Referat Syok Anafilaktik
Referat Syok Anafilaktik
Referat Syok Anafilaktik
BAB I
PENDAHULUAN
Secara umum, anafilaksis didefinisikan sebagai reaksi hipersensitivitas
sistemik yang serius dan mengancam jiwa. Anafilaksis mempunyai onset yang cepat
dan memberikan gejala yang mengancam jiwa pada jalan nafas (edema faring atau
laring), sistem pernafasan (bronkospasme dengan takipneu) dan atau pada sirkulasi
(hipotensi dan takikardi). Pada beberapa kasus terdapat juga manifestasi pada kulit
dan mukosa (Simons, 2011).
Gejala anafilaksis timbul segera setelah pasien terpajan oleh alergen atau
faktor pencetus. Gejala ini dapat timbul melalui reaksi alergen dan antibodi disebut
reaksi anafilaktik ataupun tidak melalui reaksi imunologik dinamakan reaksi
anafilaktoid. Reaksi alergi karena makanan, racun serangga, obat-obatan dan lateks
biasanya diperantarai oleh Imunoglobulin-E (Ig E). Beberapa obat-obatan juga bisa
menimbulkan gejala tanpa diperantarai realsi imunologik. Selain itu anafilaksis dapat
dikategorikan menjadi idiopatik apabila terdapat gejala klinis yang khas, namun
penyebabnya tidak diketahui. Akan tetapi karena baik gejala yang timbul maupun
pengobatannya tidak dapat dibedakan, maka berbagai macam reaksi tersebut disebut
sebagai anfilaksis (Aru, 2009).
Angka kejadian anafilaksis di seluruh dunia tidak sepenuhnya diketahui, hal
ini dikarenakan under-recognition dari pasien dan paramedis serta underdiagnosis dari tenaga medis profesional. Menurut The American College of Allergy,
Asthma, and Immunology Epidemiology of Anaphylaxis, insidensi terjadinya
anafilaksis di dunia berkisar antara 30 950 kasus per 100.000 orang tiap tahunnya.
Di tingkat pelayanan dasar, anafilaksis sering diartikan sebagai penyebab kematian
yang tidak diketahui. Kematian oleh karena anafilaksis sering tidak terdiagnosis
dikarenakan tidak adanya riwayat yang detail dari saksi mata, investigasi kematian
yang kurang lengkap, temuan patologi pada pemeriksaan post-mortem yang sedikit
dan kurangnya pemeriksaan laboratorium yang spesifik (Simons, 2011).
Anafilaksis merupakan reaksi sistemik sehingga melibatkan banyak organ
yang gejalanya timbul serentak atau hampir serentak. Gejala yang timbul dapat ringan
seperti pruritus atau urtikaria sampai pada gagal nafas atau syok anafilaktik. Salah
satu manifestasi klinis dari anafilaksis yang potensial mematikan adalah timbulnya
syok anafilaktik berupa hipotensi yang nyata dan kolaps sirkulasi darah sehingga
perfusi dan oksigenasi ke jaringan tidak adekuat. Anafilaksis memang jarang terjadi,
namun bila terjadi umumnya tiba-tiba, tidak terduga, dan potensial berbahaya. Oleh
karena itu kewaspadaan dan kesiapan menghadapi terjadinya anafilaksis sangat
diperlukan. Referat ini akan membahas beberapa definisi yang berkaitan dengan
anafilaksis, syok anafilaktik, diagnosis, terapi dan pencegahan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Anafilaksis adalah reaksi hipersensitivitas yang berat, mengancam jiwa dan
menimbulkan gejala sistemik/generalisata. Reaksi ini ditandai dengan gangguan
pada airway, breathing dan circulation yang mengancam jiwa dan berkembang
dengan cepat. Syok Anafilaktik merupakan salah satu manifestasi klinik dari
anafilaksis yang ditandai dengan adanya hipotensi yang nyata dan kolaps sirkulasi
darah sehingga perfusi dan oksigenasi ke jaringan tidak adekuat (Aru, 2009; Simons,
2011).
2.2 Etiologi
Anafilaksis dapat dicetuskan oleh berbagai hal. Makanan merupakan pencetus
anafilaksis yang paling sering terjadi pada anak-anak, remaja dan dewasa muda.
Sedangkan obat-obatan dan gigitan serangga merupakan pencetus terjadinya
anafilaksis pada dewasa sedang dan orang tua. Anafilaksis idiopatik juga sering
terjadi pada dewaasa muda dan orang dewasa (Simons, 2011).
