Respon Imunologis Terhadap Karies
Respon Imunologis Terhadap Karies
Respon Imunologis Terhadap Karies
Rongga mulut merupakan pintu masuk utama mikroorganisme, oleh karena itu banyak
faktor yang terlibat dalam organisme pertahanan terhadap bakteri oportunis yang apabila fungsi
ini menurun maka, bakteri oportunis tersebut dapat menjadi patogen dan menimbulkan berbagai
kelainan. Dalam hal ini termasuk bakteri penyebab karies gigi. Perlindungan terhadap karies gigi
ini melibatkan sistem imunitas dan sejumlah faktor-faktor alamiah. Gigi dilindungi oleh suatu
sistem imun di dalam rongga mulut, dimana komponen-komponen yang dihasilkan oleh kelenjar
ludah merupakan hal yang sangat berperan di dalam sistem imun dalam rongga mulut
(Sinulingga, 2002).
Respon imun didalam rongga mulut melewati tiga kompartemen cairan yang satu dengan
lainnya berhubungan yaitu air liur, cairan celah gusi, dan darah. Ketiga cairan tersebut
bergabung membentuk cairan mulut. Walaupun secara kuantitatif cairan mulut terbanyak terdiri
dari komponen air liur, secara kualitatif cairan celah gusi mungkin berperan terhadap sejumlah
faktor-faktor imun yang penting. Pengaruh komponen celah gusi pada respon imun cairan
rongga mulut yang tidak jelas, tetapi hampir semua polimorfonuklear leukosit (PMNL) dan
sejumlah kecil IgG berasal dari cairan celah gusi. Fungsi utama imunitas cairan rongga mulut
meningkat oleh komponen-komponen ini (Sinulingga, 2002)
Diagram : Respon Imunologis terhadap Karies
Darah
IgM, IgG, IgA,
Protein,
Komplemen,
Enzim-enzim,
Elekrolit
Air liur
Cairan celah gusi
Cairan Mulut
IgA, IgM, IgG
Protein
Kelenjar Air liur
IgA, Protein,
Enzim-enzim
Air ludah Cairan Celah gusi
Rongga mulut bayi pada saat dilahirkan dalam keadaan steril, namun dalam waktu
beberapa menit akan terjadi kolonisasi kuman di dalam rongga mulutnya. Ibu dapat merupakan
sumber infeksi oleh kuman Streptokokus mutans, oleh karena kontak yang dekat seperti ciuman
pada bayi. Kolonisasi kuman-kuman ini akan diikuti dengan produksi antibodi oleh bayi itu
sendiri, dimana sebelumnya bayi sudah mendapat Ig G dari ibunya melalui plasenta. Didalam
saliva ditemukan sekretori imunoglobulin A (slg A) yg mampu menghambat kolonisasi oral
(Sinulingga, 2002).
Produksi antibdi slg A saliva terhadap Streptokokus mutans dapat dibentuk oleh:
a. Antigen yang masuk secara langsung ke kelenjar saliva minor yang berkembang di bawah
mukosa oral.
b. Secara tidak langsung menelan Streptokokus dengan konsentrasi yang cukup dan merangsang
jaringan limfosit pada usus untuk membentuk respon imun. Selanjutnya antibodi serum terhadap
kuman Streptokokus mutans dengan jumlah yang tinggi pada saliva maternal akan menyebabkan
dibentuknya antibodi yang adekuat. Hasil respon imun ini bekerja aktif dalam mencegah
kolonisasi Streptokokus mutans selanjutnya pada gigi yang erupsi (Sinulingga, 2002).
2.2.2.1 Respon Imun Seluler dan Humoral
Dalam imunologi ada dua sistem pertahanan, yaitu seluler dan humoral. Keduanya dapat
bekerja sama dan berhubungan dengan limfosit yang terdapat dalam darah dan organ-organ
limfosit seperti limfa dan kelenjar getah bening. Untuk proses pendewasaan, sel-sel limfosit yang
diperlukan untuk daya tahan seluler harus melewati kelenjar timus, dimana terjadi kontak dengan
sel-sel epitel dan kelenjar timus. Sel-sel limfosit yang sudah dewasa ini kemudian disebut dengan
sel T. Selain itu terdapat pula sel B yang berasal dari organ yang mendewasakan sel-sel tersebut.
Bila terjadi kontak antara limfosit dewasa (sel B atau sel T) dengan antigen, maka limfosit yang
memiliki reseptor khusus untuk antigen tersebut akan mengadakan proliferasi. Pada sistem
pertahanan seluler terjadi penambahan dari sel T, terutama subset CD4 yang dapat mengenal
antigen-antigen yang bersangkutan. Sedangkan pada sistem pertahanan humoral, selain ada
penambahan dari sel B, juga terjadi pembentukan dan pelepasan dari reseptor-reseptor spesifik
yang disebut imunoglobulin (Sinulingga, 2002).
