Diagnosa Kebuntingan

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 17

I

PENDAHULUAN
1.1

Latar Belakang
Salah satu permasalahan dalam penerapan teknologi inseminasi buatan (IB) pada

ternak adalah evaluasi hasil IB yang berkaitan dengan pemeriksaan kebuntingan.


Pemeriksaan kebuntingan berkaitan erat dengan upaya memperpendek jarak beranak dan
merupakan salah satu faktor yang menentukan efisiensi usaha.
Harapan dari diadakannya program inseminasi buatan adalah terjadinya
kebuntingan. Namun meskipun program inseminasi buatan telah dijalankan dan diperkirakan
dengan baik, tidak adanya jaminan bahwa kebuntingan akan selalu terjadi. Pada perkawinan
alami, kegagalan konsepsi dapat diatasi dengan perkawinan kembali pada periode birahi
berikutnya. Namun pada program inseminasi buatan, pendeteksian kebuntingan sangatlah
penting. Kegagalan kebuntingan penting untuk di deteksi karena apabila hasil reproduksi
ingin ditingkatkan, lama siklus pembiakan ditekan sekecil mungkin.
Hal ini dimungkinkan karena bila ternak yang diinseminasi tidak bunting, maka
sesungguhnya ternak tersebut dapat dikawinkan kembali pada periode berahi berikutnya
tanpa harus menunggu sampai terlihat indikasi kebuntingan dari luar. Sebaliknya, bila ternak
yang dikawinkan bunting, maka peternak dapat memberikan perlakuan khusus pada
ternaknya sehingga dapat mengurangi risiko terjadinya abortus.
Setiap satu kali siklus birahi pada ternak, diharapkan dapat dihasilkan kebuntingan
dengan satu kali inseminasi buatan. Apabila satu kali siklus hilang karena kegagalan
inseminasi buatan merupakan kerugian ekonomi. Terutama pada sistem reproduksi intensif.
Oleh karena itu, intensifikasi produksi ternak akan terus meningkat, sehingga diagnosa
kebuntinganpun akan semakin mendapat perhatian. Untuk mengoptimalkan hasil biakan dari
ternak betina, juga untuk memastikan secepat mungkin keberhasilan kebuntingan.

1.2

1.3

Identifikasi Masalah
1. Bagaimana metode diagnosis kebuntingan
2. Bagaimana cara mendiagnosis kebuntingan pada ternak
3. Apa saja penyebab kegagalan kebuntingan pada ternak
Maksud dan Tujuan
1. Mengetahui metode diagnosis kebuntingan
2. Mengetahui cara mendiagnosis kebuntingan pada ternak
3. Mengetahui penyebab kegagalan kebuntingan pada ternak

II
TINJAUAN PUSTAKA
Kebuntingan didefinisikan sebagai suatu periode fisiologis pasca perkawinan
ternak betina yang menghasilkan konsepsi yang diikuti proses perkembangan embrio
kemudian fetus hingga terjadinya proses partus (Hafez, 2000) sedangkan menurut
Illawati (2009) kebuntingan merupakan suatu proses dimana bakal anak sedang
berkembang di dalam uterus seekor hewan betina. Kebuntingan sapi berlangsung sejak
konsepsi (fertilisasi) sampai terjadinya kelahiran anak (partus) secara normal (Soebandi,
1987; Frandson, 1992).
Seiring bertambahnya umur kebuntingan, uterus mengalami perubahan secara
kontinyu baik dari segi ukuran, letak, maupun morfologi, sehingga dimungkinkan
suatu kaidah dalam memprediksi umur kebuntingan melalui temuan-temuan fisik organ
reproduksi. Sejumlah pendekatan telah dikembangkan dan dievaluasi dalam pemeriksaan
kebuntingan ternak sapi hingga metode diagnosis kebuntingan dapat diklasifikasikan
menjadi dua (langsung dan tidak langsung) atau tiga kategori (visual, klinis, dan tes
laboratorium). Untuk metode klinis, sejauh ini palpasi rektal dan ultrasonografi telah
digunakan lebih dari 95% peternak modern di belahan dunia dari waktu ke waktu (Rodning et
al ., 2012). Bila dilakukan dengan benar, kedua metode tersebut aman untuk induk sapi
dan fetusnya. Meskipun demikian, terlepas dari metode yang digunakan untuk
mendeteksi status kebuntingan, sebagian kecil (sekitar 5%) dari sapi yang didiagnosis
bunting sebelum 60 hari kebuntingan akan mengalami kematian embrio dini, dimana hal ini
bukan merupakan efek dari pemeriksaan kebuntingan itu sendiri melainkan
keguguran yang terjadi secara alami.

