarkan jam sepuluh pagi agar panitia
dan staf sekolah bisa menyiapkan Porseni besok. Ya, akhirnya acara yang
ditunggu-tunggu datang juga. Tapi tidak mungkin aku menunggu Kitty
sampai jam pulang sekolah nanti. Padahal besok kami akan tampil, detik-
detik menjelang penampilan adalah waktu yang berharga, tidak boleh
disia-siakan.
Seandainya aku bisa menculik Kitty dari sekolahnya. Tapi itu tidak
mungkin.
Mau tidak mau aku akan menunggu Kitty sambil membantu panitia
Porseni. Agak malas, sejujurnya. Terutama karena aku membayangkan akan
melihat pemandangan yang menyebalkan. Daniel dan Vivi.
122
Sekali lagi
123
124
125
126
127
128
129
130
131
132
Aku tahu, membayangkan apa yang menungguku hari ini saja cukup untuk
membuatku tidak tidur semalaman. Untungnya setelah latihan gila-gilaan
kemarin, meladeni Kei yang kembali bersemangat untuk menebus kesalah
annya, tubuh yang lelah berhasil membantuku tidur lelap.
Cuaca hari ini pun begitu mendukung mood. Dibanding kemarin yang
panas terik, hari ini terasa lebih sejuk. Langit tidak sejernih sebelumnya
karena dipenuhi awan. Tanda-tanda awal Oktober, awal musim hujan, su
dah muncul. Walaupun ada awan, aku yakin hujan tidak akan turun siang
ini. Tidak. Tidak boleh saat aku akan tampil di depan sejuta umat sekolah
ini. Aku sudah memohon kepada Tuhan dan aku yakin Dia pasti mende
ngarkanku.
Atau mungkin aku terlalu berpikiran positif.
Aku menarik napas dalam, lalu mengembuskannya.
Tunggu. Pada saat seperti ini aku memang harus membangun pikiran
positif, menghilangkan yang negatif, dan menenangkan pikiran. Situasi di
sekitar begitu mendukungku. Walaupun ada hiruk pikuk keramaian di de
pan panggung sana, panitia di belakang panggung cukup tenang dan tidak
panik berlarian ke sana kemari. Tidak sampai terlalu sunyi memang, tetapi
cukup tenang bagiku untuk…
”Woi, Kei!”
Argh, mungkin tidak dengan adanya orang yang satu ini.
”Kasih tahulah nanti mau main lagu apa,” suara Rangga tampaknya
terdengar dua kali lipat lebih jelas di telingaku.
Aku membuka mata. Meditasi dadakanku gagal karena orang ini.
”Nanti lihat aja sendiri,” balas Kei membalas cuek.
Rangga tidak mau kalah, malah semakin menjadi-jadi.
Aku mengalihkan perhatian dari mereka, dan mulai mencari keberadaan
Kitty. Tadi kalau tidak salah dia pergi sebentar dengan liaison officer kami.
Akhirnya aku menangkap sosoknya berjalan kembali ke arahku.
”Nggak ada masalah, kan?” tanyaku.
133
134
135
136
137
DANIEL
Agak jauh dari panggung dan di belakang murid-murid yang cukup padat
memenuhi area penonton, kulihat Raka dan beberapa temannya.
”Oi, Niel,” ujar Raka kaget ketika aku menepuk bahunya dari belakang..
”Lo bukannya tugas jaga di lantai delapan?”
”Nggak, gue sama Vivi nanti siang, sekarang lagi gilirannya Rieska,”
jawabku sambil menunjuk Vivi di sebelahku.
”Oh,” Raka mengangguk. ”Eh, itu yang lagi main bas Alexa, bukan?”
Aku memperhatikan penampil di panggung. Ya, aku tidak salah lihat.
Itu memang Alexa.
”Iya, bener,” jawabku.
138
139
ALEXA
Dari jendela yang terbuka terdengar musik dari band yang sedang tampil
di penutupan Porseni. Pertandingan olahraga sudah selesai dan mungkin
sebentar lagi pembagian penghargaan kepada para pemenang. Seharusnya
aku membantu di bawah atau setidaknya siap apabila panitia butuh sesua
tu, tapi sejak pagi tadi Selwyn menggangguku. Saat aku membantu meng
gambar desain gantungan kunci di pameran seni, dia sengaja menyenggolku
sampai akhirnya aku mencoret tanganku sendiri. Masalahnya, noda spidol
itu susah dihilangkan dengan air dan sabun. Tidak hanya aku, teman seke
las yang lain pun diganggu, tapi mereka pasrah saja, kecuali Kenny mung
kin yang sempat histeris dengan kejailan Selwyn. Karena itu, mumpung
Selwyn sedang dipenuhi tanggung jawab yang tinggi untuk mengatur flow
acara penutupan di bawah, aku langsung kabur ke ruang musik untuk me
nenangkan diri.
Bersantai seperti ini; mendengarkan playlist musik yang biasa kudengar
kan sambil menggambar di buku sketsaku, sudah lama rasanya tidak sete
nang ini.
140
141
142
143
Pagi ini aku nyaris tidak bangun. Mataku masih terpejam bahkan saat aku
berjalan ke kamar mandi, tapi saat aku melihat jam dinding di kamar, aku
tahu aku dalam masalah besar. Aku terlambat!
Ini gara-gara Porseni, tiga hari berturut-turut yang benar-benar menguras
tenaga. Belum pernah aku bangun kesiangan begini. Aku mulai berlari ke
gedung sekolah begitu melewati gerbang, tapi kemudian aku berhenti berlari
dan hanya berjalan cepat. Aku tidak kuat, rasanya tenagaku terkuras habis.
Aku yakin pasti banyak murid-murid yang izin tidak masuk hari ini dan
beralasan sakit, tapi sayangnya aku tidak bisa. Minggu depan sudah mulai
ujian tengah semester, karena itu minggu ini pasti semua guru akan me-
review pelajaran-pelajaran yang sudah dibahas. Aku harus masuk.
Aku melihat sekitar, masih banyak murid-murid yang, sama sepertiku,
juga baru datang. Aku melihat jauh di tangga utama, masih ada guru piket
yang bertugas menyambut murid-murid di sana. Ah, untunglah jamku ti-
dak sama dengan di sekolah, berarti bel masih belum berbunyi. Walaupun
begitu aku yakin sebentar lagi bel akan berbunyi.
”Oh, Daniel.” Aku benar-benar kaget, Daniel mendadak muncul di
sampingku.
