Studi Kasus Nausea & Vomiting Dan Inflammatory Bowel Disease

Unduh sebagai doc, pdf, atau txt
Unduh sebagai doc, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 16

STUDI KASUS NAUSEA & VOMITING DAN

INFLAMMATORY BOWEL DISEASE

Oleh:
SUTATIK

142210101037

FITRI VALENTINA SANTOSO

142210101003

LAILI WAFA NOER K.

142210101019

FENI PUSPITA DEWI

142210101053

MILA NUR AZIZAH

142210101073

RAMADHAN RIZKI PUTRANTO

142210101093

YULINTAN MAULIDAR

142210101109

BAGIAN FARMASI KLINIK DAN KOMUNITAS


FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS JEMBER
2016

NAUSEA & VOMITING


Mual adalah rasa tidak nyaman di perut bagian atas. Muntah adalah dorongan dari
dalam perut yang tidak disadari dan pengeluarannya melalui esofagus sampai ke mulut.
Muntah biasanya disertai dengan mual tetapi mual tidak selalu menimbulkan muntah. Salah
satu efek samping yang sering terjadi setelah tindakan anestesi adalah mual dan muntah.
Muntah dapat merupakan usaha mengeluarkan racun dari saluran cerna atas seperti halnya
diare pada saluran cerna bawah 3(neurogastrenterologi). Mual adalah suatu respon yang
berasal dari respon penolakan yang dapat ditimbulkan oleh rasa, cahaya, atau penciuman.
Beberapa orang menjadi mual dan mungkin muntah karena mengendarai perahu,
mobil atau pesawat terbang. Muntah bisa terjadi selama kehamilan, terutama pada mingumingu pertama dan pada pagi hari. Banyak obat-obatan, termasuk obat anti kanker dan pereda
nyeri golongan opiat seperti morfin, dapat menyebabkan mual dan muntah. Penyumbatan
mekanis pada usus akan menyebabkan muntah karena makanan dan cairan berbalik arah dari
sumbatan tersebut. Iritasi atau peradangan lambung, usus atau kandung empedu, juga dapat
menyebabkan muntah. Masalah psikis juga dapat menyebabkan mual dan muntah (muntah
psikogenik). Ada muntah yang disengaja, yaitu pada penderita bulimia untuk menurunkan
berat badannya. Muntah psikogenik juga dapat terjadi karena ancaman atau situasi yang tidak
disukai yang menyebabkan kecemasan. Untuk mengetahui penyebabnya, dokter akan
menanyakan gejala-gejala lain yang menyertainya. Dilakukan pemeriksaan sederhana seperti
pemeriksaan darah dan air kemih lengkap, dan kemudian pemeriksaan darah yang lebih rumit
dan pemeriksan rontgen dan USG dari kandung empedu, pankreas, lambung dan usus.
Mual dan muntah mungkin juga terkait dengan berbagai presentasi klinis. Selain
penyakit GI, kardiovaskular, infeksi, neurologis, atau proses penyakit metabolik. Tujuan
keseluruhan dari terapi antiemetik adalah untuk mencegah atau menghilangkan mual dan
muntah. Hal ini harus dilakukan tanpa merugikan atau dengan efek samping klinis dapat
diterima. Meskipun tujuan ini dapat dicapai dengan mudah pada pasien dengan mual dan
muntah sederhana, pasien dengan masalah yang lebih kompleks membutuhkan bantuan yang
lebih besar. Selain tujuan-tujuan klinis, masalah biaya juga harus dipertimbangkan, terutama
dalam pengelolaan chemotherapy- diinduksi dan mual dan muntah pasca operasi.
Pengobatan mual dan muntah cukup bervariasi tergantung pada situasi medis terkait.
Walaupun sejumlah langkah memiliki potensi efektif yang tersedia, pasien mungkin hanya
menerima obat di beberapa titik dalam perawatan mereka. Untuk cara sederhana pada kasus
mual dan muntah, pasien dapat memilih untuk melakukan atau memilih dari berbagai obat

