Miastenia Gravis

Unduh sebagai doc, pdf, atau txt
Unduh sebagai doc, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 29

BAB I

PENDAHULUAN
1.1

Latar Belakang
Miastenia gravis merupakan penyakit neuromuscular yg merupakan gabungan

antara cepatnya terjadi kelelahan otot-otot volunter & lambatnya pemulihan atau
suatu penyakit autoimun dimana persambungan otot dan saraf ( neuromuscular
junction ) berfungsi secara tidak normal dan menyebabkan kelemahan otot menahun.
Miastenia gravis adalah suatu keadaan yang ditandai oleh kelemahan atau
kelumpuhan otot-otot lurik setelah melakukan aktivitas dan akan pulih kekuatannya
setelah beberapa saat yaitu dari beberapa menit sampai jam. Jolly (1895) adalah
orang yang pertamakali menggunakan istilah miastenia gravis dan ia juga
mengusulkan pemakaian fisostigmin sebagai obatnya namun hal ini tidak berlanjut.
Baru kemudian Remen (1932) dan Walker (1934) menyatakan bahwa fisostigmin
merupakan obat yang baik untuk miastenia gravis.
Miastenia gravis merupakan penyakit yang jarang ditemui, dan dapat terjadi
pada berbagai usia. Biasanya penyakit ini lebih sering tampak pada usia 20-50 tahun.
Wanita lebih sering menderita penyakit ini dibandingkan pria. Rasio perbandingan
wanita dan pria yang menderita miastenia gravis adalah 6 : 4. Pada wanita, penyakit
ini tampak pada usia yang lebih muda, yaitu sekitar 28 tahun, sedangkan pada pria,
penyakit ini sering terjadi pada usia 42 tahun. Early-onset miastenia gravis biasanya
terjadi pada wanita pada usia 18-50 tahun dan late-onset miastenia gravis lebih
sering pada laki-laki dengan usia 50 tahun ke atas.

Miastenia gravis timbul karena adanya gangguan dari synaptic transmission


atau pada paut saraf otot (neuromuscular junction). Kematian dari penyakit miastenia
gravis biasanya disebabkan oleh insufisiensi pernafasan, tetapi dpt dilakukannya
perbaikan dlm perawatan intensif.
1.2
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
1.3
1.
2.

Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang terdapat dalam makalah ini adalah :
Anatomi, Fisiologi, dan Biokimia Neuromuscular Junction
Definisi Miastenia Gravis
Epidemiologi Miastenia Gravis
Klasifikasi Miastenia Gravis
Etiologi Miastenia Gravis
Patofisiologi Miastenia Gravis
Manifestasi Klinis Miastenia Gravis
Diagnosis Miastenia Gravis
Penatalaksanaan Miastenia Gravis
TUJUAN
Adapun tujuan pembuatan makalah ini adalah :
Mengetahui Anatomi, Fisiologi, dan Biokimia Neuromuscular Junction
Mengetahui definisi, epidemiologi, klasifikasi, etiologi, patofisiologi,
manifestasi klinis, diagnosis dari Miastenia Gravis dan mampu melakukan

penatalaksanaan terhadap penyakit Miastenia Gravis.


3. Mampu melakukan diagnostik dan tindakan yang tepat pada kasus-kasus
Miastenia Gravis.

BAB II
PEMBAHASAN
1.1
1.1.1

Anatomi, Fisiologi, dan Biokimia Neuromuscular Junction


Anatomi
Sebelum memahami tentang miastenia gravis, pengetahuan tentang anatomi

dan fungsi normal dari neuromuscular junction sangatlah penting. Tiap-tiap serat
saraf secara normal bercabang beberapa kali dan merangsang tiga hingga beberapa

ratus serat otot rangka. Ujung-ujung saraf membuat suatu sambungan yang disebut
neuromuscular junction atau sambungan neuromuskular.
Bagian terminal dari saraf motorik melebar pada bagian akhirnya yang disebut
terminal bulb, yang terbentang diantara celah-celah yang terdapat di sepanjang serat
saraf. Membran presinaptik (membran saraf), membran post sinaptik (membran otot),
dan celah sinaps merupakan bagian-bagian pembentuk neuromuscular junction.

1.1.2

Fisiologi dan Biokimia


Secara biokimiawi keseluruhan proses pada neuromuscular junction dianggap

berlangsung dalam 6 tahap, yaitu:


1. Sintesis asetil kolin terjadi dalam sitosol terminal saraf dengan menggunakan
enzim kolin asetiltransferase yang mengkatalisasi reaksi berikut ini:
Asetil-KoA + Kolin Asetilkolin + KoA
2. Asetilkolin kemudian disatukan ke dalam partikel kecil terikat-membran yang
disebut vesikel sinap dan disimpan di dalam vesikel ini.
3. Pelepasan asetilkolin dari vesikel ke dalam celah sinaps merupakan tahap
berikutnya. Peristiwa ini terjadi melalui eksositosis yang melibatkan fusi vesikel
dengan membran presinaptik. Dalam keadaan istirahat, kuanta tunggal (sekitar
10.000 molekul transmitter yang mungkin sesuai dengan isi satu vesikel sinaps)
akan dilepaskan secara spontan sehingga menghasilkan potensial endplate

miniature yang kecil. Kalau sebuah akhir saraf mengalami depolarisasi akibat
transmisi sebuah impuls saraf, proses ini akan membuka saluran Ca2+ yang
sensitive terhadap voltase listrik sehingga memungkinkan aliran masuk Ca2+ dari
ruang sinaps ke terminal saraf. Ion Ca2+ ini memerankan peranan yang esensial
dalam eksositosis yang melepaskan asitilkolin (isi kurang lebih 125 vesikel) ke
dalam rongga sinaps.
4. Asetilkolin yang dilepaskan akan berdifusi dengan cepat melintasi celah sinaps ke
dalam reseptor di dalam lipatan taut (junctional fold), merupakan bagian yang
menonjol dari motor end plate yang mengandung reseptor asetilkolin (AChR)
dengan kerapatan yang tinggi dan sangat rapat dengan terminal saraf. Kalau 2
molekul asetilkolin terikat pada sebuah reseptor, maka reseptor ini akan
mengalami perubahan bentuk dengan membuka saluran dalam reseptor yang
memungkinkan aliran kation melintasi membran. Masuknya ion Na+ akan
menimbulkan depolarisasi membran otot sehingga terbentuk potensial end plate.
Keadaan ini selanjutnya akan menimbulkan depolarisasi membran otot di
dekatnya dan terjadi potensial aksi yang ditransmisikan disepanjang serabut saraf
sehingga timbul kontraksi otot.
5. Kalau saluran tersebut menutup, asetilkolin akan terurai dan dihidrolisis oleh
enzim asetilkolinesterase yang mengkatalisasi reaksi berikut:
Asetilkolin + H2O Asetat + Kolin
Enzim yang penting ini terdapat dengan jumlah yang besar dalam lamina basalis
rongga sinaps