III
PEMBAHASAN
2.1. Metode Diagnosa Kebuntingan
2.1.1. Eksplorasi rectal
Eksplorasi rektal adalah metoda diagnosa kebuntingan yang dapat dilakukan
pada ternak besar seperti kuda, kerbau dan sapi. Prosedurnya adalah palpasi uterus
melalui dinding rektum untuk meraba pembesaran yang terjadi selama kebuntingan,
fetus atau membran fetus.
1. Persiapan :
Peralatan : Ember berisi air bersih, kanji/sabun lunak, handuk, sarung tangan
(karet/plastik) panjang, kandang Pemaksa (bila perlu), pakaian (Werk-pack),

sepatu Boot (karet), sabun wangi.


Operator (Pemeriksa) : Kuku harus pendek, mememakai Werk-pack, memakai
Sarung Tangan panjang (bila perlu), memakai Sepatu Boot, tidak memakai

cincin, jam tangan, dsb


Ternak Betina : Diikat, bila perlu tempatkan dalam kandang pemaksa (kandang
jepit), upayakan suasana lingkungan tidak ribut (tenang), hewan jangan

dikasari/disakiti.
2. Prosedur Pelaksanaan
Setelah pelaksana memakai perlengkapan (pakaian yang memadai), tangannya
memakai sarung tangan karet/plastik panjang (bila perlu), kemudian tangannya
(usahakan menggunakan tangan kiri) diberi pelicin (larutan kanji/busa sabun lunak).
Pelaksanaan menuju ternak betina yang akan diperiksa :
a. Ternak diusap/ditepuk dengan lembut agar tenang
b. Pegang pangkal ekornya dengan tangan kanan
c. Tangan kiri : telapak tangan dan jari-jari dibentuk kerucut, dimasukkan ke
dalam rektum dengan jalan didorong sambil diputar.

d. Setelah pergelangan tangan masuk di dalam rektum, telapak tangan dibuka


tekan ke bawah (lantai rektum) untuk meraba organ di bawah rektum.
e. Vagina : saluran lunak .
f. Cervix Uteri : saluran berdinding tebal.
g. Setelah Cervix Uteri teraba, tangan digerakkan maju ke depan, melakukan
penekanan ke bawah dengan telapak tangan terbuka untuk meraba Corpus
Uteri, diteruskan ke depan sampai Bifurcatio Uteri.
h. Setelah Bifurcatio Uteri teraba, lanjutkan dengan meraba Cornua Uteri kiri
dan kanan dan bandingkan dengan kriteria :
i. Cornua Uteri Kiri dan Cornua Uteri Kanan simetris tidak bunting
j. Terus ikuti letak / posisi cornua uteri.
- Posisi cranio ventral simetris tidak bunting
- Cari di ujungnya : ovarium
k. Lakukan pemeriksaan dengan cermat pada cornua uteri kiri dan kanan serta
pada ovarium kiri dan kanan.

Gambar 1. Deteksi Kebuntingan Dengan Cara Palpasi Rektal


Sebagai indikasi bahwa ternak bunting dapat dikenali melalui tanda-tanda
sebagai berikut:
a. Palpasi perektal terhadap cornua uteri, teraba cornua uteri membesar karena
berisi cairan plasenta (amnion dan alantois).
b. Palpasi perektal terhadap cornua uteri, kantong amnion.

c.

