Fiqih Ibadah

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

FIQIH IBADAH DALAM PERSPEKTIF EMPAT


MADZHAB
( Bacaan Makmum dalam Shalat Berjamaah )
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah: Fiqih
Dosen Pengampu: H. Fakhrudin Aziz, Lc., PgD., MSI

Disusun oleh:
Eti Lestari ( 124211039 )
Khariruddin ( 124211053 )
Muh. Ulin Nuha ( 124211062 )
Fakultas Ushuluddin
Institut Agama Islam Negeri Walisongo
Semarang

2013
I.

PENDAHULUAN
Fiqih adalah produk ijtihad. Tidak ada fiqih tanpa ijtihad. Dan
ijtihad itu adalah mengaitkan antara dalil-dalil syariah dengan
realitas yang ada. Ijtihad tidak sama hasilnya ditiap tempat yang
berbeda. Sebab realitasnya dan persoalannya bisa saja berbeda.
Setiap zaman dibutuhkan mujtahid yang hidup bersama
zamannya. Setiap wilayah negeri muslim butuh mujtahid yang
hidup bersama dengan realitas wilayah tersebut. Ijtihad yang
baru tidak harus selalu bertentangan dengan ijtihad yang lama.
Namun ada kalanya hasil ijtihad yang baru lebih kuat dan lebih
tepat dengan realitas yang ada.1
Untuk lebih jelasnya, di bawah ini penulis akan memaparkan
sedikit terkait ijtihad imam mazhab dan fenomena kontemporer.

II.

LATAR BELAKANG
1. Wilayah kajian fiqih ibadah
2. Contoh hasil ijtihad keempat madzhab berikut dalilnya
3. Munaqasyah dan tarjih
4. Fenomena kontemporer yang belum dikaji imam madzhab
III.
PEMBAHASAN
A. Wilayah kajian fiqih ibadah
Sebelum kita meninjau lebih jauh tentang apa saja kajian fiqih
ibadah, alangkah baiknya kita mengetahui arti dari ibadah itu
sendiri. Prof. TM Hasbi Ashshidieqi, dalam kitab kuliah Ibadah
membagi arti ibadah dalam dua arti, arti menurut bahasa dan
arti menurut istilah.
1. Ibadah atau ibadat dari segi bahasa berarti : thaat, menurut,
mengikut dan sebagainya. juga ibadah digunakan dalam arti
doa. Penggunaan kata ibadat dalam arti taat dan sebagainya,
tersebut dalam al-Quran.


Bukankah Aku Telah memerintahkan kepadamu Hai Bani
Adam

supaya

kamu

tidak

menyembah

syaitan?

1 Ahmad Sarwat, Lc, Fiqih Minoritas (Jakarta, Du Center Press, 2010), hal.27
1

Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagi


kamu",( Surat Yasin: 60).
Penggunaan ibadah dalam arti doa ialah tersebut dalam alQuran surat al-Muminun ayat 60.
2. Menurut istilah ahli Tauhid, ibadah itu berarti mengEsakan
Allah, mentazhimkanNya dengan sepenuh-penuh tazhim
serta

menghinakan

diri

kita

dan

menundukkan

jiwa

kepadaNya. Hal ini didasarkan pada firman Allah:




Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukanNya dengan sesuatupun. . ( an-Nisa: 36).
Macam-macam ibadah
1. Pembagihan ibadah didasarkan pada

umum

dan

khususnya, maka ada dua macam, yakni ibadah Khashah


dan ibadah Ammah.
a. Ibadah khashah ialah ibadah yang ketentuannya telah
ditetapkan oleh Nash, seperti: shalat. Zakat, puasa dan
Haji.
b. Ibadah Ammah, ialah semua pernyataan baik, yang
dilakukan dengan niat yang baik dan semata-mata
karena Allah, seperti makan dan minum, bekerja dan
lain sebagainya dengan niat melaksanakan perbuatan
itu untuk menjaga badan jasmaniyah dalam rangka agar
dapat beribadat kepada Allah.
2. Pembagihan ibadah dari segi hal-hal yang bertalian dengan
pelaksanaannya, dibagi menjadi tiga.
a. Ibadah jamaniyah ruhiyah, seperti shalat dan puasa.
b. Ibadah ruhiyah dan maliyah, seperti zakat.
c. Ibadah jasmaniyah, Ruhiyah dan Maliyah, seperti
mengerjakan haji.
3. Pembagihan ibadah dari segi kepentingan perseorangan
atau masyarakat, maka dibagi dua:
a. Ibadah fardi, seperti shalat dan puasa
b. Ibadah ijtimai, seperti zakat dan haji