144
145
146
”Alexa. Alexa!” Itu suara Arnold. Ah, aku tidak peduli. Saat ini aku benar-
benar mengantuk. Aku tidak tahan lagi. Setelah pelajaran kewarganegaraan
yang membosankan, aku tidak bisa lagi menahan mataku agar tidak ter
pejam. Jadi, mumpung sedang istirahat kedua, yang untungnya cukup
lama, tiga puluh menit, aku harus memanfaatkan waktu tersebut untuk
tidur. Ah, seandainya aku bisa langsung pulang sekarang dan menemui
bantal serta tempat tidurku.
147
148
149
150
***
151
152
153
ALEXA
”Jadi, seharian ini lo akrab sama Daniel?” tanya Kitty. Seperti sebelumnya,
tidak lama setelah pulang sekolah dia langsung meneleponku.
”Iya, kurang-lebih begitu. Pokoknya gue juga jadi lebih santai pas
ngobrol sama dia. Dia juga lebih sering ngajak ngobrol gue dibanding
dulu. Pokoknya awkward moment tiap kali gue ngobrol sama dia dulu tuh
udah nggak ada lagi.”
”Oh,” sahut Kitty, ”terus, lo sendiri gimana? Seneng keadaannya jadi
begini?”
”Kalau dibilang seneng sih, ya seneng, karena gue udah nggak canggung
lagi sekarang di depan dia. Tapi gue cukup kaget aja jadinya begini,” jawab
ku.
”Lalu,” tambah Kitty lagi, ”ceweknya dia gimana? Biasa-biasa aja?”
”Oh, itu dia,” aku tiba-tiba ingat sesuatu. ”Dia keliatan banget jealous-
nya, tapi lebih ke arah ’mengintimidasi’ gue daripada ’negur’ cowoknya.”
”Ya, nggak heran sih, apalagi kalau cewek yang deket sama cowoknya
sekarang kan pernah suka sama cowoknya.
154
155
Suasana di lorong IPA cukup ramai. Walaupun ada yang pergi ke kantin,
tapi ada cukup banyak murid yang membawa bekal dan makan sambil
duduk-duduk di kursi panjang depan kelas. Ada juga yang kurang peka
dengan makan di dalam kelas dan membuat kelas menjadi bau, seperti
Arnold dan Selwyn (dan aku, kadang-kadang kalau dipaksa mereka). Aku
tidak berharap lorong sepenuh saat ini. Setidaknya kalau di lorong ini ha
nya ada lima sampai enam murid, apa yang kukerjakan sekarang akan lebih
mudah.
Aku melirik beberapa murid cewek dari kelas sebelah yang terdengar
heboh di kursi tidak jauh dari tempatku berada. Sepertinya ada obrolan
seru. Aku kenal beberapa dari mereka, salah satunya yang gosipnya sedang
dekat dengan Selwyn, teman sekelasku waktu SMP. Obrolan mereka
terdengar samar-samar, ada kata-kata seperti ”yang bener”, ”gue bilang juga
apa”, ”sumpah ya tuh cewek”. Mereka memang terkenal sebagai geng gosip.
Aku semakin mencondongkan tubuh untuk ikut mendengarkan apa yang
mereka obrolkan, tapi ketika salah satu dari mereka melihatku, aku
langsung mengalihkan pandangan dan pura-pura mengamati beberapa mu
rid cowok yang baru saja keluar dari WC.
156
157
158
159
160
KEI
Aku kembali melihat jam tanganku. Mungkin untuk yang kesekian kalinya.
Lagi-lagi Alexa tidak datang. Istirahat pertama tadi aku sempat melihatnya,
tapi kami tidak sempat berbicara.
Aku ragu apakah Alexa menyadari ketidakhadiranku selama tiga hari ini.
Itu mungkin saja, temannya bilang dia menanyakan kabarku tiga hari lalu,
ketika aku mulai tidak masuk. Apa dia ingin membicarakan sesuatu?
Aku menatap piano hitam di depanku. Diam tidak bernyawa, tetapi
pada saat yang sama terlihat begitu elegan dan mewah, seolah hanya akan
menghasilkan musik terbaik bila dimainkan tangan-tangan dengan kemam
puan musik cemerlang. Aku mengelus piano itu. Sayangnya, aku bukan
salah satu pemilik tangan hebat itu. Mungkin dulu aku mampu, tapi kini
tanganku tidak mampu lagi menghasilkan musik yang indah dengan piano
itu. Itulah alasan aku tidak masuk tiga hari belakangan ini. Tanganku yang
begitu berharga menolak melakukan apa yang kuperintahkan. Terutama
tangan kiriku. Kurasa yang dulu pernah terjadi padaku kini kembali
muncul.
Dulu aku berhenti bermain piano karena tanganku tidak bergerak de
ngan semestinya, sehingga permainanku pun tidak sempurna. Semakin aku
memaksakan diri bermain, semakin parah keadaan tangan kiriku. Karena
itu aku takut bermain piano, aku takut bermimpi menjadi pianis. Aku ta
kut ketika musik telah benar-benar menjadi bagian dari diriku yang begitu
penting, aku justru harus meninggalkannya karena tangan kiriku tidak lagi
bisa bermain.
Tapi setelah beberapa tahun meninggalkan musik, aku semakin yakin
aku telah sembuh dari penyakit itu. Tahun lalu, ketika memberanikan diri
untuk menyentuh piano ini lagi, aku sadar aku bisa memainkan kembali
komposisi-komposisi yang pernah kumainkan. Aku, dan tanganku, meng
161
162
ALEXA
Aku memainkan bolpoin di tanganku, memutar-mutarnya di meja. Aku
ikut memutar otak, memikirkan apa yang baru terjadi padaku. Isi loker
163
164
165
166
167
Selama mid test, aku berusaha sekeras tenaga untuk fokus karena beberapa
kali pikiranku sempat teralihkan ketika aku bertemu Kei. Aku masih tidak
bisa bicara dengannya dan apabila aku menunggu di ruang musik setelah
pulang sekolah, dia pasti tidak ada di sana. Belakangan aku tahu dari
Rangga bahwa sejak absen tiga hari tersebut, begitu keluar Kei selalu lang
sung menuju ke mobil yang menjemputnya dan pulang. Dia tidak pernah
lagi menghabiskan waktu bersama Rangga dan teman-temannya di kantin
atau di lapangan futsal seperti dulu.
Aku makin penasaran, apa yang terjadi dengannya?
Walaupun aku tidak bisa menemuinya setelah pulang sekolah, aku sem
pat beberapa kali bertemu dengannya saat istirahat. Sayangnya, tiap kali
bertemu pasti aku sedang belajar bersama teman-temanku atau dia sedang
bersama teman-temannya dan mengobrol seru. Aku selalu berpikir untuk
mendatanginya walaupun ada banyak orang, tetapi aku tidak ingin perha
tian teman-temanku ataupun teman-temannya mengarah pada kami dan
akhirnya kami jadi harus bicara dalam keadaan canggung. Aku merasa bisa
bicara bebas dengannya ketika kami berada di ruang musik seperti dulu.
