Askep Eliminasi Lansia Konsul
Askep Eliminasi Lansia Konsul
Askep Eliminasi Lansia Konsul
Disusun Oleh :
Kurnia Hariani
Putri Widyastuti
KELOMPOK 6
KELAS : 1C
KATA PENGANTAR
1
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena telah
memberikan kekuatan dan kemampuan sehingga makalah ini bisa selesai tepat
pada waktunya. Adapun tujuan dari penyusunan makalah ini adalah untuk
memenuhi tugas Mata Kuliah Keperawatan Gerontik tentang “Asuhan
Keperawatan pada Lansia dengan Masalah Eliminasi Urine (Inkontinensia)”.
Kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dan
mendukung dalam penyusunan makalah ini.
Kami sadar makalah ini belum sempurna dan memerlukan berbagai perbaikan,
oleh karena itu kritik dan saran yang membangun sangat dibutuhkan.
Akhir kata, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca dan semua
pihak.
Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
2
A. Latar Belakang
Menua (menjadi tua) adalah suatu proses secara perlahan–lahan
kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri atau mengganti dan
mempertahankan fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan terhadap
infeksi dan memperbaiki kerusakan yang diderita. Proses menua
merupakan proses yang terus menerus berlanjut secara alamiah. Dimulai
sejak lahir dan umumnya dialami pada semua makhluk hidup.
Usia lanjut adalah tahap akhir dari siklus hidup manusia,
merupakan bagian dari proses alamiah kehidupan yang tidak dapat
dihindarkan dan akan dialami oleh setiap individu. Penuaan adalah
normal, dengan perubahan fisik dan tingkah laku yang dapat diramalkan
terjadi pada semua orang pada saat mereka mencapai usia tahap
perkembangan kronologis tertentu. Ini merupakan suatu fenomena yang
kompleks dan multi dimensional yang dapat diobservasi di dalam satu sel
dan berkembang pada keseluruhan sistem. Walaupun hal itu terjadi pada
tingkat kecepatan yang berbeda, di dalam parameter yang cukup sempit,
proses tersebut tidak tertandingi.
Menua bukanlah suatu penyakit tetapi merupakan proses
berkurangnya daya tahan tubuh dalam menghadapi rangsangan dari dalam
maupun luar tubuh. Walaupun demikian, memang harus diakui bahwa ada
berbagai penyakit yang sering menghinggapi kaum lanjut usia. Proses
menua sudah mulai berlangsung sejak seseorang mencapai usia dewasa,
misalnya dengan terjadinya kehilangan jaringan pada otot, susunan saraf,
dan jaringan lain sehingga tubuh mati sedikit demi sedikit, dan terjadi juga
pada sistem pencernaan.
Pada tahap ini individu mengalami banyak perubahan, baik secara
fisik maupun mental, khususnya kemunduran dalam berbagai fungsi dan
kemampuan yang pernah dimilikinya. Perubahan penampilan fisik sebagai
bagian dari proses penuaan yang normal, seperti berkurangnya ketajaman
panca indera, menurunnya daya tahan tubuh , lebih mudah terkena
konstipasi merupakan ancaman bagi integritas orang usia lanjut. Belum
lagi mereka masih harus berhadapan dengan kehilangan peran diri,
kedudukan sosial serta perpisahan dengan orang-orang yang dicintai.
3
Proses menua (aging) merupakan suatu perubahan progresif pada
organisme yang telah mencapai kematangan intrinsik dan bersifat
irreversibel serta menunjukkan adanya kemunduran sejalan dengan waktu.
Proses alami yang disertai dengan adanya penurunan kondisi fisik,
psikologis maupun sosial akan saling berinteraksi satu sama lain . Proses
menua yang terjadi pada lansia secara linier dapat digambarkan melalui
tiga tahap yaitu, kelemahan (impairment), keterbatasan fungsional
(functional limitations), ketidakmampuan (disability), dan keterhambatan
(handicap) yang akan dialami bersamaan dengan proses kemunduran.
Pada lansia mengalami banyak perubahan, baik secara fisik
maupun mental, khususnya kemunduran dalam berbagai fungsi dan
kemampuan yang pernah dimilikinya. Perubahan penampilan fisik sebagai
bagian dari proses penuaan yang normal, seperti berkurangnya ketajaman
panca indera, menurunnya daya tahan tubuh, dan adanya inkontinensia
baik urine maupun tinja merupakan ancaman bagi integritas orang usia
lanjut. Belum lagi mereka masih harus berhadapan dengan kehilangan
peran diri, kedudukan sosial serta perpisahan dengan orang-orang yang
dicintai.
