Referat CHF
Referat CHF
Referat CHF
Gagal Jantung
Disusun Oleh:
1102013211
Pembimbing:
2017
DEFINISI
EPIDEMIOLOGI
Prevalensi gagal jantung pada keseluruhan populasi antara 2-30%. Angka prevalensi
meningkat tajam pada populasi usia 75 tahun sehingga prevalensi pada kelompok usia
70-80 tahun sekitar 10-20%. Empat puluh persen yang datang ke rumah sakit dengan
diagnosis gagal jantung, meninggal atau mendapat perawatinapan kembali dalam
waktu satu tahun pertama. Di Eropa kejadian gagal jantung berkisar 0,4%-2% dan
meningkat pada usia yang lebih lanjut dengan rata-rata umur 74 tahun. Prognosis dari
gagal jantung akan jelek bila dasar atau penyebabnya tidak dapat diperbaiki. Seperdua
dari pasien gagal jantung akan meninggal dunia dalam 4 tahun sejak diagnosis
ditegakkan dan padakeadaan gagal jantung berat lebih dari 50 % akan meninggal pada
tahun pertama.2,3
Data dari organisasi kesehatan dunia / WHO (2012) menyebutkan 17,3 juta orang
meninggal akibat penyakit kardiovaskular pada tahun 2008, mewakili 30% dari semua
kematian global. Dari kematian ini, diperkirakan 7,3 juta disebabkan oleh penyakit
jantung. Negara berpenghasilan rendah dan menengah yang tidak proporsional
terpengaruh: lebih dari 80% kematian penyakit kardiovaskular terjadi di negara
berpenghasilan rendah dan menengah dan terjadi hampir sama pada pria dan wanita.
Menurut data Kementrian Kesehatan Republik Indonesia (2011), penyakit jantung dan
pembuluh darah telah menjadi salah satu masalah penting kesehatan masyarakat dan
merupakan penyebab kematian yang utama.4
ETIOLOGI
Gagal Jantung disebabkan oleh disfungsi miokardial dimana jantung tidak mampu
untuk mensuplai darah yang cukup untuk mempertahankan kebutuhan metabolik
jaringan perifer dan organ tubuh lainnya. Gangguan fungsi miokard terjadi akibat dari
miokard infark acut (MCI), Prolonged Cardiovaskular Stress (hipertensi dan penyakit
katup), toksin (ketergantungan alkohol) atau infeksi. Penyebab Gagal jantung dapat
dibedakan dalam tiga kelompok yang terdiri dari: (1) kerusakan kontraktilitas
ventrikel, (2) peningkatan afterload, dan (3) kerusakan relaksasi dan pengisian
ventrikel (kerusakan pengisian diastolik). Kerusakan kontraktilitas dapat disebabkan
coronary arteri disease (miokard infark dan miokard iskemia) chronic volume
overload (mitral dan aortic regurgitasi) dan cardiomyopathies. Peningkatan afterload
terjadi karena stenosis aorta, mitral regurgitasi, hipervolemia, defek septum ventrikel,
defek septum atrium, paten duktus arteriosus dan tidak terkontrolnya hipertensi berat.