6. Kolin didaur ulang ke dalam terminal saraf melalui mekanisme transport aktif di
mana protein tersebut dapat digunakan kembali bagi sintesis asetilkolin.
Beberapa sifat dari reseptor asetilkolin di neuromuscular junction adalah
sebagai berikut:

Merupakan reseptor nikotinik (nikotin adalah agonis terhadap reseptor)

Merupakan glikoprotein bermembran dengan berat molekul sekitar 275 kDa.

Mengandung lima subunit : 2 alfa, beta, delta dan gamma.

Dua molekul asetilkolin harus berikatan untuk membuka saluran ion, yang
memungkinkan aliran baik Na+ maupun K+.

Bisa berikatan dengan erat pada subunit dan dapat digunakan untuk melabel
reseptor atau sebagai suatu ligand berafinitas untuk memurnikannya.

1.2

Autoantibodi terhadap reseptor termasuk penyebab miastenia gravis.

Definisi Miastenia Gravis


Miastenia gravis adalah suatu keadaan yang ditandai oleh kelemahan atau

kelumpuhan otot-otot lurik setelah melakukan aktivitas dan akan pulih kekuatannya
setelah beberapa saat yaitu dari beberapa menit sampai jam. Jolly (1895) adalah
orang yang pertamakali menggunakan istilah miastenia gravis dan ia juga
mengusulkan pemakaian fisostigmin sebagai obatnya namun hal ini tidak berlanjut.
Baru kemudian Remen (1932) dan Walker (1934) menyatakan bahwa fisostigmin
merupakan obat yang baik untuk miastenia gravis.
Antibodi reseptor asetilkolin terdapat didalam serum pada hampir semua
pasien. Antibodi ini merupakan antibodi igG dan dapat melewati plasenta pada

kehamilan, yang menyebabkan miastenia neonatal pada bayi

baru lahir.

(Corwin,2009)
Alasan pembentukan autoantibodi reseptor anti-asetilkolin masih belum
diketahui. Timektomi sering memperbaiki keadaan ini, dan diyakini bahwa timus
berperan pada etiologi miastenia gravis, baik bekerja sebagai sumber antigen reaktifsilang (sel-sel mioid timus membawa reseptor asetilkolin pada permukaannya). Atau
terlibat pada pembentukan sel-sel T helper

yang memengaruhi pembentukan

autoantibodi. Timus bukan merupakan sumber antibodi tersebut, yang dihasilkan oleh
jaringan limfoid perifer. (Chandrasoma,2005)
1.3

Epidemiologi Miastenia Gravis


Miastenia gravis merupakan penyakit yang jarang ditemui, dan dapat terjadi

pada berbagai usia. Biasanya penyakit ini lebih sering tampak pada usia 20-50 tahun.
Wanita lebih sering menderita penyakit ini dibandingkan pria. Rasio perbandingan
wanita dan pria yang menderita miastenia gravis adalah 6 : 4. Pada wanita, penyakit
ini tampak pada usia yang lebih muda, yaitu sekitar 28 tahun, sedangkan pada pria,
penyakit ini sering terjadi pada usia 42 tahun.( Saktivi,2015)
Insiden miastenia gravis pada anak-anak 0,9 2,0 kasus per 1 juta anak tiap
tahun pada populasi pediatrik usia 0 17 tahun di Kanada dari tahun 2010 hingga
2011. Angka yang lebih tinggi didapatkan di Amerika Utara, yaitu 9,1 per 1 juta
penduduk. Sebanyak 4,2% terjadi pada usia 0 9 tahun dan 9,5% pada usia 9 19
tahun. Sri-udomkajorn (2011) mendapatkan bahwa miastenia gravis pada anak lebih
banyak mengenai perempuan, usia awitan rata-rata biasanya 4 tahun dan tipe okuler
lebih sering daripada tipe generalisata.

Hasil yang berbeda pernah dilaporkan bahwa usia awitan terjadi pada anak
yang lebih tua, yaitu usia 13 tahun dan lebih banyak tipe generalisata.2 Miastenia
gravis tipe okuler lebih banyak pada ras Asia, sedangkan tipe generalisata lebih banya
pada ras Eropa dan Amerika. ( Saktivi,2015)

1.4

Klasifikasi Miastenia Gravis


Untuk menentukan prognosis dan pengobatannya, penderita miastenia gravis

dibagi atas 4 golongan yaitu antara lain :


Golongan I : Miastenia Okular
Pada kelompok ini terdapat gangguan pada satu atau beberapa otot okular
yang menyebabkan timbulnya gejala ptosis dan diplopia, seringkali ptosis unilateral.
Bentuk ini biasanya ringan akan tetapi seringkali resisten terhadap pengobatan.
Golongan II : Miastenia bentuk umum yang ringan
Timbulnya gejala perlahan-lahan dimulai dengan gejala okular yang
kemudian menyebar mengenai wajah, anggota badan dan otot-otot bulbar. Otot- otot
respirasi biasanya tidak terkena. Perkembangan ke arah golongan III dapat terjadi
dalam dua tahun pertama dari timbulnya penyakit miastenia gravis.
Golongan III : Miastenia bentuk umum yang berat
Pada kasus ini timbulnya gejala biasanya cepat, dimulai dari gangguan otot
okular, anggota badan dan kemudian otot pernafasan. Kasus-kasus yang mempunyai
reaksi yang buruk terhadap terapi antikolinesterase berada dalam keadaan bahaya dan
akan berkembang menjadi krisis miastenia.
Golongan IV : Krisis miastenia
Kadang-kadang terdapat keadaan yang berkembang menjadi kelemahan otot
yang menyeluruh disertai dengan paralisis otot-otot pernafasan . Hal ini merupakan
keadaan darurat medik. Krisis miastenia dapat terjadi pada penderita golongan III

yang kebal terhadap obat-obat antikolinesterase yang pada saat yang sama menderita
infeksi lain. Keadaan lain yang berkembang menjadi kelumpuhan otot-otot
pernafasan

adalah

disebabkan

oleh

banyaknya

dosis

pengobatan

dengan

antikolinesterase yang disebut krisis kolinergik.


