Tata Hubungan Pria Wanita PDF

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 21

PENGABDIAN PADA MASYARAKAT

TATA HUBUNGAN PRIA WANITA


DALAM PANDANGAN BUDAYA JAWA

PURWADI

PENDIDIKAN BAHASA DAERAH


FAKULTAS BAHASA DAN SENI
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA

Telp: 0274-550843-12; Email: [email protected]

April 2011

1
TATA HUBUNGAN PRIA WANITA

DALAM PANDANGAN BUDAYA JAWA1

Purwadi

Jurusan Pendidikan Bahasa Daerah


Fakultas Bahasa dan Seni
Universitas Negeri Yogyakarta
Telp: 0274-550843-12; Email: [email protected]

A. Pendahuluan

Budaya Jawa menempatkan aspek cinta asmara dalam bingkai kesucian,

seksualitas berkaitan dengan sakralitas. Oleh karenanya dikenal adanya istilah

bibit, bebet, bobot yang mengandung makna kualitas mental, moral dan spiritual

(Damardjati Supadjar, 1987: 56). Orientasinya adalah untuk mencari wiji sejati,

yaitu generasi penerus yang mempunyai keyakinan dan kepribadian.

Pembahasan mengenai etika yang berkaitan dengan seksualitas dalam

kosmologi Jawa memang perlu dilakukan supaya masing-masing pihak

mempunyai pemahaman. Apabila diteliti secara komparatif, masing-masing

bangsa mempunyai tradisi yang berkaitan dengan masalah percintaan. India

memiliki buku yang mengupas tentang seksologi secara jelas, detail, transparan

serta menyejarah yang berjudul Kamasutra. Tiongkok mempunyai buku Shu Ni

Jing, Hung Lou Meng dan Yin Yuan Thu yang mengupas ajaran seks secara

hampir paripurna. Kitab-kitab tersebut selalu menjadi rujukan dan pedoman bagi

mereka yang belajar seks sebagai suatu ilmu.

1
Makalah ini disampaikan dalam acara Penganugerahan Award Pejuang Kartini dan Pagelaran
Wayang Sambung dalam rangka Hari Kartini, yang diselenggarakan oleh SDIT Salsabila
Klaseman Sleman Yogyakarta pada tanggal 17 April 2011.

2
Dalam makalah akan dibahas seluk beluk seksologi Jawa yang diambilkan

dari sumber-sumber literatur Jawa kuno. Para cendekiawan Jawa mengungkapkan

sisi erotis kehidupan manusia dalam bentuk kesusastraan yang bernilai estetis. Di

sana terdapat keutamaan yang dapat digunakan sebagai kaca benggala atau

referensi dalam kehidupan sehari-hari.

B. Metode Filosofis Menggali Kearifan Lokal

Gegarane wong akrami,


dudu bandha dudu rupa,
amung ati pawitane,
luput pisan kena pisan,
yen gampang luwih gampang,
yen angel angel kelangkung,
tan kena tinambak arta.

Ajaran luhur yang dirangkum dalam sekar asmarandana di atas memuat

pesan tentang syarat utama hubungan pria wanita ketika hendak membangun

sebuah rumah tangga. Modal utama berumah tangga bukanlah harta maupun

benda, namun tekad hati yang bulat. Itulah pedoman hidup yang harus diyakini

setiap insan yang akan berkeluarga. Mangun bale wisma, sekali tergores akan

terluka. Jika dimulai dengan keutamaan akan berbuah kemuliaan (Siswoharsoyo,

1957: 11).

Kitab Shu Ni Jing memuat tata cara kehidupan seks dan seni ranjang yang

tersusun dalam kalimat-kalimat indah penuh nuansa sastra dan simbol-simbol

berbagai istilah untuk menggambarkan alat kelamin manusia dan kegiatan

bersenggama. Buku tersebut merupakan tuntunan yang membawa pada intisari

kenikmatan senggama. Dalam buku itu diajarkan teknik-teknik dan rahasia untuk

mencapai ke puncak hubungan seksual. Para pasangan akan merasakan

3
bagaimana nikmatnya bersenggama itu, sehingga mereka memahami betapa

indahnya bercinta dan kenikmatan hubungan seks.

Hal yang sama juga terdapat di Jawa, yakni Serat Nitimani dan Serat

Kamawedha. Kedua kitab tersebut memberikan panduan yang cukup memadai

tentang seksualitas Jawa. Sedangkan dalam kaitan seks dengan pengobatan

tradisional dapat kita jumpai dalam Primbon Jalu Usada dan Primbon Wanita

Usada. Untuk kisah-kisah petualangan seksual yang moderat dapat dibaca lebih

jauh dalam Serat Centhini yang ditulis atas prakarsa Sunan Paku Buwana V di

Surakarta pada pertengahan abad ke-18 (Karkono Kamajaya, 1992: 77).