Sedangkan kerusakan pengisian diastolik pada ventrikel disebabkan karena hipertrofi
ventrikel kiri restrictive cardiomyopathy, fibrosi miokard, transient myocardial
ischemia, dan kontriksi perikardial. 5,6
PATOFISIOLOGI9
Perjalanan penyakit gagal jantung dimulai setelah terjadinya index event atau suatu
kejadian tertentu yang merusak otot jantung dan hilangnya miosit atau menghalangi
miokardium untuk menghasilkan energi yang akan berakibat jantung gagal memompa
darah secara normal8 (Gambar 19.1)
Setelah penurunan awal kapasitas pompa ini, berbagai mekanisme kompensasi pun
diaktifkan, Gagal Jantung yang disebabkan karena kelainan dari pengosongan ventrikel
(karena gangguan kontraktilitas atau afterload yang sangat berlebihan) disebut disfungsi
sistolik, sedangkan gagal jantung yng disebabkan oleh kelaian relaksasi diastolic atau
pengisiaan ventricular disebut disfungsi diastolic. Namun, ada banyak tumpang tindih,
dan banyak pasien yang menunjukkan kelainan sistolik dan diastolic. Akibatnya, secara
umum gagal jantung dibagi menjadi dua kategori berdasarkan left ventricular ejection
fraction (EF), ukuran kinerja jantung. (1) Heart failure with reduce EF ( yaitu, primarily
systolic dysfuntion) dan (2) Heart failure with preserved EF (yaitu, primarily diastolic
dysfunction)
Heart Failure with Reduce EF9
Disfungsi sistolik artinya ventrikel yang mengalami kelainan sehingga memiliki kapasitas
yang berkurang untuk menyuplai darah karena mengganggu kontraktilitas miokardium
atau kelebihan tekanan/ pressure overload (yaitu, muatan yang berlebih/ excessive
afterload). Kehilangan kontraktilitas dapat menyebabkan destruksi dari miosit, kelainan
fungsi miosit, atau fibrosis. Pressure overload mengganggu ejeksi ventrikel.
Selama diastol, tekanan LV yang terus meningkat ditransmisikan ke atrium kiri (melalui
katup mitral terbuka) dan ke vena paru-paru dan kapiler. Tekanan hidrostatik kapiler paru
yang meningkat, bila cukup tinggi (biasanya lebih besar dari 20 mmHg), menghasilkan
transudasi cairan ke dalam interstitium paru dan gejala kongesti paru.
Heart Failure with Preserved EF9
Pasien gagal jantung dengan preserved EF sering menunjukkan kelainan dari fungsi
diastolic: mengganggu relaksasi diastolic awal ( proses aktif dan bergantung energy),
peningkatan ke kakuan dari dinding ventrikel, atau keduanya. Akut Iskemia Miokardial
adalah salah satu contoh kondisi yang secara tarnsien menghambat pengiriman energy
dan relaksasi diastolic. Sebaliknya, left ventricular hypertrophy, fibrosis, atau restriktif
kardiomiopathy menyebabkan dinding ventrikel kiri menjadi kaku kronik. Penyakit
pericardial tertentu (Kardiak temponade dan pericardial konstriksi) menunjukkan adanya
kekuatan eksternal yang membatasi pengisian ventrikel dan merupakan bentuk reversible
dari diastolic disfungsi. Efek gangguan fungsi diastolic tercermin dalam pressure –
volume loop (Fig.9-7B): Saat diastol, pengisian ventrikel terjadi saat tekanan tinggi dari
normal karena bagian bawah dari loop digeser ke atas sebagai hasil penyesuasian akibat
ruangnya berkurang. Pasien dengan disfungsi diastolic sering bermanifestasi dengan
kongesti vascular karena peningkatan tekanan diastolic yang meningkat ditransmisikan
secara terograde ke paru dan vena sistemik.
Mekanisme Kompensasi9
Gagal jantung disebabkan oleh gangguan fungsi kontraktilitas ventrikel kiri sehingga
menyebabkan penurunan dari kerja ventrikel. Akibatnya, pada beban (preload) tertentu,
stoke volume menurun dibandingkan dengan normal. Penurunan stoke volume
menghasilkan pengosongan ruang jantung tidak sempurna, jadi volume darah yang
terakumulasi pada ventrikel selama diastolic menjadi lebih tinggi daripada normal.
Peregangan yang meningkat pada myofiber , hal tersebut bekerja dengan mekanisme
Frank- Starling, menginduksi stoke volume yang lebih baik pada kontraksi selanjutnya,
sehingga membantu untuk mengosongkan ventrikel kiri yang membesar dan
mempertahankan curah jantung. Mekanisme kompensasi yang menguntungkan ini
memiliki batasnya.
