CKS Kritis

Download as docx, pdf, or txt
Download as docx, pdf, or txt
You are on page 1of 40

LAPORAN ASUHAN KEPERAWATAN KRITIS PADA PASIEN DENGAN

CEDERA KEPALA SEDANG

OLEH

NAMA: Maria Paulina Plewan

NIM: 225202200654

YAYASAN SANTO LUKAS KEUSKUPAN MAUMERE

AKADEMI KEPERAWATAN ST. ELISABETH LELA

TAHUN AKADEMIK: 2023/2024


KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan yang Maha Esa atas segala berkat
yang telah dikaruniakan, serta bantuan dari semua pihak sehingga penulis dapat
menyelesaikan laporan pendahuluan yang berjudul “ASUHAN KEPERAWATAN KRITIS
PADA PASIEN DENGAN CEDERA KEPALA SEDANG” tepat pada waktunya.

Dalam penyusunan laporan pendahuluaan ini, penulis banyak menemukan kesulitan


dan rintangan, tetapi berkat dorongan dan bantuan berbagai pihak, penulis dapat
menyelesaikannya. Untuk itu, pada kesempatan ini perkenankan penulis menyampaikan rasa
terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan:

1. Direktur Akademi Keperawatan St. Elisabeth Lela Ibu Maria K.Ringgi


Kuwa,S.ST.,M.Kes yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk
menimbah ilmu menjadi calon perawat Ahli Madya Keperawatan yang professional
2. Gabriel Mane S.Fil,LIC selaku pudir 1 Akademi Keperawatan ST. Elisabeth Lela
yang telah membimbing dan memberikan informasi terkait Asuhan Keperawatan ini.
3. Teman-teman yang telah banyak membantu dalam memberikan informasi dan
masukan-masukan terkait dengan penyusunan dan juga kebersamaan kita.
Penulis menyadari bahwa penyusunan Asuhan Keperawatan ini masih jauh dari kata
sempurna, baik isi maupun penulisannya. Oleh sebab itu, penulis mengharapkan adanya kritik
dan saran yang membangun dari para pembaca. Akhir kata penulis menyampaikan terima
kasih dan semoga Asuhan Keperawatan ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Maumere, Maret 2024


DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL................................................................................................

KATA PENGANTAR..............................................................................................

DAFTAR ISI.............................................................................................................

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG...............................................................................
B. TUJUAN PENULISAN ...........................................................................
1. Tujuan Umum....................................................................................
2. Tujuan Khusus...................................................................................
C. MANFAAT PENULISAN........................................................................
BAB II TINJAUAN TEORI

A. ANATOMI FISILOGI .............................................................................


B. KONSEP DASAR PENYAKIT CKS......................................................
C. KONSEP ASHUAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN PENYAKIT
CEDERA KEPALA SEDANG.................................................................
BAB III PENUTUP

A. KESIMPULAN.......................................................................................
B. SARAN....................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Kepala adalah bagian tubuh yang berada diatas leher dan berisi otak, mata,
telinga, hidung dan mulut. Kepala menjadi bagian yang sangat penting karena adanya
otak yang berperan sebagai pusat pengendali segala aktivitas tubuh manusia. Otak
terdiri dari jaringan syaraf yang kompleks dan bekerjasama untuk menjalankan
berbagai fungsi tubuh. Akan tetapi pada Kondisi tertentu seperti kecelakaan, jatuh,
cedera akibat kekerasan dan lain-lain dapat menyebabkan cedera pada kepala.
Trauma (cedera) kepala merupakan trauma yang terjadi pada kulit kepala,
otak, hingga tengkorak yang diakibatkan oleh suatu benturan, pukulan atau sentakan
dikepala atau cedera kepala yang tembus sehingga dapat menyebabkan gangguan
trauma fungsi otak yang disertai atau tidak disertai darah intersititial didalam
substansi otak yang diikuti putusnya kontiunitas otak. Cedera kepala adalah cedera
yang diakibatkan adanya mekanisme benturan atau penetrasi pada kepala yang dapat
menyebabkan gangguan fungsi otak. Berdasarkan keparahannya, cedera kepala
digolongkan menjadi ringan, sedang, dan berat (Suyasa et al., 2021).
Cedera kepala sedang ditandai dengan GCS 9-12, kehilangan kesadaran,
muntah, dapat mengalami fraktur tengkorak, dan disorientasi ringan (Kristina et al.,
2024) . Penderita cedera kepala sedang pada umumnya masih mampu menuruti
perintah sederhana, namun biasanya tampak bingung atau terlihat mengantuk dan
disertai dengan defisit neurologis vokal seperti hemiparese. Berdasarkan data yang
dikutip dalam (Saputra et al., 2023) Sebanyak 10%-20% dari penderita cedera kepala
sedang mengalami perburukan dan jatuh dalam keadaan koma. Penyakit ini
merupakan penyebab umum kematian dan kecacatan pada anak-anak dan orang
dewasa.
Maka dari itu perluh diberikan asuhan keperawatan yang tepat pada pasien
yang mengalami cedera kepala sedang dengan berdasar pada proses keperawatan yang
terdiri dari pengkajian, diagnosa, intervensi, implementasi dan evaluasi.
B. TUJUAN PENULISAN
1. Tujuan Umum
Mahasiswa mampu memberikan asuhan keperawatan dengan
pendekatan proses keperawatan pada pasien dengan cedera kepala sedang.

2. Tujuan Khusus
Mahasiswa mampu:
a. Memahami dan menjelskan mengenai cedera kepala sedang (CKD)
b. Melakukan pengkajian keperawatan pada pasien dengan cedara kepala
sedang.
c. Menegakkan diagnose keperawatan pada pasien dengan cedara kepala
sedang.
d. Membuat intervensi keperawatan pada pasien dengan cedara kepala
sedang.
e. Melaksanakan implementasi keperawatan berdasarkan intervensi
keperawatan pada pasien dengan cedara kepala sedang.
f. Melakukan evaluasi keperawatan pada pasien dengan cedera kepala
sedang,

C. MANFAAT PENULISAN
1. Manfaat bagi masyarakat
Laporan asuhan keperawatan ini dapat menjadi pedoman masyarakat untuk
mengetahui gejala, pencegahan dan penanganan penyakit cedera kepala
sedang.
2. Manfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan keperawatan
Memberikan kontribusi bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan
penelitian dalam keperawatan untuk membentuk praktek keperawatan
professional terutama dalam penatalaksanaan cedera kepala sedang dan
upaya pencegahan dan sebagai bahan acuan bagi penulis selanjutnya dalam
mengembangan penulisan lanjutan.
3. Manfaat bagi penulis

Menambah wawasan khususnya studi kasus tentang pelaksanaan asuhan


keperawatan dengan masalah cedera kepala sedang.
BAB II

TINJAUAN TEORI

A. ANATOMI FISIOLOGI OTAK


1. OTAK
Otak merupakan bagian organ tubuh yang paling penting. Sangat
penting sehingga jika dalam waktu sedetik saja otak berhenti bekerja maka
seluruh organ tubuh tidak dapat berfungsi sama sekali. Otak terbagi menjadi
empat bagian utama, yaitu otak besar (cerebrum), otak kecil (cerebellum),
batang otak (brainstem), sistem limbik (limbic system) (Kemenkes, 2020).

