Hakekat Puasa
Hakekat Puasa
Hakekat Puasa
Seseorang yang beriman akan bisa mengetahui tentang hakikat puasa dengan
mengenal karakteristik-karakteristiknya, baik itu hikmah pensyari'atan
puasa, buah, tujuan, maksud, dan ruh ibadah puasa
Bismillah wal hamdulillah wash shalatu was salamu ala Rasulillah. Seseorang yang
beriman akan bisa mengetahui tentang hakikat puasa dengan mengenal karakteristik-
karakteristiknya, baik itu hikmah pensyariatan puasa, buah, tujuan, maksud, dan ruh ibadah
puasa. Dalam beberapa seri artikel berikut, dengan taufik dan izin Allah, penulis akan
nukilkan beberapa penjelasan ulama tentang hal itu. Semoga bermanfaat,
Hikmah Puasa
Allah Taala memberitahukan tentang anugerah yang Allah anugerahkan untuk hamba-
hamba-Nya, berupa diwajibkan bagi mereka berpuasa, sebagaimana diwajibkan bagi umat-
umat sebelumnya, karena puasa termasuk syariat dan perintah yang bermanfaat bagi
makhluk di setiap zaman. Di dalamnya terdapat dorongan semangat bagi umat ini, yakni
selayaknya kalian berlomba-lomba dengan (umat) sebelum kalian dalam menyempurnakan
amal dan bersegera dalam kebaikan, dan (hal itu) bukanlah perkara berat yang (diwajibkan)
bagi diri kalian saja (Tafsir As-Sadi).
Karena di dalam ibadah puasa itu terdapat kesucian jiwa dan kebersihannya serta
mensterilkan dari kotoran yang buruk dan akhlak yang hina (Tafsir Ibnu Katsir).
Karena di dalam ibadah puasa itu terdapat pengendalian hawa nafsu dan penundukan
syahwat (Tafsir Al-Baghawi).
Syaikh Abdur Rahman As-Sadi rahimahullah menjelaskan lebih rinci tentang bentuk
ketakwaan yang diperoleh dengan berpuasa, setelah menyebutkan firman Allah,
Sesungguhnya puasa termasuk salah satu sebab terbesar diraihnya ketakwaan, karena di
dalam ibadah puasa terdapat bentuk melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan-
Nya
, , :
, , .
Yang termasuk dalam cakupan takwa (yang terdapat dalam ibadah puasa ini, pent.) adalah
bahwa seorang yang berpuasa meninggalkan perkara yang diharamkan oleh Allah berupa
makan, minum, bersetubuh, dan lainnya yang disenangi oleh nafsunya, dengan niat
mendekatkan dirinya kepada Allah, mengharap pahala-Nya dengan meninggalkan perkara-
perkara tersebut, maka ini termasuk bentuk ketakwaan.
, , , :
Dan diantara bentuk-bentuk ketakwaan dari ibadah puasa ini adalah bahwa orang yang
berpuasa melatih dirinya untuk senantiasa merasa diawasi oleh Allah Taala, sehingga ia
meninggalkan sesuatu yang disukai dirinya, padahal ia memiliki kemampuan untuk
melakukannya, karena ia meyakini bahwa Allah mengawasinya.
, , , , :
Dan diantaranya juga bahwa orang yang berpuasa berarti menyempitkan jalan-jalan setan
dalam tubuhnya, karena setan berjalan dalam diri keturunan Nabi Adam -alaihis salam- di
tempat aliran darah. Maka dengan puasa melemahkan kekuatan setan dan menjadi sedikit
kemaksiatan karenanya.
, , :
Di antaranya pula bahwa orang yang berpuasa pada umumnya banyak melakukan ketaatan,
sedangkan ketaatan adalah bagian dari ketakwaan
, , , :.
