MPRA Paper 90337

Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 34

Munich Personal RePEc Archive

Palm Oil Cultivation and Economic


Prospect in Indonesia

Joko Ismoyo, Agung and Saiful M, Adi Auf and Supriadi,


Cepi and Winianingsih, Dewi and Ayu Lestari, Firda and
Marhama, Hasna and Pazriatu R, Intan

agrotechnology

2018

Online at https://mpra.ub.uni-muenchen.de/90337/
MPRA Paper No. 90337, posted 02 Dec 2018 07:59 UTC
Prospek Ekonomi dan Budidaya Perkebunan Kelapa Sawit di Indonesia
Makalah ini bertujuan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Budidaya Tanaman
Perkebunan dengan dosen pengampu Prof. Dr. Ir H. M Subandi, SP., MP.

Agung Joko Ismoyo, Adi Auf Saiful M, Cepi Supriadi, Dewi Winianingsih, Firda Ayu Lestari,
Hasna Marhama, Intan Pazriatu R.
Palm Oil Cultivation and Economic Prospect in Indonesia
Abstract
Planting oil palms must meet the growing conditions and appropriate cultivation methods so that
the products obtained are in good condition, qualitatively and quantitatively. Palm oil contains
high saturated fatty acids (> 50%) and relatively few polyunsaturated fatty acids (<10%). The oil
produced can be exported to several countries, but there are problems in the export process of palm
oil products, namely policies that are lacking, limited sources of funding, land conflicts and
looting, even though the prospects or market demand for palm oil are quite large. do not have to
worry about losses, multiple profits and the number of workers.
The condition of oil palm planted on land will provide changes to the soil itself starting from the
increase in pore space, changes in textures. The spread of oil palm plantations in Indonesia is
currently developing in 22 provinces. The area of oil palm plantations in 1968 covering an area of
105,808 with production of 167,669 tons, in 2007 had increased to 6.6 million ha with production
of around 17.3 million tons of CPO (Sastrosayono 2003). Oil palm plants are an excellent
plantation commodity of Indonesia economically.
Key words: Palm, acids, land, economically.

Abstrak
Penanaman kelapa sawit harus memenuhi syarat tumbuh dan cara budidaya yang
pas agar hasil produksi yang didapatkan dalam keadaan baik, secara kualitatif dan
kuantitatif. Minyak sawit mengandung asam lemak jenuh yang tinggi (>50%) dan asam
lemak tidak jenuh ganda yang relative sedikit (<10%). Minyak yang dihasilkan dapat di
ekspor kebeberapa negara, namun terjadi permasalahan dalam proses ekspor hasil kelapa
sawit yaitu kebijakan yang kurang, keterbatasan sumber perdanaan, konflik lahan dan
penjarahan, padahal prospek atau permintaan pasar akan minyak sawit ini cukup besar,
terjadi kestabilan harga sehingga para petani tidak harus kawatir akan kerugian,
keuntungan yang berlipat dan banyaknya tenaga kerja.
Kondisi kelapa sawit yang ditanam pada lahan akan memberikan perubahan pada
tanah itu sendiri mulai dari bertambahnya ruang pori, terjadi perubahan tekstuPenyebaran
perkebunan kelapa sawit di Indonesia saat ini sudah berkembang di 22 daerah propinsi.
Luas perkebunan kelapa sawit pada tahun 1968 seluas 105.808 hadengan produksi 167.669
ton, pada tahun 2007 telah meningkat menjadi 6.6 juta ha dengan produksi sekitar 17.3 juta
ton CPO (Sastrosayono 2003). Tanaman kelapa sawit merupakan komoditas perkebunan
primadona Indonesia secara ekonomis.

Pendahuluan
Tanaman kelapa sawit memiliki nama latin (Elaeis guineensis Jacq) saat ini merupakan
salah satu jenis tanaman perkebunan yang menduduki posisi penting disektor pertanian
umumnya, dan sektor perkebunan khususnya, hal ini disebabkan karena dari sekian banyak
tanaman yang menghasilkan minyak atau lemak, kelapa sawit yang menghasilkan nilai
ekonomi terbesar per hektarnya di dunia (Balai Informasi Pertanian, 1990). Melihat
pentingnya tanaman kelapa sawit dewasa ini dan masa yang akan datang, seiring dengan
meningkatnya kebutuhan penduduk dunia akan minyak sawit, maka perlu dipikirkan usaha
peningkatan kualitas dan kuantitas produksi kelapasawit secara tepat agar sasaran yang
diinginkan dapat tercapai. Salah satu diantaranya adalah pengendalian hama dan penyakit.
(Sastrosayono 2003).
Tanaman kelapa sawit adalah tanaman penghasil minyak nabati yang dapat menjadi
andalan dimasa depan karena berbagai kegunaannya bagi kebutuhan manusia. Kelapa sawit
memiliki arti penting bagi pembangunan nasional Indonesia. Selain menciptakan
kesempatan kerja yang mengarah pada kesejahteraan masyarakat, juga sebagai
sumberdevisa negara. Penyebaran perkebunan kelapa sawit di Indonesia saat ini sudah
berkembang di 22 daerah propinsi. Luas perkebunan kelapa sawit pada tahun 1968 seluas
105.808 hadengan produksi 167.669 ton, pada tahun 2007 telah meningkat menjadi 6.6 juta
ha dengan produksi sekitar 17.3 juta ton CPO (Sastrosayono 2003). Tanaman kelapa sawit
merupakan komoditas perkebunan primadona Indonesia. Di tengah krisis global yang
melanda dunia saat ini, industri sawit tetap bertahan dan memberi sumbangan besar
terhadap perekonomian negara. Selain mampu menciptakan kesempatan kerja yang luas,
industri sawit menjadi salah satu sumber devisa terbesar bagi Indonesia.
Sektor perkebunan merupakan salah satu potensi dari subsektor pertanian yang
berpeluang besar untuk meningkatkan perekonomian rakyat dalam pembangunan
perekonomian Indonesia. Pada saat ini, sektor perkebunan dapat menjadi penggerak
pembangunan nasional karena dengan adanya dukungan sumber daya yang besar, orientasi
pada ekspor, dan komponen impor yang kecil akan dapat menghasilkan devisa non migas
dalam jumlah yang besar. Produktivitas kelapa sawit sangat dipengaruhi oleh teknik
budidaya yang diterapkan. Pemeliharaan tanaman merupakan salah satu kegiatan budidaya
yang sangat penting dan menentukan masa produktif tanaman. Salah satu aspek
pemeliharaan tanaman yang perlu diperhatikan dalam kegiatan budidaya kelapa sawit
adalah pengendalian hama dan penyakit. Pengendalian hama dan penyakit yang baik dapat
meningkatkan produksi dan produktivitas tanaman.

Pembahasan

1. Syarat Tumbuh
Air sebagai syarat tumbuh (Subandi, 2017) dan air menentukan proses
metabolisme (Subandi, 2013). Tanaman ini memerlukan curah hujan tahunan 1.500-
4.000 mm, temperatur optimal 24-28oC. Ketinggian tempat yang ideal untuk sawit
antara 1-500 m dpl (di atas permukaan laut). Kelembaban optimum yang ideal untuk
tanaman sawit sekitar 80-90% dan kecepatan angin 5-6 km/jam untuk membantu proses
penyerbukan.

Kelapa sawit dapat tumbuh pada jenis tanah Podzolik, Latosol, Hidromorfik
Kelabu, Alluvial atau Regosol, tanah gambut saprik, dataran pantai dan muara sungai.
Tingkat keasaman (pH) yang optimum untuk sawit adalah 5,0- 5,5. Kelapa sawit
menghendaki tanah yang gembur, subur, datar, berdrainase (beririgasi) baik dan
memiliki lapisan solum cukup dalam (80 cm) tanpa lapisan padas. Kemiringan lahan
pertanaman kelapa sawit sebaiknya tidak lebih dari 15o.

2. Teknologi Budidaya
a. Bahan Tanam

Penyediaan benih dilakukan oleh balai-balai penelitian kelapa sawit, terutama


oleh Marihat Research Station dan Balai Penelitian Perkebunan Medan (RISPA). Balai-
balai penelitian tersebut mempunyai kebun induk yang baik dan terjamin dengan pohon
induk tipe Delidura dan pohon bapak tipe Pisifera terpilih.