Rasanya aku berada dalam dunia sempit yang hanya dipahami kami
sendiri, sedangkan di luar sini, begitu banyak hal yang harus kupikirkan
sebelum aku bisa bebas berbicara dengannya. Aku juga tidak yakin dengan
apa yang dia pikirkan, sehingga akhirnya aku pura-pura tidak melihatnya
168
169
170
171
172
173
174
175
KEI
Langkahku terhenti di depan pintu kelas. Aku yakin baru saja mendengar
jeritan seseorang. Aku menoleh ke lorong yang baru saja kulewati. Alexa
sudah tidak ada. Apa dia sudah kembali ke kelasnya?
Suara siapa itu? Aku yakin baru saja mendengar seseorang menjerit.
Saat itu juga aku melihat sekumpulan murid cewek berlari ke arah tang
ga. Ketika aku melihat sekeliling, ternyata beberapa murid menatap ingin
tahu ke arah yang sama, arah mereka mendengar jeritan tersebut.
Seseorang tiba-tiba berlari dari kerumunan murid cewek di tangga me-
nuju kelas XI IPA. Aku tahu cewek itu. Vivi, kalau tidak salah.
Aku berjalan menjauhi kelas perlahan. Terdengar hiruk pikuk dari kelas
XI IPA dan tiba-tiba saja banyak murid berhamburan ke luar. Aku melihat
Kenny, Selwyn, dan satu orang teman dekat mereka berlari menuju tangga
tempat asal jeritan tadi. Aku juga melihat cowok bernama Daniel, diikuti
Vivi, berlari kembali ke arah tangga. Wajah mereka semua begitu pucat
dan memancarkan kepanikan.
Langkahku terhenti. Tiba-tiba tubuhku terasa kaku. Aku kenal betul
perasaan ini, firasat buruk ini. Tidak mungkin, aku baru saja meninggalkan
Alexa beberapa detik yang lalu, dan sesuatu yang buruk terjadi padanya?
Aku melangkah lebih cepat menuju tangga. Rasanya aku bisa mendengar
bisikan kecil yang mengatakan semuanya terlambat. Kumohon, jangan sam
176
177
ALEXA
Aku menatap tangan kananku yang dibalut perban. Dokter klinik sekolah
bilang tanganku terkilir dan aku akan sulit memakainya selama beberapa
hari ke depan. Walaupun begitu, aku disarankan untuk memeriksakannya
di rumah sakit untuk mencegah kemungkinan adanya keretakan atau otot
yang terkilir. Dokter juga menyarankan agar aku memeriksakan benjolan
di dahi kananku akibat benturan saat jatuh tadi karena takut ada cedera
dalam. Meskipun begitu sejauh ini aku hanya melihatnya sebagai benjolan
biasa. Dokter itu bahkan sampai repot-repot menyarankan agar kepalaku
diperban, tapi aku tidak mau. Aku tidak ingin menarik perhatian lebih
banyak. Aku tahu dengan dikompres saja bengkaknya akan menyusut, tapi
tentu setelah ini aku akan mengikuti sarannya untuk ke rumah sakit.
”Kejadiannya gimana sih, Alexa? Lo kepleset?” tanya Kenny ketika mem
bantu membereskan barang-barangku setelah bel pulang berbunyi.
Aku menggeleng.
”Terus, kenapa ini ada di sekitar tempat lo jatuh?” giliran Arnold yang
bertanya sambil menyerahkan tas bekalku yang sudah dia rapikan.
178
179
180
181
Pagi ini aku merasa pergelangan tangan kananku sudah lebih baik. Aku
menuruti saran Kitty yang mengunjungiku Sabtu kemarin untuk membiar
kan tanganku tetap diperban sampai sakitnya hilang. Aku benar-benar
182
183
184
Sepanjang hari itu aku tidak berani pergi ke ruang musik atau menunggu
di depan lorong kelasku sama sekali. Aku bahkan tidak berani melihat so
soknya sedikit saja. Aku tidak tahu alasan sebenarnya Kei bersikap dingin
padaku. Karena itu aku tidak berani memaksanya bicara. Aku takut aku
akan semakin sakit hati, walaupun sebenarnya tidak bisa melihatnya seperti
ini rasanya jauh lebih menyakitkan.
Aku tidak tahu harus berbuat apa. Sampai hari ini aku masih mengucil
kan diri di dalam kelas, sesekali kalau terpaksa aku buru-buru menuju
toilet dan kembali ke kelas. Aku tahu ini bodoh sekali. Adakah satu cara
agar aku bisa kembali ke keadaan sebelum Porseni, ketika kami mengha
biskan waktu bersama di ruang musik itu?
185
186
187
188
KEI
Aku berdiri di depan ruang musik. Sudah lama rasanya aku tidak mema
suki ruangan ini lagi. Tak mungkin aku lari terus dari masalah. Rasa
penasaran itu masih menghantuiku. Aku masih ingin mencoba melatih
tangan kiriku. Seiring hari berlalu rasanya aku semakin kesepian karena
189
190
191
192
193
194
ALEXA
Kei menciumku.
Segala hal rasanya tersapu begitu saja dari kepalaku. Pikiranku sesaat
kosong. Tapi begitu bisa merasakan amarahku kembali lagi, aku mendorong
nya dan menamparnya.
Bisa kulihat keterkejutan di wajahnya. Entah apakah karena dia tidak
menyangka dia bisa melakukan itu, atau bahwa aku baru saja menampar
nya. Aku tidak peduli, bagiku itu tidak cukup untuk memaafkannya.
195
196
KEI
Aku terduduk di bawah jendela. Terlindung dari sinar matahari yang me
nembus masuk ke ruangan ini, membuatku berada di dalam bayangan
yang seakan mendukung atmosfer kesedihan yang mengelilingiku. Aku ter
duduk di lantai, memegangi pipi kiri dengan sebelah tangan sambil mena
tap nanar. Bayangan kejadian singkat itu masih terus terlintas di benakku.
Tamparan yang tidak terlalu keras—aku tahu aku layak menerima yang
lebih buruk—tapi sampai saat ini panasnya masih terasa di kulit.
197
198
199
200
ALEXA
Aku duduk di kursi kantin di lantai dua, menunggu bel berbunyi dan se
mua murid pulang. Ada target yang kutunggu, dan aku tahu mereka pasti
bersama.
Baru beberapa detik yang lalu bel berbunyi dan aku bisa langsung men
dengar gemuruh langkah kaki terdengar dari pintu di kanan dan kiriku.