Di antaranya adalah orang yang kaya jika merasakan lapar (saat berpuasa), hal itu
mendorongnya untuk meringankan kesulitan orang-orang fakir yang tak berharta, dan ini
adalah bagian dari ketakwaan (Tafsir As-Sadi)
Kesimpulan:
Seseorang jika benar-benar berpuasa dengan ikhlas dan sesuai dengan sunnah Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam, maka akan menghasilkan,
Syaikh Abu Bakr Al-Jazairi dalam kitabnya Aisarut Tafasir menjelaskan bahwa ayat di atas
mengisyaratkan kepada faidah-faidah puasa yang banyak, baik faidah diniyyah (Agama)
maupun Ijtimaiyyah (sosial kemasyarakatan).
Jadi, sosok insan yang berpuasa dengan puasa yang benar dan sempurna akan menghasilkan
berbagai bentuk ketakwaan, namun sebaliknya, jika puasa seseorang tidak membuahkan
berbagai bentuk ketakwaan maka curigailah puasanya tersebut! Bukan mustahil yang
didapatkannya adalah haus dan lapar saja!
Betapa banyak orang berpuasa yang hanya memetik lapar dan dahaga (HR. Ibnu Majah,
Al-Hakim dan dia menshahihkannya. Al-Albani mengatakan hasan sahih)
Alangkah indahnya ungkapan Syaikhul Islam Ibnu Taymiyyah dalam kitabnya Al-
Ubudiyyah:
(Ciri khas) orang yang berakal adalah melihat hakikat (sesuatu), tidak terjebak dengan
lahiriyyahnya.
[bersambung]
***
Artikel Muslim.or.id
5 5632 0
Puasa yang sempurna adalah puasa lahir dan batin
Inilah sesungguhnya puasa yang disyariatkan, ia tidak sekedar menahan dari makan dan
minum!
demikian tutur seorang Imam besar, dokter hati kaum Muslimin, Ibnul Qoyyim
rahimahullah.
Memang demikian, sesungguhnya puasa yang disyariatkan bukanlah sekedar menahan dari
makan dan minum, namun hakikatnya adalah puasa yang meliputi dua dimensi sekaligus,
lahir maupun batin. Para ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah rahimahumullah dari dulu telah
menjelaskan tentang hakikat puasa yang memiliki dua dimensi ini sekaligus.
Berikut ini nukilan dari beberapa ulama rahimahumullah tentang hal itu. Al-Allamah Ahmad
Syakir rahimahullah ketika menyesalkan banyaknya kebiasaan puasa yang dilakukan oleh
sebagian kaum Muslimin yang bertentangan dengan hakikat puasa itu sendiri mengatakan,
Sesungguhnya saya melihat banyak dari kebiasaan yang kita lakukan dalam berpuasa
bertentangan dengan hakikat puasa, bahkan menggugurkan pahalanya, lebih dari itu, malah
menyebabkan manusia bertambah dosa (Jamharah Maqalat Ahmad Syakir: 2/692 PDF).
Ibnul Qoyyim rahimahullah menjelaskan hakikat puasa ditinjau dari sisi anggota tubuh
manusia yang ditahan dari melakukan hal-hal yang disyariatkan untuk ditahan ketika
berpuasa,
Orang yang berpuasa adalah orang yang (seluruh) anggota tubuhnya berpuasa dari dosa-
dosa, dan lisannya pun berpuasa dari dusta, ucapan keji dan ucapan batil, puasa perutnya dari
makan dan minum, puasa kemaluannya dari bersetubuh (Shahih Al-Wabilish Shayyib, hal.
54).
Hakikat puasa yang sempurna itu, ketika seluruh anggota tubuh sama-sama berpuasa. Jika
seseorang melakukan ibadah puasa dengan bentuk yang seperti itu, maka akan didapatkan
buah-buah manis seperti yang dijelaskan Ibnul Qoyyim di bawah ini,
Maka jika ia berbicara, tidaklah mengucapkan ucapan yang menodai puasanya, dan jika ia
berbuat, tidaklah melakukan perbuatan yang merusak puasanya, hingga keluarlah seluruh
ucapannya dalam bentuk ucapan yang bermanfaat lagi baik, demikian pula untuk
perbuatannya.