Antibodi pada sel yang diproduksi oleh sel B berasal dari slah satu dari lima kelas
molekul protein sesuai dengan fungsinya asing-masing, yaitu:
a. Ig G, imunoglobulin yang paling banyak terdapat pada ruang intra maupun ekstraseluler dan
dihubungkan dengan imunitas pasif dan imunitas jnagka panjang (long term immunity)
b. Ig A lain, disebut sekretori Ig A (slg A) yang terdapat pada cairan glandula dan banyak
terdapat pada area mukosa, seperti saluran pernapasan dan saluran perkemihan. Berfungsi untuk
mencegah terkumpulnya antigen.
c. Ig M mengeliminasi antigen sebelum datang cukup banyak IgG dan merupakan immunoglobin
pertama yang dibentuk sebagai respon terhadap antigen baru
d. Ig E terdapat pada indivisu normal dengan konsentrasi yang snagat rendah tetapi bersifat
mengikat pada enderita alergi.
e. Ig D, fungsi utamanya adalah reseptor antigen atau dengan kata lain sebagai pengenalan
antigen oleh sel B (Sinulingga, 2002).
Apabila terjadi kontak baru dengan antigen yang sama, maka akan dikenali oleh sel T
yang spesifik ( sistem pertahanan seluler) atau antibodi yang ada di dalam sirkulasi (sistem
pertahanan humoral). Di dalam rongga mulut, reaksi pertahanan tidak terjadi pada enamel,
karena enamel tidak mempunyai pembuluh darah (Sinulingga, 2002).
2.2.2.2 Komponen Mediator sebagai Respon Imun pada Karies Gigi
Boedi Oetomo Roeslan Menyatakan bahwa selama perkembangan karies gigi, antibodi
ditemukan dalam saliva, cairan pulpa gigi, dan cairan dentin. Hal ini menunjukkan bahwa saliva,
cairan pulpa gigi, dan cairan dentin dapat memberikan respon imunologik terhadap serangan
antigen kuman penyebab karies gigi (Sinulingga, 2002).
a. Saliva
Penelitian Dale B.Mitch menunjukkan bahwa penambahan saliva pada suatu suspensi
bakteri oral dapat menyebabkan agregasi bakteri. Pada saliva setidaknya terdapat komponen
sekresi yang terikat pada molekul slg A, membuat antibodi slg A tahan terhadap enzim
proteolitik yang ada pada saliva. Antibosi slg A saliva bekerja dengan menghambat proses
perlekatan sucrose independent tage san sucrose dependent stage S mutans pada permukaan gigi,
sehingga tidak terjadi aktivitas metabolik. Oleh kaena itu, slg A dianggap sangat efisien pada
hampir semua subjek, seperti permukaan gigi halus yang terpapar jarang terkena karies. Tetapi
pada gigi tertentu (fisur,proksimal, dan servikal) yang tidak dapat dijangkau oleh komponen
saliva, hubungan pertahanan tidak ditemukan antara titer antibodi dan indeks karies (Sinulingga,
2002).
Mucin saliva dan konstituennya melindungi permukaan mulut dan gigi melalui berbagai
cara:
1. Glikoprotein saliva menutupi dan melumasi mukosa.
2. Enzim antibakteri lisosim pada saliva berfungsi untuk memecahkan dinding sel bakteri dan
berfungsi sebagai penakluk.
3. Antibodi pada saliva terutama terdiri dari Imunoglobulin (IgA). IgA ini akan bereksi dengan
antigen makanan untuk menetralkan efeknya, selain itu IgA dapat mencegah perlekatan bakteri
dan virus pada permukaan gigi dan mukosa mulut.
4. enzim sialoperoksidase mempunyai aktivitas antibakteri, khususnya terhadap laktobasili dan
streptokokus.
5. Bikarbonat dan fosfat memberi efek buffer pada makanan dan asam bakteri.
6. Komponen mineral, khususnya kalsium dan ion fosfor berfungsi mempertahankan intregritas
gigi dengan cara memodulasi difusi ion dan mencegah hilangnya ion mineral dari jaringan gigi
(Sinulingga, 2002).
Selain itu pada saliva terdapat faktor-faktor alamiah non spesifik yang juga berperan
dalam melindungi gigi dari karies yaitu
1. Protein Kaya prolin
Protein kaya prolin (PRP) berfungsi untuk mempertahankan konsentrasi Ca2+ di dalan saliva
tetap konstan, yang penting artinya dalam penghambatan demineralisasi dan peningkatan
remineralisasi. Selain itu PRP juga berperan untuk mencegah terbentuknya karang gigi. Protein
kaya prolin (Protein Rich Prolin / PRP) terdiri dari 150-170 asam amino protein saliva. Protein
ini memelihara saliva agar tetap dalam kedaan jenuh terhadap kalsium fosfat dan terdapat juga
pada pelikel enamel. Hal ini menunjukkan bahwa PRP memiliki peranan penting dalam proses
mineralisasi pada permukaan gigi dan juga mempengaruhi perlekatan bakteri sebelum
terbentuknya plak (Sinulingga, 2002).