Inkontinensia urin merupakan salah satu manifestasi penyakit yang
sering ditemukan pada pasien geriatri. Diperkirakan prevalensi
inkontinensia urin berkisar antara 15–30% usia lanjut di masyarakat dan
20-30% pasien geriatri yang dirawat di rumah sakit mengalami
inkontinensia urin, dan kemungkinan bertambah berat inkontinensia
urinnya 25-30% saat berumur 65-74 tahun.
Ketidakmampuan mengontrol pengeluaran urin atau inkontinensia
jarang dikeluhkan oleh pasien atau keluarga karena dianggap sesuatu yang
biasa, malu atau tabu untuk diceritakan pada orang lain maupun pada
dokter, dianggap sesuatu yang wajar tidak perlu diobati. Inkontinensia
urine bukan penyakit, tetapi merupakan gejala yang menimbulkan
gangguan kesehatan, sosial, psikologi serta dapat menurunkan kualitas
hidup (Rochani, 2002).
Inkontinensia urin yang dialami oleh pasien dapat menimbulkan
dampak yang merugikan pada pasien, seperti gangguan kenyamanan
karena pakaian basah terus, risiko terjadi dekubitus (luka pada daerah yang
4
tertekan), dan dapat menimbulkan rasa rendah diri pada pasien.
Inkontinensia urin yang tidak segera ditangani juga akan mempersulit
rehabilitasi pengontrolan keluarnya urin (Hariyati, 2000).
B. Rumusan Masalah
1. Apakah definisi inkontinensia urin?
2. Bagaimana etiologi inkontinensia urin pada lanjut usia?
3. Apa sajakah faktor predisposisi atau faktor pencetus inkontinensia
urin pada lanjut usia?
4. Bagaimana patofisiologi inkontinensia urin pada lanjut usia?
5. Apa sajakah tanda dan gejala inkontinensia urin pada lanjut usia?
6. Apa sajakah pemeriksaan penunjang inkontinensia urine pada
lanjut usia?
7. Bagaimana asuhan keperawatan inkontinensia urin pada lanjut
usia.
C. Tujuan
1. Mengetahui dan memahami mengenai definisi inkontinensia urin
pada lanjut usia.
2. Mengetahui dan memahami mengenai etiologi inkontinensia urin
pada lanjut usia.
3. Mengetahui dan memahami mengenai faktor predisposisi atau
faktor pencetus inkontinensia urin pada lanjut usia.
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian
Inkontinensia urin merupakan kehilangan kontrol berkemih yang
bersifat sementara atau menetap. Klien tidak dapat mengontrol sfingter
uretra eksterna. Merembesnya urine dapat berlangsung terus menerus
atau sedikit sedikit (Potter dan Perry, 2005). Menurut Hidayat (2006),
inkontinensia urin merupakan ketidakmampuan otot sfingter eksternal
sementara atau menetap untuk mengontrol ekskresi urin. Secara umum
penyebab inkontinensia dapat berupa proses penuaan, pembesaran
kelenjar prostat, penurunan kesadaran, dan penggunaan obat narkotik
atau sedative.
Inkontinensia urin yang dialami oleh pasien dapat menimbulkan
dampak yang merugikan pada pasien, seperti gangguan kenyamanan
karena pakaian basah terus, risiko terjadi dekubitus (luka pada daerah
yang tertekan), dan dapat menimbulkan rasa rendah diri pada pasien.
Inkontinensia urin yang tidak segera ditangani juga akan mempersulit
rehabilitasi pengontrolan keluarnya urin (Hariyati, 2000).
Adapun tipe-tipe inkontinensia urin menurut Hidayat, 2006
1. Inkontinensia dorongan
6
Keadaan dimana seseorang mengalami pengeluaran urin tanpa
sadar, terjadi segera setelah merasa dorongan yang kuat setelah
berkemih. Inkontinensia dorongan ditandai dengan seringnya
terjadi miksi (miksi lebih dari 2 jam sekali) dan spame kandung
kemih (Hidayat, 2006). Pasien Inkontinensia dorongan
mengeluh tidak dapat menahan kencing segera setelah timbul
sensasi ingin kencing. Keadaan ini disebabkan otot detrusor
sudah mulai mengadakan kontraksi pada saat kapasitas
kandung kemih belum terpenuhi.