Maka ucapan dan perbutannya tersebut seperti bau harum yang dicium oleh orang yang
duduk menemani pembawa minyak wangi misk! Demikianlah orang yang menemani orang
yang berpuasa (dengan sebenar-benar puasa), niscaya akan mengambil manfaat dari
pertemanannya tersebut, ia akan merasa aman dari ucapan batil, dusta, kefajiran dan
kezhaliman. Inilah sesungguhnya puasa yang disyariatkan, ia tidak sekedar menahan dari
makan dan minum (Shahih Al-Wabilish Shayyib, hal. 54).
Mengapa bukan hanya makanan dan minuman yang tertuntut untuk ditinggalkan saat
berpuasa?
Maka puasa (yang hakiki) adalah puasanya seluruh anggota tubuh dari dosa-dosa dan
puasanya perut dari minuman dan makanan. Sebagaimana makan dan minum itu
memutuskan kesahan puasa dan merusaknya, maka demikian pula dosa-dosa akan
memutuskan pahala puasa dan merusak buahnya, hingga membuatnya menjadi seperti
kedudukan orang yang tidak berpuasa (Shahih Al-Wabilish Shayyib, hal.54-55).
Itulah uraian ulama kita rahimahumullah tentang hakikat puasa. Penjelasan hal ini diambil
dari dalil-dalil tentang karakteristik puasa yang benar. Insyaallah, akan penulis isyaratkan
sebagian dalil-dalil tersebut pada tempatnya di seri artikel tentang hal itu.
Selanjutnya, bagaimanakah tingkatan orang-orang yang berpuasa itu? Silahkan baca:
hakikat Puasa (3)
Sumber: https://muslim.or.id/25774-hakekat-puasa-2.html
Sesungguhnya puasa yang disyariatkan bukanlah sekedar menahan diri dari makan dan
minum, namun hakikatnya adalah puasa yang meliputi dua dimensi sekaligus, lahir maupun
batin. Para ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah rahimahumullah dari dulu telah menjelaskan
tentang hakikat puasa yang memiliki dua dimensi sekaligus.
Ibnu Qudamah rahimahullah dalam ringkasan kitab Ibnul Jauzi rahimahullah yang
dinamakan Mukhtashar Minhajil Qashidin, pada hal. 44 menjelaskan tentang tingkatan
puasa,
1. Puasa umum,
2. Puasa khusus, dan
3. Puasa super khusus
Adapun puasa umum adalah menahan perut dan kemaluan dari menuruti selera syahwat
(menahan diri dari melakukan berbagai pembatal puasa, seperti makan, minum, dan
bersetubuh).
Puasa jenis umum ini jelas sekali diambil dari dalil-dalil tentang adanya pembatal-pembatal
puasa.
Dan puasa khusus adalah menahan pandangan, lisan, kaki, pendengaran, penglihatan dan
seluruh anggota tubuh dari dosa-dosa.
Puasa jenis khusus ini diambil dari dalil-dalil yang menunjukkan bahwa hakikat
disyariatkannya puasa itu untuk sebuah hikmah meraih derajat ketakwaan dan takut kepada
Allah, sehingga dengannya orang yang berpuasa bersih jiwanya dari seluruh kemaksiatan dan
menjadi orang yang diridhai oleh-Nya.
Adapun puasa super khusus adalah puasanya hati dari selera yang rendah dan pikiran yang
menjauhkan hatinya dari Allah Subhanahu wa Taala serta menahan hati dari berpaling
kepada selain Allah Subhanahu wa Taala secara totalitas
Dalil-dalil tentang jenis puasa khusus yang telah disebutkan di atas dan dalil tentang bahwa
baiknya hati adalah asas bagi baiknya anggota tubuh yang lainnya. Sehingga ketakwaan yang
asasi adalah ketakwaan hati, maka jika hikmah disyariatkannya puasa itu adalah untuk
meraih ketakwaan, maka hakikatnya, yang pertama kali tercakup adalah ketakwaan hati,
karena ketakwaan yang paling mendasar dan paling agung adalah ketakwaan hati.
Dari An Numan bin Basyir radhiyallahu anhuma, Nabi shallallahu alaihi wa sallam
bersabda,
Ingatlah bahwa di dalam jasad itu ada segumpal daging. Jika ia baik, maka baik pula
seluruh jasad. Jika ia rusak, maka rusak pula seluruh jasad. Ketahuilah bahwa ia adalah
hati (jantung) (HR. Bukhari dan Muslim).