nonprescription sebelum gejala menjadi buruk atau berhubungan dengan masalah medis yang
lebih serius.
Manajemen nonfarmakologis mual dan muntah dapat mencakup berbagai aspek
seperti makanan, fisik, atau psikologis dll. Mual dan muntah dapat berlangsung dalam jangka
pendek dan jangka panjang. Dalam jangka pendek mual dan muntah biasanya tidak
membahayakan bagi pasien. Tetapi apabila sudah masuk dalam jangka panjang biasanya mual
dan muntah dapat menyebabkan dehidrasi sehingga keseimbangan elektrolit terganggu. Hal
ini dapat membahayakan bagi pasien. Pengeluaran muntah paling banyak adalah melalui
mulut, sehingga asam lambung yang terkandung di dalam muntah dapat merusak enamel gigi.
Efek negatif dari enzim pencernaan juga dapat merusak gusi.
Manifestasi klinis dari penderita yang mengalami mual muntah yaitu: Muntah umumnya
didahului oleh rasa mual (nausea) dan mempunyai tanda seperti; pucat, berkeringat, air liur
berlebihan, tachycardia, dan pernafasan tidak teratur, Rasa tidak nyaman, sakit kepala ,
kompleks: Berat badan menurun, demam, sakit perut , gejala muntah juga tergantung pada
beratnya penyakit pasien mulai dari muntah ringan sampai parah.
Banyak penyebab yang dapat menimbulkan mual, sehingga mual memiliki gejala yang
tidak spesifik. Penyebab mual bisa diakibatkan karena pusing, pingsan, stres, depresi, efek
samping obat (3%) dan awal kehamilan (morning sickness). Penyebab mual yang paling
umum, antara lain : infeksi gastrointestinal (37%) dan keracunan makanan. Beberapa
penyebab mual dapat berpotensi ke arah yang serius, diantaranya adalah : tekanan intrakranial
sekunder untuk trauma kepala atau stroke hemoragik, ketoasidosis diabetes, tumor otak,
masalah bedah, serangan jantung, pankreatitis, obstruksi usus halus, meningitis, radang usus
buntu, kolesistitis, krisis Addisonian, batu empedu (choledocholithiasis) dan hepatitis.
Muntah dapat disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain: alergi makanan , gangguan dari
tumor otak, peningkatan tekanan intrakranial akibat radiasi pengion , pendarahan otak,
migraine, hipoglikemia , hiperglikemi,hiperemesis, reaksi obat (alcohol, opioid, selective
serotonin reuptake inhibitor,obat kemoterapi ),Faktor lain (orang yang merasa mual kemudian
muntah dengan harapan agar lebih baik ,depresi , kelelahan setelah olahraga berat).
Patofisiologi ( Pusat muntah, disisi lateral dari retikular di medula oblongata,
memperantarai refleks muntah. Bagian ini sangat dekat dengan nukleus tractus solitarius dan
area postrema. Chemoreseptor Trigger Zone (CTZ) berlokasi di area postrema. Rangsangan
perifer dan sentral dapat merangsang kedua pusat muntah dan CTZ. Afferent dari faring, GI
tract, mediastinum, ginjal, peritoneum dan genital dapat merangsang pusat muntah. Sentral
dirangsang dari korteks serebral, cortical atas dan pusat batang otak, nucleus tractus solitarius,

CTZ, dan sistem vestibular di telinga dan pusat penglihatan dapat juga merangsang pusat
muntah. Kortikal atas dan sistem limbik dapat menimbulkan mual muntah yang berhubungan
dengan rasa, penglihatan, aroma, memori dan perasaaan takut yang tidak nyaman.Nukleus
traktus solitaries dapat juga menimbulkan mual muntah dengan perangsangan simpatis dan
parasimpatis melalui perangsangan jantung, saluran billiaris, saluran cerna dan saluran
kemih.Sistem vestibular dapat dirangsang melalui pergerakan tiba-tiba yang menyebabkan
gangguan pada vestibular telinga tengah. Reseptor sepeti 5-HT3, dopamin tipe 2 (D2), opioid
dan neurokinin-1 (NK-1) dapat dijumpai di CTZ. Nukleus tractus solitarius mempunyai
konsentrasi yang tinggi pada enkepalin, histaminergik, dan reseptor muskarinik kolinergik.
Reseptor-reseptor ini mengirim pesan ke pusat muntah ketika di rangsang. Sebenarnya
reseptor NK-1 juga dapat ditemukan di pusat muntah. Pusat muntah mengkoordinasi impuls
ke vagus, frenik, dan saraf spinal, pernafasan dan otot- otot perut untuk melakukan refleks
muntah.
Terapi non farmakologi dari mual muntah sepert :istirahat cukup, menghindari
makanan,minuman, atau aroma-aroma yang merangsang mual bahkan muntah, mengurangi
makanan yang tinggi karboihidrat, lemak, pedas, sebaliknya mencoba makanan, minuman,
atau aroma-aroma terapi segar yang masih dapat diterima dan tidak menimbulkan mual
muntah dll .
Terapi farmakologi seperti :antacids, H2-receptor antagonists, antihistamine
anticholinergic drugs, phenothiazines, butyrophenones, corticosteroids, cannabinoids,
substance p/neurokinin 1 receptor antagonists, metoclopramide, selective serotonin reuptake
inhibitors

STUDI KASUS FARMAKOTERAPI NAUSEA & VOMITING

Ny. EY, 25 tahun, BB 65 kg, memeriksakan kehamilan pertamanya ke Puskesmas


terdekat. Kunjungan ke Puskesmas ini adalah ketiga kalinya. Satu minggu lalu pasien
mendapatkan piridoksin untuk mengatasi keluhan mual-muntah di trimester pertama
kehamilannya. Pasien kembali ke dokter untuk menanyakan apakah ada obat yang lebih
manjur untuk mual-muntahnya. Selama beberapa hari terakhir, keluhannya malah semakin
menjadi-jadi. Pemeriksaan dokter menunjukkan adanya tanda-tanda dehidrasi ringan dan
penurunan berat badan pasien.
Diskusi
1.