2. Inkontinensia total
Keadaan dimana seseorang mengalami pengeluaran urin yang
terus menerus dan tidak dapat diperkirakan. Kemungkinan
penyebab inkontinensia total antara lain: disfungsi neorologis,
kontraksi independen dan refleks detrusor karena pembedahan,
trauma atau penyakit yang mempengaruhi saraf medulla
spinalis, fistula, neuropati.
3. Inkontinensia stress
tipe ini ditandai dengan adanya urin menetes dengan
peningkatan tekanan abdomen, adanya dorongan berkemih, dan
sering miksi. Inkontinensia stress terjadi disebabkan otot
spingter uretra tidak dapat menahan keluarnya urin yang
disebabkan meningkatnya tekanan di abdomen secara tiba-tiba.
Peningkatan tekanan abdomen dapat terjadi sewaktu batuk,
bersin, mengangkat benda yang berat, tertawa (Panker, 2007).
4. Inkontinensia reflex
Keadaan di mana seseorang mengalami pengeluaran urin yang
tidak dirasakan. Inkontinensia tipe ini kemungkinan disebabkan
oleh adanya kerusakan neurologis (lesi medulla spinalis).
Inkontinensia refleks ditandai dengan tidak adanya dorongan
untuk berkemih, merasa bahwa kandung kemih penuh, dan
kontraksi atau spasme kandung kemih tidak dihambat pada
interval teratur
5. Inkontinensia fungsional
7
keadaan seseorang yang mengalami pengeluaran urin secara
tanpa disadari dan tidak dapat diperkirakan. Keadaan
inkontinensia ini ditandai dengan tidak adanya dorongan untuk
berkemih, merasa bahwa kandung kemih penuh, kontraksi
kandung kemih cukup kuat untuk mengeluarkan urin.
B. Etiologi
8
Gagal jantung kongestif juga bisa menjadi faktor penyebab
produksi urin meningkat dan harus dilakukan terapi medis yang sesuai.
Gangguan kemampuan ke toilet bisa disebabkan oleh penyakit kronik,
trauma, atau gangguan mobilitas. Untuk mengatasinya penderita harus
diupayakan ke toilet secara teratur atau menggunakan substitusi toilet.
Apabila penyebabnya adalah masalah psikologis, maka hal itu harus
disingkirkan dengan terapi non farmakologik atau farmakologik yang
tepat.
Pasien lansia, kerap mengonsumsi obat-obatan tertentu karena
penyakit yang dideritanya. Jika kondisi ini yang terjadi, maka
penghentian atau penggantian obat jika memungkinkan, penurunan
dosis atau modifikasi jadwal pemberian obat. Golongan obat yang
berkontribusi pada IU, yaitu diuretika, antikolinergik, analgesik,
narkotik, antagonis adrenergic alfa, agonic adrenergic alfa, ACE
inhibitor, dan kalsium antagonik. Golongan psikotropika seperti
antidepresi, antipsikotik, dan sedatif hipnotik juga memiliki andil
dalam IU. Kafein dan alcohol juga berperan dalam terjadinya
mengompol. Selain hal-hal yang disebutkan diatas inkontinensia urine
juga terjadi akibat kelemahan otot dasar panggul, karena kehamilan,
pasca melahirkan, kegemukan (obesitas), menopause, usia lanjut,
kurang aktivitas dan operasi vagina.
Penambahan berat dan tekanan selama kehamilan dapat
menyebabkan melemahnya otot dasar panggul karena ditekan selama
sembilan bulan. Proses persalinan juga dapat membuat otot-otot dasar
panggul rusak akibat regangan otot dan jaringan penunjang serta
robekan jalan lahir, sehingga dapat meningkatkan risiko terjadinya
inkontinensia urine. Dengan menurunnya kadar hormon estrogen pada
wanita di usia menopause (50 tahun ke atas), akan terjadi penurunan
tonus otot vagina dan otot pintu saluran kemih (uretra), sehingga
menyebabkan terjadinya inkontinensia urine. Faktor risiko yang lain
adalah obesitas atau kegemukan, riwayat operasi kandungan dan
lainnya juga berisiko mengakibatkan inkontinensia. Semakin tua
9
seseorang semakin besar kemungkinan mengalami inkontinensia urine,
karena terjadi perubahan struktur kandung kemih dan otot dasar
panggul (Darmojo, 2009).