Kelapa sawit memiliki banyak jenis, berdasarkan ketebalan cangkangnya kelapa


sawit dibedakan menjadi Dura, Pisifera dan Tenera. Dura merupakan sawit yang
buahnya memiliki cangkang tebal sehingga dianggap dapat memperpendek umur mesin
pengolah namun biasanya tandan buahnya besar-besar dan kandungan minyak berkisar
18%. Pisifera buahnya tidak memiliki cangkang namun bunga betinanya steril sehingga
sangat jarang menghasilkan buah. Tenera adalah persilangan antara induk Dura dan
Pisifera. Jenis ini dianggap bibit unggul sebab melengkapi kekurangan masing-masing
induk dengan sifat cangkang buah tipis namun bunga betinanya tetap fertil. Beberapa
tenera unggul persentase daging per buahnya dapat mencapai 90% dan kandungan
minyak pertandannya dapat mencapai 28%.

b. Pengecambahan Benih

Tahapan pekerjaan dalam pengecambahan benih sebagai berikut:

1. Buah dikupas untuk memperoleh benih yang terlepas dari sabutnya. Pengupasan buah
kelapa sawit dapat menggunakan mesin pengupas.
2. Benih direndam dalam ember berisi air bersih selama 5 hari dan setiap hari air harus
diganti dengan air yang baru.
3. Setelah benih direndam, benih diangkat dan dikering anginkan di tempat teduh selama
24 jam dengan menghamparkannya setebal satu lapis biji saja. Kadar air dalam biji harus
diusahakan agar tetap sebesar 17%.
4. Selanjutnya benih disimpan di dalam kantong plastik berukuran panjang 65 cm yang
dapat memuat sekitar 500 sampai 700 benih. Kantong plastik ditutup rapat-rapat dengan
melipat ujungnya dan merekatnya. Simpanlah kantong-kantong plastik tersebut dalam
peti berukuran 30 cm x 20 cm x 10 cm, kemudian letakkan dalam ruang pengecambahan
yang suhunya 39 0 C.
5. Benih diperiksa 3 hari sekali (2 kali per minggu) dengan membuka kantong plastiknya
dan semprotlah dengan air(gunakan hand mist sprayer) agar kelembaban sesuai dengan
yang diperlukan yaitu antara 21- 22% untuk benih Dura dan 28-30% untuk Tenera.
Contoh benih dapat diambil untuk diperiksa kelembabannya.
6. Bila telah ada benih yang berkecambah, segera semaikan pada pesemaian
perkecambahan.
7. Setelah melewati masa 80 hari, keluarkan kantong dari peti di ruang pengecambahan
dan letakkan di tempat yang dingin. Kandungan air harus diusahakan tetap seperti
semula. Dalam beberapa hari benih akan mengeluarkan tunas kecambahnya. Selama 15-
20 hari kemudian sebagian besar benih telah berkecambah dan siap dipindahkan ke
persemaian perkecambahan (prenursery ataupun nursery). Benih yang tidak
berkecambah dalam waktu tersebut di atas sebaiknya tidak digunakan untuk bibit.
c. Penyemaian

Tahapan pekerjaan dalam penyemaian benih meliputi:

1. Benih yang sudah berkecambah disemai dalam polybag kecil, kemudian diletakkan pada
bedengan-bedengan yang lebarnya 120 cm dan panjang bedengan secukupnya.
2. Ukuran polybag yang digunakan adalah 12 cm x 23 cm atau 15 cm x 23 cm (lay flat).
3. Polybag diisi dengan 1,5-2,0 kg tanah atas yang telah diayak. Tiap polybag diberi lubang
untuk drainase.
4. Kecambah ditanam sedalam ± 2 cm dari permukaan tanah dan berjarak 2 cm.
5. Setelah bibit dederan yang berada di prenursery telah berumur 3-4 bulan dan berdaun 4-
5 helai, bibit dederan sudah dapat dipindahkan ke pesemaian bibit (nursery).
6. Keadaan tanah di polybag harus selalu dijaga agar tetap lembab tapi tidak becek.
Pemberian air pada lapisan atas tanah polybag dapat menjaga kelembaban yang
dibutuhkan oleh bibit.
7. Penyiraman dengan sistem springkel irrigation sangat membantu dalam usaha
menghasilkan kelembaban yang diinginkan dan dapat melindungi bibit terhadap
kerusakan karena siraman.
8. Untuk penanaman bibit pindahan dari dederan dibutuhkan polybag yang lebih besar,
berukuran 40 cm x 50 cm atau 45 cm x 60 cm (lay flat), tebal 0,11 mm dan diberi lubang
pada bagian bawahnya untuk drainase.
9. Polybag diisi dengan tanah atas yang telah diayak sebanyak 15-30 kg/polybag,
disesuaikan dengan lamanya bibit yang akan dipelihara (sebelum dipindahkan) di
pesemaian bibit.
10. Bibit dederan ditanam sedemikian rupa sehingga leher akar berada pada permukaan
tanah polybag besar dan tanah sekitar bibit dipadatkan agar bibit berdiri tegak. Bibit
pada polybag besar kemudian disusun di atas lahan yang telah diratakan, dibersihkan
dan diatur dengan hubungan sistem segitiga sama sisi dengan jarak misalnya 100 cm x
100 cm x100 cm.
d. Pemeliharaan

Pembibitan Bibit yang telah ditanam di polibag dipelihara dengan baik agar
pertumbuhannya sehat dan subur, sehingga bibit akan dapat dipindahkan ke lapang
sesuai dengan umur dan saat tanam yang tepat. Pemeliharaan bibit meliputi penyiraman,
penyiangan, pengawasan dan seleksi, serta pemupukan.

e. Penyiraman

Penyiraman bibit dilakukan dua kali sehari, kecuali apabila jatuh hujan lebih dari
7-8 mm pada hari yang bersangkutan. Air untuk menyiram bibit harus bersih dan cara
menyiramnya harus dengan semprotan halus agar bibit dalam polybag tidak rusak dan
tanah tempat tumbuhnya tidak padat. Kebutuhan air siraman ± 2 lt/polybag/hari,
disesuaikan dengan umur bibit. Penyiangan Gulma yang tumbuh dalam polybag dan di
tanah antara polybag harus dibersihkan, dikored atau disemprot dengan herbisida.
Penyiangan gulma harus dilakukan 2-3 kali dalam sebulan, atau disesuaikan dengan
pertumbuhan gulma.

f. Pengawasan dan Seleksi

Pengawasan bibit dilakukan untuk mengamati pertumbuhan bibit dan


perkembangan gangguan hama dan penyakit. Bibit yang tumbuh kerdil, abnormal,
berpenyakit dan mempunyai kelainan genetis harus dibuang. Pembuangan bibit
(thinning out) dilakukan pada saat pemindahan ke main nursery, yaitu pada saat bibit
berumur 4 bulan dan 9 bulan, serta pada saat pemindahan bibit ke lapangan. Tanaman
yang bentuknya abnormal dibuang, yakni dengan ciri-ciri;

1. Bibit tumbuh meninggi dan kaku

2. Bibit terkulai

3. Anak daun tidak membelah sempurna

4. Terkena penyakit

5. Anak daun tidak sempurna


g. Pemupukan

Pemupukan bibit sangat penting untuk memperoleh bibit yang sehat, tumbuh
cepat dan subur. Pupuk yang diberikan dalah Urea dalam bentuk larutan dan pupuk
majemuk.

h. Pemindahan Bibit ke Lapangan

Bibit yang telah berumur 8 bulan dapat dipindahkan ke areal pertanaman, tetapi
umumnya bibit dipindah ke lapang pada umur 10-14 bulan. Pemindahan bibit ke
lapangan harus diusahakan agar bibit tidak rusak dan polybagnya tidak pecah.