Aku tahu walaupun targetku pernah beberapa kali keluar dari pintu di
sebelah tangga utama di sana, mereka lebih sering keluar dari pintu di
samping kantin ini. Saat ini aku hanya perlu menunggu.
Ketika kerumunan murid mulai memenuhi area ini dan bergerak bersa
maan menuju tangga utama, aku melihatnya. Aku melihat Daniel bersama
beberapa temannya, berjalan berdampingan dengan Vivi yang tampak
sedang mengobrol dengan teman baiknya. Inilah yang kuharapkan, aku
bisa melaksanakan rencanaku di depan teman-temannya sekaligus.
Aku berdiri dan mulai berjalan mantap ke arah mereka.
”Alexa!”
Aku menoleh. Dari pintu di sebelah kanan yang biasa kulalui, Kei berja
lan ke arahku. Ini lebih baik lagi. Aku tersenyum pada Kei dan membiar
kannya memperhatikanku.
Aku kembali memfokuskan perhatian pada Daniel dan berjalan lebih
cepat ke arahnya. Aku meraih tangannya dan menghentikannya.
201
202
203
ALEXA
Tampaknya takdir pun berniat ikut memanasi keadaan yang sudah kubuat
semakin runyam ini. Aku tidak berharap akan langsung mulai membuat
masalah sepagi ini, tapi kedatanganku ke sekolah yang bersamaan dengan
Daniel seolah memancingku. Daniel yang baru keluar dari parkiran motor
melihatku dan mengajakku jalan ke gedung sekolah bersama-sama. Aku
mengikutinya, walaupun sejujurnya mentalku belum siap untuk berperang
sepagi ini. Aku yakin sekarang Vivi bisa berada di mana pun dan memper
hatikan gerak-gerik kami. Aku berusaha menenangkan diri. Daniel ataupun
Vivi benar-benar bukan orang yang ingin kutemui pagi ini.
”Gimana persiapan gig-nya?” tanyaku basa-basi.
”Lumayan,” jawab Daniel, terlihat benar-benar bersemangat kalau dita
nya soal bandnya. ”Dari weekend kemarin udah latihan terus di studio
deket rumah.”
”Baguslah,” aku menimpali, ”gue jauh-jauh dateng mengharapkan penam
pilan yang memuaskan, ya.”
Daniel tertawa. ”Iya, tenang aja. Thank you, ya, udah mau dateng.”
204
205
206
KEI
Aku memperhatikan Alexa berjalan ke arah pintu utara. Aku mengikutinya.
Kedua bahu Alexa turun dan kepalanya agak tertunduk, seolah sedang
memikirkan sesuatu.
Aku hanya mengikuti tetapi tidak berani menyapa. Aku sudah berusaha,
tetapi gagal.
Mungkin ini karma. Dua hari yang lalu Alexa terlihat ingin bicara de
nganku, tapi aku mengabaikannya. Bahkan ketika dia meraih lenganku
untuk menghentikanku, aku malah menepisnya. Saat itu berat rasanya un
tuk menepis tangannya. Aku sempat berpikir untuk menggenggamnya, tapi
karena amarah menguasaiku, akhirnya aku malah melakukan sesuatu yang
hingga kini kusesali.
Dan kali ini keadaan berbalik. Aku merasa begitu sakit ketika Alexa
menepis tanganku. Hanya saja kali ini aku tidak merasakan ada keraguan
sedikit pun ketika dia melakukannya. Aku hanya melihat amarah di mata
nya.
Harus kuakui, setelah yang kulakukan kemarin, aku memang tidak bisa
dimaafkan.
Sambil menatap Alexa yang kini mulai menaiki tangga menuju kelas
IPA di lantai empat, aku semakin merasa mantap. Aku tidak peduli walau
207
ALEXA
Aku buru-buru berlari menuju toilet cewek di samping lift. Aku baru dari
ruang guru dan Bu Santi baru saja memarahiku karena seragamku yang tidak
rapi. Tentu saja tidak rapi, aku belum selesai ganti baju sehabis pelajaran
olahraga ketika teman sekelasku, Anggie, bilang Bu Santi mencari-cariku dan
katanya penting. Kukira sepenting apa, ternyata Bu Santi hanya menanyakan
buku absensi dan jurnal kelas. Alhasil ketika dilihatnya seragamku yang
masih berantakan, aku malah dimarahi. Di depan Bu Santi, murid selalu
salah. Cara bicaranya memang halus dan tenang, tapi pemilihan kata-kata
yang digunakan selalu menusuk. Aku tidak menyukainya.
Aku memasuki salah satu bilik toilet dan merapikan kemejaku. Suasana
toilet benar-benar sepi, tapi tidak lama setelah aku masuk, aku mendengar
pintu toilet terbuka kembali dan beberapa orang masuk. Mereka berisik
sekali. Kalau dari suaranya, kedengarannya ada tiga orang. Tiga orang saja
bisa membuat toilet yang sepi jadi terasa penuh. Mereka berhenti di depan
bilik tempatku berada, yang menghadap ke kaca dan wastafel.
”Makanya, gimana kalau Jumat ini aja?” tanya satu orang di antaranya.
Suara ini sepertinya tidak asing. Mau tidak mau aku mendengarkan.
”Jumat ini kan cowok lo mau tampil, lo mesti nemenin dia. Cari hari
lain aja,” salah satunya membalas.
208
209
210
211
212
KEI
Aku berjalan menuju pintu kelas itu karena mendengar alunan gitar. Sua
ranya menggema sampai koridor dan mengingatkanku akan peristiwa masa
lalu. Aku semakin dekat dan melongok ke dalam kelas. Kulihat Alexa ber
main gitar dan tertawa. Sudah lama rasanya aku tidak melihatnya tertawa.
Tapi dia tidak sendiri. Dia ditemani Daniel.
Aku menghela napas. Ini bukan pemandangan yang kuinginkan. Semakin
lama aku menyaksikan kejadian itu aku hanya akan semakin sakit hati.
Aku kemudian berbalik dan berniat kembali ke kelas.
”Ups, sori,” ujarku saat menabrak seorang murid cewek yang berdiri
bersama temannya tak jauh di belakang tempatku berdiri tadi. Murid yang
kutabrak itu tidak menghiraukanku dan bersama temannya berbisik-bisik
sambil melihat ke dalam kelas.
Aku bingung dengan tingkah mereka. Kalau memang ingin masuk,
kenapa tidak masuk saja?