4. Pembagihan ibadah dari segi bentuk dan sifatnya.


1

a. Ibadah yang berupa perkataan atau ucapan lidah


seperti: membaca al-Qur-an, membaca dzikir, membaca
tahmid dan mendoakan orang yang bersin.
b. Ibadah yang berupa pekerjaan yang tertentu bentuknya
meliputi perkataan dan perbuatan, seperti: shalar, zakat
, puasa, haji.
c. Ibadah yang berupa perbuatan yang tidak ditentukan
bentuknya, seperti: menolong orang lain, berjihad,
membela diri dari gangguan, tajhizul janazah.
d. Ibadah yang pelaksanaannya menahan diri, seperti
ihram, puasa, itikaf (duduk di masjid dan menahan diri
untuk bermubasyaroh dengan istrinya).
e. Ibadah yang sifatnya menggugurkan
membebaskan

hutang,

bersalah.
Dalam pembahasan

kajian

hak,

memaafkan
fiqih

seperti

orang

ibadah,

Ibnu

yang
Abidin

membagi persoalan ibadah pada lima kitab: a. shalat b. zakat c.


shiyam d. haji dan e. jihad. Umumnya Ulama memasukkan soal
thaharah

pada

pembahasan

ibadah.

Prof.

Hashbi

dalam

Pengantar Fiqh mengemukakan bahwa yang wajar, pembahasan


ibadah itu meliputi: a. thaharah b. shalat c. Jinayah d. Shiyah e.
Zakat f. Zakat fitrah g. Haji h. Jihad i. Nazar j. Qurban k.
Dzabihah l. Shaid m. Aqiqah n. Makanan dan Minuman.2
B. Contoh hasil ijtihad keempat madzhab berikut dalilnya
Dalam pembahasan ijtihad imam ini, pemakalah mengambil
tema tentang Bacaan makmum dalam shalat berjamaah. Para
ulama

telah

Ijma

(bersepakat)

bahwa

imam

tidaklah

menanggung bacaan makmum dalam shalat fardu, kecuali


bacaan Fatihah. Adapun mengenai bacaan Fatihah, dalam hal
ini ulama berbeda pendapat.
Para Ulama Hanafiyah berpendapat

bahwa

kewajiban

membaca Fatihah adalah gugur bagi makmum, baik shalat yang


bacaannya sir maupun jahar, Ulama Syafiiyyah berpendapat
bahwa makmum diwajibkan membaca fatihah, baik shalat jahar
2 Drs. Murni Djamal, MA, Ilmu Fiqih ( Jakarta: Direktorat Pembianaan Perguruan
Tinggi Agama Islam, 1983 ), hal.2-5
1

maupun shalat sir. Sementara itu, Ulama Malikiyah dan Ulama


Hanabillah berpendapat bahwa membaca fatihah itu tidak wajib
atas makmum muthlaq.
Hanya saja ada Ulama Malikiyah yang mengatakan bahwa
makmum

disunahkan

membacanya

pada

shalat

sirriyyah

walaupun imam membacanya secara keras (terdengar oleh


makmum), dan makruh membacanya pada shalat jahriyah,
walaupun ia tidak dapat mendengar bacaan imam. Demikian
juga ada Ulama Hanabillah yang mengatakan bahwa makmum
disunnahkan membacanya tatkala imam diam dan pada saatsaat tidak dapat mendengar bacaan imam, baik karena sebab
bacaannya sir atau pun karena jauhnya.
Ulama Hanafiyyah berhujjah dengan nash al-Quran, al-Hadits
dan Qiyas.
1. Adapun nash al-Quran , yaitu firman Allah SWT:


Dan apabila dibacakan Al Quran, Maka dengarkanlah
baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu
mendapat rahmat.(Al-Araf:204).
Al-Baihaqi
meriwayatkan
dari