Ada beberapa faktor yang mempengaruhi perjalanan penyakit ini, penderita
akan bertambah lemah pada waktu menderita demam, pada golongan III biasanya
akan terjadi krisis miastenia pada waktu adanya infeksi saluran nafas bagian atas,
pada kebanyakan wanita akan terjadi peningkatan kelemahan pada saat menstruasi.
Menurut Myasthenia Gravis Foundation of America (MGFA), miastenia gravis dapat
diklasifikasikan sebagai berikut :
Kelas
I

subkelas

Gejala
Adanya kelemahan otot-otot okular, kelemahan pada saat
menutup mata, dan kekuatan otot-otot lain normal.
Terdapat kelemahan otot okular yang semakin parah, serta

II

adanya kelemahan ringan pada otot-otot lain selain otot


IIa

okular.
Mempengaruhi otot-otot aksial, anggota tubuh, atau keduanya.

IIb

Juga terdapat kelemahan otot-otot orofaringeal yang ringan


Mempengaruhi otot-otot orofaringeal, otot pernapasan atau
keduanya. Kelemahan pada otot-otot anggota tubuh dan otototot aksial lebih ringan dibandingkan klas IIa.
Terdapat kelemahan yang berat pada otot-otot okular.

III

Sedangkan otot-otot lain selain otot-otot okular mengalami


IIIa

kelemahan tingkat sedang.


Mempengaruhi otot-otot anggota tubuh, otot-otot aksial, atau
keduanya secara predominan. Terdapat kelemahan otot

IIIb

orofaringeal yang ringan.


Mempengaruhi otot orofaringeal, otot-otot pernapasan, atau
keduanya secara predominan. Terdapat kelemahan otot-otot

anggota tubuh, otot-otot aksial, atau keduanya dalam derajat


ringan.
Otot-otot lain selain otot-otot okular mengalami kelemahan

IV

dalam derajat yang berat, sedangkan otot-otot okular


IVa

mengalami kelemahan dalam berbagai derajat


Secara predominan mempengaruhi otot-otot anggota tubuh
dan atau otot-otot aksial. Otot orofaringeal mengalami

IVb

kelemahan dalam derajat ringan.


Mempengaruhi otot orofaringeal, otot-otot pernapasan atau
keduanya secara predominan. Selain itu juga terdapat
kelemahan pada otot-otot anggota tubuh, otot-otot aksial, atau
keduanya dengan derajat ringan. Penderita menggunakan
feeding tube tanpa dilakukan intubasi.
Penderita terintubasi, dengan atau tanpa ventilasi mekanik.

Biasanya gejala-gejala miastenia gravis sepeti ptosis dan strabismus tidak


akan tampak pada waktu pagi hari. Di waktu sore hari atau dalam cuaca panas,
gejala-gejala itu akan tampak lebih jelas. Pada pemeriksaan, tonus otot tampaknya
agak menurun.Miastenia gravis juga dapat dikelompokkan secara lebih sederhana
seperti dibawah ini :
a. Miastenia gravis dengan ptosis atau diplopia ringan.
b. Miastenia gravis dengan ptosis, diplopi, dan kelemahan otot-otot untuk untuk
mengunyah, menelan, dan berbicara. Otot-otot anggota tubuhpun dapat ikut
menjadi lemah. Pernapasan tidak terganggu.
c. Miastenia Gravis yang berlangsung secara cepat dengan kelemahan otot-otot
okulobulbar. Pernapasan tidak terganggu. Penderita dapat meninggal dunia.
Penderita terintubasi, dengan atau tanpa ventilasi mekanik.

1.5

Etiologi Miastenia Gravis


Miastenia gravis adalah suatu penyakit autoimun yang berhubungan dengan

penyakit-penyakit lain seperti : tirotoksikosis, miksedema, artritis rematoid dan lupus


eritematosus sistemik. Dulu di katakan bahwa IgG autoimun antibodi merangsang
pelepasan thymin, suatu hormon dari kelenjar timus yang mempunyai kemampuan
mengurangi jumlah asetilkolin. Sekarang dikatakan bahwa miastenia gravis
disebabkan oeh kerusakan reseptor asetilkolin neuromuscular junction akibat
penyakit autoimun.
Pada penyakit miastenia gravis yaitu kelemahan otot yang berbahaya telah
ditemukan adanya antibodi yang menduduki reseptor acetylcholine dari motor end
plate sehingga ia tidak dapat menggalakkan serabut-serabut otot skeletal. Antibodi
tersebut dikenal sebagai antiacetylcholine reseptor antibodi ayng terbukti dibuat oleh
kelenjar timus yang dihasilkan oleh proses imunologik.
Pada miastena gravis ciri-ciri imunologik lebih lengkap daripada penyakit otot
lainnya. Gejala tunggal utama adalah kelemahan otot setelah mengeluarkan tenaga
yang sembuh kembali setelah istirahat. Walaupun kelumpuhan khas itu dapat timbul
pada setiap otot terutama otot-otot okuler dan saraf kranial motorik yang sering
terkena juga adalah otot wajah dan otot penelan.
Pembuktian etiologi auto-imunologiknya diberikan oleh kenyataan bahwa
glandula timus mempunyai hubungan yang erat. Pada 80% dari penderita mistenia
gravis didapati glandula timus yang abnormal. Kira-kira 10% dari mereka
memperlihatkan struktur timoma dan pada penderita lainnya terdapat infiltrat limfosit
pada pusat germinativa di glandula timus seperti juga ditemukan pada penderita
lupus eritematosus sistemik, tirotoksikosis, miksedema, penyakit Addison dan anemia
hemolitik eksperimental pada tikus.