10
Latihan fisik membantu seseorang untuk mempertahankan tonus
otot. Tonus otot yang baik dati otot-otot abdominal, otol pelvis, dan
diagfragma sangat penting bagi miksi (Asmadi, 2008).
5. Stres psikologi
Ketika seseorang mengalami kecemasan atau ketakutan, terkadang
ia akan mengalami diare ataupun beser (Asmadi, 2008).
6. Temperatur
Seseorang yang demam akan mengalami peningkatan penguapan
cairan tubuh karena meningkatnya aktivitas metabolik. Hal tersebut
menyebabkan tubuh akan kekurangan cairan sehingga dampaknya
berpotensi terjadi konstipasi dan pengeluaran urine menjadi sedikit.
Selain itu, demam juga dapat memegaruhi nafsu makan yaitu
terjadi anoreksia, kelemahan otot, dan penurunan intake cairan
(Asmadi, 2008).
7. Nyeri
Seseorang yang berasa dalam keadaan nyeri sulit untuk makan, diet
yang seimbang, maupun nyaman. Oleh karena itu berpangaruh
pada eliminasi urine (Asmadi, 2008).
8. Sosiokultural
Adat istiadat tentang privasi berkemih berbeda-beda. Contoh saja
di masyarakat Amerika Utara mengharapkan agar fasilitas toilet
merupaka sesuatu yang pribadi , sementara budaya Eropa
menerima fasilitas toilet yang digunakan secara bersama-sama
(Potter & Perry,2006).
9. Status volume
Apabila cairan dan konsentrasi eletrolit serta solut berada dalam
keseimbangan, peningkatakan asupan cairan dapat menyebabkan
peningkatan produksi urine. Cairan yang diminum akan
meningkatakan volume filtrat glomerulus dan eksresi urina (Potter
& Perry,2006).
10. Penyakit
Adanya luka pada saraf perifer yang menuju kandung kemih
menyebabkan hilangnya tonus kandung kemih, berkurangnya
sensasi penuh kandung kemih, dan individu mengalami kesulitan
untuk mengontrol urinasi. Misalnya diabetes melitus dan sklerosis
11
multiple menyebabkan kondusi neuropatik yang mengubah
fungsikandung kemih. Artritis reumatoid, penyakit sendi
degeneratif dan parkinson, penyakit ginjal kronis atau penyakit
ginjal tahap akhir (Potter & Perry,2006).
11. Prosedur bedah
Klien bedah sering memiliki perubahan keseimbangan cairan
sebelum menjali pembedahan yang diakibatkan oleh proses
penyakit atau puasa praoperasi, yang memperburuk berkurangnya
keluaran urine. Respons stres juga meningkatkan kadar aldosteron
menyebabkan berkurangnya keluaran urine dalam upaya
mempertahankan volume sirkulasi cairan (Potter & Perry,2006).
12. Obat-obatan
Retensi urine dapat disebabkan oleh penggunaan obat
antikolinergik (atropin), antihistamin (sudafed), antihipertensi
(aldomet), dan obat penyekat beta adrenergik (inderal) (Potter &
Perry,2006).
D. Patofisiologi
12
Hilangnya penghambatan pusat kortikal ini dapat disebabkan karena
usia sehingga lansia sering mengalami inkontinensia urin. Karena
dengan kerusakan dapat mengganggu kondisi antara kontraksi
kandung kemih dan relaksasi uretra yang mana gangguan kontraksi
kandung kemih akan menimbulkan inkontinensia (Setiati, 2001).
Tanda dan gejala yag ditemukan pada pasien dengan retensi urin
menurut Uliyah (2008) yaitu:
F. Pemeriksaan Penunjang
1. Urinalisis
13
2. Uroflowmeter
3. Cysometry
4. Urografi ekskretorik
14
2. Terapi non farmakologi
3. Terapi farmakologi
15
c. Pada sfingter relax diberikan kolinergik agonis seperti
Bethanechol atau alfa kolinergik antagonis seperti prazosin
untuk stimulasi kontraksi, dan terapi diberikan secara singkat.
4. Terapi Pembedahan
5. Modalitas Lain
16
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian
1. Identitas Klien
Inkontinensia pada umumnya biasanya sering atau cenderung terjadi pada
lansia (usia ke atas 65 tahun), dengan jenis kelamin perempuan, tetapi
tidak menutup kemungkinan lansia laki-laki juga beresiko mengalaminya.