Selanjutnya, silahkan simak tentang Adab Puasa VIP dalam Hakikat Puasa (4), insyaallah.
***
Sumber: https://muslim.or.id/25778-hakikat-puasa-3puasa-vvip.html
Al-Allamah Ahmad bin Abdir Rahman bin Qudamah Al-Maqdisi rahimahullah, yang
dikenal dengan nama Ibnu Qudamah, dalam kitabnya Mukhtashar Minhajil Qashidin
mengatakan,
: :
(26 :} ) {
1
:
Ketahuilah, bahwa puasa memiliki kekhususan yang tidak terdapat dalam ibadah yang
lainnya, yaitu disandarkannya ibadah puasa ini kepada Allah Azza wa Jalla, yang mana
Allah Subhanahu berfirman Puasa adalah untuk-Ku, dan Aku sendiri yang akan
membalasnya. Cukuplah penyandaran ini sebagai sebuah kemuliaan, sebagaimana Allah
telah memuliakan Al-Baitul Haram dengan menyandarkannya kepada-Nya dalam firman-Nya
{}
Dan sucikanlah rumah-Ku (Al-Hajj: 26)
:.
:
.
1. Puasa adalah ibadah yang dilakukan secara rahasia dan amal batin, (pada umumnya)
makhluk tidak mengetahuinya dan ibadah tersebut tidak terkontaminasi riya`.
2. Puasa itu mampu menaklukkan musuh Allah karena pintu masuk musuh Allah
(menyimpangkan manusia) adalah syahwat, sedangkan syahwat menguat dengan
makan dan minum. Selama lahan syahwat itu subur (syahwat dituruti), maka setan-
setan pun hilir -mudik ke lahan santapannya tersebut. Dengan meninggalkan syahwat
lah akan sempit jalan-jalan bagi mereka (setan-setan) (Mukhtashar Minhajil Qashidin,
hal. 43 (PDF).
Tentunya suatu ibadah yang memiliki keistimewaan seperti itu sangat perlu untuk kita
lakukan adabnya sebaik-baiknya. Apalagi jika telah kita ketahui bersama dalam artikel
sebelumnya (bacalah artikel: Hakikat Puasa (3)), bahwa ibadah puasa memiliki beberpa
tingkatan, yang jelas tidaklah bisa diraih dengan sempurna tingkatan demi tingkatan itu,
kecuali dengan melakukan adab-adabnya.
:
: .
Di antara adab puasa khusus adalah menundukkan pandangan, menjaga lisan dari ucapan
haram yang menyakiti (orang lain) atau ucapan makruh (tidak dicintai oleh Allah) atau
sesuatu yang tidak berfaidah, dan menjaga anggota-anggota tubuh lainnya (dari melakukan
perbuatan haram atau makruh, pent.). Dalam Hadits dari riwayat Al-Bukhari, bahwa
sesungguhnya Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda, Barangsiapa yang tidak
meninggalkan ucapan dan perbuatan yang haram, maka Allah tidak menginginkan aktifitas
meninggalkan makan dan minum yang dilakukannya (puasanya).
. :
.
Di antara adab-adab puasa khusus adalah (perut) tidak terpenuhi dengan makanan pada
malam hari, bahkan makan secukupnya, karena sesungguhnya, tidaklah manusia memenuhi
wadah yang lebih buruk daripada perutnya. Kapan saja seseorang itu kenyang di awal
malam, maka ia tidak mampu menggunakan tubuhnya (untuk melakukan kebaikan) di sisa
waktu malam tersebut dan demikian pula jika ia kenyang saat waktu sahur, maka ia tidak
mampu menggunakan tubuhnya (untuk melakukan kebaikan) sampai waktu mendekati
zhuhur. Karena kebanyakan makan membuahkan kemalasan dan kelemahan semangat, lalu
terluput maksud puasa dengan banyak makan, karena yang diinginkan (dalam puasa) adalah
merasakan lapar hingga (dengan sebabnya) ia menjadi orang suka meninggalkan sesuatu
yang disukai oleh hawa nafsunya (secara melampui batas) (Mukhtashar Minhajil Qashidin,
hal. 44 (PDF)).
