Laporan Kasus Dss Andin Yola
Laporan Kasus Dss Andin Yola
Laporan Kasus Dss Andin Yola
Oleh:
Esti Yolanda, S.Ked 04084821719199
Kemala Andini Prizara, S.Ked 04054821820046
Pembimbing:
dr. Silvia Triratna, Sp.A (K)
Oleh:
Esti Yolanda, S.Ked
Kemala Andini Prizara, S.Ked
Telah diterima dan disetujui sebagai salah satu syarat untuk mengikuti
kepaniteraan klinik di Bagian/Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran
Universitas Sriwijaya Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Mohammad Hoesin Palembang
periode 26 Maret 2018 – 4 Juni 2018.
Appearance Circulation
(abnormal) (abnormal)
Breathing
(abnormal)
1. Appeareance
o Tonus : Pasien bisa bergerak secara spontan
o Interactiveness : Pasien gelisah, kurang memberikan respons
ke lingkungan sekitar
o Consolability : Pasien tampak gelisah
o Look/Gaze : Kontak mata minimal dengan pemeriksa.
o Speech/Cry : Merengek
2. Work of Breathing
o Abnormal airway sounds : Snoring (-), Muffled (-), Stridor (-), Grunting (-),
Wheezing (-).
o Abnormal Positioning : Sniffing position (-), Tripoding (-), Prefers seated
posture (-).
o Retractions : Supraclavicula (-), Intercostal (-), Suprasternal (-),
Epigastric (-).
o Flaring : (+)
3. Circulation to Skin
o Pallor : (+)
o Mottling : (-)
o Sianosis : (-)
Identifikasi : Pasien mengalami syok
Intervensi : - O2 2L/menit via nasal canul
- IVFD RL 20cc/kgBB (20cc x 17kg=340 cc) dalam waktu
Secepatnya (di kocor)
Primary survey
1. Airway : Bebas, tidak ada obstruksi jalan napas
2. Breathing : Laju napas 32x/menit, sesak (+), napas cuping hidung (+),
retraksi (-), dada simetris dan dinamis. Bunyi paru vesikuler
(+/+) normal, ronkhi (-/-), wheezing (-/-),
3. Circulation : Nadi a. radialis 156x/menit, isi dan tegangan kurang, isi dan
tegangan a. brachialis cukup. Akral dingin (+), CRT 3 detik.
TD: 90/70mmHg
4. Disability : PCS (pediatric coma scales) 11 (E3M5V4), pupil bulat, isokor,
diameter 3mm/3mm, RC +/+
5. Exposure : Temperatur 38,5oC di aksila. Luka di ekstremitas (-)
Identifikasi :
Gejala Klinis Kompensasi Dekompensasi Irreversibel
Kehilangan Darah ≤ 25% 25-40% > 40%
Frekuensi Jantung Takikardia + Takikardia ++ Takikardia/Bradikardi
Volume Nadi Normal/Menurun Menurun + Menurun ++
Pengisian Kapiler Normal/Meningkat Meningkat + Meningkat ++
Kulit Dingin, pucat Dingin, mottled Pucat mati
RR Takipnue + Takipnue ++ Sighing respiration
Tingkat Kesadaran Agitasi ringan Berkooperasi Bereaksi hanya pada rasa
sakit atau tidak
responsive
Anak mengalami syok fase kompensasi
Intervensi : - O2 2L/menit via nasal canul
- IVFD RL 10cc/kgBB/1 jam (170 cc) gtt 43/menit
- Paracetamol 170mg
I. IDENTIFIKASI
Nama : An. CNK
Umur : 4 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Berat badan : 17 kg
Panjang badan : 100 cm
Lingkar Kepala : 49 cm
Agama : Islam
Bangsa : Indonesia
Alamat : Jl. Ratu Sianum, Lr. H. Umar, 1 Ilir, Ilir Timur II, RT 19,
RW 04, Kota Palembang
No. Rekam Medik : 1057984
MRS : 16 April 2018 (02.15 WIB)
II. ANAMNESIS
(Alloanamnesis dilakukan tanggal 16 April 2018 pukul 07.00 WIB, diberikan
oleh ibu kandung pasien)
Riwayat Makanan
ASI : Sejak lahir hingga usia 1 tahun (4-12x/hari)
Susu formula : Sejak usia 1 tahun
Bubur susu : Sejak usia 6 bulan hingga usia 1 tahun (3x/hari), satu
mangkuk kecil setiap kali makan
Lain-lain : Konsumsi makanan yang sama dengan orang tua sejak
berumur 1 tahun (Nasi, sayur, daging, ikan, ayam, tahu,
tempe)
Kesan : Asupan makanan cukup
Sebelum sakit anak mengonsumsi makanan masakan orang tua (nasi, ayam,
dan sayur), banyaknya satu piring. Anak biasa makan tiga kali sehari.
Riwayat Vaksinasi
BCG : BCG dilakukan pada umur 1 bulan, skar (+) di lengan kanan
atas.
Polio : Polio 0 pada saat lahir, Polio 1, Polio 2, dan Polio 3 berturut
turut pada usia 2, 3, dan 4 bulan serta ulangan pada usia 18
bulan.
Hepatitis B : Hepatitis B 1 pada saat lahir, Hepatitis B 2, Hepatitis B 3, dan
Hepatitis B 4 berturut turut pada usia 2, 3, dan 4 bulan.
DPT-HB : DPT-HB 1, DPT-HB 2, dan DPT-HB 3 berturut turut pada
usia 2, 3, dan 4 bulan serta ulangan pada usia 18 bulan.