213
214
ALEXA
Saat aku kembali ke kelas, Vivi dan kedua temannya sudah mengerumuni
Daniel, tapi aku tidak peduli. Ini perang antara aku dan Vivi, jadi saat itu
juga aku merebut gitar yang sedang dimainkan Selwyn dan di depan mata
Vivi, meminta Daniel sekali lagi mengajariku lagu yang sebelumnya dia
mainkan. Aku tahu Vivi benar-benar marah, tapi dia kemudian beralih
duduk bersama Aria diikuti kedua temannya. Aku juga bisa mendengar
beberapa kali kedua temannya itu menyindir-nyindirku. Tidak masalah,
aku bisa tahan. Tidak lama setelah itu sindiran mereka lenyap ditelan bel
yang berbunyi nyaring dan mereka semua, termasuk Daniel, akhirnya
meninggalkan kelasku.
Selwyn menepuk kepalaku pelan. ”Balas dendam, Alexa?”
215
216
KEI
”Jadi?” Rangga memulai, ”lo ngajak gue ke kantin bukan buat makan?”
Aku menggeleng.
Kami bersandar di pilar. Aku langsung mengajak Rangga ke sana setelah
Selwyn menemuiku barusan. Mataku terpaku pada satu orang.
”Kalau nggak mau makan, terus mau ngapain?” tanya Rangga. ”Balik
aja yuk, gerah banget di sini,” Rangga mulai membuka ritsleting jaket.
”Kata Selwyn, kemungkinan Alexa nggak aman sekarang.”
Rangga langsung menoleh ke arahku. Dia kemudian mengikuti arah
pandangku dan menemukan orang yang dimaksud. ”Ah, itu pelakunya,
kan? Yang di samping Alexa.”
Aku mengangguk.
217
ALEXA
Aku menuju stan tukang bakso yang ditunjukkan Vivi. Aku langsung
memesan dua porsi. Aku harus menunggu cukup lama karena memang
agak ramai. Ketika membayar, aku baru sadar, tadi Vivi tidak menitipkan
uang padaku yang berarti aku membayarinya makan siang.
Hahaha, aku tertawa pelan. Dia memang benar-benar pintar. Lagi-lagi
dengan bodohnya aku dimanfaatkan, tapi aku tidak akan membiarkannya
terus merendahkan dan melukaiku.
Akhirnya pesananku siap dan aku menerima nampan plastik untuk
membawa dua mangkuk bakso. Setelah mengucapkan terima kasih aku
langsung berjalan pelan kembali ke mejaku. Uap panas yang menguar
ditambah kantin yang penuh dan gerah membuatku berkeringat. Aku
benar-benar ingin cepat sampai di meja. Pandanganku fokus ke jalan di
depanku dan kedua mangkuk di nampan yang kubawa. Karena itu, aku
tidak terlalu sadar ketika salah satu teman Vivi melemparinya sesuatu dan
mereka bertiga tertawa-tawa. Aku sudah hampir sampai di dekat meja
ketika aku melihat Vivi melempari Lia dengan sedotan bekas dan Lia men
jerit lalu melompat ke belakang, menabrakku yang sedang membawa dua
mangkuk bakso panas.
Bunyi mangkuk pecah dan jeritan Vivi membuat seisi kantin saat itu
juga langsung terdiam dan memperhatikanku. Lia kemudian ikut meringis.
Aku tidak terlalu mendengar apa yang dia keluhkan kepada Alexa atau apa
218
KEI
Aku langsung merampas jaket yang Rangga dan menyerahkan dompetku
kepadanya.
”Bayar ganti ruginya dan beli seragam baru.”
Kemudian aku langsung berlari menghampiri Alexa dan menutupi
bagian depan tubuhnya dengan jaket Rangga. Alexa yang masih tampak
terkejut menurut ketika aku menyeretnya menuju lift.
Kulihat Rangga langsung menyuruh Selwyn dan Kenny memunguti pe
cahan mangkuk sementara dia sendiri berusaha memberikan penjelasan
kepada ibu penjual bakso. Beruntung Rangga pelanggan setia, sehingga dia
jadi tidak terlalu mempermasalahkan kejadian tersebut.
Itu pemandangan terakhir yang kulihat sebelum akhirnya pintu lift ter
buka dan aku langsung menyeret Alexa masuk.
Di dalam lift kami hanya diam.
Alexa terlihat seperti melamun, dia jelas masih memikirkan kejadian tadi.
Tapi wajahnya tidak berekspresi, tidak terlihat marah atau ingin menangis.
Dia hanya… menatap lurus ke pintu lift. Dia tidak mengatakan apa-apa.
Aku tidak berani mengucapkan satu patah kata pun. Aku sudah mem
peringatkan Alexa dan memarahinya sekarang pun tidak akan mengubah
keadaan. Aku juga tahu Alexa pasti tidak menyangka situasinya akan jadi
seperti ini.
219
ALEXA
Aku selalu berusaha sekuat tenaga tidak memperlihatkan sisi rapuhku pada
orang lain. Tapi kenapa selalu di depan Kei aku seolah tidak bisa menahan
emosiku? Ketika merasakan sentuhan tangannya di puncak kepalaku atau
saat tangannya yang hangat menggenggam tanganku seperti ini rasanya
pertahanan diriku runtuh begitu saja.
Aku bisa menunjukkan pada orang lain bahwa aku tidak ambil pusing
dengan apa yang kualami, aku bisa menampilkan diriku yang juga tidak
mau kalah dan egois di depan orang yang kubenci, tapi hanya di depan
dirinyalah aku benar-benar merasakan sesak di dadaku. Ini pertama kalinya
aku sadar sejak berbagai perlakuan jahat yang kuterima dari Vivi, pertama
kalinya aku sadar sejak beberapa hari ini aku berpura-pura kuat, bahwa
220
KEI
Aku bersandar di dinding samping pintu klinik ketika mendengar derap
beberapa langkah kaki mendekat ke arahku. Rangga berlari ke arahku sam
bil membawa kantong kertas diikuti Kenny dan Selwyn.
Rangga menyodorkan kantong kertas tersebut ke depan wajahku. ”Ini,”
ucapnya, sambil terengah kehabisan napas.
”Lama,” balasku datar.
”Itu udah paling cepet, monyong!” jerit Rangga, mengenyakkan diri di
kursi terdekat.
”Ssst!!” Kenny mengingatkan Rangga.
Aku tidak memedulikan mereka dan langsung mengetuk pintu. Tak
lama kemudian seorang perempuan muda membuka pintu dan aku lang
sung menyerahkan kantong tersebut.
”Seragam baru.”
Perempuan itu mengangguk dan menerimanya. Pintu kemudian ditutup
kembali.
”Terus,” Kenny memulai, ”dokternya nggak bilang apa-apa?” tanyanya.
221
222
223
ALEXA
”Setelah kemarin seharian Anda diam saja sejak peristiwa ’kuah bakso’ di
kantin,” Kenny memulai, ”tolong ungkapkan perasaan Anda yang dari ke
marin dipendam sendiri.” Dia kemudian menyodorkan pulpen ke dekat
mulutku, seolah itu microphone dan dia sedang mewawancaraiku.