Sementara, kitab-kitab pelajaran tentang kewanitaan bisa dilihat pada Serat

Candrarini, Serat Wulang Putri, Serat Darmarini atau juga Serat Nitisastra dan

Serat Yadnyasusila.

Serat Nitimani menuturkan bahwa masyarakat Jawa juga telah lama

mengembangkan bentuk-bentuk, teknik, metode, pengobatan, mantra bahkan

ilmu pengasihan yang ada kaitannya dengan seksualitas. Dalam Serat Sasana

Sunu juga diajarkan tata krama dan sopan santun ini (Yasadipura, 1982: 45)

Di dalam primbon, masyakarat Jawa juga menyusun dengan ilmu petung

yang berkaitan dengan kehidupan seksual. Yakni ilmu tentang kalender seksual

yakni waktu-waktu terbaik untuk bercinta, cita rasa perempuan yakni tempat-

tempat sensitif di tubuh perempuan dan kenikmatan seks berdasar pada bentuk

genetikal perempuan. Di samping itu juga tata krama seksual dan pose-pose yang

dapat melahirkan kenikmatan dalam hubungan seks. Semua itu disusun untuk

mendapatkan kenikmatan seksual secara optimal (Sunoto, 1981: 76). Dalam kitab-

4
kitab klasik tersebut, hubungan percintaan disebut dengan berbagai macam istilah

seperti among tresna, among asmara, among sih, among resmi, among saresmi,

among lulut, salulut, saresmi, jimak, andon asmara, andon lulut, andon resmi,

awor jiwa, aworsih, karon asmara, karonsih, dan sacumbana. Semua istilah itu

mengacu untuk cinta, asmara, kasih, percumbuan dan seks. Makalah ini akan

mengkaji lebih mendalam masalah seksologi dalam budaya Jawa.

Perlu kiranya diketahui bahwa ada tanda-tanda awal dari bangkitnya

gairah kasih istri dalam menanggapi tantangan awal gairah kasih suami, yakni

munculnya aroma khas tersebut adalah aroma jiwa (yang warna aromanya tidak

ada persamaannya dengan aroma apapun) yang terhembus adalah aroma jiwa

yang merupakan tanda mulai mengalirnya semangat (spirit) istri yang

membukakan seluruh syaraf rasa dan terbukanya alur/lorong kantung sarung janin

wanita/saluran telur) dan siap bergeraknya indung telur menuju rahim, sebagai

tanda siap dimulainya penyatuan dua alat vital suami-istri. Meruhi (melihat

langsung dan tidak langsung secara fisik) yaitu bahwa jangan sampai bertindak

tidak senonoh yang betul-betul merupakan pantangan yang tidak boleh dilanggar

yakni: melihat dengan mata kepala sendiri wewadi (rahasia/kemaluan) istri an

melihat dengan mata kepala sendiri/semata-mata ingin melihat kenyataannya air

mani sang istri.

Kedua hal yang sangat rahasia itu sebaiknya diketahui secara nalar

(pengetahuan akal tanpa menyaksikan dengan mata kepala sendiri), yakni melalui

sumber bacaan/ pustaka yang berkaitan dengan kehamilan dan kelahiran anak

manusia. Anatomi alat kelamin laki-laki dan wanita beserta kandungannya

(rahim) telah banyak ditulis secara ilmiah oleh para ahli bidang kesehatan.

5
Pantangan tersebut memang bukan berlandaskan kepada pemahaman

rasional tetapi berlandaskan kepada pemahaman rohaniah, Pengaruh batiniah yang

terdalam yakni munculnya puncak rasa malu dan kecewa yang amat dalam di

relung hati wanita yang paling halus dan tidak nampak dipermukaan tampilan

wajah wanita, yakni rasa harga diri yang tergores sebagai bentuk kesadaran moral

dan akhlak, akan sulit dilupakan/dihapuskan. Rasa kecewa itu akan selalu

membekas dan mempengaruhi terus emosional dari kehormatan wanita yang

mulia, sebagai 'pemegang pintu surga dunia dan akhirat'.

Pengaruhnya akan mengotori cipta batin kedua belah pihak pada proses

kejernihan bawah sadar yang akan muncul pada setiap muncul keinginan untuk

melakukan hubungan nikah rohaniah, karena iblis akan merasuki jiwa pihak suami

untuk selalu mengulang-ulang kembali dan munculnya ide rasional yang dirasuki

nafsu yang mengalahkan nafsi suci yang telah dibersihkan dengan berbagai upaya

sukerta (pemuliaan kehormatan jiwani) dengan langkah tindakan seperti yang

telah diuraikan di beberapa bab sebelumnya.

C. Metode Pengembangan Olah Rasa

Pada masa kejayaan kraton Jawa, seksualitas telah menjadi bagian integral

dalam kehidupan dan dalam ekspresi seni-budaya Jawa. Dalam hal ini, kita

mungkin akan sangat tercengang jika membaca Serat Centhini (Munarsih, 2004:

12). Dalam Serat Centhini, masalah seksual ternyata juga telah menjadi tema-

tema sentral yang diungkap secara verbal atau terbuka tanpa tedeng aling-aling

yang sangat paradoks dengan etika sosial Jawa yang bersifat puritan dan ortodoks.