Imam

Ahmad,

ia

berkata,Telah terjadi Ijma bahwa ayat ini berhubungan


dengan shalat. Dan ia meriwayatkan dari Mujaahid bahwa
Rasulullah SAW membaca dalam shalat, lalu beliau SAW
mendengar seorang pemuda Anshar ikut membaca, maka
turunlah ayat tersebut.
Diturunkannya ayat ini berkenaan dengan shalat, menurut
keumuman

lafadz,

bukanlah

karena

khusus

sebab

sebagaimana yang telah ditetapkan oleh ulama ushul. Ayat


ini menuntut para mukallaf untuk mendengar secara
khusus pada shalat jahar, dan menuntut para mukallaf
untuk diam dalam shalat sir. Maka wajib bagi orang yang
menjadi tujuan ayat ini untuk mendengar pada waktu
dibaca jahar, serta diam pada waktu dibaca secara sir.
2. Adapun al-Hadits yang menjadi hujjah ulama hanafiyyah
adalah:
1

barang siapa yang mengerjakan shalat dibelakang imam


(bermakmum), maka sesungguhnya bacaan imam adalah
menjadi bacaannya.
Hadits ini bersifat umum, baik pada shalat jahriyah maupun
shalat sirriyah. Dalam sebuah riwayat disebutkan, bahwa
ada seorang laki-laki membaca dibelakang Rasulullah SAW.
Pada saat shalat dhuhur atau shalat ashar (bacaan
sirriyyah). Maka

seorang sahabat mendengarnya lalu

melarang orang itu. Setelah selesai shalat, ia datang


kepada orang yang melarangnya dan bertanya, hingga
keduanya pun bertengkar, lalu hal itu disampaikan kepada
Rasulullah, lalu beliapun bersabda hadits di atas. Yang
mana membenarkan larangan sahabat mengenai bacaan
dalam shalat, sedang shalat itu adalah shalat yang
bacaannya sir, tentulah pada shalat jahar lebih utama.
Begitu hadits yang diriwayatkan dari Abi Hurairah r.a., ia
berkata sesungguhnya Rasulullah bersabda:

imam itu untuk diikuti, apabila ia takbir, takbirlah kamu,


dan apabila dia membaca , diamlah kamu.
Hadits lainnya yaitu, hadits yang diriwayatkan dari imran
bin hushain bahwa ketika baginda Nabi sedang shalat
dhuhur ada seorang laki-laki membaca di belakang beliau
SAW. Lalu setelah selesai shalat beliau bersabda:

sungguh aku menyangka ada di antara kalian ada yang


mengingkariku tentang bacaan
Ucapan ini menunjukkan bantahan

terhadap

bacaan

makmum. Apabila bacaan makmum dibantah dalam shalat


dhuhur, padahal shalat dhuhur adalah shalat sirriyyah,
tentulah bantahan pada shalat jahriyah lebih di utamakan.
Adapun tentang qiyas, Ulama Hanafiyyah berkata
seandainya

membaca

fatihah

itu

diwajibkan

atas

makmum, tentulah tidak akan gugur dari orang masbuq


sebagaiman rukun-rukun lainnya.
Adapun yang dijadikan hujjah oleh Ulama Syafiiyyah adalah:
1. Firman Allah SWT:

bacalah

apa

yang

mudah

bagimu

dari

al-

Quran..(al-Muzzammil:20)
2. Al-Hadits
Sesungguhnya baginda Rasulullah bersabda:

tidaklah sah shalat bagi orang yang tidak membaca


Fatihatul kitab.

tidak sah shalat, kecuali dengan fatihatul kitab


Juga ulama Syafiiyyah berpegang lagi dengan Hadits
Abu Hurairah r.a.

barang siapa yang shalat yang di dalamnya tanpa
membaca umul kitab (Fatihah), maka shalat itu kurang
tegasnya tidak sempurna
Perawi hadits ini berkata Wahai Abu Hurairah! Sungguh
kadang-kadang aku shalat di belakang imam. Lalu Abu
Hurairah memegang lenganku dan berkata
Wahai Farisy bacalah fatihah untuk dirimu. Hadits ini
diriwayatkan oleh Imam Muslim dan Abu Dawud.
Hadits dari Ubaadah bin Shamit, Rasul bersabda:

janganlah

kamu

semua

lakukan,

kecuali

dengan

ummul Quran, karena sesungguhnya tidak ada shalat


bagi orang yang tidak membaanya

Hadits-hadits ini khusus mengenai bacaan makmum,


dan semuanya tegas tentang fardu membaca fatihah.
Ulama syafiiyyah berpendapat bahwa membaca Fatihah
itu merupakan salah satu rukun shalat, maka ia tidak
dapat gugur dari makmum sebagaimana rukun-rukun
lainnya.
Adapun