Gambar 1.1. Bagian-Bagian Otak


a. Otak Besar (Cerebrum)
Cerebrum adalah struktur otak terbesar dan paling terlihat. Terletak
tinggi di atas tengkorak, otak besar menyumbang dua pertiga dari total
massa otak. Materi abu-abu, sering disebut korteks serebral, melapisi
bagian luar otak.
Serebrum otak bertanggung jawab untuk menangani segala sesuatu
mulai dari proses kognitif dasar seperti berpikir dan mengingat hingga
yang lebih kompleks seperti menguraikan bahasa tertulis dan merasakan
sensasi sentuhan, menghitung IQ, dan membentuk karakter seseorang.
Setiap manusia memiliki otak kiri dan otak kanan, yang merupakan dua
bagian dari otak besar.
1) Belahan otak bagian kanan fungsi otak kanan:
a) Mengontrol sisi tubuh bagian kiri
b) Bertanggung jawab atas kemampuan tubuh seseorang,
seperti kemampuan untuk merasakan, kemampuan untuk
menjadi intuitif, untuk bernalar, untuk memanipulasi
lingkungan seseorang, untuk mengekspresikan diri melalui
gerakan tubuh (seperti berjalan, berlari, bernyanyi, menari,
atau memahat), dan segera.
2) Belahan otak bagian kiri fungsi otak kiri:
a) Mengontrol sisi tubuh bagian kanan
b) Sebagai pusat syaraf kecerdasan, atau hal-hal yang
berhubungan dengan logika dan penalaran, seperti
kemampuan menulis dan membaca, otak merupakan tempat
duduknya IQ. Corpus callosum menghubungkan kedua
belahan otak, membentuk benang sutra yang 10
menghubungkan materi putih di kedua belahan otak.
3) Belahan otak terbagi dalam empat lobus, yaitu:
a) Lobus frontal
Lobus frontal adalah bagian otak besar yang paling terbuka.
Fungsi lobus frontal yang berhubungan dengan motorik
meliputi kemampuan memecahkan masalah, kreativitas,
kemampuan mengevaluasi sesuatu, kemampuan mengatur
impuls seksual dan emosi, pemahaman bahasa, kemampuan
menciptakan argumen, kemampuan merencanakan ke
depan, dan kemampuan serupa lainnya.
b) Lobus parietal
Lobus parietal lobus membentuk sebagian besar garis
tengah kranial. Lobus lobus parietal terkait dengan banyak
sensor rasa sakit, tekanan, dan emosi.
c) Lobus temporal
Bagian bawah otak besar adalah lobus temporal. Lobus
temporal terkait dengan berpikir dan mengingat.
d) Lobus occipital
Bagian posterior otak yang besar disebut lobus oksipital.
Lobus otak terhubung ke sistem pemrosesan visual,
memungkinkan kita untuk akhirnya menafsirkan semua
yang kita lihat.

b. Otak Kecil (cerebellum)


Otak kecil adalah struktur terbesar di otak belakang. Diposisikan 11
anterior ke serebelum dan posterior ke lobus oksipital. Otak kecil, yang
memiliki permukaan melengkung seukuran bola bisbol, relatif kecil. Otak
kecil memiliki banyak peran penting dalam tubuh, termasuk dalam
pengaturan gerakan dan keseimbangan dan dalam menjaga postur tubuh
yang tepat. Otak kecil juga membantu dalam peningkatan sistem motorik,
yang mencakup hal-hal seperti gerakan otot. Oleh karena itu, gerakan
tubuh yang tidak terkoordinasi dapat terpengaruh oleh gangguan ini jika
otak kecil rusak. Ini mungkin membuang keseimbangan seseorang,
mempengaruhi sikap dan kemampuan seseorang untuk mengendalikan
otot-otot mereka. Berdasarkan fungsi otak kecil terbagi menjadi 3 bagian,
yaitu:
1) Vestibuloserebelum
Komponen yang berfungsi dari otak kecil yang bertanggung
jawab untuk menjaga keseimbangan dalam gerakan mata.
2) Spinoserebelum
Area otak kecil yang bertanggung jawab untuk mengatur
koordinasi otot dan struktur tubuh lainnya.
3) Sereberoserebelum
Peran yang dimainkan oleh wilayah otak kecil yang bertindak
sebagai bank memori, perencana motorik, dan organ
pencernaan.
c. Batang otak (brainstem)
Bagian otak yang menghubungkan otak dengan gading posterior. Terletak
di pangkal leher, yang memanjang sampai ke 12 dasar tengkorak. Tiga
komponen utama kepala kelelawar adalah batang otak (pons), otak kecil
(medulla oblongata), dan otak kecil (pons). Saraf otatik bertanggung
jawab untuk menyampaikan sinyal antara batang otak dan neuron
sensorik dan motorik tubuh lainnya. Fungsi kelelawar burung hantu
adalah untuk mengkoordinasikan transmisi sinyal kontrol dari burung
hantu.
d. Sistem limbik (limbic sysstem)
Otak paleomamalia, juga dikenal sebagai sistem limbik, adalah
wilayah otak yang bertanggung jawab untuk mengatur dan
mengoordinasikan aktivitas otak lainnya. Setiap neuron di wilayah ini
bekerja keras untuk menyesuaikan keadaan emosi dan dorongan Anda
untuk berhasil. Sistem saraf otak telah dipecah menjadi sejumlah daerah
yang berbeda, atau lobus:
1) Hipotalamus
Bagian otak yang tersusun atas sejumlah nukleus adalah
hipotalamus. Fungsi bagian ini sangat peka terhadap glukosa,
suhu, glukokortikoid dan steroid. Letak hipotalamus berada di
bagian batang otak, lebih tepatnya di dienchepalon dan
berfungsi sebagai pusat komando mandiri. Baik sistem saraf
dan kelenjar pituitari bergantung pada hipotalamus untuk
berfungsi dengan baik.
2) Thalamus
Gyrus thalamic midline adalah daerah simetris yang
terletak di antara korteks selenokortikal. Talamus, struktur
terbesar di otak, terletak di antara bagian depan dan belakang
otak, di diencephalon. Talamus manusia berbentuk seperti bola
bisbol dan berukuran antara 5,7 dan 7,2 sentimeter; itu terletak
secara simetris di ventrikel ketiga dan dapat memutar ke sudut
hingga 30 derajat. Talamus bertindak sebagai jembatan antara
korteks serebrospinal dan subkortikal otak, menjadikannya
simpul kunci dalam jaringan pemrosesan informasi otak.
Fungsi lainnya termasuk menyampaikan sinyal otot dan
sensorik ke korteks serebral, menghilangkan stres,
mengendalikan kecemasan, dan mengatur pola tidur.
3) Amigdala
Amaygdalae, juga dikenal sebagai amigdala, adalah
sekelompok sel saraf yang terletak di lobus temporal medial.
Amigdala adalah komponen sistem limbik yang berperan dalam
mengatur reaksi emosional, mengatur ingatan, dan mengambil
keputusan. Terletak di ganglia basal otak. Fungsi lain dari
amigdala termasuk menyampaikan proyeksi dari hipotalamus,
membentuk dan menyimpan ingatan yang berkaitan dengan
pengalaman individu atau peristiwa emosional, dan mengatur
konsolidasi ingatan di daerah otak lainnya.

4) Hippocampus
Hippocampus memainkan peran penting di otak. Untuk
retensi memori jangka panjang dengan memasukkan informasi
dari memori kerja, hippocampus memainkan peran penting.
Hippocampus pada manusia terletak di korteks prefrontal
medial, tetapi pada primata ditemukan di lobus temporalis di
bawah korteks serebral. Fungsi lain dari hippocampus termasuk
pembentukan ingatan baru yang terkait dengan pengalaman
baru-baru ini, deteksi situasi atau lokasi baru, dan pembentukan
ingatan jangka panjang khusus dan keterampilan navigasi
spasial.
5) Perlindungan sistem saraf pusat
Jaringan berbasis Saraf cepat dan fleksibel. Dengan
demikian, ketika diberikan tekanan ringan, neuron akan
menjadi rusak dan tidak berfungsi. Bagian belakang kepala dan
bagian atas tulang belakang dilindungi karena letaknya jauh di
dalam tengkorak, khususnya punggung dan tengkorak nervus,
membran meniges, dan cairan serebrospinal.

2. SARAF KARNIAL
Saraf kranial berhubungan dengan kepala dan leher (pengecualian
hanya pada saraf vagus). Saraf-saraf in terlibat dalam transmisi informasi
sensorik dan motorik menuju dan dari otak. Ada 12 pasang saraf kranial, yaitu:
Urutan Nama saraf Sifat Fungsi saraf
saraf saraf
I Nervus Olfaktorius Sensori Hidung, sebagai alat penciuman
k
II Nervus optikus Sensori Bola mata, sebagai pengelihatan
k
III Nervus okulomotoris Motorik Pergerakan bola mata dan
mengangkat kelopak mata
IV Nervus troklearis Motorik Mata, memutar mata dan
penggerak bola mata
V Nervus trigeminus Motorik Kulit kepala dan kelopak mata
Nervus oftalmikus dan atas, rahang atas, palatum, dan
Nervus maksilaris sensorik hidung, rahang bawah dan lidah
Nervus mandibularis
VI Nervus Abdusen Motorik Mata, penggoyang sisi mata.
VII Nervus fasialis Motorik Otot lidah, menggerakkan lidah
dan dan selaput lendir rongga mulut.
sensorik
IX Nervus asesorius Motorik Faring,laring,paru-paru,dan
esofagus
XII Nervus hipoglosus Motorik Lidah ,citarasa dam otot lidah

