Laporan Pendahuluan DVT

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 9

LAPORAN PENDAHULUAN

DEEP VEIN THROMBOSIS (DVT)


A. Definisi
Trombosis vena dalam dikenal sebagai deep vein thrombosis (DVT).
Trombus pada sistem vena dalam sebenarnya tidak berbahaya, dapat menjadi
berbahaya bahkan dapat menimbulkan kematian jika sebagian trombus terlepas,
kemudian mengikuti aliran darah dan menyumbat arteri di dalam paru (emboli paru).
DVT merupakan kelainan kardiovaskuler ketiga tersering setelah penyakit
koroner arteri dan stroke. Angka kejadian DVT mendekati 1 per 1000 populasi setiap
tahun. Faktor risiko DVT antara lain usia tua, imobilitas lama, trauma,
hiperkoagulabilitas, obesitas, kehamilan, dan obat-obatan (kontrasepsi hormonal,
kortikosteroid).
B. Etiologi
Berdasarkan Virchows Triad, terdapat 3 faktor stimuli terbentuknya
tromboemboli, yaitu kelainan dinding pembuluh darah, perubahan aliran darah, dan
perubahan daya beku darah. Selain faktor stimuli, terdapat faktor protektif yaitu
inhibitor faktor koagulasi yang telah aktif (contoh: antitrombin yang berikatan dengan
heparan sulfat pada pembuluh darah dan protein C yang teraktivasi), eliminasi faktor
koagulasi aktif, dan kompleks polimer fibrin oleh fagosit mononuklear dan hepar,
serta enzim fibrinolisis.
C. Patofisiologi
Trombosis vena biasanya terdiri dari fibrin, sel darah merah, dan beberapa
komponen trombosit dan leukosit. Terdapat tiga hal yang berperan dalam proses
terjadinya trombosis
(Virchows Triad):
a. Stasis vena
Aliran darah vena cenderung lambat, bahkan dapat stasis terutama di daerah
yang mengalami imobilisasi cukup lama. Stasis vena merupakan faktor predisposisi
terjadinya trombosis lokal, karena dapat mengganggu mekanisme pembersihan
aktivitas faktor pembekuan darah sehingga memudahkan terbentuknya trombosis.
b. Kerusakan pembuluh darah
Kerusakan pembuluh darah dapat berperan dalam proses pembentukan
trombosis vena, melalui:
Trauma langsung yang mengakibatkan faktor pembekuan
Aktivasi sel endotel oleh sitokin yang dilepaskan sebagai akibat kerusakan
jaringan dan proses peradangan.

c. Perubahan daya beku darah


Dalam keadaan normal terdapat keseimbangan sistem pembekuan darah dan
sistem fibrinolisis. Kecenderungan trombosis terjadi apabila aktivitas pembekuan
darah meningkat atau aktivitas fibrinolisis menurun. DVT sering terjadi pada kasus
aktivitas pembekuan darah meningkat, seperti pada hiperkoagulasi, defisiensi antitrombin III, defisiensi protein-C, defisiensi protein S, dan kelainan plasminogen.
D. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis DVT tidak selalu jelas dan sama pada setiap orang.
Keluhan utama pasien DVT adalah tungkai bengkak dan nyeri. Trombosis dapat
menjadi berbahaya apabila meluas atau menyebar ke proksimal. DVT umumnya
timbul karena faktor risiko tertentu, tetapi dapat juga timbul tanpa etiologi yang jelas
(idiopathic DVT).
Keluhan dan gejala trombosis vena dalam dapat berupa:
a. Nyeri
Intensitas nyeri tidak tergantung besar dan luas trombosis. Trombosis vena di
daerah betis menimbulkan nyeri di daerah tersebut dan bisa menjalar ke bagian
medial dan anterior paha. Keluhan nyeri sangat bervariasi dan tidak spesifik, bisa
terasa nyeri atau kaku dan intensitasnya mulai dari yang ringan sampai hebat. Nyeri
akan berkurang jika penderita berbaring, terutama jika posisi tungkai ditinggikan.
b. Pembengkakan
Timbulnya edema dapat disebabkan oleh sumbatan vena proksimal dan
peradangan jaringan perivaskuler. Apabila ditimbulkan oleh sumbatan, maka lokasi
bengkak adalah di bawah sumbatan dan tidak nyeri, sedangkan apabila disebabkan
oleh peradangan perivaskuler, bengkak timbul di daerah trombosis dan biasanya
disertai nyeri. Pembengkakan bertambah jika berjalan dan akan berkurang jika
istirahat dengan posisi kaki agak ditinggikan.
c. Perubahan warna kulit
Perubahan warna kulit tidak spesifik dan tidak banyak ditemukan pada
trombosis vena dalam dibandingkan trombosis arteri, ditemukan hanya pada 17% 20% kasus. Kulit bisa berubah pucat dan kadang-kadang berwarna ungu. Perubahan
warna menjadi pucat dan dingin pada perabaan merupakan tanda sumbatan vena
besar bersamaan dengan spasme arteri,disebut flegmasia alba dolens.