Selip selaput fetal, alanto-corion pada penyempitan terhadap uterus dengan ibu
jari dan jari telunjuk secara lues.

d.

Perabaan dan pemantulan kembali fetus di dalam uterus yang membesar yang
berisi selaput fetus dan cairan plasenta.

e.

Perabaan plasenta.

Palpasi arteri uterina media yang membesar, berdinding tipis dan berdesir (fremitus)
(Toelihere, 1985).
2.1.2. Auscultasi Jantung Fetus
Diagnosis kebuntingan dengan mendeteksi auscultasi jantung fetus
dilakukan dengan menggunakan stetoskope yang diletakan pada abdomen sebelah
kanan. Metode ini dapat dengan mendeteksi jantung fetus yang berumur 5 bulan ke
atas. Ultra Sonografi (USG) adalah sebuah metode untuk memvisualisasikan bagianbagian internal tubuh atau janin dalam rahim, dengan menggunakan gelombang suara
ultrasonik, yaitu gelombang suara yang memiliki frekuensi sangat tinggi (250 kHz
2000 kHz). USG Doppler adalah sebuah prosedur yang menggunakan gelombang
suara untuk mengevaluasi darah yang mengalir di jantung, pembuluh darah, dan
katup. Alat untuk mendeteksi kebuntingan kembar adalah Elcetrocardiograph (Siti,
2011).

2.1.3. Kadar Progesteron Darah


Pada sapi, progesteron berfungsi memelihara kebuntingan. Hal ini
disebabkan pada saat kebuntingan korpus lutheum selalu ada. Kondisi ini
dimungkinkan dengan konsentrasi atau level progesteron darah pada hari ke 150
kebuntingan dan selama beberapa saat sebelum kelahiran tinggi, dimana corpus

lutheum merupakan sumber dari progesteron. Selain itu pada periode tersebut,
placenta juga memproduksi progesteron untuk memelihara kebuntingan tersebut.
Evaluasi progesteron dalam plasma darah selama siklus seksual mengikuti
pola tertentu.
-

Pada fase lutheal : lebih dari 0,50 ng/ml


Pada periode 4 6 hari sekitar birahi : kadar progesteron rendah (<0,5 ng/ml)
Periode anestrus dan fase folikuler betina siklik : <0,5 ng/ml
Fase lutheal betina siklik dan betina bunting pada sapi 2 ng/ml sedangkan pada
domba : > 1 ng/ml.
Teknik diagnosa dengan metode evaluasi progesteron darah pada domba

pengambilan sampel plasma darahnya dilakukan pada 17 19 hari post inseminasi


sedangkan pada sapi pengambilan sampel plasma dilakukan pada 19 23 hari post
inseminasi. Sampel dari air susu 21- 24 hari post inseminasi untuk tidak bunting 4,22
0,59 ng/ml dan bunting 18,55 2,20 ng/ml (Siti, 2011).
2.2. Diagnosa Kebuntingan Pada Ternak
2.2.1. Diagnosa Kebuntingan Pada Sapi
Tabel.1. Tanda-tanda Kebuntingan Pada Sapi.
Bulan
3

Keterangan
Kornua sebesar bola voli, letaknya sudah sedikit tertarik ke
rongga perut, arteri uterina media jelas teraba dan terasa
seperti desiran air mengalir, teraba kotiledon sebesar
kedelai, membran fetus teraba.

Fetus sudah masuk ke rongga abdomen dan sulit teraba.


Servik teraba seperti selang pipih, karena uterus tertarik ke
rongga perut disebabkan karena berat fetus dan volume
amnion bertambah volumenya. Plasentom teraba sebesar
uang seratus rupiah, fremitus arteria uterina media teraba
mendesir dengan pembuluh darah yang sebesar sedotan.