Beberapa pencetus anafilaksis yang spesifik bersifat universal di dunia,
namun ada beberapa pencetus yang dapat menyebabkan anafilaksis di daerah
tertentu. Pencetus yang berupa makanan dapat berbeda-beda tergantung dari
kebiasaan makan setempat, pajanan makanan dan bagaiman mempersiapkan
makanan tersebut. Di Amerika Utara dan beberapa negara di Eropa dan Asia,
makanan yang dapat mencetuskan anafilaksis adalah susu sapi, telur ayam, kacang,
kerang dan ikan (Simons, 2011).
Obat-obatan seperti antimikroba, antivirus dan antijamur merupakan pencetus
umum terjadinya anafilaksis hampir di seluruh dunia namun bervariasi pula di
beberapa negara. Sebagai contoh, penisilin yang diberikan secara intramuskular
merupakan pencetus anafilaksis di negara yang menggunakannya untuk demam
rheuma. Obat anti tuberkulosis (OAT) juga sering menjadi penyebab anafilaksis di
4
Pencetus anafilaksis lain yang juga sering terjadi adalah pemakaian media
kontras untuk pemeriksaan radiologik. Media kontras menyebabkan reaksi yang
mengancam nyawa pada 0,1% dan reaksi yang fatal terjadi antara 1 : 10.000 dan 1 :
50.000 prosedur intravena. Kasus berkurang setelah dipakainya media kontras yang
hiperosmolar. Selain itu imunoterapi dan uji kulit (terutama uji intradermal) juga
dapat berpotensial menyebabkan anafilaksis. Lateks (Natural Rubber Latex) yang
terdapat pada peralatan medis seperti masker, endotracheal tube, sarung tangan juga
dapat mencetuskan reaksi anafilaksis (Aru, 2009).
Anafilaksis dikategorikan idiopatik ketika tidak ada pencetus yang dapat
diidentifikasi meskipun telah dilakukan uji alergen pada kulit dan pengukuran kadar
serum IgE (Brown, 2006).
2.3 Patofisiologi
Anafilaksis disebabkan oleh reaksi hipersensitivitas Gell dan Coombs tipe 1.
Reaksi tipe 1 disebut juga reaksi cepat atau reaksi alergi, timbul segera setelah tubuh
terpajan dengan alergen. Pajanan dengan antigen akan mengaktifkan sel Th2 yang
merangsang sel B berkembang menjadi sel plasma yang memproduksi
Imunoglobulin E (IgE) alergen spesifik. IgE mempunyai kecenderungan yang kuat
untuk melekat pada sel Mast dan basofil yang memiliki reseptor untuk fraksi Fc dari
IgE (Fce-R1). Pada pajanan yang kedua dengan alergen akan menimbulkan ikatan
silang (cross-linking) antara antigen dan IgE spesifik yang diikat oleh sel Mast.
Ikatan ini akan menimbulkan influks ion kalsium ke dalam sel dan menyebabkan
penurunan kadar adenosin monofosfat siklik (cAMP) intraselular yang menimbulkan
degranulasi sel Mast. Hal ini akan menyebabkan pengeluaran mediator farmakologis
aktif (amin vasoaktif) dari sel Mast dan Basofil yakni histamin, heparin, leukotrin,
ECF (Eosinophil Cemotacting Factor) dan berbagai sitokin seperti interleukin dan
TNF- (Baratawidjaja, 2009).
b. Laring
c. Lidah : edema
d. Bronkus : batuk, sesak, mengi, spasme,takipneu
e. Sianosis
f. Respiration arrest
3) Sistem Kardiovaskuler
a. Chest pain
b. Pingsan, sinkop, palpitasi, takikardi, hipotensi sampai syok, aritmia
c. Kelainan EKG : gelombang T datar, terbalik, atau tanda-tanda infark
miokard
4) Sistem Gastro Intestinal
Disfagia, mual muntah, kolik, diare yang kadang-kadang disertai darah,
peristaltik usus meninggi
5) Sistem Integumen, Mata, SSP
Integumen : Urtikaria, Angiodema di bibir, muka atau ekstremitas
Mata : Gatal, lakrimasi, edema periorbital, eritema pada konjungtiva
SSP : kejang, gelisah (Aru, 2006).
2.5 Diagnosa
Diagnosis Anafilaksis terutama didasarkan pada riwayat terjadinya alergi,
termasuk semua pajanan dan kejadian selama terjadinya episode anafilaksis, seperti
olahraga, obat-obatan yang diminum, riwayat minum etanol, infeksi akut seperti
common cold, dan lain-lain. Kunci diagnosis dari anafilaksis adalah adanya gejala
dan tanda spesifik yang mendadak dalam beberapa menit atau jam setelah terpajan
suatu alergen dan diikuti dengan gejala dan tanda yang semakin meningkat beberapa
jam kemudian (Simons, 2011).