Campak : Campak dilakukan pada usia 9 bulan dan 18 bulan
Kesan : Imunisasi dasar lengkap
IX. PENATALAKSANAAN
O2 kanul nasal 2L/menit
IVFD RL 7cc/kgBB/jam (120 cc/jam) gtt 30/menit dalam 1 jam
Paracetamol 200 mg po tiap 8 jam bila suhu ≥ 38,5oC
Observasi tanda vital dan diuresis/jam
Observasi manifestasi perdarahan
Cek Hb, Ht, Trombosit, Leukosit/6jam
Komunikasi, informasi, dan edukasi
X. PROGNOSIS
Quo ad vitam : Dubia
Quo ad functionam : Dubia
Quo ad sanationam : Dubia
XI. RESUME
Pasien An. CNK, perempuan usia 4 tahun dibawa ke IGD RSMH dengan
keluhan sesak disertai kaki dan tangan dingin. Sejak 3 hari SMRS anak demam
tinggi (suhu tidak diukur), muncul mendadak, terus menerus. Anak juga mengeluh
nyeri pada saat menelan. Anak berobat ke RS Hermina, dilakukan pemeriksaan
laboratorium dengan hasil dalam batas normal. Anak pulang dan diberi obat
paracetamol dan vitamin. Sejak 1 hari SMRS anak mual (+), muntah (+), frekuensi
1x isi apa yang diminum, +1/2 gelas belimbing, tidak menyemprot. Anak hanya
mau minum sedikit. Kaki dan tangan anak terasa dingin. Anak juga terlihat sesak.
Anak kemudian dibawa ke IGD Charitas dan dikatakan anak mengalami dengue
shock syndrome. Pasien kemudian dirujuk ke RSMH
Riwayat DBD sebelumnya disangkal. Riwayat penyakit DBD di dalam
keluarga dan lingkungan sekitar tidak ada. Riwayat kehamilan ibu normal dan
riwayat kelahiran anak normal. Riwayat pertumbuhan dan perkembangan normal.
Riwayat imunisasi dasar lengkap. Status gizi baik. Hasil laboratorium tanggal 16
April 2018 pukul 05.00 Hb: 15,0 g/dL, Ht: 44%, Plt: 26 x 103/mm3, Leukosit
8.100/mm3. NS1 (+), IgM dengue (+), IgG dengue (+).
XII. FOLLOW UP
Tanggal 16 April 2018 (pukul 17:00) hari demam ke 4, hari rawat ke 1,
S : Perburukan keadaan umum
O : Sensorium : compos mentis (E4M6V5)
TD : 90/60 mmHg
N : 104 x/menit (di a. radialis, regular, isi/tegangan cukup)
RR : 24 x/menit
T : 38,3oC di aksila
Kepala : edema palpebra (-/-), napas cuping hidung (+),
konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), Faring
hiperemis, T1-T1.
Thorax : simetris, retraksi dada (-)
Cor : ictus cordis tidak terlihat dan tidak teraba,
BJ I dan II normal, murmur (-), gallop (-)
Pulmo : vesikuler (+/+) normal, rhonki (-/-), wheezing (-/-).
Abdomen : datar, lemas, hepar teraba 2 cm di bawah arcus coste, 1 cm
di bawah procesus xiphoideus, nyeri tekan epigastrium
(-), BU (+) normal 3x/menit.
Ekstremitas : akral dingin (-), CRT <3 s, edema pretibial (-)
USG : Efusi pleura dan ascites
A : DBD Grade III + Faringitis akut
P : IVFD RL 7 cc/kgBB/jam 120 cc/jam gtt 30/menit
Observasi tanda-tanda perdarahan
Follow up dan diuresis per jam
PCT 170mg/8jam (po) jika T ≥ 38,5
Omeprazole 20mg/24 jam
Periksa Hb, Ht, Trombosit tiap 6 jam
Tanggal 16 April 2018 (pukul 17:00) hari demam ke 4, hari rawat ke 1,
S : Apnea
O : Perburukan KU, RR -, HR 50x/menit ireguler, isi dan tegangan kurang,
SpO2 tidak terbaca
A : gagal kardio respirasi
P : VTP via banging
ETT keluar darah
RJP 1 siklus (orang tua menandatangani DNAR)
2.1.2 Etiologi
Virus dengue, termasuk genus Flavivirus, keluarga flaviridae merupakan
penyebab dari demam dengue dan DHF. Serotipe dari virus ini adalah DEN-1, DEN-
2, DEN-3, DEN-4. Infeksi oleh salah satu jenis serotipe ini akan memberikan
kekebalan seumur hidup tetapi tidak menimbulkan kekebalan terhadap serotipe yang
lain. Sehingga seseorang yang hidup di daerah endemis DHF dapat mengalami infeksi
sebanyak 4 kali seumur hidupnya. Dengue adalah penyakit daerah tropis dan ditularkan
oleh nyamuk Aedes aegypti. Nyamuk ini adalah nyamuk rumah yang menggigit pada
siang hari. Faktor resiko penting pada DHF adalah serotipe virus, dan faktor penderita
seperti umur, status imunitas, dan predisposisi genetis.
Virus dengue yang matur terdiri dari single stranded RNA genom (ssRNA)
yng mempunyai polaritas positif. Genom ini dikelilingi oleh Nucleocapsid icosahedral
dengan diameter 30 nm. Nucleocapsid ini ditutupi oleh suatu lipid envelope yang
tebalnya 10 nm. Genom virus mengandung 3 protein struktural dan 7 protein non
struktural. Protein struktural termasuk kapsul protein yang kaya arginine dan lisin serta
protein prM nonglycosylated. Sedangkan protein non struktural dikenal sebagai NS1-
7 yang mempunyai fungsi yang berbeda.
2.1.3 Epidemiologi
Suatu penelitian di Jakarta oleh Sumarmo (1973-1978) mendapatkan bahwa
penderita DSS terutama pada golongan umur 1-4 tahun (46,5%), sedang wong (1973)
dari singapura melaporkan pada umur 5-10 tahun dan di Manadoterutama dijumpai
pada umur 6-8 tahun kemudian pada tahun 1983 didapatkan terbanyak pada umur 4-6
tahun. Tidak terdapat perbedaan antara jenis kelamin tetapi kematian lebih banyak
ditemukan pada anak perempuan daripada anak laki-laki.
Jumlah penderita DBD/DHF yang mengalami renjatan berkisar antara 26-
65%, dimana Sumarmo dkk. (1985) mendapatkan 63%, Kho dkk. (1979) melaporkan
50%, Rampengan (1986) melaporkan 59,4% sedangkan WHO (1973) melaporkan
65,45% dari seluruh penderita demam berdarah dengue yang dirawat.