Mengapa dan bagaimana mual-muntah terjadi pada kehamilan?


Keadaan mual dan muntah saat hamil ini dapat dipicu berbagai hal, namun
mekanisme terjadinya belum sepenuhnya dipastikan. Beberapa kemungkinan yang
bisa menyebabkan seorang ibu hamil mengalami mual dan muntah lebih dari wanita
pada umumnya adalah (Quinlan, 2003):
Perubahan gerakan lambung karena adanya peningkatan hormone progesteron.
Peningkatan hormon progesteron ini memicu disritmia pada lambung sehingga
waktu transit makanan di lambung menjadi lebih lama. Hal ini akan memicu rasa
mual bahkan muntah bagi beberapa wanita hamil.
Peningkatan hormon HCG (Human chorionic gonadotropin), adalah sejenis
hormon yang dihasilkan oleh plasenta pada awal kehamilan. Keberadaan hormon
tersebut di dalam darah memicu reaksi penolakan tubuh, karena dianggap sebagai
benda

asing.

Penolakan

tubuh

inilah

yang

memicu

sensasi

mual

yaitu chemoreceptor trigger zonese hingga menyebabkan mual dan muntah saat
hamil (Jojor, 2011).
Peningkatan hormone estrogen dan penurunan hormone TSH (ThyrotropinStimulating Hormone). Tiga hormon ini dipercaya merupakan beberapa faktor yang
berpengaruh dalam mual dan muntah hebat atau yang lebih dikenal dengan
istilah hyperemesis gravidarum pada kehamilan.
Infeksi Helicobacter pylori. Pada beberapa

penelitian

terkini

diduga

infeksiH.pylori berkaitan dengan kejadian hyperemesis gravidarum pada wanita


hamil.
Umumnya rasa mual akan berhenti pada usia kehamilan 12-14 minggu (awal
trimester kedua). Mual muntah yang berlebihan dapat menyebabkan dehidrasi,
ketidakseimbangan elektrolit, gangguan metabolik dan defisiensi gizi yang dikenal
sebagai hiperemesis gravidarum. Sama halnya dengan pasien pada kasus ini yakni
pasien mengalami mual muntah di trimester pertama dan pada beberapa hari

belakangan pasien mengalami keluhan yang semakin menjadi, sehingga dokter


mendiagnosis pasien tersebut mengalami dehidrasi ringan akibat mual muntah yang
berlebihan tersebut.
2.

Apa sajakah tanda-tanda dehidrasi ringan, sedang, dan berat pada kehamilan?
Tanda dehidrasi pada wanita yang hamil sama dengan tanda dehidrasi pada orang
dewasa .Kekurangan cairan dalam tubuh bisa dibagi menjadi 3 bagian yang umum kita
kenal yaitu:
a. Tanda ehidrasi Ringan.
Dehidrasi ringan Yaitu kehilangan cairan 2-5% dari berat badan semula. tandatanda dehidrasi ini pada kehamilan dapat ditunjukan seperti :
mulut terasa kering dan lengket
kepala terasa sakit,
pusing,
merasa haus
mengantuk
berkurangnya frekuensi buang air kecil (urin pekat )
konstipasi
mata cekung
tekanan turgor sel berkurang, nadinya lemah
b. Tanda dehidrasi Sedang.
Dehidrasi sedang atau menengah dapat diartikan seperti kehilangan cairan 5%
dari berat badan semula. Tanda-tanda dehidrasi sedang yakni :

mengantuk

Pusing

otot lemah

mata kering

haus

produksi urin sedikit dan mulai berwarna kuning tua

silau melihat sinar

suhu tubuh meningkat (demam)


Mengalami takikardi, nadinya sangat lemah, volume kolaps, hipotensi
ortostatik

Lidah keriput
c. Tanda dehidrasi berat.
tanda tanda dehidrasi berat adalah :

pada dehidrasi ini tubuh Kehilangan cairan 8% dari berat badan semula
Buang air kecil hanya sedikit atau tidak sama sekali
Urine berwarna kuning pekat
Mata cekung
Jantung berdegup kencang dan bernapas cepat
Tekanan darah rendah
Merasa sangat haus pada tingkat ekstrem
Mulut sangat kering
Mudah marah dan kebingungan
Kulit sangat kering, bisa juga keriput dan kurang elastis. Ketika ditekan,
permukaan kulit tidak kembali rata seperti semula
3.