Fadhilatusy Syaikh DR. Sami Ash-Shuqoir hafizhahullah salah satu dari tiga masyayikh
yang ditunjuk oleh Syaikh Ibnu Utsaimin sebagai pengganti beliau mengasuh markas
ilmiyyahnya- pernah menjelaskan tentang adab-adab puasa, secara ringkas beliau
menyebutkan ada dua adab yang perlu diperhatikan oleh orang yang berpuasa, yaitu:
2. Adab-adab yang sunnah yang tertuntut dilakukan oleh orang yang sedang berpuasa
Ibadah puasa juga memiliki adab-adab puasa yang sunnah dilakukan. Walaupun tidak sampai
wajib hukumnya, namun sangat penting dilakukan untuk kesempurnaan ibadah puasanya dan
membantu meraih hakikat puasa dan maksudnya, seperti: makan sahur, menyegerakan
berbuka, shalat Tarawih, dzikir, shadaqah, dan yang lainnya. Ketahuilah, bahwa
memperbanyak ketaatan pada Allah saat puasa bulan Ramadhan sangat ditekankan, terlebih
lagi membaca Al-Quran, karena bulan Ramadhan adalah bulan Al-Quran, bulan kebaikan
dan bulan barakah.
Semoga Hadits berikut menjadi pendorong bagi kita untuk berlomba-lomba beribadah dan
beramal shaleh pada bulan Ramadhan. Dari Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma berkata,
Dahulu Nabi shallallahu alaihi wasallam adalah orang yang paling dermawan dalam
melakukan kebaikan. Dan beliau paling dermawan ketika bulan Ramadhan saat Jibril
alaihissalam menemuinya. Jibril alaihis salam menjumpai beliau setiap malam di bulan
Ramadhan sampai Ramadhan berlalu. Nabi shallallahu alaihi was sallam menyetorkan
hafalan AlQuran kepadanya. Sungguh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam lebih
dermawan melakukan kebaikan daripada angin yang bertiup (HR. Al-Bukhary dan
Muslim).
***
Sumber: https://muslim.or.id/25793-hakekat-puasa-4-adab-puasa-vip.html
Semua ibadah, baik berbentuk ucapan ataupun perbuatan, lahir maupun batin, terkait dengan
badan maupun harta, maka tidak lain merupakan amal tazkiyyatun nufus, pensucian jiwa dan
hati dari kekotoran. Setiap ibadah itu adalah gizi bagi hati yang membuahkan kebersihan hati,
kebaikan akhlak, dan meningkatkan keimanan. Contohnya adalah empat ibadah yang penting
dan berstatus rukun Islam, yaitu shalat, puasa ramadhan, zakat mal, dan haji berikut ini.
Shalat
Tentang shalat, Allah Taala mengaitkan ibadah shalat dengan buahnya, berupa kebersihan
jiwa dari kekejian dan kemungkaran,Dia berfirman,
Sesungguhnya shalat itu mencegah dari kekejian dan kemungkaran (Al-Ankabuut: 45).
Zakat
Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan
mensucikan mereka (At-Taubah: 103).
Di dalam Ayat tersebut terdapat penjelasan zakat jika ditunaikan dengan baik adalah untuk
mensucikan jiwa dari kotoran-kotoran dosa.
Haji
(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, barangsiapa yang menetapkan
niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasik
(kemaksiatan) dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji (Al-Baqarah:
197).
Di dalam Ayat tersebut, terdapat penjelasan, bahwa haji yang baik tidaklah pernah selaras
dengan rafats, fasik (kemaksiatan) dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji.
Seseorang yang menunaikan haji dengan benar akan suci jiwanya dari perkara-perkara
tersebut.
Puasa
Demikian pula untuk ibadah puasa, insyaallah akan kami sebutkan setelah ini.
Renungan
Ketauhilah, bahwa setiap ibadah yang kita lakukan, namun tidak menambah kekuatan dalam
keimanan dan kebersihan jiwa, berarti ibadah tersebut telah terkontaminasi. Bisa jadi
termasuki kotoran riya, tujuan duniawi, atau kotoran ilmu yang salah dalam memandang
sebuah ibadah dan yang semisalnya.