6
Dalam serat ini, masalah seksual dibicarakan dalam berbagai versi dan kasus.

Seperti misalnya menyangkut masalah pengertian, sifat, kedudukan, dan

fungsinya, etika dan tata cara bermain seks, gaya (style) persetubuhan, dan lain-

lain. Selain itu masalah seks juga dibicarakan dalam banyak varian lain, seperti

seksual dalam hubungannya dengan perkawinan, kesetiaan pasangan suami istri,

kisah-kisah perkosaan. Bahkan seks juga dibicarakan dalam kaitannya dengan

penikmatan hidup atau pelampiasan hasrat-hasrat hedonisme. Bahkan sampai

masalah teologi seks, yang mengaitkan seks dengan asal usul manusia dan “ilmu

kasunyatan” (Otto Sukatno, 2002). Orang Jawa Klasik membagi ajaran bercinta

menjadi lima titik perhatian, yakni Asmaratura, Asmaraturida, Asmaranala,

Asmaradana, Asmaratantra dan Asmaragama.

1. Asmara Nala

Disebut juga sengseming nala. Maknanya kedua insan yang bercinta

hendaknya dilandasi oleh cinta kasih yang muncul dari lubuk hati masing-

masing. Ketika dua insan saling tergetar jiwanya satu sama lain, maka

mereka akan mendapati bahagia yang sesungguhnya dalam hubungan

karonsih itu. Seks bukan sekedar untuk menyalurkan hasrat birahi seorang

laki-laki dan perempuan, namun merupakan perpaduan dua hati yang

saling mencinta dan mendamba. Makin mendalam cinta keduanya, makin

dalam pula rasa kenikmatan seksual yang mereka peroleh. Ketika sepasang

mata jejaka membentur pandangan sepasang mata seorang gadis, dan pada

hati masing-masing ada getaran aneh yang menyelinap tanpa bisa mereka

kendalikan, itulah awal benih cinta bersemi. Cinta akan menimbulkan

7
perasaan gelisah yang indah, yang hanya akan terjawab dengan

bertemunya dua hati tersebut dalam kasih sayang.

2. Asmara Tura

Disebut juga sengseming pandulu. Maksudnya kedua insan yang bercinta

hendaknya dilandasi oleh rasa salingt tertarik kepada kecantikan dan

ketampanan kedua belah pihak. Ketika cinta telah bersemi, semuanya

tampak indah. Si cewek yang sebenarnya biasa-biasa saja, namun dalam

pandangan sang jejaka akan tampak cantik bagaikan rembulan purnama.

Sang perjaka yang kecil kerempeng sekalipun, akan tampak bagaikan

Arjuna sedang memanah dalam pandangan si gadis. Sengseming pandulu

arti bahasanya adalah kebanggaan pandangan. Sebuah pasangan yang

serasi harus saling memiliki rasa kebanggaan terhadap pasangannya.

3. Asmara Turida

Disebut juga sengseming pamirengan. Maknanya kedua insan yang

bercinta akan semakin larut dalam asyik masyuk dengan sendau-gurau

mesra yang membuat rangsangan pada gendang telinga. Suara yang

merdu, desah napas yang syahdu akan membuat kedua pasangan terlena.

Sepasang suami istri yang sedang bercinta, akan lebih nikmat jika si istri

mengimbangi suami dengan desah-desah yang terkendali.

4. Asmara Dana

Disebut juga sengseming pocapan. Syair, puisi dan kata-kata mutiara

sering kali dilantunkan oleh sepasang kekasih yang sedang jatuh cinta.

Kata-kata pilihan itu sungguh mempesona dan punya daya magis ajaib

8
yang menimbulkan bukit cinta kasih semakin meninggi. Kelebihan laki-

laki biasanya pada sisi rayuan ini. Pihak perempuan yang sudah ada benih

cinta, biasanya akan terbius dan menyerahkan jiwa raga sepenuh kasih.

5. Asmara Tantra

Disebut juga sengseming pangarasan. Ciuman merupakan mantik birahi

yang paling dahsyat. Kedua insan yang sedang among tresna tidak akan

melupakan ciuman, entah itu dahi, pipi, mata, bibir, atau bagian tubuh

yang lain. Oleh karena itu, setiap pasangan suami istri hendaknya

mempelajari teknik-teknik berciuman. Masing-masing jenis ciuman

membawa kenikmatan dan psikologis yang berbeda. Bau tubuh sang

kekasih lebih bermakna daripada parfum paling wangi sekalipun. Kecuali

tentu saja, seseorang yang memiliki bau badan yang kurang beruntung. Ia

harus sadar diri menjaga tubuhnya dengan berbagai cara tertentu agar

pasangan tidak muak. Bau badan yang kurang sedap akan menghilangkan

gairah berciuman dan gairah seksual yang membara.