2.1.4 Patofisiologi
Patofisiologi yang terjadi pada Dengue Shock Syndrom ialah peninggian
permeabilitas dinding pembuluh darah yang mendadak dengan akibat terjadinya
perembesan plasma dan elekrolit melalui endotel dinding pembuluh darah dan masuk
kedalam ruang interstitial, sehingga menyebabkan hipotensi, hemokonsentrasi,
hipoproteinemia dan efusi cairan ke rongga serosa.
Pada penderita dengan renjatan berat maka volume plasma dapat berkurang
sampai kurang lebih 30 % dan berlangsung selama 24-48 jam. Renjatan hipovolemi ini
bila tidak segera diatasi maka dapat mengakibatkan anoksia jaringan, asidosis
metabolik, sehingga terjadi pergeseran ion kalium intraseluler ke ekstraseluler.
Mekanisme ini diikuti pula dengan penurunan kontraksi otot jantung dan venous
pooling, sehingga lebih lanjut akan memperberat renjatan.
Sebab lain kematian penderita DSS ialah perdarahan hebat saluran pencernaan
yang biasanya timbul setelah renjatan berlangsung lama dan tidak diatasi adekuat.
Terjadinya perdarahan ini disebabkan oleh :
a. Trombositopenia hebat, dimana trombosit mulai menurun pada masa
demam dan mencapai nilai terendah pada masa renjatan.
b. Gangguan fungsi trombosit
c. Kelainan system koagulasi, masa tromboplastin partial, masa
protrombin memanjang sedangkan sebagian besar penderita
didapatkan masa thrombin norma. Beberapa factor pembekuan
menurun, termasuk factor II, V, VII, IX, X dan fibrinogen.
d. Pembekuan intravaskuler yang meluas (Disseminated Intravascular
Coagulation-DIC).
2.1.6 Diagnosis
Hingga kini diagnosis DBD/DSS masih berdasarkan atas patokan yang telah
dirumuskan oleh WHO pada tahun 1975 yang terdiri dari 4 kriteria klinik dan 2 kriteria
laboratorik dengan syarat bila criteria laboratorik terpenuhi ditambah minimal 2
kriteria klinik (satu diantaranya ialah panas) seperti yang telah diuraikan diatas.
Derajat I dan II disebut DHF/DBD tanpa renjatan sedang derajat III dan IV
disebut DHF/DBD dengan renjatan atau DSS. Wong dkk. (1973) juga mengemukakan
beberapa tanda dan gejala yang perlu diperhatikan dalam diagnosis klinik penderita
dengue shock syndrome, yaitu:
1. Clouding of sensorium
2. Tanda-tanda hipovolemia, seperti akral dingin, tekanan darah menurun
3. Nyeri perut
4. Tanda-tanda perdarahan diluar kulit, dalam hal ini seperti epistaksis,
hematemesis, melena, hematuri, dan hemoptisis
5. Trombositopenia berat
6. Adanya pleural efosion pada toraks foto
7. Tanda-tanda miokarditis pada EKG
Dengan merujuk kepada pengertian dari DHF Shock (DSS), yaitu demam
berdarah dengue yang disertai dengan gangguan sirkulasi, terdiri dari, maka dapat
diperoleh pula kriteria klinis DSS sebagai berikut
DHF grade III :
1. Tekanan darah sistolik < 80 mmHg
2. Tekanan nadi < 20 mmHg
3. Nadi cepat dan lemah
4. Akral dingin
DHF grade IV :
1. Shock berat
2. Tekanan darah tidak terukur, nadi tidak teraba
2.1.7 Penatalaksanaan
Pada dasarnya bersifat suportif, yaitu mengatasi kehilangan cairan plasma
sebagai akibat peningkatan permeabilitas kapiler dan sebagai akibat perdarahan. Pasien
DB dapat berobat jalan, sedangkan pasien DBD dirawat di ruang perawatan biasa,
tetapi pada kasus DBD dengan komplikasi diperlukan perawatan intensif. Fase kritis
pada umunya terjadi pada hari ke-3.
Rasa haus dan keadaan dehidrasi dapat timbul akibat demam tinggi, anoreksia
dan muntah. Pasien perlu diberi minum banyak, 50ml/kgBB dalam 4-6 jam pertama
berupa air teh dengan gula, sirup, susu, sari buah atau oralit. Setelah keadaan dehidrasi
dapat diatasi, berikan cairan rumatan 80-100ml/kgBB dalam 24 jam berikutnya.
Hiperpireksi dapat diatasi dengan antipiretik, dan bila perlu surface cooling dengan
kompres es dan alkohol 70%. Parasetamol direkomendasikan untuk mengatasi demam
dengan dosis 10-15mg/kgBB/kali.
Segera beri infus kristaloid (Ringer Laktat atau NaCl 0,9% ) 20 ml/kgBB
secepatnya (diberikan selama 30 menit) dan oksigen 2 liter/menit. Untuk DSS berat
(DBD derajat IV, nadi tidak teraba dan tensi tidak terukur, diberikan ringer laktat 20
mg/kgBB bersama koloid). Observasi tensi dan nadi tiap 15 menit, hematokrit dan
trombosit tiap 4-6 jam. Periksa elektrolit dan gula darah.
Apabila dalam waktu 3 menit syok belum teratasi, tetesan ringer laktat belum
dilanjutkan 20 ml/kgBB, ditambah plasma (fresh frozen plasma) atau koloid (dekstran
40) sebanyak 10-20 ml/kgBB, maksimal 30 ml/kgBB (koloid diberikan pada jalur infus
yang sama dengan kristaloid, diberikan secepatnya. Observasi keadaan umum, tekanan
darah, keadaan nadi tiap 15 menit, dan periksa hematokrit tiap 4-6 jam. Koreksi
asidosis, elektrolit dan gula darah.
2.1.8 Komplikasi
1. Perdarahan massif
2. Kegagalan pernapasan akibat edema paru atau kolaps paru
3. Ensefalopati dengue
4. Kegagalan jantung
2.1.10 Pencegahan
Pengembangan vaksin untuk dengue sangat sulit karena keempat jenis serotipe
virus bisa mengakibatkan penyakit. Perlindungan terhadap satu atau dua jenis serotipe
ternyata meningkatkan resiko terjadinya penyakit yang serius.