Apakah kondisi pasien membahayakan kehamilan pasien? Mengapa?


Iya, kondisi tersebut dapat membahayakan pasien jika tidak segera ditangani dan
berlanjut menjadi dehidrasi berat. Pada kondisi dehidrasi membuat tubuh seorang
wanita hamil mengalami kekurangan nutrisi penting, cairan, dan vitamin yang
dibutuhkan ibu dan bayi agar tetap terhidrasi.
Trimester pertama adalah fase krusial, dimana tubuh seorang wanita hamil
mengalami perubahan. Yaitu mulai mengalami mual, muntah, morning sickness, dan
sebagainya. Hal ini karena tanda-tanda keberadaan janin mulai muncul. Di fase ini,
akan muncul kantung yang berisikan air ketuban, terbentuk di sekitar embrio. Fungsi
air ketuban adalah sebagai pelindung janin selama kehamilan. Kemudian, juga akan
mulai mengalami pembentukan plasenta, yang berbentuk bulat, rata, dan berfungsi
sebagai penyalur nutrisi dari ibu ke bayi serta mengeluarkan kotoran bayi.
Salah satu kekhawatiran terbesar dari kurangnya asupan cairan adalah
berkurangnya cairan ketuban (oligohydramnios) yang menyebabkan janin bersentuhan
dengan dinding rahim, dan mengambang di dalam cairan ketuban. Kondisi ini bisa
menghambat perkembangan janin dan menyebabkan deformitas (kecacatan) anggota
geraknya yaitu pada lengan dan kaki janin. Selain itu, kurangnya air ketuban juga
dapat menyebabkan ibu hamil mengalami keguguran.

4.

Jelaskan bagaimanakah tata laksana terapi yang aman dan efektif untuk Ny. EY
(tujuan terapi, terapi farmakologis dan non farmakologis)?
Tujuan keseluruhan dari terapi anti-emetik adalah untuk mencegah atau
menghilangkan mual dan muntah, seharusnya terapi tersebut tanpa menimbulkan
efek samping tetap serta ditujukan untuk memperhatikan keamanan bagi ibu hamil

dan janinnya Terapi antiemetik diindikasikan untuk pasien dengan gangguan


elektrolit akibat efek sekunder dari muntah, anoreksia berat, memburuknya status
gizi atau kehilangan berat badan.
Terapi farmakologis
Mengonsumsi Vitamin B6 dan B12. Obat-obatan yang digunakan untuk
mengobati mual-muntah ibu hamil sangat terbatas, terutama pada kehamilan
trimester pertama. Jika pemberian piridoksin tidak dapat membantu mengurangi
mual-muntah yang terjadi dan berlanjut ke tahap dehidrasi, maka dapat disarankan
untuk memberikan obat Ondansentron. Ondansentron adalah obat mual dan muntah
yang disarankan untuk dikonsumsi pada kasus mual-muntah yang membahayakan
jika obat lain tidak terbukti efektif. Efek samping Ondansentron antara lain adalah :
sakit kepala, sedasi (mengantuk), konstipasi, dll.
Jika dengan pemberian Ondansentron dehidrasi tidak juga reda, terapi yang
dapat dilakukan yaitu dengan memberikan pasien cairan berupa larutan garam
elektrolit, misalnya oralit. Bila oralit tidak tersedia, dapat dipakai larutan gula dan
garam yang dibuat sendiri. Tapi, bila tidak juga pulih, pasien perlu diberi cairan
melalui infus di rumah sakit
Terapi non farmakologis
Beberapa cara yang bisa dilakukan untuk mengatasi mual saat hamil tanpa
menggunakan obat diantaranya
Konsumsi gizi seimbang.
Makanan yang baik untuk ibu hamil adalah yang tinggi karbohidrat dan
protein. Buah dan sayuran juga harus teratur dikonsumsi. Lebih baik mengatur
makan dalam porsi sedikit namun lebih sering frekuensinya agar perut tidak
kosong dan kadar gula darah stabil.
Bergerak perlahan.
Jangan terburu-buru dalam melakukan gerakan, misalnya dari bangun
pagi, lebih baik duduk dahulu sebelum berdiri.
Hindari hal-hal yang bisa memicu mual
Setiap ibu hamil memiliki hal-hal tertentu yang dapat memicu mual,
seperti parfum atau makanan berbau tajam, sehingga perlu dihindari bau-bau
yang memicu mual sang ibu. Hal hal tersebut sebisa mungkin harus dihindari
oleh ibu hamil.
Konsumsi jahe
Untuk pengobatan tradisional, jahe adalah pilihan yang tepat, bisa berupa
minuman atau dikunyah. Hal ini dapat membantu mengurangi rasa mual.