6. Asmaragama

Disebut juga sengseming salulut. Puncak dari karonsih adalah salulut,

yakni masuknya alat kelamin laki-laki ke dalam alat kelamin perempuan.

Alat kelamin laki-laki sebelum masuk ke dalam liang vagina harus

dipastikan empat hal, yakni besar, panjang, keras dan hangat. Sedangkan

alat kelamin perempuan yang mampu memberikan kenikmatan bagi laki-

laki adalah yang hangat, empuk dan menyerah (Munarsih, 2004 : 34).

Dalam hubungan seksual itu, menurut kitab-kitab Jawa Klasik, unsur laki-

laki adalah upaya atau alat mencapai kebenaran yang agung. Sedangkan unsur

9
wanita merupakan prajna atau kemahiran yang membebaskan. Maka, dipahami

bahwa persenggamaan adalah darma seorang istri terhadap suami dan sebaliknya

merupakan kewajiban seorang suami terhadap istrinya.

Di India, terdapat ajaran seni bercinta Kamasutra. Kamasutra

mengajarkan makna hubungan pria dan wanita ini secara mendalam. Sampai saat

ini paham ini masih menyebar di nusantara maupun di daerah-daerah lainnya yang

pernah mendapat pengaruh kebudayaan India. Orang Jawa menganggap karena

seksuallah kehidupan di dunia ada. Maka, seks dianggap sumber kehidupan, kunci

harmoni rumah tangga dan pencipta keturunan. Maka, seks harus dipahami dan

dipelajari dengan sebaik-baiknya. Menurut Asmaragama, semua yang ada itu

timbul dari hubungan kelamin. Bahkan seluruh dunia diciptakan oleh senggama

dewa pencipta dengan saksinya. Jadi, tanpa bersenggama tidak akan mungkin

lahir dunia ini.

Kama berarti mani, yang merupakan energi cinta. Sedangkan sutra

merupakan derivasi dari kata sastra yang bermakna ajaran. Kamasutra berarti

ajaran tentang cinta. Maka, dalam dunia pewayangan dikenal dewa dan dewi cinta

adalah Dewa Kamajaya dan Dewi Ratih. Karena merupakan energi cinta, maka

kama harus dijaga sebaik-baiknya. Meskipun teori ini telah berabad-abad masuk

ke nusantara, tetapi masih sangat sedikit dikenal.

Istilah kama berkaitan dengan dunia kesenangan atau kenikmatan. Arti

leksikal kama adalah sperma. Kama salah adalah nama kecil Batara Kala yang

berarti sperma yang salah alamat. Orang yang suka bermain sperma akan

menimbulkan "Batara Kala" berserakan yang merusak harmoni kehidupan.

10
Dalam kehidupan sehari-hari, hal tersebut mudah diketemukan dalam dunia

kewanitaan. Sifat kekanak-kanakan biasanya egois, mau menang sendiri,

permintaan harus dikabulkan melebihi keinginan raja. Kalau diingatkan dia akan

menangis. Bila perlu dengan mengamuk segala rupa agar diperhatikan kehendak

dan keinginannya. Orang yang terjangkit sifat kama atau kekanak-kanakan itu

hidupnya ingin selalu bersenang-senang, tak mau susah dan melimpahkan

penderitaan pada orang lain dengan tega.

Seorang lelaki perlu menghindari perempuan yang diindikasikan memiliki

watak yang buruk, yakni perempuan-perempuan yang memiliki watak sebagai

berikut: Perempuan dengan buah dada kecil, sudah kelihatan terurai dan kelihatan

membesar tetapi tidak padat berisi. Atau sudah kendur sehingga tidak indah lagi

dipandang mata. Di samping itu, pinggulnya juga sudah tampak mekar. Sebab

perempuan yang demikian menandakan telah melakukan hubungan seksual. Ia

bukan perawan sunthi, rasanya sudah tawar (Sumidi, 1974: 56).

Hal yang senada dengan hukum sebab akibat tersebut di atas adalah dalam

hal siapa yang terlebih dahulu berminat atau timbul rasa rindu dendam (kangen)

untuk melakukan saresmi (nikah rohani). Hal ini perlu penghayatan waktu atau

kecermatan pengamatan untuk memahami siapa sebenarnya yang terlebih dahulu

merasa kangen itu. Bila dalam hitungan waktu selapan dina (tiga puluh lima hari)

di antara mereka (suami/istri) tumbuh rasa rindu dendam terhadap pasangannya,

maka bila sang istri yang terlebih dahulu berminat sekali, dapat diamati

kemungkinannya kelak akan lahir anak laki-laki (Budiono Heru Satoto dan

Soejadi, 2002: 78).