Posisi fetus sudah kembali sejajar dengan pelvis, osifikasi


fetus sudah teraba jelas, teraba adanya fremitus arteria
uterina media. Servik terletak di depan tepi cranial pubis
dan hampir tegak lurus ke bawah.

Fetus sudah teraba teracak dan mulut, teraba adanya arteria


uterina media.

Ujung kaki depan dan moncong fetus sangat dekat dengan


rongga pelvis, pada akhir masa kebuntingan otot-otot
sekitar tulang panggul kelihatan mengendur, vulva sedikit
membengkak dan lendir banyak keluar. Teracak, mulut,
ukuran fetus semakin membesar dan fremitus arteria uterina
media semakin jelas.

Pada ternak sapi yang diinseminasi biasanya pemeriksaan dilakukan dua kali sehari
oelh peternak yang dilakukan pada saat pemerahan. Meskipun pengamatan birahi pada ternak
sapi tidak sulit, namun pemeriksaan pada ternak sapi yang diinseminasi perlu dilakukan
dengan cermat. Tidak hanya pada 18 sampai 20 hari atau lebih setelah inseminasi, tetapi
pemeriksaan tetap berlanjut hingga dua sampai tiga bulan, karena sapi sering mengalami
penundaan birahi kembali dan diduga berkaitan dengan kematian embrio secara dini.
Penundaan birahi kembali oleh dinas inseminasi dipertimbangan dalam perhitungan angka
konsepsi. Perhitungan angka konsepsi, biasanya dinyatakan sebagai proporsi dari hewan yang
tidak kembali birahi 45 60 hari dan 60 90 hari setelah inseminasi (RHF Hunter, 1995).

Penggunaan metode palpasi rektal. Apabila dilakukan oleh dokter hewan yang
berpengalaman. Diagnosa kebuntingan dapat dilakukan dari sekitar umur kebuntingan 35
hari, namun yang paling akurat adalah pada 45 50 hari. apabila waktu perkawinan diketahui
secara pasti, kepastian adanya korpus luteum yang berkembang penuh 19 22 hari dan
memberikan >85% bukti konsepsi.
Pada sapi diagnosis yang berdasarkan atas nilai progesteron pada hari ke-20 sampai
24 menghasilkan ketepatan 88 100%. Sedangkan perkiraan yang didasarkan atas
konsentrasi progesteron dalam plasma pada hari ke-19 menghasilkan ketepatan hanya 74%
(Robertston dan Sarda, 1971 dalam RHF Hunter, 1995).
Uji negatif progesteron susu 85 100% tepat akurat pada hari ke-24, sedang uji
positif biasanya tidak lebih dari sekitar 80% benar (Heap, dkk, 1976 dalam RHF Hunter,
1995). Namun metode pendugaan progesteron pada susu tidak dapat diterapkan pada sapi
dara, dan jarang cocok untuk digunakan pada sapi pedaging, dikarenakan masalah
pengambilan contoh susu dilapangan.
2.2.2. Diagnosa kebuntingan pada domba
Diagnosa kebuntingan pada domba dapat dilakukan salah satunya dengan metode
penggunaan suara ultra (ultrasound). Dengan menempelkan sebuah alat periksa pada
abdomen, radars itu dapat mendeteksi adanya fetus mulai dari sekitar umur kebuntingan
sembilan minggu. Suara ultra dengan frekuensi yang sangat tinggi dan panjang gelombang
yang sangat pendek dipantulkan dari benda yang bergerak ke sumber transmisi dengan
frekuensi yang sedikit berubah, gejala dropler. Sinyal ultrasonik yang dipantulkan dari benda
bergerak dapat diubah menjadi gambaran visual pada layar kecil. Dengan pengalaman
menempelkan alat periksa (probe), instrumen ini dapat memberikan keberhasilan sampai
93% (Fraser dan Robertson, 1968 dalam RHF Hunter, 1995).
Pada hari ke-50 masa perkembangan fetus dapat digunakan metode diagnosa
radiografi fetus. Didasarkan atas deteksi proses penulangan dengan memakai sinar-X (Ardran
dan Brown, 1964). Akurasi yang dihasilkan 90 95% pada tiga bulan setelah kawin
(Wenham dan Robinson, 1972 dalam RHF Hunter, 1995).