B. KONSEP DASAR PENYAKIT CEDERA KEPALA SEDANG (CKS)


1. Pengertian
Cedera kepala sedang adalah istilah yang digunakan untuk
menggambarkan jenis cedera kepala yang mencakup jaringan kulit kepala,
tulang tengkorak, atau jaringan otak. Cedera kepala sedang ditandai dengan
GCS 9-12, kehilangan kesadaran, muntah, dapat mengalami fraktur tengkorak,
dan disorientasi ringan (Kristina et al., 2024).
2. Etiologi
Penyebab cedera kepala antara lain:
a. Kecelakaan, jatuh, kecelakaan kendaraan bermotor atau sepeda, dan
mobil.
b. Kecelakaan pada saat olahraga, anak dengan ketergantungan.
c. Cedera akibat kekerasaan.
d. Benda tumpul, kerusakan terjadi hanya terbatas pada daerah dimana
dapat merobek otak.
e. Kerusakan menyebar karena kekuatan benturan, biasanya lebih berat
sifatnya.
f. Benda tajam, kerusakan terjadi hanya terbatas pada daerah dimana dapat
merobek otak, misalnya tertembak peluru atau benda tajam.
3. Manifestasi klinik
Gejala-gejala yang pada pasien dengan cedera kepala sedang, yaitu:
a. Kelemahan pada salah satu tubuh yang disertai dengan kebinggungan
atau hahkan koma.
b. Gangguan kesedaran, abnormalitas pupil, awitan tiba-tiba deficit
neurologik, perubahan tanda-tanda vital (TTV), gangguan penglihatan
dan pendengaran, disfungsi sensorik, kejang otot, sakit kepala, vertigo
dan gangguan pergerakan
4. Patofisiologi
Otak dilindungi dari cedera oleh rambut, kulit, dan tulang yang
membungkusnya. Tanpa perlindungan ini, otak yang lembut akan mudah
sekali terkena cedera dan mengalami kerusakan (Price & Wilson, 2012).
Tepat diatas tengkorak terletak galea aponeurotika, yaitu jaringan
fibrosa padat dapat digerakkan dengan bebas, yang membantu penyerapan
truma eksternal. Diantara kulit galea terdapat suatu lapisan lemak dan lapisan
membran dalam yang mengandung pembuluh- pembuluh besar. Bila robek,
pembuluh- pembuluh ini sukar mengalami vasokontriksi dan dapat
menyebabkan kehilangan darah yang bermakna pada penderita laserasi kulit
kepala (Price & Wilson, 2012). Sejalan dengan Krisanty (2014), menjelaskan
laserasi pada kulit kepala cenderung menyebabkan perdarahan yang hebat dan
harus ditangani dengan pengaplikasian penekanan langsung. Kegagalan
mengontrol perdarahan dapat menyebabkan terjadinya syok.
Tepat dibawah galea subaponeurotik yang mengandung vena emisaria
dan diploika (Price & Wilson, 2012). Pembuluh- pembuluh ini dapat
membawa infeksi dari kulit kepala sampai jauh kedalam tengkorak, luka kulit
kepala merupakan jalan masuk bagi infeksi intrakranial yang jelas
memperlihatkan betapa pentingnya pembersihan dan debridement kulit kepala
yang seksama bila galea terkoyak (Smeltzer dan Bare, 2017).
Pada orang dewasa, tengkorak merupakan ruang keras yang tidak
memungkinkan perluasan intrakranial. Tulang sebenarnya terdiri dari dua
dinding atau tabula yang dipisahkan oleh tulang berongga. Dinding luar
disebut tabula eksterna, dan dinding bagian dalam disebut tabula interna.
Struktur demikian memungkinkan kekuatan dan isolasi yang lebih besar,
dengan bobot yang lebih ringan. Tabula interna mengandung alur- alur yang
berisi arteria meningea anterior, media, dan posterior. Apabila fraktur tulang
tengkorak menyebabkan terkoyaknya salah satu dari arteri- arteri ini,
perdarahan arterial yang diakibatkannya, yang tertimbun dalam ruang
epidural, dapat menimbulkan akibat yang fatal kecuali bila segera ditemukan
dan diobati (Price & Wilson, 2012).
Menurut Bahrudin (2017), fraktur pada tulang tengkorak yang perlu
diperhatikan dan penanganan intensif yaitu fraktur linier, fraktur basa kranii,
dan fraktur impresi. Fraktur linier yaitu fraktur yang garis lurus melintang
pada konveksitas tengkorak. Fraktur ini berbahaya terutama pada daerah
temporal, karena pada daerah ini berjalan arteria meningea media dan cabang-
cabangnya, menimbulkan perdarahan epidural. Perdarahan ini harus ditangani
secara aktif.
Fraktur basa kranii gejala klinis yang ditimbulkan perdarahan telinga,
perdarahan hidung atau laserasi liang telinga luar. Post-auricular ecchymoses
(battle sign) periorbital ecchymoses (Raccoon’s eyes) dan ditemukan cedera
saraf kranalis (Bahrudin, 2017). Fraktur basis kranium, menimbulkan
perdarahan sehingga dapat mengancam terhadap jalan nafas. Pada fraktur ini,
aliran cerebrospinal berhenti dalam 5- 6 hari dan terdapat hematom kacamata
yaitu hematom sekitar orbita (Krisanty, 2014). Fraktur impresi menyebabkan
bagian tengkorak yang mengalami fraktur (fragmen) mendesak ke dalam
(Bahrudin, 2017).
Meningeas melindungi otak dan memberikan perlindungan tambahan.
Ketiga lapisan meningeas adalah dura meter, araknoid, dan pia meter. Masing-
masing memiliki fungsi dan struktur yang berbeda- beda. Dura adalah
membran luar yang liat, semitranslusen, dan tidak elastis. Fungsinya untuk
melindungi otak, menutupi sinus- sinus vena (yang terdiri atas dura meter dan
lapisan endotelial saja tanpa jaringan vaskular), dan membentuk periosteum
tabula interna. Dura melekat erat dengan permukaan bagian dalam tengkorak.
Bila dura robek dan tidak diperbaiki dengan sempurna dan dibuat kedap udara,
akan menimbulkan berbagai masalah. Dilanjutkan dengan perluasan fraktur
sehingga dapat terjadi kebocoran kronik CSF yang menimbulkan sikatriks
meningoserebral, menyebabkan epilepsi fokal. Namun pada beberapa keadaan
dura memang sengaja dibiarkan terbuka. Situasi- situasi ini mencangkup
edema otak (untuk mengurangi tekanan bagi otak yang meonjol), drainase
CSF, atau setelah tindakan terpanasi eksplorasi (untuk memeriksa dan
mengosongkan bekuan darah) (Price & Wilson, 2012).

Dura memiliki banyak suplai darah. Bagian tengah dan posterior


disuplai oleh arteri meningea media yang bercabang dari arteri vetebralis dan
kerotis interna. Pembuluh darah anterior dan etmoidalis juga merupakan
cabang dari arteri karotis interna dan menyuplai fosa anterior. Arteria
meningea posterior yaitu cabang dari arteri oksipitalis, menyuplai darah ke
fosa posterior. Didekat dura terdapat membran fibrosa halus dan elastis yang
dikenal dengan arakhnoid. Membran ini tidak melekat pada dura meter.
Namun demikian, ruangan antara kedua membran tersebut yaitu ruang
subdural, merupakan ruangan yang potensial. Perdarahan di ruang subdural
dapat menyebar dengan bebas, dan hanya terbatas oleh sawar falks serebri dan
tentorium. Vena- vena yang melewati ruangan ini hanya mempunyai sedikit
jaringan penyokong dan oleh karena itu mudah sekali terkena cedera dan
robek pada trauma kepala (otak) (Price & Wilson, 2012).
Diantara arakhnoid dan pia meter (yang terletak langsung di bawah
arakhnoid) terdapat ruang subarakhnoid. Ruangan ini melebar dan mendalam
pada tempat tertentu, dan memungkinkan sirkulasi CSF. Pada sinus sagitalis
dan transversal arakhnoid membentuk tonjolan vilus (bada pacchioni) yang
bertindak sebagai lintasan pengosong CSF ke dalam sistem vena (Price &
Wilson, 2012).
Piameter adalah membran halus yang memiliki sangat banyak
pembuluh darah halus dan merupakan satu- satunya lapisan maningeal yang
masuk kedalam semua sulkus dan membungkus semua girus, kedua lapisan
hanya membatasi kedua sulkus. Pada beberapa fisura dan sulkus di sisi medial
hemisfer otak, pia meter membentuk sawar otak antara ventrikel otak dan
sulkus atau fisura. Sawar ini merupakan struktur penyokong dari pleksus
koroideus setiap ventrikel (Price & Wilson, 2012).
Kerusakan otak yang dijumpai trauma kepala terjadi melalui dua cara:
efek segera dari trauma pada fungsi otak (cedera kepala primer) dan efek
lanjutan dari respon sel- sel otak terhadap trauma (cedera kepala sekunder).
Kerusakan neurologik segera disebabkan oleh suatu benda atau serpihan
tulang yang menembus dan merobek jaringan otak, oleh pengaruh kekuatan
atau energi yang diteruskan ke otak, dan oleh efekakselerasi dan deselerasi
pada otak, yang terbatas dalam kompartemen yang kaku (Price & Wilson,
2012).