11
Demikian pula sebaliknya. Pengamatan dan pencermatan tersebut perlu

dihubungkan pula dengan ketiga hal di atas. Pengamatan dan pencermatan

terhadap tanda-tanda kemungkinan kelak akan lahir anak perempuan atau laki-

laki, hal itu dapat dicermati melalui sarana alusing pandulu (kehalusan daya cipta)

yakni kekuatan/kesanggupan perasaan hati (nurani) untuk meraba. Kehalusan

daya cipta ini ada 5 (lima) hal, yakni:

1) berdasarkan beninging ati (kejernihan hati/kalbu)

2) berdasarkan sirnaning kekarepan (hilangnya kehendak)

3) berdasarkan sarehing pangganda (mengendapnya imaji-nasi/angan-angan)

4) berdasarkan lereming pancadriya (ketenangan panca-indera)

5) berdasarkan jatmikaning solah bawa (santunnya perbuatan/tingkah laku).

Bila dapat menguasai kelima kehalusan daya cipta tersebut di atas, maka

akan dapat menguasai kemampuan untuk memahami tanda-tanda dari sifat benih

(manikem) yang sesungguhnya (Soewandi, 1967: 18). Mengenai proses kelahiran

manusia, dalam budaya Jawa dikenal adanya idiom kakang kawah adi ari-ari.

Apakah benar bahwa segala wujud yang keluar bersama sang bayi ketika lahir,

yakni: kawah (air ketuban), ari-ari (plasenta), darah dan puser (potongan pusar),

adalab kadang tunggal banyu (saudara satu sumber air) yang juga mengandung

getar cipta sang ibu, sehingga ia disebut dengan istilah sedulur papat, kalima

pancer, yakni 'Kakang kawah, adhiari-ari'. Apakah hanya orang Jawa saja yang

mempercayai bahwa kadang tunggal banyu tersebut mengandung juga getar cipta

ibu yang memiliki kekuatan gaib, sehingga potholan (tanggalan) pusar bayi

12
seringkali dipergunakan untuk mengobati anak-anak yang sakit? Apakah hal ter-

sebut terlalu mengada-ada dan diada-adakan, terlalu di-besar-besarkan maknanya?

Perlu perenungan dan pengertian yang mendalam, yang bertolak dari

pemahaman masing-masing orang. Bagi orang yang tak beriman dan masyarakat

modern masalah tersebut dianggap tidak bermakna, Namun bagi para sesepuh

(orang yang tua pemikirannya) yang menerima warisan nasihat-nasihat dari pini

sepuhnya (orang yang dianggap dapat memberi nasehat) atau penasihatnya,

masalah ini dianggap sebagai suatu bentuk penghormatan kepada Allah Sang

Maha Pencipta atas ‘Karya Cipta’-Nya Yang Agung, yang telah memberikan

kepompong gaib (wadah hidup) kepada sang bayi selama dalam kandungan ibu,

yang terdiri dari selaput ketuban, air ketuban, ari-ari (plasenta), dan usus

penghubung antara plasenta dan sang bayi. Karena air ketuban keluar mendahului

bayi, maka ia disebut Kakang (saudara tua), sedangkan ari-ari yang keluar setelah

bayi disebut dhi (saudara muda).

Darah ibu yang mengikuti kelahiran bayi, dan potongan puser bayi

(pangkal dari usus plasenta/ari-ari) adalah saudara pengiring atau penyangganya.

Keempatnya disebut sedulur papat (empat bersaudara), dan kalima pancer (yang

kelima adalah pokok pangkal) yakni sang bayi sendiri. Sebenarnya secara lebih

lengkap saudara tua (kakang) adalah terdiri dari:

1) Selaput ketuban (saput wungkul) yang dinamakan kakang Putih. Ujudnya

dapat dilihat setelah bayi lahir dan sisa selaput ketuban yang mengering

dan masih lekat pada kulit bayi akan berwarna putih seperti bedak

(pupur).

13
2) Mar (getar cipta) dan Was (rasa kekhawatiran dan cemas) ibu yang muncul

bersamaan saat uwat (mengejan/ mengerahkan semua tenaga fisik dan

rohani, untuk mendorong keluar sang bayi dari rahim ibu). Bersamaan

dengan tumpahnya Banyu kawah (air ketuban), yang melicinkan jalan

keluar sang bayi melewati pintu gerbang Guwagarba (kandungan) ibu.

Sedangkan saudara muda (adik) terdiri dari:

1) Ari-ari (plasenta),

2) Getih (darah) ibu saat melahirkan,

3) Puser (potongan tali pusat bayi), dan

4) Pancer (bayang-bayang sang bayi).

Kasih sayang adalah wujud dari perasaan saling mengasihi, saling

menyayangi, menghargai, menghormati pasangannya (Budiono Heru Satoto dan

Soejadi, 2002). Sementara nafsu birahi seringkali menjadi nafsu atau keinginan

yang sangat kuat untuk berbuat sekehendak hati demi mengejar kepuasan diri

sendiri sehingga naelakukan tindakan kasar, brutal, tidak senonoh, asal puas hati

sendiri karena istri dianggapnya sebagai barang milik pribadi sepenuhnya, yang

dapat diperlakukan sekehendak hatinya. Dalam segala hal, hendaknya tetap

berpangkal tolak dari konsep etika yang telah disepakati bersama.