Saat ini sedang dicoba dikembangkan vaksin terhadap keempat serotipe
sekaligus. sampai sekarang satu-satunya usaha pencegahan atau pengendalian dengue
dan dhf adalah dengan memerangi nyamuk yang mengakibatkan penularan. A. aegypti
berkembang biak terutama di tempat-tempat buatan manusia, seperti wadah plastik,
ban mobil bekas dan tempat-tempat lain yang menampung air hujan. nyamuk ini
menggigit pada siang hari, beristirahat di dalam rumah dan meletakkan telurnya pada
tempat-tempat air bersih tergenang.
Pencegahan dilakukan dengan langkah 3M:
1. menguras bak air
2. menutup tempat-tempat yang mungkin menjadi tempat berkembang biak
nyamuk
3. mengubur barang-barang bekas yang bisa menampung air.
2.1.11 Prognosis
Prognosa penderita tergantung dari beberapa faktor:
1. Sangat erat kaitannya dengan lama dan beratnya renjatan, waktu, metode,
adekuat tidaknya penanganan
2. Ada tidaknya rekuren syok yang terutama terjadi dalam 6 jam pertama
pemberian infus dimulai
3. Panas selama renjatan
4. Tanda-tanda serebral
2.2.2 Epidemiologi
Kejadian syok pada anak dan remaja sekitar 2% pada rumah sakit di Amerika
serikat, dimana angka kematian sekitar 20-50% kasus. Hampir seluruh pasien tidak
meninggal pada fase hipotensi tapi karena hasil dari satu atau lebih komplikasi akibat
syok. Disfungsi multiple organ meningkatkan resiko kematian (satu organ 25%
kematian, dua organ 60% kematian, tiga organ atau lebih >85%). Angka kematian syok
pada anak menurun sebanding dengan tingkat edukasi yang baik, dimana pengenalan
awal syok dan management yang baik dan cepat memberi kontribusi lebih.
2.2.3 Patofisiologi
Metabolisme aerobic sel bisa menghasilkan 36 Adenosin Triphosphate,
sedangkan pada sel yang kekurangan oksigen (syok) sel akan merubah system
metabolisme aerobic menjadi anaerobic, yang mana hanya menghasilkan 2 ATP
molekul tiap molekul glukosa dan hasil pembentukan dan penimbunan asam laktat.
Akhirnya metabolisme sel tidak cukup menghasilkan energi homeostasis sel, sehingga
mengakibatkan gangguan pertukaran ion melalui membrane sel. Dimana terjadi
akumulasi sodium didalam sel dengan pengeluaran potassium dan penumpukan
cytosolic calsium. Sel menjadi membengkak, membrane sel hancur, dan terjadilah
kematian sel. Kematian yang luas dari sel menghasilkan kegagalan pada banyak organ,
jika irreversible maka pasien meninggal. Kekacauan metabolic sel mungkin terjadi dari
kekurangan oksigen yang absolute (hipoksia syok) atau kombinasi hipoksia dan
kekurangan substrat khususnya glukosa, disebut sebagai iskemik syok.
Anak-anak bukan orang dewasa yang kecil. Kalimat ini harus dipahami dengan
benar ketika membicarakan distribusi total cairan tubuh dan respon kompensasi
kardiovaskular pada anak-anak selama keadaan insufisiensi sirkulasi yang progresif.
Gejala dan tanda syok yang dapat dengan mudah dilihat pada orang dewasa mungkin
tidak akan terlihat pada anak, mengakibatkan terlambatnya pengenalan dan
mengabaikan keadaan syok yang parah. Walaupun anak lebih besar persentase total
cairan tubuhnya tapi untuk melindungi mereka dari kolaps kardiovaskular, peningkatan
sisa metabolik rata-rata, peningkatan insensible water loss, dan penurunan renal
concentrating ability biasanya membuat anak lebih mudah terjadi hipoperfusi pada
organ. Gejala dan tanda awal dari berkurangnya volume dapat tidak diketahui pada
anak-anak, tapi sejalan dengan perkembangan penyakit, penemuan gejala dan tanda
menjadi dapat ditemukan sama seperti orang dewasa.
Respon kompensasi kardiovaskular pada anak dengan keadaan penurunan
ventrikular preload, melemahkan kontraksi miokard, dan perubahan dalam pembuluh
darah berbeda dari yang terjadi pada dewasa. Pada pasien anak, CO lebih tergantung
pada heart rate daripada stroke volume oleh karena kekurangan massa otot ventrikel.
Takikardi adalah yang terpenting pada anak untuk mempertahankan CO yang adekuat
pada kondisi penurunan ventricular preload, kelemahan kontraksi miokard, atau
kelainan jantung congenital yang digolongkan oleh anatomi left-to-right shunt. Stroke
volume tergantung oleh pengisian ventrikel (preload), ejeksi ventrikel (afterload), dan
fungsi pompa intrinsik (myocardial contractility).
Syok Syok septik Syok
hipovolemik kardiogenik
Mediator
Kontraktilitas
Preload
Pengeluaran
simpatetik
Vasokonstriksi
CO dan tekanan
Terkompensasi denyut jantung
darah membaik
Iskemia jaringan CO
Pelepasan
mediator
Hilangnya
autoregulasi Kematian sel
Kematian
Tambahan pada CO, pengatur utama dari tekanan darah adalah SVR. Anak
memaksimalkan SVR untuk mempertahankan tekanan darah yang normal, pada
keadaan penurunan CO yang signifikan. Peningkatan SVR oleh karena vasokontriksi
perifer yang dipengaruhi system saraf simpatis dan angiotensin. Hasilnya, aliran darah
diredistributsi dari pembuluh nonessential seperti kulit, otot skelet, ginjal dan organ
splanknik ke otak, jantung, paru-paru dan kelenjar adrenal. Sesuai pengaturan dari
pembuluh darah, endogen atau eksogen melalui zat-zat vasoaktif, dapat menormalkan
tekanan darah tanpa tergantung dari CO. Karena itu, pada pasien anak, tekanan darah
merupakan indicator yang jelek dari hemostatis kardiovaskular. Evaluasi heart rate dan
perfusi end-organ, termasuk capillary refill, kualitas dari denyut perifer, kesadaran,
urine output, dan status asam-basa, lebih bernilai daripada tekanan darah dalam
menentukan status sirkulasi anak.
