Terapi Komplementer
Terapi Komplementer
Terapi Komplementer
A. PENDAHULUAN
NAPZA telah menimbulkan banyak korban terutama kalangan muda yang termasuk
usia produktif. Masalah ini bukan hanya berdampak negatif terhadap diri pengguna,
tetapi lebih luas lagi berdampak negatif terhadap kehidupan keluarga dan masyarakat,
bahkan mengancam dan membahayakan keamanan dan ketertiban.
Besarnya masalah akibat penyalahgunaan NAPZA ini, tentu saja perlu mendapat
penanganan yang serius dari semua pihak. Masalah pemulihan penyalahgunaan NAPZA
bukanlah hal yang mudah, melainkan merupakan suatu proses perjuangan panjang yang
memerlukan strategi dan pelaksanaan secara tepat dan terarah. Berbagai program
rehabilitasi NAPZA menjadi salah satu langkah yang serius dalam penanganan
penyalahgunaan NAPZA. Sesuai pasal 37 ayat 1 UU No. 5/1997 tentang Psikotropika
yang menyebutkan bahwa pengguna psikotropika yang menderita sindrom
ketergantungan berkewajiban ikut serta dalam pengobatan atau perawatan, serta pasal 45
UU No. 22/1997 tentang Narkotika yang menyebutkan bahwa pecandu narkotika wajib
menjalani pengobatan dan/ atau perawatan.
Selain rehabilitasi medis perawatan yang bisa diberikan pada pengguna NAPZA
adalah perawatan dengan terapi komplementer. Perkembangan terapi komplementer
akhir-akhir ini menjadi sorotan banyak negara. Pengobatan komplementer atau alternatif
menjadi bagian penting dalam pelayanan kesehatan di Amerika Serikat dan negara
lainnya (Sayder & Lindquis, 2002). Estimasi di Amerika Serikat 627 juta orang adalah
1
pengguna terapi alternatif dan 386 juta orang yang mengunjungi praktik konvensional
(Smith et al., 2004). Berdasarkan data ini memberikan informasi kepada kita bahwa
terapi komplementer tidak hanya berkembang di Indonesia, tetapi negara maju seperti
Amerika Serikat juga telah menerapkannya.
Klien yang menggunakan terapi komplementer memiliki beberapa alasan. Salah satu
alasannya adalah filosofi holistik pada terapi komplementer, yaitu adanya harmoni dalam
diri dan promosi kesehatan dalam terapi komplementer. Alasan lainnya adalah klien ingin
terlibat untuk pengambilan keputusan dalam pengobatan dan peningkatan kualitas hidup
dibandingkan sebelumnya (Widyatuti, 2008). Sejumlah 82% klien melaporkan adanya
reaksi efek samping dari pengobatan konvensional yang diterima sehingga menyebabkan
klien memilih terapi komplementer (Snyder & Lindquis, 2002).
Terapi komplementer yang ada menjadi salah satu pilihan pengobatan masyarakat.
Hal ini dapat menjadi peluang bagi perawat untuk berperan memberikan terapi
komplementer. Salah satu sasaran dari terapi komplementer yaitu pada klien pengguna
NAPZA, dimana para pengguna NAPZA selain memerlukan rahabilitasi dalam
pemulihan ketergantungan obat mereka juga membutuhkan terapi komplementer sebagai
alternatif kesehatan berdasarkan teori dan keyakinannya sehingga ketika mereka kembali
ke masyarakat dapat dengan mudah berintegrasi dan berperan aktif.
B. TERAPI KOMPLEMENTER
Prinsip holistik pada keperawatan ini perlu didukung oleh kemampuan perawat dalam
menguasai berbagai bentuk terapi keperawatan termasuk terapi komplementer.
Penerapan terapi komplementer pada keperawatan perlu mengacu kembali pada teori-
teori yang mendasari praktik keperawatan. Misalnya teori Rogers yang memandang
manusia sebagai sistem terbuka, kompleks, mempunyai berbagai dimensi dan energi.