10
mukosa
atau
keduanya
(berupa
urtikaria,
gatal,
kemerahan,
11
Tekanan darah
< 70 mmHg
< (70 mmHg + [2 x umur]
< 90 mmHg
Usia
Heart rate / menit
1 2 tahun
80 140
3 tahun
80 120
> 3 tahun
70 115
Gejala klinis anafilaksis pada bayi cenderung berupa gangguan respirasi
daripada hipotensi ataupun syok sirkulasi, namun apabila terjadi syok manifestasi
klinisnya lebih berupa takikardi daripada hipotensi (Soar, 2013).
Meskipun diagnosis anafilaksis tidak sulit, namun mencari alergen penyebab
maupun pencetusnya tidak mudah dan bahkan kadang-kadang tidak ditemukan.
Dalam hal ini anamnesis yang teliti merupakan cara paling penting. Dengan demikian
diagnosis anafilaksis terutama berdasarkan reaksi anafilaksis yang timbul segera
setelah terpajan oleh alergen atau faktor pencetus serangan dan menimbulkan gejala
klinik pada organ-organ sasaran. Pemeriksaan penunjang seperti uji kulit hanya
bermanfaat bila mekanisme anafilakis tersebut melalui IgE dan obat-obatan yang
dapat diuji pun terbatas pada penisislin. Hormon dan enzim sangat jarang dilakukan
karena prosedur tersebut juga menimbulkan reaksi anafilaksis (NICE, 2011; Aru,
2009).
Meskipun anafilaksis biasanya muncul dalam waktu beberapa menit setelah
terpajan oleh alergen, tapi adakalanya muncul beberapa jam kemudian. Observasi
yang dilakukan oleh Stark dkk menyatakan bahwa bentuk anafilaksis bisa unifasik
seperti yang biasa kita temukan, bifasik yang gejalanya muncul 1 8 jam kemudian
dan protrated yaitu satu bentuk anafilaksis berat yang dapat berlangsung 5 32 jam
meskipun dengan pengobatan yang intensif (Aru, 2009).
Diagnosis Banding
2.6 Diagnosis Banding
12
2.7 Tatalaksana
Anafilaksis merupakan salah satu kegawatdaruratan di bidang medis.
Pendekatan yang sistematis dalam menangani anafilaksis sangatlah penting.
Penanggulangan syok dimulai dengan tindakan umum yang bertujuan untuk
14
lakukan CPR
8. Jika pasien sudah stabil, lakukan monitoring tekanan darah, denyut nadi,
respiratory rate dan oksigenasi pasien.
15
16
Hal penting yang harus segera diperhatikan dalam memberikan terapi pada
pasien anafilaksis yaitu mengusahakan 1). Sistem pernafasan yang lancar, sehingga
oksigenasi berjalan baik; 2). Sistem kardiovaskular yang juga harus berfungsi baik
sehingga perfusi jaringan menjadi adekuat. Prioritas pengobatan ditujukan pada
kedua sistem ini berdasarkan kenyataan bahwa kematian pada anafilaksis terutama
disebabkan oleh tersumbatnya saluran napas atau syok anafilaksis (Aru, 2006).
Sistem Pernafasan
1. Penyebab tersering kematian pada anafilaksis adalah tersumbatnya saluran nafas
baik karena edema laring atau spasme bronkus. Pada beberapa kasus, suntikan
epinefrin sudah memadai untuk mengatasi keadaan tersebut. Tetapi pada edema
laring kadang-kadng diperlukan tindakan trakeostomi. Tindakan intubasi trakea
pada pasien dengan edema laring tidak saja sulit tapi sering juga menambah
beratnya obstruksi karena pipa endotrakeal akan mengiritasi dinding laring.
2. Pemberian oksigen 4 6 lpm sangat penting baik pada gangguan pernafasan
maupun gangguan kardiovaskuler.
3. Bronkodilator diperlukan jika terjadi obstruksi saluran nafas bagian bawah seperti
pada gejala asma atau status asmatikus. Dalam hal ini dapat diberikan larutan
salbutamol atau agonis 2 lainnya sebanyak 0,25 0,5cc dalam 2 4 ml NaCl
0,9% diberikan melalui nebulisasi atau aminofilin 5 6 mg/kgBB yang
diencerkan dalam 20cc Dextrosa 5% atau NaCl 0,9% dan diberikan perlahanlahan selama 15 menit
Sistem Kardiovaskuler
1. Gejala hipotensi atau syok yang tidak berhasil diatasi dengan pemberian epinefrin
menandakan bahwa telah terjadi kekurangan cairan intravaskuler. Pasien
membutuhkan cairan intravena secara cepat baik dengan cairan kristaloid (NaCl
0,9%) maupun koloid (plasma, dextran). Dianjurkan untuk memberikan cairan
koloid 0,5 1 liter dan sisanya dalam bentuk cairan kristaloid. Cairan koloid ini
tidak hanya menggantikan cairan intravaskuler yang merembes ke luar pembuluh
17
darah atau terkumpul di jaringan splangnikus, tetapi juga dapat menarik cairan
ekstravaskuler untuk kembali ke intravaskuler.