2. Respon Neurohormonal
Reseptor adrenergic Beta1 akan terkativasi sehingga meningkatkan denyut jantung dan
kontraktilitas dari miokardium. Pada awalnya hal ini mampu menjaga agar curah jantung
cukup. Selain reseptor tersebut, reseptor adrenergic Alfa1 akan teraktivasi juga dengan
hasil meningkatnya efek inotropic dan vasokonstriksi di arteri perifer sehingga
meningkatkan afterload. Sayangnya, hal ini juga berakibat pada peningkatan dari
kebutuhan oksigen jantung yang bisa menyebabkan kondisi iskemi.
Sering pula ditemui adanya kelainan konduksi listrik jantung pada pasien dengan gagal
jantung. Hal ini diakibatkan oleh aktivitas saraf simpatis yang berlebihan disertai dengan
perubahan struktur jantung dan vaskularisasinya. Selain itu, meningkatnya output saraf
simpatik dari sistem saraf pusat bisa meningkatkan risiko takikardi.
Aktivitas saraf simpatetik dapat membawa efek positif pada periode akut. Namun, jika
berlangsung dalam periode lama, dapat berdampak negative terhadam sistem
kardiovaskular. Diperkirakan bahawa yang berperan dalam proses perjalanan penyakit
gagal jantung tidak hanya aktivasi sistem saraf simpatik namun juga withdrawal dari
sistem saraf parasimpatetik yang dapat mengurangi level nitric oxide yang bersirkulasi
sehingga meningkatkan proses inflamasi.
Pelepasan renin pada kondisi gagal jantung dipicu oleh hipoperfusi renal, berkurangnya
natrium yang mencapai macula densa dan meningkatnya aktivasi saraf simpatetik.
Aktivasi sitem RAA akan menghasilkan angiotensin II yang akan berikatan pada reseptor
tipe 1 (AT1) dan reseptor 2 (AT2). Kedua subtype reseptor ini terdapat pada miokardium
dengan distribusi AT2 yang lebih banyak dibandingkan AT1. Sedangkan pada sistem
vascular, subtype reseptor yang paling banyak ialah AT1. Aktivasi masing – masing
subtype reseptor dapat menimbulkan hasil yang berbeda. AT1 akan memicu
vasokonstriksi, pertumbuhan sel, sekresi aldosterone, dan pelepasan katekolamin. AT2
akan memicu vasodilatasi, menginhibisi pertumbuhan sel, natriuresis, dan pelepasan
bradikinin. Pada gagal jantung AT1 pada miokardium berkurang sehingga menimbulkan
perubahan perbandingan kedua reseptor ini. Angiotensi II dapat menyebabkan fibrosis
pada organ – organ vital, seperti jantung dan ginjal. Selain itu Angiotensin II juga mampu
memicu aktivasi saraf simpatetik dan produksi aldosteron lebih lanjut. Aldosteron sendiri
mampun memicu hipertrofi dan fibrosis sistem vascular dan miokardium sehingga
meningkatkan kekakuan otot jantung dan mengurangi klenturan dari sistem vascular.
Efek – efek negative lain yang disebabkan oleh aldosterone ialah disfungsi endotel,
pengurangan ambilan norepinefrin, dan disfungsi baroreseptor.
Sekresi hormone ini atau bisa disebut vasopressin diproduksi oleh posterior pituitary.
Hormon ini berperan dalam vasokontriksi, reabsorbsi air, osmolalitas cairan tubuh,
volume darah, tekanan darah, kontraksi sel, proliferasi sel, dan sekresi
adrenokortikotropin. Pada pasien dengan gagal jantung, umumnya vasopressin ditemukan
meningkat walaupun kadang – kadang tidak terlalu meningkat.