Pada dasarnya, syok merupakan suatu keadaan dimana tidak adekuatnya suplai
oksigen dan substrat untuk memenuhi kebutuhan metabolic jaringan. Akibat dari
kekurangan oksigan dan substrat-substrat penting, maka sel-sel ini tidak dapat
mempertahankan produksi O2 aerobik secara efisien.
Pada keadaan normal, metabolisme aerobik menghasilkan 6 molekul adenosine
trifosfat (ATP) tiap 1 molekul glukosa. Pada keadaan syok, pengiriman O2 terganggu,
sehingga sel hanya dapat menghasilkan 2 molekul ATP tiap 1 molekul glukosa,
sehingga terjadi penumpukan dan produksi asam laktat. Pada akhirnya metabolisme
seluler tidak lagi bisa menghasilkan energi yang cukup bagi komponen hemostasis
seluluer, sehingga terjadi kerusakan pompa ion membran dan terjadi penumpukan
natrium intraseluler, pengeluaran kalium dan penumpukan kalsium sitosol.
Sel membengkak, membran sel rusak, dan akhirnya terjadi kematian sel.
Kematian sel yang luas menyebabkan gagal multi sistem organ dan apabila ireversibel,
dapat terjadi kematian.
Kerusakan metabolik ini dapat disebabkan karena defisiensi absolut dari
transpor oksigen (syok hipoksik) atau disebabkan karena defisiensi transport substrat,
biasanya glukosa (syok iskemik). Yang paling sering terjadi adalah kombinasi dari
kedua hal diatas yaitu hipoksik dan iskemik. Atas dasar hal tersebut diatas, maka
sangatlah penting untuk memberikan oksigen pada keadaan syok.
Pengiriman oksigen (Oxygen Delivery = DO2) adalah jumlah oksigen yang
dibawa ke jaringan tubuh permenit. DO2 tergantung pada jumlah darah yang dipompa
oleh jantung permenit (Cardiac Output = CO) dan kandungan O2 arteri (CaO2),
sehingga didapatkan persamaan sebagai berikut:
DO2 = CO (L/menit) x CaCO2 (ml/mL/cc)
CaCO2 tergantung pada banyaknya O2 yang terkandung di Hb (Saturasi O2 = SaO2),
sehingga didapatkan persamaan:
CaO2 = Hb (g/100ml) x SaO2 x 1,34 ml O2/g
Keadaan syok dapat terlihat secara klinis apabila terdapat gangguan pada
CaCO2, baik karena hipoksia, yang dapat menyebabkan penurunan SaO2 maupun
karena anemia yang menyebabkan penurunan kadar Hb sehingga menurunkan
kapasitas total pengiriman O2. Cardiac output tergantung pada 2 keadaan, yaitu jumlah
darah yang dipompa tiap denyut jantung (Stroke Volume = SV) dan laju jantung (Heart
Rate = HR). Stroke volume dipengaruhi oleh volume pengisian ventrikel akhir diastolik
(ventricular preload), kontaktilitas otot jantung dan afterload. Tiap variabel yang
mempengaruhi cardiac output diatas, pada keadaan syok, dapat mengalami gangguan
atau kerusakan.
2.2.4 Stadium
Secara klinis, syok terbagi ke dalam 3 fase, yaitu :
Gejala Klinis Kompensasi Dekompensasi Irreversibel
Kehilangan Darah % ≤25% 25-40% >40%
Frekuensi Jantung Takikardia + Takikardia ++ Takikardia/Bradikardi
Volume Nadi Normal/Menurun Menurun + Menurun ++
Pengisian Kapiler Normal/Meningkat Meningkat + Meningkat --
Kulit Dingin, pucat Dingin, mottled Pucat mati
RR Takipnue + Takipnue ++ Sighing respiration
Tingkat Kesadaran Agitasi ringan Berkooperasi Bereaksi hanya pada
rasa sakit atau tidak
responsif
2.2.5 Klasifikasi dan Etiologi
Tipe Septik Kardiogenik Distributif Hipovolemik Obstruktif
Syok
Karakteristik Infeksi Kegagalan 1.Kelainan Menurunnya CO rendah;
organisme jantung dalam saraf: jumlah sianosis;
melepaskan memompa Mengganggu cairan tekanan
toksin darah untuk keseimbangan menurunkan nadi rendah
yang memenuhi cairan CO;
mempengar kebutuhan sehingga asidosis
uhi tubuh memudahkan metabolic
distribusi terjadinya membuat
darah, asidosis volume
cardiac 2.Overdosis intravaskuler
output dosis obat berkurang
dan lainnya yang dan perfusi
mengganggu ke jaringan
distribusi menurun;
cairan gangguan
keseimbangan
elektrolit
Etiologi Bakteri Kardiomio- Anafilaksis Enteritis Tension
Virus pati Toxin Perdarahan pneumotorax
jamur Kongenital Reaksi Luka bakar Pericardial
Heart disease Alergi Diabetes tamponade
Ischemic insipidus
insult Defisiensi
Adrenal
2.2.6 Tanda dan Gejala
1. Sistem Kardiovaskuler
a. Gangguan sirkulasi perifer mengakibatkan pucat, ekstremitas dingin.
Kurangnya pengisian vena perifer lebih bermakna dibandingkan penurunan
tekanan darah. Nadi cepat dan halus.
b. Tekanan darah rendah. Hal ini kurang bisa menjadi pegangan, karena
adanya mekanisme kompensasi sampai terjadi kehilangan 1/3 dari volume
sirkulasi darah.
c. Vena perifer kolaps. Vena leher merupakan penilaian yang paling baik.
d. CVP rendah.
2. Sistem Respirasi
a. Pernapasan cepat dan dangkal.
3. Sistem saraf pusat
a. Perubahan mental pasien syok sangat bervariasi. Bila tekanan darah rendah
sampai menyebabkan hipoksia otak, pasien menjadi gelisah sampai tidak
sadar. Obat sedatif dan analgetika jangan diberikan sampai yakin bahwa
gelisahnya pasien memang karena kesakitan.