2. Oksigen mutlak harus diberikan di samping pemantauan sistem kardiovaskuler
dan pemberian natrium bikarbonat bila terjadi asidosis metabolik.
3. Kadang-kadang diperlukan CVP (Central Venous Pressure). Pemasangan CVP
selain untuk memantau kebutuhan cairan dan menghindari pemberian cairan, juga
dapat dipakai untuk pemberian obat yang bila bocor dapat merangsang jaringan
sekitarnya.
4. Bila tekanan darah masih belum teratasi dengan pemberian cairan, dapat
diberikan vasopresor melalui cairan infus intravena. Dengan melarutkan 1 ml
epinefrin 1 : 1000 dalam 250 ml dextrose (konsentrasi 4mg/ml) diberikan dengan
infus 1 4 mg/menit atau 15 60 mikrodrip/ menit (dengan infus mikrodrip), bila
diperlukan dosis dapat dinaikkan sampai maksimum 10mg/ml.
Bila sarana pembuluh darah tidak tersedia, American Heart Association
menganjurkan pemberian epinefrin 1 : 10.000 diberikan melalui jarum panjang atau
kateter melalui pipa endotrakeal (dosis anak 5ml epinefrin 1 : 10.000). Tindakan ini
kemudian diikuti pernafasan hiperventilasi untuk menjamin absorpsi obat yang tepat
(Aru, 2006).
Pasien yang sedang dalam pengobatan -blocker gejalanya sukar diatasi dengan
epinefrin atau bahkan menjadi lebih buruk karena stimulan reseptor adrenergik alfa
tidak terhambat. Dalam keadaan ini inhalasi agonis 2 atau sulfas atropin akan
memberikan manfaat di samping pemberian aminofilin dan kortikosteroid intravena
(Aru, 2006).
Antihistamin khususnya AH1 dengan AH2 bekerja secara sinergis terhadap
reseptor yang ada di pembuluh darah. Tergantung beratnya penyakit, AH dapat
diberikan oral atau parenteral. Pada keadaan anafilaksis berat, AH dapat diberikan
secara intravena. Untuk AH2 seperti cimetidin (300mg) atau ranitidin (150mg) harus
diencerkan dengan 20 ml NaCl 0,9% dan diberikan dalam waktu 5 menit (Aru, 2006).
18
BAB III
KESIMPULAN
20
21
lakukan CPR
8. Jika pasien sudah stabil, lakukan monitoring tekanan darah, denyut nadi,
respiratory rate dan oksigenasi pasien.
Pasien yang pernah mengalami reaksi anfilaksis mempunyai resiko untuk
memperoleh reaksi yang sama apabila terpajan oleh pencetus yang sama. Pasien ini
harus dikenali, diberikan peringatan dan bila perlu diberi tanda peringatan pada ikat
pinggang atau dompetnya. Kadang-kadang kepada pasien diberikan bekal suntikan
adrenalin yang harus dibawa kemanapun ia pergi. Hal ini terutama bila pencetus
sering timbul tak terduga seperti pada sengatan tawon atau pada anfilaksis idiopatik.
22
DAFTAR PUSTAKA
Aru, Bambang dan Idrus, Alwi. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I.
Jakarta: Balai Penerbit FK UI
Baratawidjaja, Karnen G. dan Rengganis, Iris. 2009. Imunologi Dasar. Jakarta: Balai
Penerbit FK UI
Brown, Simon. 2006. Anaphylaxis : Diagnosis and Management. Canberra : MIJ
Katzung G,Bertram. 2001. Farmakologi Dasar Dan klinik. Edisi VI. Jakarta : EGC
NICE. 2011. Anaphylaxis : Assessment to confirm an anaphylactid episode and the
decision to refer after emergency treatment for suspected of anaphylactid
episode. United Kingdom: National Institute for Health and Clinical
Excellence
Simons, Estelle. 2011. World Allergy Organization Guidelines for the Assessment
and Management of Anaphylaxis. World Allergy Organization Journal
Soar, Jasmeet. 2013. Emergency Treatment for Anaphylaxis Reaction. United
Kingdom: Resuscitation Council Press
23
24