Sebagai salah satu akibat perubahan neurohormonal dalam proses perjalanan penakit
gagal jantung terjadilah proses remodeling pada ventrikel jantung. Proses remodeling
disebabkan oleh usaha jantung mengkompensasi meningkatnya preload, kontraktilitas
dan afterload. Selain itu, hal ini juga akibat berbagai interaksi hemodinamika,
neurohormonal, epigenetic, genetic, dan berbagai kondisi komorbid penderita gagal
jantung.
Remodeling merupakan proses yang tidak diharapkan karena berkaitan erat dengan
prognosis fungsional jantung dan manifestasi klinis yang lebih buruk. Hal ini disebabkan
oleh hilangnya kemampuan kardiomiosit untuk berkontraksi dengan normal yang secara
seluler dapat diketahui dengan berkurangnya rantai alfa miosit dan miofilamen,
berubahnya susunan sitoskeletonkardiomiosit, perubahan pada metabolisme energy, dan
desensitisasi dari reseptor beta adrenergic. Terdapat dua macam bentuk remodeling
patologis, yakni eksentrik dan konsentrik. Remodelling eksentrik adalah penambahan
panjang miosit dan sarkomer. Tipe ini ditemukan pada beban volume berlebih.
Sedangkan remodeling konsentrik adalah penambahan jumlah sarkomer secara parallel,
menigkatnya jumlah miosit secara cross sectional, dan menebaknya dinding ventrikel kiri.
Hal ini ditemukan pada pasien gagal jantung dengan beban tekanan berlebih. Kedua tipe
ini dapat mengakibatkan perubahan pada kontraktilitas, bentuk dan fungsi jantung.
Penyebab dari remodeling sendiri adalah stretch atau strain pada miosit, neurohormonal,
sitokin, growth factor, dan stress oksidatif.
Gagal jantung kiri adalah ketidakmampuan ventrikel kiri untuk memompa darah seperti
pada keadaan normal. Hal ini kemudian menyebabkan bendungan pada vaskularisasi paru
dan berkurangnya resistensi perifer. Proses ini menyebabkan kongesti paru dan edema
paru yang bermanifestasi sebagai sesak napas dan batuk. Batuk sendiri diakibatkan oleh
terdesaknya cairan ke alveoli. Gejala ortopnea juga dapat dirasakan oleh pasien akibat
meningkatnya aliran balik vena dari ekstremitas bawah.
Gagal Jantung kanan murni agak jarang dan biasanya diakibatkan oleh kasus hipertensi
pulmonal, penyakit katup pulmonal dan tricuspid, serta penyakit jantung bawaan. Kasus
gagal jantung kanan umumnya disebabkna oleh akibat tidak langsung dari gagal jantung
kiri. Pada proses gagal jantung kanan, ventrikel kanan tidak mampu menerima volume
darah dalam jumlah banyak yang tidak disertai dengan tekanan yang cukup. Gagal
jantung kanan tidak ditemukan kongesti paru. Gejala dan tanda yang dialami pasien
kebanyakan adalah kongesti vena portal dengan hepato dan/atau splenomegaly, edema
perifer, efusi pleura dan asites.
Definisi dari istilah ini ialah perburukan secara tiba – tiba dari gejala dan tanda gagal
jantung. Gagal jantung akut sendiri bisa dibagi menjadi dua, yakni ADHF dan gagal
jantung akut “de novo” dimaksudnkan untuk kasus baru gagal jantung. Kasus ADHF
sendiri biasanya diakibatkan oleh faktor pemberat yang akut misalnya infark miokard
akut atau aritmia. Patofisiologinya sendiri diakibatkan oleh kegagalan ventrikel kiri untuk
memompa darah saat adanya peningkatan beban kerja. Hal tersebut dipengaruhi oleh
preload, afterload, dan kontraktilitas jantung. Perubahan dari faktor – faktor ini dapat
mengakibatkan gagal jantung akut.