Setiap ilmu dan amal yang tidak menambah kekuatan dalam keimanan dan keyakinan maka
telah termasuki kotoran (terkontaminasi), dan setiap iman yang tidak mendorong untuk
beramal maka telah termasuki kotoran (Al-Fawaid).
Dari penjelasan di atas, mari kita intropeksi diri, bagimanakah ibadah-ibadah yang selama ini
kita lakukan? Apakah terpenuhi kriteria ibadah yang diterima oleh Allah? Ataukah justru
ibadah-ibadah yang kita lakukan selama ini, banyak yang sekedar aktifitas lahiriyyah tanpa
ada ruhnya? Jika memang demikian, tidakkah kita malu mempersembahkan kepada Rabb kita
sesuatu tanpa ruh, ibarat bangkai tak bernyawa?
Apakah selama ini kita benar-benar telah perhatian terhadap hakikat peribadatan ataukah
dalam mengerjakan ibadah masih lebih banyak perhatian kepada lahiriyyah suatu ibadah; asal
sah ibadah tersebut atau asal gugur kewajiban ibadah tersebut?
Perhatikan beberapa nukilan berikut ini yang menggambarkan bahwa para ulama dari dulu
sangat perhatian terhadap hakikat suatu amal!
(Ciri khas) orang yang berakal adalah melihat hakikat (sesuatu),tidak terjebak dengan
lahirnya
Bisa jadi orang yang shalat malam, namun hanya mendapatkan begadang saja (tidak dapat
pahala). (Ingatlah) berapa banyak orang yang shalat malam namun tidak dirahmati (oleh
Allah), sedangkan yang tidur justru dirahmati. Rahasianya adalah orang yang kedua memang
lahirnya (yang nampak) tidur, namun hatinya ingat Allah (bertakwa), adapun orang yang
pertama memang zhahirnya shalat malam, namun sayangnya hatinya menyimpan maksiat
Pada artikel selanjutnya, insyaallah akan penulis sebutkan beberapa dalil yang menjelaskan
tentang hakikat puasa yang dikehendaki oleh Allah Taala, yaitu puasa yang membuahkan
ketakwaan dan kebersihan jiwa. Silahkan baca: Hakekat Puasa (6)
***
Artikel Muslim.or.id
Anda sedang membaca: " Hakekat Puasa ", baca lebih lanjut dari artikel
berseri ini:
Sumber: https://muslim.or.id/25797-hakekat-puasa-5.html
Dalil-dalil yang menunjukkan hakikat puasa yang dikehendaki oleh Allah Taala.
Allah Taala telah kabarkan hikmah yang agung dan faedah yang mulia berupa diraihnya
ketakwaan, sedangkan takwa adalah melakukan ketaatan dan meninggalkan
kemaksiatan. Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan hikmah diperintahkannya berpuasa,
Di dalam ibadah puasa itu terdapat kesucian jiwa dan kebersihannya serta mensterilkan dari
kotoran yang buruk dan akhlak yang hina (Tafsir Ibnu Katsir).
Syaikh Abdur Rahman As-Sadi rahimahullah menjelaskan lebih rinci tentang bentuk
ketakwaan yang diperoleh dengan berpuasa, setelah menyebutkan firman Allah:
Sesungguhnya puasa termasuk salah satu sebab terbesar diraihnya ketakwaan, karena di
dalam ibadah puasa terdapat bentuk melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan-
Nya.
, , :
, , .
Yang termasuk dalam cakupan takwa (yang terdapat dalam ibadah puasa ini, pent.) adalah
bahwa seorang yang berpuasa meninggalkan perkara yang diharamkan oleh Allah berupa
makan, minum, bersetubuh, dan lainnya yang disenangi oleh nafsunya dengan niat
mendekatkan dirinya kepada Allah, mengharap pahala-Nya dengan meninggalkan perkara-
perkara tersebut, maka ini termasuk bentuk ketakwaan.