Diagnosa kebuntingan pada domba juga dapat menggunakan penaksiran


progesteron dalam plasma darah. Ketepatan diagnosa dengan menggunakan metode ini
adalah 85% pada hari ke-17 atau 18 setelah kawin (Robertson dan Sarda, 1971; Saumande
dan Thimonier, 1972; Thimonier, 1973 dalam RHF Hunter, 1995).
Selain beberapa metode yang telah disebutkan, pemeriksaan kebuntingan pada
domba juga dapat dilakukan dengan cara pemeriksaan abdomen. Pemasukan endoskop
kedalam rongga abdomen untuk mendeteksi uterus bunting atau adanya corpus luteum dapat
diterapkan paling cepat pada hari ke-17 setelah kawin (Philippo dkk, 1971 dalam RHF
Hunter, 1995). Namun penerapan metode ini memerlukan pembiusan lokal atau umum.
Prosedur ini memakan waktu 10 20 menit perekor. Ketepatan diagnosis ini mencapai 90%
(Philippo dan Rhind, 1977 dalam RHF Hunter, 1995).
Metode lainnya adalah palpasi abdomen. Karena induk domba terlalu kecil untuk
dipalpasi isi abdomennya, sebuah batang plastik dimasukan kedalam rectum untuk
memindahkan uterus ke dinding abdomen. Metode ini dapat dilakukan pada umur
kebuntingan 7 minggu. Ketepatannya sangat rendah sampai umur ke 10 minggu dan harus
diperhitungkan adanya risiko kerusakan pada induk domba (RHF Hunter, 1995).
2.2.3. Pemeriksaan kebuntingan pada kuda
Pemeriksaan kebuntingan pada kuda hingga kini telah diketahui metode
palpasi per rektum, metode biologik dan metode immunologik. Metode biologik
diciptakan oleh ascheim dan zondek yang menggunakan mencit betina sedang metode
biologik yang lainnya diciptakan friedman yang menggunakan kelinci betina. Metode
immunologik ada 2 macam, yaitu metode yang mengandung radio-aktif dan metode
tanpa radio-aktif. Metode Biologik untuk pemeriksaan kebuntingan pada kuda
Pada dasarnya, dengan metode biologik ini yang diperiksa adalah adanya
hormon PMS. Hormon ini mencapai puncak kadar dalam darah pada hari yang ke 50
setelah fertilisasi dan mulai menurun setelah kebuntingan pada hari ke 120.

pemeriksaan dilakukan sebelum hari ke 50 atau sesudah 120 hasilnya


diragukan.menurut Frandson (1992) menyatakan metode ini dapat dilakukan pada
kebuntingan 50 sampai 84 hari.
Metode Imunologik untuk pemeriksaan kebuntingan pada kuda. Pada
dasarnya digunakan serum (anti bodi) untuk mendeteksi adanya PMS yang ada dalam
darah kuda tersangka. Anti bodi ini berasal dari kelinci yang telah berkali-kali
disuntik dengan hormon PMS yang telah dicampur dengan zat pelambat absorpsi,
dengan interval 1 minggu. Pada umumnya sistem yang dipakai adalah Complement
Fixation Test (CP test) atau Hemoagulation Inhibition Test (HI).
Tabel.2. Diagnosa Kebuntingan Melalui Palpasi Rektal pada Kuda
Hari Kebuntingan
30
45
60
90
Sumber : Frandson, 1992

Ukuran Penggelembungannya (Cm)