3. Teknik Penanaman
a. Penentuan Pola Tanam

Pola tanam kelapa sawit dapat monokultur ataupun tumpangsari. Pada pola
tanam monokulltur, sebaiknya penanaman tanaman kacang-kacangan (LCC) sebagai
tanaman penutup tanah dilaksanakan segera setelah persiapan lahan selesai. Tanaman
penutup tanah (legume cover crop atau LCC) pada areal tanaman kelapa sawit sangat
penting karena dapat memperbaiki sifat-sifat fisika, kimia dan biologi tanah, mencegah
erosi, mempertahankan kelembaban tanah dan menekan pertumbuhan tanaman
pengganggu (gulma). Sedangkan pada pola tanam tumpangsari tanah diantara tanaman
kelapa sawit sebelum menghasilkan dapat ditanami tanaman ubi kayu, jagung atau padi.

b. Pengajiran

Maksud pengajiran adalah untuk menentukan tempat yang akan ditanami kelapa
sawit sesuai dengan jarak tanam yang dipakai. Ajir harus tepat letaknya, sehingga lurus
bila dilihat dari segala arah, kecuali di daerah teras dan kontur. Sistem jarak penanaman
yang digunakan adalah segitiga sama sisi, dengan jarak 9x9x9 m. Dengan sistem segi
tiga sama sisi ini, pada arah Utara – Selatan tanaman berjarak 8,82 m dan jarak untuk
setiap tanaman adalah 9 m, jumlah tanaman 143 pohon/ha.
c. Pembuatan Lubang Tanam

Lubang tanam dibuat beberapa hari sebelum menanam. Ukurannya adalah


50x40x40 cm. Pada waktu menggali lubang, tanah bagian atas dan bawah dipisahkan,
masingmasing di sebelah Utara dan Selatan lubang.

d. Cara Penanaman

Penanaman dilakukan pada awal musim hujan, setelah hujan turun dengan
teratur. Adapun tahapan penanaman sebagai berikut:

1. Letakkan bibit yang berasal dari polibag di masing-masing lubang tanam yang sudah
dibuat.
2. Siram bibit yang ada pada polybag sehari sebelum ditanam agar kelembaban tanah dan
persediaan air cukup untuk bibit.
3. Sebelum penanaman dilakukan pemupukan dasar lubang tanam dengan menaburkan
secara merata pupuk fosfat seperti Agrophos dan Rock Phosphate sebanyak 250
gr/lubang.
4. Buat keratan vertikal pada sisi polybag dan lepaskan polybag dari bibit dengan hati-hati,
kemudian dimasukkan ke dalam lubang.
5. Timbun bibit dengan tanah galian bagian atas (top soil) dengan memasukkan tanah ke
sekeliling bibit secara berangsur-angsur dan padatkan dengan tangan agar bibit dapat
berdiri tegak.
6. Penanaman bibit harus diatur sedemikian rupa sehingga permukaan tanah polybag sama
ratanya dengan permukaan lubang yang selesai ditimbun, dengan demikian bila hujan,
lubang tidak akan tergenang air.
7. Pemberian mulsa sekitar tempat tanam bibit sangat dianjurkan.

e. Pemeliharaan Tanaman

Pemeliharaan tanaman meliputi penyulaman, penanaman tanaman penutup


tanah, membentuk piringan (bokoran), pemupukan, dan pemangkasan daun (Subandi,
2005; Subandi, 2011).
f. Penyulaman

Penyulaman dilakukan untuk mengganti tanaman yang mati atau tumbuh kurang
baik. Penyulaman yang baik dilakukan pada musim hujan. Bibit yang digunakan harus
seumur dengan tanaman yang disulam yaitu berkisar 10-14 bulan. Banyaknya sulaman
sekitar 3-5% setiap hektarnya. Cara penyulaman sama dengan cara menanam bibit.

g. Penanaman Tanaman Penutup Tanah

Penanaman tanaman kacang-kacangan penutup tanah (LCC) pada areal tanaman


kelapa sawit sangat penting karena dapat memperbaiki sifat-sifat fisika, kimia dan
biologi tanah, mencegah erosi dan mempertahankan kelembaban tanah, menekan
pertumbuhan gulma. Penanaman tanaman kacangkacangan sebaiknya dilaksanakan
segera setelah persiapan lahan selesai. Jenis-jenis tanaman kacang-kacangan yang
umum di perkebunan kelapa sawit adalah Centrosema pubescens, Colopogonium
mucunoides dan Pueraria javanica. Biasanya penanaman tanaman kacangan ini
dilakukan tercampur (tidak hanya satu jenis).

h. Membentuk Piringan (Bokoran)

Piringan di sekitar tanaman kelapa sawit harus tetap bersih. Oleh karena itu tanah
di sekitar pokok dengan jari-jari 1-2 m dari tanaman harus selalu bersih dan gulma yang
tumbuh harus dibabat, atau disemprot dengan herbisida.

i. Pemupukan

Jenis pupuk yang diberikan adalah pupuk N, P, K, Mg dan B (Urea, TSP, KCl,
Kiserit dan Borax). Pemupukan tambahan dengan pupuk Borax pada tanaman muda
sangat penting, karena kekurangan Borax (Boron deficiency) yang berat dapat
mematikan tanaman kelapa sawit. Dosis pupuk yang digunakan disesuaikan dengan
umur tanaman atau sesuai dengan anjuran Balai Penelitian Kelapa Sawit.

Pupuk N ditaburkan merata mulai jarak 50 cm dari pokok sampai di pinggir luar
piringan. Pupuk P, K dan Mg harus ditaburkan merata pada jarak 1-3 m dari pokok.
Pupuk B ditaburkan merata pada jarak 30-50 cm dari pokok. Waktu pemberian pupuk
sebaiknya dilaksanakan pada awal musim hujan (September-Oktober), untuk
pemupukan yang pertama dan pada akhir musim hujan (Maret-April) untuk pemupukan
yang kedua. Untuk tanaman yang belum menghasilkan, yang berumur 0-3 tahun.

Pupuk N, P, K, Mg, B ditaburkan merata dalam piringan mulai jarak 20 cm dari


pokok sampai ujung tajuk daun. Waktu pemupukan sebaiknya dilaksanakan pada awal
musim hujan (September-Oktober), untuk pemupukan yang pertama dan pada akhir
musim hujan (Maret-April) untuk pemupukan yang kedua.

j. Pemangkasan Daun

Pemangkasan daun bertujuan untuk memperoleh pohon yang bersih dengan


jumlah daun yang optimal dalam satu pohon serta memudahkan pamanenan.
Memangkas daun dilaksanakan sesuai dengan umur/tingkat pertumbuhan tanaman.
Macam-macam pemangkasan:

1. Pemangkasan pasir, yaitu pemangkasan yang dilakukan terhadap tanaman yang berumur
16-20 bulan dengan maksud untuk membuang daun-daun kering dan buahbuah pertama
yang busuk. Alat yang digunakan adalah jenis linggis bermata lebar dan tajam yang
disebut dodos.
2. Pemangkasan produksi, yaitu pemangkasan yang dilakukan pada umur 20-28 bulan
dengan memotong daun-daun tertentu sebagai persiapan pelaksanaan panen. Daun yang
dipangkas adalah songgo dua (yaitu daun yang tumbuhnya saling menumpuk satu sama
lain), juga buah- buah yang busuk. Alat yang digunakan adalah dodos seperti pada
pemangkasan pasir.
3. Pemangkasan pemeliharaan, adalah pemangkasan yang dilakukan setelah tanaman
berproduksi dengan maksud membuang daun-daun songgo dua sehingga setiap saat
pada pokok hanya terdapat daun sejumlah 28-54 helai. Sisa daun pada pemangkasan ini
harus sependek mungkin, agar tidak mengganggu kegiatan panen.

k. Pengendalian Gulma

Pengendalian gulma bertujuan untuk menghindari terjadinya persaingan antara


tanaman kelapa sawit dengan gulma dalam pemanfaatan unsur hara, air dan cahaya.
Selain itu pengendalian gulma juga bertujuan untuk mempermudah kegiatan panen.
Contoh gulma yang dominan di areal pertanaman kelapa sawit adalah Imperata
cylindrica, Mikania micrantha, Cyperus rotundus, Otochloa nodosa, Melostoma
malabatricum, Lantana camara, Gleichenia linearis dan sebagainya. Pengendalian
gulma dilakukan dengan cara penyiangan di piringan (circle weeding), penyiangan
gulma yang tumbuh di antara tanaman LCC, membabat atau membongkar gulma
berkayu dan kegiatan buru lalang (wiping).

2.2 Kandungan Lemak


Minyak sawit mengandung asam lemak jenuh yang tinggi (>50%) dan
asam lemak tidak jenuh ganda yang relative sedikit (<10%). Jenis minyak lain
dari tanaman kelapa sawit adalah minyak inti sawit yang mengandung asam laurat
(C12:0) yang tinggi. Komposisi asam lemak dari minyak sawit dan fraksinya serta
minyak inti sawit dapat dilihat pada tabel 2.1. (Law dan Thiagajaran, 1990; Choo,
1997)

Tabel 2.1 komposisi asam lemak (%) pada minyak sawit, olein, stearin, dan
minyak inti sawit

Jenis asam Minyak sawit Olein Stearin Minyak inti


lemak sawit

Ka - - - 3,00

La - - - 47,20

M 1,18 1,02 1,18 16,37

P 56,84 41,84 56,84 8,57

S 3,61 3,31 3,61 2,89

0 30,36 42,08 30,36 17,97


L 7,99 11,75 7,99 2,92

Keterangan : Ka = kaprat, La = laurat, M = miristat, P = palmitat, S = stearat, O


= oleat, L = linoleat

Sumber : PPKS, 1999

Minyak sawit juga dapat difraksinasi menjadi 2 bagian, yakni fraksi padat
(stearin) dan fraksi cair (olein). Karakteristik yang berbeda pada fraksi-fraksi
tersebut menyebabkan aplikasinya sangat luas untuk produk-produk pangan
ataupun nonpangan. Adapun komposisi asam lemak dari minyak sawit, fraksi
olein dan fraksi stearin dari minyak sawit, serta minyak inti sawit tertera pada
tabel 2.2.

