Peradilan Agama Pada Masa Penjajahan Belanda
Peradilan Agama Pada Masa Penjajahan Belanda
Peradilan Agama Pada Masa Penjajahan Belanda
DISUSUN OLEH:
Abrian Alkaf
Jeki Hajah Darma Putra
308 293
308 013
Dosen Pembimbing :
Nurhasnah, M.Ag
Arlis, S.HI, M.H
Asasriwarni dan Nurhasnah, Peradilan Agama di Indonesia, Padang: Hayfa Press, 2006, h. 44.
kedua daerah itu bukanlah hukum Islam, tetapi pengaruh itu baru mempunyai kekuatan hukum
kalau telah benar-benar diterima oleh hukum adat.
Pendapat ini dikenal dengan Theori Receptio yang banyak mempunyai pengikut di
kalangan sarjana hukum. Pada tahun 1922 M, pengaruh teori ini rupanya menjadi sangat kuat,
karena pada tahun tersebut pemerintahan telah membentuk sebuah komisi untuk mengawasi
Dewan-dewan Ulama.
Maka atas usul Komisi tersebut, pada tahun 1931 M dikeluarkanlah peraturan bernomor
153 yang merinci peralihan penanganan Pengadilan-pengadilan Agama mengenai perkaraperkara hak milik dan warisan kepada pengadilan-pengadilan sipil, sehingga membatasi
wewenang Pengadilan-pengadilan Agama hanya pada persoalan-persoalan pernikahan saja.
Kebijakan Pemerintahan Belanda ini telah menimbulkan protes dari umat Islam. Akibatnya
peraturan-peraturan tersebut baru dapat diberlakukan pada 1937 M.
Berdasarkan realitas yang ada itu, Komisi itu memberi rekomendasi kepada Gubernur
Jenderal untuk meninjau kembali wewenang Pengadilan Agama. Dengan alasan bahwa hukum
kewarisan Islam belum diterima sepenuhnya oleh hukum adat. Maka pada tahun 1937 dengan
Staatsblad Nomor 116 pasal 2 ayat 2 a ayat (1) wewenang mengadili perkara kewarisan dicabut
dan dialihkan menjadi kewenangan Pengadilan Negeri.2
Campur tangan resmi pemerintah kolonial Belanda dalam soal peradilan Agama mulai tampak
pada tahun 1820, yaitu melalui intruksinya kepada para Bupati dalam Stbl. 1820 Nomor 22 Pasal
13 menentukan sebagai berikut:
Bupati wajib memperhatikan soal-soal agama Islam dan untuk menjaga supaya pemuka dapat
melakukan tugas mereka sesuai dengan adat kebiasaan orang Jawa seperti dalam soal
;perkawinan, pembagian pusaka dan sejenis itu.
Ibid, h. 45-47
Pasai, Demak, Banten, dan lain-lain yang pernah berdiri di Indonesia melaksanakan hukum
Islam dalam wilayah kekuasaannya.
Sampai masa kedatangan Belanda ke Indonesia kesadaran hukum Islam masih tetap
tumbuh dan berkembang. Oleh sebab itu Belanda tidak mau turut campur dalam urusan
masyarakat. Keadaan yang mereka jumpai terutama mengenai lembaga-lembaga Agama Islam
seperti peradilan mereka biarkan berjalan sebagaimana adanya.
Pada abad ke- 19 M, ketika pemerintah Kolonial Belanda mulai melaksanakan
kekuasaannya di Indonesia, sikapnya terhadap hukum Islam mulai berubah. Perubahan tersebut
dilakukan secara perlahan-lahan dan sistematis, akhirnya sangat mengerikan terhadap hukum
Islam.