Ulama

Malikiyyah

dan

Ulama

Hanabillah

mengambil dalil mengenai tidak wajibnya makmum membaca alFatihah, yaitu dengan dalil-dalil sebagaimana yang dikemukakan
oleh para Ulama Hanabillah. Mereka mengatakan dalil-dalil itu
telah menunjukkan ketidakwajibannya, bukan larangan yang
menunjukkan keharaman.
Merekapun telah mengambil hujjah dengan hadits yang
diriwayatkan oleh Abu Darda r.a., ia berkata: baginda Nabi
pernah ditanya apakah masing-masing shalat itu terdapat
bacaan? Beliau Saw menjawab,ya.berkatalah salah seorang
laki-laki

dari

golongan

anshar:

sudah

wajib?

baginda

Rasulullah bersabda kepadaku, sedang aku adalah orang yang


paling dekat dengan beliau:

tidaklah

saya

melihat

imam

apabila

mengimami

kaum,

melainkan ia telah mencukupi bagi mereka itu


Juga berdasarkan Hadits yang diriwayatkan dari Jabir r.a.:

barang siapa shalat yang di dalamnya tanpa membaca ummul
kitab (Fatihah), maka shalat itu kurang, kecuali ia berada di
belakang imam

Mereka berkata, kedua hadits itu secara jelas menyatakan


ketidakwajiban. Hanya saja Ulama Malikiyah mengkhususkan
adanya perintah mendengar dan diam pada shalat jahriyah.
Adapun Ulama Hanabillah, adapun mereka berpegang pada
dalil

yang

dikemukakan

oleh

Ulama

Hanafiyyah

tentang

kesunnahan membaca al-Fatihah dalam shalat sir. Mereka pun


mempersamakan

dengan

shalat

sir,

yaitu

shalat

yang

makmumnya tidak dapat mendengar suara imam karena jauh,


ada badai, atau karena imam diam. Mereka mengatakan bahwa
dalam keadaan demikian makmum tidak dapat mendengar
bacaan imam dan hal itu sama dengan shalat sir.
Adanya perintah memndengar dan diam dalam ayat itu,
bukanlah yang dimaksudkan untuk larangan membaca yang
wajib dalam shalat, tetapi agar mereka tidak sibuk dengan
sesuatu yang menyebabkannya berpaling dari al-Quran ketika
membacanya.
Tidak diragukan lagi bahwa perintah mendengar al-Quran
dan diam karenanya, hanya ditujukan bagi orang yang tidak
membaca al-Quran atau mendengarkannya. Dengan demikian
ayat

itu

tidak

melarang

membaca

al-Fatihah

kerena

sesungguhnya si pembaca tidak berpaling dari al-Quran sehigga


tidak perlu di ucapkan kepadanya, dengarlah dan diamlah
.juga sebagai tambahan bahwa ayat itu hanyalah mengenai
shalat jahriyyah karena maksud mendengar tidaklah dapat
tercapai, melainkan dalam shalat jahriyyah.
C. Munaqasyah dan Tarjih
Adapun tentang perkataan Ulama Hanafiyah yang menekankan
dua perkara, yaitu mendengar secara khusus pada shalat
jahriyyah saja, dan diam pada shalat siriyyah, tidak dapat
diterima oleh tata Bahasa Arab. Hal ini karena Inshaat bukanlah
semata-mata diam, tetapi diam yang artinya lebih mendalam,

yaitu meresapkan seluruh yang didengarnya karena memikirkan


serta memahaminya.
Adapun sabda Nabi Sungguh aku menyangka ada di antara
kalian yang mengingkari bacaan. Hanyalah larangan membaca
dengan suara nyaring di belakang Imam karena bacaan dengan
jaharlah yang dapat menimbulkan masyghul. Selain itu tidaklah
harus larangan bacaan dengan nyaring yang berarti larangan
membaca.
Selanjutnya yang perlu disampaikan kepada Ulama Syafiiyyah,
mengenai