DAFTAR PUSTAKA
DiPiro, NV. 2007. Nausea and Vomiting. in DiPiro, JT, et al. (Eds.). Pharmacotherapy: A
Pathophysiologic Approach. 7th ed. NY: McGraw-Hill
Einarson, A., Maltepe, C., Navioz, Y., Kennedy, D., Tan, M.P., and Koren, G. 2004. The
Safety of Ondansentron for Nausea and Vomiting of Pregnancy: a Prospective
Comparative Study. International Journal of Obstetrics and Gynaecology.Vol 111: p.
940-943.
Jojor. 2011. Perilaku Primigravida dalam Mengatasi Mual Muntah pada Masa Kehamilan di
Klinik Bersalin Citra II Medan. Skripsi. Keperawatan Universitas Sumatera Utara.
Niebyl, J.R. 2010. Nausea and Vomiting in Pregnancy. The New England Journal of
Medicine. Vol. 363: p.1544-1550.

INFLAMMATORY BOWEL DISEASE


Inflammatory bowel disease (IBD) merupakan penyakit idiopatik, yang diperkirakan
melibatkan reaksi imun dalam tubuh terhadap saluran pencernaan. Dua tipe mayor daripada
penyakit ini adalah Ulcerative Colitis (UC) dan Crohn Disease (CD). Seperti namanya, UC
terbatas pada kolon, sedangkan CD mencakup semua segmen daripada traktus gastrointestinal
dari mulut sampai anus. Crohn disease (CD) dan ulcerative colitis (UC) adalah gangguan
inflamasi kronis pada saluran pencernaan. Secara kolektif, mereka disebut inflammatory
bowel disease (IBD) dan diperkirakan bahwa 1,5 juta orang Amerika menderita UC dan CD.
Karakteristik respon inflamasinya berbeda, pada CD biasanya menyebabkan inflamasi
transmural dan kadangkadang terkait dengan granuloma, sedangkan di UC biasanya inflamasi
terbatas pada mukosa dan submukosa. UC dan CD memiliki angka kekambuhan dan remisi
yang signifikan, dan dapat mengurangi kualitas hidup selama eksarsebasi penyakit. Ini akan
berdampak pada kesehatan psikologis. IBD aktif mengalami lebih besar tingkat distres dan

kurangnya pengontrolan diri dibandingkan dengan populasi normal dan pasien dengan IBD
inaktif.
Ulcerative Colitis . Pada UC, inflamasi dimulai dari rektum dan meluas sampai kolon
bagian proksimal, dengan cepat melibatkan hampir seluruh bagian dari usus besar. Rektum
selalu terkena pada UC, dan tidak ada skip area (area normal pada usus yang diselangselingi oleh area yang terkena penyakit), dimana skip area ini didapatkan pada CD. 25% dari
kasus UC perluasannya hanya sampai rektum saja dan sisanya, biasanya menyebar ke
proksimal dan sekitarnya. Pancolitis terjadi pada 10% dari kasus-kasus yang ada. Usus halus
tidak pernah terlibat kecuali jika bagian akhir distal daripada ileum mengalami inflamasi
superfisial, maka dapat disebut dengan backwash ileitis. Walaupun keterlibatan total dari
kolon lebih sedikit, penyakit ini menyerang serentak dan berkesinambungan. Jika UC menjadi
kronik, maka kolon akan menjadi kaku (rigid), memiliki sedikit haustral marking, yang
menyebabkan gambaran pipa yang lebam/hitam pada barium enema.
Crohn Disease. CD dapat melibatkan bagian manapun daripada saluran pencernaan,
mulai dari mulut sampai anus, dan menyebabkan tiga pola penyakit yaitu penyakit inflamasi,
striktur, dan fistula. Penyakit ini melibatkan segmen-segmen oleh karena proses inflamasi
granuloma nonspesifik. Tanda patologi yang paling penting dari CD adalah transmural,
melibatkan seluruh lapisan daripada usus, tidak hanya mukosa dan submukosa, dimana jika
mukosa dan submukosa saja merupakan cirri daripada UC. Selain itu, CD tidak
berkesinambungan, dan memiliki skip area antara satu atau lebih dari area yang terkena
penyakit. Jika penyakit ini berlanjut, mukosa akan tampak seperti batu bulat (cobblestone)
oleh karena ulserasi yang dalam dan longitudinal pada mukosa yang normal. Tiga pola mayor
dari keterlibatan terhadap CD adalah penyakit pada ileum dan ceccum (40%), penyakit
terbatas pada usus halus (30%) dan terbatas pada kolon (25%). Rectal sparing khas terjadi
pada CD, tetapi tidak selalu terjadi. Namun, komplikasi anorektal seperti fistula dan abses
sering terjadi. Walaupun jarang terjadi, CD dapat melibatkan bagian saluran pencernaan yang
lebih proksimal, seperti mulut, lidah, esofagus, lambung dan duodenum.
Patofisiologi . Jalur akhir umum dari patofisiologi IBD adalah inflamasi pada mukosa
traktus intestinal menyebabkan ulserasi, edema, perdarahan, kemudian hilangnya air dan
elektrolit. Banyak mediator inflamasi yang telah diidentifikasi pada IBD, dimana mediatormediator ini memiliki peranan penting pada patologi dan karakteristik klinik penyakit ini.
Sitokin yang dikeluarkan oleh makrofag karena respon dari berbagai rangsangan antigenik,
berikatan dengan reseptor-reseptor yang berbeda, kemudian menghasilkan efekefek autokrin,
parakrin, dan endokrin. Sitokin juga akan mendiferensiasikan limfosit menjadi berbagai tipe