Gambaran histologik otot yang terkena terdiri dari reaksi CMI. Antibodi dan
faktor rheumatoid kedua-duanya ditemukan pada maworitas penderita miastenia
gravis. Kombinasi dengan

arthritis rheumatid, lupus, anemia pernisiosa,

sarkoidosis, Hodgkin dan tiroidits sering dijumpai pada beberapa penderita


miastenia gravis.
1.6

Patofisiologi Miastenia Gravis


Biasanya kelemahan otot dimulai diotot-otot ekstraokuler,kelopak mata

melorot (ptosis) dan penglihatan ganda (diplopia) menyebabkan pasien berobat.


Namun, gejala awal dapat berupa kelemahan otot generalisata. Kelemahan ini
befluktuasi, dengan perubahan terjadi dalam satu hari, beberapa jam, atau bahkan
dalam hitungan menit serta penyakit medis lain dapat menyebabkan eksaserbasi
kelemahna otot. Pasien memperlihatkan perbaikan kekuatan otot pada pemberian obat
antikolinesterase. Hal ini masih merupakan uji paling bermanfaat dalam pemeriksaan
klinik. Dahulu, gangguan pernapasan merupakan penyebab utama kematian. Kini,
95% pasien dapat bertahan hidup lebih dari 5 tahun setelah diagnosis berkat
meningkatnya metode pengobatan dan perbaikan bantuan ventilasi. Bentuk terapi
yang efektif antara lain adalah obat antikolinesterase, prednison, plasmaferesis, dan
reseksi timoma jika ada. (Kumar at al,2009)

Kelemahan pada otot-otot pada miastenia gravis dan meningkatnya


kelemahan otot pada saat melakukan kegiatan fisik adalah disebabkan oleh penurunan
jumlah reseptor asetilkolin pada neuromuscular junction. Pada orang normal waktu
untuk kegiatan fisik adalah lebih lama dibandingkan waktu yang dibutuhkan untuk
pemulihan kekuatan otot atau istirahat, sebaliknya pada miastenia gravis justru waktu
yang dibutuhkan untuk istirahat adalah lebih lama dibandingkan dengan waktu yang
dibutuhkan untuk kegiatan fisik.
Mekanisme imunogenik memegang peranan yang sangat penting pada
patofisiologi miastenia gravis. Observasi klinik yang mendukung hal ini mencakup
timbulnya kelainan autoimun yang terkait dengan pasien yang menderita miastenia
gravis, misalnya autoimun tiroiditis, sistemik lupus eritematosus, arthritis rheumatoid,
dan lain-lain. Sejak tahun 1960, telah didemonstrasikan bagaimana autoantibodi pada
serum penderita miastenia gravis secara langsung melawan konstituen pada otot.
Inilah yang memegang peranan penting pada melemahnya otot penderita
dengan miastenia gravis. Tidak diragukan lagi, bahwa antibodi pada reseptor
nikotinik asetilkolin merupakan penyebab utama kelemahan otot pasien dengan
miastenia gravis. Autoantibodi terhadap asetilkolin reseptor (anti-AChRs), telah
dideteksi pada serum 90% pasien yang menderita acquired myasthenia gravis
generalisata. Mekanisme pasti tentang hilangnya toleransi imunologik terhadap
reseptor asetilkolin pada penderita miastenia gravis belum sepenuhnya dapat
dimengerti.

Miastenia gravis dapat dikatakan sebagai penyakit terkait sel B, dimana


antibodi yang merupakan produk dari sel B justru melawan reseptor asetilkolin.
Peranan sel T pada patogenesis miastenia gravis mulai semakin menonjol. Timus
merupakan organ sentral terhadap imunitas yang terkait dengan sel T. Abnormalitas
pada timus seperti hiperplasia timus atau thymoma, biasanya muncul lebih awal pada
pasien dengan gejala miastenik. Pada pasien miastenia gravis, antibodi IgG
dikomposisikan dalam berbagai subklas yang berbeda, dimana satu antibodi secara
langsung melawan area imunogenik utama pada subunit alfa.
Ikatan

antibodi

reseptor

asetilkolin

pada

reseptor

asetilkolin

akan

mengakibatkan terhalangnya transmisi neuromuskular melalui beberapa cara, antara


lain : ikatan silang reseptor asetilkolin terhadap antibodi anti-reseptor asetilkolin dan
mengurangi jumlah reseptor asetilkolin pada neuromuscular junction dengan cara
menghancurkan sambungan ikatan pada membran post sinaptik, sehingga
mengurangi area permukaan yang dapat digunakan untuk insersi reseptor-reseptor
asetilkolin yang baru disintesis.
1.7

Manifestasi klinis Miastenia Gravis


Gambaran klinis miastenia gravis sangat jelas yaitu dari kelemahan lokal yang

ringan sampai pada kelemahan tubuh menyeluruh yang fatal. Kira-kira 33% hanya
terdapat gejala kelainan okular disertai dengan kelemahan otot-otot lainnya. Kira-kira
15% ditemukan kelemahan ektremitas tanpa disertai dengan gejala kelainan okular.
Yang lainnya kira-kira 20% penderita didapati kesulitan mengunyah dan menelan.
Anamnesis yang klasik dari penderita dengan miastenia okular adalah adanya
gejala diplopia yang timbul pada sore hari atau pada waktu maghrib dan menghilang

pada waktu pagiharinya. Dapat pula timbul ptosis pada otot-otot kelopak mata. Bila
otot-otot bulbar terkena, suaranya menjadi suara basal yang cenderung berfluktuasi
dan suara akan memburuk bila percakapan berlangsung terus. Pada kasus yang berat
akan terjadi afoni temporer. Adanya kelemahan rahang yang progresif pada waktu
mengunyah dan penderita seringkali menunjang rahangnya dengan tangan sewaktu
mengunyah. Keluhan lainnya adalah

disfagia dan regurgitasi makanan sewaktu

makan.
Tanda klinis dari miastenia gravis adalah (Crown,2009) :

Kelemahan otot mata, yang menyebabkan ptosis ( turunnya kelopak mata).


Ptosis yang merupakan salah satu gejala kelumpuhan nervus okulomotorius,

Sering menjadi keluhan utama penderita miastenia gravis. Walupun pada miastenia
gravis otot levator palpebra jelas lumpuh, namun ada kalanya otot-otot okular masih
bergerak normal. Tetapi pada tahap lanjut kelumpuhan otot okular kedua belah sisi
akan melengkapi ptosis miastenia gravis. Kelemahan otot bulbar juga sering terjadi,
diikuti dengan kelemahan pada fleksi dan ekstensi kepala.