, , , :
Di antara bentuk-bentuk ketakwaan dari ibadah puasa ini adalah bahwa orang yang berpuasa
melatih dirinya untuk senantiasa merasa diawasi oleh Allah Taala, sehingga ia
meninggalkan sesuatu yang disukai dirinya, padahal ia memiliki kemampuan untuk
melakukannya, karena ia meyakini bahwa Allah mengawasinya.
, , , , :
Di antaranya juga bahwa puasa itu menyempitkan jalan-jalan setan dalam tubuh manusia,
karena setan berjalan dalam diri keturunan Nabi Adam -alaihis salam- di tempat aliran darah.
Maka dengan puasa melemahkan kekuatan setan dan menjadi sedikit kemaksiatan
karenanya.
, , :
Di antaranya pula bahwa orang yang berpuasa pada umumnya banyak melakukan ketaatan,
sedangkan ketaatan adalah bagian dari ketakwaan.
, , , :.
Di antaranya adalah orang yang kaya jika merasakan pedihnya lapar (saat berpuasa), hal itu
mendorongnya untuk meringankan kesulitan orang-orang fakir yang tak berharta, dan ini
adalah bagian dari ketakwaan (Tafsir As-Sadi)
Puasa yang hakiki adalah puasa yang bersih dari ucapan dan perbuatan yang haram
Dalam Hadits dari riwayat Al-Bukhari, bahwa sesungguhnya Nabi shallallahu alaihi wa
sallam bersabda,
Barangsiapa yang tidak meninggalkan ucapan dan perbuatan yang haram, maka Allah tidak
menginginkan (tidak memberi pahala) aktifitas meninggalkan makan dan minum yang
dilakukannya (puasanya) (HR. Al-Bukhari).
: :
Maka adapun ucapan az-zuur adalah setiap ucapan yang haram, baik berupa mencela,
mengumpat, dusta, menggunjing, mengadu dombadan adapun amal az-zuur adalah setiap
perbuatan yang haram berupa penipuan , khianat, khianat dalam jual beli dan selainnya, dan
riba yang terang-terangan ataupun yang akal-akalan
(http://www.ibnothaimeen.com/all/khotab/article_144.shtml)
Adapun tentang makna maka Allah tidak menginginkan dalam hadits di atas, telah
dijelaskan oleh Ibnul Arabi rahimahullah yang dinukilkan dalam kitab Fathul Bari,
Konsekuensi yang ditunjukkan Hadits ini bahwa barangsiapa yang melakukan larangan yang
disebutkan dalam Hadits ini maka puasanya tidak diberi pahala, maksudnya bahwa pahala
puasanya tidak bisa mengalahkan dosa az-zuur dan apa yang disebutkan bersamanya.
:
.
Bukanlah maksud disyariatkannya puasa adalah lapar dan dahaganya, namun maksudnya
adalah perkara yang mengikutinya berupa menundukkan syahwat dan memudahkan jiwa
yang sifatnya memerintahkan kepada yang buruk, untuk menjadi jiwa yang tenang dalam
keimanan, maka jika tidak didapatkan hal itu ,maka Allah tidak melihatnya dengan
pandangan penerimaan (tidak memberi pahala, pent.)
Yaitu bahwa Allah Taala tidaklah menghendaki dari ibadah puasa kita , (sekedar)
meninggalkan makan dan minum, namun (hakekatnya) menghendaki dari kita agar kita
meninggalkan ucapan dan perbuatan haram dan tindakan bodoh
(http://www.ibnothaimeen.com/all/khotab/article_144.shtml)
Maka orang yang tidak meninggalkan meninggalkan perkara-perkara ini (ucapan dan
perbuatan haram dan tindakan bodoh), maka hakekatnya ia tidak puasa, karena memang
(zhahirnya) ia puasa (menahan) dari perkara yang dihalalkan oleh Allah, namun ia melakukan
perkara yang diharamkan oleh-Nya
(http://www.ajurry.com/vb/showthread.php?t=29384).