sel T. Sel T helper tipe 1 (TH-1) berhubungan dengan Chrons Disease (CD), sedangkan TH-2
berhubungan dengan Ulcerative Colitis (UC). Respon imun inilah yang akan merusak mukosa
intestinal dan menyebab proses inflamasi yang kronis.
Faktor-faktor pencetus yang memungkinkan terjadinya aktivasi respon imun pada IBD
adalah organisme patogenik (yang belum dapat diidentifikasi), respon imun terhadap antigen
intraluminal (contohnya protein dari susu sapi), atau suatu proses autoimun dimana ada
respon imun yang appropriate terhadap antigen intraluminal, adapula respon yang
inappropriate pada antigen yang mirip yang terjadi pada sel epitel intestinal (contohnya
perubahan fungsi barrier). Menurut studi prospektif E3N, ditemukan bahwa makan makanan
dengan protein hewani yang tinggi (daging atau ikan) berhubungan dengan meningkatnya
resiko terjadi IBD. Penderita IBD mungkin memiliki predisposisi genetik terhadap penyakit
ini. Beberapa penelitian menemukan kromosom 16 (gen IBD1), yang akhirnya menyebabkan
teridentifikasinya gen NOD2 (yang saat ini disebut CARD15) merupakan gen pertama yang
secara jelas beruhubugan dengan IBD (merupakan gen yang dicurigai berhubungan terhadap
CD). Ada juga penelitian yang menemukan kromosom 5 (5q31) dan 6 (6p21 dan 19p) sebagai
gen yang dicurigai ada hubungannya dengan IBD. Kesimpulannya, dari semua gen-gen yang
berpotensial ini, mereka dikatakan bukan penyebab (kausatif) daripada IBD, namun gen-gen
ini mendukung untuk terjadinya IBD (permisif). Resiko berkembangnya UC meningkat pada
orang-orang yang tidak merokok, namun bukan berarti dengan merokok dapat menimbulkan
perbaikan gejala terhadap penyakit UC. Sebaliknya, untuk CD insiden lebih tinggi ditemukan
pada perokok daripada populasi umum, dan pasien-pasien dengan CD yang tetap melanjutkan
merokok akan lebih sedikit responnya terhadap terapi.
Manifestasi IBD umumnya tergantung pada area mana yang terlibat di saluran
pencernaan. Pasien-pasien dengan IBD dapat pula mengalami Irritable Bowel Syndrome
(IBS), dimana akan terjadi kram perut, kebiasaan buang air besar yang tidak teratur, dan
keluarnya mukus tanpa darah atau pus. Gejala sistemik yang dapat terjadi adalah demam,
berkeringat, merasa lemas, dan nyeri sendi. Demam ringan merupakan tanda pertama yang
harus diwaspadai, kemudian pasien dapat merasa kelelahan yang berhubungan dengan nyeri,
inflamasi, dan anemia. Rekurensi dapat terjadi oleh karena faktor stres emosional, infeksi atau
berbagai penyakit akut lainnya, kehamilan, penyimpangan pola makan, penggunaan cathartic
atau antibiotik, ataupun penghentian penggunaan obat-obatan antiinflamasi atau steroid. Pada
anak-anak dapat terjadi keterlambatan tumbuh dan maturasi seksualnya tertunda atau gagal.
Pada 10-20% kasus terdapat manifestasi ekstraintestinal seperti arthritis, uveitis, dan penyakit
liver. Nyeri tekan pada abdomen dapat terjadi sebagai tanda dari peritonitis lokal. Pasien