Gambar : Penderita Miastenia Gravis yang mengalami kelemahan otot


esktraokular (ptosis).

Kelemahan otot penderita semakin lama akan semakin memburuk.


Kelemahan tersebut akan menyebar mulai dari otot ocular, otot wajah, otot
leher, hingga ke otot ekstremitas.

Sewaktu-waktu dapat pula timbul kelemahan dari otot masseter sehingga


mulut penderita sukar untuk ditutup. Selain itu dapat pula timbul kelemahan dari otot
faring, lidah, pallatum molle, dan laring sehingga timbullah kesukaran menelan dan
berbicara. Paresis dari pallatum molle akan menimbulkan suara sengau. Selain itu
bila penderita minum air, mungkin air itu dapat keluar dari hidungnya.

1.8

Diagnosis Miastenia Gravis


Pemeriksaan fisik yang cermat harus dilakukan untuk menegakkan diagnosis

suatu miastenia gravis. Kelemahan otot dapat muncul dalam berbagai derajat yang
berbeda, biasanya menghinggapi bagian proksimal dari tubuh serta simetris di kedua
anggota gerak kanan dan kiri. Refleks tendon biasanya masih ada dalam batas
normal.Miastenia gravis biasanya selalu disertai dengan adanya kelemahan pada otot
wajah. Kelemahan otot wajah bilateral akan menyebabkan timbulnya a mask-like
face dengan adanya ptosis dan senyum yang horizontal. (Crown,2009)
Kelemahan otot bulbar juga sering terjadi pada penderita dengan miastenia
gravis. Pada pemeriksaan fisik, terdapat kelemahan otot-otot palatum, yang
menyebabkan suara penderita seperti berada di hidung (nasal twang to the voice)
serta regurgitasi makanan terutama yang bersifat cair ke hidung penderita. Selain itu,
penderita miastenia gravis akan mengalami kesulitan dalam mengunyah serta
menelan makanan, sehingga dapat terjadi aspirasi cairan yang menyebabbkan
penderita batuk dan tersedak saat minum. Kelemahan otot-otot rahang pada miastenia
gravis menyebakan penderita sulit untuk menutup mulutnya, sehingga dagu penderita

harus terus ditopang dengan tangan. Otot-otot leher juga mengalami kelemahan,
sehingga terjadi gangguan pada saat fleksi serta ekstensi dari leher. (Crown,2009)
Untuk penegakan diagnosis miastenia gravis, dapat dilakukan pemeriksaan
sebagai berikut (Crown,2009) :
1. Penderita ditugaskan untuk menghitung dengan suara yang keras. Lama kelamaan
akan terdengar bahwa suaranya bertambah lemah dan menjadi kurang terang.
Penderita menjadi anartris dan afonis.
2. Penderita ditugaskan untuk mengedipkan matanya secara terus-menerus. Lama
kelamaan akan timbul ptosis. Setelah suara penderita menjadi parau atau tampak
ada ptosis, maka penderita disuruh beristirahat. Kemudian tampak bahwa
suaranya akan kembali baik dan ptosis juga tidak tampak lagi.
Untuk memastikan diagnosis miastenia gravis, dapat dilakukan beberapa tes
antara lain ( Saktivi,2009) :
a. Uji Tensilon (edrophonium chloride)
Untuk uji tensilon, disuntikkan 2 mg tensilon secara intravena, bila tidak
terdapat reaksi maka disuntikkan lagi sebanyak 8 mg tensilon secara intravena.
Segera sesudah tensilon disuntikkan hendaknya diperhatikan otot-otot yang lemah
seperti misalnya kelopak mata yang memperlihatkan ptosis. Bila kelemahan itu benar
disebabkan oleh miastenia gravis, maka ptosis itu akan segera lenyap. Pada uiji ini
kelopak mata yang lemah harus diperhatikan dengan sangat seksama, karena
efektivitas tensilon sangat singkat. ( Saktivi,2009)
b. Uji Prostigmin (neostigmin)

Pada tes ini disuntikkan 3 cc atau 1,5 mg prostigmin merhylsulfat secara


intramuskular (bila perlu, diberikan pula atropin atau mg). Bila kelemahan itu
benar disebabkan oleh miastenia gravis maka gejala-gejala seperti misalnya ptosis,
strabismus atau kelemahan lain tidak lama kemudian akan lenyap. (Saktivi,2009)

c. Uji Kinin
Diberikan 3 tablet kinina masing-masing 200 mg. 3 jam kemudian diberikan 3
tablet lagi (masing-masing 200 mg per tablet). Bila kelemahan itu benar disebabkan
oleh miastenia gravis, maka gejala seperti ptosis, strabismus, dan lain-lain akan
bertambah berat. Untuk uji ini, sebaiknya disiapkan juga injeksi prostigmin, agar
gejala-gejala miastenik tidak bertambah berat. ( Saktivi,2009)
Pemeriksaan tambahan untuk Miastenia Gravis adalah :
a. Anti-Asetilkolin reseptor antibodi
Hasil dari pemeriksaan ini dapat digunakan untuk mendiagnosis suatu miastenia
gravis, dimana terdapat hasil yang postitif pada 74% pasien. 80% dari penderita
miastenia gravis generalisata dan 50% dari penderita dengan miastenia okular murni
menunjukkan hasil tes anti-asetilkolin reseptor antibodi yang positif. Pada pasien
thymoma tanpa miastenia gravis sering kali terjadi false positive anti-AChR antibo4.
( Saktivi,2009)

Rata-rata titer antibody pada pemeriksaan anti-asetilkolin reseptor antibody, yang


dilakukan oleh Tidall, di sampaikan pada tabel berikut ( Saktivi,2009) :