Teori keperawatan yang ada dapat dijadikan dasar bagi perawat dalam
mengembangkan terapi komplementer misalnya teori transkultural yang dalam
2
praktiknya mengaitkan ilmu fisiologi, anatomi, patofisiologi, dan lain-lain. Hal ini
didukung dalam catatan keperawatan Forence Nightingale yang telah menekankan
pentingnya mengembangkan lingkungan untuk penyembuhan dan pentingnya terapi
seperti musik dalam proses penyembuhan. Selain itu, terapi komplementer meningkatkan
kesempatan perawat dalam menunjukkan caring pada klien (Snyder & Lindquis, 2002).
Terapi komplementer adalah suatu terapi tambahan, pelengkap atau penunjang yang
bertumpu pada potensi diri seseorang dan alam. Dalam terapi ini seseorang diajarkan
beberapa ilmu pengobatan yang berasal dari ilmu kedokteran maupun ilmu tradisional.
Terapi komplementer mulai dilaksanakan di Lapas Narkotika sejak tanggal 8 November
2007 dengan bekerja sama dengan Yayasan Taman Sringanis Jakarta. Pada awalnya
terapi ini diperuntukkan untuk membantu warga binaan yang sudah terinfeksi HIV/AIDS
(ODHA) agar kesehatan mereka bisa terjaga dengan baik. Namun saat ini terapi
komplementer dapat dimanfaatkan oleh warga binaan lain yang memiliki minat pada
terapi ini. Terapi komplementer meliputi olah nafas, meditasi, akupuntur, prana, serta
menjaga kesehatan melalui menu sehat.
2. Kategori kedua, alternatif sistem pelayanan yaitu sistem pelayanan kesehatan yang
mengembangkan pendekatan pelayanan biomedis berbeda dari Barat misalnya
pengobatan tradisional Cina, Ayurvedia, pengobatan asli Amerika, cundarismo,
homeopathy, naturopathy.
3
3. Kategori ketiga, adalah terapi biologis yaitu natural dan praktik biologis dan hasil-
hasilnya misalnya herbal dan makanan.
4. Kategori keempat, adalah terapi manipulatif dan sistem tubuh. Terapi ini didasari oleh
manipulasi dan pergerakan tubuh misalnya pengobatan kiropraksi, macam-macam
pijat, rolfing, terapi cahaya dan warna, serta hidroterapi.
5. Kategori kelima, adalah terapi energi yang fokusnya berasal dari energi dalam tubuh
(biofields) atau mendatangkan energi dari luar tubuh misalnya terapeutik sentuhan dan
pengobatan sentuhan. Kategori ini biasanya dijadikan satu kategori berupa kombinasi
antara biofield dan bioelektromagnetik.
1. Olahraga
4
2. Terapi Spiritual
3. Terapi Nutrisi
Seperti kita ketahui pengguna NAPZA memiliki napsu makan yang kurang
akibat efek obat-obatan yang mereka konsumsi. Sebagian besar mereka lebih
banyak mengkonsumsi gula, junk food, makanan cepat saji, kafein dan lemak
jenuh secara berlebihan. Sehingga disarankan untuk menjalankan program diet
tinggi protein dan lemak. Makanan yang diharuskan untuk dikonsumsi adalah
ayam, domba, daging organik dan mentega. Proporsi diet terdiri dari 40 persen
karbohidrat, 30 persen protein dan 30 persen lemak. Buah-buahan yang padat
nutrisi, sayuran, kacang-kacangan, biji-bijian dan polong-polongan juga harus
dikonsumsi. Nutrisi yang sehat dan seimbang diperlukan pasien dengan NAPZA
untuk mempertahankan kekuatan tubuh, meningkatkan fungsi sistem imun,
kemampuan tubuh untuk memerangi infeksi dan menjaga kesehatan mereka agar
tetap aktif dan produktif.