Hadits

Abu

Hurairah

bahwa

hadits

itu

tidak

sepenuhnya ditujukan kepada makmum, seperti dengan tegas


diterangkan dalam hadits Jabir, kecuali di belakang Imam.
Adapun ucapan Abu Huarairah bacalah Fatihah untuk dirimu.
Itu hanyalah ucapan sahabat.
Mengenai hadits Ubaaidah, telah berkata Ibnu Qudamah dalam
syarakh al-Kabir bahwa hadits itu tidak diriwayatkan oleh selain
dari Ibnu Ishaq dan Nafi bin Mahmud bin Rabi, sedangkan Ibnu
Ishaq adalah mudallis dan Nafi lebih rendah derajatnya dari Ibnu
Ishaq.
Adapun yang perlu disampaikan kepada Ulama Hanabilah adalah
seandainya ayat itu mengenai wajib mendengarkan pada shalat
jahriyyah,

ini

berarti

menafikan

pendapat

menyunahkan

membaca muthlaq. Selanjutnya yag perlu disampaikan kepada


Ulama Malikiyah bahwa hadits Abu Hurairah yang dijadkan
sandaran adalah lemah karena ada perawi yang tidak dikenal
yaitu Ibnu Akimah
Setelah kami sampaikan alasan-alasan di atas, anda mengetahui
telah adanya hadits-hadits yang kelihatannya saling berlawanan.
Di antara hadits itu, ada yang diDhaifkan ada yang dishahihkan
dan tidak ada suatu hadits pun yang dijadikan hujjah oleh suatu
golongan, melainkan dicatatkan oleh golongan lain tatkala
masing-masing berijtihad untuk men-tashhihkan hadits yang
menjadi pegangan mereka. Dan mereka justru dalam masalah ini
menyangsikan

Abu

Hanifah,

padahal

beliau

tidak

dapat

ditandingi kewaraannya serta terpeliharanya. Kitapun telah


1

dihadapkan pada suatu pendapat dalam tadhil dan tarjih yang


sudah sampai pada batas ini. Mereka berselisih penadapat
hingga melakukan tarjih. Dengan demikian kita harus mampu
menyesuaikan atau mengompromikan semua dalil yang ada. Hal
itu lebih baik serta lebih utama
Tidaklah ragu lagi bahwa (hukum) yang asal pada bacaan fatihah
dalam shalat adalah fardu bagi setiap orang yang mengerjakan
shalat. Itulah yang dikehendaki oleh petunjuk umum, baik dari
kitab ( al-Quran ) maupun dari as-Sunnah ( al-Hadits ).
Adapun mengenai hadits-hadits yang datang tentang larangan
bacaan dalam shalat sirriyyah, maka yang dimaksudkannya ialah
bacaan serta jahar (nyaring) yang menganggu (orang yang
lainnya).

Keadaan

demikian.

hadits

Berdasarkan

itu

memang

keterangan

ini,

menunjukkan

yang

jelaslah

anda

bagi

sekalian tentang kuatnya pendapat yang mengatakan wajib


membaca bagi makmum dalam shalat sirriyyah dan shalat yang
disamakan dengannya, serta larangan bacaan dalam shalat jahar
yang dapat didengar. Itulah pendapat yang dipilih oleh az-Zuhri
Ibnul Mubarak dan satu pendapat dari Malik, Ahmad, dan Ishaq
seperti telah disebutkan oleh pengarang Majmu oleh Ibnu
Mundir.
D. Fenomena Kontemporer yang belum dikaji Imam Madzhab
a. Menjamak Shalat karena macetnya Lalu Lintas
Sebuah fenomena yang terjadi di kota-kota besar seperti di
Jakarta,

kepadatan

penduduk

menjadi

masalah

yang

tak

terelakkan. Hal itu juga berimplikasi pada kepadatan lalu lintas


yang menyebabkan kemacetan karena banyaknya kendaraan
yang memenuhi jalan. Sebagai contoh, seseorang pegawai yang
tinggal di wilayah Ciputat, Tangerang yang bekerja di wilayah
Jakarta Pusat harus menempuh perjalanan selama dua jam atau
bahkan lebih (tergantung tingkat kemacetan lalu lintas) untuk
pergi ke tempat kerja maupun pulang dari tempat kerja. Jika jam
kerjanya mulai pukul 09.00 s.d. pukul 17.00, berarti dia pulang
sebelum magrib dan sampai rumah menjelang waktu isya` (jika
1

tidak terlalu macet) atau mungkin setelah adzan isya` (jika lalu
lintas

sangat

macet).