2. Riwayat kesehatan
17
b. Pemeriksaan Fisik
1) B1 (Breathing)
Kaji pernapasan adanya gangguan pada pola nafas, sianosis karena
suplai oksigen menurun. kaji ekspansi dada, adakah kelainan pada
perkusi.
2) B2 (Blood)
Peningkatan tekanan darah, biasanya pasien bingung dan gelisah
3) B3 (Brain)
Kesadaran biasanya sadar penuh
4) B4 (bladder)
5) B5 (bowel)
Bising usus adakah peningkatan atau penurunan, Adanya nyeri
tekan abdomen, adanya ketidaknormalan perkusi, adanya
ketidaknormalan palpasi pada ginjal.
6) B6 (bone)
Pemeriksaan kekuatan otot dan membandingkannya dengan
ekstremitas yang lain, adakah nyeri pada persendian
c. Data penunjang
18
1) Urinalisis
2) Hematuria
3) Poliuria
4) Bakteriuria
d. Pemeriksaan Radiografi
e. Kultur Urine
1) Steril.
3) Organisme.
B. Diagnosa Keperawatan
19
Disfungsi pada eliminasi 1. Monitor intake
urine Kriteria Hasil : dan output
2. Monitor
1. kandung kemih kosong
penggunaan obat
Batasan Karakteristik : secara penuh
2. tidak ada residu urine antikolionergik
1. Disuria
3. Monitor derajat
2. Sering berkemih > 100-200 cc
3. anyang-anyangan 3. intake cairan dalam distensi bladder
4. inkontinensia 4. Instruksikan pada
rentang normal
5. nokturia
4. bebas dari ISK pasien dan keluarga
6. retensi
5. tidak ada spasme
7. dorongan untuk mencatat output
bladder
urine
6. balance cairan
5. Sediakan privacy
Faktor Yang Berhubungan :
seimbang
untuk eliminasi
1. obstruksi anatomic
6. Stimulasi refleks
2. penyebab multiple
3. gangguan sensori bladder dengan
motorik kompres dingin pada
4. infeksi saluran kemih
abdomen
7. Katerisasi jika
perlu
8. Monitor tanda
dan gejala ISK
(panas,hematuria,
perubahan bau dan
konsistensi urine)
Urinary Elimination
Management
20
Definisi : Urin
Ketidakmampuan individu Kriteria Hasil : 1. Monitor
yang biasanya kontinen untuk 1. Mengidentifikasi eliminasi urin,
mencapai toilet tepat waktu keinginan berkemih frekuensi, konsistensi,
2. Berespon tepat waktu
untuk menghindari kehilangan bau, volume, dan
terhadap dorongan
urine tanpa disengaja. warna, jika dìperlukan
berkemih 2. Monitor tanda
3. Mencapai toilet antara
dan gejala retensi urin
Batasan Karakteristik :
waktu dorongan berkemih 3. Identifikasi
1. Mampu
dan pengeluaran urin faktor yang
mengosongkan kandung 4. Melakukan eliminasi
menyebabkan episode
kemih dengan komplet secara mandiri
inkontinensia
5. Mengosongkan
jumlah waktu yang 4. Kumpulkan
kandung kemih secara
diperlukan untuk mencapai spesimen urin tengah
tuntas
toilet melebihi lama waktu untuk pemeriksaan
6. Mengkonsumsi cairan
antara merasakan dorongan urinalisis, jika
dalam jumlah adekuat
untuk berkemih dan tidak 7. Urin residu pasca diperlukan
5. Ajarkan pasien
dapat mengontrol berkemih berkemih >100-200 ml
2. Mengeluarkan urine 8. Tidak terjadi hematuri, tentang tanda dan
sebelum mencapai toilet dan partikel pada urin gejala infeksi saluran
3. Mungkin inkontinensia 9. Tidak ada rasa sakit
kemih
hanya pada dinihari pada saat berkemih 6. Ajarkan pasien
4. Merasakan perlunya
dan keluarga untuk
untuk berkemih
mencatat haluaran dan
pola urine, jika
Faktor Yang Berhubungan :
diperlukan
1. Faktor lingkungan 7. Batasi cairan
yang berubah sesuai kebutuhan
2. Gangguan kognisi
3. Gangguan penglihatan
4. Keterbatasan Perawatan
neuromuscular Inkontinensia Urin
5. Faktor psikologis
1. Identifikasi multi
6. Kelemahan struktur
faktor yang
panggul pendukung
menyebabkan
21
inkontinensia
(produksi urin, pola
berkemih, fungsi
cognitif, masalah
berkemih yang
dialami, dan
pengobatan)
2. Anjurkan pasien
untuk minum
minimum 1500 cc per
hari
3. Sediakan ruangan
yang tenang dan
privasi untuk prosedur
eliminasi
4. Tetapkan interval
jadwal eliminasi
dengan rutinitas yang
dilakukan setiap hari
5. Kurangi
konsumsi yang
menyebabkan iritasi
pada bladder (seperti
minuman bersoda,
teh, kopi dan cokelat)
6.