4. Sistem Saluran Cerna
a. Bisa trjadi mual dan muntah.
5. Sistem Saluran kemih
a. Produksi urin berkurang. Normal rata-rata produksi urin pasien dewasa
adalah 60 ml/jam (0,5-1 ml/kg/jam). Pada anak 1-2ml/kg/jam.
2.3.3 Penyebab
1. perdarahan
2. luka bakar
3. cedera yang luas
4. dehidrasi
5. kehilangan cairan pada muntah, diare, ileus
2.3.4 Patofisiologi
Syok hipovolemik yaitu syok yang terjadi karena kekurangan sirkulasi didalam
pembuluh darah oleh berbagai sebab, berkurangnya sirkulasi ini mengakibatkan darah
yang kembali ke jantung melalui vena akan berkurang. Akibatnya darah yang masuk
ke atrium kanan juga menurun, sebagai kompensasi atas hal ini frekuensi jantung akan
meningkat untuk menyesuaikan agar perfusi sistemik dapat dipenuhi. Gejalanya akan
tampak tekanan darah sistolik menurun dan denyut nadi yang cepat.
Menurunnya perfusi sistemik mengakibatkan organ mengalami iskemia,
sehingga akan mengubah siklus metabolik dari aerob menjadi anaerob dimana siklus
ini menghasilkan residu asam laktat, asam amino dan asam fosfat di jaringan. Hal ini
menimbulkan asidosis metabolik yang menyebabkan pecahnya membrane lisosom
sehingga menimbulkan kematian sel. Hipoksia dan asidosis metabolik juga
menyebabkan vasokonstriksi arteri dan vena pulmonalis, hal ini menimbulkan
peninggiian tahanan pulmonal yang mengganggu perfusi dan pengembangan paru.
Akibatnya dapat terjadi kolaps paru, kongesti pembuluh darah paru, edema interstisial
dan alveolar. Maka pada penderita dengan syok hipovolemik terlihat gangguan
pernafasan. Iskemia pada otak akan menimbulkan edema otak dengan segala
akibatnya. Pada ginjal, iskemia ini akan menyebabkan gagal ginjal.
Sebagai mekanisme kompensasi terhadap hipovolemia, cairan interstisial akan
masuk kedalam pembuluh darah sehingga hematokrit menurun. Karena cairan
interstisial jumlahnya berkurang akibat masuknya cairan tersebut kedalam ruang
intraseluler, maka penambahan cairan sangat mutlak diperlukan untuk memperbaiki
gangguan metabolik dan hemodinamik ini. Pada syok juga terjadi peninggian sekresi
kortisol 5-10 kali lipat. Kortisol mempunyai efek inotrofik positif pada jantung dan
memperbaiki metabolism karbohidrat, lemak dan protein. Sekresi renin dari sel-sel
juksta glomerulus ginjal meningkat sehingga pelepasan angiotensin I dan II juga
meningkat. Angiotensin II ialah vasokonstriktor yang kuat dan merangsang pelepasan
kalium oleh ginjal.
Meningginya sekresi norepinefrin akan mengakibatkan vasokonstriksi, selain
itu juga mempunyai sedikit efek inotropik positif pada miokardium. Efineprin
disekresikan hampir tiga kali lipat daripada norepinefrin, terutama menyebabkan
peninggian isi sekuncup dan denyut jantung. Kerja kedua katekolamin ini dipotensiasi
oleh aldosteron. Peninggian sekresi hormone antidiuretik (ADH) dari ‘hipofisis’
posterior mengakibatkan resorpsi air ditubulus distal meningkat.
3. Syok neurogenik : ini adalah shock yang jarang terjadi. Disebabkan oleh trauma pada
medulla spinalis, terjadi kehilangan mendadak pada reflek otonom dan motorik
dibawah lesi. Tanpa adanya stimulasi simpatis, dinding pembuluh darah vasodilatasi
yang tak terkontrol, hasilnya penurunan resistensi pembuluh darah perifer sehingga
menyebabkan vasodilatasi dan hypotensi. Tanda dan gejala syok neurogenik sama
dengan syok hipovolemik.
Anak dengan perfusi yang buruk dan tekanan darahnya di bawah parameter
seperti tabel 1, dapat dikatakan menderita syok yang tidak terkompensasi. Keadaan ini
apabila tidak cepat ditangani maka akan mengarah kepada kerusakan organ dan terjadi
syok ireversibel bahkan kematian. Pada anak-anak dengan tekanan darah sistoliknya
masih adekuat, namun keadaan klinisnya syok, maka ini disebut sebagai syok yang
terkompensasi. Sehingga, apabila perfusi pada organ-organ vital seperti jantung dan
otak masih adekuat, namun organ vital lainnya mengalami hipoperfusi dan rentan akan
kerusakan, apabila tidak segera diberikan terapi maka keadaan ini akan berlanjut
menjadi syok yang tidak terkompensasi. Maka dalam menegakkan diagnosis
diperlukan banyak indikator untuk menentukan keadaan syok, antara lain :
1. Denyut jantung
Cardiac output dapat dipengaruhi oleh stroke volume dan heart rate, sehingga
apabila terjadi penurunan stroke volume maka tubuh akan berusaha mempertahankan
cardiac output dengan cara meningkatkan heart rate. Namun, ada keadaan-keadaan
tertentu dimana heart rate tidak daat meningkat, yaitu pada blokade farmakologik dan
kerusakan neurologik.
Pasien pada tahap awal syok akan mengalami takikardi. Namun tanda ini tidak
signifikan pada anak-anak, karena anak-anak dapat mengalami takikardi pada keadaan
lain, seperti demam, nyeri dan agitasi. Namun demikian, diluar pengecualian keadaan-
keadaan tersebut, takikardi biasa muncul pada tahap awal dan merupakan temuan yang
penting pada syok yang terkompensasi maupun yang tidak terkompensasi.