E. Pemeriksaan Penunjang
1. Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium mendapatkan peningkatan kadar D-dimer dan
penurunan antitrombin (AT). D-dimer adalah produk degradasi fibrin. Pemeriksaan Ddimer dapat dilakukan dengan ELISA atau latex agglutination assay. D-dimer <0,5

mg/mL dapat menyingkirkan diagnosis DVT. Pemeriksaan ini sensitif tetapi tidak
spesifik, sehingga hasil negatif sangat berguna untuk eksklusi DVT, sedangkan nilai
positif tidak spesifik untuk DVT, sehingga tidak dapat dipakai sebagai tes tunggal
untuk diagnosis DVT.
2. Radiologis
Pemeriksaan radiologis penting untuk mendiagnosis DVT. Beberapa jenis
pemeriksaan radiologis yang dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis DVT,
yaitu:
Venografi
Disebut juga sebagai plebografi, ascending contrast phlebography atau
contrast venography. Prinsip pemeriksaannya adalah menyuntikkan zat kontras
ke dalam sistem vena, akan terlihat gambaran sistem vena di betis, paha,
inguinal sampai ke proksimal vena iliaca. Venografi dapat mengidentifikasi lokasi,
penyebaran, dan tingkat keparahan bekuan darah serta menilai kondisi vena
dalam. Venografi digunakan pada kecurigaan kasus DVT yang gagal diidentifikasi
menggunakan pemeriksaan non-invasif. Venografi adalah pemeriksaan paling
akurat untuk mendiagnosis DVT. Sensitivitas dan spesifisitasnya mendekati
100%, sehingga menjadi gold standard diagnosis DVT. Namun, jarang digunakan
karena invasif, menyakitkan, mahal, paparan radiasi, dan risiko berbagai
komplikasi.
Flestimografi Impedans
Prinsip pemeriksaan ini adalah memantau perubahan volume darah
tungkai. Pemeriksaan ini lebih sensitif untuk trombosis vena femoralis dan iliaca
dibandingkan vena di daerah betis.
3. Ultrasonografi (USG) Doppler
Saat ini USG sering dipakai untuk mendiagnosis DVT karena non-invasif.
USG memiliki tingkat sensitivitas 97% dan spesifisitas 96% pada pasien yang
dicurigai menderita DVT simptomatis dan terletak di daerah proksimal.
4. Magnetic Resonance Venography
Prinsip pemeriksaan ini adalah membandingkan resonansi magnetik antara
daerah dan aliran darah vena lancar dengan yang tersumbat bekuan darah.
Pemeriksaan ini mempunyai sensitivitas dan spesifisitas tinggi, namun belum luas
digunakan. Saat ini sedang dikembangkan pemeriksaan resonansi magnetik untuk
deteksi langsung bekuan darah dalam vena. Pemeriksaan ini tidak menggunakan
kontras, hanya memanfaatkan kandungan methemoglobin bekuan darah.
F. Penatalaksanaan
Hanya dilakukan pada kasus yang diagnosisnya sudah jelas ditegakkan
mengingat obat-obatan dapat menimbulkan efek samping serius.