Tabel 2.2 komposisi asam lemak dari minyak sawit, oleh sawit, olein, stearin dan
minyak inti sawit

Jenis Asam Lemak CPO Olein Stearin PKO

Asam lemak jenuh

C6 : 0 - - - 0 – 0,6

C8 : 0 - - - 2,4 – 6.2

C10 : 0 - - - 2,6 – 5,0

C12 : 0 0 - 0,4 0,1 – 0,5 0,1 – 0,4 41,0 – 55,0

C14 : 0 0,6 – 1,7 0,9 – 1,4 1,1 – 1,8 14,0 – 18,0

C16 : 0 41,1 – 47,0 38,5 – 41,7 50,5 – 73,8 6,5 – 10,0


C18 : 0 3,7 – 5,6 4,0 – 4,7 4,4 – 5,6 1.3 – 3,0

C20 : 0 0 -0,8 0,2 – 0,6 0,3 – 0,6 -

Asam lemak tak jenuh tunggal

C16 : 1 0 – 60 0,1 – 0,3 <0,05 – 0,1 -

C18 : 1 38,2 – 43,5 40,7 – 43,9 15,6 – 33,9 12,0 – 19,0

Asam lemak tak jenuh ganda

C18 : 2 6,6 – 11,9 10,4 – 13,4 3,2 – 8,5 1,0 – 3,5

C18 : 3 0 – 05 0,1 - 0,6 0 ,1 – 0,5 -

Sumber : Padley et al., 1994 dan Pantzaris, 1995

Minyak sawit dapat diolah menjadi berbagai produk pangan seperti


minyak goreng. Industri minyak goreng adalah industri yang paling banyak
menyerap bahan baku minyak sawit sedangkan industri stearamida dari asam
stearat dengan urea relatif masih sedikit.

2.3 Dinamika Pasar Minyak Nabati


a. Dinamika Pasar Minyak Nabati di Pasar Internasional

Pasar minyak nabati di pasar internasional merupakan salah satu pasar yang
kompetitif, melibatkan lebih dari sembilan jenis minyak serta hampir diproduksidan
dikonsumsi di semua negara, baik negara maju maupun negara yang sedang berkembang.
Minyak nabati yang banyak diperdagangkan di pasar internasional antara lain minyak
kedele, minyak sawit, rapeseed oil, sunflower oil, minyak kelapa, minyak jagung, dan
minyak kacang tanah.

Dari segi daya saing dan kinerja, minyak sawit dinilai memiliki daya saing dan
kinerja yang paling baik karena pangsa pasarnya terus meningkat dari sekitar 10% pada
tahun 1970-an menjadi sekitar 28% pada tahun 2000-an. Beberapa jenis minyak nabati
seperti sunflower dan rapeseed oil terus mengalami penurunan pangsa. Hal ini
menunjukkan bahwa CPO di pasar dunia memiliki daya saing untuk menggeser peran
minyak nabati lainnya (Susila 1998; Basiron 2002).

Pada lima tahun terakhir, daya saing CPO di pasar internasional masih lebih baik
dari daya saing minyak nabati lainnya (Basiron 2002). Hal ini tercermin dari pertumbuhan
pasar CPO yang secara umum paling tinggi. Konsumsi CPO dunia pada lima tahun terakhir
tumbuh dengan laju 7.70% per tahun, jauh diatas rata-rata konsumsi minyak dunia yang
hanya 3.44% per tahun (Tabel 1). Pada periode tersebut, hanya minyak kedele yang masih
tumbuh dengan laju 4.49% per tahun. Konsumsi rapeseed oil dan sunflower oil di pasar
dunia justru mengalami penurunan. Sebagai akibatnya, pangsa konsumsi CPO di dunia
meningkat 4.12% per tahun pada periode tersebut menjadi 27.77%, dengan tingkat
konsumsi mencapai 27.77 juta ton pada tahun 2004.

Tabel 1. Perkembangan Konsumsi Minyak Nabati di Dunia, 1999-2004

Konsumsi Growth Pangsa Growth

Jenis Minyak

1999 2004 (% p.a) 1999 2004 (% p.a)

Kedele 24.5 30.52 4.49 31.22 32.83 1.01

CPO 17.81 25.81 7.70 22.69 27.77 4.12

Rapseed 11.39 11.34 -0.09 14.51 12.20 -3.41

Sunflower 8.81 8.27 -1.26 11.23 8.90 -4.54

Lainnya 15.97 17.01 1.27 20.35 18.30 -2.10

Total 78.48 92.95 3.44 100.00 100.00

Sumber: USDA
(2004)
Hal yang identik juga terjadi pada aspek produksi. Pada periode 1999-2004,
produksi CPO meningkat dengan laju 5.93% per tahun dengan total produksi mencapai
25.67 juta ton pada tahun 2004 (Tabel 2). Dengan pangsa produksi sekitar 32.79%, minyak
kedele juga tumbuh dengan laju 4.20% per tahun pada periode tersebut. Minyak lain
khususnya rapeseed oil dan sunflower oil dengan pangsa produksi nomor tiga dan empat,
mengalami penurunan, masing-masing dengan laju – 1.00% dan –1.88% per tahun. Dengan
kondisi tersebut, pangsa produksi CPO di dunia kembali meningkat dengan laju 3.06% per
tahun.

Tabel 2. Perkembangan Produksi Minyak Nabati di Dunia, 1999-2004

Produksi Growth Pangsa Growth

Jenis Minyak

1999 2004 (% p.a) 1999 2004 (% p.a)

Kedele 24.65 30.28 4.20 30.61 32.79 1.38

CPO 19.25 25.67 5.93 23.90 27.80 3.06

Rapseed 11.81 11.23 -1.00 14.67 12.16 -3.68

Sunflower 9.18 8.35 -1.88 11.40 9.04 -4.53

Lainnya 15.64 16.82 1.47 19.42 18.21 -1.28

Total 80.53 92.35 2.78 100.00 100.00

Sumber: USDA
(2004)

Perdagangan (ekspor/impor) CPO juga mengalami pertumbuhan yang paling pesat


bila dibandingkan dengan perdagangan minyak nabati lainnya. Dengan pangsa pasar
terbesar yaitu 47.59% pada tahun 2004, ekspor CPO meningkat dengan laju paling pesat
pada lima tahun terakhir yaitu 7.37% per tahun. Minyak kedele sebagai pesaing utama
hanya tumbuh dengan laju 3.35% per tahun. Pertumbuhan ekspor rapeseed oil dan
sunflower oil mengalami penurunan yang cukup signifikan, masing-masing dengan laju –
4.00% dan –5.46% per tahun. Situasi ini kembali memperbesar pangsa perdagangan
minyak sawit dengan laju 3.18% per tahun. Minyak kedele sebagai pesaing utama
mengalami penurunan pangsa di perdagangan dengan penurunan pangsa sekitar –0,68%
per tahun.

Tabel 3. Perkembangan Ekspor Minyak Nabati di Dunia, 1999-2004

Ekspor Growth Pangsa Growth

Jenis Minyak

1999 2004 (% p.a) 1999 2004 (% p.a)

Kedele 8.71 10.27 3.35 27.82 26.88 -0.68

CPO 12.74 18.18 7.37 40.69 47.59 3.18

Rapseed 2.98 2.43 -4.00 9.52 6.36 -7.74

Sunflower 3.8 2.87 -5.46 12.14 7.51 -9.15

Lainnya 3.08 4.45 7.64 9.84 11.65 3.44

Total 31.31 38.2 4.06 100.00 100.00

Sumber: USDA
(2004)

b. Prospek CPO di Pasar Internasional Cukup Terbuka

Dengan kinerja dan daya saing yang cukup baik, prospek CPO di pasar
internasional, baik dilihat dari sisi peluang peningkatan konsumsi maupun ekspor
diperkirakan masih cukup baik. Hasil analisis yang dilakukan FAO (2001), Mielke (2001),
dan Susila (2002) menunjukkan peluang peningkatan konsumsi CPO masih terbuka. Dari
studi tersebut, peluang peningkatan konsumsi CPO untuk jangka panjang sampai dengan
2005 diperkirakan akan mengalami 3 fase pertumbuhan. Pada fase pertumbuhan pertama
atau fase pertumbuhan cepat (2005-2010), konsumsi CPO diperkirakan masih cukup
tinggi, walaupun lebih rendah dari pertumbuhan pada dekade terakhir. Fase kedua (2010-
1017) dikenal sebagai fase pertumbuhan yang lambat, namun masih lebih tinggi dari
pertumbuhan produk kompetitiornya yaitu pertumbuhan konsumsi minyak kedele. Fase
ketiga (2017-2025) dikenal sebagai pertumbuhan yang alami (natural) yaitu pada saat pasar
mulai jenuh dan pertumbuhan konsumsi hanya sekitar 1.5% per tahun.