Tabel : Prevalensi dan Titer Anti-AChR Ab pada Pasien Miastenia Gravis

Osserman Class

Mean antibody Titer

Percent Positive

0.79

24

2.17

55

IIA

49.8

80

IIB

57.9

100

III

78.5

100

IV

205.3

89

Klasifikasi : R = remission, I = ocular only, IIA = mild generalized, IIB =


moderate generalized, III = acute severe, IV = chronic severe
Pada tabel ini menunjukkan bahwa titer antibodi lebih tinggi pada penderita
miastenia gravis dalam kondisi yang parah, walaupun titer tersebut tidak dapat
digunakan untuk memprediksikan derajat penyakit miastenia gravis. ( Saktivi,2009)

b. Antistriated muscle (anti-SM) antibody


Merupakan salah satu tes yang penting pada penderita miastenia gravis. Tes ini
menunjukkan hasil positif pada sekitar 84% pasien yang menderita thymoma dalam
usia kurang dari 40 tahun. Pada pasien tanpa thymoma dengan usia lebih dari 40
tahun, anti-SM Ab dapat menunjukkan hasil positif. ( Saktivi,2009)

c. Anti-muscle-specific kinase (MuSK) antibodies


Hampir 50% penderita miastenia gravis yang menunjukkan hasil anti-AChR Ab
negatif (miastenia gravis seronegarif), menunjukkan hasil yang positif untuk antiMuSK Ab. ( Saktivi,2009)

d. Antistriational antibodies
Dalam serum beberapa pasien dengan miastenia gravis menunjukkan adanya
antibody yang berikatan dalam pola cross-striational pada otot rangka dan otot
jantung penderita. Antibodi ini bereaksi dengan epitop pada reseptor protein titin dan
ryanodine (RyR). Antibody ini selalu dikaitkan dengan pasien thymoma dengan
miastenia gravis pada usia muda. Terdeteksinya titin/RyR antibody merupakan suatu
kecurigaaan yang kuat akan adanya thymoma pada pasien muda dengan miastenia
gravis. ( Saktivi,2009)
DIAGNOSIS BANDING
Beberapa diagnosis banding untuk menegakkan diagnosis miastenia gravis,
antara lain:

Adanya ptosis atau strabismus dapat juga disebabkan oleh lesi nervus III pada
beberapa penyakit elain miastenia gravis, antara lain :
o Meningitis basalis (tuberkulosa atau luetika)
o Infiltrasi karsinoma anaplastik dari nasofaring
o Aneurisma di sirkulus arteriosus Willisii

o Paralisis pasca difteri


o Pseudoptosis pada trachoma

Apabila terdapat suatu diplopia yang transient maka kemungkinan adanya suatu
sklerosis multipleks.

Sindrom Eaton-Lambert (Lambert-Eaton Myasthenic Syndrome)

Penyakit ini dikarakteristikkan dengan adanya kelemahan dan kelelahan pada


otot anggota tubuh bagian proksimal dan disertai dengan ke;emahan relatif pada otototot ekstraokular dan bulbar. Pada LEMS, terjadi peningkatan tenaga pada detik-detik
awal suatu kontraksi volunter, terjadi hiporefleksia, mulut kering, dan sering kali
dihubungkan dengan suatu karsinoma terutama oat cell carcinoma pada paru.
( Saktivi,2009)
EMG pada LEMS sangat berbeda dengan EMG pada miastenia gravis. Defek
pada transmisi neuromuscular terjadi pada frekuensi renah (2Hz) tetapi akan terjadi
ahmbatan stimulasi pada frekuensi yang tinggi (40 Hz). Kelainan pada miastenia
gravis terjadi pada membran postsinaptik sedangkan kelainan pada LEMS terjadi
pada membran pre sinaptik, dimana pelepasan asetilkolin tidak berjalan dengan
normal, sehingga jumlah asetilkolin yang akhirnya sampai ke membran postdinaptik
tidak mencukupi untuk menimbulkan depolarisasi. (Crown,2009)

Normalnya

asetilkolin

diuraikan

ditaut

neuromuskular

oleh

enzim

asetilkolinesterase. Diagnosis klinis miastenia gravis dapa ditegaskan berdasarkan


kembalinya kekuatan otot setelah pemberian intravena otot yang mencegah

aktivitas

asetilkolinesterase

fonium

klorida

(Tensilon),

memungkinkan

asetilkolinmemiliki kesempatan yang lebih besar untuk berikatan dengan


reseptornya sehingga terjadi kontraksi otot volunter. Efek Tensilon berlangsung

beberapa menit, kemudian kelemahan otot muncul kembali.


Pengukuran elektromiografi (EMG) potensial aksi otot rangka memperlihatkan
penurunan amplitudo pada stimulasi neurn motorik. (Crown,2009)

1.9

Penatalaksanaan Miastenia Gravis


Dasar pengobatan adalah dengan menggunakan obat-obat antikolinesterase

misalnya neostigmin dan piridostigmin.Obat-obat ini berperan menghambat


kolinesterase yang kerjanya menghancurkan asetilkolin. Biasanya dimulai dengan 1
tablet neostigmin atau piridostigmin 3 kali perhari, kemudian dosisnya ditingkatkan
bergantung pada reaksi penderita. Obat-obat antikolinesterase ini mempunyai
aktivitas muskarinik dan nikotinik. Efek muskarinik yaitu mempengaruhi otot polos
dan kelenjar, sedangkan efek nikotinik yaitu mempengaruhi ganglion autonom dan
myoneural junction.
Efek muskarinik seperti koli abdomen, diare dan hiperhidrosis dapat diatasi
dengan pemberian atropin. Pada penderita usia tua atau penderita dengan
kontraindikasi untuk dilakukan timektomi. Karena terapi steroid dapat menimbulkan
efek samping selam 2 minggu pengobatan, maka perlu perawatan di rumah sakit,
terutama bila timbul gejala-gejala bulbar. Obat antikolinesterase harus diteruskan dan
prednison diberikan serta ditingkatkan perlahan-lahan dari dosis inisial 25 mg sampai

100 mg perhari dan diberikan selang satu hari, tergantung pada reaksi penderita.
Setelah ada perbaikan, dosis neostigmin dan piridostigmin dapat diturunkan perlahanlahan. Kombinasi baik piridostigmin dan prednison yang diberikan selang 1 hari
merupakan terapi inisial pilihan untuk penderita dengan timoma.
Dalam penatalaksanaan pada miastenia gravis dapat diberikan terapi sebagai berikut :
1. Neostigmin bromide (prostigmin) 15 mg per tab.(per os). Biasanya diberikan 3x1
tab sehari ) dapat ditingkatkan menjadi 3x2 tab). Untuk menghindari timbulnya
nyeri perut sebaiknya diberikan pula atropin atau ext. Belladonnae.
2. Neostigmin methylsulfat (prostigmin) 0,5 mgr/amp (i.m / i.v). Bila perlu
diberikan 0,5 mgr prostigmin secara i.m (dapat ditingkatkan sampai 1,5 mgr.
Prostigmin secara i.m).
3.