Derajat kerusakan yang disebabkan oleh hal- hal ini bergantung pada
kekuatan yang menimpa, makin besar kekuatan makin besar kerusakan.
Terdapat dua macam kekuatan melalui dua cara yang mengakibatkan dua efek
yang berbeda. Pertama, cedera setempat yang ditempatkan oleh benda tajam
berkecepatan rendah dan sedikit tenaga. Kerusakan fungsi neurologik terjadi
pada tempat tertentu dan disebabkan oleh benda atau fragmen tulang yang
menembus dura pada tempat serangan (Price & Wilson, 2012).
Kedua, cedera menyeluruh yang lebih lazim dijumpai pada trauma
tumpul kepala dan terjadi setelah kecelakaan mobil. Kerusakan terjadi waktu
energi atau kekuatan diteruskan ke otak. Banyak energi yang diserap oleh
lapisan pelindung yaitu rambut, kulit kepala, dan tengkorak. Tetapi pada
trauma hebat, penyerapan ini tidak cukup melindungi otak. Sisa energi
diteruskan ke otak, menyebabkan kerusakan dan gangguan disepanjang jalan
yang dilewati, karena sasaran kekuatan itu adalah jaringan lunak. Bila kepala
bergerak berhenti secara mendadak dan kasar (seperti kecelakaan mobil),
kerusakan tidak hanya terjadi akibat cedera setempat pada jaringan saja tetapi
juga akibat akselerasi dan deselerasi. Kekuatan tersebut menyebabkan
bergeraknya isi dalam tengkorak pada tempat berlawanan dengan benturan. Ini
juga disebut dengan cedera contrecoup (Price & Wilson, 2012).
Kerusakan diperhebat bila trauma juga menyebabkan rotasi tengkorak.
Bagian otak yang paling besar kemungkinan menderita cedera terberat adalah
bagian anterior lobus frontalis dan temporalis, bagian posterior lobus
oksipitalis, dan bagian atas mesensefalon (Price & Wilson, 2012).
Menurut Bahrudin (2017), cedera kepala akan menyebabkan kerusakan
cedera kepala primer dan cedera kepala sekunder. Cedera kepala primer ialah
cedera yang timbul pada saat rudapaksa, biasanya menimbulkan kerusakan
pada kulit dan jaringan subkutan, tulang tengkorak, jaringan otak, saraf otak,
serta pembuluh darah. Pada cedera sekunder terjadi setelah rudapaksa akan
timbul edema serebri, rusaknya blood brain barrier, nekrosis jaringan,
hipertermi, dan lain- lain.
Kerusakan sekunder terhadap otak disebabkan oleh siklus
pembengkakan dan iskemia otak yang menyebabkan timbulnya efek kaskade,
efeknya merusak otak.

Cedera sekunder terjadi dari beberapa menit hingga beberapa jam


setelah cedera awal. Setiap kali jaringan saraf mengalami cedera, jaringan ini
berespon dalam pola tertentu yang dapat diperkirakan, menyebabkan
berubahnya kompartemen intrasel dan ekstrasel. Beberapa perubahan ini
adalah dilepaskannya berlebihan glutamin, kelainan aliran kalsium,produksi
laktat, efek kerusakan akibat radikal bebas, dan perubahan pompa natrium
pada dinding sel yang berperan dalam terjadinya kerusakan tambahan dan
pembengkakan jaringan otak (Price & Wilson, 2012).
Neuron dan fungsional sel- sel dalam otak, bergantung dari menit
kemenit pada suplai nutrien yang konstan dalam bentuk glukosa dan oksigen,
dan sangat rentan terhadap cedera metabolik apabila suplai berhenti. Cedera
mengakibatkan hilangnya kemampuan sirkulasi otak untuk mengatur volume
darah sirkulasi yang tersedia, menyebabkan iskemia pada daerah tertentu
dalam otak (Price & Wilson, 2012).
Peningkatan intrakranial (Intracranial Pressuer, ICP) didefenisikan
sebagai peningkatan tekanan dalam rongga kranialis. Biasanya ruang
intrakranial ditempati oleh jaringan otak, darah, dan cairan serebrospinal.
Setiap bagian menempati volume tertentu yang menghasilkan suatu tekanan
intrakranial normal sebesar 50 sampai 200 mm H2O atau sampai 15 mmHg.
Dalam keadaan normal, ICP dipengaruhi oleh aktivitas sehari- hari dan dapat
meningkatkan sementara waktu sampai tingkat yang jauh lebih tinggi dari
normal. Beberapa aktivitas yaitu pernapasan abdominal dalam, batuk, dan
mengedan. Kenaikan sementara ICP tidak menimbulkan kesukaran, tetapi
kenaikan tekanan yang menetap mengakibatkan rusaknya kehidupan jaringan
otak (Price & Wilson, 2012).
Ruang intrakranial adalah suatu ruang kaku yang trisi penuh sesuai
kapasitasnya dengan unsur yang tidak dapat ditekan yaiut: otak (1400 g),
cairan serebrospinal (sekitar 75 ml), dan darah (sekitar 75 ml). Peningkatan
volume pada salah satu dari ketiga unsur mengakibatkan desakan ruang yang
ditempati oleh unsur lainnya dan menaikkan tekanan intrakranial (Price &
Wilson, 2012).
Intracranial Pressuer pada umumnya meningkat secara bertahap. Setelah
cedera kepala, edema terjadi dalam 36 hingga 48 jam hingga mencapai
maksimum.

Peningkatan ICP hingga 33mmHg (450 mm H2O) menurunkan secara


bermakna aliran darah ke otak (Cerebral Blood Flow, CBF). Iskemia yang
terjadi merangsang pusat vasomotor, dan tekanan darah sistemik meningkat.
Ransangan pada pusat inhibisi jantung mengakibatkan bradikaridi dan
pernapasan menjadi lebih lambat. Mekanisme kompensasi ini dikenal sebagai
refleks Cushing, membantu mempertahankan aliran darah ke otak (Akan tetapi
menurunnya pernapasan menyebabkan retensi CO2 dan mengakibatkan
vasodilatasi otak yang membantu membantu menaikkan tekanan intrakranial).
Tekanan darah sistemik akan terus meningkat sebanding dengan peningkatan
ICP, walaupun akhirnya dicapai satu titik ketika ICP melebihi takanan arteria
dan sirkulasi otak berhenti yang mengakibatkan kematian otak. Pada
umumnya, kejadian ini didahului oleh tekanan darah arteria yang cepat
menurun (Price & Wilson, 2012).
Siklus defisit neurologik proregsif yang menyertai kontusio dan edema
otak (atau setiap lesi ,assa intrakranial yang membesar). Trauma otak
menyebabkan fragmentasi jaringan dan kontusio, menyebabkan rusaknya
sawar darah otak (Blood Brain Barrier, BBB), disertai vasodilatasi dak
eksudasi cairan sehingga timbul edema. Edema menyebabkan peningkatan
tekanan pada jaringan dan akhir- akhirnya meningkatkan ICP, yang pada
gilirannya akan menurunkan CBF, iskemia, hipoksia, asidosis (penurunan PH
dan Peningkatan PaCO2), dan kerusakan BBB lebih lanjut. Siklus ini akan
terus berlanjut hingga terjadi kematian sel dan bertambahnya edema secara
proregsif kecuali bila dilakukan intervensi (Price & Wilson, 2012).