Dengan pembagian fase tersebut, secara umum ada dua skenario proyeksi konsumsi
CPO dunia. Skenario pertama adalah skenario aman/pesimistis. Skenario ini dapat dinilai
sebagai masukan yang aman bagi investor yang terjun ke bisnis kelapa sawit atau tingkat
konsumsi/peluang pasar yang minimal akan dapat dimanfaatkan. Skenario ini
memperkirakan bahwa konsumsi CPO akan tumbuh dengan laju antara 1.5% - 3.5%
sampai dengan tahun 2005. Pada fase pertama, skenario ni memperkirakan pertumbuhan
konsumsi sekitar skenario 4% per tahun sampai dengan tahun 2010. Pada periode 2010 –
2017, konsumsi diperkirakan akan tumbuh antara 1.5% - 3.5% per tahun. Ada fase ketiga
konsumsi CPO akan mengalami pertumbuhan natural sekitar 1.5%.

Skenario kedua atau skenario optimistik memperkirakan bahwa konsumsi CPO


dunia akan tumbuh dengan laju antara 1.5% - 5.0% pada periode 2005-2025. Proyeksi ini
dilandasi pemikiran adanya perkembangan yang cukup pesat pada industri hilir kelapa
sawit seperti biodiesel dan oleokimia. Pada fsse pertama, konsumsi diperkirakan akan
tumbuh antara 3.5%-5.0% per tahun. Pada fase kedua (2010-2017), konsumsi diperkirakan
akan tumbuh antara 1.9% - 3.3% per tahun. Selanjutnya, pada fase pertumbuhan natural,
konsumsi diperkirakan akan tumbuh dengan laju 1.5% pertahun.

Ada beberapa faktor yang melandasi pemikiran bahwa prospek CPO cukup cerah
dalam persaingan dengan minyak nabati lainnya. Faktor pertama yang mendukung daya
saing minyak sawit yang tinggi adalah tingkat efisiensi yang tinggi dari minyak tersebut.
Pasquali (1993) dan Basiron (2002) menyebutkan bahwa CPO merupakan sumber minyak
nabati termurah. Rendahnya harga CPO relatif terhadap minyak lain berkaitan dengan
tingginya tingkat efisiensi produksi CPO (Simeh 2004; Susila 1998). Ong (1992)
menyebutkan bahwa produktivitas lahan untuk pengusahaan CPO, minyak kedele,
rapeseed, dan kopra adalah masing-masing 3.200, 332, 521, dan 395 kg/ha setara minyak.
Faktor lain adalah bahwa sekitar 80% dari penduduk dunia, khususnya di negara
berkembang masih berpeluang meningkatkan konsumsi per kapita untuk minyak dan
lemak, terutama untuk minyak yang harganya murah (FAO, 2001). Di samping faktor
penduduk, peningkatan konsumsi juga disebabkan oleh efek substitusi dan efek pendapatan
(Pasquali, 1993). Efek substitusi berpangkal dari daya saing CPO yang tinggi sehingga
penduduk di negara berkembang cenderung mensubstitusi minyak yang dikonsumsi
dengan minyak yang lebih murah. Efek pendapatan cukup signifikan karena pertumbuhan
ekonomi yang pesat justru terjadi di negara-negara yang sedang berkembang yang tingkat
konsumsi minyak dan lemak yang relatif masih rendah yaitu 10.3 kg per
kapita(FAO,2001). Faktor berikutnya yang juga akan memperbesar peluang minyak sawit
adalah terjadinya pergeseran dalam industri yang menggunakan bahan baku minyak bumi
ke bahan yang lebih bersahabat dengan lingkungan yaitu oleokimia yang bahan bakunya
adalah CPO (The World Bank, 1992 dan Pasquali, 1993). Kecenderungan tersebut sudah
tampak di beberapa negara maju seperti Amerika Serikat, Eropa Barat, dan Jepang.

Seperti kebanyakan harga produk primer pertanian, harga CPO relatif sulit untuk
diprediksi dengan akurasi yang tinggi. Harga cenderung fluktuatif dengan dinamika yang
perubahan yang relatif sangat cepat. Dengan kesulitan tersebut, maka proyeksi harga yang
dilakukan lebih pada menduga kisaran. Dengan argumen tersebut, harga CPO sampai
dengan 2005-2025 sebagian besar diperkirakan akan berfluktuasi sekitar US$ 350-450/ton
(FAO, 2003; Susila 2002). Jumlah stok yang terus menurun pada lima tahun terakhir dari
sekitar 10% dari konsumsi menjadi 7% (Tabel 4), memberi indikasi bahwa harga CPO
akan tidak menurun secara drastis dalam waktu jangka pendek.

c. Prospek dan Peluang Investasi di Indonesia

Seperti disebutkan, minyak sawit merupakan salah satu komoditas yang


perkembangannya paling pesat pada tiga dekade terakhir. Bahkan pada saat krisis dan
pemulihan ekonomi (1998-2003), kelapa sawit masih menunjukkan perkembangan yang
pesat (Tabel 5). Pada periode tersebut, pertumbuhan areal mencapai 12.04% per tahun
dengan luas aral tahun 2003 mencapai 4.923 juta ha. Produksi juga tumbuh pesat pada
periode tersebut dengan laju 13.6% per tahun dengan tingkat produksi mencapai 10.683
jua ton pada tahun 2003. Volume ekspor juga meningkat dengan laju 16.37% per tahaun,
sedangkan nilai ekspor minyak sawit meninkat dengan laju 7.67% per tahun. Konsumsi
domstik juga tidak ketinggalan dengan laju peningkatan sekitar 7.33% per tahun pada
periode tersebut.

Tabel 5. Perkembangan Kelapa Sawit Indonesia, 1998-2003

Pertumbuhan 1998-2003

Aspek Kondisi 2003

(%)

Luas (juta ha) 4.923 12.04

Produksi (juta ton) 10.683 13.62

Volume Ekspor (juta ton) 6.333 16.37

Nilai Ekspor (US$ juta) 2.992 7.67

Konsumsi Domestik (juta ton) 3.934 7.33

Sumber: Ditjen Bina Produksi Perkebunan (2004)

Dalam melihat peluang pasar CPO Indonesia, maka terlebih dahulu perlu diestimasi
peluang pasar (peningkatan konsumsi) di pasar dunia. Berdasarkan hasil estimasi
sebelumnya, tingkat konsumsi sampai dengan tahun 2025 diperkirakan akan berkisar
antara 41.45 – 44.45 juta ton. Di sisi lain, produksi CPO dunia pada tahun 2004 adalah
25.67 juta ton. Dengan demikian, peluang peningkatan produksi sampai dengan tahun 2025
berkisar antara 15.78 – 18.78 juta ton.

Dengan peluang pasar yang cukup terbuka baik dari sisi ekspor ataupun konsumsi
dunia secara keseluruhan, negara produsen CPO akan berusaha memanfaatkan peluang
pasar tersebut. Malaysia dan Indonesia diperkirakan sebagai negara yang paling banyak
dapat memanfaatkan peluang tersebut. Sebagai perkiraan, Malaysia sebagai produsen
utama diperkirakan akan memanfaatka peluang tersebut dengan peningkatan produksi
dengan laju 2.8%-1.5% per tahun. Indonesia diperkirakan masih akan mempunyai peluang
untuk memanfaatkan peluang tersebut dengan peningkatan produksi dengan laju antara
3.0%-7.6% per tahun (Susila, 2002).

d. Kendala dan Kebijakan

Dengan peluang investasi yang masih terbuka, Indonesia sebenarnya mempunyai


potensi untuk memanfaatkan peluang tersebut. Seberapa besar peluang tersebut dapat
dimanfatkan akan sangat bergantung pada iklim investasi/bisnis di Indonesia. Menurut
sirvei yang dilakukan oleh ADB (2003), secara umum ada 22 hambatan bisnis di Indonesia.
Dua hambatan utama adalah instabilitas kondisi ekonomi makro dan ketidak-pastian
kebijakan ekonomi. Faktor berikutnya yang juga dinilai sebagai hambatan utama adalah
korupsi, baik pada tingkat local maupun nasional. Selanjutnya, masalah perpajakan dan
biaya modal juga menjadi factor penghambat investasi di Indonesia.