MANIFESTASI KLINIS
Diperkirakan setengah dari pasien gagal jantung memiliki fungsi ventrikel kiri yang
normal, disebut gagal jantung dengan fraksi ejeksi normal (Heart Failure Preserved
Ejection Fraction/ HFpEF); sisanya memiliki gagal jantung dengan penurunan fraksi
ejeksi (Heart Failure Reduced Ejection Fraction/ HFrEF). HFpEF secara umum
didefinisikan sebagai gagal jantung raksi ejeksi ventrikel kiri dengan nilai 50% atau lebih,
sedangkan HFrEF didefinisikan sebagai gagal jantung dengan fraksi ejeksi dibawah 40%.
Perbedaan ini krusial karena menjadi dasar strategi pengobatan dari gagal jantung.
Terdapat dua cara untuk klasifikasi pasien dengan gagal jantung. Pendekatan tingkat
keparahan gagal jantung berdasarkan The America College of Cardiology/ American
Heart Association (ACC/AHA) menekankan pada pentingnya perkembangan dan progesi
dari penyakit, sedangkan klasifikasi fungsional New York Heart Association (NYHA)
lebih mengarah pada toleransi latihan pada individu – individu yang telah ditetapkan
sebagai penderita gagal jantung.
Walaupun tidak ada dari hal ini yang benar benar sensitive atau spesifik untuk
mengidentifikasi keberadaan dari kongesti berat, beberapa lebih dapat dipercaya untuk
indikasi ini. Tidak ada yang spesifik untuk HFpEF terhadap HFrEF.
Sesak nafas (dyspnea) yang semakin berat adalah gejala pokok dari gagal jantung dan
biasanya tidak hanya dikaitkan dengan peningkatan tekanan pengisian jantung, tetapi
juga mungkin merepresentasikan keterbatasan curah keluar jantung. Pasien mungkin tidur
dengan kepala yang dielevasikan untuk mengurangi dyspnea sambil telentang (ortopnea);
terlebih lagi, dyspnea mungkin muncul secara spesifik dalam keadaan telentang pada sisi
kiri (trepopnea). Paroxysmal nocturnal dyspnea, napas pendek dalam keadaan telentang,
adalah salah satu indicator yang paling dapat dipercaya dari gagal jantung. Batuk pada
malam hari adalah gejala yang seringkali terlewatkan. Gejala – gejala ini secara umum
menunjukkan kongesti paru, dimana riwayat peningkatan berat badan, peningkatan
lingkar perut, rasa kenyang yang datang dengan cepat, dan munculnya edema pada
bagian organ tertentu (ekstremitas atau skrotum) menunjukkan kongesti jantung kanan;
rasa sakit nonspesifik pada kuadran kanan atas karena kongesti hati cukup sering
ditemukan pada penderita gagal jantung kanandan mungkin berkaitan dengan kondisi
lainnya.
Pemeriksaan Fisik
Auskultasi jantung adalah bagian krusial dari evaluasi gagal jantung. Murmur
holosistolik sebagai karakteristik dari insufisiensi mitral dapat terdengar pada banyak
pasien gagal jantung. Insufisiensi tricuspid juga sering ditemukan dan dapat dibedakan
darininsufisiensi mital melalui lokasi murmur pada batas kiri sternal, peningkatan
intensitas dari murmur saat inspirasi dan keberadaan gelombang “V” yang menonjol pada
gelombang vena jugular. Murmur akibat insufisiensi mitral dan tricuspid mungkin
menjadi semakin halus ketika kelebihan volume diobati, dan penurunan ukuran ventrikel
meningkatkan kompetensi katup. Stenosis aorta mungkin muncul, tetapi karena intensitas
murmur bergantung pada kecepatan aliran yang melalui katup, hal ini mungkin berkurang
ketika gagal jantung terjadi.