Tujuan tatalaksana DVT fase akut adalah:


1. Menghentikan bertambahnya trombus
2. Membatasi bengkak tungkai yang progresif
3. Melisis dan membuang bekuan darah serta mencegah disfungsi vena atau
terjadinya sindrom pasca-trombosis
4. Mencegah terjadinya emboli
Non-farmakologis
Penatalaksanaan non-farmakologis terutama ditujukan untuk mengurangi
morbiditas pada serangan akut serta mengurangi insidens post trombosis syndrome
yang biasanya ditandai dengan nyeri, kaku, edema, parestesi, eritema, dan edema.
Untuk mengurangi keluhan dan gejala trombosis vena pasien dianjurkan untuk
istirahat di tempat tidur (bedrest), meninggikan posisi kaki, dan dipasang
compression stocking dengan tekanan kira-kira 40 mmHg.
Meskipun stasis vena dapat disebabkan oleh imobilisasi lama seperti pada
bedrest, tujuan bedrest pada pasien DVT adalah untuk mencegah terjadinya emboli
pulmonal. Prinsipnya sederhana, pergerakan berlebihan tungkai yang mengalami
DVT dapat membuat bekuan (clot) terlepas dan berjalan ke paru. Penggunaan
compression stocking selama kurang lebih 2 tahun dimulai 2-3 minggu ketika
diagnosis DVT ditegakkan dapat menurunkan risiko post trombosis syndrome.
Compression stockings sebaiknya digunakan pada pasien dengan gejala berat dan
mereka yang memiliki fungsi vena yang jelek.
Farmakologis

Heparin i.v. (periksa efektivitas dengan APTT), LMWH, wafarin (periksa


efektivitas dengan PT).

Terapi Trombolitik
Tidak seperti antikoagulan, obat-obat trombolitik menyebabkan lisisnya

trombus secara langsung dengan peningkatan produk plasmin melalui aktivasi


plasminogen. Obat-obat trombolitik yang direkomendasikan FDA meliputi
streptokinase, recombinant tissue plasminogen activator (rt-PA), dan urokinase.
Terapi trombolitik bertujuan memecah bekuan darah yang baru terbentuk dan
mengembalikan patensi vena lebih cepat daripada antikoagulan. Trombolitik
dapat diberikan secara sistemik atau lokal dengan catheter-directed thrombolysis
(CDT).
Terapi trombolitik pada episode akut DVT dapat menurunkan risiko rekurensi
dan postthrombotic syndrome (PTS). Trombolitik sistemik dapat menghancurkan
bekuan secara cepat tapi risiko perdarahan juga tinggi.

Risiko perdarahan pada penggunaan trombolitik lebih besar dibanding


penggunaan heparin. Indikasi trombolisis antara lain trombosis luas dengan risiko
tinggi emboli paru, DVT proksimal, threatened limb viability, ada predisposisi
kelainan anatomi, kondisi fisiologis baik (usia 18-75 tahun), harapan hidup lebih
dari 6 bulan, onset gejala <14 hari, tidak ada kontraindikasi. Kontraindikasi
trombolisis antara lain bleeding diathesis/ trombositopeni, risiko perdarahan
spesifik organ (infark miokard akut, trauma serebrovaskuler, perdarahan
gastrointestinal, pembedahan, trauma), gagal hati atau gagal ginjal, keganasan
(metastasis otak), kehamilan, stroke iskemi dalam 2 bulan, hipertensi berat tidak
terkontrol (SBP>180 mmHg, DBP>110 mmHg).