5
4. Terapi Suplemen
5. Yoga
6. Latihan Kesadaran
6
dapat membantu untuk memfokuskan perhatiannya dan mendorong sikap positif
terhadap pengalaman masa lalunya.
7. Terapi Criminon
7
Kurikulum yang terdapat dalam program Criminon terdiri dari empat modul
utama, yaitu:
3. Ketiga, yaitu kursus meraih dan mencapai kebahagiaan, pada tahap ini
pecandu dituntun menuju pola berpikir baru mengenai dirinya,
hubungannya dengan orang lain serta pola perilaku yang baru dalam
kehidupannya.
8. Terapi Kesenian
8
Pada tahap aftercare warga binaan diarahkan sesuai dengan minat dan
bakatnya masing-masing. Tujuan dari tahapan ini adalah untuk membekali para
pecandu dengan pengetahuan dan keterampilan yang bermanfaat dan bisa
diaplikasikan di kehidupannya setelah kembali ke masyarakat. Dengan demikian
pecandu bisa mengaktualisasikan diri di tengah masyarakat sebagai manusia yang
produktif dan tidak lagi bergantung pada NAPZA.
f. Kegiatan kesenian dapat mambantu warga binaan untuk lebih percaya diri
dengan menampilkan potensi dirinya
9. Terapi Akupuntur
9
selama tidak memakai narkoba secara sempurna. Tujuan dan rasionalisasi untuk
terapi kecanduan NAPZA terhadap akupuntur adalah mencegah gejala putus obat
zat, menurunkan keinginan untuk menggunakan NAPZA lagi, menormalkan
fungsi fisiologis yang terganggu akibat penggunaan narkoba, meminimalkan
komplikasi medis dan sosial dari penggunaan narkoba dan mempertahankan
kondisi bebas penggunaan NAPZA. Efek penusukan terjadi melalui hantaran
saraf dan melalui humoral/ endokrin. Secara umum efek penusukan jarum terbagi
atas efek lokal, efek segmental dan efek sentral.
Efek lokal:
Penusukan jarum akan menimbulkan perlukaan mikro pada jaringan. Hal ini
menyebabkan pelepasan hormon jaringan (mediator) dan menimbulkan reaksi
rantai biokimiawi. Efek yang terjadi secara lokal meliputi dilatasi kapiler,
peningkatan permeabilitas kapiler, perubahan lingkungan interstisial, stimulasi
nosiseptor, aktivasi respon imun nonspesifik, dan penarikan leukosit dan sel
Langerhans. Reaksi lokal ini dapat dilihat sebagai kemerahan pada daerah
penusukan.
Tindakan akupuntur akan merangsang serabut saraf dan rangsangan itu akan
diteruskan ke segmen medula spinalis bersangkutan dan ke sel saraf lainnya,
dengan demikian mempengaruhi segmen medula spinalis yang berdekatan.
Efek sentral:
Rangsangan yang sampai pada medula spinalis diteruskan ke susunan saraf pusat
melalui jalur batang otak, substansia grisea, hipotalamus, talamus dan cerebrum.
Dengan demikian maka penusukan akupuntur yang merupakan tindakan invasif
mikro akan dapat menghilangkan gejala nyeri yang ada, mengaktivasi mekanisme
pertahanan tubuh sehingga memulihkan homeostasis.
10
D. PERAN PERAWAT DALAM TERAPI KOMPLEMENTER PADA PASIEN DENGAN
NAPZA
Peran perawat yang dapat dilakukan dari pengetahuan tentang terapi komplementer
diantaranya sebagai konselor, pendidik kesehatan, peneliti, pemberi pelayanan langsung,
koordinator dan sebagai advokat.
Sebagai konselor perawat dapat menjadi tempat bertanya, konsultasi, dan diskusi
apabila klien membutuhkan informasi tentang kondisi kesehatannya sekarang.
Sebagai pendidik perawat dapat memberikan informasi tentang cara pemulihan klien
dari ketergantungan NAPZA khususnya tentang terapi komplementer.
11
6. Perawat sebagai advokat
12