Diameter 5; Panjang 7,5
Diameter 7,5; Panjang 11,5
Diameter 12,5; Panjang 15
Diameter 20; Panjang 22,5

2.3.
Kegagalan Pada Kebuntingan
2.3.1. Abortus karena sebab-sebab infeksi
1. Infeksi non spesifik
Yang termasuk dalam infeksi non spesifik diantaranya :
a. Endometritis (radang uterus) merupakan peradangan pada endometrium
(dinding rahim). Uterus (rahim) sapi biasanya terkontaminasi dengan
berbagai mikroorganisme (bakteri) selama masa puerpurium (masa
nifas).
b. Piometra (radang uterus bernanah) merupakan pengumpulan sejumlah
eksudat purulen dalam lumen uterus (rongga rahim) dan adanya korpus

luteum persisten pada salah satu ovariumnya. Korpus luteum mengalami


persistensi mungkin karena adanya isi uterus abnormal, menyebabkan
hambatan pelepasan prostaglandin dari endometrium atau menahan
prostaglandin dalam lumen uterus
c. Vaginitis merupakan peradangan pada vagina, biasanya sebagai
penjalaran dari metritis dan pneumovagina atau dapat disebabkan oleh
tindakan penanganan masalah reproduksi yang tidak tepat seperti tarikan
paksa/ fetotomi.
2. Infeksi yang bersifat spesifik, diantaranya :
a. Brucellosis penyebab brucellosis pada sapi adalah Brucella abortus
sedangkan pada kambing/ domba adalah Brucella melitensis. Bersifat
zoonosis dan menyebabkan demam undulan pada manusia bila
mengkonsumsi susu yang tercemar B.abortus.
b. Leptospirosis penyebabnya yaitu Leptospira pomona, Leptospira
gripothyposa, Leptospira conicola, Leptospira hardjo. Cara
penularannya melalui kulit terbuka/ selaput lendir (mulut, pharynx,
hidung, mata) karena kontak dengan makanan dan minuman yang
tercemar. Gejala yang nampak diantaranya : anoreksia (tidak mau
makan), produksi susu turun, abortus pada pertengahan kebuntingan
dan biasanya terjadi retensi plasenta, metritis dan infertilitas.
c. Vibriosis penyebabnya adalah Vibrio fetus veneralis atau
Campylobacter foetus veneralis. Dapat menular melalui perkawinan
dengan pejantan tercemar. Gejala yang timbul diataranya :
endometritis dan kadang kadang salpingitis dengan leleran
mukopurulen, siklus estrus diperpanjang 32 hari, kematian embrio,
abortus pada trisemester 2 kebuntingan dan terjadinya infertilitas
karena kematian embrio dini.
d. Tuberkulosis penyebabnya adalah Mycobacterium bovis. Dapat
menular melalui ekskresi, sputum (riak), feses, susu, urin, semen,

traktus genitalis (saluran kelamin), pernafasan, ingesti dan perkawinan


dengan hewan yang sakit. Gejala yang nampak diataranya : abortus,
retensi plasenta, lesi uterus bilateral, salpingitis dan adhesi (perlekatan)
antara uterus.
e. IBR- IPV penyebabnya adalah virus herpes dengan tingkat kematian
prenatal dan neonatal cukup tinggi. Penularan dapat melalui air, pakan,
kontak langsung maupun tidak langsung.
f. BVD-MD, virus BVD-MD menyerang sapi dengan gejala: demam
tinggi, depresi, anorexia, diare, lesi pada mukosa mulut dan sistem
pencernaan, abortus pada 2-9 bulan kebuntingan serta terjadinya kawin
berulang.
g. EBA (Epizootik Bovine Abortion) penyebabnya Chlamydia atau
Megawanella. Gejala yang nampak :abortus pada 4-9 bulan
kebuntingan, stillbirth (lahir kemudian mati), jika fetus lahir maka
2.3.2.
1.
2.
3.

lemah, retensi plasenta.