Trombektomi
Terapi open surgical thrombectomy direkomendasikan untuk DVT yang

memiliki kriteria di antaranya adalah DVT iliofemoral akut, tetapi terdapat


kontraindikasi trombolitik atau trombolitik ataupun mechanical thrombectomy
gagal, lesi tidak dapat diakses oleh kateter, trombus sukar dipecah dan
kontraindikasi antikoagulan.3 Setelah tindakan pembedahan, heparin diberikan
selama 5 hari, pemberian warfarin harus dimulai 1 hari setelah operasi dan
dilanjutkan selama 6 bulan sesudahnya. Untuk hasil maksimal pembedahan
sebaiknya dilakukan dalam 7 hari setelah onset DVT. Pasien phlegmasia cerulea
dolens harus difasiotomi untuk tujuan dekompresi kompartemen dan perbaikan
sirkulasi.
G. Komplikasi
1. Pulmonary Embolism (PE)
Emboli paru adalah penyumbatan arteri pulmonalis atau percabangannya
akibat bekuan darah yang berasal dari tempat lain. Tanda dan gejalanya tidak khas,
seringkali pasien mengeluh sesak napas, nyeri dada saat menarik napas, batuk
sampai hemoptoe, palpitasi, penurunan saturasi oksigen. Kasus berat dapat
mengalami penurunan kesadaran, hipotensi bahkan kematian. Standar baku
penegakan diagnosis adalah dengan angiografi, namun invasif dan membutuhkan
tenaga ahli. Dengan demikian, dikembangkan metode diagnosis klinis, pemeriksaan
D-Dimer dan CT angiografi.
2. Post-thrombotic syndrome
Post-thrombotic syndrome terjadi akibat inkompetensi katup vena yang terjadi
pada saat rekanalisasi lumen vena yang mengalami trombosis, atau karena sisa
trombus dalam lumen vena. Sindrom ini ditandai oleh bengkak dan nyeri berulang
dan progresif, dapat terjadi dalam 1 sampai 2 tahun setelah kejadian trombosis vena
dalam, pada 50% pasien. Pada beberapa pasien dapat terjadi ulserasi (venous

ulcer), biasanya di daerah perimaleolar tungkai. Ulserasi dapat diberi pelembap dan
perawatan luka. Setelah ulkus sembuh pasien harus menggunakan compressible
stocking untuk mencegah berulangnya post thrombotic syndrome. Penggunaan
compressible stocking dapat dilanjutkan selama pasien mendapatkan manfaat tetapi
harus diperiksa berkala.

ASUHAN KEPERAWATAN

A. PENGKAJIAN FOKUS
1. Demograf
DVT

sebagai

salah

satu

manifestasi

dari

Venous

Thromboembolism (VTE) memiliki beberapa faktor risiko antara lain


faktor demograf/lingkungan (usia tua, imobilitas yang lama),
kelainan

patologi

(trauma,

hiperkoagulabilitas

kongenital,

antiphospholipid syndrome, vena varikosa ekstremitas bawah,

obesitas, riwayat tromboemboli vena, keganasan),


tindakan

bedah,

obat-obatan

(kontrasepsi

kehamilan,
hormonal,

kortikosteroid). Meskipun DVT umumnya timbul karena adanya


faktor risiko tertentu, DVT juga dapat timbul tanpa etiologi yang
jelas ( idiopathic DVT).
2. Riwayat Kesehatan
Risiko terjadinya DVT akan meningkat dengan bertambahnya
usia, riwayat keluarga menderita DVT, perokok, dehidrasi, kanker,
vena varikosa, operasi, penyakit jantung dan pernafasan, obesitas
dan kehamilan. Studi tentang riwayat keluarga dan anak kembar
menunjukkan faktor genetika berpengaruh sekitar 60% risiko DVT.
Defsiensi anti thrombin, protein C dan protein S merupakan faktor
risiko yang kuat pada DVT.
3. Data Fokus Terkait Perubahan Pola Fungsi dan Pemeriksaan Fisik
Anamnesis dan pemeriksaan fsik merupakan hal yang sangat
penting dalam pendekatanpasien dengan kecurigaan mengalami
DVT. Keluhan utama DVT biasanya adalah kakibengkak dan nyeri.
Pada

pemeriksaan

fsik

tanda-tanda

klasik

seperti

edema

kakiunilateral, eritema, hangat, nyeri, pembuluh darah superfsial


teraba, dan Homans signpositif tidak selalu ditemukan. Pemeriksaan
laboratorium didapatkan peningkatan D-dimer dan penurunan
Antithrombin (AT). Peningkatan D-dimer merupakan indikatoradanya
trombosis aktif. Pemeriksaan laboratorium lain umumnya tidak
terlalu bermaknauntuk mendiagnosis adanya DVT, tetapi membantu
menentukan faktor resiko.