D. Pancaran Kebijaksanaan Hidup

Serat Centhini menguraikan dengan gamblang bab ulah asmara, yang

berhubungan dengan letak-letak genital yang sensitif dalam kaitan permainan seks

yang dikaitkan dengan sistem kalender, pambukaning rahsaning wanita (cara

membuka atau mempercepat organisme bagi perempuan), serta panyegah

14
wedaling rahsa (mencegah atau memperlambat agar sperma tidak cepat keluar),

dan lain-lain (Otto Sukatno, 2002 : 34). Di bawah ini terdapat dialog yang

menggambarkan makna seksualitas :

Mereka semua menghormat. Cebolang bertanya lagi, “Apakah wujud aji


asmaragama itu? Bagaimana penerapannya, pengunaan dan wujud dan
caranya?” Ki Ajar menjawab dengan manis, “Aji itu artinya azimat,
sebagai hiasan hati, sedangkan kata asmara artinya sengsem rasa senang
dalam hati, sanggama artinya salulut bersama-sama bergelut bercampur
atau berkumpul. Jadi asmaragama artinya pergulatan dan berkumpulnya
laki-laki dan perempuan dihias oleh rasa senang birahi dan cinta.”
Cebolang mendesak dan bertanya lagi, “Mengapa bercampurnya
pria dan wanita disertai hiasan? Bagaimana caranya?”
Ki Ajar tersenyum, jawabnya, “Masalah sahwat itu rahasia, tidak
pantas bila dijelaskan dengan lugas, karena itu uraian tentang bersanggama
digubah dengan bentuk pancakara perkelahian, peperangan. Bila
kemaluan laki-laki belum kuat sekali janganlah terburu mengenakannya.
Jika tidak sampai demikian barang kali menipu, akibatnya tidak bahagia,
akhirnya kecewa, kadang-kadang menjadikan enggan bagi wanita, sebab
belum puas padahal telah terlanjur membuka kemaluan. Itu berarti
tertimpa bahaya cinta, disebut katitih asmara kalah bercinta sebab belum
siap tempur keburu maju menyerang. Oleh sebab itu tidak berdaya lama,
merasa lelah payah, kehilangan kekuatan. Hal itu semua karena rahsa dan
jiwa belum dikuasai oleh ulah Sanghyang Pramana.”
Ketika mendengar kata-kata sang resi, mereka tertawa dalam hati,
cocok dengan semua pengalaman mereka, sulitnya liku-liku bercinta.
Cebolang berkata pelan, “Hamba berterus terang, sebenarnya kawula
kerap kali mengalami hal itu. Oleh karena bodoh, kawula tidak berkeliling
dan bertanya mencari sebabnya. Kawula lalu hanya merasa mendongkol,
pegal dan sedih tambah-tambah merasa malu, akhirnya marah-marah tanpa
tujuan”.

Dalam Serat Centhini selain diungkap mengenai resep pengobatan seksual,

juga diungkap mengenai doa-doa atau mantra seksual. Itulah salah satu bukti dari

ritualisasi pemaknaan dan penandaan seks ala Jawa yang begitu khas, tetapi rumit

dan kompleks. Sebuah penyatuan antara seks yang bersifat tindakan praksis

dengan seks sebagai pengungkapan emosi dan perasaan, yang berada di ranah

esoterik bahkan ideal-spiritual. Karena tanpa laku dan keyakinan, mantra tidak

15
akan memiliki efek dan manfaat apa-apa, baik bagi diri yang merapalnya maupun

orang yang ditujunya.

Selain itu, Kamasutra juga menampilkan wacana ketubuhan secara agak

dominan. Disebutkan beberapa tipe perempuan, seperti tipe perempuan kuda,

gajah, dan rusa. Di antara ciri perempuan kuda adalah badannya sedikit tegap,

kulit agak gelap, sorot mata tajam, suara agak berat. Perempuan demikian

memiliki daya seksual yang kuat. Adapun perempuan gajah memiliki ciri badan

subur, bibir tebal, payudara mantak. Perempuan demikian digambarkan dalam

permainan seksnya mantap. Sedangkan perempuan tipe rusa digambarkan

memiliki tubuh kecil atau sedang. la terkesan genit dan lincah, ramah dan

menggoda berahi, serta memiliki daya tarik seksual yang sangat romantis.

Sayangnya notabene perempuan jenis ini sulit hamil. Namun jika sekali hamil,

anaknya akan beruntun (Sri Suhandjati Sukri & Sofyan, 1995: 99).