2. Perfusi kulit
Kulit dapat dianggap sebagi bagian yang non vital. Pasien yang memiliki
kemampuan untuk mengkompensasi penurunan DO2 dengan menarik darah dari organ
yang non vital (selain otak dan jantung), menunjukkan tanda-tanda penurunan perfusi
kulit. Hal ini dikenali dengan adanya tanda-tanda denyut nadi distal yang menghilang,
kulit akan teraba dingin dan pengisian ulang kapiler memanjang (>5 detik), yang pada
keadaan normal biasanya dapat terisi dalam 2-3 detik. Cara pengukuran pengisian
ulang kapiler ini yaitu dengan menekan ujung jari(kuku) hingga pucat (kurang lebih
selama 5 detik), kemudian dilepas dan dihitung waktunya pada saat ujung jari(kuku)
menjadi merah kembali. Pada pasien dengan fase awal syok distributif (anafilaksis,
sepsis) akan terjadi vasodilatasi, sehingga kulit akan teraba hangat, denyut nadi akan
teraba kuat dan terdapat pengisian ulang kapiler yang cepat (1-2 detik). Pada keadaan
ini, perfusi kulit tidak dapat dipercaya untuk menegakkan diagnosis, sehingga harus
dicari gangguan metabolik lain seperti lactoacidosis, hal ini dapat mendukung bahwa
telah terjadi gangguan DO2.
3. Fungsi sistem organ lain
Pada ginjal dengan perfusi normal, dapat mengeluarkan 1-2 ml urin/kgBB/jam
atau lebih. Kerusakan ginjal dapat disebabkan karena kerusakan awal pada keadaan
iskemik-hipoksik, sehingga terjadi acute tubular necrosis (ATN). Sehingga dapat
dikatakan bahwa output urin tidak spesifik untuk menentukan kelayakan perfusi dan
volume intravaskuler.
4. Status asam basa
Adanya asidosis metabolik atau penurunan serum bikarbonat dapat membatu
untuk mendiagnosa syok. Asidosis metabolik dapat timbul karena hilangnya serum
bikarbonat seperti pada diare, yang dapat terjadi bersamaan dengan syok dan dehidrasi.
Dengan dilakukannya pengukuran level serum laktat, maka dapat diketahui kehilangan
bikarbonat akibat asidosis laktat karena syok
2.8 MONITORING
Monitoring yang dilakukan pada syok meliputi monitoring hemodinamik respirasi dan
metabolik. Yang harus di ketahui pada syok:
1. PaO2 -> diperlukan monitoring terutama pada PaO2 karena oksigenasi jaringan
2. Asam Laktat -> asam laktat meniggi pada sepsis hiperdinamik dan kelainan
enzim piruvat dehidrogenase. Asam laktat ini meninggi 12 jam setelah
terjadinya syok dan juga indikasi terjadinya MOSF
3. Indeks transport O2 -> dapat di catat dengan mengetahui kardiak indeks DO2
dan VO2 yang harus di pertahankan di atas 2,1 l/mnt/m² tubuh
4. Tekanan Vena sentral (CVP) -> penting untuk mengevakuasi syok sedini
mungkin.peninggian CVP dapat terjadi karena peninggian volume
intravaskuler, peninggian vasomotor, peninggian tekanan torakis dan
peninggian compliance dari ventrikel kanan
5. Tekanan darah -> evaluasi tekanan darah lebih bermakna dari pada hanya sekali
mengukur tekanan darah
6. Produksi urin -> produksi urin normal pada org dewasa 0,5 cc/kg/jam , pada
anak 1-2 cc/kg/jam
7. Pulse oksimeter -> Oksigenasi jaringan di tentukan oleh perfusi, kadar Hb dan
saturasi oksigen yang dapat di monitor dengan pulse oksimeter, digunakan
secara rutin untuk menilai syok.
Monitoring yang dilakukan:
1. Non Invasif: yakni memonitor tanda – tanda vital, tekanan darah, nadi , PaO2,
jumlah urin, ECG, intake serta output.
2. Invasif: monitoring meliputi kateterisasi arteri, CVP, dan kateter pulmonalis.
3. Metabolik: asam lakta
Phenylephrine 2-10 - ++ ++
mcg/kg/min
Dobutamine 2.5-10 + +/- -
mcg/kg/min
6. Sodium Bikarbonat
Penggunaan sodium bikarbonat dalam penatalaksanaan syok masih
kontroversial. Dalam keadaan syok, terjadi asidosis yang akan mengganggu
kontraktilitas miokardium dan fungsi optimal dari katekolamin. Namun,
pemberian bikarbonat akan memperburuk keadaan asidosis intraselular karena
sodum bikarbonat hanya mengkoreksi asidosis serum. Hal ini disebabkan
karena ion bikarbonat tidak dapat melewati membran sel semipermiabel.
Sehingga, asidosis dalam serum ditambah dengan bikarbonat akan
menyebabkan produksi karbondioksida dan air, seperti yang terdapat pada
persamaan Henderson-Hasselbach. Apabila karbondioksida yang meningkat
tidak dikeluarkan melalui ventilasi, maka karbondioksida ini akan masuk ke
dalam sel dan terjadi reaksi Henderson-Hasselbach namun dalam arah yang
sebaliknya dan meningkatkan asidosis intraselular. Asidosis intraselular ini
akan menyebabkan penurunan kontraktilitas otot jantung (Cingolan, 1985;
Pannier,1968). Selain itu, pemberian bikarbonat akan menyebabkan
hipernatremia dan hiperosmolalitas. Oleh karena itu, asidosis yang terjadi pada
keadaan syok dapt dikoreksi dengan meningkatkan perfusi dengan pemberian
cairan tambahan dan penggunaan obat-obatan kardiotropik dibarengi dengan
ventilasi yang optimal. Pada pasien dengan syok persisten dengan kehilangan
bicarbonat yang terus menerus (misalnya pada diare), pemberian bikarbonat
secara hati-hati dapat diindikasikan.
Pemberian bikarbonat dapat dihitung sebagai berikut :
HCO3- (mEq) = Defisit basa x berat badan pasien (kg) x 0,3
Jumlah pemberian awal merupakan setengah dari hasil hitungan di atas
dan dapat diulangi sambil memantau perkembangan pasien. Atau, bikarbonat
dapat juga diberikan 0.5-1 mEq/kg/dosis IV selama 1-2 menit. Penelitian pada
pasien dengan cardiovascular arrest, gagal untuk menunjukkan perbaikan
setelah diberikan terapi bikarbonat.