PATHWAY

Benturan Dinding Benda Tumpul Benda Tajam

CEDERA KEPALA (CK)

Ekstra Kranial Luka/Laserasi Kerusakan sel otak

Terputusnya Continuitas Gangguan autoregulasi


Fraktur
jaringan otot dan
vaskuler Basis kranial
Aliran darah ke otak menurun

Gangguan Suplai Darah Perdarahan telinga, liang


telinga, hidung, Suplai oksigen menurun
Ke Jaringan

Darah masuk ke sal. Metabolisme anaerob


Iskemia
Pernapasan
Asam laktat meningkat
Hipoksia
Bersihan Jalan Napas
Tidak Efektif
Edema serebri
Risiko perfusi serebral
tidak efektif TIK meningkat

Nyeri Kepala, Pusing

Nyeri Akut
5. Penatalaksanaan
Penanganan cedera kepala sebagai berikut:
a. Stabilisasi kardio pulmoner mencangkup prinsip- prinsip ABC (Airway,
Breathing, Circulation). Keadaan hipoksemia, hipotensi, anemia akan
cenderung memperhebat peniggian tekanan inrakranial dan menghasilkan
prognosis yang lebih buruk.
b. Pemeriksaan umum untuk mendeteksi berbagai macam cedera atau
gangguan yang ada di tubuh lainnya.
c. Pemeriksaan neurologis tanda- tanda vital, GCS dan tingkat kesadaran.
d. Untuk penetalaksanaan peningkatan tekanan intrakranial, dapat dilakukan
dengan cara sebagai berikut:
1) Mengatur posisi kepala lebih tinggi 30-45°, dengan tujuan
memperbaiki venous return.
2) Pemberian oksigen
3) Mengusahkan tekanan darah yang optimal
4) Tekanan darah yang sangat tinggi dapat menyebabkan edema
serebral, sebaliknya tekanan darah terlalu rendah akan
mengakibatkan iskemia otak dan akhirnya juga akan
menyebabkan edema dan peningkatan TIK.
5) Mencegah dan mengatasi kejang.
6) Menghilangkan rasa cemas, agitasi dan nyeri.
7) Menjaga suhu tubuh normal < 37,50C. Kejang, gelisah, nyeri
dan demam akan menyebabkan ketidakseimbangan antara
suplai dan kebutuhan akan subtrat metabolisme. Disatu sisi
terjadi peningkatan metabolisme serebral, di lain pihak suplai
oksigen dan glukosa berkurang, sehingga akan terjadi
kerusakan jaringan otak dan edema. Hal ini akan
mengakibatkan peninggian TIK.
8) Koreksi kelainan metabolik dan elektrolit
Hiponatremia akan menyebabkan penurunan osmolalitas
plasma sehingga akan terjadi edema sitotoksik, sedangkan
hipernatremia akan menyebabkan lisisnya sel- sel neuron.
9) Hindari kondisi hiperglikemi
10) Pasang kateter vena sentral untuk memasukkan terapi
hiperosmoral atau vasoaktif jika diperlukan. MAP < 65 mmHg
harus segera dikoreksi.
11) Atasi hipoksia
Kekurangan oksigen akan menyebabkan terjadinya
metabolisme anaerob, sehingga akan terjadinya metabolisme
tidak lengkap yang akan menghasilkan asam laktat sebagai sisa
metabolisme. Peninggian asam laktat di otak akan
menyebabkan terjadinya asidosis laktat, selanjutnya akan
terjadi edema otak dan penigkatan TIK.

C. KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN


CEDERA KEPALA SEDANG.

Proses keperawatan merupakan cara sistematis yang dilakukan oleh perawat


bersama pasien dalam menentukan kebutuhan asuhan keperawatan dengan melakukan
pengkajian, penentuan diagnosis, perencanaan tindakan, pelaksanan tindakan, serta
mengevaluasi hasil asuhan yang telah diberikan dengan berfokus pada pasien dan
berorientasi pada tujuan. Setiap tahapnya saling bergantung dan berhubungan
(Tarwoto & Wartonah, 2015).
1. Pengkajian
Menurut Aminoff, Greenberg, & Simon (2015), pengumpulan data pasien
secara subjektif dan objektif pada gangguan sistem persyarafan dengan cedera
kepala tergantung pada bentuk, lokasi, jenis injury, adanya komplikasi pada
organ vital lainnya.
Data yang perluh didapatkan:
a. Identitas klien dan keluarga (penanggung jawab)
Biasanya identitas klien/ penanggung jawab dapat meliputi: nama, umur,
jenis kelamin, alamat, agama, suku, bangsa, pendidikan, pekerjaan,
tanggal masuk rumah sakit, diagnosa medis, nomor registrasi, hubungan
klien dan penanggaungjawab.

b. Keluhan utama
Tujuannya adalah agar pasien menggambarkan sifat masalah dalam suatu
kata atau frasa. Keluhan neurologis yang umum termasuk kebingungan,
pusing, lemah, gemetar, mati rasa, penglihatan kabur, dan mantera.
Analisis keluhan utama, dapat diingat dengan singkatan PQRST:
P provokes (pemicu) :apa pemicu gejala tersebut? (membuat
gejalanya membaik/bertambah parah) apakah ada riwayat trauma?
Q quality (kualitas) :bagaimana gejala itu tersebut dirasakan?
(biarkan pasien menguraikan dengan kata-kata sendiri)
R radiation (penyebaran) :dimana letak gejala tersebut ? apakah
gejala ini pernah mengalami gejala sebelumnya?
S severity (intensitas) :tentukan intensitas gejala dengan skala 1-10.
T time (waktu) :berapa lama Anda mengalami gejala ini?
apakah gejala ini pernah mengalami gejaala sebelumnya.
c. Riwayat kesehatan sekarang
Biasanya pengkajian yang didapatkan meliputi, tingkat kesadaran
menurun (GCS < 15), konvulsi, muntah, takipnea, sakit kepala, wajah
simetris atau tidak, lemah, luka di kepala, paralise, akumulasi sekret pada
saluran pernapasan, adanya likuor dari hidung dan telinga, serta kejang.
Adanya penurunan atau perubahan pada tingkat kesadaran dihubungkan
dengan perubahan di dalam intrakranial. Keluhan perubahan prilaku juga
umum terjadi. Sesuai perkembangan penyakit, dapat terjadi latergik, tidak
responsif, dan koma (Aminoff et al., 2015).
d. Riwayat kesehatan dahulu
Biasanya adanya riwayat trauma yang mengenai kepala akibat dari
kecelakaan lalu lintas, jatuh dari ketinggian, trauma langsung kepala.
Tanyakan apakah ada riawayat hipertensi, riwayat cedera kepala
sebelumnya, diabetes melitus, penyakit jantung, anemia, penggunaan
obat- obat antikoagulan, aspirin, vasodilator, obat- obat adiktif, dan
konsumsi alkohol berlebihan (Aminoff et al., 2015).
e. Riwayat kesehatan keluarga
Biasanya cedera kepala tidak dipengaruhi oleh riwayat penyakit keluarga,
namun perlu dikaji adanya anggota generasi terdahulu yang menderita
hipertensi dan diabetes melitus, jantung koroner, dimana penyakit ini
dapat memperlambat proses pemulihan (Aminoff et al., 2015).
f. Pemeriksaan fisik
1) Pemeriksaan tingkat kesadaran
a) Kuantitatif dengan GCS

No Komponen Nilai Hasil

1 Tidak ada respon

2 Buka mata terhadap


Nyeri
1 Verbal Bicara tidak jelas
3
4 Bicara mengacau

5 Bicara spontan

1 Tidak ada respon

2 Reaksi ekstensi

3 Reaksi fleksi
2 Motorik Menjauh terhadap nyeri
4
5 Melokalisir nyeri

6 Mengikuti perintah

1 Tidak ada respon


Reaksi membuka
3 2 Buk mata terhadap
mata (Eye)
Nyeri
Buka mata terhadap suara
3
4 Buka mata spontan
b) Kualitatif
(1) Compos mentis yaitu kesadaran normal, sadar
sepenuhnya dapat menjawab semua pertanyaan
tentang sekelilingnya, nilai GCS: 15 – 14.
(2) Apatis, yaitu keadaan kesadaran yang segan untuk
berhubungan dengan sekitarnya, sikapnya acuh tak
acuh, nilai GCS: 13 – 12.
(3) Delirium, yaitu gelisah, disorientasi (orang, tempat,
waktu), memberontak, berteriak- teriak,
berhalusinasi, kadang berkhayal, nilai GCS: 11-10.
(4) Somnolen (obtundasi, letargi), yaitu kesadaran
menurun, reapon psikomotor yang lambat, mudah
tertidur, namun kesadaran dapat pulih bila
dirangsang (mudah dibangunkan) tetapi jatuh
tertidur lagi, mampu memberi jawaban verbal, nilai
GCS: 9-7.
(5) Stupor (soporo koma), yaiut keadaan seperti tertidur
lelap, tetapi ada respon terhadap nyeri, nilai GCS: 6-
4.
(6) Coma (comatose), yaitu tidak bisa dibangunkan,
tidak ada respon terhadap ransangan apapun (tidak
ada respon kornea maupun reflek muntah, mungkin
juga tidak ada respon pupil terhadap cahaya), nilai
GCS: ≤ 3. (Satyanegara, 2010)
Untuk pasien dengan cedera kepala sedang, tingkat
kesadarannya apatis-somnolen.