Namun dalam memilih jodoh, sebagaimana kebiasaan yang telah terus-

menerus diturunkan dalam, tradisi Jawa oleh kalangan para pangerannya, yang

dalarm sosialitasnya berkembang menjadi orientasi idealitas keperempuanan,

terdapat satu anggapan bahwa perempuan yang sebaiknya dipilih menjadi istri,

sebagaimana yang diuraikan dalam Serat Centhini yang disitir oleh Sri Suhandjati

Sukri adalah perempuan yang benar-benar berwatak, yang disebut sama, beda,

dana, dhendba, guna, busana, dan asana. Kalau bisa laki-laki harus memperoleh

perempuan yang memiliki watak sawanda, saekanpraya, dan sajiwa. Adapun

maksud dari ungkapan-ungkapan tersebut adalah sebagai berikut :

- Sama, yaitu memiliki watak welas asih kepada sesama makhluk hidup.

16
- Beda, yaitu mampu memilah-milah (membedakan, mempertimbangkan

atau memilih yang lebih penting) dengan apa yang hendak dilakukan.

- Dana, yaitu suka memberikan kesenangan kepada sesama.

- Dhendha, yaitu dapat menggunakan hukum atas aturan sar nalar sehat

untuk melihat mana yang baik dan yang buruk atas dasar empan-empan

(tempat, keadaan, situasi, dan kondisi.

- Guna, yaitu pandai mengetahui dan mengerti wewenang dan kewajiban

terhadap seluruh kegiatan yang berhubungan dengan perempuan.

- Busana (pakaian), yaitu bisa mengetahui dan menerapkan semua apa

yang dimiliki sesuai maksud tujuan serta situasi dan kondisinya.

- Asana (tempat), yaitu bisa mengerti, membangun, menata dan

memelihara agar rumah tampak baik dan menyenangkan hati.

- Sawanda (serupa atau sewarna), yaitu mampu menyelatraskan antara

keinginan lahir dan keinginan batin. Dalam meladeni dan melayani suami

laksana memperlakukan diri sendiri.

- Saekapraya, yaitu mampu menyelaraskan keinginan diri dengan

keinginan lelaki yang menjadi suaminya.

- Sajiwa (satu jiwa), yaitu ia memiliki kesetiaan kepada lelskinya, seperti

kesetiaannya kepada dirinya sendiri (Otto Sukatno, 2002 : 87).

Dalam mengolah asmara yang tetap berlandaskan kepada awas lan eling,

bersih ciptanya, harus memperhatikan dan memahami segala pertanda dari sikap

dan keinginan pasangannya, yakni: bergairah sambil mengheningkan cipta untuk

merasakan dengan mata batin apakah benih yang tercurahkan itu nanti benih yang

17
bermutu atau benih yang kurang bermutu dan; apakah rasa dan gairah sang istri

sudah bangkit secara seimbang dan membalas segala gairah kasih dari suaminya.

Bangkitnya rasa dan gairah kasih tersebut dapat disebabkan oleh 2 (dua)

hal, yakni pertama, marahi (menuntun atau memulai) yaitu sebelum menyatukan

tubuh dalam senggama, sang suami harus tertebih dahulu membuka rasa gairah

istri dengan tindak rayuan yang berupa elusan dan rabaan halus penuh kasih

sayang terhadap segala milik istrinya secara bertahap dari bagian atas tubuh

sampai ke bagian bawah, tanpa ada penolakan dari istri. Tujuan dan manfaatnya

adalah untuk menumbuh dan meningkatkan rasa gairah kasih sang istri. Baik

sekiranya istri sudah menunjukkan puncak gairahnya, barulah persetubuhan

dimulai dengan segala hening cipta kedua belah pihak dan bergerak bersama

dengan kendali nafsi secara gerak perlahan penuh rasa dan kasih tnenuju puncak

secara bersama-sama.

Kepuasan jiwa dan badan/ rohani dan jasmani dalam bentuk kelegaan,

kepuasan jiwa, kekenduran syaraf dan otot-otot amat terasa nik-mat, bersama

senyuman bahagia sejahtera lahir batin dan basah kuyupnya seluruh badan oleh

keringat yang mengucur deras bersama terbuangnya segala ketegangan, emosional

dan rasional.

Kiranya perlu ditambahkan pula di sini bahwa tindakan tidak senonoh

untuk meruhi (melihat fisik) yang dipantangkan itu, bisa menimbulkan ide-ide

gila pada sang suami misalnya timbul keinginan untuk mengukur berapa

dalamnya atau ingin merasakan seperti apa sebenarnya bentuk permukaan kulit

bagian dalam dari vagina wanita/istri yang sebenarnya, dengan cara memasuk-kan

18
salah satu jari tangannya ke dalam vagina istri. Hal seperti itu sangat melukai

perasaan istri dan secara fisik sangat berbahaya karena bisa melukai kulit halus

yang penuh dengan ujung-ujung syaraf perasa yang amat peka terhadap benda-

benda keras seperti kuku jari misalnya. Luka yang ditimbulkan itu tidak bisa

diketahui karena berada pada bagian dalam, tetapi akan sangat dirasakan oleh

pemiliknya karena kepekaan syaraf-syaraf perasanya sehingga sangat

mengganggu konsentrasi pihak istri dalam kegiatan sehari-harinya. Akibatnya

adalah pengalaman buruk pada pihak istri yang bisa menumbuhkan rasa traumatic

(keadaan yang menakutkan akibat luka perasaan-nya) sehingga segala upaya

untuk mewujudkan kembali konsentrasi cipta batinnya selalu gagal atau

membutuh-kan waktu yang lama.