Tujuan penting dari pemeriksaan pasien gagal jantung adalah untuk mendeteksi dan
menghitung keberadaan dari retensi volum, dengan atau tanpa kongesti pulmoner
dan/atau sistemik. Metode paling definitive untuk menilai status volume pasien melalu
pemeriksaan fisik adalah dengan dengan pemeriksaan tekanan vena jugular.
Pemeriksaan rutin
Algoritma yang disarankan untuk evaluasi diagnostic dari gagal jantung ditunjukkan pada
gambar dibawah ini. Pemeriksaan laboratorium dan modalitas pencitraan memberikan
informasi penting untuk diagnosis dan amanjemen pasien dengan kecurigaan gagal
jantung.
Peptida Natriuretik3,4
Terdapat bukti - bukti yang mendukung penggunaan kadar plasma peptida natriuretik
untuk diagnosis, membuat keputusan merawat atau memulangkan pasien, dan
mengidentifikasi pasien pasien yang berisiko mengalami dekompensasi. Konsentrasi
peptida natriuretik yang normal sebelum pasien diobati mempunyai nilai prediktif negatif
yang tinggi dan membuat kemungkinan gagal jantung sebagai penyebab gejalagejala
yang dikeluhkan pasien menjadi sangat kecil (Gambar 1). Kadar peptida natriuretik yang
tetap tinggi walaupun terapi optimal mengindikasikan prognosis buruk.Kadar
peptidanatriuretik meningkat sebagai respon peningkatan tekanan dinding ventrikel.
Peptida natriuretik mempunyai waktu paruh yang panjang, penurunan tiba-tiba tekanan
dinding ventrikel tidak langsung menurunkan kadar peptida natriuretik.
Pemeriksaan troponin dilakukan pada penderita gagal jantung jika gambaran klinisnya
disertai dugaan sindroma koroner akut. Peningkatan ringan kadar troponin kardiak sering
pada gagal jantung berat atau selama episode dekompensasi gagal jantung pada penderita
tanpa iskemia miokard.
Foto Toraks
Pada foto toraks sering menunjukkan kardiomegali (rasio kardiotorasik (CTR) >
50 %), terutama bila gagal jantung sudah kronis. Kardiomegali bisa disebabkan oleh
dilatasi ventrikel kiri atau kanan, left ventricle hypertrophy (LVH) atau kadang oleh efusi
pericard. Lihat juga jika terdapat edema paru dan efusi pleura pada pasien gagal jantung
ini.4
Elektrokardiogram
Pemeriksaan ini harus dilakukan pada semua pasien dengan dugaan klinis gagal
jantung. Ianya memperlihatkan abnormalitas pada sebagian besar pasien (80-90%),
termasuk gelombang Q, perubahan ST-T, hipertrofi LV, gangguan konduksi, aritmia.4
Ekokardigrafi harus dilakukan pada semua pasien dengan dugaan klinis gagal jantung.
Dimensi ruang jantung, fungsi ventrikel (sistolik dan diastolic), dan abnormalitas
gerakan dinding dapat dinilai, dan penyakit katup jantung dapat disingkirkan.
Regurgitasi mitral seringkali disebabkan pembesaran ventrikel kiri yang
menyebabkan dilatasi annulus mitral.4
TATALAKSANA
Ketaatan pasien berobat menurunkan morbiditas, mortalitas dan kualitas hidup pasien.
Berdasarkan literatur, hanya 20 - 60% pasien yang taat pada terapi farmakologi
maupun non-farmakologi.
Pasien harus memantau berat badan rutin setap hari, jika terdapat kenaikan berat
badan > 2 kg dalam 3 hari, pasien harus menaikan dosis diuretik atas pertmbangan
dokter.
Asupan cairan
Pengurangan berat badan pasien obesitas (IMT > 30 kg/m2) dengan gagal jantung
dipertimbangkan untuk mencegah perburukan gagal jantung, mengurangi gejala dan
meningkatkan kualitas hidup.