Secara lebih spesifik pada bidang investasi kelapa sawit, beberapa hambatan utama
untuk melakukan investasi adalah sebagai berikut:

Keterbatasan Sumber Pendanaan

Sejak tidak adanya BLBI sebagai kredit murah, berbagai kegiatan investasi
perluasan kelapa sawit di Indonesia, seperti di Riau, Kalimantan Barat, dan Sumatera
Selatan mengalami kemacetan atau perluasannya sangat terbatas. Dalam mengatasi hal
tersebut, sumber pendanaan perlu digali seperti dengan menggunakan anggaran pemerintah
daerah.

Ekses Otonomi Daerah

Pemberlakuan otonomi daerah yang dimulai tahun 2001 tentunya akan mempunyai
pengaruh terhadap kinerja subsektor perkebunan pada masa mendatang. Ada dua undang-
undang yang berkaitan dengan otonomi daerah yaitu UU No. 22/1999 tentang
pemerintahan daerah dan UU No. 25/1999 tentang perimbangan keuangan antara
pemerintah pusat dengan daerah. Kedua undang-undang tersebut pada dasarnya memberi
wewenang yang lebih luas pada pemerintah daerah untuk mengelola sumberdaya yang
dimiliki. Dengan belum jelasnya operasionalisasi dari otonomi daerah tersebut, khususnya
yang berkaitan dengan subsektor perkebunan, maka pengaruh otonomi daerah terhadap
subsektor perkebunan masih memerlukan kajian lebih mendalam. Dampak positif yang
diharapkan dari otonomi daerah adalah bahwa inisiatif daerah lebih terpacu sehingga
potensi ekonomi daerah, termasuk subsektor perkebunan, dapat digali secara optimal. Hal
ini cenderung mendorong daerah untuk melakukan spesialisasi guna meningkatkan
efisiensi pada semua bidang, termasuk subsektor perkebunan.

Kemungkinan dampak negatif dari otonomi daerah terhadap subsektor perkebunan


adalah adanya kompetisi antar daerah dalam mengembangkan subsektor tersebut. Jika
tidak ada koordinasi antar daerah atau dari pemerintah pusat, persaingan tersebut
dikhawatirkan akan memperlemah posisi rebut tawar Indonesia di pasar internasional.
Sebagai contoh, jika beberapa daerah berusaha meningkatkan produksi produk perkebunan
sehingga melebihi peluang pasar yang ada, maka kelebihan penawaran sulit dihindarkan.
Sebagai akibatnya, harga turun yang tentunya merugikan produsen perkebunan Indonesia.

Sisi negatif lain yang tampaknyan akan berlanjut dihadapi subsektor perkebunan
sebagai akibat otonomi daerah adalah meningkatnya jumlah pungutan, retribusi, ataupun
sumbangan yang dilakukan oleh pemerintah daerah. Hal ini tentunya semakin
memberatkan pelaku bisnis perkebunan pada masa mendatang sehingga situasi ini tidak
akan kondusif untuk mengembangkan subsektor perkebunan.

Hal lain yang masih terkait dengan otonomi daerah adalah belum jelasnya
pembagian wewenang antara pemerintah pusat dengan daerah. Kondisi ini sering
membingungkan dan mengkhawatirkan pelaku bisnis yang ingin melakukan investasi pada
subsektor perkebunan. Pembagian wewenang ini perlu segera diterjemahkan dan
disosialisasikan sehingga pelaku bisnis tidak dihinggapi rasa kekhawatiran untuk
melakukan kegiatan bisnis di subsektor perkebunan.

Untuk mengatasi masalah tersebut, master plan pengembangan minyak sawit secara
nasional merupakan suatu keharusan. Di samping itu, berbagai kendala pungutan yang
mempunyai dampak negatif secara signifikan terhadap investasi perlu ditinjau kembali.

Isu Lingkungan

Pengembangan tanaman perkebunan, kelapa sawit khususnya, akhir-akhir ini


mendapat sorotan karena dianggap merusak lingkungan. Memasuki awal abad 21, masalah
lingkungan masih akan tetap mendapat tekanan, khususnya dari kalangan LSM
lingkungan. Ada beberapa argumen yang digunakan untuk menyatakan perluasan areal
kelapa sawit dapat merusak lingkungan. Pertama, areal kelapa sawit dianggap berasal dari
lahan hutan yang memberi keuntungan ganda pada pengusaha dalam bentuk kayu dan
produk kelapa sawit. Hal ini memang tidak sepenuhnya benar karena banyak juga kebun
yang berasal dari lahan yang bukan hutan.

Pengusahaan kebun secara monokultur juga dijadikan argumen lain untuk mendu-
kung kekhawatiran bahwa kelapa sawit dapat merusak lingkungan. Kasus serangan bela-
lang di Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat diyakini berkaitan dengan habisnya hutan
di wilayah tersebut akibat kelapa sawit. Masalah banjir juga sering dikaitkan dengan
perluasan kelapa sawit. Situasi tersebut akan mempersulit pengembangan kelapa sawit
pada masa mendatang. Untuk itu, pengembanan kelapa sawit harus menerapkan konsep
berkelanjutan dan menerapkan teknologi dengan dampak lingkugan yang minimal.

Konflik Lahan dan Penjarahan.

Masalah lain yang masih harus diantisipasi dalam pengembangan kelapa sawit
adalah konflik lahan dan penjarahan, baik itu penjarahan kebun maupun produksi. Masalah
ini cukup mengkhawatirkan perusahaan perkebunan, karena masalah ini sudah menyebar
lintas wilayah dan komoditas. Nilai kerugian finansial yang ditimbulkan oleh konflik lahan
dan penjarahan ini, walaupun bervariasi bergantung sumbernya, sebenarnya sudah sangat
besar. Sebuah laporan menyebutkan bahwa kerugian penjarahan di perkebunan sudah
mencapai Rp 5 triliun yang diderita oleh sekitar 120 perusahaan perkebunan. Selanjutnya,
penyerobotan atau okupasi lahan perkebunan diperkirakan sudah mencapai lebih dari 100
ribu ha. Situasi ini tidak hanya mencemaskan bagi perusahaan yang sudah ada, tetapi juga
membuat perusahaan baru membatalkan atau menunda usaha investasi di bisnis
perkebunan. Untuk itu, model pembangunan industri minyak sawit harus benar-benar
memanfaatkan aspek kesinambungan dan keadilan, khususnya dengan masyarakat sekitar.
Dengan perkataan lain, masyarakat sekitar sejak awal sudah dilibatkan agar menampung
aspirasi mereka tertampung secara fair.

2.4 Kondisi Sawit Di Indonesia


Produksi kelapa sawit merupakan bagian penting dari ekonomi Indonesia karena
negara ini merupakan produsen dan konsumen sawit terbesar di dunia. Indonesia
memasok kurang lebih separuh pasokan sawit dunia. Luas kebun sawit di Indonesia
mencapai 6 juta hektar (dua kali luas negara Belgia). Pada tahun 2015, Indonesia
berencana membangun 4 juta hektar kebun untuk produksi bahan bakar bio yang
bersumber dari minyak sawit. Per 2012, Indonesia memproduksi 35 persen minyak sawit
berkelanjutan tersertifikasi (CSPO) dunia. Sebagai produsen minyak sawit terbesar di
dunia, Indonesia memperkirakan ekspornya naik menjadi 40 juta ton pada tahun 2020.
Jumlah produksi minyak sawit global menurut Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO)
mencapai 50 juta ton pada tahun 2012, dua kali lipat jumlah produksi tahun 2002.[5]
Kenaikan jumlah tersebut sesuai dengan kenaikan produksi minyak sawit Indonesia pada
periode waktu yang sama, dari 10,3 juta ton tahun 2012 menjadi 28,5 juta ton tahun 2012.
Produksi minyak sawit bergantung pada hutan hujan Indonesia yang luasnya terbesar
ketiga di dunia setelah Amazon dan Kongo. Menurut Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit
Indonesia, sepertiga produksi sawit dipegang oleh petani kecil dan sisanya oleh
perusahaan multinasional. Pohon kelapa sawit yang ditanam 25 tahun yang lalu memiliki
tingkat produksi rata-rata empat ton minyak per hektar per tahun. Sejumlah produsen
berencana menaikkan jumlah tersebut dengan memperkenalkan varietas kelapa sawit baru
yang mampu melipatgandakan tingkat produksi per hektar.

