Tinjauan Pustaka Mikroklimat Ternak
Tinjauan Pustaka Mikroklimat Ternak
Tinjauan Pustaka Mikroklimat Ternak
terhadap kondisi ternak terutama untuk mencapai produktivitas yang tinggi (Hafez, 1969). Suhu dan kelembaban udara merupakan faktor-faktor yang penting, karena pengaruhnya sangat besar terhadap kondisi ternak. Suhu dan kelembaban udara yang tinggi akan menyebabkan stress pada ternak sehingga suhu tubuh, respirasi, dan denyut jantung meningkat, serta konsumsi pakan menurun, akhirnya menyebabkan produktivitas ternak rendah. Selain itu faktor suhu berbeda dengan faktor yang lain yaitu iklim tidak dapat diatur atau dikuasai sepenuhnya oleh manusia. Bila suhu lingkungan berada di atas atau di bawah comfort zone untuk mempertahankan suhu tubuhnya ternak akan mengurangi atau atau meningkatkan laju metabolisme. Williamson dan Payne (1968) menjelaskan, pada sapi tropik yang dipelihara pada suhu lingkungan di atas 27C mekanisme pengaturan panas aktif dan laju pernafasan dan penguapan meningkat. Setiap hewan mempunyai kisaran temperatur lingkungan yang paling sesuai yang disebut Comfort Zone (Williamson dan Payne, 1987; Mc Dowell, 1980; Webster dan Wilson, 1980). Menurut Williamson dan Payne (1987), Mc Dowell (1980) dan Taffal (1982), temperatur lingkungan yang paling sesuai bagi kehidupan ternak di daerah tropik adalah 10C - 27C (50 F - 80 F). Foley et al. (1972) menyatakan bahwa keadaan lingkungan yang ideal untuk sapi perah adalah pada temperatur antara 30F - 60F dan dengan kelembaban rendah. Sedangkan menurut Adi Sudono dkk. (1968) dikutip Kusuma Dewi dkk. (1977), Sapi FH maupun PFH memerlukan persyaratan iklim dengan ketinggian tempat 1000 m dari permukaan laut, suhu berkisar antara 15 - 21C dan kelembaban udaranya di atas 55 persen. Kenaikan temperatur udara di atas 60F relatif mempunyai sedikit efek terhadap produksi sampai dicapai temperatur kritis dari tiap-tiap individu sapi (Umar AR., dkk, 1991). Sapi FH menunjukan pennampilan produsi tebaik apabila ditempatkan pada suhu lingkungan 18,3oC, kelembaban 55%(Yani dan Purwato, 2005).
Perkandangan Kandang merupakan salah satu media budidaya ternak, yang bertujuan untuk mengubah iklim mikro di dalam kandang yang efektif, dimana respon ternak terhadap fluktuasi iklim adalah rendah. Kandang juga berfungsi sebagai mediator untuk setiap kegiatan peternakan yang berhubungan dengan aktivitas ternak, menyediakan sejumlah kenyamanan bagi ternak, dan memberikan naungan serta perlindungan terhadap cekaman iklim. Kandang yang baik akan berpengaruh besar terhadap peningkatan konversi makanan, laju pertumbuhan, dan kesehatan. Sudarmono dan Sugeng (2003) menyatakan bahwa terdapat beberapa fungsi kandang, yaitu menghindarkan ternak dari lingkungan yang merugukan, misalnya terik matahari, hujan, angin kencang, serta gangguan binatang buas dan pencuri, menjaga kehangatan ternak di dalam kandang pada waktu malam hari atau suasana dingin, serta mempermudah pengelolaan dan pengawasan karena semua ternak bisa diberi makan dan minum secara bersamaan. Selain itu, pengawasan terhadap penggunaan pakan, pertumbuhan dan penyakit. Letak kandang juga sangat mempengaruhi ketentraman ternak, maka dari itu menurut Sudarmono dan Sugeng (2003), kandang harus dipilih dengan kriteria sebagai berikut: 1. 2. Tempat lebih tinggi dibandingkan lingkungan sekitar dan tanah sekitarnya mudah meresap air. Tempatnya terbuka, tetapi bukan di bawah pepohonan yang besar dan rindang. Adanya pepohonan akan menghalangi masuknya sinar pagi ke dalam kandang sehingga kandang menjadi lembab dan kurang sehat. Perbedaan tipe kandang pada kondisi lingkungan yang relatif sama tidak berpengaruh pada penampilan, suhu tubuh, dan kecepatan pernafasan. Umumnya, kandang ternak di Indonesia diarahkan untuk mengefisienkan investasi peternakan, baik secara teknis maupun ekonomis. Kondisi tersebut salah satunya dicirikan dengan bentuk konstruksi kandang yang sederhana dan tersusun
dari material kontruksi dengan beban finansial yang rendah, mudah diperoleh, dan memiliki tingkat ketersediaan yang tinggi. Saat ini, material kayu masih menjadi alternatif utama dalam pemilihan material, baik konstruksi permukiman, pertanian, peternakan, perkebunan, dan perindustrian skala kecil (Deptan, 2006). Kandang ternak di Indonesia umumnya menerapkan sistem ventilasi alami, yang mengandalkan proses fisik yang terjadi di lingkungan luar, khususnya melalui pergerakan angin dan perbedaan suhu, dengan tujuan untuk memenuhi sirkulasi dan distribusi udara di dalam kandang. Dengan menerapkan sistem ventilasi alami, maka resiko kecelakaan pada ternak menjadi berkurang (Yusop, 2006). Kandang dengan metode pengendalian iklim secara pasif, memberikan toleransi dengan berinteraksi melalui proses-proses fisika lingkungan, dalam upaya pengubahan iklim mikro di dalam kandang. Pengubahan iklim mikro di dalam bangunan sejalan dengan fluktuasi di lingkungan luar bangunan, dengan intensitas yang berbeda pada parameter iklim mikro yang spesifik. Fluktuasi iklim di lingkungan luar dapat memengaruhi iklim mikro di dalam kandang, serta sistem metabolisme ternak, dalam kaitannya terhadap konsep termonetral (Soegijanto,1999).
DAFTAR PUSTAKA
Hafez, ESE and Dyer IA. 1969. Animal Growth and Nutrition. Philadelphia: Lea and Febiger. Hlm 82-105. Kartasudjana,ruhyat. 2001. Modul Program Keahlian Budidaya Ternak Teknik Budidaya Ternak. Departemen Pendidikan Nasional. Jakarta. Muliadi, Andi dan Marsandi. 2007. Perkandangan Sapi Potong. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Bogor. Soegijanto. 1999. Bangunan di Indonesia Dengan Iklim Tropis lembab Ditinjau Dari Aspek Fisika Bangunan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Jakarta. Sudarmono, A. S. dan Sugeng, Y. B. 2003. Beternak Domba. Penebar Swadaya. Jakarta. Williamson, G dan WJA Payne. 1993. Pengantar Peternakan di Daerah Tropis. Terjemahan. SGN Djiwa Darmadja. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.