Endrophonium chloride (tensilon) 10 mgr. per amp. (i.v).

4. Pyridostigmin bromide (mestinon) 60 mgr per tab (per os).


5. Pyridostigmin bromide (mestinon time span) 180 mgr. per tab (per os)
Obat-obat tersebut diatas adalah obat-obat antikolinesterase (kolinesterase
inhibitor). Pemberian obat-obat antikolinesterase memiliki efek toksis yang dapat
mencakup efek muskarinik (parasimpatikomimetik), efek nikotinik dan central
nervous system effect. Over dosis obat-obat antikolinesterase akan dapat
menimbulkan krisis kolinergik dengan gangguan pernafasan. Gangguan pernafasan
yang timbul antara lain : bronkokonstriksi, bronkhorrhea, paralisis otot-otot dada dan
depresi pusat pernafasan (sentral).
Terapi Jangka Pendek untuk Intervensi Keadaan Akut
1. Plasma Exchange (PE)

Dasar terapi dengan PE adalah pemindahan anti-asetilkolin secara efektif.


Respon dari terapi ini adalah menurunnya titer antibodi. PE paling efektif digunakan
pada situasi dimana terapi jangka pendek yang menguntungkan menjadi prioritas.
Terapi ini digunakan pada pasien yang akan memasuki atau sedang mengalami masa
krisis.
PE dapat memaksimalkan tenaga pasien yang akan menjalani thymektomi
atau pasien yang kesulitan menjalani periode postoperative. Belum ada regimen
standar untuk terapi ini, tetapi banyak pusat kesehatan yang mengganti sekitar satu
volume plasma tiap kali terapi untuk 5 atau 6 kali terapi setiap hari.
Albumin (5%) dengan larutan salin yang disuplementasikan dengan kalsium
dan natrium dapat digunakan untuk replacement. Efek PE akan muncul pada 24 jam
pertama dan dapat bertahan hingga lebih dari 10 minggu. Efek samping utama dari
terapi PE adalah terjadinya pergeseran cairan selama pertukaran berlangsung. Terjadi
retensi kalsium, magnesium, dan natrium yang dpat menimbulkan terjadinya
hipotensi. Trombositopenia dan perubahan pada berbagai faktor pembekuan darah
dapat terjadi pada terapi PE berulang. Tetapi hal itu bukan merupakan suatu keadaan
yang dapat dihubungkan dengan terjadinya perdarahan, dan pemberian fresh-frozen
plasma tidak diperlukan
2. Intravenous Immunoglobulin (IVIG)
Produk tertentu dimana 99% merupakan IgG adalah complement-activating
aggregates yang relatif aman untuk diberikan secara intravena. Mekanisme kerja dari
IVIG belum diketahui secara pasti, tetapi IVIG diperkirakan mampu memodulasi

respon imun. Reduksi dari titer antibodi tidak dapat dibuktikan secara klinis, karena
pada sebagian besar pasien tidak terdapat penurunan dari titer antibodi.
Efek dari terapi dengan IVIG dapat muncul sekitar 3-4 hari setelah memulai
terapi. IVIG diindikasikan pada pasien yang juga menggunakan terapi PE, karena
kedua terapi ini memiliki onset yang cepat dengan durasi yang hanya beberapa
minggu. Tetapi berdasarkan pengalaman dan beberapa data, tidak terdapat respon
yang sama antara terapi PE dengan IVIG, sehingga banyak pusat kesehatan yang
tidak menggunakan IVIG sebagai terapi awal untuk pasien dalam kondisi krisis.
Dosis standar IVIG adalah 400 mg/kgbb/hari pada 5 hari pertama, dilanjutkan 1
gram/kgbb/hari selama 2 hari.
IVIG dilaporkan memiliki keuntungan klinis berupa penurunan level antiasetilkolin reseptor yang dimulai sejak 10 hingga 15 hari sejak dilakukan pemasangan
infus. Efek samping dari terapi dengan menggunakan IVIG adalah nyeri kepala yang
hebat, serta rasa mual selama pemasangan infus, sehingga tetesan infus menjadi lebih
lambat. Flulike symdrome seperti demam, menggigil, mual, muntah, sakit kepala, dan
malaise dapat terjadi pada 24 jam pertama.
Pengobatan Farmakologi Jangka Panjang
1. Kortikosteroid
Kortikosteroid adalah terapi yang paling lama digunakan dan paling murah
untuk pengobatan miastenia gravis. Respon terhadap pengobatan kortikosteroid mulai
tampak dalam waktu 2-3 minggu setelah inisiasi terapi. Durasi kerja kortikosteroid
dapat berlangsung hingga 18 bulan, dengan rata-rata selama 3 bulan. Kortikosteroid
memiliki efek yang kompleks terhadap sistem imun dan efek terapi yang pasti

terhadap miastenia gravis masih belum diketahui. Koortikosteroid diperkirakan


memiliki efek pada aktivasi sel T helper dan pada fase proliferasi dari sel B. Sel T
serta antigen-presenting cell yang teraktivasi diperkirakan memiliki peran yang
menguntungkan dalam memposisikan kortikosteroid di tempat kelainan imun pada
miastenia gravis. Pasien yang berespon terhadap kortikosteroid akan mengalami
penurunan dari titer antibodinya. Kortikosteroid diindikasikan pada penderita dengan
gejala klinis yang sangat mengganggu, yang tidak dapat di kontrol dengan
antikolinesterase. Dosis maksimal penggunaan kortikosteroid adalah 60 mg/hari
kemudian dilakukan tapering pada pemberiannya. Pada penggunaan dengan dosis
diatas 30 mg setiap harinya, aka timbul efek samping berupa osteoporosis, diabetes,
dan komplikasi obesitas serta hipertensi.
2. Azathioprine
Azathioprine biasanya digunakan pada pasien miastenia gravis yang secara
relatif

terkontrol

tetapi

menggunakan

kortikosteroid

dengan

dosis

tinggi.