dengan megakolon toksik tampak terlihat sepsis, yang ditandai dengan demam tinggi, letargi,
menggigil, takikardi, meningkatnya nyeri pada abdomen, dan distensi abdomen.
Kehilangan berat badan lebih sering terjadi pada CD daripada UC karena terjadinya
malabsorpsi yang berhubungan dengan penyakit pada usus halus. Pasien bisa tidak mau
makan karena ingin mengurangi gejala yang terjadi. Biasanya, diagnosis dapat ditegakkan
hanya setelah beberapa tahun mengalami nyeri perut berulang, demam, dan diare. Berak
berdarah, terkadang dengan tenesmus, khas terjadi pada UC, namun pada CD kadang-kadang
juga dapat terjadi. Sebagian besar pasien dengan CD dapat mengalami penyakit perianal
seperti fistula dan abses, kadang-kadang dapat juga mengalami nyeri perut kanan bawah akut
dan demam, mirip apendisitis dan obstruksi intestinal. Tidak jarang pasien didiagnosa dengan
IBS sebelum terdiagnosa IBD. Pasien dengan CD mungkin dapat ditemukan massa pada
kuadran perut kanan bawah. Komplikasi (seperti fisura atau fistula perianal, abses, dan
prolaps rektum) dapat ditemukan sampai pada 90% pasien dengan CD, dan tanda-tanda yang
biasa terjadi adalah kehilangan darah yang tidak biasanya, demam ringan, kehilangan berat
badan, dan anemia Pemeriksaan rektum sering ditemukan berak darah pada pemeriksaan
makroskop atau hemoccult. Pemeriksaan fisik juga sebaiknya dilakukan untuk mencari
manifestasi ekstraintestinal seperti iritis, episcleritis, arthritis, dan keterlibatan dermatologi.
Terapi non farmakologi dapat dilakukan dengan : Support Nutrisi, dilakukan dengan
parenteral nutrisi. Tujuannya adalah untuk mengistirahatkan usus serta meningkatkan intake
nutrisi, karena pada pasien IBD yang parah, kondisi pasien lemas sebab makanan yang masuk
tidak bisa tercerna dan terabsorbsi dengan baik sehingga support nutrisi sangat dibutuhkan.
Pembedahan, tindakan ini dirasa perlu pada pasien ulcerative colitis, karena, jika
sudah tidak dapat tertangani oleh pengobatan farmakologi, pemotongan usus yang mengalami
inflamasi adalah jalan yang terbaik. Namun, hal ini tidak efektif pada pasien chron disease
karena pada penyakit chron disease, inflamasi sudah mencapai lapisan bagian bawah sehingga
abses dapat mengenai usus sebelahnya, dan jika usus tersebut dipotong, maka akan terus
muncul kembali di berbagai bagian yang berbeda.
Terapi farmakologi merupakan jalur utama pengobatan IBD. Terapi farmakologi untuk
IBD adalah dengan beberapa golongan obat berikut, seperti anti inflamasi (bukan NSAID,
golongan

aminosalisilat,

Sulfasalazin),

kortikosteroid

(Prednisone,

Budesonide

immunosupresan, antibiotic (apabila ditemukan adanya bakteri) dan antibody anti- .

STUDI KASUS FARMAKOTERAPI IBD


Tn. PM, usia 37 tahun, BB 58 kg, datang ke dokter dengan keluhan sering mengalami
perdarahan di daerah anus, disertai demam, rasa lemas dan Tn PM mengalami penurunan
berat badan sebanyak 5 kg dalam waktu 3 bulan. Dari pemeriksaan, didapatkan terdapat
benjolan-benjolan di colon besar Tn. PM. Sebelumnya Ayah Tn. PM juga pernah mengalami
hal serupa dan meninggal setelah 3 tahun kemudian. Hasil pemeriksaan lainnya Hb pasien 9,8
mg/dL. Dari hasil pemeriksaan tersebut, dokter mendiagnosis bahwa Tn. PM menderita
penyakit inflamasi usus atau IBD. Dokter meresepkan Sulfasalazin dan metilprednisolon.
Diskusi
1. Jelaskan bagaimana patofisiologi dari terjadinya IBD yang terjadi pada Tn. PM !
Berdasarkan keluhan pada pasien yang meliputi, pendarahan daerah anus,
demam, lemas, penurunan berat badan dan adanya benjolan di colon besar merupakan
cirri-ciri yang terjadi pada IBD kelompok Chrones disease.
Mulanya berasal dari daerah enteritis regional. Enteritis regional adalah
inflamasi kronis dan subakut yang meluas ke seluruh lapisan dinding dan mukosa
usus, ini disebut juga transmural. Pembentukan fistula dan fisura, serta abses terjadi
sesuai luasnya inflamasi ke dalam peritoneum. Penyakit Crohn dapat menyebabkan
lesi di kulit, tulang, otot rangka, jaringan sinovial dan lain-lain hal tersebut
menjelaskan bahwa penyakit ini adalah penyakit sistemik. Komplikasinya diluar usus,
termasuk spondilitis ankilosa, eritema nodosum, mioperikarditis, perikolangitis,