Malnutrisi klinis atau subklinis umum dijumpai pada gagal jantung berat. Kaheksia
jantung (cardiac cachexia) merupakan prediktor penurunan angka kelangsungan hidup.
Jika selama 6 bulan terakhir berat badan > 6 % dari berat badan stabil sebelumnya
tanpa disertai retensi cairan, pasien didefinisikan sebagai kaheksia. Status nutrisi
pasien harus dihitung dengan hati-hati.
Latihan fisik
Latihan fisik direkomendasikan kepada semua pasien gagal jantung kronik stabil.
Program latihan fisik memberikan efek yang sama baik dikerjakan di rumah sakit atau
di rumah.
Gambar . Strategi pengobatan pada pasien gagal jantung simptomatik akut4
• Rekomendasi terapi farmakologis untuk semua pasien gagal jantung sistolik
simtomatik (NYHA fc II-IV)8
2. Pemberian penyekat β, setelah pemberian ACEI atau ARB pada semua pasien
dengan EF
≤ 40% untuk menurunkan risiko hosipitalisasi akibat gagal jantung dan kematian
prematur
3. MRA direkomendasikan bagi semua pasien dengan gejala gagal jantung yang
persisten dan EF≤ 35, walaupun sudah diberikan dengan ACEI dan penyekat β
INDIKASI
▪ Fibrilasi atrial dengan irama ventrikular saat istrahat > 80 x/menit atau saat
▪ aktifitas> 110 - 120 x/menit
▪ Irama sinus
- Fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 %
- Gejala ringan sampai berat (kelas fungsional II-IV NYHA)
- Dosis optimal ACEI dan/atau ARB, penyekat β dan antagonis aldosteron
jika ada indikasi.
-
KONTRAINDIKASI
- Blok AV derajat 2 dan 3 (tanpa pacu jantung tetap); hat-hat jika pasien
diduga sindroma sinus sakit
- Sindroma pre-eksitasi
- Riwayat intoleransi digoksin
Diuretik direkomendasikan pada pasien gagal jantung dengan tanda klinis atau gejala
kongesti (kelas rekomendasi I, tingkatan bukit B). Tujuan dari pemberian diuretik
adalah untuk mencapai status euvolemia (kering dan hangat) dengan dosis yang
serendah mungkin, yaitu harus diatur sesuai kebutuhan pasien, untuk menghindari
dehidrasi atau reistensi.
▪ Pada saat inisiasi pemberian diuretik periksa fungsi ginjal dan serum elektrolit
▪ Dianjurkan untuk memberikan diuretik pada saat perut kosong
▪ Sebagain besar pasien mendapat terapi diuretik loop dibandingkan tiazid
karena efisiensi diuresis dan natriuresis lebih tinggi pada diuretik loop.
Kombinasi keduanya dapat diberikan untuk mengatasi keadaan edema yang
resisten.
Tabel 6. Dosis diuretik yang biasa digunakan pada pasien gagal jantung
PENYEKAT β
Kecuali kontraindikasi, penyekat β harus diberikan pada semua pasien gagal jantung
simtomatik dan fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 %. Penyekat β memperbaiki fungsi
ventrikel dan kualitas hidup, mengurangi perawatan rumah sakit karena perburukan
gagal jantung, dan meningkatkan kelangsungan hidup
▪ Asma
▪ Blok AV (atrioventrikular) derajat 2 dan 3, sindroma sinus sakit (tanpa pacu
jantung permanen), sinus bradikardia (nadi < 50 x/menit)
Beberapa komplikasi yang terjadi akibat gagal jantung adalah syok kardiogenik.