KERUSAKAN NOC NIC
INTEGRITAS KULIT 1. Tissue Integrity: Skin Pressure Management
Definisi: and Mucous Membrabes 1. Anjurkan pasien
2. Hemodyalis akses
Perubahan/gangguan untuk menggunakan
epidermis dan atau dermis Kriteria Hasil: pakaian yang longgar
1. Integritas kulit yang 2. Hindari kerutan
Batasan Karakteristik:
baik bisa dipertahankan pada tempat tidur
1. Kerusakan lapisan
3. Jaga kebersihan
(sensasi, elastisitas,
kulit (dermis)
kulit agar tetap bersih
2. Gangguan permukaan temperature, hidrasi,
22
kulit (epidermis) pigmentasi) dan kering
3. Invasi struktur tubuh 2. Tidak ada luka/lesi 4. Mobilisasi pasien
Faktor yang berhubungan: pada kulit (ubah posisi pasien)
3. Perfusi jaringan baik
1. Eksternal setiap 2 jam
4. Menunjukkan
a. Zat kimia, 5. Monitor kulit
pemahaman dalam proses
radiasi akan adanya
b. Usia yang perbaikan kulit dan
kemeraham
ekstrim mencegah terjadinya 6. Oleskan lotion
c. Kelembapan
cedera berulang atau minyak/baby oil
d. Hipertermia,
5. Mampu melindungi
pada daerah yang
hipotermia
kulit dan mempertahankan
e. Faktor mekanik tertekan
f. Medikasi kelembapan kulit dan 7. Monitor aktivitas
g. Lembap
perawatan alami dan mobilisasi pasien
h. Imobilitasi
8. Monitor status
Fisik
nutrisi pasien
2. Internal
9. Memandikan
a. Perubahan
pasien dengan sabun
status cairan
b. Perubahan dan air hangat
Insision site care
pigmentasi
1. Membersihkan,
c. Perubahan
memantau dan
turgor
d. Faktor meningkatkan proses
perkembangan penyembuhan pada
e. Kondisi
luka yang ditutup
ketidakseimbangan
dengan jahitan, klip
nutris
atau streples
f. Penurunan
2. Monitor proses
imnunologis
kesembuhan area
g. Penurunan
insisi
sirkulasi
3. Monitor tanda
h. Kondisi
dan gejala infeksi
gangguan metabolik
i. Gangguan pada area insisi
4. Bersihkan area
sensasi
j. Tonjolan tulang sekitar jahitan atau
streples,
menggunakan lidi
23
kapas streil
5. Gunakan preparat
antiseptic sesuai
program
6. Ganti balutan
pada interval waktu
yang sesuai atau
biarkan luka tetap
terbuka (tidak dibalut)
sesuai program
Dialysis Acces
Maintenance
RESIKO INFEKSI NOC: NIC:
Definisi : 1. Immune Status Infection Control
2. Knowledge: Infection
Mengalami peningkatan resiko (Kontrol Infeksi)
control
terserang organisme patogenik 1. Bersihkan
3. Risk control
lingkungan setelah
Faktor-faktor resiko : Kriteria Hasil: dipakai pasien lain
2. Pertahankan
1. Penyakit Kronis 1. Klien bebas dari tanda
2. Diabetes Mellitus teknik isolasi
dan gejala infeksi
3. Obesitas 3. Batasi
2. Mendeskripsikan
4. Pengetahuan yang
pengunjung bila perlu
proses penularan penyakit,
tidak cukup untuk 4. Instruksikan
faktor yang
menghindari pemajanan pengunjung untuk
mempengaruhipenularan
pathogen mencuci tangan saat
5. Pertahanan tubuh serta tatalaksananya
berkunjung dan
3. Menunjukkan
primer yang tidak adekuat
setelah berkunjung
kemampuan untuk
: 5. Gunakan sabun
a. Gangguan mencegah timbulnya infeksi
anti mikroba untuk
4. Jumlah leukosit dalam
peritaisis
cuci tangan
b. Kerusakan batas normal
6. Cuci tangan
5. Menunjukkan perilaku
integritas kulit
sebelum dan sesudah
hidup sehat