kolangitis sklerosa, dan anemia hemolitik autoimun. Komplikasi-komplikasi ini timbul


setelah terjadi peradangan usus dan cenderung menghilang dengan sembuhnya
penyakit atau dilakukan reseksi dari usus yang terganggu.
Lesi (ulkus) tidak mengalami kontak terus menerus antara satu dengan yang
lain dan dipisahkan oleh jaringan normal. Granuloma terjadi pada setengah kasus.
Pada kasus lanjut mukosa mempunyai penampilan coblestoneatau benjolan yang
khas. Keadaan tersebut mengakibatkan usus halus menebal dan menjadi fibrotik, serta
lumen usus menyempit
2. Jelaskan peranan genetik terhadap terjadinya penyakit IBD tersebut !
Faktor genetik berpengaruh pada IBD. Gen CARD15 pada kromosom 16, yang
sebelumnya disebut sebagai NOD2, diperkirakan untuk memperhitungkan 20% dari
kecenderungan genetik untuk penyakit IBD. NOD2 atau CARD 15 merupakan gen
polimorfik yang berperan pada system imun bawaan. Antigen leukosit manusia
(HLA) DR2 telah dikaitkan dengan kolitis ulserativa, sedangkan HLA-DR3 telah
dikaitkan dengan kolitis ulserativa di eropa.Selain gen resistensi multidrug (ABCB /
MDR 1) pada kromosom 7 adalah gen kerentanan potensial untuk colitis ulseratif.
Beberapa gen lainnya telah dikaitkan dengan IBD, termasuk DLG5, OCTN1, dan
CARD4; Namun, sifat produk gen ini belum ditetapkan. jadi gen ini berhubungan
dengan IBD dan merupakan faktor pendukung penyebab IBD.
3. Jelaskan bagaimana rekomendasi dosis terapi obat yang diberikan dokter pada Tn. PM
Sulfasalazin adalah obat golongan aminosalisilat. Dosis yang diberikan obat ini
yaitu 4-6g/hari . Obat ini tidak digunakan untuk menyembuhkan, tetapi digunakan
untuk mengurangi gejala seperti perdarahan di anus, demam, rasa lemas dll
Metilprednisolon merupakan obat kortikosteroid yang digunakan untuk
memodulasi sistem imun dan menghambat produksi sitokin dan mediator-mediator
inflamasi. Dosis yang diberikan yaitu 40-60mg/hari.
4. Adakah rekomendasi obat lain yang perlu diberikan pada pasien?
Jika kondisi Tn.PM mengalami kolitis yang parah, maka obat akan diberikan
secara parenteral. Sulfasalazin atau derivat mesalamin tidak dapat digunakan pada
terapi ini. Golongan steroid merupakan terapi yang cocok pada kondisi ini tetapi
memungkinkan terjadinya kolektomi. Sehingga setelah kolektomi, penggunaan steroid

selama 3-4 minggu harus ditarik untuk menghindari hidrolisis adrenal. Jika pasien
tidak responsif terhadap kortikosteroid maka akan diberikan cyclosporin secara
intravena sebanyak 4mg/kg perhari.
Untuk terapi maintenance digunakan sulfasalazin dan derivat mesalamin untuk
mempertahankan

remisi.

Sulfasalazin

lebih

efektif

mempertahankan

remisi

dibandingkan osalazin. Untuk pasien proktitis atau distal disease mesalamin enema
atau supositoria merupakan first line agent.
Pada terapi maintenace penggunaan steroid tidak dapat mempertahankan
remisi ulcerative colitis. Untuk pasien yang sudah ketergantungan dengan steroid
maka penggunaan azathioprine efektif mencegah kekambuhan ulcerative colitis dalam
waktu 4 tahun lebih. Pasien yang telah menggunakan infliximab maka pada terapi
pemeliharaan dengan menggunakan dosis sebanyak 5mg/kg selama 8 minggu.
DAFTAR PUSTAKA
Day R, Ilyas M, Daszak P, Talbot I, Forbes A. Expression of syndecan-1 in infl ammatory
bowel disease and a possible mechanism of heparin therapy. Dig Dis Sci.
1999;44:2508-15.
DiPiro, NV. 2007. Inflammatory Bowel Disease. in DiPiro, JT, et al. (Eds.). Pharmacotherapy:
A Pathophysiologic Approach. 7th ed. NY: McGraw-Hill
Hanauer SB, Sandborn W. Management of Crohns disease in Adults. Am J Gastroenterol
2001; 96:635-643.

Anda mungkin juga menyukai