2. Laktoferin
Laktoferin di dalam saliva berjumlah kurang dari 1% dari protein ludah. Didala ludah
yang dirangsang konsentrasi laktoferin adalah sekitar 1 mg/100ml. Laktoferin merupakan
glikoprotein yang mengikat ion-ion spesifik Fe3+ di dalam cairan eksokrin. Efek bakteriostatik
maupun bakterimia laktoferin terhadap S.mutans bekerja sangat baikpada konsentrasi 15 mg/100
mL. aktifitas bakterisid laktoferin langsung menembus pada permukaan sel. Struktur sel bakteri
terluar seperti membran terluar dan kapsul memiliki suatu sistem perlindungan untuk mengatasi
aktifitas laktoferin (Sinulingga, 2002).
Efek antimikrobial laktoferin dalam melindungi jaringan mulut bekerjasama dengan
komponen antimikrobial ludah lainnya seperti lisosim dan laktoperoksidase. Laktoferin dapat
bekerja lebih efektif dalam kombinasi dengan lisosim bermuatan negatif pada permukaan sel
bakteri. Karena itu kemampuan sel-sel bakteri untuk mengambil ion Fe3+ dapat di reduksi,
sehingga laktoferin dalam konsentrasi rendah sudah dapat mengambil ion Fe3+ yang cukup
untuk dapat menghambat pertumbuhan bakteri. Laktoferin dianggap penting untuk melindungi
jaringan epitel dan infeksi bakterial (Sinulingga, 2002).
3. Laktoperoksidase
Didalam saliva terdapat dua macam peroksidase, yang keduanya mempunyai efek
bakteriostatik, namun kedua jenis laktoperoksidase ini memiliki mekanisme yang berbeda.
Keduanya sama-sama menggunakan H2O2 sebagai substrat, namun berbeda dalam penggunaan
ion-ion sebagai ko-substrat yang diperlukan untuk aktifitas enzimatisnya yaitu: I dan SCN-
(tiosianat) serta halida (CL-, Br-, I-, SCN-). Kedua sistem peroksidase ini menurut ko-
substratnya dapat dilukiskan sebagai berikut :
a. Sistem laktoperoksidase-tiosianat-H2O2
b. Sistem mieloperoksidase-halida-H2O2
Laktoperoksidase menunjukkan beberapa efek biokimiawi :
a. Mempunyai efek aktifitas antibakterial, memperlambat pertumbuhan berbagai bakteri.
b. Mengkatalisis yodasi asam amino tirosin dalam berbagai protein.
c. Mengkatalisis pembentukan cross-link dalam beberapa protein (Sinulingga, 2002).
Pada Laktoperosidase saliva, donor utamanya adalah tiosianat (SCN-), yang merupakan
senyawa halida dengan konsentrasi kira-kira 1-2 mM di dalam saliva. Dalah hal ini ion tiosanat
akan menjadi hipotiosanat (OSCN-), yang mampu mengoksidasi thiols yang memberikan
pengaruh bakterisid pada sistem laktoperoksidase-H2O2-SCN- (Sinulingga, 2002).
Hipotiosianat (OSCN-) dalam konsentrasinya yang cukup dapat menghambat
metabolisme karbohidrat oleh streptokokus mutans. Proses penghambatan yang sempurna terjadi
karena hidrogen peroksida yang dikeluarkan oleh bakteri mengoksidasi tiosianat (SCN-)
dikatalisis oleh laktoperoksidase saliva, menghasilkan OSCN-. Hasil oksidasi ini menghambat
metabolisme bakteri dengna membloking transport gula dan melalui enzim glikolisis inaktif.
Penghambatan ini akan mengurangi jumlah asam yang dihasilkan bakteri, dimana keberadaan
asam ini akan mengakibatkan demineralisasi permukaan enamel (Sinulingga, 2002).
4. Lisozim
Lisozim adalah enzim yang menentukkan aktivitas bakteriosid dengan memecah ikatan
antara asam N-asetil glukosamin dan N-asetil muramik dalam komponen mukopeptida dinding
sel bakteria. Enzim ini berasal dari glandula submandibularis, sublingualis, dan parotis di mulut.
Di dalam kelenjar ludah lisozim berlokasi di dalam sel-sel duktus interkalata yang membentuk
hubungan antara suatu asinus dengan saluran pembuangan (Sinulingga, 2002).