c) Pemeriksaaan tanda rangsangan maningeal


(1) Pemeriksaan kuku kuduk
Kaku kuduk dapat bernilai negatif ataupun positif.
(2) Bruzinski I (brudzinski’s neek sign)
Bruzunski I dapat bernilai positif, dan bisa juga
negatif.
(3) Tanda laseque
Tanda laseque dapat bernilai positif, dan bisa juga
negatif.
(4) Brudzinski II
Bruzunski II dapat bernilai negatif ataupun positif.
(5) Pemeriksaan kernig sign
Kernig Sign dapat bernilai positif atau bisa juga
negatif. Pada pemeriksaan ransangan maningeal
hasil normalnya negatif. Dapat bernilai positif jika
cedera kepala yang telah berdampak hingga ke
gangguan sistem persyarafan, seperti hemiplegi
ataupun hemiparise dan lainnya. Kemungkinan
hasilnya dapat bernila positif (Aminoff et al., 2015).
d) Pemeriksaan nervus carnialis
Menurut Bahrudin (2017), data dari pemeriksaan saraf yang
sering muncul pada pasien cedera kepala sedang adalah:
(1) Nervus I, Olfaktorius (pembau)
Sering terganggu karena pada ujung otak yang
sering mengalami shearing. Karena kalainan ini
berupa gangguan pada penciuman, baru dikeluhkan
atau diketahui setelah penderita sadar, berupa nafsu
makan yang menurun karena penciuman aroma yang
menurun.
(2) Nervus II, Opticus (penglihatan)
Gengguan nervus ini terutama pada trauma dekat/
disamping orbita, yang menimbulkan shearing dan,
atrofi nervus optikus.
(3) Nervus III Oculomotorius, Nervus IV trochlearis,
Nervus V Trigeminus
Jarang terkena
(4) Nervus VI, Abdusen
Sering terganggu karena terdapat pada dasar
tengkorak fosa anterior yang juga mengalami
trauma. Ini dapat menimbulkan diplopia. Bila
diplopia terjadi segera, maka prognosis lebih jelek
karena kelainan akibat langsung trauma.bila
dibiarkan beberapa hari dapat mengakibatkan
edema.
(5) Nervus VII, Facialis
Pada pasien dengan cedera kepala persepsi
pengecapan mengalami perubahan.
(6) Nervus VIII, Audiorius / vestibulokokhlearis.
Pada pasien mengalami cedera kelapa biasanya
terjadi perubahan fungsi pendengaran.
(7) Nervus IX Glosopharingeal, dan Nervus X Vagus
Kemampuan menelan kurang baik dan kesulitan
membuka mulut.
(8) Nervus XI, Acessories
Bila tidak melibatkan trauma pada leher, mobilitas
klien cukup baik serta tidak ada atrofi otot
stornokleidomastoideus dan trapezius.
(9) Nervus XII, Hypoglosal
Indra pengecapan mengalami perubahan.
e) Pemeriksaan otot
Pada pasien cedera kepala biasanya mengalami kelemahan
pada seluruh ekstremitasnya dan terkadang juga didapatkan
hemiplegia karena lesi pada sisi otak yang berlawanan.
Hemiparise dan tanda lainnya. Hasil dari penilaian tanus
otot didapatkan menurun sampai hilang. Dalam penilaian
tingkat kekuatan otot didapatkan nilai 0 (Satyanegara,
2010).

Skor Keterangan

5 Kekuatan otot utuh, mampu melawan gravitasi.

Kekuatan otot sedikit berkurang, mampu melawan gravitasi sesaat, lalu


4
jatuh.

Mampu mengangkat tangan dengan bantuan, saat bantuan dilepaskan


3
tangan ikut jatuh.