Syok kardiogenik ditandai oleh gangguan fungsi ventrikel kiri yang mengakibatkan
gangguan fungsi ventrikel kiri yaitu mengakibatkan gangguan berat pada perfusi
jaringan dan penghantaran oksigen ke jaringan yang khas pada syok kardiogenik
yang disebabkan oleh infark miokardium akut adalah hilangnya 40 % atau lebih
jaringan otot pada ventrikel kiri dan nekrosis focal di seluruh ventrikel karena
ketidakseimbangan antara kebutuhan dan supply oksigen miokardium. Edema paru
terjadi dengan cara yang sama seperti edema dimana saja didalam tubuh. Faktor
apapun yang menyebabkan cairan interstitial paru meningkat dari batas negatif
menjadi batas positif. Penyebab kelainan paru yang paling umum adalah gagal
jantung sisi kiri (misalnya penyakit katup mitral) dengan akibat peningkatan tekanan
kapiler paru dan membanjiri ruang interstitial dan alveoli. Selain itu, kerusakan pada
membran kapiler paru yang disebabkan oleh infeksi seperti pneumonia atau
terhirupnya bahan-bahan yang berbahaya seperti gas klorin atau gas sulfur dioksida.
Masing-masing menyebabkan kebocoran protein plasma dan cairan secara cepat
keluar dari kapiler.7,8
PROGNOSIS10
Meskipun akhir – akhir ini banyak kemajuan dalam hal evaluasi dan penanganan
gagal jantung, terjadinya gagal jantung simtomatis masih membawa prognosis yang
buruk. Studi berbasis komunitas menunjukkan bahwa 30 – 40 % pasien meninggal
dalam waktu 1 tahun setelah di diagnosis dan 60 – 70% meninggal dalam waktu 5
tahun, terutama akibat perburukan gagal jantung atau serangan mendadak
(kemungkinan akibat aritmia ventrikel). Meskipun sulit memprediksi prognosis pada
setiap pasien, secara umum pasien - pasien dengan gejala yang mencul saat istirahat
( New York Heart Association [NYHA] kelas IV) memiliki angka mortalitas tahunan
sebesar 30 – 70%, sedangkan pasien – pasien dengan gejala yang muncul saat
aktivitas sedang (NYHA Kelas II) memiliki angka mortalitas tahunan sebesar 5 –
10%. Karena itu, status fungsional merupakan penilaian yang penting untuk
memprediksi prognosis pasien.7
DAFTAR PUSTAKA
1. European Society of Cardiology. 2016 ESC Guidelines for the diagnosis and
treatment of acute and chronic heart failure. European Heart Journal.
2016:1-85
2. PERKI. Tatalaksana Gagal Jantung. Pedoman Perhimpunan Dokter Spesialis
Kardiovaskular Indonesia. PERKI 2015.
3. European Society of Cardiology. 2016 ESC Guidelines for the diagnosis and
treatment of acute and chronic heart failure. European Heart Journal.
2016:1-85
4. Trihono. Riset Kesehatan Dasar Riskesdas 2013. BPPK Kemenkes RI. 2013.
5. Barret KE. Barman SM. Boitano S. Brooks HL. Ganong’s review of
medical physiology. 23rd ed. Singapore: Mc Graw Hill; 2010.p.489-505.
6. Trihono. Riset Kesehatan Dasar Riskesdas 2013. BPPK Kemenkes RI. 2013.
7. Rader, J.D., dan Helen, H.H. 2014. Gangguan Metabolisme Lipoprotein. In
Joseph Loscalzo (ed). Harrison Kardiologi dan Pembuluh Darah Edisi II. Jakarta:
EGC, pp: 168-184.
8. James L Januzzi DLM. Clinical Asseessment of Heart Failure. In: Douglas
L Mann DPZ, Peter Libby, Robert O Bonow, ed. Braunwald’s Heart Disease
A Textbook of Cardiovascular Medicine. Philadelpia: Elsevier; 2015
9. Lilly Ls. Pathophysiology of heart disease. Baltimore: Lippincott Williams
Wilkins; 2007. p. 229-236
10. Yuniadi, Y., Hermanto, A., Rahajoe, A. 2017. Buku Ajar Kardiovaskular
Jilid I. Jakarta: Sagung Seto, pp: 312 - 337