Sebenarnya cipta birawa (keindahan/ketenangan cipta) berwujud

kepuasaan jiwa dan badan (rohani dan jasmani) dalam bentuk kelegaan, kepuasan

jiwa, kekenduran syaraf dan otot-otot, nikmat bersama senyuman, bahagia

sejahtera lahir batin. Segalanya menjadi terasa ringan dan serasa mengapung di

awang-awang, tergolek dalam tidur yang lelap dan nyaman, yang hanya bisa

diraih dengan segala daya upaya yang panjang dan tidak mudah. Tidak semua

orang bisa menikmatinya, tanpa daya upaya untuk belajar, berlatih dan

memahaminya secara lahir dan batin (Budiono Heru Satoto dan Soejadi, 2002:

88). Cipta birawa adalah surga dunia. Bahagia lahir batin karena lepasnya segala

ketegangan fisik, emosional dan rasional.

E. Kesimpulan

19
Pengungkapan aspek seksualitas dalam kosmologi Jawa dilakukan dengan

penuh sopan santun dan tata krama. Hal ini dapat berguna bagi masyarakat yang

menghendaki keselarasan dalam berumah tangga. Pasangan suami istri dapat

belajar dari kosmologi Jawa untuk mengayunkan langkah kakinya sehingga cita-

cita keluarga bahagia dapat terwujud.

Hidup berumah tangga telah diajarkan oleh para pujangga yang sudah

terkenal waskitha, wicaksana dan tajam mata batinnya. Olah asmara yang secara

simbolik dimuat dalam tembang asmarandana, hulu-hilirnya adalah dana asmara,

yakni keselarasan hubungan percintaan sejati suami istri. Lika-liku laki-laki yang

teruji mutu ke-lelaki-annya merupakan muara bagi perempuan yang teruji bobot

ke-empu-annya.

Dalam berbagai literatur Kejawen terdapat ungkapan yang mengatakan

bahwa seberat-berat beban bumi, masih lebih berat kasih sayang seorang wanita

yang menjadi ibu. Setinggi-tingginya langit, masih lebih tinggi kehormatan

seorang pria yang menjadi bapak. Oleh karena itu hubungan suami dan istri dalam

kebudayaan Jawa populer dengan istilah ibu pertiwi bapa angkasa. Keduanya

bersatu padu menjadi garwa, sigaraning nyawa, jalinan kasih antara jiwa raga

lahir batin.

Perkawinan harmonis adalah perkawinan yang berhasil membina rumah

tangga yang langgeng, dan bukan hanya berlandaskan cinta semata. Cinta

hanyalah salah satu aspek yang dapat menimbulkan pemahaman bersama untuk

saling kasih mengasihi dan menjadi alat yang teguh untuk mengatasi segala

20
kesulitan dalam menempuh hidup bersama, demi masa depan yang lebih baik bagi

keturunannya. Begitulah ajaran luhur yang terdapat dalam kosmologi Jawa.

DAFTAR PUSTAKA

Budiono Heru Satoto dan Soejadi, 2002. Seks Para Leluhur. Yogyakarta : Graha
Pustaka.
Damardjati Supadjar, 1987. Unsur Kefilsafatan Sosial yang Terkandung dalam
Serat Sastra Gendhing. Yogyakarta: Fak. Filsafat UGM.
Karkono Kamajaya, 1992. Serat Centhini. Yogyakarta : UP Persatuan.
Munarsih, 2004. Serat Centhini Warisan Sastra Dunia. Gelombang Pasang.
Yogyakarta.
_______, 2004. Feminisme Jawa. Pustaka Raja. Yogyakarta.
Otto Sukatno, 2002. Seks Para Pangeran, Tradisi dan Ritualisasi Hedonisme
Jawa. Yogyakarta : Bentang.
Siswoharsoyo, 1957. Serat Guna Cara Agama. Yogyakarta: Percetakan Persatuan.
Sri Suhanjati Sukri & Sofyan, 1995. Konsep Wanita dalam Budaya Jawa.
Yogyakarta: Gama Media.
Soewandi, 1967. Kawruh Salaki Rabi. Surabaya : Citra Murti.
Sumidi, 1976. Sekilas Tentang Serat Centhini. Yogyakarta : Taman Siswa.
Sunoto, 1981. Keluarga dan Masyarakat Jawa. Yogyakarta : Fak Filsafat UGM.
Yasadipura, 1982. Serat Sasana Sunu. alih aksara oleh Sudibjo. Jakarta:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

21

Anda mungkin juga menyukai