2 Hanya mampu menggeser sedikit.

1 Hanya mampu menggerakkan ujung ekstremitasmnya.

0 Tidak mampu bergerak sama sekali.

f) Pemeriksaan fisik fisiologis


Pasien dengan penurunan kesadaran terkadang tidak dapat
dinilai reflek fisiologisnya.
g) Pemeriksaan refleks patologis
Pasien dengan penurunan kesadaran terkadang tidak dapat
dinilai reflek patologisnya.
(1) Reflek babynski
Pada pasien dengan cedera kepala, biasanya reflek
babynski negatif
(2) Reflek chaddok
Pada pasien dengan cedera kepala, biasanya
reflek chaddoknya negatif.
(3) Reflek oppenhim
Pada pasien dengan cedera kepala, biasanya
reflek openhimnya negatif
(4) Reflek gordon
Pada pasien dengan cedera kepala, biasanya reflek
gordonnya negatif.
(5) Reflek hofmen tromen
Pada pasien dengan cedera kepala, biasanya reflek
hofmen tromennya negatif.
h) Aspek Kardiovaskuler
Biasanya terjadi penurunan/ peningkatan tekanan darah,
denyut nadi, bradikardi, tachikardi, irama tidak teratur, TIK
meningkat. Menurut Aminoff et al. (2015), pengkajian pada
sistem kardiovaskuler didapatkan renjatan (syok hipovolemik)
yang sering terjadi pada klien cedera kepala sedang dan berat.
Hasil pemeriksaan kardiovaskuler klien cedera kepala pada
beberapa keadaan didapatkan tekanan darah normal atau
berubah, nadi bradikardi, takikardi, dan aritmia. Frekuensi nadi
cepat atau lemah berhubungan dengan homoestasis tubuh dalam
upaya menyeimbangkan kebutuhan oksigen perifer. Nadi
bradikardi merupakan tanda dari perubahan perfusi jaringan
otak. Kulit kelihatan pucat menunjukkannya penurunan kadar
hemoglobin dalam darah. Hipotensi menandakan adanya
perubahan perfusi jaringan dan tanda- tanda awal dari syok.
Pada beberapa keadaan lain akibat dari trauma kepala akan
merangsang pelepasan antidiuretik hormon yang berdampak
pada kompensasi tubuh untuk melakukan retensi atau
pengeluaran garam dan air oleh tubulus. Mekanisme ini akan
meningkatkan konsentrasi elektrolit sehingga memberikan
risiko terjadinya gangguan keseimbangan ceiran dan elektrolit
pada sistem kardiovaskuler.
i) Sistem Pernapasan
Menurut Aminoff et al. (2015), perubahan pada sistem
pernapasan bergantung pada gradasi dan perubahan jaringan
serebral akibat trauma kepala. Pada beberapa keadaan hasil dari
pemeriksaan fisik sistem ini akan didapatkan hasil seperti
dibawah ini.
1) Inspeksi didapat klien batuk, penigkatan produksi
sputum, sesak napas, penggunaan otot bantu napas,dan
peningkatan frekuensi pernapasan. Ekspansi dada:
dinilai penuh atau tidak penuh dan kesimetrisan. Pada
observasi ekspansi dada juga perlu dinilai: retraksi
otot- otot interkostal, subternal, pernapasan abdomen,
dan respirasi paradoks (retraksi abdomen saat
inspirasi). Pola napas paradoksal dapat terjadi jika
otot- otot interkostal tidak mampu menggerakkan
dinding dada.
2) Palpasi didapat fremitus menurun dibandingngkan
dengan sisi yang lain akan didapatkan jika melibatkan
trauma pada rongga torak.
3) Perkusi didapat adanya suara redup sampai pekak pada
keadaan melibatkan trauma pada torak/ hemotoraks.
4) Auskultasi didapat bunyi napas tambahan, stridor,
ronkhi, dan kemampuan batuk yang menurun sering
didapatkan pada klien cedera kepala dengan
penurunan kesadaran koma.
j) Kebutuhan Dasar
1) Eliminnasi
Biasanya terjadi perubahan atau gangguan eliminasi.
Seperti terjadinya inkontinensia urin, hematuri, dan atau
obstipasi. Menurut Aminoff et al. (2015), pengkajian
keadaan urine meliputi warna, jumlah, dan karakteristik
urine, termasuk berat jenis urine. Penurunan jumlah urin
dan peningkatan retensi cairan dapat terjadinya akibat
penurunan perfusi ginjal. Setelah cedera kepala klien akan
mengalami inkontinensia urine karena konfusi,
ketidakmampuan mengkonsumsi kebutuhan, dan
ketidakmampuan menggunakan sistem perkemihan karena
kerusakan kontrol motorik dan postural. Kadang- kadang
kontrol sfingter urinarius eksternal hilang atau berkurang.
Selama ini dilakukan periode kateterisasi intermiten
dengan teknik steril. Inkontinensia urin yang berlanjut
menunjukkan kerusakan neurologis yang luas.
2) Nutrisi
Biasanya pasien mengalami mual, muntah,
gangguan mencerna/ menelan, kaji bising usus. Menurut
Aminoff et al. (2015), pengkajian nutrisi yaitu didapatkan
adanya keluhan kesulitan menelan, nafsu makan menurun,
dan muntah pada fase akut. Mual sampai muntah dikaitkan
dengan penigkatan produksi asam lambung sehingga
menimbulkan masalah pemenuhan nutrisi. Pola defekasi
biasanya terjadi konstipasi akibat penurunan peristaltik
usus. Adanya inkontinensia alvi yang berlanjut
menunjukkan kerusakan neurologis yang luas.
Pemerikasaan rongga mulut dengan melakukan
penilaian ada tidaknya lesi pada mulut atau perubahan pada
lidah yang menunjukkan adanya dehidrasi. Pemeriksaan
bising usus untuk menilai ada tidaknya dan kualitas bising
usus harus dikaji sebelum lakukan papasi abdomen. Bising
usus menurun atau hilang dapat terjadi pada paralitik ileus
dan peritonitis. Lakukan observasi bising usus selama lebih
kurang 2 menit. Penururnan mortalitas usus dapat terjadi
akibat tertelannya udara yang berasal dari sekitar selang
endotrakreal dan nasotrakeal.
3) Istirahat
Biasanya terjadi kelelahan, kelemahan, mobilisasi,
kurang tidur.
k) Pengkajian psikologis
Pengkajian mekanisme koping yang digunakan klien
untuk menilai respon emosi klien terhadap penyakit yang
dideritanya dan perubahan peran klien dalam keluarga dan
masyarakat serta respon atau pengaruhnya dalam kehidupan
sehair- hari, baik dalam keluarga maupun masyarakat. Apakah
ada dampak yang timbul pada klien yaitu timbul seperti
ketakutan akan kecacatan, rasa cemas, rasa ketidakmampuan
untuk melakukan aktivitas secara optimal, dan pandangan
terhadap diri yang salah.
Adapun perubahan hubungan dan peran karena klien
mengalami kesulitan untuk berkomunikasi akibat gangguan
bicara. Pola persepsi dan konsep diri didapatkan klien merasa
tidak berdaya, tidak ada harapan, mudah marah, dan tidak
kooperatif (Aminoff et al., 2015).
l) Pengkajian sosial
Perlu dilakukan pengkajian tentang kemampuan
komunikasi, afasia motorik, bicara tanpa arti, disartia,
perubahan ingkah laku atau kepribadian.
m) Pemeriksaan Penunjang
Menurut Smeltzer dan bare (2017) Dalgleish et al.,
(2016) Muttaqin (2008) pemeriksaan penunjang/ diagnostik
pada cedera kepala adalah:
1) Pemeriksaan Diagnostik
(a) CT Scan
CT Scan saat tanpa atau dengan kontras
mengindentifikasi adanya hemoragik,
menentukan ukuran ventrikuler, pergeseran
jaringan otak Menurut Satyanegara (2010),
dapat diperoleh informasi yang lebih jelas
tentang lokasi dan adanya perdarahan
inrakranial, edema, kontusi, udara, benda asing
intrakranial, serta pergeseran struktur di dalam
otak.
(b) MRI (Magneting Resonance Imaging)
MRI sangat berguna untuk
mengidentifikasi perdarahan ekstraserebral. MRI
dipakai pada masa setelah trauma, terutama
untuk menentukan kerusakan parenkim otak
yang berhubungan dengan trauma yang tidak
dapat dilihat dengan hasil CT Scan. MRI lebih
sensitif untuk mendeteksi lesi otak non
perdarahan, kontusio, dan cedera aksonal difus.
MRI dapat membantu mendiagnosis bilateral
subdural hematom kronik karena pergeseran
garis tengah yang kurang jelas pada CT Scan.
Menurut Satyanegara (2010), MRI memiliki
keunggulan melihat perdarahan kronis maupun
kerusakan otak yang kronis.
(c) Angiografi Serebral
Menunjukkan sirkulasi serebral, seperti
pergeseran jaringan otak akibat edema,
perdarahan, trauma.
Menunjukkan sirkulasi serebral, seperti
pergeseran jaringan otak akibat edema,
perdarahan, trauma.
(d) X-Ray
Mendeteksi perubahan struktur tulang
(fraktur), perubahan struktur garis (perdarahan/
edema), fragmen tulang.
Menurut Satyanegara (2010), informasi yang
didapatkan dari hasil pemeriksaan adalah:
(1) Fraktur tulang kepala, diperoleh informasi
tentang tipe fraktur, baik bentuk linier, stelata,
atau deopresi.
(2) Adanya benda asing
(3) Pneumocephalus (udara masuk ke rongga
tengkorak)
(4) Brain shift
(e) PET, untuk mendeteksi perubahan aktivitas metabolisme otak.
(f) Pemeriksaan CSF, Lumbal fungsi :dapat dilakukan jika diduga terjadi perdarahan
subarakhnoid.
2) Pemeriksaan Laboratorium
(a) Analisa Gas Darah. Mendeteksi ventilasi atau
masalah pernapasan (Oksigenasi) jika terjadi
peningkatan intra kranial.
(b) Elektrolit. Untuk mengoreksi keseimbangan
elektrolit sebagai akibat peningkatan tekanan.
(c) Laboratorium. Pemeriksaan laboratorium
minimal meliputi, pemeriksaan darah rutin,
elektrolit, profil hemostasis/ koagulasi.
(hemoglobin, leukosit, CT, BT)

2. Diagnosa Keperawatan
Kemungkinan diagnosa yang diangkat, yaitu :
a. Bersihan jalan napas b. d. benda asing dalam jalan napas
b. Nyeri akut b.d. agen cedera fisik
c. Risiko perfusi serebral tidak efektif b.d. cedera kepala
3. Intervensi Keperawatan

No Diagnosa Tujuan dan Kriteria Intervensi


. (SDKI) Hasil (SLKI) Keperatan (SIKI)

1. Bersihan jalan Tautan Luaran Bersihan Tautan Intervensi


napas b.d. benda Jalan Napas Tidak Bersihan jalan napas
asing dalam jalan Efektif. tidak efektif.
napas (D.0001) a. Luaran Utama a. Intervensi
Ditandai dengan : 1) Bersihan jalan Utama
a. Data Subjektif napas (L.01001) 1) Latihan batuk
1)Dispnea b. Luaran Tambahan efektif (I.01006)
1) Kontrol gejala 2) Manajemen
2)Sulit bicara (L14127) Jalan Napas
3)Orthopnea 2) Pertukaran gas (I.01011)
b. Data Objektif (L01003) 3) Pemantauan
1) Gelisah 3) Respon alergi lokal Respirasi (I.01014)
2) Sianosis (L.14131) b. Intervensi
3) Bunyi napas 4) Respon alergi Pendukung
menurun sistematik (L14131) 1) Dukungan
4)Frekuensi 5) Respon alergi kepatuhan program
napas sistematik (L.14132) pengobatan (I.
berubah 6) Respon ventilasi 12361)
5)Pola napas mekanik (L.01005) 2) Edukasi
berubah 7) Tingkat infeksi Fisioterapi dada
6)Batuk tidak (L.14137) (I.01004)
efektif 3) Edukasi
7)Tidak mampu Pengukuran
batuk Respirasi (I.12413)
8)Sputum 4) Fisioterapi Dada
berlebih (I.01004)
9)Mengi, 5) Konsultasi Via
wheezing Telepon (I.12462)
dan atau 6) Manajemen
Rhonkhi Asma (I.010110)
kering 7) Manajemen
10) Mekonium reaksi Alergi
di jalan (I.14520)
napas (pada 8) Manajemen
neonatus) Anafilaksi
(I.02034)
9) Manajemen
Isolasi (I.14509)
10) Manajemen
Ventilai Mekanik
(I.01013)
11) Manajemen
Jalan Nafas Buatan
(I.01012)
12) Pemberian
Obat Inhalasi
(I.01015)
13) Pemberian
obat Interpleura
(I.14530)
14) Pemberian
obat nasal
(I.01017)
15) Pengaturan
Posisi (I.01019)
16) Penghisapan
Jalan Napas
(I.01020)
17) Terapi Oksigen
(I.01026)