Azathioprine dapat dikonversi menjadi merkaptopurin, suatu analog dari purin yang
memiliki efek terhadap penghambatan sintesis nukleotida pada DNA dan RNA.
Azathioprine diberikan secara oral dengan dosis pemeliharaan 2-3 mg/kgbb/hari.
Pasien diberikan dosis awal sebesar 25-50 mg/hari hingga dosis optimafl tercapai.
Azathioprine merupakan obat yang secara relatif dapat ditoleransi dengan baik oleh
tubuh dan secara umum memiliki efek samping yang lebih sedikit dibandingkan
dengan obat imunosupresif lainnya. Respon Azathioprine sangant lambat, dengan
respon maksimal didapatkan dalam 12-36 bulan. Kekambuhan dilaporkan terjadi

pada sekitar 50% kasus, kecuali penggunaannya juga dikombinasikan dengan obat
imunomodulasi yang lain.
3. Cyclosporine
Cyclosporine berpengaruh pada produksi dan pelepasan interleukin-2 dari sel
T-helper. Supresi terhadap aktivasi sel T-helper, menimbulkan efek pada produksi
antibodi. Dosis awal pemberian Cyclosporine sekitar 5 mg/kgbb/hari terbagi dalam
dua atau tiga dosis. Respon terhadap Cyclosporine lebih cepat dibandingkan
azathioprine. Cyclosporine dapat menimbulkan efek samping berupa nefrotoksisitas
dan hipertensi.
BAB III
PENUTUP
3.1

KESIMPULAN
Miastenia gravis adalah gangguaan sistem saraf perifer yang ditandai dengan

pembentukan auto antibodi terhadap reseptor asetilkolin yang terdapat di daerah


motor end-plate otot rangka.
Pembagian Miastenia :
1. Miastenia gravis dengan ptosis atau diplopia ringan.
2. Miastenia gravis dengan ptosis, diplopi, dan kelemahan otot-otot untumengunyah,
menelan, danberbicara. Otot-otot anggota tubuhpun dapat ikut menjadi lemah.
Pernapasan tidak terganggu.
3. Miastenia Gravis yang berlangsung secara cepat dengan kelemahan otot-ototo
kulobulbar. Pernapasan tidak terganggu. Penderita dapat meninggal dunia.
Tanda klinis dari miastenia gravis adalah :
1. Kelemahan otot mata, yang menyebabkan ptosis ( turunnya kelopak mata).

2. kelemahan otot penderita semakin lama akan semakin memburuk. Kelemahan


tersebut akan menyebar mulai dari otot ocular, otot wajah, otot leher, hingga ke
otot ekstremitas.
Diagnosis dapat dilakukan dengan beberapa test, yaitu :
1. Uji Tensilon
2. Uji Prostigmin
3. Uji Kinin

DAFTAR PUSTAKA
Benny dewa. Miastenia Gravis. www.miasteniagravisneurologi.com/120708, etc
oktober, 2015
Harsono, 2005. Buku Ajar Neurologi Klinik PERDOSSI. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.
Harkitasari, Saktivi.2015. Diagnosis dan Terapi Miastenia Gravis pada Anak vol.42
no.3. Denpasar: Fakultas kedokteran universitas Udayana
Kumar, dkk. 2005. Robbins & cotran dasar patofisiologi penyakit, ed.7. Jakarta :
EGC
Ngoerah Gd. Ng. Gst. I, Dasar-Dasar Ilmu Penyakit Saraf. Airlangga University
Press. 1991.
Sidharta Priguna. 2008 Tata Pemeriksaan Klinis Dalam Neurologi. Jakarta. Penerbit
Dian Rakyat.

Sidharta Priguna dan Mardjono Mahar, 2006. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta.
Penerbit Dian Rakyat.

KASUS
Bapak jones adalah pelanggan reguler di toko saya, dia menyerahkan resep
kepada saya. Bapak jones memiliki beberapa kesulitan dengan resep karena dia tidak
bisa fokus dengan baik karena kelopak matanya terkulai, dan tangannya lemah. Barubaru ini dia mengambil pensiun dini dari pekerjaan nya sebagai petugas kantor
karena ia mendapatkan exteme. Bapak jones merasa lelah pada otot-ototnya, terutama
sepanjang hari di tempat kerja nya. Kelelahan improve dan sedang istirahat. ia telah
berbicara dengan saya beberapa bulan yang lalu tentang kelelahan yang dia rasakan
dan dia berpikir bahwa mungkin diakibatkan karena stres atau diet yang salah, karena
ia telah bekerja seharian untuk menyelesaikan waktu kerja nya. ia membeli beberapa
multivitamin gingseng. Tapi rasa lelah nya tidak berkurang kecuali bila ia beristirahat
dalam beberapa hari.

Bapak Jones diminta oleh ahli saraf untuk melakukan beberapa tes dan GP
menuliskan resep untuknya.
Bapak

jones diminta oleh ahli

saraf di rumah sakit setempat untuk

menjalankan beberapa tes dan meminta GP untuk menuliskan resep nya yaitu
pyridostigmine bromide tablets. Bapak jones awal nya meminum obat 4 kali sehari
setengah

tablet. Selanjut nya sampai enam tablet sehari . jika otot nya masih

mengalami kelemahan maka GP meresepkan kembali tablet hiosin botylbromide 10


mg dua tablet diminum empat kali sehari.
Penyelesaian Masalah
Subject:

nama : Bapak jones


umur : jenis kelamin : laki-laki
gejala : lelah, stress, diet yang salah, kelopak matanya terkulai

Object : Tidak ada dicantumkan hasil pemeriksaan laboratorium dalam angka.


Assessment:
Dari gelaja yang di tunjukkan oleh pasien seperti : lelah, stress, kelopak
matanya terkulai, pasien di diagnosis menderita penyakit miastenia gravis kelas IIB
karena di tunjukkan dengan gejala-gejala okular,aktifitas yang terbatas dan respon
terhadap terapi obat yang kurang memuaskan.
Plan

Terapi Farmakologi
Pyridostigmine bromide teblets. Awalnya 4 x 1 hari setengah tablet, kemudian
dilanjut 6 x 1 hari.
Hiosin botylbromide 10 mg 4 x 1 hari 2 tablet
Terapi Non-Farmakologi
a. Periode istirahat yang sering selama siang hari yang berfungsi untuk
menghermat energi.
b. Hindari/kurangin aktivitas yang berat.
c. Hindari Stress
d. Konsumsi makanan yang bergizi.

Anda mungkin juga menyukai