Sebenarnya

pegawai

tersebut

bisa

melakukan shalat di waktu magrib di jalan dengan membelokkan


kendaraannya (jika membawa kendaraan pribadi) ke tempat
ibadah. Namun bagi yang naik kendaraan umum, tentunya lebih
menyulitkan lagi untuk meluangkan waktu turun dari kendaraan
umum dan nantinya mencari kendaraan umum lagi. Selain
menambah lama waktu perjalanan juga menambah pengeluaran
ongkos transportasi.
Dalam keadaan seperti itu, bolehkah menjamak shalat antara
magrib dengan isya` untuk dilakukan saat tiba di rumah?
Berkaca dari perspektif fikih al-Qaradhawi yang mengetengahkan
dalil-dalil

yang

di

antaranya

adalah

sebuah

hadis

yang

menyatakan bahwa Rasulullah menjamak shalat dalam keadaan


normal serta melihat realitas sebagaimana digambarkan dalam
contoh di atas terdapat indikasi bahwa dalam keadaan di atas
manjamak shalat tidak ada jeleknya, alias diperbolehkan.
Contoh-contoh yang berhubungan dengan realitas ke-Indonesiaan di atas adalah yang berdasarkan perspektif fikih realitas alQaradhawi yang mungkin bisa dijadikan bahan diskusi, atau
bahkan bisa diidentifikasi

banyak lagi adanya realitas yang

perlu disikapi dengan fikih Islam. Jika memungkinkan adanya


hukum-hukum fikih yang memberikan keringanan bagi umat
Islam, tentunya hukum-hukum fikih yang memberatkan dan tidak
peka terhadap realitas sosial yang sedang bergulir perlu dihindari
sebisa mungkin. Sebab, Rasulullah pun ketika dihadapkan dua
pilihan beliau akan memilih yang lebih ringan, asalkan tidak
mengandung unsur dosa di dalamnya.3
b. Pembuatan sanggul atau wig
Bagi masyarakat di sebuah desa di Kabupaten Brebes, Jawa
Tengah,

tradisi

membuat

sanggul

dan

wig

adalah

mata

3 Moh. Nur Salim, Lc., M.S.I., FIKIH REALISTIS (Kajian Tentang Hubungan antara Fikih
denganRealitas Sosial pada Masa Lalu dan Masa Kini)(Jakarta: hatiNURanikuPRESS,2009),
hal.112-114

pencaharian utama mereka. Dengan membuat sanggul dan wig


mereka bisa menyambung hidup (dharuriyat hifdu an-nafs),
menghidupi dan menyekolahkan anak-anak (dharuriyat hifdu annasl)

dan

bisa

melakukan

aktivitas

keseharian

(alhajiyat)

sehingga meninggalkan mata pencaharian yang sudah mapan


sejak bertahun-tahun sama artinya dengan menghalangi jalan
urat nadi kehidupan mereka dan menjadikan kehidupan mereka
dalam kesempitan.
Di sisi lain, dalam beberapa hadis yang diriwayatkan oleh Imam
Muslim, di antaranya adalah yang diriwayatkan dari Asma` binti
Abu Bakar (hadis nomor 2122) dia berkata, seorang perempuan
mendatangi Rasulullah dan bertanya, wahai Rasulullah, aku
mempunyai anak yang akan menikah, namun rambutnya rontok
karena ketombe, apakah aku boleh menyambung rambutnya?
Maka Rasulullah bersabda, Allah melaknat perempuan yang
menyambung

rambut

dan

yang

meminta

disambung

rambutnya. Dalam menjelaskan hadis ini, an-Nawawi (1998:


14/268) selaku penyarah kitab Shahih Muslim mengatakan
bahwa hadis ini berlaku umum, sehingga menyambung rambut
dengan menggunakan rambut manusia

adalah haram secara

mutlak tanpa adanya pengecualian. Dalam hal ini terjadi


pertentangan antara realitas sosial dengan teks hadis. Lalu
bagaimanakan jalan keluarnya?
Dalam menanggapi permasalahan ini, terlebih dahulu perlu
dipahami bahwa Islam adalah agama yang diturunkan di Arab
dan dibawa oleh seorang Rasul yang berkebangsaan Arab,
sehingga Islam harus dihadirkan dalam bahasa orang Arab (Ibnu
Asyur, 1999: 232). Konsekuensi logisnya adalah bahwa realitas
sosial atau budaya Arab mewarnai praktek ke-Islaman. Dengan
demikian,

memahami

Islam

tidak

bisa

dilepaskan

dari

pemahaman terhadap budaya tersebut. Tujuannya, di antaranya


adalah agar ketika Islam dibawa keluar Arab, budaya-budaya
lokal bangsa Arab tidak serta merta menjadi suatu keharusan
yang harus diikuti oleh bangsa lain. Karena menurut Ibnu Asyur
1