2. Nyeri akut b.d. Tautan nyeri akut Tautan intervensi


agen cedera fisik a. Luaran utama nyeri akut
(D.0077) 1) Tingkat nyeri a. Intervensi utama
Ditandai dengan: (L.08066) 1) Manajemen
a. Data subjektif b. Luaran tambahan nyeri (I.08238)
1) Mengeluh 1) Fungsi 2) Pemberian
nyeri gastrointestinal Analgesik
b. Data objektif (L.03019) (I.08243)
1) Tampak 2) Kontrol nyeri b. Intervensi
meringis (L.08063) pendukung
2) Bersikap 3) Mobilitas fisik 1) Aromaterapi
protektif (L.05042) (I.08233)
(misalnya; 4) Penyembuhan luka 2) Dukungan
waspada, posisi (L.14130) Hipnosis Diri
menghindari 5) Perfusi miokard
nyeri) (L.02012) (I.09257)
3) Gelisah 6) Perfusi perifer 3) Dukungan
4) Frekuensi nadi (L.02012) Pengungkapan
meningkat 7) Pola tidur Kebutuhan (I.09266)
5) Sulit tidur (L.05045) 4) Edukasi Efek
6) Tekanan darah 8) Status kenyamanan samping obat
meningkat (L.08064) (I.12371)
7) Pola napas 9) Tingkat cedera 5) Edukasi
berubah (L.14136) Manajemen Nyeri
8) Proses berfikir (I.12391)
terganggu 6) Edukasi Proses
9) Menarik diri Penyakit (I.12444)
10) Berfokus 7) Edukasi Teknik
pada diri sendiri Napas (I.12452)
11) Diaforesis 8) Kompres dingin
(I.08234)
9) Kompres panas
(I.08235)
10) Konsultasi
(I.12461)
11) Latihan
Pernapasan (I.01007)
12) Manajemen
Efek Samping Obat
(I.14505)
13) Manajemen
Kenyamanan
Lingkungan
(I.08237)
14) Manajemen
Medikasi (I.14517)
15) Pemantauan
Nyeri (I.08242)
16) Pemberian
oabat (I.02062)
17) Pengaturan
Posisi (I.01019)
18) Perawatan
Kenyamanan
(I.08245)
19) Teknik
Distraksi (I.08247)
20) Terapi
Relaksasi (I.09326)

3. Risiko Perfusi Tautan intervensi


selebral tidak resiko perfusi
efektif b. d. cedera serebral tidak efektif
kepala (0017) a. Intervensi utama
1) Manajemen
peningkat tekanan
intrakranial
(I.09325)
2) Pemantauan
tekanan
intrakranial
(I.06198)
b. intervensi
pendukung
1) Edukasi diet
(I.12369)
2) Edukasi
program
pengobatan
3) Edukasi
prosedur tindakan
4) Konsultasi via
telfon
5) Manajemen alat
pacu jantung
permanen
6) Manajemen alat
pacu sementara
7) Manajemen
defibrilasi
8) Manajemen
kejang
9) Manajemen
medikasi
10) Manajemen
trombolitik
11) Pemnatauaan
hemodinamik
invasif
12) Pemantauan
neurologis
13) Pemantauan
tanda vital
14) Pemberian
obat
15) Pemberian
obat inhalasi
16) Pemberian
obat intravena
17) Pemebrian
obat ventrikular
18) Pencegahan
emboli
19) Pencegahan
pendarahan
20) Pengontrolan
infeksi
21) Perawatan
emboli paru
22) Perawatan
embolo perifer
23) Perawatan
jantung
24) Perawatan
jantung akut
25) Perawatan
neurovaskuler
26) Perawatan
sirkulasi
27) surveilans

4. Implementasi Keperawatan
Implementasi merupakan tindakan yang sudah direncanakan dalam
rencana perawatan. Tindakan keperawatan mencangkup tindakan mandiri
(independen) dan tindakan kolaborasi (Tarwoto & Wartonah, 2015)
5. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi merupakan tahap akhir dalam proses keperawatan untuk dapat
menentukan keberhasilan dalam asuhan keperawatan. Evaluasi pada dasarnya
adalah membandingkan status keadaan kesehatan dengan tujuan atau kriteria hasil
yang telah ditetapkan (Tarwoto & Wartonah, 2015).
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN
Trauma (cedera) kepala merupakan trauma yang terjadi pada kulit kepala, otak,
hingga tengkorak yang diakibatkan oleh suatu benturan, pukulan atau sentakan dikepala
atau cedera kepala yang tembus sehingga dapat menyebabkan gangguan trauma fungsi
otak yang disertai atau tidak disertai darah intersititial didalam substansi otak yang diikuti
putusnya kontiunitas otak. Cedera kepala adalah cedera yang diakibatkan adanya
mekanisme benturan atau penetrasi pada kepala yang dapat menyebabkan gangguan
fungsi otak. Berdasarkan keparahannya, cedera kepala digolongkan menjadi ringan,
sedang, dan berat (Suyasa et al., 2021). Pada pasien yang mengalami cedera kepala harus
diberikan asuhan keperawatan yang tepat untuk mengatasi kondisi pasien.
B. SARAN
1. Bagi Pelayanan Kesehatan
Diharapkan kepada petugas kesehatan dapat memanfaatkan karya tulis ini
sebagai bahan acuan dan pertimbangan dalam pemberian asuhan keperawatan pada
pasien dengan cedera kepala sedang.
2. Bagi Institusi Pendidikan
Diharapkan agar laporan ini dapat dimanfaatkan sebagai baham pembelajaran,
pengembangan ilmu mahasiswa/I dalam asuhan keperawatan pada pasien cedera
kepala berat.

DAFTAR PUSTAKA
Aminoff, M. J., Greenberg, D. A., & Simon, R. P. (2015). Clinical Neurology: Ninth Edition.

Ariani, A. T. (2012). Sistem Neurobehavior. Jakarta Selatan: Salemba Medika. Athika, N.,
Maja, J., & Mawuntu, A. H. . (2016). Gambaran skor MMSE dan

MoCA-INA pada pasien cedera kepala ringan dan sedang. JUrnal 3-Clinik

(ECI), 4(1).

Bahrudin, M. (2017). Neurologi Klinis (pp. 421–444). Malang: Universitas Muhammadiyah


Malang.

Basuki Sunaryo, SuryonoWahyu, Bambang Saleh, Chasnak, & Siti. (2015). Penatalaksanaan
Perioperatif Cedera Kepala Traumatik Berat dengan Tanda Cushing Perioperative
Management of Severe Brain Injury with Cushing ’ s Sign. Jurnal Neuroanestesi Indonesia,
4(1), 34–42. https://doi.org/JNI 2015;4

(1): 34–42

Bulecheck, G. M., Butcher, H. K., Dochterman, J. M., & Wagner, C. M. (2013).

Nursing Interventions Calssification (NIC). United Kingdom: Moco Media.

Donsu, J. D. T. (2016). Metodologi Penelitian Keperawatan. Yogyakarta: Pustakabarupres.

Gerritsen, H., Samim, M., Peters, H., Schers, H., & Van De Laar, F. (2018). Incidence Course
and Risk Factors of Head Injury: A Retrospective Cohort study. BMJ Open, 8(5), 1–8.
https://doi.org/10.1136/bmjopen-2017-020364

Hendrizal, Saanin, S., & Bachtiar, H. (2014). Pengaruh Terapi Oksigen Menggunakan Non-
Rebreathing Mask terhadap Tekanan Parsial CO2 Darah pada Pasien Cedera Kepala Sedang.
Jurnal Kesehatan Andalas, 3(1), 41–44. https://doi.org/10.1080/026404101750158277

Humaira, D. A. (2018). asuhan Keperawatan pada pasien dengan Cedera Kepala di Ruang
HCU Bedah RSUP DR MDjamil Padang. Director, 15(2), 2017–2019.
https://doi.org/10.22201/fq.18708404e.2004.3.66178

Husna U, Dahlar, M. (2017). Patofisiologi dan penata laksanaan edema serebri.

Mnj, 3(2), 94–107.


Ismiani, D. (2014). Pemberian Posisi Kepala Terhadap Perfusi Jaringan Serebral pada Asuhan
Keperawatan Sdr. B dengan Close Fraktur Imprasi Regio Frontal di Ruang Maar II RSUD Dr.
Moewardi Surakarta. 感染症誌, 91, 399–404.

Kartika, I. I. (2017). Buku Ajar Riset keperawatan dan Pengolaan Data Statistik.

Jakara: CV. Trans Info Media.

You might also like