7. Kalsium
Kalsium merupakan mediator coupling reaksi eksitasi-kontraksi dalam
sel, termasuk sel jantung. Syok dapat menyebabkan perubahan dalam kadar ion
kalsium serum. Pemberian produk darah (yang mengandung sitrat) dapat
mengikat kalsium bebas, sehingga dapat menyebabkan penurunan kadar
kalsium. Karena itu, pemberian kalsium berguna pada pasien syok dengan
hipokalsemia. Pemberian kalsium juga diindikasikan untuk pasien syok yang
disebabkan oleh aritmia akibat hiperkalemia, hipermagnesemia, atau toksisitas
calcium channel bloker. Kalsium dapat diberikan dalam bentuk kalsium
glukonat atau kalsium klorida. Kalsium klorida merupakan obat terpilih pada
kasus syok, karena kalsium klorida memiliki efek yang dapat lebih
meninggikan dan mempertahankan kadar kalsium dalam darah. Dosis yang
direkomendasikan adalah 10-20mg/kg (0,1- 0,2 ml/kg kalsium klorida 10%)
IV, dimasukan bersama cairan infus dengan kecepatan tetesan tidak lebih dari
100mg/menit IV.
Tiga komponen PAT adalah penampilan anak, upaya napas, dan sirkulasi kulit.
1. Penampilan anak
Penampilan anak dapat dinilai dengan berbagai skala. Metoda ‘tides’ meliputi
penilaian tonus (T=tone), interaksi (I=interactive), konsolabilitas
(C=consolability), cara melihat (L=look/gaze) dan berbicara atau menangis
(S=speech/cry).
Tabel 2.1. Penilaian dengan metode ‘Ticles’ (TICLS)
Karakteristik Hal yang dinilai
2. Upaya napas
Karakteristik hal yang dinilai adalah suara napas yang tidak normal, posisi
tubuh yang tidak normal, retraksi, dan cuping hidung.
Tabel 2.2. Penilaian upaya nafas
Karakteristik Hal yang dinilai
Suara napas yang tidak normal Mengorok, parau, stridor, merintih, mengi
3. Sirkulasi kulit
Hal yang dinilai adalah pucat, mottling, dan sianosis.
Tabel 2.3. Penilaian sirkulasi kulit
Karakteristik Hal yang dinilai
Secara ringkas penerapan PAT dapat dilihat pada gambar dibawah ini:
Sirkulasi kulit ( )
Laporan kasus An. CNK, perempuan, 4 tahun dengan diagnosis Dengue Shock
Syndrome (DSS). Pada saat di IRD, dilakukan Pediatric Assessment Triangle (PAT)
pada pasien, didapatkan:
1. Appeareance
o Tonus : Pasien bisa bergerak secara spontan
o Interactiveness : Pasien gelisah, kurang memberikan respon ke
lingkungan sekitar
o Consolability : Pasien tampak gelisah
o Look/Gaze : Kontak mata minimal dengan pemeriksa
o Speech/Cry : Merengek
2. Work of Breathing
o Abnormal airway sounds : Snoring (-), Muffled (-), Stridor (-),
Grunting (-), Wheezing (-)
o Abnormal Positioning : Sniffing position (-), Tripoding (-),
Prefers seated posture (-)
o Retractions : Supraclavicula (-), Intercostal (-), Suprasternal
(-), Epigastric (-).
o Flaring : (-)
3. Circulation to Skin
o Pallor : Ya
o Mottling : Tidak
o Sianosis : Tidak
Dari pemeriksaan PAT yang dilakukan, dapat disimpulkan bahwa pasien mengalami
syok didapatkan dari gangguan pada tampilan umum di mana tampak penurunan
kesadaran, pasien gelisah, dan gangguan pada sirkulasi dimana pasien tampak pucat.
Setelah pemeriksaan PAT secara umum, dilakukan pemeriksaan survey primer seperti
berikut:
1. Evaluasi tanda vital : TD 90/70 mmHg, Nadi 156 x/menit dengan
isi dan tegangan kurang, frekuensi napas 30
x/menit reguler, suhu tubuh 38,2oC di aksila
2. Penilaian Airway : Bebas, tidak ada obstruksi jalan napas, bunyi
napas abnormal seperti stridor tidak ada
3. Penilaian Breathing : Laju napas 32x/menit, sesak (+), napas cuping
hidung (+), retraksi (-), dada simetris dan
dinamis. Bunyi paru vesikuler (+/+) normal,
ronkhi (-/-), wheezing (-/-),
4. Circulation : Nadi a. radialis 156x/menit, isi dan tegangan
kurang, isi dan tegangan a. brachialis cukup.
Akral dingin (+), CRT 3 detik. TD:
90/70mmHg
5. Disability : PCS (pediatric coma scales) 11 (E3M5V4),
pupil bulat, isokor, diameter 3mm/3mm, RC +/+
6. Exposure : Temperatur 38,5oC di aksila. Luka di
ekstremitas (-)
Berdasarkan gejala klinisnya, anak ini telah mengalami syok fase kompensasi
yang membutuhkan penatalaksanaan segera untuk mencegah terjadi perburukan.
Tatalaksana syok awal:
o O2 2L/menit via nasal kanul
o IVFD RL 20 cc/kgBB 400 cc dalam 1 jam kemudian evaluasi, lanjutkan dengan
IVFD RL 20 cc/kgBB 400 cc/jam (40 tetes/menit, makro) evaluasi ulang
tanda-tanda vital, kemudian resusitasi cairan diturunkan bertahap sesuai kondisi
o Observasi tanda vital dan diuresis/jam
o Cek Hb, Ht, Trombosit, PT, apTT, SGOT, SGPT, CRP, ureum, kreatinin, elektrolit
Pada hasil follow up, ditemukan bahwa penderita muntah darah dan dicurigai DIC,
sehingga dilakukan pemeriksaan PT, APTT, dan Fibrinogen dengan hasil sebagai
berikut:
PT pada pasien didapatkan 24,1 detik
APTT pada pasien di dapatkan 58,5 detik
Fibrinogen pada pasien di dapatkan 137,0 mg/dl