Selanjutnya pada tahun 1882, Belanda mengeluarkan peraturan terhadap Peradilan
Agama untuk daerah Jawa dan Madura yang dimuat dalam Stbl. 1882 Nomor 152 menangani
Pengadilan Agama disebutkan dalam pasal 2a yaitu wewenang Road Agama memeriksa
perselisihan-perselisihan antar suami istri yang beragama Islam dan perkara-perkara lain tetang
nikah, talak, rujuk dan perceraian antara orang-orang yang beragama Islam yang memerlukan
perantara hakim agama dan berkuasa memutuskan perceraian dan menyatakan bahwa untuk
jatuh talak digantungkan sudah ada.3
Pengadilan Agama yang didirikan di Jawa dan Madura diberi nama dengan priesterraad
atau majelis pendeta. Pada umumnya para ahli hukum Islam di Indonesia menganut pandangan
bahwa istilah priesterraad tidaklah tepat dan keliru, karena dalam bahasa Islam tidak dikenal
adanya pranata kependetaan atau padri. Kekeliruan itu dikecam oleh Snouck Hugronje yang
menyatakan bahwa kekeliruan itu adalah akibat kedangkalan ilmu pemerintah.4
Dalam Stbl. 1882 Nomor 152 tidak disebutkan dengan jelas wewenang dari Pengadilan
Agama, seperti telah dinyatakan di atas bahwa wewenang Pengadilan Agama berdasarkan
kebiasaan dengan ruuang lingkup soal-soal yang berhubungan dengan perkawinan, kewarisan,
wakaf dan hal-hal lainnya yang dipandang erat hubungannya dengan agama.5
Ketika itu Pengadilan Agama tidak mempunyai daya paksa dan tidak mempunyai
kekuatan hukum, sehingga salah satu pihak yang berperkara tidak mau tunduk atas keputusan
tersebut, maka keputusan itu baru dapat dijalankan dengan terlebih dahulu dimintakan executoir
3
4
5
Ibid, h. 47-48
Asasriwarni, Sejarah Peradilan Islam, Padang: IAIN Press, 2008, h. 91, cet ke-2
Basiq Djalil, Peradilan Agama di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2006, h.55-56
verklaring pada Pengadilan Negeri atau diberikan kekuatan oleh ketua Landraad (Pengadilan
Negeri). Dalam hal ini sering kali ketua Landraad tidak mau memberikan kekuatan yang diminta,
dengan alasan bahwa Pengadilan Agama telah melampaui batas kekuasaannya atau Landraad
membuat keputusan baru yang berlainan dengan keputusan Pengadilan Agama. Hal ini
disebabkan berbedanya sumber hukum yang digunakan oleh kedua Pengadilan tersebut.
Keputusan Politik itu diwujudkan dalam bentuk perubahan Stbl.1882 Nomor 152 dengan
perubahan Stbl. 1937 Nomor 116 dan 610, mulai pada tanggal 1 April 1937. dalam Stbl. 1937
Nomor 116 dikurangi wewenang Pengadilan Agama yaitu, waris, wakaf dan hadhanah yang
dialihkan menjadi wewenang Pengadilan Umum, sehingga wewenang Pengadilan Agama hanya
masalah perkawinan saja. Sehingga wewenang peradilan Agama berdasarkan ketentuan baru
yang diatur dalam Pasal 2 (a) hanya meliputi:
1. Perselisihan antara suami istri yang beragama Islam.
2. Perkara-perkara tentang nikah, talak, rujuk dan perceraian antara orang yang beragama
Islam yang memerlukan perantara hakim agama Islam.
3. Menyelenggarakan Perceraian.
4. Menyatakan bahwa syarat untuk jatuhnya talak yang digantungkan (talik al-thalaq) telah
ada.
5. Perkara mahar dan mas kawin.
6. Perkara tentang keperluan kehidupan istri yang wajib diadakan suami.
Perkara-perkara di atas tidak sepenuhnya menjadi wewenang Pengadilan Agama, karena
dalam perkara-perkara tersebut bila terdapat tuntutan pembayaran uang dan pemberian harta
benda, maka harus diperiksa dan diputuskan oleh Landraad. Kenyataan di atas yang membatasi
kekuasaan Pengadilan Agama terutama pencabutan hak memeriksa waris, menimbulkan perasaan
tidak senang di kalangan umat Islam, sehingga mereka mengadakan reaksi terhadap Stbl. 1937
Nomor 116 dan memohon agar ketentuan itu dicabut kembali, karena pada tanggal 1 Januari
1938, Belanda mendirikan Hof Voor Islamietische Zaken atau Mahkamah Islam Tinggi (MIT),
sebagai Pengadilan tingkat Banding terhadap Keputusan-keputusan Pengadilan Agama. Lahirnya
ketentuan ini bertujuan untuk merendam keadaan.6
Pada tahun 1937 M Belanda mengeluarkan peraturan Peradilan Agama di sebagian
daerah Kalimantan Selatan dan Timur, yang dimuat dalam Stbl. 1937 nomor 638 dan 639.
6
Ibid, h. 91-92
Peradilan Agama untuk daerah ini disusun dalam dua tingkatan yaitu Kerapatan Qadhi (Qadhi
Gerecht) untuk tingkat pertama dan Kerapatan Qadhi Besar (Opperka Qadhi Gerecht) untuk
tingkat banding dengan susunan dan kekuasaan yang sama dengan Pengadilan Agama di Jawa
dan Madura.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kekuasaan Pengadilan Agama pada masa
Penjajahan Belanda pada awalnya meliputi masalah pernikahan, waris, wasiat, dan hibah.
Namun kemudian masalah kewarisan dicabut dan dengan adanya executoir varklaring
menjadikan Peradilan Agama mempunyai kedudukan yang tidak sederajat dengan Pengadilan
Negeri.
