Refleksi Kasus Sinusitis
Refleksi Kasus Sinusitis
Refleksi Kasus Sinusitis
Disusun Oleh:
PUTRINDA ELLANIKA KUSWANDA
10711176
Pembimbing:
dr Tri Riyanto, Sp.THT
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA
RSUD MUNTILAN
2016
NIM:10711176
Stase
Identitas Pasien
Nama / Inisial
: Ny. S
No RM
: 268363
Umur
: 53 tahun
Jenis kelamin
: Wanita
Diagnosis/ kasus
: Sinusitis Maxilaris
makin meningkat tiap tahunnya. Sinusitis paling sering dijumpai dan termasuk 10 penyakit termahal karena
membutuhkan biaya pengobatan cukup besar. Kebanyakan penderita rhinosinusitis ini adalah
perempuan. Prevalensi sinusitis di Indonesia cukup tinggi. Hasil penelitian tahun 1996 dari sub bagian
Rinologi Departemen THT FKUI-RSCM, dari 496 pasien rawat jalan ditemukan 50 persen penderita
sinusitis kronik. Pada tahun 1999, penelitian yang dilakukan bagian THT FKUI-RSCM bekerjasama
dengan Ilmu Kesehatan Anak, menjumpai prevalensi sinusitis akut pada penderita Infeksi Saluran Nafas
Atas (ISNA) sebesar 25 persen. Angka tersebut lebih besar dibandingkan data di negara-negara lain.
Latar belakang pemilihan kasus adalah pasien mengalami sinusitis dan ketika sudah diberikan obat
selama satu minggu keluhan tidak membaik, pasien kemudian disarankan untuk operasi awalnya pasien
menolak karena alasan takut dan meminta diresepkan obat saja, namun seminggu kemudian pasien
datang kembali dan mengatakan siap untuk di operasi.
3. Refleksi dari aspek etika moral /medikolegal/ sosial ekonomi beserta penjelasan
evidence / referensi yang sesuai *
*Psikologis
Tindakan operasi atau pembedahan merupakan ancaman potensial maupun aktual
pada integritas seseorang yang dapat membangkitkan reaksi strees fisiologis maupun
psikologis. Pembedahan merupakan peristiwa komplek yang menegangkan, sehingga
selain mengalami gangguan fisik akan memunculkan pula masalah psikologis
diantaranya adalah kecemasan.
Effendy tahun 2005 (dikutip dalam Larasati 2009, h.2) mengemukakan bahwa
kecemasan pada masa preoperasi merupakan hal yang wajar. Beberapa pernyataan
yang biasanya terungkap adalah ketakutan munculnya rasa nyeri setelah pembedahan,
ketakutan terjadi perubahan fisik (menjadi buruk rupa dan tidak berfungsi secara
normal), takut keganasan (bila diagnosa yang ditegakkan belum pasti), , takut memasuki
ruang operasi, menghadapi peralatan bedah dan petugas, takut mati saat dilakukan
anestesi, serta ketakutan apabila operasi akan mengalami kegagalan. Maka tidak heran
jika seringkali pasien menunjukan sikap yang berlebihan dengan kecemasan yang
dialami.
Berdasarkan penelitian Khaerul Amri dan Mukhammad Saefudin diatas, kita dapat
merujuk kepada teori empat variabel psikologik yang dianggap mempengaruhi
mekanisme respons stres yakni:
a. Kontrol: keyakinan bahwa seseorang memiliki kontrol terhadap stresor yang
Sementara istinsyar, adalah mengeluarkan air dari dalam hidung setelah beristinsyar.
Berkumur-kumur dan beristinsyar adalah bagian dari membasuk wajah yang
diperintahkan dalam ayat di atas. Sedangkan membasuh wajah adalah wajib, maka
berkumur-kumur dan beristinsyaq juga wajib menurut pendapat yang lebih shahih.
(Shahih Fiqih Sunnah: 1/150)
Perintah berkumur-kumur disebutkan dalam sejumlah hadits, di antaranya dalam hadits
Luqaith bin Shabrah:
Tentang istinsyaq dan istintsar telah diriwayatkan secara shahih dari sabda
Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam:
"Siapa yang berwudhu hendaknya ia beristintsar." (HR. Bukhari, Muslim, dan selain
keduanya)
"Dan apabila salah seorang kamu berwudhu, maka hendaknya ia memasukkan air ke
dalam hidungnya lalu ia keluarkan kembali." (HR. al-Bukhari, Muslim, dan selain
keduanya)
"Apabila seorang kamu berwudhu hendaknya dia beristinsyaq." (HR. Muslim)
Syaikhul
Islam
Ibnu
"Nabi Shallallahu
'Alaihi
Wasallam menghususkan istinsyaq dengan perintah, bukan karena hidung lebih penting
untuk dibersihkan daripada mulut. Bagaimana mungkin, padahal mulut lebih mulia karena
digunakan untuk berdzikir dan membaca Al-Qur'an, serta mulut lebih sering berubah
baunya? Namun wallahu a'lam- karena syariat telah memerintahkan untuk
membersihkan mulut dengan siwak dan menegaskan perihalnya. Mencuci mulut sesudah
dan sebelum makan disyariatkan menurut sebuah pendapat. Telah diketahui perhatian
syariat untuk membersihkan mulut, berbeda dengan hidung. Jadi, membersihkan hidung
di sini untuk menjelaskan hukumnya, karena dikhawatirkan perkara ini akan diabaikan."
(Syarh al-'Umdah: 1/179-180)
Perlu sama-sama diperhatikan dan disadari, masalah ini sudah dibicarakan ulama sejak
dahulu dan terdapat perbedaan tentang status berkumur-kumur dan beristinsyaq saat
berwudhu. Ada yang menyatakannya mandub/sunnah, berargumen dengan hadits
Rifa'ah bin Rafi' tentang kisah orang yang buruk shalatnya. Rasulullah Shallallahu 'Alaihi
Wasallam bersabda kepadanya:
"Sesungguhnya tidak akan sempurna shalat salah seorang kalian hingga ia berwudhu
dengan sempurna sebagaimana diperintahkan Allah, yaitu ia membasuh wajahnya,
kedua tangannya hingga siku,mengusap kepalanya dan mencuci kedua kakinya hingga
mata kaki . . ." (HR. Ashabus Sunan dan selain mereka)
Pada hadits tersebut, Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam tidak menyebutkan tentang
berkumur-kumur dan istinsyaq mengenai apa yang diperintahkan Allah. Hal ini selaras
dengan
QS.
Al-Maidah:
di
atas.
Penyebutan
wajah
di
sini
bukan
perkara mujmal (global) yang membutuhkan perinciannya dari sunnah. Ini juga
merupakan pendapat yang tidak bisa dibatilkan. Wallahu Ta'ala a'lam.
.,...
TTD Dokter Pembimbing