Abortus karena sebab-sebab non infeksi
Keracunan
Defisiensi Makanan
Hormonal
Ukuran yang dipakai untuk menyatakan adanya gangguan reproduksi

Angka kebuntingan (Conception rate) < 50%


Jarak antar beranak (Calving interval) > 400 hari
Jarak antar melahirkan sampai bunting kembali (Service periode) > 120 hari
Angka perkawinan per kebuntingan (Service per Conception) > 2
Jumlah induk sapi yg membutuhkan lebih dari tiga kali IB utk terjadinya
kebuntingan > 30%

III
KESIMPULAN
1. Diagnosa kebuntingan pada ternak dapat dilakukan dengan beberapa cara
diantaranya eksprolasi rektal, auscultasi jantung fetus, deteksi progesteron
darah, deteksi progesteron plasma darah atau air susu.
2. Tidak setiap metode diagnosa kebuntingan dapat diterapkan kepada semua
ternak, seperti eksplorasi rektal yang hanya dapat dilakukan pada ternak besar.
3. Keakuratan dari setiap metode berbeda-beda pada setiap ternak dan umur
kebuntingan.
4. Kegagalan kebuntingan dapat disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya
sebab-sebab infeksi yang biasanya disebabkan oleh mikroorganisme (virus
dan bakteri) dan non infeksi yang disebabkan oleh keracunan, defisiensi
makanan, hormonal.

DAFTAR PUSTAKA
Arsyad, Yudistira BS. 2010. Penanganan Kesehatan Hewan (Kasus Gangguan
Reproduksi Pada Ternak Sapi). Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan
Provinsi lampung.
Frandson. 1982. Anatomi dan Fisiologi Ternak. Terjemahan Srigandowo dan Praseno.
Gadjahmada University press. Yogyakarta
________. 1992. Anatomi dan Fisiologi Ternak. Gadjah Mada University Press.
Yogyakarta.
Hafez. 2000. Reproduction in Farm Animals. 7th ed. Lippincott Williams &
Wilkins. Philadelphia.
Hunter, R.H.F., 1995, Fisiologi dan Teknologi Reproduksi Hewan Betina Domestik,
Institut Teknologi Bandung, Bandung.
Illawati, R.W. 2009. Efektivitas Penggunaan Berbagai Volume Asam Sulfat Pekat
(H2SO4) untuk Menguji Kandungan Estrogen dalam Urine Sapi Brahman
Cross Bunting. Skripsi. Sekolah Tinggi Peternakan. Sijunjung.
Rasad, Siti. 2011. Teknologi Reproduksi Ternak. Universitas Padjadjaran. Sumedang
Ratnawati, Pratiwi Cahya Dan Affandhy Lukman. 2009. Petunjuk Teknis
Penanganan Gangguan Reproduksi Pada Sapi Potong. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Peternakan Badan Penelitian Dan Pengembangan Peternakan
Departemen Pertanian.
Rodning, S, W. Prevatt, R. Carson, J. Elmore, and M. Elmore. 2012. Annual Beef
Cow Pregnancy Examination. Animal Sciences Series Timely Information:

Agriculture & Natural Resources. Alabama Cooperative Extension System


and Auburn University.
Soebandi, P. 1987. Ilmu Reproduksi Hewan. Mutiara Sumber Widya. Jakarta.
Toelihere, M. R. 1985. Fisiologi Reproduksi Pada Ternak. Angkasa; Bandung.

MAKALAH TEKNOLOGI REPRODUKSI TERNAK


Diagnosa Kebuntingan

Disusun Oleh :
Kelompok 7
Kelas A
Sauma Ramadhani

200110130253

Ridwan Firdaus

200110130279

Muhammad Hikmat A.

200110130280

Ades Mulyawan

200110130297

Ina Nuraeni

200110130311

Adi Setiawan

200110130326

Etya Nurriemas G

200110130333

FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS PADJADJARAN
SUMEDANG
2016

Anda mungkin juga menyukai