(pemasangan kateter
tindakan keperawatan
intravena, prosedur 7. Gunakan baju,
invasif) sarung tangan sebagai
c. Perubahan
24
sekresi Ph pelindung
d. Penurunan 8. Pertahankan
kerja siliaris lingkungan aseptic
e. Pecah ketuban
selama pemasangan
dini
alat
f. Pecah ketuban
9. Ganti letak IV
lama
perifer dan line central
g. Merokok
h. Stasis cairan dan dressing sesuai
tubuh dengan petunjuk
i. Trauma
umum
jaringan ( mis, trauma 10. Gunakan kateter
destruksi jaringan) intermitten untuk
6. Ketidakadekuatan
menurunkan infeksi
pertahanan sekunder :
kandung kencing
a. Penurunan
11. Tingkatkan
hemoglobin
intake nutrisi
b. Imonusupresi
12. Berikan terapi
(mis, imunitas
antibiotika bila perlu
didapat tidak adekuat, 13. Monitor tanda
agen farmaseutikal dan gejala infeksi
termasuk sistemik dan lokal
14. Monitor hitung
imunosupresan,
granulosit, WBC
steroid, antobodi
15. Monitor
monoclonal,
kerentanan terhadap
imunomodulator)
infeksi
c. Supresi respon
16. Batasi
infamasi
pengunjung
7. Vaksinasi tidak
17. Pertahankan
adekuat
teknik asepsis pada
8. Pemajanan terhadap
pasien yang berisiko
pathogen lingkungan
18. Berikan
meningkat : wabah
perawatan kulit pada
9. Prosedur invasive
10. Malnutrisi area epidema
19. Inspeksi kulit dan
membrane mukosa
25
terhadap kemerahan,
panas, drainase
20. Inspeksi kondisi
luka/insisi bedah
21. Dorong masukan
nutrisi yang cukup
22. Dorong masukan
cairan
23. Dorong istirahat
24. Instruksikan
pasien untuk minum
antibiotika sesuai
resep
25. Ajarkan pasien
dan keluarga tanda
dan gejala infeksi
26. Ajarkan cara
menghindari infeksi
27. Laporkan
kecurigaan infeksi
28. Laporkan kultur
positif
D. Implementasi Keperawatan
Merupakan inisiatif dari rencana tindakan untuk mencapai tujuan yang
spesifik. Tahap pelaksanaan dimulai dimulai setelah rencana tindakan disusun
dan ditujukan pada nursing orders untuk membantu klien mencapai tujuan yang
diharapkan. Oleh karena itu rencana tindakan yang spesifik dilaksanakan untuk
memodifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi masalah kesehatan klien.
Tujuan dari pelaksanaan adalah membantu klien dalam mencapai tujuan
yang telah ditetapkan, yang mencakup peningkatan kesehatan, pencegahan,
penyakit, pemulihan kesehatan dan memfasilitasi koping.
E. Evaluasi Keperawatan
26
Merupakan tindakan untuk melengkapi proses keperawatan yang
menandakan seberapa jauh diagnose keperawatan, rencana tindakan dan
pelaksanaannya sudah berhasil dicapai. Meskipun tahap evaluasi diletakkan
pada akhir proses keperawatan, evaluasi merupakan bagian integral pada setiap
tahap proses keperawatan.
Proses Evaluasi keperawatan dibagi menjadi 2 yaitu evaluasi formatif
yang merupakan hasil observasi dan analisa perawat terhadap respon pasien
segera pada saat/setelah dilakukan tindakan keperawatan dan evaluasi sumatif
yang merupakan rekapitulasi dan kesimpulan dari observasi dan analisa status
kesehatan sesuai waktu pada tujuan.
BAB IV
ANALISA JURNAL
27
ini mampu menggambarkan secara umum isi dari
penelitian tentang “Pengaruh Senam Kegel Terhadap
Frekuensi Inkontinensia Urine pada Lanjut Usia”.