Adapun keuntungan dari kelapa sawit yang ada di Indonesia ini adalah :

1. Dapat tumbuh subur di berbagai jenis tanah

Tanaman kelapa sawit dapat hidup, dapat tumbuh, dan dapat berproduksi pada
berbagai jenis tanah. Hal ini merupakan salah satu kunci sukses yang membuat kelapa
sawit menjadi primadona dalam dunia perkebunan Indonesia. Tanaman kelapa sawit dapat
tumbuh pada daerah rawa hingga daerah ebrbukit. Pada daerah pantai hingga daerah
pegunungan, tanaman kelapa sawit juga dapat tumbuh dengan baik.
2. Permintaan pasar yang cukup besar

Hasil produksi buah sawit yang dihasilkan bisa dibilang sangat tinggi yaitu 5 – 9 ton
per ha per tahun. Produk turunan dari minyak mentah yang diolah lagi menjadi minyak
goreng sangat besar dibutuhkan oleh pasar karena masih banyak lagi produk turunan yang
dapat dihasilkan seperti mentega dan lainnya.

3. Stabilnya harga

Harga minyak CPO terbilang cukup stabil di pasar luar negeri maupun pasar dalam
negeri. Dalam beberapa tahun ini update harga sawit di Banjarmasin sekitar Rp 1.400 –
1.800 per kg.

4. Cepat kembalinya modal

Dalam usaha perkebunan kelapa sawit, modal yang harus dipersiapkan ialah perizinan,
pembebasan dan pembukaan lahan, tanam serta pemeliharaan selama tanaman belum
menghasilkan. Tanaman kelapa sawit membutuhkan waktu 28 – 36 bulan untuk
menghasilkan atau berproduksi. Setelah tanaman berproduksi, maka dimulainya modal
akan kembali hingga Break Event Point (BEP) yaitu hingga TM 5 – 7. Dan setelah itu,
tanaman kelapa sawit akan tetap berproduksi hingga umur 25 – 30 tahun.

5. Harga jual kebun sawit yang tinggi

tanah kosong per ha dihargai 10 – 15 juta per ha. Namun setelah diubah menjadi
perkebunan kelapa sawit maka akan bernilai 60 – 70 juta per ha.

6. Keuntungan berlipat

setelah BEP didapat yaitu + 15 tahun, biaya operasional kebun yaitu Rp 500 – 700
rupiah per kg dan harga jual tandan buah sawit yaitu Rp 1.800 per kg.
7. Tenaga kerja berlimpah

Perkebunan sawit memerlukan jumlah tenaga kerja yang banyak karena banyak
pekerjaan yang dikerjakan secara manual. Regulasi ketenagakerjaan yang sudah ada juga
menjadikan tenaga kerja lebih tenang, seperti adanya jaminan kesehatan, jaminan hari tua
dan pensiun.

8. Tanaman kelapa sawit mempunyai umur yang panjang

Tanaman kelapa sawit dapat tumbuh hingga umur 25 – 30 tahun. Dan saat ini balai
penelitian bibit telah menciptakan varietas kelapa sawit dengan berbagai keunggulan,
tidak hanya berumur panjang namun juga memiliki tingkat produksi yang lebih baik.

9. Tanaman kelapa sawit lebih tahan terhadap hama dan penyakit

Balai penelitian bibit sawit telah menciptakan varietas sawit yang tahan terhadap
serangan ganoderma, seperti teknik re-planting pun telah dikembangkan untuk
mengantisipasi serangan jamur ganoderma
Kendala dari kelapa sawit :

1. Kendala yang dihadapi para petani sawit saat ini ialah serangan jamur Ganoderma. Jamur
Ganoderma biasanya menyerang setelah lebih dari 2 siklus tanam kelapa sawit.
2. yakni rendahnya produktivitas tanaman
3. tingginya biaya produksi

Dalam bidang biaya produksi atau cost produksi perkebunan sawit di Indonesia justru
tinggi, melebihi dari negara-negara produsen lainnya.

4. serta sejumlah kebijakan pemerintah baik pusat maupun daerah yang kontraproduktif.
2.5 Masalah Kelapa Sawit Terkini
Dilansir dari cnn Indonesia, menyatakan bahwa pemerintah mengklaim industri
sawit mampu pangkas kemiskinan. Industri sawit telah membantu sekitar 10 juta orang
keluar dari kemiskinan dan dapat mencapai sejumlah pembangunan berkelanjutan. Menteri
perdagangan Enggartiasto Lukita menyebut bahwa industri sawit berperan dalam
perekonomian dan penyumbang ekspot terbesar. Ekspor sawit berkontribusi sekitar 13,7
persen dari total ekspor tahun lalu. Selain itu industry sawit juga menjadi sumber
pendapatan bagi 5,3 juta pekerja dan menghidupi sebanyak 21 juta orang. Sebanyak 10 juta
orang diklain berhasil keluar dari garis kemiskinan berkat industri tersebut. Menurut
Direktur Eksekutif Council of Palm Oil Producing Countries Mahendra Siregar
menambahkan bahwa minyak kelapa sawit tak hanya penting bagi Negara produsen, tetapi
bagi Negara konsumen, khususnya Negara berkembang. Pasalnya, Negara berkembang
membutuhkan minyak dengan harga terjangkau (CNN Indonesia, 2018).

Dilansir dari berita satu, menyakatakn bahwa prospek kelapa sawit Indonseia sangat
cerah. Indonesia menyumbang suplai sekitar 60% dari minyak sawit dunia. Menurut ketua
GAPKI (Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia) Togar Sitanggang memprediksi
jumlah produksi kelapa sawit Indonseia hingga akhir tahun 2018 mencapai 42 juta ton.
Perkiraan itu berasal dari sektor swasta dengan luasan lahan 8-10 juta Ha dengan produksi
30-35 juta ton, lahan petani kecil seluas 4.5-6 juta Ha dengan produksi 6-9 ton. Serta
pemerintah dengan luasan lahan 500 ribu Ha serta prosuksi mencapai 1.8 ton.

Menurut data BPS hingga 2017, 70% komoditas sawit yang dihasilkan oleh Indonesia
di ekspor ke berbagai Negara. Hingga saat ini, Negara pengimpor kelapa sawit Indonesia
terbesar adalah India. Sejak 2015-2017 jumlah permintaan impor kelapa sawit dikawasan
Uni Eropa terus naik. Kondisi kenaikan impor tidak berbeda jauh dengan Tiongkok dimana
berdasarkan data tahun 2016-2017 jumlah ekspor kelapa sawit Indonesia ke Cina terus
mengalami Peningkatan (Kunjana, 2018).

2.6 Kondisi Tanah Sebelum dan Sesudah Ditanami

Proses budidaya kelapa sawit dapat menyebabkan beberapa perubahan pada tanah baik
secara fisik maupun Kimia tanah. Diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Total ruang pori

Menurut Harahap (2007) menyatakan, bahwasemakin bertambah umur kelapa sawit maka
terjadi perubahan persentase ruang pori tanah yang semakin meningkat. Penambahan
persentase ruang pori ini disebabkan oleh aktivitas akar kelapa sawit, di mana semakin
banyak akar atau perkembangan akar semakin giat, maka kelihatan infiltrasi air pun
semakin meningkat dan hal ini akan sejalan dengan peningkatan persentase pori-pori.

Pernyataan tersebut sejalan dengan penelitiannya yang dilakukan oleh Simarmata et.al
(2017) terhadap Kajian Karakteristik Fisik Tanah di Lahan Perkebunan Kelapa Sawit
(Elaies guinensis Jacq.) Kebun Adolina PTPN IV pada Beberapa Generasi Tanam.
Hasilnya dari penelitiannya adalah rataan total ruang pori secara umum meningkat seiring
dengan bertambahnya periode tanam kelapa sawit. Nilai rataan tertinggi total ruang pori
pada generasi 4, yaitu 33,86% dan nilai rataan total ruang pori terendah pada generasi 1,
yaitu 27,44%.

2. Tekstur tanah

Terjadi perubahan tekstur tanah pada areal pertanaman kelapa sawit. Tanah pada lahan
kelapa sawit lama kelamaan akan mengalami perubahan fraksi, berupa penurunan fraksi
lempung berpasir menjadi pasir Dan kandungan liat yang menurun.