”Rasanya,” aku memulai, ”pengin nyebut semua nama-nama penghuni
kebun binatang di depan muka Vivi,” jawabku.
”Oh, maksudnya Mas Karto penjaga kebun, terus Mang Agus yang tu
kang sapu, Maysaroh yang jualan suvenir…”
”Bukan, Selwyn,” potongku, ”maksud gue, nama-nama binatangnya.”
”Oh, jadi lo mau bilang ke Vivi ’Dasar lo, penguin! Kuda nil! Kupu-
kupu! Lumba-lumba!”
Aku langsung tidak mood lagi menanggapi ucapannya.
”Hahahaa… Kok lo bisa tahu nama-nama Mas Karto, Mang Agus,
Maysaroh segala sih, Wyn? Lo kenalan sama staf di sana? Gaul amat,” sa-
hut Arnold polos.
”Ya nggak lah, gue ngarang.”
Jawaban datar Selwyn langsung menghapus tawa Arnold. Masih kesal,
dia kembali memandangku. ”Untung lo nggak apa-apa ya, Lex.”
Aku mengangguk.
”Ah, seandainya gue juga ada di kantin, pasti kejadiannya seru tuh.”
Aku langsung memelototi Arnold.
”Itu bukan tontonan kali, Nold,” timpal Kenny.
224
225
226
227
228
229
KEI
Aku baru saja berjalan menuju tangga ketika melihat Alexa berlari terburu-
buru ke luar kelas. Yang menarik perhatianku bukan karena Alexa bersama
Daniel, melainkan karena dia tidak membawa tas.
Aku langsung menjauhi tangga dan mendatangi kelas Alexa. Kulihat
Selwyn sedang berbicara dengan Kenny dan Arnold dan langsung menda
tangi mereka.
”Alexa kenapa?” tanyaku.
”Ah, tadi Daniel bilang Vivi tiba-tiba menghilang, terus Alexa bantu dia
cari Vivi,” jawab Selwyn singkat.
Kulihat dia menjinjing tas berwarna cokelat. ”Tas Alexa?” tanyaku
lagi.
Selwyn mengangguk. ”Tadi dia titipin ke gue.”
Aku berpikir sebentar. ”Dia bilang nggak mau cari ke mana?”
Kenny langsung menyahut. ”Daniel cari Vivi dari lantai empat ke ba
wah, Alexa dari lantai lima ke atas.”
”Oke,” jawabku, ”Thanks.”
Aku berbalik dan segera meninggalkan mereka bertiga.
ALEXA
Perpustakaan, ruang multimedia, toilet, aula, klinik, semua ruangan di lan
tai lima sudah kudatangi, tapi Vivi tidak ada di sana. Kurasa dia tidak
mungkin mendatangi ruangan atau daerah yang dipenuhi orang. Entahlah,
tapi firasatku mengatakan dia benar-benar ingin sendiri saat ini.
230
231
232
Lt 8.
233
toilet perempuan.
”Tapi kenapa sekarang jadi begini…” tangis Vivi semakin keras. Aku
bisa merasakan jantungku berdetak lebih kencang. Aku masih menunduk
menatap handphone-ku, tidak terlalu memperhatikan Vivi dan fokus
menatap jariku yang bergerak menekan tombol Kirim. Akhirnya pesanku
terkirim.
”Alexa.”
Aku terkejut dan menemukan Vivi berdiri tepat di hadapanku, menatap
ku lurus. Wajahnya tanpa ekspresi, tetapi air mata tetap mengaliri pipinya.
Dia menatapku tajam dengan matanya yang mulai membengkak karena
terlalu banyak menangis.
”Siapa yang lo hubungin?” tanyanya.
Aku baru menyadari tangan kanan Vivi masih memegang cutter dan
tangan kirinya menggenggam perban berdarah tadi. Aku mundur per
lahan.
”Daniel?” tanyanya.
Aku bisa mendengar kesedihan yang begitu dalam ketika dia menyebut
nama itu.
Dia maju mendekatiku.
”Tunggu sebentar, Vi,” aku berusaha menenangkannya, ”lo salah pa
ham.”
Aku mundur, tapi dia terus mendekatiku. Jantungku berdegup kencang
sekali hingga dadaku terasa sakit. Tanganku gemetar tidak keruan. Napasku
ikut menderu melihat Vivi yang semakin terisak. Aku tidak menyangka
akan berada dalam situasi seperti ini bersamanya. Daniel, cepatlah datang.
Apa pun yang kuucapkan tidak akan bisa meyakinkan Vivi. Hanya Daniel
yang bisa menenangkannya.
”Apanya yang salah paham?” tanya Vivi, kini kami sudah berada di luar
toilet. ”Apa yang gue lihat selama udah cukup jelas.”
Mataku bergantian menatap cutter dan wajah Vivi. Keduanya benar-benar
234
235
236
237
238
239
240
241
242
243
KEI
Aku berjalan pelan berdampingan dengan Alexa menuju tangga utama.
Sekolah mulai sepi, hanya beberapa murid yang mengikuti ekskul yang
masih berada di sekolah.
Aku meliriknya, tersirat kelegaan di wajahnya. Masalah yang dia hadapi
sudah selesai. Dan dia sudah mengungkapkan yang sebenarnya. Dia sudah
menepati janjinya. Sedangkan aku sendiri belum.
Aku ingat janji kami ketika akan tampil di Porseni yang lalu, bahwa hal
itu langkah akhir bagi Alexa untuk melupakan Daniel dan langkah awal
bagiku untuk mengejar impian menjadi pianis. Alexa sudah melupakan
cintanya dan memulai awal baru, tetapi aku tidak menyadarinya. Aku ma
lah menyangka dia masih terseret masa lalu. Padahal yang masih terseret
masa lalu itu aku sendiri. Aku belum bisa mengungkapkan keinginan dan
mimpiku kepada tanteku. Dan karena penyakit yang pernah kuderita
mendadak kambuh, aku bahkan tidak berani menyentuh piano lagi saat
ini.
Aku takut tidak bisa kembali bermain piano, tapi selagi bisa, aku me
nyia-nyiakan kesempatan tersebut untuk mengeluh dan melarikan diri. Aku
akan sekali lagi mencoba pergi ke dokter untuk menyembuhkan tangan
kiriku.
Lalu aku akan mengatakannya pada tanteku.
Aku akan menepati janjiku.
Sekali lagi aku menatap Alexa. Aku senang dia berada di sisiku, berjalan
244
245
246
KEI
Sejak sampai di rumah, aku terus berlatih tanpa henti. Aku menggunakan
keyboard milik Ibu yang kusembunyikan di bawah tempat tidur. Tante
pernah nyaris membuang keyboard tersebut tetapi karena aku berkeras itu
milik ibu yang paling berharga, akhirnya aku diizinkan menyimpannya.