Pendahuluan Menurut data dari WHO, 200 juta penduduk di dunia
yang mengalami inkontinensia urin. Berbagai macam
perubahan terjadi pada lanjut usia, salah satunya pada
sistem perkemihan yaitu penurunan tonus otot vagina
dan otot pintu saluran kemih (uretra) yang disebabkan
oleh penurunan hormon esterogen, sehingga
menyebabkan terjadinya inkontinensia urine, otot–otot
menjadi lemah, kapasitasnya menurun sampai 200 ml
atau menyebabkan frekuensi BAK meningkat dan
tidak dapat dikontrol. Terdapat cara yang digunakan
untuk memperbaiki ketidakmampuan berkemih yaitu
dengan latihan otot dasar panggul (pelvic muscte
exercise) atau sering disebut dengan latihan Kegel.
Latihan dasar panggul melibatkan kontraksi tulang otot
pubokoksigeus, otot yang membentuk struktur
penyokong panggul dan mengililingi pintu panggul
pada vagina, uretra, dan rectum. Tingginya angka
kejadian inkotinensia urin menyebabkan perlunya
penanganan yang sesuai, karena jika tidak segera
ditangani inkontinensia dapat menyebabkan berbagai
komplikasi.
Tujuan Penelitian Untuk mengetahui apakah terdapat pengaruh senam
Kegel terhadap frekuensi inkontinensia urine pada
lansia di Puskesmas Tumpaan, Minahasa Selatan.
Metodologi Penelitian Desain penelitian yang diguanakan adalah pra
eksperimental, dengan menggunakan rancangan one
group pre test post test.
Untuk mengetahui adanya perubahan frekuensi
inkontinensia urine pretest dan frekuensi inkontinensia
urine posttest, maka digunakan uji statistik, yaitu uji
28
Wilcoxon Sign Rank Test dengan α = 0.05.
Hasil Penelitian Hasil penelitian dalam jurnal ini dipaparkan penulis
dalam tabel dan dua analisa hasil penelitian yang
dilampirkan dalam jurnal. Dalam penelitian ini
didapati bahwa usia responden yang mengalami
inkontinensia urine adalah mereka yang berumur 60-
74 tahun berjumlah 25 orang dan 75-90 tahun
berjumlah 5 orang. Dalam hasil yang didapat dari 3
hari sebelum diberikan intervensi yaitu, responden
yang mengalami frekuensi
inkontinensia sering sebanyak 11 orang (36.7%),
responden yang mengalami frekuensi inkontinensia
sedang sebanyak 16 orang (53.3%), sedangkan
responden yang mengalami frekuensi inkontinensia
jarang sebanyak 3 orang (10.0%). Dari hasil yang
didapat 3 hari sesudah diberikan intervensi adalah
responden yang mengalami frekuensi e-journal
Keperawatan (e-Kp) Volume 5 Nomor 1, Februari
2017inkontinensia jarang sebanyak 25 orang (83.3%),
dan responden yang mengalami frekuensi
inkontinensia sedang sebanyak 5 orang (16.7%).
Dalam penelitian ini didapatkan p-value= 0,000 (p-
value < 0,05) pada kelompok Intervensi adalah Ho
ditolak dan Ha diterima yang berarti penelitian ini
menunjukan terdapat pengaruh yang signifikan senam
Kegel terhadap frekuensi inkontinensia urine pada
pasien inkontinensia urine di Wilayah Kerja
Puskesmas Tumpaan, Minahasa Selatan.
Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan peneliti di
Puskesmas Tumpaan Minahasa Selatan, maka hasil
penelitian ini dapat disimpulkan bahwa : Sebelum
dilakukan Senam Kegel jumlah responden terbanyak
mengalami frekuensi inkontinensia sedang. Sedangkan
29
hasil setelah dilakukan Senam Kegel, frekuensi
inkontinensia pada lansia mengalami perubahan
dengan menurunnya frekuensi inkontinensia urine
menjadi jarang. Sehingga terdapat pengaruh terhadap
frekuensi inkontinensia urine sesudah diberikan Senam
Kegel.
Saran Saran untuk peneliti ,agar hasil penelitian dapat
digambarkan secara singkat padat dan jelas.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
30
Selain itu, penulisan makalah ini diharapkan dapat memotivasi masyarakat
atau pembaca, agar dapat menjaga kesehatan organ eliminasi sehingga
proses eliminasi di dalam tubuh manusia dapat berjalan dengan baik dan
seimbang
DAFTAR PUSTAKA
31
3. Hidayat, A. Alimul. (2006). Pengantar kebutuhan dasar
manusia: aplikasi konsep dan proses keperawatan. Jakarta:
Salemba Medika
32