D. Peradilan Agama Pada Masa Penjajahan Jepang.
Setelah pulau Jawa diduduki dan dikuasai sepenuhnya oleh Balatentara Jepang, maka pada
tanggal 8 Maret 1942 dikeluarkanlah Undang-Undang Bala Tentara Jepang (Osanu Seizu) yaitu
UU No. 1 Tahun 1942 Pasal 3 Undang-Undang ini berbunyi: Semua badan-badan pemerintah
dan kekuasaannya, hukum dan Undang-Undang dari pemerintahan yang dulu tetap diakui sah
buat sementara waktu, asal tidak bertentangan dengan atugran pemerintah militer.
Selanjutnya pada tanggal 29 April 1942 Pemerintah Balatentara Dai Nippon (Jepang)
mengeluarkan Undang-undang No. 14 Tahun 1942yang mengatur tentang Pengadilan Balatentara
Dai Nippon. Di Dalam Pasal 1 disebutkan bahwa di Tanah Jawa dan Madura telah diadakan
Gunsen Hooin (Pengadilan Pemerintah Balatentara). Selanjutnya di dalam pasal 3 disebutkan
bahwa buat sementara waktu Gunsei Hooin terdiri atas:
1. Tiho Hooin (Pengadilan Nageri)
2. Keizai Hooin (Hakim Kepolisian)
3. Ken Hooin (Pengadilan Kabupaten)
4. Gun Hooin (Pengadilan Kewedanan)
5. Kai Koyo Kooto Hooin (Mahkamah Islam Tinggi)
6. Sooryo Hooin (Rapat Agama).
Berdasarkan kedua peraturan perundang-undangan di atas terlihat bahwa Peradilan
Agama dipertahankan dan tidak mengalami perubahan penting, kecuali namanya diganti dengan
Sooryo Hooin (Rapat agama) dan Kai Koyo Kooto Hooin (Mahkamah Islam Tinggi).
Dalam sebuah catatan tertanggal 14 bulan 4 2605 (14 April 1945) termuat jawaban
Dewan Sanyo yang selengkapnya berbunyi sebagai berikut:
Dalam Negara baru yang memisahkan urusan Negara dari urusan Agama tak perlu
mengadakan Pengadilan Agama, sebagai pengadilan istimewa untuk mengadili urusan seorang
Islam yang bersangkut paut dengan Agamanya. Cukuplah segala perkara diserahkan kepada
Pengadilan biasa yang dapat pertimbangan seorang ahli Agama. Segala apa yang diuraikan di
atas terhadap Agama Islam pada hakekatnya berlaku pula terhadap Agama-Agama lainnya.
Peraturan tersebut dikeluarkan sebagai jawaban terhadap pertanyaan yang diajukan oleh
bala tentara Jepang tentang bagaimana sikap dewan terhadap penghulu dan cara mengurus kas
masjid dalam hubungannya dengan kedudukan agama dalam Negara merdeka kelak.
Kebijakan itu belum dilaksanakan karena Jelang telah menyerah dan Indonesia
memproklamirkan kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945.
E. Kesimpulan
Dapat disimpulkan bahwa sebelum masuknya Belanda ke Indonesia dengan tujuan untuk
menjajah, perkembangan Peradilan Islam di Indonesia sangat pesat dan kuat. Hal ini telah
menjadi kesadaran bagi umat Islam di Indonesia tentang kewajiban berhukum kepada hukum
Allah (Islam). Pada masa pemerintahan Islam yang ada di Indonesia, seperti dengan adanya
berbagai Kerajaan Islam yang ada di Negeri ini, hukum Islam menjadi satu-satunya hukum yang
diterapkan dalam bermasyarakat. Sehingga dapat dilihat dari sejarah, meskipun Belanda telah
menguasai wilayah Indonesia, akan tetapi masyarakat Indonesia masih memiliki kesadaran
hukum Islam yang sangat tinggi.
Setelah Belanda mulai memberlakukan Pemerintahan Kolonialnya di Indonesia, maka
pada saat itu Belanda mulai mengintervensi masyarakat Indonesia dalam segala bidang, terutama
dalam masalah Peradilan Agama. Belanda mulai mempersempit kekuasaan Peradilan Islam yang
ada di Indonesia, sehingga Pengadilan Agama hanya mengurusi masalah Pernikahan saja. Hal ini
tidak jauh berbeda dengan keadaan pada masa pendudukan Jepang di Indonesia, sebab Jepang
hanya meneruskan struktur Pemerintahan yang ditinggalkan oleh Pemerintahan Kolonial
Belanda.
DAFTAR PUSTAKA
Asasriwarni. 2008. Sejarah Peradilan Islam. Padang:IAIN Press
Asasriwarni dan Nurhasnah. 2006. Peradilan Agama Islam di Indonesia. Padang: Hayfa Press
Djalil, Basiq. Peradilan Agama Di Indonesia. Jakarta: Kencana. 2006.