Syaratnya, aku tidak boleh memainkannya lagi. Yang tidak diketahui Tante,
selama setahun terakhir ini aku sering berlatih dengan keyboard tersebut di
kamar, terutama ketika tanteku pergi atau pada malam hari ketika semua
orang sudah tidur. Aku mengecilkan volume suaranya atau bahkan tanpa
suara sama sekali. Aku baru bisa berlatih dengan bebas di sekolah.
Kali ini tujuanku sedikit berbeda.
Aku tahu sebentar lagi tanteku akan pulang dan walaupun sejauh ini aku
berhasil memainkan lagu dari awal sampai akhir, aku masih merasa tangan
kiriku belum sebaik yang kuharapkan. Aku masih belum yakin dengan per
mainanku sendiri. Aku bisa merasakan tanganku agak gemetar dan jantung
ku berdebar kencang, emosiku campur aduk. Aku takut sekaligus senang.
Aku gugup, tetapi hati kecilku mengatakan aku akan baik-baik saja.
247
248
249
250
***
251
252
253
254
KEI
Aku duduk menghadap piano dengan mata terpejam. Aku berusaha menyerap
segala hal yang kurasakan di ruangan itu sepenuhnya. Suara bising dari
lapangan di luar sana yang terbawa masuk melalui salah satu jendela yang
sengaja kubuka. Dengung mesin pendingin ruangan. Bau cat minyak, kanvas
baru, tiner, dan aroma apak dari lukisan-lukisan yang dibiarkan menumpuk
dan berdebu nyaris di setiap sudut, semua itu bercampur dengan bau kayu
yang dipernis.
Aku merekam semua itu, semua perasaan dan kenangan yang pernah
kurasakan selama berada di sini. Kemudian aku membuka mata, dan meraih
buku serta bolpoin. Sesekali aku berhenti untuk memainkan piano sebentar
sambil memandangi buku yang baru kutulisi. Aku tersenyum puas ketika
akhirnya menemukan yang kuinginkan.
Ini konklusinya, pikirku.
Kemudian ketika aku meletakkan buku tersebut di penyangga partitur dan
membalik-baliknya hingga ke halaman paling awal, secarik kertas terjatuh ke
lantai.
ALEXA
”Buku partitur?” tanya Alexa.
Rangga mengangguk. ”Di awal-awal masuk SMA ini dia sering ke ruang
musik, duduk di depan piano, tapi nggak pernah dia mainin. Gue sempet
255
KEI
Aku mengambil kertas tersebut dari lantai dan mengaitkannya kembali ke
halaman pertama buku partiturku. Aku memandanginya sebentar, lalu meng
alihkan perhatian pada komposisi di halaman tersebut.
Aku memejamkan mata dan tersenyum. Kedua tanganku bersiaga di atas
tuts. Aku menarik napas dan mengembuskannya perlahan. Kemudian membu
ka mata dan mulai bermain. Melodi yang kumainkan membawaku kembali
pada kenangan masa lalu. Ini bagian pertama. Suatu pembukaan. Suatu per
temuan.
Saat itu aku membantu merapikan meja dan kursi di salah satu kelas yang
baru saja dipakai untuk MOS. Ketika aku sampai di meja kedua dari depan
dekat jendela, aku menemukan buku hitam tertinggal di lacinya. Kupikir itu
pasti milik salah satu murid baru.
Aku mengambil buku itu, hendak menyerahkannya pada anggota OSIS
yang bertugas di kelas ini. Tapi buku itu menarik perhatianku. Aku mem
perhatikan kertasnya yang tebal dan setengah halamannya yang tampak lebih
kusam daripada setengah sisanya, menandakan buku itu sudah setengah terisi.
Aku tergoda untuk membukanya.
256
257
ALEXA
”Ah, gambar piano gue!” Aku baru ingat. ”Ternyata ada di dia?”
Rangga mengangguk. ”Gue lihat buku itu di laci mejanya tadi pagi.
Waktu gue buka, ternyata ada gambar itu dan akhirnya dia ceritain ke
gue.”
”Tapi sebenarnya… itu… Chiaki Shinichi…” jawabku pelan.
”Apa?”
”Sebenarnya waktu itu gue baru nonton drama Jepang, Nodame
Cantabile, dan gue suka tokoh utama di film itu makanya waktu bosen di
kelas akhirnya gue gambar,” jelasku.
”Lo… suka banget sama drama itu sampe lo gambar karakternya?” tanya
Rangga sambil menatapku aneh.
”Suka banget!” jawabku bersemangat. ”Apalagi Chiaki-senpai keren ba
nget, waktu dia main piano, main biola, bahkan waktu jadi conductor…”
258
259
KEI
Aku tidak bisa berhenti tersenyum. Ironisnya, ada setitik kesedihan yang terasa
di lagu ini. Itu karena aku ingat ekspresi sedih Alexa yang kulihat melalui
sela-sela sekat ruang musik saat itu. Aku lalu ingat senyum Alexa ketika
pertama kali bertemu dengannya. Orang yang mampu membuat gambar
penuh perasaan seperti itu tidak seharusnya bersedih, karena itulah aku
memutuskan untuk memainkan lagu karya Charlie Chaplin tersebut. Aku
berharap bisa melihat senyum Alexa lagi.
Tapi bahkan ketika aku memainkan lagu tersebut, aku tidak hanya ber
usaha menghibur Alexa, aku juga menghibur diriku sendiri.
Aku memainkan pianoku sedikit lebih riang. Bagian ini mewakili ke
adaanku saat itu. Aku merasa panik sekaligus tidak bisa menyembunyikan
kebahagiaanku.
Aku masih tersenyum.
Itu adalah kedua kalinya aku berinteraksi dengan Alexa.
***
260
KEI
Aku ingat setelah kejadian di ruang musik, aku tidak yakin apakah Alexa
mengetahui bahwa orang yang memainkan Smile itu aku. Karena itu, aku
jadi lebih sering memperhatikannya. Aku tidak yakin apakah Alexa tahu ten
tang aku, bagaimana reaksinya kalau kami berpapasan, dan bagaimana aku
harus bersikap kalau dia memang ingat aku.
Saat itu Alexa dan teman satu kelompoknya sedang mengerjakan tugas
261
ALEXA
”Jadi, itu Kei?” tanyaku lagi memastikan.
Rangga mengangguk. ”Gue tahu dia lagi kesel, makanya gue curiga wak
tu dia tiba-tiba diem. Pas gue lihat-lihat lagi, ternyata lo baru masuk ke
perpus.” Dia tertawa.