4. Pemeriksaan Penunjang
a. Venograf atau flebograf
Venograf atauflebograf merupakan pemeriksaan standar untuk
mendiagnosis DVT baik pada betis,paha maupun ileofemoral.
b. Ultrasonograf (USG) Doppler (duplex scanning)

c. USG kompresi
d. Venous Impedance Plethysmography (IPG)
e. Magnetic Resonance Imaging (MRI)
MRI

umumnya

digunakan

untuk

mendiagnosis

DVT

padaperempuan hamil atau DVT pada daerah pelvis, iliaka dan


vena

kava

dimana

Duplexscanning

pada

ekstremitas

bawahmenunjukkan hasil negatif.

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Nyeri berhubungan dengan gangguan aliran balik vena
2. Resiko tinggi terhadap kerusakan integritas kulit berhubungan
dengan edema kronis pergelangan kaki
3. Resiko

tinggi

terhadap

inefektiftas

penatalaksanaan

regimen

terapeutik berhubungan dengan kurang pengetahuan tentang


pencegahan kekambuhan trombosis vena dalam dan tanda-tand
serta gejala-gejala komplikasi.

DAFTAR PUSTAKA
1. JCS Guidelines 2011. Guidelines for the diagnosis, treatment and prevention of
pulmonary thromboembolism and deep vein thrombosis. Circ J. 2011; 75: 1258-81
2. Goldhaber S. Risk factors for venous thromboembolism. J Amer Coll Cardiol. 2010; 56:1-7

3. Bates S, Ginsberg G. Treatment of deep vein thrombosis. N Engl J Med. 2004; 351:26877
4. Hirsh J, Lee AY. How we diagnose and treat deep vein thrombosis. Blood
2002;99(9):3102-10.
5. Buller H, Davidson B, Decousus H, Gallus A, Gent M. Fondaparinux or enoxaparin for the
initial treatment of symptomatic deep vein thrombosis. Ann Intern Med.
2004; 140:867-73.
6. Ginsberg, J. Deep venous thrombosis. Cecil Medicine. 23rd ed. New York: Mc Graw-Hill;
2007.
7. Bates SM, Jaeschke R, Stevens SM, Goodacre S, Wells PS, Stevenson MD, et al
Diagnosis of DVT: Antithrombotic therapy and prevention of thrombosis. 9th ed.
American College of chest physicians. Evidence-based clinical practice guidelines. Chest
2012; 141(2)(Suppl):351418. doi: 10.1378/chest.11-2299.
8. Fauci,AS, Kasper DL, Longo DL, Braunwald E, Hauser SL, Jameson JL, et al. Venous
thrombosis. In: Harrisons principles of internal medicine. 17th ed. Ch.111. USA:
McGraw-Hill; 2008.
9. Breddin HK, Hach-Wunderle V, Nakov R, Kakkar VV; CORTES Investigators. Clivarin:
Assessment of Regression of Thrombosis, Efficacy, and Safety. Effects of a LMH on
thrombus regression and recurrent thrombo-embolism in patient DVT. N. Engl J Med. 2001;
344:626-31.
10. Partsch H, Blattler W. Compression and walking versus bed rest in the treatment of
proximal deep venous thrombosis with low molecular weight heparin. J Vasc Surg. 2000;
32:861-9 .
11. Acang, Nuzirwan. Trombosis vena alam. Maj Kedokt Andalas 2001; 25(2) : 46-55.
12. Dupras D, Bluhm J, Felty C, Hansens C, Johnsons T, Lim K. Venous thromboembolism
diagnosis and treatment. Institute for Clinical System Improvement. 2013; 5 : 1-36.
13. David L, Erica P, James D, Mark B. Diagnosis and management of iliofemoral deep vein
thrombosis: Clinical practice guideline. CMAJ. 2015;23: 1-9

Anda mungkin juga menyukai