(1999: 235) dalam tasyri, adat kebiasaan suatu bangsa tidak


harus dibebankan kepada bangsa yang lain. Contoh yang
dikemukakannya dalam hal ini adalah dalam fikih Imam Malik
memperbolehkan kaum perempuan dari kalangan ningrat untuk
tidak menyusui anaknya, karena tradisi tersebut berlaku di masa
Imam Malik hidup. Padahal tertera secara jelas dalam al-Qur`an
surat al-Baqarah: 233 bahwa para ibu hendaklah menyusukan
anaknya selama dua tahun penuh. Dalam hal ini ayat tersebut
hanya khusus berlaku bagi kaum perempuan yang bukan dari
kalangan ningrat. Secara jelas bisa dikatakan dalam hal ini
bahwa dalam madzhab Imam Malik, keumuman teks agama bisa
ditakhsis dengan adat kebiasaan (urf).
Berangkat dari hal itu, Ibnu Asyur (1999: 236) berpendapat
bahwa larangan-larangan dalam agama yang tidak mengandung
mafsadah (kerusakan) maka bisa dipahami secara logis dan bisa
di-takhshish. Sebagai contohnya adalah larangan menyambung
rambut yang menurutnya adalah suatu indikator dari lemahnya
penjagaan kehormatan kaum perempuan (dzafuishnah almar`ah), sehingga larangan menyambung rambut dikaitkan
dengan

akan

terganggunya

kehormatan

perempuan

ketika

melakukan itu. Berdasarkan pemahaman Ibnu Asyur yang


menyatakan

bahwa

aktivitas

menyambung

rambut

tidak

membawa mafsadah, bahkan untuk konteks kasus di Brebes hal


itu memberikan banyak keuntungan bagi masyarakat, dan
berangkat dari fikih realitas al-Qaradhawi, yang tidak tidak
memisahkan antara hukum dengan realitas, terdapat indikasi
bahwa profesi masyarakat Brebes, Jawa Tengah dalam membuat
IV.

sanggul dan wig tidak terlarang secara agama.


KESIMPULAN
Ibadah adalah mengEsakan Allah, mentazhinkanNya dengan
sepenuh-penuh

tazhim

serta

menghinakan

diri

kita

dan

menundukkan jiwa kepadaNya.


Terkait tentang bacaan makmum dalam shalat ada perbedaan
pendapat di kalangan Ulama:
1

a. Ulama Hanafiyyah melarang makmum membaca Fatihah


secara mutlaq
b. Ulama Syafiiyyah mewajibkan secara mutlaq
c. Ulama Malikiyah tidak mewajibkan dan tidak juga melarang.
Hanya pada shalat sir disunnahkan membacanya.
d. Ulama Hanabilah tidak mewajibkan dan tidak melarang pada
saat

tidak

terdengar

bacaan

membacanya bagi makmum.


Setiap zaman dibutuhkan mujtahid

imam,
yang

maka
hidup

sunnah
bersama

zamannya. Setiap wilayah negeri muslim butuh mujtahid yang


hidup bersama dengan realitas wilayah tersebut. Ijtihad yang
baru tidak harus selalu bertentangan dengan ijtihad yang lama.
Namun ada kalanya hasil ijtihad yang baru lebih kuat dan lebih
tepat dengan realitas yang ada.

V.

PENUTUP
Demikian makalah kami buat yang mana masih jauh dari
kesempurnaan. Untuk itu kritik dan saran dari teman-teman
sangat

kami

butuhkan

guna

perbaikan

makalah

kami

selanjutnya. Dan semoga dengan makalah ini bisa memberikan


manfaat bagi kita semua. Amin.
DAFTAR PUSTAKA
Djamal, Murni, Ilmu Fiqih, Jakarta: Direktorat

Pembianaan

Perguruan Tinggi Agama Islam, 1983


Salim, Moh. Nur, Fikih Realistis, Jakarta: hatiNURanikuPRESS,
2009
Sarwat, Ahmad, Fiqih Minoritas, Jakarta: Du Center Press, 2010
Syalthut, Mahmud, Fiqih Tujuh Madzhab, Bandung, Pustaka Setia,
2007

Anda mungkin juga menyukai