Aku menggali kembali ingatanku belakangan ini.
”Jadi, waktu gue ngobrol di depan ruang guru sama Rieska itu
juga…?”
”Oh!” Rangga tiba-tiba menyahut. ”Gue inget, waktu itu kayaknya gue
bareng sama anak-anak lewat di depan lo, terus…”
”Waktu gue di depan ruang guru abis istirahat kedua ngobrol sama
Vivi…”
”Ah, itu kejadian yang mana, ya?”
”…gue inget lihat lo dan rombongan lo baru dari lantai atas.”
Rangga mengangguk-angguk, tapi wajahnya terlihat berpikir keras dan
mencoba mengingat-ingat. Tapi bukan itu yang menjadi perhatianku.
Waktu itu aku merasa Daniel-lah yang memperhatikanku, dan selama ini
setiap kali aku merasa diamati, aku berkesimpulan bahwa itu Daniel karena
aku selalu bertemu dengannya, bukan Kei. Kenapa semuanya begitu kebe
262
KEI
Musik yang menggema di ruangan itu mulai memelan, tapi masih terus
berlanjut. Aku membalik halaman buku partiturku. Dan sekali lagi melodi
yang kumainkan membawaku ke kenangan yang lalu. Kenangan ketika aku
akhirnya berkenalan dengan Alexa, ketika dia akhirnya mengetahui
namaku.
Aku tahu dia akan menghabiskan banyak waktu di ruang lukis karena
permintaan lukisan untuk Porseni. Dan aku ingin menemaninya. Yang tidak
kuduga, Alexa mengajakku bicara. Walaupun melalui bertukar pesan dengan
kertas, itu cukup membuatku berdebar-debar. Aku tidak bisa menahan
senyum.
Aku ingin menjadi orang yang bisa mendukung Alexa. Sama seperti Alexa
yang membantuku bermain piano kembali.
Sayangnya, ada orang lain yang lebih penting baginya.
ALEXA
”Oh, jadi karena ini dia tahu tentang Teddy dan Aldo? Karena dia sendiri
juga suka perhatiin gue?”
”Yah, ibaratnya kayak sesama predator yang saling menyadari keberadaan
saingannya gitu,” jawab Rangga santai. ”Tapi Kei jago karena bisa nyembu
nyiin perasaannya, sebelum akhirnya belakangan ini jadi terang-terangan
banget.”
”Jadi maksudnya gue mangsanya, gitu?”
263
264
KEI
Aku berdiri kaku ketika Alexa berdiri di hadapanku, menggeser dinding
pembatas yang selama ini memisahkan kami. Alexa menatapku, tapi aku
yakin, bukan aku yang terpantul dalam bayang kesedihan yang tampak di
matanya.
Itu pertama kalinya Alexa menceritakan isi hatinya. Yang membuatku
sedih, hatinya hanya terisi oleh sosok lain. Namun yang dibutuhkan Alexa
saat itu adalah teman yang mampu menyemangati dan memberikan saran,
dan itulah yang kulakukan. Saat itu, tidak ada hal yang lebih baik dari
Alexa yang tiba-tiba menggenggam tanganku dan berterima kasih. Saat itu
yang ada di pikiranku hanyalah ”tidak masalah, seperti ini juga bagus”.
Setidaknya untuk saat itu, aku berniat selalu berada di sisi Alexa, selalu
memberinya dukungan. Melihat Alexa yang begitu bahagia dan mampu terse
nyum kembali sudah cukup bagiku. Bahkan mendengar cerita Alexa tentang
perasaannya terhadap Daniel yang berbalas membuatku yakin mereka akan
bahagia bersama.
Pagi itu aku begitu gelisah. Aku menunggu Alexa di kantin lantai dua dan
melihat Daniel dan Vivi. Mereka bergandengan tangan dan aku tahu apa
265
ALEXA
Tangga utama rasanya tak pernah setinggi ini. Bahkan melompati dua anak
tangga sekaligus hanya membuatku dua kali lipat lebih lelah.
Tapi aku tidak boleh menyerah. Demi semua kenangan yang terjadi di
tangga utama ini. Kei yang menyelamatkanku ketika Daniel yang baru saja
jadian dengan Vivi memanggilku. Aku yakin dia sengaja menungguku pagi
itu dan ketika melihatku, dia sengaja mendatangiku agar aku tidak semakin
sakit hati gara-gara pasangan itu. Kei yang menceritakan tentang keluarga
dan pianonya kepadaku. Kei yang menepis tanganku dan meninggalkanku.
Kei yang tersenyum dan menepuk kepalaku kemarin.
Dia menungguku. Selama ini dia yang selalu datang kepadaku, mem
bantuku dengan sepenuh hati, melindungi bahkan tanpa kuminta.
Kali ini aku yang akan datang kepadanya.
266
KEI
Aku bermain semakin cepat. Musik yang kumainkan menggambarkan keru
mitan emosiku. Mataku terpejam, meresapi bayangan yang muncul dalam
kepalaku melalui melodi yang kuhasilkan. Semua pengalaman buruk itu
terekam dalam komposisi ini dan memainkannya lagi rasanya seolah meng
ulang kembali pengalaman tidak menyenangkan tersebut.
267
ALEXA
Lantai tujuh, akhirnya. Lantai ini sudah sepi, semua penjual di kantin su
dah pulang. Rasanya begitu sunyi dan kosong tetapi karena itulah alunan
musik terdengar lebih jelas saat ini.
Piano. Untunglah, Kei belum pulang.
Aku berjalan pelan menyusuri koridor, menuju pintu terdekat ke ruang
268
***
269
ALEXA
Aku bisa menyadari Kei gugup. Aku juga.
Aku tidak menyadari apa yang baru saja kulakukan. Aku hanya ingin
menyentuh tangannya. Seharusnya aku tahu dia pasti terkejut.
Jantungku tidak bisa berhenti berdegup cepat.
Semua yang telah kupikirkan selama aku berjalan ke sini, kata-kata yang
telah kusiapkan, semuanya terhapus begitu saja dari pikiranku. Aku juga
tidak berani menatap wajahnya.
Aku harus mengatakan sesuatu. Aku mengepalkan tangan dan meman
tapkan diri. Aku membuka mulut.
”Alexa.”
Kei menyadari aku baru saja hendak bicara, karena itu dia langsung
mempersilakanku bicara lebih dulu.
”Ah, nggak apa-apa. Duluan aja,” balasku. Suasana terasa semakin
kaku.
270
271
272
273
Gr a m e d i a Pu s t a k a Ut a m a
Gr a m e d i a Pu s t a k a Ut a m a
Gr a m e d i a Pu s t a k a Ut a m a
Gr a m e d i a Pu s t a k a Ut a m a