Lisozim dapat menghidrolisis komponen-komponen dinding sel bakteri tertentu yang
mengakibatkan lisisnya sel bakteri tersebut. Dinding sel bakteri dibentuk oleh heteropolisakarida
murein yang dibangun dari dua gula yaitu: asam muramin dan glukosamin, yang bersama-sama
dengan peptida dinding sel membentuk ikatan peptidoglikan. Dengan adanya lisozim ikatan
tersebut dapat diputus sehingga mengakibatkan terjadinya pori-pori kecil di dalam dinding sel.
Efek utama lisozim pada bakteri terdiri atas interaksi awal yang cepat dengan dinding sel
mikrobial, yang menyebabkan pembocoran cairan sel. Hal ini dapat menyebabkan matinya sel
karena keluarnya ion-ion yang diperlukan bakteri untuk hidup. Terutama bakteri Streptokokus
mutans (Sinulingga, 2002).
5. Faktor aglutinasi dan Agregasi Bakteri
Inkubasi pada berbagai macam bakteri oral dengan ludah mengakibatkan penggumpalan
bakteri. Jika hal ini terjadi karena imunoglobin di dalam ludah maka proses ini disebut aglutinasi,
sedangkan dalam keadaan lainnya penggumpalan dinyatakan dengan agregasi/penggumpalan.
Kedua gejala ini disebabkan oleh interaksi komponen ludah yang mencair dengan dinding sell
bakteri. Pada sisi lain komponen ludah yang melekat pada permukaan mulut, misalnya elemen
gigi geligi dan mukosa, yang juga berperan sebagai reseptor pengikatan bakteri, hal ini disebut
adherensi/ perlekatan (Sinulingga, 2002).
Penggumpalan bakteri mempersukar pengikatannya pada permukaan dan dengan
demikian membatasi kolonisasinya di dalam rongga mulut. Dengan adanya aglutinasi dan
agregasi mengakibatkan jumlah bakteri di dalam rongga mulut menurun. Agregat yang terbentuk
selanjutnya melalui cara mekanis dapat diangkut ke lambung dan disana dibuat inaktif dalam
lingkungan yang sangat asam. Sedangkan proses perlekatan spesifik bakteri pada komponen
ludah yang diadsorpsi pada permukaan gigi dan mukosa, menyebabkan terjadinya kolonisasi
mikroorganisme di dalam rongga mulut. Komponen ludah yang diabsorpsi ini berguna sebagai
reseptor untuk mengikat bakteri pada permukaan mulut (Sinulingga, 2002).
b. Cairan pulpa gigi
Pulpa gigi banyak memiliki kemiripan dengan jaringan ikat lain pada tubuh manusia,
namun ia memiliki karakteristik yang unik. Di dalam pulpa terdapat berbagai elemen jaringan
seperti pembuluh darah, persyarafan, serabut jaringan ikat, cairan interstitial, dan sel-sel seperti
fibroblast, odontoblast dan sel imun dimana terdapat sel-sel pertahanan seperti makrofag, sel
dendritik dan limfosit (Sinulingga, 2002).
Pada dentin yang sehat di bawah zona translusen dentin yang terserang karies, dapat
ditemukan adanya antibodi. Hal ini menunjukkan bahwa pulpa gigi sudah meberikan respon
imunologik. Disamping itu di bawah lesi karies tidak ditemukan adanya mikroorganisme,
mengindikasikan adanya respon imun yang kuat dihasilkan sebagai refleksi pertahanan terhadap
invasi bakteri penyebab karies gigi (Sinulingga, 2002).
c. Cairan celah dentin
Imunoglobulin ditemukan di dalam dentin yang sehat dan dentin yang mengalami karies.
Komponen sekresi, baik yang terikat pada Ig A dalam bentuk slg A, hanya ditemukan pada lesi
yang dangkal. Selain itu ditemukan ig G, Ig A dan transferin di dalam karies yang dalam,
sedangkan komponen sekresi tidak ada. Di bawah lesi karies juga tidak ditemukan adanya kuman
(Sinulingga, 2002).
Saat karies gigi sudah mengenai dentin, antigen bakteri yang larut akan menginduksi
respon peradangan pada pulpa gigi berupa vasodilator, peningkatan permeabilitas kapiler dan
eksudasi cairan serta polomorfonuklear (PMN). Saat karies mendekati pulpa, ditemukan adanya
makrofag, lomfosit, dan sel plasma. Selain itu, terdapat juga iminoglobulin ekstravaskuler berupa
Ig G yang paling banyak, disertai sel plasma yang mengandung Ig G,Ig A, Ig E dan kadang
kadang Ig M (Sinulingga, 2002).
Dafpus : Sinulingga, Sri. 2002. Imunisasi Pasif dalam Upaya Pencegahan Karies Gigi. Medan:
Universitas Sumatra Utara.
Diunduh dari http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/8132/1/930600067.pdf