3. Suhu tanah

Penelitiannya yang dilakukan oleh Simarmata et.al (2017) menunjukan adanya penurunan
suhu pada lahan yang ditanami kelapa sawit dari 27,43°C menjadi 23,63°C. Hal ini
menunjukkan bahwa suhu pada areal yang ditanami kelapa sawit berubah, terjadi
perubahan rataan suhu pada areal yang ditanami kelapa sawit menandakan terjadinya
peningkatan kelembapan pada areal yang ditanami kelapa sawit. Hal ini terjadi karena
perakaran pada kelapa sawit yang mampu menahan air dan vegetasi disekitar kelapa sawit
mampu menjaga kelembapan tanah, sedangkan pada areal yang belum ditanami kelapa
sawit suhu tanah cenderung tinggi karena tidak adanya aktivitas dan vegetasi yang mampu
menjaga kelembapan tanah. Lubis (2015) menyatakan, bahwa suhu tanah dipengaruhi oleh
beberapa faktor antara lain vegetasi, iklim, albedo, kemiringan lereng, dan pengolahan
tanah.
4. Erosi dan degradasi unsur hara

Tanaman kelapa sawit akan tumbuh optimal jika ditanam pada areal lahan dengan
kemiringan tidak lebih dari 15°. Dengan struktur perakaran kuat, dan menyebabkan tanah
menjadi lebih kering memungkinkan akan terjadinya proses erosi yang cukup intensif pada
lahan-lahan dengan kemiringan di atas 15% (Adiwiganda dan Purba, 1996).

Tanah-tanah yang tererosi akan mengalami degradasi yang ditandai dengan berkurangnya
kualitas fisik, kimia dan biologis (Hermawan dan Bomke, 1997). Hilangnya lapisan tanah
pucuk (topsoil) akibat erosi menyebabkan berkurangnya struktur granular, bahan organik,
nutrisi tanaman dan jasad renik yang sebelumnya banyak terdapat pada lapisan tersebut.
Populasi cacing tanah juga menurun pada tanah-tanah dibawah tegakana kelapa sawit yang
mengalami degradasi secara fisik (Sabrina et al., 2009). Erosi juga dapat menyebabkan
kepadatan tanah yang pada gilirannya berdampak pada pertumbuhan akar primer dan
sekunder kelapa sawit (Yahya et al., 2010).
3.1 Kesimpulan

Penanaman kelapa sawit harus memenuhi syarat tumbuh dan cara budidaya yang
pas agar hasil produksi yang didapatkan dalam keadaan baik, secara kualitatif dan
kuantitatif. Minyak sawit mengandung asam lemak jenuh yang tinggi (>50%) dan asam
lemak tidak jenuh ganda yang relative sedikit (<10%). Minyak yang dihasilkan dapat di
ekspor kebeberapa negara, namun terjadi permasalahan dalam proses ekspor hasil kelapa
sawit yaitu kebijakan yang kurang, keterbatasan sumber perdanaan, konflik lahan dan
penjarahan, padahal prospek atau permintaan pasar akan minyak sawit ini cukup besar,
terjadi kestabilan harga sehingga para petani tidak harus kawatir akan kerugian,
keuntungan yang berlipat dan banyaknya tenaga kerja.
Kondisi kelapa sawit yang ditanam pada lahan akan memberikan perubahan pada
tanah itu sendiri mulai dari bertambahnya ruang pori, terjadi perubahan tekstur tanah,
terjadi penurunan suhu tanah yang bertanda bahwa kelembaban terjadi kenaikan.
Daftar Pustaka
Adiwiganda dan R. Purba. (1996). Penggunaan lahan untuk perkebunan kelapa sawit berwawasan
lingkungan. Warta PPKS 4 (3): 123-127.

Basiron, Y. (2002). Palm Oil and Its Global Supply and Demand Prospects, Oil Palm Industry
Economic Journal, 2 (1): 1 – 10

BBPPTP. (2008). Teknologi Budidaya Kelapa Sawit. Seri buku inovasi: BUN /11/2008

Darmosarkoro, W., Sutarta, S. E dan Winarna. (2007). Lahan dan Pemupukan Kelapa Sawit. Pusat
Penelitian Kelapa Sawit. Medan

Direktorat Jenderal Bina Produksi Perkebunan. (2004). Statistik Perkebunan, Kelapa Sawit.
Direktorat Jenderal Perkebunan, Jakarta.

FAO. (2001). Medium term prospects for agricultural commodities, Projection to the year 2005:
Oilseeds, oils, and oilmeals, FAO, Rome.

Harahap EM. 2007. Peranan Tanaman Kelapa Sawit Pada Konservasi Tanah dan Air. Pidato
Pengukuhan Jabatan Guru Besar Universitas Sumatera Utara. Medan (ID).

Hermawan, B. dan A.A. Bomke. 1997. Effects of winter cover crops and successive spring tillage
on soil aggregation. Soil and Tillage Research 44: 109-120.

Mohamad Agus Salim (2013). The time variation of Saccharomyces cerevisiae inoculation in
simultaneous saccharification and fermentation of cocoa (Theobroma cacao L.) pod for
bioethanol pro. Journal of Asian Scientific Research, 3 (3) :268-273.

Subandi, M. 2017. Takkan Sanggup Bertahan Hidup Tanpa Air. Buku 1 (1), 171

Subandi, M (2013). Physiological Pattern of Leaf Growth at Various Plucking Cycles Applied to
Newly Released Clones of Tea Plant (Camellia sinensis L. O. Kuntze).Asian Journal of
Agriculture and Rural Development, 3(7) 2013: 497-504

Subandi, M.,(2005). Pembelajaran Sains Biologi dan Bioteknologi dalam Spektrum Pendidikan
yang Islami Media Pendidikan (Terakreditasi Ditjen Dikti-Depdiknas). 19 (1), 52-79

Subandi, M (2011) .BudidayaTanaman Perkebunan. Buku Daras. Gunung Djati Press.

Ong, A.S.H. (1992). Promotion of oil palm products, paper presented at ASEAN Agribusiness and
Agrotechnology, Kuala Lumpur, 6-8 July 2002.
Sabrina, D.T., M.M. Hanafi, A.A. NorAzwady and T.M.M. Mahmud. 2009. Earthworm populations
and cast properties in the soils of oil palm plantations. Malaysian Journal of Soil Sciencen

Simarmata, Juliana., Rauf, Abdul., Hidayat, Benny. 2017. Kajian Karakteristik Fisik Tanah di Lahan
Perkebunan Kelapa Sawit(Elaies guinensis Jacq.) Kebun Adolina PTPN IV pada Beberapa
Generasi Tanam. Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia (JIPI). Vol. 22 (3): 191-197.

Simeh, M. A. (2004). ‘Comparative advantage of the European rapeseed industry vis-a vis other oil
and fat producers, Oil Palm Industry Economic Journal, 4(2), 14-21.

Susila, W. R. (1997). 'Dampak Putaran Uruguay terhadap minyak nabati', Forum Agro Ekonomi,
15 (1&2), 35-43.

Susila, W. R. (1998). ‘Daya saing dan efisiensi penggunaan sumberdaya minyak sawit mentah
(CPO) Indonesia’, Jurnal Agribisnis, 2(2): 16-30)

Yahya, Z., A. Husin, J. Talib, J. Othman, O.H. Ahmed and M.B. Jalloh. 2010. Oil palm (Elaeis
guineensis) roots response to mechanization in Bernam series soil. American Journal of
Applied Science 7 (3): 343-348

CNN Indonesia. 2018. Pemerintah Klain Industri Sawit Mampu Pangkas Kemiskinan.
http://m.cnnindonesia.com/ekonomi/20181101171659-92-343269/pemerintah-klaim-
industri-sawit-mampu-pangkas-kemiskinan [dikutip pada Sabtu, 3 November 2018 pukul
20.00].

https://id.wikipedia.org/wiki/Produksi_minyak_sawit_di_Indonesia

https://www.liputan6.com/bisnis/read/3627003/ekspor-sawit-dapat-selamatkan-neraca-dagang-
indonesia

Kunjana, L.G. 2018. Prospek Kelapa Sawit Indonesia Sangat Cerah.


http://www.beritasatu.com/bisnis/520282-prospek-kelapa-sawit-indonesia-sangat-
cerah.html. [dikutip pada sabtu, 3 November 2018 pukul 21.07].

USDA, 2004. Vegetable oil production, consumption and imports for selected countries,
http://www.fas.usda.gov/oilseeds/circular/2005/05-02/table9.pdf

( 04/11/2018 PUKUL 23.00)

You might also like