: :
: : : :
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pernah naik mimbar kemudian berkata, Amin,
Amin, Amin Ditanyakan kepadanya, Ya Rasulullah, (mengapa) Anda naik mimbar
kemudian mengucapkan Amin, Amin, Amin? Beliau bersabda,
Sesungguhnya Jibril alaihish shalatu was salam datang kepadaku, dia berkata,
Barangsiapa yang mendapati bulan Ramadhan namun tidak diampuni dosanya, maka akan
masuk Neraka dan akan Allah jauhkan dia, katakan, Amin, maka akupun mengucapkan,
Amin (HR. Ibnu Hibban, dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani).
Barang siapa yang berpuasa Ramadhan dengan penuh keimanan dan mengharapkan
pahala, maka dosanya yang telah lalu akan diampuni (HR. Bukhari dan Muslim).
Dari kedua Hadits tersebut, nampaklah bahwa puasa yang dikehendaki oleh Allah adalah
puasa yang membuahkan ampunan-Nya.
Puasa yang hakiki adalah puasa yang bersih dari ucapan keji dan tindakan bodoh
Puasa itu adalah perisai, maka janganlah (seseorang yang sedang berpuasa) mengucapkan
ucapan yang kotor, dan janganlah bertindak bodoh, dan jika ada orang yang sewenang-
wenang merebut haknya atau mencelanya, maka katakan, Saya sedang puasa -dua kali-
(HR. Al-Bukhari).
Penjelasan
Puasa adalah sebuah syariat yang dimaksudkan agar orang yang melakukannya menahan diri
dari menuruti hawa nafsu, agar menjadi perisai bagi dirinya dari api Neraka di akhirat kelak
karena Neraka memang diliputi oleh hawa nafsu (syahwat).
Nah, untuk meraih maksud puasa yang hakiki inilah, kita diperintahkan untuk menahan diri
dari semua perkara yang dilarang oleh Allah Taala, di antaranya adalah menahan diri dari
mengucapkan ucapan yang kotor dan bertindak bodoh, serta tidak meladeni orang yang
memancing emosi kita, dikarenakan hal itu bisa menodai puasa kita.
Itulah hakikat puasa yang sesungguhnya, ia bukanlah sekedar menahan diri dari makan dan
minum semata.
Betapa banyak orang berpuasa yang hanya memetik lapar dan dahaga (HR. Ibnu Majah,
Al-Hakim dan dia menshahihkannya. Al-Albani berkata Hasan Shahih).
Penjelasan
Nabi shallallahu alaihi wa sallam mengabarkan keadaan puasa banyak orang, bahwa mereka
tidak mendapatkan apapun kecuali lapar dan dahaga. Dengan demikian sesungguhnya orang
yang puasanya sekedar menahan dari makan dan minum, dan pembatal puasa yang lainnya,
namun tidak menjauhi keharaman-keharaman yang lain, maka hakikatnya ia belum mencapai
hakikat puasa yang sebenarnya.
Penutup:
Ada sebuah kisah yang di dalamnya terdapat pelajaran besar, agar kita dalam memandang
suatu ibadah, tidak terbatas kepada lahiriyah amal semata, namun mampu meneropong
hakikat sebuah amal ibadah.
!
:
:
!
: .
:
)
Seseorang bertanya, Wahai Rasulullah Seseungguhnya ada seorang wanita yang terkenal
dengan banyaknya shalat, puasa dan sedekah, hanya saja ia dikenal pula suka menyakiti
tetangganya dengan lisannya? Beliau sallallahualaihi wa sallam bersabda, Dia masuk
Neraka. Lalu orang tersebut berkata lagi, Wahai Rasulullah! seungguhnya ada seorang
wanita yang dikenal sedikit puasa, sedekah, dan shalatnya, dan dia bersedekah dengan
sepotong keju, namun ia tidak menyakiti tetangganya dengan lisannya. Beliau
sallallahualaihi wa sallam bersabda Dia masuk Surga (HR. Ahmad dan dishahihkan oleh
Al-Mundziri).
Beliau juga mengatakan, Janganlah Anda mensikapi hari-hari puasa Anda, sama seperti
mensikapi hari-hari ketika tidak puasa
(http://www.ibnothaimeen.com/all/khotab/article_144.shtml). Walhamdulillahilladzi
binimatihi tatimmush shalihat.
***
Sumber: https://muslim.or.id/25806-hakekat-puasa-6.html